Dampak Makanan

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib dipanggil oleh Nabi Muhammad SAW dan diberi nasehat berikut.

Wahai Ali, orang yang mengonsumsi makanan halal, agamanya akan bersih, hatinya menjadi lembut, dan doanya tidak ada penghalang (pasti diterima oleh Allah). Barang siapa yang mengonsumsi makanan syubhat (tidak jelas), agamanya menjadi samar-samar, dan hatinya menjadi kelam. Dan barang siapa yang mengonsumsi makanan haram, maka hatinya akan mati, agamanya menjadi goyah (tidak kokoh), keyakinannya melemah, dan ibadahnya semakin berkurang.”

Wahai Ali, Allah SWT tidak akan menerima shalat seseorang tanpa sedekah; Allah juga tidak menerima sedekah yang berasal dari harta haram. Selama tidak makan harta haram, Mukmin akan senantiasa dapat meningkatkan keberagamaannya. Siapa yang menjauhi ulama, maka hatinya akan mati, hatinya juga menjadi buta dari taat kepada Allah SWT.” (HR. Ahmad).

Wasiat Nabi SAW tersebut sarat dengan pesan dan pendidikan moral. Pertama, setiap Muslim hendaknya memperhatikan apa yang dimakannya, baik status kehalalannya maupun kualitas gizinya.

Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS. ‘Abasa/80:24). Kehalalan dan keharaman makanan yang dikonsumsi berdampak langsung pada fungsi hati manusia.

Hati menjadi sehat, hidup, dan memantulkan cahaya Ilahi jika dinutrisi dengan yang halal. Hati menjadi sakit, kelam, dan mati jika diasupi makanan syubhat dan haram.

Oleh karena itu, Nabi SAW menempatkan fungsi hati sangat sentral dalam kehidupan manusia. “Dalam diri manusia ada sekepal daging. Apabila ia baik, maka seluruh tampilan kinerjanya pun menjadi baik. Sebaliknya, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tampilan perbutannya. Ketahuilah, sekepal daging itu adalah hati (al-qalbu)” (HR. Muslim).

Kedua, makanan memengaruhi tingkat keberagamaan Muslim. Jika yang dimakan halal, kesalehannya akan meningkat. Sebaliknya, jika yang dikonsumsi haram, maka spiritualitasnya menjadi gersang.

Karena itu, Allah menyuruh kita untuk mengonsumsi makanan yang halalan thayyiban (boleh dikonsumsi, bernutrisi dan bergizi baik).

Makanlah yang halal lagi baik (bergizi) dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya beribadah kepada-Nya.” (QS. Al-Nahl [16]: 114).

Ketiga, makanan yang diperoleh secara halal pada dasarnya tidak boleh dihabiskan untuk dikonsumsi sendiri, tetapi sebagiannya harus disedekahkan kepada orang lain.

Sedekah (kesalehan sosial) menentukan diterima tidaknya salat (kesalehan personal) Muslim. Ibadah individual dan ibadah sosial harus berjalan seimbang.

Orang yang mendustakan agama adalah orang yang hanya mementingkan ibadah individual, sementara ia melupakan ibadah sosial (QS. Al-Ma’un [107]: 1-7). Menutrisi hati sendiri melalui shalat dan zikir harus diimbangi dengan menutrisi hati orang lain dengan sedekah, infaq, wakaf, dan sebagainya.

Keempat, kemitraan dengan ulama dan ilmuwan  itu dapat menutrisi hati dengan ilmu, sehingga dapat meningkatkan kualitas keberagamaan Muslim. Karena, beribadah menjadi berkualitas jika dilandasi oleh ilmu yang benar, mendalam, dan luas.

Ilmu para ulama dan ilmuwan harus diamalkan dan disosialisasikan kepada orang lain agar masyarakat menjadi lebih mendekatkan diri dan bertaqwa kepada Allah.

Jika Allah menyatakan, “Yang takut kepada Allah hanyalah para ulama/ilmuwan di kalangan hamba-hamba-Nya” (QS.  Fathir/35: 70), maka berarti keberagamaan Muslim perlu dinutrisi dengan vitamin ilmu, ilmu agama maupun ilmu umum secara integratif.

Dengan demikian, pendekatan diri dan ketaatan kepada Allah, harus dibarengi dengan pendekatan diri kepada sesama, terutama para ulama.

Dan semua itu mengharuskan kita untuk peduli terhadap apa yang kita makan. Allah berfirman: “Maka hendaklah manusia  itu memperhatikan makanannya.” (QS. ‘Abasa/80: 24).

Pertanyaannya, sudahkah kita semua memperhatikan halal dan thayyib (sehat, bergizi, dan cocok untuk kebutuhan tubuh kita) tidaknya makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari?

Kedua kriteria (halal dan thayyib) tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat peduli terhadap isi perut manusia berikut dampak yang ditimbulkannya.

