2 Hadis tentang Fitnah Perpecahan Umat dan Obatnya (Hadis Pertama)

BAGAIMANA jalan keluar dari kenyataan perpecahan yang merupakan sunnah kauniyah (ketetapan takdir) Allah? Allah tidak menurunkan suatu penyakit (yang merupakan sunnah kauniyah), kecuali pasti menurunkan obatnya yang merupakan sunnah syariyah (ketetapan syariat) Allah.

Untuk menjawab pertanyaan di atas Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, seorang Ulama dari Yordania dan pernah ke Surabaya dalam suatu daurah syariyyah, menyebutkan dua buah hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang menyebutkan penyakit serta obatnya. Pertama: Hadits Al Irbadh bin Sariyah. Di dalamnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidun orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bidah adalah sesat”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam hadis tersebut Rasulullah n memberitakan tentang penyakit dan obatnya. Beliau memberitakan tentang penyakit perpecahan yang merupakan sunnah kauniyah. Kemudian menyebutkan bagaimana cara pengobatannya (yang merupakan sunnah syariyah). Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “Barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak”. Perselisihan yang banyak ini merupakan penyakit. Dan kini hal itu betul-betul terbukti.

Bagaimanakah obatnya? Obatnya, ialah kelanjutan hadits tersebut, yaitu “Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidun orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian”. Dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian”, beliau menggunakan dhamir “haa” pada “alaihaa” (menunjukkan satu), bukan “humaa atau alaihimaa” (menunjukkan dua). Sebab Sunnah para Khulafaur Rasyidun sebenarnya adalah Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga. Jadi hanya satu sunnah saja.

Dengan kata lain, perpecahan merupakan sunnah kauniyah disebabkan oleh tidak berpegang kepada sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Begitu juga segala kemaksiatan lain, terjadi sesuai dengan kehendak kauniyah (ketetapan takdir) Allah. Bukan kehendak syariyah (ketetapan syariat) Allah. Perpecahan serta fitnah pasti terjadi sebagai sunnah kauniyah. Sedangkan obatnya adalah mengikuti sunnah syariyyah. Yaitu berpegang teguh pada sunnah Nabi dan sunnah para Khulafaur Rasyidun.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358648/2-hadis-tentang-fitnah-perpecahan-umat-dan-obatnya#sthash.Oe9SWEjI.dpuf

Jangan Tergiur Umrah Berbiaya Murah, Ini Alasannya

Calon jamaah umrah diminta mewaspadai keberadaan biro perjalanan (travel) umrah ‘nakal’. Pasalnya travel jenis terbut hanya akan merugikan calon jamaah.

Anggota Komisi VIII DPR RI Khatibul Umam Wiranu mengatakan, masyarakat jangan mudah tergiur dengan travel umrah berbiaya murah. Harga murah di bawah standar  akan membawa dampak negatif bagi jamaah saat di Tanah Suci.

Misalnya penelantaran transportasi jamaah hingga katering makanan yang tidak layak. “Harusnya regulasi dibenerin. Untuk itu kami mengusulkan adanya undang-undang haji dan umrah,” kata dia kepada Republika.co.id saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/2).

Namun mengingat proses pengadaan UU tersebut cukup lama, maka harus ada tindakan tegas kepada penyelenggara travel ‘nakal’. Politikus dari Partai Demokrat tersebut mengatakan tindak lanjut travel ‘nakal’ jangan hanya diserahkan ke kepolisian, tapi juga harus ada sanksi dari pemerintah misalnya dengan pembekuan izin travel.

Dia mengimbau masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan tawaran umrah berbiaya murah plus iming-iming wisata tambahan dan lainnya. Selama ini, dia melihat jamaah umrah yang terlantar adalah mereka yang dijanjikan harga murah.

Jangan juga percaya travel umrah model multilevel marketing (MLM). Misalnya apabila satu orang bisa mengajak lima atau sepuluh orang umrah, maka seseorang tersebut bisa mendapatkan perjalanan umrah gratis.

“Banyak yang tertipu. Inginnya untung, tapi di ujung merugi, malah harus berurusan dengan polisi,” ujarnya.

 

 

sumber:Ihram.coid

Pantaskah Kita Bangga sebagai Muslim?