Bukankah makanan yang minuman itu sumber energi dan kekuatan fisik dan psikis, sekaligus sumber segala penyakit jika tidak diperhatikan?

 

Oleh Muhbib Abdul Wahab

REPUBLIKA

Salam Pagi, Jadikan Harimu Berbunga

BARU saja datang berjalan menuju tanah saudara saya yang akan segera dibangun rumah. Wilayahnya dekat pondok kami. Nuansanya rindang dengan pepohonan pinggir jalan dan rerumputan alami di sekitarnya.

Pagi itu, sisa tetesan embun masih terlihat dan terasa. Sejuknya alam desa saat kecil dulu bisa di rasa di tengah kota Surabaya ini. Lalu, sesempurna itukah? Tak adakah onak dan duri?

Bagaimanapun, tak ada kesempurnaan yang sempurna di dunia ini. Mengharapkan kesempurnaan selain Allah adalah kesia-siaan. Menghukumi kekurangan seseorang sebagai sebuah kesalahan mutlak adalah keteledoran. Nikmati saja jalan hidup dengan segenap kisah dan pernak perniknya.

Sedang diuji atau diterpa musibah? Itu adalah bagian pernak pernik kehidupan. Apakah ujian itu sebagai cara Allah menguji kekuatan manusia? Berikut fatwa dari ulama, “Ujian dalam kehidupan bukanlah ujian untuk kekuatan dirimu, melainkan ujian sekuat apa permohonan pertolonganmu kepada Allah, kepercayaanmu kepada Allah. Dekatlah kepada Allah dan tawakkallah kepadaNya, maka segala sesuatu akan mendekat kepadamu.”

Subhanallaah, dahsyat bukan? Masihkah akan menuhankan logika dan kekuatan diri dalam menyelesaikan masalah? Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH

Renungan Sebelum Tidur

JAUHI kesedihan menjelang tidur agar tidur kita menjadi tidur yang berkualitas, tidur yang menyehatkan, tidur yang menyebarkan semangat. Bagaimana caranya? Buang kesedihan dengan meningkatkan pengharapan kepada Dzat Yang Maha Mewujudkan Harap.

Coba ikuti kata para ulama berikut ini: “”Janganlah terlalu berputus asa saat engkau kehilangan sesuatu yang indah, karena kadangkala sesuatu yang indah itu harus pergi dulu untuk bisanya hadir sesuatu yang lebih indah.”

Adakah sesuatu yang indah yang terlepas hari ini? Bayangkan saja sesuatu yang lebih indah akan hadir besok pagi, besok siang atau besok malam atau bahkan besok-besok yang waktunya yang tepat menjadi rahasia Allah. Anda tak kehilangan apapun? Syukurilah ketika nikmat itu masih bersamamu. Lalu dimanakah letak keluhan? Tak ada tempat baginya, tempat hanya untuk syukur dan sabar.

Tersenyumlah, letakkan kepala di bantal yang tepat dan dengan cara yang tepat. Yakinkan bahwa tubuh Anda sudah sampai duluan ke kasur sebelum kepala Anda. Bacalah doa dan terpejamlah. Sampai jumpa esok. Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

MOZAIK

Silaturahmi Resep Berumur Panjang

SAHABAT berkata kepada Rasulullah saw, “Ajari aku sebuah amalan agar umurku panjang.”

Rasul pun memberi resepnya, “Jika kau ingin umurmu panjang, sambunglah silaturahmi !”

Kita sering mendengar hadis dari Rasulullah saw tentang “Silaturahmi Memperpanjang Umur”. Panjang umur ini memiliki dua makna, umurnya yang telah ditentukan diberi tambahan oleh Allah atau diberi tambahan keberkahan dalam umurnya.

Mungkin kita bertanya, bukankah umur manusia telah ditentukan? Bagaimana bisa umur kita berubah atau bertambah?

Memang umur manusia adalah sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah. Namun Allah memiliki wewenang untuk merubahnya, bukankah Allah berfirman,

“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia Kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab.” (QS.Ar-Rad:39)

Dan pada ayat lainnya Allah Mengisyaratkan pula tentang penambahan umur manusia.

“Sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Dia Mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan.” (QS.Nuh:3-4)

Jangan bertanya, “apakah bisa umurku bertambah” sementara kita sendiri tidak tau berapa batas umur kita. Mungkin ketentuan umur kita adalah 40 tahun tapi masih hidup hingga umur 45 tahun, tanpa kita sadari sisa umur itu adalah bonus tambahan dari Allah swt.

Jika kau ingin umurmu panjang, sambunglah silaturahmi. Resep yang amat singkat dari lisan suci Rasulullah saw. Karena silaturahmi termasuk amalan yang akan dibalas langsung di dunia seperti halnya berbakti kepada orangtua.

Bentuk dari silaturahmi juga bermacam-macam. Ada yang berupa kunjungan kepada kerabat yang mungkin telah lama tak bertemu dan bisa pula berbentuk bantuan kepada kerabat yang membutuhkan.

Silaturahmi juga ada tingkatannya. Jika kita sedang datang kepada kerabat yang membutuhkan, maka wujud silaturahmi kita adalah membantunya sesuai dengan kemampuan kita. Jika hanya menengok lalu membiarkannya dalam kesulitan tanpa ada usaha untuk membantu (padahal kita mampu untuk membantunya), lalu apa gunanya silaturahmi?

Jangan pernah bersedih jika kita telah menyambung silaturahmi tapi tidak ada balasan atau respon yang baik dari orang yang kita kunjungi. Jangan menyesal dan marah karena kita sedang berurusan dengan Allah bukan dengan mereka.

Jika kita bersilaturahmi karena orangnya, maka kita akan kecewa jika tidak ada balasan yang baik. Namun jika kita silaturahmi karena Allah dan Rasul-Nya, maka kita hanya berharap pahala dan balasan dari-Nya.

Dan orang-orang yang paling berhak dikunjungi dan dibantu adalah keluarga terdekat. Mereka harus mendapat perhatian lebih dari kita. Jangan sampai memperdulikan orang lain tapi menelantarkan sanak famili.

Silaturahmi memang punya pahala tersendiri, namun silaturahmi kepada sanak famili memiliki pahala dua kali lipat. Apalagi sanak famili itu juga menjadi tetangga kita, maka akan mendapat pahala 3 kali lipat. Maka perhatikanlah orang terdekatmu dahulu dan jangan lupa untuk memperhatikan kaum muslimin yang lainnya.

Karena itulah, mari kita sambung kembali tali silaturahmi yang mungkin mulai renggang. Kita harmoniskan kembali hubungan kita dengan sesama, terutama dengan kerabat dekat kita. Karena siapa yang memutus hubungan silaturahmi maka Allah akan Memutus hubungan dengannya di Hari Kiamat. [khazanahalquran]

 

MOZAIK

Menabung 20 Tahun, Tukang Tahu Ini Akhirnya Naik Haji

Keinginan kuat menjalankan ibadah haji terlihat dari sosok Dedi Somantri (63 tahun), warga Kampung Selaawi, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lelaki yang sehari-harinya berjualan tahu keliling ini sudah 20 tahun menabung agar bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.

Perjuangan untuk menggapai cita-citanya tersebut akhirnya membuahkan hasil. Tahun ini Dedi direncanakan berangkat ke Baitullah dengan tergabung dalam kelompok Terbang (Kloter) 87 Jakarta dan akan berangkat pada 22 Agustus 2017. “Saya mulai berjualan tahu keliling sejak 1990 lalu,” ujar Dedi kepada Republika.co.id, Kamis (27/7).

Sebelum berdagang tahu keliling, dia sempat berjualan abu gosok dan dedak selama 10 tahun atau tepatnya pada 1980. Sehari-harinya, dia berjalan kaki menjajakan tahu Sumedang mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB. Rute berjualannya mulai dari Pasar Cisaat, Kabupaten Sukabumi, hingga ke Kecamatan Gunungpuyuh, Kota Sukabumi.

Meskipun hidup dalam keterbatasan, Dedi mempunyai niat yang sungguh-sungguh untuk menunaikan ibadah haji yang dimulai sejak 1990 lalu. Pada tahun itu, dia menabung sejumlah uang untuk bisa mendaftar ibadah haji. Awalnya, dia menabung uang rata-rata sebesar Rp 3.000 per hari. Seiring perjalanan waktu, jumlah uang yang ditabungnya bertambah menjadi Rp 30 ribu per hari.

Menurut Dedi, penghasilannya sehari-hari dari berjualan tahu dan lontong keliling rata-rata mencapai Rp 50 ribu. Dari jumlah itu ditabungkan sebesar Rp 30 ribu dan sisanya Rp 20 ribu untuk makan serta memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Setelah menabung sejak 1990 hingga 2012 akhirnya terkumpul uang sebesar Rp 25 juta,” kata dia.

Dedi Somantri, penjual tahu keliling menjadi calon haji yang berangkat tahun ini. (Foto: Riga Nurul ImanRepublika)

Dengan modal uang tersebut, dia memberanikan diri untuk mendaftar haji ke Kementerian Agama (Kemenag) pada 10 Mei 2012. Setelah menunggu selama lima tahun, akhirnya Dedi bisa berangkat menunaikan ibadah haji pada 2017.

Selepas mendaftar, dia tetap menabung sebagai bekal untuk menunaikan ibadah haji sebesar Rp 1 juta sebulannya sejak 2012 lalu. Hingga lima tahun berlalu, tabungan tambahannya telah mencapai sebesar Rp 15 juta. “Niatnya, ibadah haji sujud di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi,” kata dia.