ALQURAN mencatat perkataan terbaik adalah perkataan orang yang berbangga sebagai muslim.

Allah swt berfirman, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang Muslim.” (QS.Fusshilat: 33)

Menjadi seorang muslim adalah kebanggaan tersendiri bagi para pengikutnya. Bagaimana tidak, seorang muslim telah mendapat nikmat terbesar berupa petunjuk dan hidayah dari Allah swt.

Tapi kapan kita pantas untuk berbangga dengan keislaman kita?

Sungguh tak layak orang yang menepuk dada sebagai muslim tapi selalu menorehkan citra buruk bagi nama Islam. Perilakunya membuat orang di luar islam semakin anti kepada agama rahmat ini.

Perhatikan potongan ayat ini, mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang Muslim”. Allah Meletakkan kata “mengerjakan kebaikan” sebelum berbangga sebagai muslimin.

Kesimpulannya, setelah beramal soleh dan berprilaku baik, barulah seorang muslim layak menepuk dada dan berbangga diri sebagai golongan muslimin. Karena ia telah mengharumkan nama Islam dengan perbuatan baiknya. Dan inilah sebaik-baik perkataan menurut Alquran.[]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2357397/pantaskah-kita-bangga-sebagai-muslim#sthash.KjFAzLet.dpuf

Suara Wanita Aurat Jika Manja dan Mendesah?

ADA pemahaman bahwa suara wanita bukanlah aurat, selama tidak disuarakan dengan cara yang melanggar syara, misalnya dengan suara manja, merayu, mendesah, dan semisalnya.

Maka dari itu, boleh akhwat bernyanyi dalam sebuah masirah, dengan syarat tidak disertai perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath (campur baur pria wanita), membuka aurat, dan sebagainya.

Dalil bahwa suara wanita bukan aurat, adalah Alquran dan As-Sunah. Dalil dari Alquran terdapat dalam dalil-dalil umum yang mewajibkan, menyunahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu. Wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS 2: 275; QS 4:29), berhutang piutang (QS 2:282), sewa menyewa (ijarah) (QS 2:233; QS 65:6), memberikan persaksian (QS 2:282), menggadaikan barang (rahn) (QS 2:283), menyampaikan ceramah (QS 16:125; QS 41:33), meminta fatwa (QS 16:43), dan sebagainya. Jika aktivitas-aktivitas ini dibolehkan bagi wanita, artinya suara wanita bukanlah aurat sebab semua aktivitas itu adalah aktivitas yang berupa perkataan-perkataan (tasharrufat qauliyah). Jika suara wanita aurat, tentu syara akan mengharamkan wanita melakukannya (Muhammad Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas, hal. 106).

Adapun dalil As-Sunah, antara lain bahwa Rasulullah SAW mengizinkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya (Shahih Bukhari, hadits no. 949 & 952; Shahih Muslim, hadits no. 892). Pernah pula Rasulullah SAW mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah (HR. Tirmidzi, dinilainya sahih. Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, VII/119). Dalil As-Sunah ini menunjukkan suara wanita bukanlah aurat, sebab jika aurat tentu tidak akan dibiarkan oleh Rasulullah (Abdurrahman Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 69-70).

Namun demikian, syara mengharamkan wanita bersuara manja, merayu, mendesah, dan semisalnya, yang dapat menimbulkan hasrat yang tidak-tidak dari kaum lelaki, misalnya keinginan berbuat zina, berselingkuh, berbuat serong, dan sebagainya. Firman Allah SWT (artinya) : “maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS Al-Ahzab [33] : 32).

Suara wanita yang seperti itulah yang diharamkan, bukan suara wanitanya itu sendiri. Jadi, suara wanita itu bukanlah aurat yang tidak boleh diperdengarkan.

Maka dari itu, boleh hukumnya wanita bernyanyi dalam acara masirah tersebut, sebab suara wanita bukanlah aurat. Namun dengan 2 (dua) syarat. Pertama, suara itu dalam batas kewajaran, bukan sengaja dibikin mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Kedua, perbuatan itu tidak disertai perbuatan-perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath, membuka aurat, dan sebagainya. Wallahu alam []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2345707/suara-wanita-aurat-jika-manja-dan-mendesah#sthash.YkvfZp2J.dpuf

Wanita Dilarang Bicara Lembut kepada Lelaki Lain

ALQURAN melarang seorang wanita berbicara lembut dengan lelaki yang bukan mahramnya.