Dedi sudah melakukan persiapan, mulai dari belajar tata cara ibadah haji dan persiapan fisik. Selepas menunaikan ibadah haji, dia berencana akan beristirahat sejenak di Pesantren Al Hidayah yang dekat dengan rumahnya. Pesantren tersebut adalah tempatnya belajar dan beribadah.

Salah seorang tetangga Dedi, Mamah Salamah (63 tahun) mengatakan, warga setempat sudah mengetahui perihal Dedi yang akan berangkat menunaikan rukun Islam kelima. “Orangnya memang ulet dalam mencari rezeki dan berniat untuk menunaikan ibadah haji,” ujar Mamah.

Menurut dia, Dedi sehari-harinya berjualan tahu keliling dengan berjalan kaki sejak pagi hingga sore hari. Mamah pun berharap Dedi bisa menunaikan ibadah haji dengan lancar dan pulang dengan selamat.

 

IHRAM

Mudahnya Mengucapkan Kata Cerai

BANYAK dijumpai suami yang bermudah-mudah mengucapkan kata cerai kepada istrinya walau hanya karena perkara yang remeh. Bagaimana hukum syariat terhadap permasalahan seperti ini?

Jawab:

Samahatus Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz memberikan jawabannya, “Yang disyariatkan bagi seorang muslim adalah tidak sering-sering mengucapkan cerai bila ada pertikaian antara dia dengan istrinya, atau dalam percakapan dia dengan orang lain1. Karena Nabi bersabda:

“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”

Juga karena banyak mengucapkan talak akan berdampak buruk.Talak dibolehkan ketika ada kebutuhan. Bahkan terkadang mustahab bila ada maslahat atau akan timbul kemudaratan yang besar bila istri tetap dipertahankan.

Yang diajarkan oleh As-Sunnah adalah bila terpaksa talak maka yang dijatuhkan awalnya talak satu, sehingga masih memungkinkan bagi keduanya rujuk bila memang diinginkan selama si istri masih dalam masa iddah atau dengan akad nikah yang baru bila masa iddah telah berakhir.

Talak dijatuhkan seorang suami dalam keadaan istrinya hamil atau dalam keadaan suci yang dalam masa suci tersebut ia belum menggaulinya. Adapun bila si istri sedang haid, tidak boleh dijatuhkan talak. Karena Nabi pernah memerintahkan Ibnu Umar untuk kembali kepada istrinya yang ditalaknya dalam keadaan haid3. Ketika itu Ibnu Umar diperintahkan menahan si istri sampai suci dari haidnya tersebut.

Kemudian datang haid berikutnya sampai suci lagi, setelah itu ia boleh mentalaknya bila mau, namun dengan ketentuan ia sama sekali belum menggaulinya di masa suci tersebut. Nabi mengatakan kepada Ibnu Umar, “Itulah iddah yang Allah perintah untuk menceraikan istri dalam masa tersebut.”

Dalam lafadz lain yang diriwayatkan Al-Imam Muslim disebutkan bahwa Nabi berkata kepada Umar :

“Perintahkan dia -yaitu putra Umar, Abdullah- agar merujuk istrinya, kemudian setelah itu ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci atau dalam keadaan hamil.”

Tidak boleh seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas, atau di masa sucinya di mana ia telah menggaulinya. Adapun terhadap istri yang sedang hamil atau telah berhenti haid (menopause), tidak terlarang menjatuhkan talak atasnya berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan.

Ini merupakan tafsir terhadap firman Allah:”Wahai Nabi, apabila kalian mentalak para istri kalian maka talaklah mereka di masa mereka dapat menghadapi iddah mereka.” (Ath-Thalaq: 1)

Tidak boleh pula langsung menjatuhkan talak tiga pada istri dengan satu kalimat4 atau dalam satu kesempatan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan An-Nasai dengan sanad yang hasan, dari Mahmud ibnu Labid, bahwasanya sampai kepada Nabi berita adanya seseorang yang langsung menjatuhkan talak tiga kepada istrinya. Maka beliau bangkit dalam keadaan marah kemudian bersabda: “Apakah Kitabullah dipermainkan sementara aku masih berada di antara kalian (masih hidup)?”