Kelembutan dan keluguannya akan menggoda kelelakian orang itu, mengencangkan hasrat untuk mengejar, dan menarik perhatian kaum lelaki untuk simpati dan berusaha mengetahui keelokannya. Meskipun pada awalnya si wanita tidak mempunyai maksud apa-apa.

Ketika seorang lelaki mengetahui satu daya tarik perempuan, maka wanita ideal akan memberikan kepada suaminya sesuatu yang sangat diimpikan oleh banyak lelaki, yaitu perkataan yang manis dan lembut.

Dia dapat menangkap bahwa keperempuanan dan kelembutannya dapat menarik simpatinya, sedangkan kata kasar akan menciptakan petaka karena perlakuan kasar seorang wanita dapat menghilangkan kasih sayang, simpati, hasrat dan mengendurkan keinginan untuk berhubungan intim.

Kasih sayang yang datang dan pergi, terjadi hanya dalam hitungan detik merupakan bukti berkurangnya rasa cinta, ketika sudah memasuki tahapan tidak ada hasrat berhubungan intim lagi berarti tidak ada cinta sama sekali.

Sebagian istri melakukan kesalahan ketika menganggap hubungan yang baik dan perilaku lemah lembut cukup untuk menarik simpati suami.

Pemahaman seperti ini perlu diluruskan, mengingat ayat Alquran hanya terfokus pada larangan berkata lembut, karena pengaruhnya sangat besar kepada lelaki.

Ini merupakan dalil pentingnya berkata lembut. Artinya seorang istri dituntut berbicara dengan lembut, memilih perkataan yang hangat, dan memelankan suara ketika berbicara dengan sedikit merajuk dan manja.

Sungguh Allah Taala berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53).

Terkadang seorang istri berbicara dengan sedikit manja dan merajuk kepada suaminya, tetapi sang suami memahaminya lain.

Bahkan, dia mengartikan rajukan dan kemanjaan ini sebagai aksi keketusan yang menjengkelkan dan sebuah kesombongan, sehingga yang tercipta adalah sebuah problem yang disebabkan oleh sesuatu yang sepele.

Terkadang problem tersebut semakin rumit tatkala sang istri tidak senang dengan perlakuan suaminya yang terkesan tidak menghargai kebaikannya. Sementara sang suami merasa tidak berbuat suatu kesalahan sama sekali yang mengakibatkan sang istri berlaku ketus.

Hal ini bisa terjadi karena lemahnya komunikasi dan kesalahan mengartikan yang terkait dengan penyampaian pembicaraan yang kurang baik. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada dalam rumah tangga harus dibicarakan dengan baik dan pada waktu yang tepat. Sehingga, dapat menemukan solusi yang tepat pula. []

Sumber : Kado Pernikahan, karya Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Dawud

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358360/wanita-dilarang-bicara-lembut-kepada-lelaki-lain#sthash.NAbx1B9u.dpuf

Profesionalisme dalam Ajaran Rasul

Ada anggapan, Muslim yang taat adalah yang rajin berzikir, berdoa, shalat, baca Alquran, dan ritual ibadah lainnya. Mereka bertafakur memusatkan perhatian agar selalu dekat dengan-Nya. Namun sejatinya, Islam bukan hanya agama ‘langit’, melainkan menapak kuat di bumi.

Islam bersentuhan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Maka itu, Alquran dan hadis pun tidak dominan mengajarkan ibadah. Keduanya juga memberikan petunjuk serta bimbingan bagaimana umat Muslim membina aspek kehidupan sebaik-baiknya dalam kapasitas sebagai khalifah bumi.

Dalam kaitan ini, umat dituntut tampil di depan, memberikan teladan.  Umat harus mampu menunjukkan kualitas terbaik. Semua itu, sebut Dr Abdul Hamid Mursi melalui bukunya SDM Produktif, Pendekatan Alquran dan Sains, bisa diwujudkan bila Muslim giat dalam bekerja.

Pekerjaan manusia, menurut Abdul Hamid, adalah tugas rasio atau akal dan fisik. Jika manusia tidak bekerja, berarti ia tidak bisa memenuhi tugas hidupnya. Jadi, sangat beralasan jika Islam menganjurkan umat untuk bekerja. Pada struktur takwa, Islam senantiasa mengaitkan iman dengan amal saleh.

Itu telah tampak jelas dalam bentuk ritual ibadah. Bila pada kepercayaan lain ibadah dilakukan secara diam, tidak demikian halnya dalam Islam. Ritual ibadah kaum Muslim penuh dengan gerakan. Bisa dikatakan, sangat dinamis. Salah satunya ibadah shalat. Dari awal sampai akhir, shalat diiringi gerakan hampir seluruh bagian tubuh.

Begitu pula haji, ritual-ritualnya sarat gerakan fisik. Pendek kata, ibadah dalam Islam memiliki dimensi gerak, terutama kerja. Lebih jauh, hal ini juga harus merambah ke ranah sosial. Itulah mengapa, papar Abdul Hamid, pahala tertinggi bukan dari banyaknya porsi mengerjakan ritual ibadah, namun apakah nilai ibadah mampu terwujud nyata.

Rasulullah tak berhenti menganjurkan bekerja. Beliau berpesan agar pekerjaan itu dilakukan sebaik mungkin. Pada sebuah hadis riwayat Ahmad, tergambar jelas maksud Nabi Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang berkarya, jelasnya.

Tak tanggung-tanggung, Rasulullah menyandingkan pekerjaan yang dilakukan seseorang secara giat dan ikhlas dengan jihad. Barang siapa bekerja keras untuk keluarganya, ia seperti pejuang di jalan Allah SWT. Secara jelas, Alquran menerangkan bahwa pengemban risalah agama dan orang-orang beriman merupakan mereka yang berkarya.

 

 

sumber: Republika Online

Islam Memuliakan Difabel

Islam memandang para difabel sebagai entitas yang wajib diperhatikan karena beberapa alasan kuat. Paling mendasar ialah atas nama kemanusiaan. Satu fakta yang tak bisa dimungkiri bahwa mereka sama-sama makhluk Allah SWT yang wajib dihormati.

Apalagi, para penyandang tersebut juga manusia yang dimuliakan oleh Allah. Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS al-Israa’ [17] : 70). Pentingnya kasih sayang dan memuliakan sesama ini juga ditekankan oleh Rasulullah.

Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Nabi menegaskan bahwa mereka yang saling mengasihi akan disayang oleh Allah. Karenanya, hendaknya saling menebar kasih sayang untuk segenap penduduk bumi agar para penghuni kahyangan berbalik mengasihi mereka.

Dari sisi persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyyah), mereka juga pada hakikatnya adalah saudara dari satu garis keturunan, yaitu Adam. Persaudaraan ini akan semakin bermakna jika diperkuat dengan tolong menolong.

Di sisi lain, bila yang bersangkutan adalah Muslim maka penekanannya akan bertambah. Sebab, ia juga merupakan saudara seiman. Maka, iman tersebut akan semakin sempurna dengan saling cinta-mencintai dan kasih-mengasih. Perwujudannya lewat tolong menolong. (HR Muslim).

Menurut guru besar Fakultas Syariah Universitas Afrika Internasional, Sudan, Prof Ismail Muhammad Hanafi, para difabel tersebut—termasuk para lansia dan jompo—memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Karena itu, dalam makalah yang berjudul Daur ad-Daulah fi Ri’ayat Dzawi al-Hajat al-Khassah fi al-Islam, negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk memperhatikan dan mengurus mereka.

Di satu sisi, katanya, perhatian pemerintah juga mesti diprioritaskan untuk mereka. Suatu saat, Abu Maryam al-Azdi pernah berpesan satu hadis kepada Mua’wiyah. Hadis itu berisi ancaman bagi pemimpin yang lalai memenuhi kebutuhan para difabel. Riwayat ini dinukilkan dari Abu Dawud dan at-Tirmidzi.

Seperti apakah bentuk perhatian yang mesti diberikan pemerintah kepada mereka?

Kembali, Prof Ismail memaparkan, perintah dituntut aktif melakukan upaya sosialiasi dan langkah penyadaran masyarakat untuk berinteraksi dengan baik terhadap difabel. Rendahnya kesadaran dinilai menjadi penghambat bagi upaya pemberdayaan mereka. Ini sesuai dengan kaidah fikih, mencegah lebih baik daripada mengobati (ad-daf’u ‘aqwa min ar-raf’i).