Juga berdasarkan hadits di dalam Shahihain (dua kitab shahih) dari Ibnu Umar, ia berkata kepada orang yang langsung menjatuhkan talak tiga kepada istrinya:

“Sungguh engkau telah bermaksiat kepada Rabbmu dalam perkara yang diperintahkan-Nya kepadamu dalam urusan mentalak istrimu. “Allahlah yang memberi taufik. (Al-Fatawa, Kitabud Dawah, 92/234,244)

Di daerah kami ada orang-orang yang dalam percakapan mereka, berulang-ulang bersumpah dengan talak. Misalnya, “Sungguh telah jatuh talak kepada istriku”, “(Demi talak) kalau engkau melakukan ini atau bila engkau keluar ke tempat itu.” Padahal mereka semua yang mengatakan seperti ini punya istri. Apakah benar jatuh talak dalam keadaan seperti ini atau tidak?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin berfatwa, “Pertanyaan ini berisi dua masalah. Yang pertama: Keadaan orang-orang bodoh yang lisan mereka terbiasa mengucapkan kalimat talak dalam segala keadaan, yang remeh ataupun yang berat. Mereka ini telah menyelisihi bimbingan Nabi dalam sabda beliau:

” Siapa yang bersumpah maka hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau ia diam (jangan bersumpah).”

Bila seorang mukmin ingin bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah. Namun tidak sepantasnya ia banyak bersumpah walaupun dengan menyebut nama Allah, karena Allah berfirman:”Jagalah sumpah-sumpah kalian.” (Al-Maidah: 89)

Di antara penafsiran ayat ini adalah janganlah kalian banyak bersumpah (walau) dengan menyebut nama Allah.Adapun bila mereka bersumpah dengan menyebut talak, misalnya “Wajib bagiku talak (demi talak) kalau engkau melakukan itu” atau “Wajib bagiku talak bila engkau tidak melakukan ini dan itu.” Atau ia mengatakan, “Bila engkau melakukan itu maka jatuh talak kepada istriku”, “Bila engkau tidak melakukannya berarti jatuh talak pada istriku”, dan kalimat semisalnya, maka sumpah seperti ini menyelisihi bimbingan Nabi.

Banyak ahli ilmu bahkan mayoritasnya mengatakan bila seseorang bersumpah demikian maka jatuh talak kepada istrinya, walaupun pendapat yang rajih adalah bila talak digunakan dalam sumpah dengan tujuan menghasung untuk melakukan sesuatu, melarang dari sesuatu, membenarkan atau mendustakan atau menekankan suatu perkara maka hukumnya sama dengan hukum sumpah, berdasarkan firman Allah :”Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, karena ingin mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian semuanya untuk membebaskan diri dari sumpah kalian, dan Allah adalah Pelindung kalian dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Memiliki hikmah.” (At-Tahrim: 1-2)

Dalam ayat di atas, Allah menjadikan tahrim (pengharaman yang dilakukan Nabi) sebagai sumpah.

Juga berdasar sabda Nabi: “Amalan itu tergantung dengan niatnya. Dan masing-masing orang memperoleh apa yang ia niatkan.”

Orang yang bersumpah dengan menyebut talak tidaklah berniat mentalak istrinya. Ia hanyalah meniatkan sumpah atau meniatkan makna sumpah. Maka bila ia melanggar sumpahnya, wajib baginya membayar kaffarah sumpah8. Inilah pendapat yang rajih.

Masalah yang kedua: bersumpah untuk mengharuskan orang lain (agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu) baik dengan menyebut talak, dengan menyebut nama Allah atau dengan menyebut salah satu sifat Allah, merupakan tindakan yang memberatkan orang lain, bahkan terkadang memudaratkan orang lain. Dengan begitu, tanpa ragu dikatakan bahwa sumpah demikian bisa memberatkan mahluf alaihi (orang yang dinyatakan sumpah di hadapannya atau disebut dalam sumpah).

Misalnya orang yang bersumpah mengatakan kepadanya, “Wajib bagiku talak (demi talak) kalau engkau tidak melakukan hal itu”.). Bisa pula memberatkan orang yang bersumpah (halif).

Mahluf alaihi terkadang melakukan apa yang disebutkan dalam sumpah dengan menanggung kesulitan/kepayahan sehingga jelas hal ini memberatkannya. Bisa jadi ia tidak melakukan apa yang disebutkan dalam sumpah tersebut karena adanya kesulitan. Akibatnya halif harus membayar kaffarah sumpah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :”maka kaffarah melanggar sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa engkau berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Siapa yang tidak mendapatkannya (tidak mampu melakukannya) maka kaffarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarah sumpah kalian bila kalian bersumpah (lalu melanggarnya)” (Al-Maidah: 89)

Allah menyebutkan kaffarah sumpah itu ada empat perkara. Tiga perkara darinya boleh dipilih mana yang mau dilakukan (takhyir), apakah memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Kaffarah yang satunya sebagai tartib (urutan berikutnya), bila seseorang tidak dapat melakukan tiga perkara yang telah disebutkan maka ia berpuasa tiga hari berturut-turut.

Dalam firman Allah :”Siapa yang tidak mendapatkannya (tidak mampu melakukannya)”dihilangkan penyebutan obyeknya agar mencakup orang yang tidak mendapatkan makanan untuk diberikan kepada fakir miskin, atau tidak mendapatkan pakaian, atau tidak mendapatkan dana untuk memerdekakan budak, dan mencakup pula orang yang tidak mendapatkan fakir miskin untuk diberikan makanan atau pakaian, atau tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakan.

Berdasarkan hal ini, bila engkau berada di suatu negeri yang di situ tidak ada orang-orang fakir maka boleh bagimu berpuasa tiga hari sebagai kaffarah sumpahmu, karena pantas dikatakan engkau sebagai orang yang tidak mendapatkan. (Fatawa Nurun alad Darb, hal. 85). [Asysyariah]

 

MOZAIK

Maksum, Tukang Becak yang Akhirnya Naik Haji

Penantian Maksum bin Wahab (79 tahun), untuk dapat beribadah ke Tanah Suci sebentar lagi tercapai. Dari hasil menabung selama puluhan tahun, Maksum yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak akhirnya akan berangkat haji pada Sabtu (29/7).

Maksum tercatat sebagai calon jemaah haji kloter 6 yang diberangkatkan dari Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada Sabtu. Ia akan masuk asrama haji bersama jamaah satu kloternya pada Jumat (28/7). Ia bergabung dalam Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Muhammadiyah Surabaya.

Pria asal Desa Bates, Kecamatan Blegan, Kabupaten Bangkalan, Madura, tersebut mengaku menyisihkan sedikit demi sedikit uang hasil bekerja mengayuh becak. Sehari-hari, ia mangkal di depan pusat perbelanjaan ITC Surabaya yang juga dekat dengan tempat tinggalnya.

Rumah Maksum di Jalan Kapasan Samping III Kecamatan Simokerto hanya berjarak beberapa puluh meter dari pusat perbelanjaan tersebut. “Cita-cita naik haji mulai saya masih muda. Daftar haji tahun 2010 diantar menantu saya, nunggu tujuh tahun baru bisa berangkat,” kata pria kelahiran 1938 tersebut saat ditemui di kediamannya, Kamis (27/7).

Maksum bercerita, ia berasal dari keluarga tidak mampu di Madura. Ayahnya hanya kuli panggul, sedangkan ibunya meninggal sejak ia kecil. Setelah menikah, ia diajak pamannya untuk merantau ke Surabaya menjadi kuli panggul mengikuti ayahnya.

Ia kemudian beralih profesi menjadi pengayuh becak. Nahas, pada 1996, istrinya meninggal dunia. Bapak 13 anak, tujuh di antaranya meninggal, tersebut justru semakin giat bekerja agar bisa menyempurnakan rukum Islam beribadah ke Tanah Suci.

Ilmu yang diperoleh dari mengaji semakin menggiatkan niatnya untuk berangkat haji. “Kalau ngaji rukun iman itu kan salah satunya percaya sama takdir Allah. Saya percaya takdir dari Allah untuk naik haji,” kata kakek puluhan cucu tersebut.

Demi mencapai cita-citanya, Maksum menyisihkan rupiah demi rupiah setiap harinya. Dari mengayuh becak, Maksum mendapat penghasilan rata-rata Rp 50 ribu per hari dan paling sedikit Rp 20 ribu sehari.

Pada 2010, ia meminta Rusdi, menantunya, untuk mendaftar tabungan haji di salah satu bank milik pemerintah. Saat itu, ia membawa KTP, KK dan uang Rp 20 juta sebagai syarat untuk mendapat kursi. Setiap bulan ia menyetor sekitar Rp 500 ribu – Rp 1 juta ke bank hingga lunas pada tahun ini.

“Sambil nunggu berangkat haji saya berusaha terus bekerja dan berdoa. Kalau sudah sampai Makkah saya mau berdoa agar menjadi haji yang mabrur,” katanya.

Sebelum berangkat haji, selain mengikuti manasik, Maksum menjalani persiapan pribadi berupa olahraga ringan. Setiap hari ia berjalan kaki keliling kampung agar tetap bugar. “Habis naik haji nanti saya tetap bekerja menjadi tukang becak,” ujarnya.

Tahun ini, total calon jamaah haji yang berangkat dari Embarkasi Surabaya tercatat sebanyak 36.644 calhaj. Mereka terbagi menjadi 83 kloter yang akan diberangkatkan dari Bandara Juanda mulai 28 Juli sampai 11 Agustus 2017.

 

IHRAM

Kursi Roda Jamaah Haji Diberi Pita Warna

Semua koper jamaah haji akan diberi tanda pita yang sama dengan stiker yang ditempel di buku paspor. Kursi roda jamaah haji juga akan diberi pita warna serupa, stiker, dan bendera Indonesia.

“Masalah kursi roda ini krusial karena pada tahun lalu banyak jamaah kehilangan kursi roda yang dibawa dari Tanah Air,” kata Kepala Daker Bandara Arsyad Hidayat saat meninjau kesiapan fasilitas di Bandara Amir Mohammed Bin Abdulaziz, Madinah, Kamis pagi (27/7).