Pemerintah berkewajiban pula membuka akses pendidikan bagi para penyandang cacat. Pendidikan adalah salah satu instrumen penting untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka. Sulit meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa memberikan pendidikan yang laik.

Prof Ismail menambahkan, pemerintah hendaknya mendirikan lembaga atau instansi khusus yang melayani mereka. Umar bin Abdul Aziz pernah menulis instruksi kepada pejabat Syam. Ia memerintahkan agar para tunanetra, pensiunan, atau sakit, dan para jompo didata sedemikian rupa guna memperoleh tunjangan. Instruksi ini dijalankan dengan baik.

Bahkan, konon sejumlah tunanetra memiliki pelayan yang menemani setiap waktu. Kebijakan yang sama juga ditempuh oleh al-Walid bin Abdul Malik. Sementara, Abu Ja’far al-Manshur mendirikan rumah sakit khusus untuk penyandang cacat di Baghdad. 

 

sumber:RepublikaOnline

Enam Hal Mencegah Lalai

Salah satu tokoh sufi terkemuka asal Khurasan pada abad ke-8 M adalah Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim al-Balkhi. Sejak muda, tokoh yang wafat pada 149 H/ 810 M ini, terkenal dengan sikap zuhud, wara’, dan ketakwaannya. Keputusannya untuk meninggalkan gemerlap dunia berawal dari kisah sederhana.

Terlahir dari keluarga saudagar yang berlimpahan harta, ia pun dipercaya menjalankan bisnis orang tuanya. Saat melancong ke Turki, ia bertemu dengan seorang penyembah berhala yang tengah asyik menghambakan diri di hadapan benda-benda tak bernyawa itu. Mereka berpenampilan botak dan tanpa memelihara jenggot dengan busana serbahijau.

Merasa risih akhirnya ia menegur para penyembah berhala itu. “Wahai pelayan, sesungguhnya kami memiliki Tuhan yang mahahidup, mahatahu, mahakuasa, sembahlah Dia dan jangan ikuti berhala-berhala yang tak bermanfaat itu.”

Pernyataan itu membuat kaget mereka yang mendengarnya. Tak terima dengan ungkapan tersebut, mereka menjawab: “Jika memang apa yang kamu ucapkan itu benar bahwa Tuhanmu Mahakuasa untuk memberikan rezeki kamu di negerimu, mengapa kamu bersusah-susah datang kemari untuk berdagang?”

Detik itu juga, hatinya teriris, kata demi kata itu mampu menancap kuat di hatinya. Ia sadar, dunia telah melalaikannya selama ini. Sejak kejadian itulah, al-Balkhi membuat keputusan besar untuk menjauh dari gemerlap dunia hingga ia menekuni tasawuf dan pakar di bidangnya. Tak sedikit murid yang berguru kepadanya, termasuk Hatim al-Asham.

Hatim al-Asham dan para muridnya kerap menemani sang guru dalam berbagai kesempatan. Tidak terkecuali pada masa perang. Meski terkenal sebagai pakar sufi, al-Balkhi sering terlibat jihad. Pernah suatu ketika, seperti dinukilkan oleh Hatim, peperangan terjadi untuk menyerbu Turki. Tumpukan mayat, tombak, dan pedang yang patah tak membuat nyalinya ciut. “Demi Allah, hari ini saya merasa tenteram seperti malam itu,” kata Hatim menirukan perkataan sang guru.

Hatim menemani al-Balkhi selama hampir 30 tahun. Kurun waktu yang lama itu, memberikan kedekatan antarkeduanya. Hubungan antara seorang murid dan guru tak lagi ada sekat. Keduanya bahkan saling belajar.

Mengutip Hiburan Orang-Orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata, dan Penuh Hikmah terbitan Pustaka Arafah, suatu hari al-Balkhi berkata kepada muridnya, Hatim al-Asham, “Apa yang telah engkau pelajari dariku sejak menyertaiku (selama 30 tahun)?”

Hatim al-Asham menjawab, “Ada enam hal”.

Pertama, saya melihat orang-orang masih ragu mengenai rezeki. Tidak ada di antara mereka melainkan kikir terhadap harta yang ada di sisinya dan tamak terhadap hartanya. Lantas saya bertawakal kepada Allah SWT berdasarkan firman-Nya: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” (QS Hud [11]: 6).