Berdasarkan pengalaman tahun lalu, banyak kursi roda milik jamaah ditaruh di bagian lost and found (barang hilang) karena tidak ada identitas. Letak bagian barang hilang ini juga posisinya jauh dari lokasi jamaah di bandara sehingga mereka kesulitan mendapatkan kursi rodanya.

“Coba bayangkan bagaimana jamaah yang sudah tua, yang sangat membutuhkan kursi roda tapi tidak bisa mendapatkan kursi rodanya,” ujarnya.

 

IHRAM

Nabi Minta Lampu Dimatikan Ketika Tidur, Ada Apa?

NABI Muhammad SAW memerintahkan kita untuk mematikan lampu-lampu kala malam hari (ketika hendak tidur). Setelah beberapa tahun dilakukan penelitian ilmiah modern tentang efek cahaya terhadap manusia dan lingkungannya, kajian itu menghasilkan fakta mengejutkan.

Kajian itu memaksa penelitinya mengatakan:” Sungguh benar Nabi kaum kaum Muslimin.” Maka mematikan lampu di malam hari adalah salah satu bentuk mukjizat ilmiah Nabawiyah yang melindungi manusia dan lingkungannya dan pencemaran cahaya, yang muncul disebabkan cahaya yang berlebih, yang mengenai tubuh seseorang di malam hari.

Nabi kita yang tercinta, Muhammad shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita tentang bahaya lampu, apabila kita membiarkannya menyala ketika kita tidur. Dan peringatan dari Nabi tersebut terdapat dalam banyak riwayat, di antaranya ada yang disebutkan alasan dari peringatan tersebut, yaitu khawatir terjadi kebakaran, dan sebagiannya lagi tidak disebutkan alasan dari perintah memadamkan lampu di malam hari, agar perintah tersebut berlaku umum, dan sebagai bentuk kasih sayang Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada seluruh makhluk di setiap tempat dan zaman.

Di antara hadits-hadts tersebut adalah sebagai berikut:

Riwayat-riwayat yang disebutkan di dalamnya alasan untuk memadamkan lampu ketika hendak tidur di malam hari.

1. Dari Abu Musa radhiyallahu anhu, dia berkata: “Pada suatu malam terjadi kebakaran di salah satu rumah penduduk di Madinah (ketika penghuninya tertidur). Lalu hal itu diceritakan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda:” Sesungguhnya api ini adalah musuh kalian, karena itu apabila kalian hendak tidur, maka padamkanlah ia lebih dahulu.” (HR. al-Bukhari)

2. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tutuplah tempat air kalian, pintu rumah kalian, dan matikanlah lampu-lampu kalian, karena bisa jadi tikus akan menarik sumbu lampu sehingga mengakibatkan kebakaran yang menimpa para penghuni rumah.” (HR. al-Bukhari)

3. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersada: “Tutuplah oleh kalian bejana-bejana, rapatkanlah tempat-tempat minuman, tutuplah pintu-pintu, dan matikanlah lampu, karena setan tak dapat membuka ikatan tempat minum, pintu, dan bejana. Jika kalian tak mendapatkan penutupnya kecuali dengan membentangkan sepotong batang kayu kecil di atas bejananya dan menyebut nama Allah, maka lakukanlah. Karena tikus dapat merusak pemilik rumah dengan membakar rumahnya.” (HR. Muslim)

4. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersada: “Tutuplah oleh kalian pintu rumah, ikatlah kantong air tempat minuman, tutuplah bejana-bejana, dan matikanlah lampu, karena setan tak dapat membuka pintu terturup, melepas ikatan tempat minum, dan membuka bejana. Dan sesungguhnya tikus dapat merusak pemilik rumah dengan membakar rumahnya.” (HR. imam Malik dalam al-Muwatha dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya dan dishahihkan oleh al-Albani rahimahumullah). Dan masih ada lagi beberapa riwayat yang lain.

Riwayat-riwayat yang tidak disebutkan di dalamnya alasan untuk memadamkan lampu ketika hendak tidur di malam hari.

1. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, dia berkata: “Padamkanlah lampu-lampu di malam hari pada saat kalian tidur di malam hari, kuncilah pintu dan tutuplah bejana, makanan dan minuman.” (HR. al-Bukhari)

2. Dari Jabir radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersada: “Apabila malam telah datang (setelah matahari tenggelam), tahanlah anak-anak kalian (dari keluar rumah), karena setan bertebaran ketika itu. Apabila telah berlalu sesaat dari waktu Isya biarkanlah mereka, tutuplah pintumu, dan matikanlah lampu serta sebutlah nama Allah (mengucapkan bismillah pen)” (HR. Al-Bukhari)

Penjelasan Hadits

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam Fathul Bari, menukil perkataan dari imam al-Qurthubi rahimahullah:” Perintah dan larangan dalam hadits ini adalah bentuk bimbingan (pengarahan).” Beliau mengatakan: Dan mungkin juga bermakna anjuran (sunnah) Dan imam Nawawi rahimahullah menegaskan bahwa hal itu adalah sebagai bimbingan, karena hal itu adalah untuk kemaslahatan duniawi. Namun dikomentari bahwasanya hal itu terkadang dapat mendatangkan maslahat secara agama, yaitu penjagaan terhadap jiwa yang haram untuk dibunuh, dan penjagaan terhadap harta yang diharamkan untuk dihambur-hamburkan.