Karena saya termasuk makhluk bergerak, maka saya tidak perlu menyibukkan hatiku dengan sesuatu yang telah dijamin oleh Zat yang Mahakuat dan Mahakokoh.”

Beliau berkata, “Engkau benar.”

Kedua, saya memandang bahwa setiap orang mempunyai teman yang menjadi tempat baginya untuk membuka rahasia dan mencurahkan isi hatinya. Akan tetapi, mereka tidak akan menyembunyikan rahasia dan tidak mampu melawan takdir.

Oleh karena itu, yang saya jadikan sebagai teman ialah amal saleh agar dapat menjadi pertolongan bagiku pada saat dihisab, mengokohkanku di hadapan Allah, serta menemaniku melewati jembatan (shirath).

Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

Ketiga, saya memandang bahwa setiap orang mempunyai musuh. Lalu saya merenung. Ternyata orang yang menggunjingku bukanlah musuhku, bukan pula orang yang berbuat zalim kepadaku, dan bukan pula orang yang berbuat buruk kepadaku.

 

Sebab, dia justru memberi hadiah kepadaku dengan amal-amal kebaikannya dan memikul perbuatan-perbuatan burukku. Akan tetapi, musuhku ialah sesuatu yang pada saat saya melakukan ketaatan kepada Allah, dia membujukku berbuat maksiat kepada-Nya. Hal tersebut adalah iblis, nafsu, dunia, dan keinginan.

Oleh karena itu, saya menjadikan hal tersebut sebagai musuh, saya menjaga dirinya, dan saya mempersiapkan diri untuk memeranginya. Maka, saya tidak akan membiarkan salah satu dari semua itu mendekati saya.

Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

Keempat, saya memandang bahwa setiap orang hidup adalah orang yang dicari sedangkan malaikat maut adalah pihak yang mencari. Oleh karena itu, saya mencurahkan diri saya untuk bertemu dengannya. Sehingga, ketika dia telah datang, saya dapat bersegera berangkat dengannya tanpa rintangan.”

Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

Kelima, saya melihat orang-orang saling mencintai dan saling membenci. Saya melihat orang yang mencintai tidak memiliki sedikit pun terhadap orang yang dicintainya, lalu saya merenungkan sebab cinta dan benci. Saya tahu bahwa sebabnya ialah keinginan dan dengki.

Saya menyingkirkannya dari diri saya dengan menyingkirkan hal-hal yang menghubungkan antara diri saya dengannya, yaitu syahwat. Oleh karena itu, saya mencintai seluruh kaum Muslimin. Saya hanya ridha kepada mereka sebagaimana saya ridha terhadap diri sendiri.

Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

Keenam, saya memandang bahwa setiap orang yang bertempat tinggal pasti meninggalkan tempat tinggalnya dan sesunguhnya tempat kembali setiap orang yang bertempat tinggal ialah alam kubur. Oleh karena itu, saya mempersiapkan semua amal perbuatan yang mampu saya lakukan yang dapat membuatku gembira di tempat tinggal yang baru yang di belakangnya tidak lain adalah surga atau neraka.

Kemudian, pada pengujung jawabanku tersebut, Syaqiq al-Balkhi menimpali, “Itu sudah cukup. Lakukanlah semua itu sampai mati.”

 

sumber: Republik ONline

Efek Terapi Alquran

Oleh: Muslimin

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebelum masuk Islam, Umar Ibn Khattab termasuk orang yang keras permusuhannya terhadap eksistensi Islam. Tetapi, ketika ia mendengar bacaan Alquran yang dilantunkan adiknya, Fathimah, Umar merasakan ketenangan, kedamaian, dan kekuatan kalamullah.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar mengungkapkan, salah satu sebab utama yang mendorong Umar masuk Islam karena ia mendengarkan bacaan Alquran adiknya. Dalam kisah lain, seseorang yang jiwanya sedang gelisah mendatangi Abdullah Ibn Mas’ud. Orang tersebut meminta nasihat kepada Ibn Mas’ud, terkait kondisi hatinya yang gelisah.