Dalam hadits-hadits ini disebutkan bahwa seseorang jika tidur seorang diri, dan di dalam rumhanya ada api, maka wajib bagi dia untuk memadamkannya sebelum tidur, atau melakukan sesuatu yang membuatnya aman dari kebakaran. Demikian juga kalau di dalam rumah ada sekelompok orang, maka wajib atas sebagaian mereka (memadamkannya), dan yang paling berkewajiban adalah yang paling terakhir tidur.”

Pandangan Ilmuwan Modern

Para ilmuwan saat ini berbicara tentang polusi cahaya pada malam hari, serta berbicara tentang bahaya terkena cahaya yang berlebih, terutama saat tidur.

Sebuah riset ilmiah terbaru menegaskan bahwa tetap menyalanya lampu pada saat tidur akan mempengaruhi proses biologis yang ada di dalam otak manusia, dan hal tersebut akan menyebabkan gangguan-gangguan yang mengakibatkan kegemukan. Oleh karena itu para ilmuwan berpesan agar kita senantiasa mematikan lampu pada malam hari dalam rangka memelihara kesehatan tubuh dan otak.

Dan pesan yang baru diketahui oleh para ilmuwan pada abad 21, telah disampaikan sebelumnya oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sejak 14 abad yang lalu. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits shahih: “Padamkanlah lampu-lampu di malam hari pada saat kalian tidur di malam hari, kuncilah pintu dan tutuplah bejana, makanan dan minuman.” (HR. al-Bukhari)

Biolog Joan Robert mengungkapkan bahwa tubuh baru bisa memproduksi hormon melatonin ketika tidak ada cahaya. Hormon melatonin ini adalah salah satu hormon kekebalan tubuh yang mampu memerangi dan mencegah berbagai penyakit, termasuk kanker payudara dan kanker prostat. Orang yang tidur dalam kondisi gelap, maka tubuhnya bisa memproduksi hormon ini.

Sebaliknya, tidur dengan lampu menyala di malam hari, sekecil apapun sinarnya menyebabkan produksi hormon melatonin akan berhenti. Pentingnya tidur di malam hari dengan mematikan lampu juga diteliti oleh para ilmuwan dari Inggris. Peneliti menemukan bahwa ketika cahaya dihidupkan pada malam hari, bisa memicu ekspresi berlebihan dari sel-sel yang dikaitkan dengan pembentukan sel kanker.

Sebuah konferensi tentang anak penderita leukimia yang diadakan di London juga menyatakan bahwa orang bisa menderita kanker akibat terlalu lama memakai lampu waktu tidur di malam hari dibandingkan dengan yang tidak pernah memakai lampu waktu tidur.

Subhanallah demikian luar biasa tuntunan Rasulullah. Setelah berabad-abad, hikmah medisnya baru terungkap. Wallahu alam bish shawab. []

 

MOZAIK

Kehidupan Dunia Sangat Singkat Seperti Pagi-Sore

MANUSIA akan merasakan dahsyatnya Hari Kiamat. Dihari itu mereka sungguh kebingungan. Tak ada yang peduli dan tak ada yang membantu. Manusia berlarian berusaha menyelamatkan diri masing-masing.

Disaat seperti ini, manusia melihat kehidupan dunia begitu singkat. Hidupnya hanya seperti pendeknya waktu pagi ke sore.

“Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.”(An-Naziat 46)

Ketika kita sudah berpindah ke alam akhirat, kita baru sadar bahwa masa di dunia sangatlah singkat.

Dia (Allah) Berfirman, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung.” Dia (Allah) Berfirman, “Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar saja, jika kamu benar-benar mengetahui.”(Al-Muminun 112-114)

Lalu, masihkah kita akan bertengkar untuk masa sesingkat pagi dan sore ini?Akankah kita akan berebut untuk menumpuk bekal demi kehidupan yang akan segera berakhir ini?Apakah demi masa singkat ini, akan kita korbankan kehidupan akhirat yang abadi?

Sungguh tidak, ini adalah kebodohan terbesar. Dan tidak akan dilakukan oleh seorang yang mau mendengar dan melihat.

“Manusia itu tidur, saat mati baru ia tersadar”(Sayidina Ali bin Abi tholib).

 

INILAHcom