Kemudian, Ibn Mas’ud menasihati orang itu untuk membaca Alquran, mendengarkan bacaan Alquran orang lain, mendatangi tempat di mana banyak orang membaca Alquran, dan memahami perintah Allah dalam Alquran. Setelah mengamalkan anjuran Ibn Mas’ud untuk bersahabat dengan Alquran, orang itu merasakan ketenangan jiwa, kejernihan pikiran, dan kesehatan jasmani.

Oleh karena itu, membaca Alquran tak hanya bernilai ibadah, tetapi juga dapat menjadi obat penawar jiwa yang gelisah, pikiran yang tak menentu, dan jasmani yang kurang sehat. Sebagaimana Allah SWT mengungkapkan, “Dan kami turunkan Alquran sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS al-Isra [17]: 82).

Al-Qurthubi menjelaskan, ada beberapa pendapat dalam menafsirkan kata syifa` pada ayat itu. Pertama, Alquran dapat menjadi terapi bagi jiwa seseorang yang dalam kondisi kebodohan dan keraguan. Kedua, Alquran membuka jiwa seseorang yang tertutup dan menyembuhkan jiwa yang rapuh. Ketiga, membaca Alquran juga menjadi terapi untuk menyembuhkan penyakit jasmani.

Hal yang sama juga dikemukakan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Membaca Alquran dapat mengobati penyakit jasmani dan rohani seseorang. Bagi Ibnu Qayyim, sumber penyakit rohani ketika seseorang menuntut ilmu bukan mengharapkan ridha Allah, kemudian menjalani hidup dengan tujuan yang salah.

Bila seseorang menuntut ilmu bukan karena Allah dan tujuan hidupnya bukan mencari ridha Allah, kondisi ini akan mengakibatkan kesesatan, kerusakan, penyakit jasmani, dan rohani. Obat penawar yang mujarab untuk mengobati kedua penyakit ini adalah mengakrabkan diri dengan Alquran.

Alquran mengarahkan jalan terbaik untuk memaksimalkan eksistensinya, mengembangkan karakter baiknya, dan menjadikannya memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Terlebih lagi, seseorang yang mengakrabkan diri dengan Alquran, ia akan memperoleh pertolongan Alquran di hari kiamat.

Sebagaimana dalam penjelasan hadis Nabi, “Bacalah Alquran karena sesungguhnya pada hari kiamat ia akan hadir memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membacanya.” (HR Baihaqi).

 

sumber: Republika Online

Sebelum Bayar Tagihan $ 3.500, Jenazah Pengungsi Suriah Tidak Dapat Dikeluarkan Dari Rumah Sakit Lebanon

Jenazah Mohamed Ahmed Hussein, 46 tahum, sejak hari sabtu tertahan di salah satu rumah sakit Lebanon, karena tidak memiliki $ 3.500 istrinya belum dapat membawa pulang jenazah suaminya.

BUMISYAM|Lebanon (1/2) – Sebuah rumah sakit di Lebanon pada hari Minggu menolak untuk menyerahkan tubuh pengungsi Suriah yang meninggal sejak hari Sabtu akibat kanker kepada istri jenazah.

Aktivis mengatakan, pihak rumah sakit baru akan menyerahkan jenazah tersebut jika pihak keluarga membayar $ 3.500.

Dilaporkan Zaman Al Wasl, rumah sakit Lebanon yang menahan tubuh pengungsi Suriah , Mohamed Ahmed Husein, 46 tahun adalah rumah sakit Ein Wazin yang terletak di distrik Chouf.

Untuk membebaskan jenazah suaminya, istri Hussein telah mengajukan banding ke pemerintah Lebanon dan UNHCR, namun belum ada informasi selanjutnya hingga saat ini.

Lebanon merupakan salah satu tempat rakyat Suriah mencari perlindungan akibat konflik yang berkecamuk, lebih dari satu juta warga Suriah telah mengungsi di Lebanon.

Namun karena Lebanon belum menandatangani Konvensi Pengungsi PBB, negara tersebut memperlakukan pengungsi Suriah sebagai orang asing, bukan pengungsi.

Oleh karena itu, para pengungsi Suriah yang berada di Lebanon hidup dalam kondisi yang memprihatinkan dan mereka harus berjuang untuk mendapatkan bantuan dari organisasi internasional. (Eka Aprila)

 

sumber:BumiSyam