Syekh Umar Bakri Muhammad Jelaskan Kesesatan Syi’ah Rafidhoh

Syekh Umar Bakri Muhammad, dalam bukunya Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Keimanan, Sifat, dan Kualitasnya (Gema Insani, Jakarta 2005) menjelaskan perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Ahlus Syi’ah. Dalam bukunya yang lain, Islam Standar, Melacak Jejak Salafusshaleh (Cicero, Jakarta, 2010), beliau juga menjelaskan pandangan ulama terhadap Syi’ah Rafidhoh. Berikut penjelasannya.

Siapakah Syi’ah Rafidhoh?

Dalam penggunaan di bidang politik, sunnah atau Ahlus Sunnah berarti sekelompok masyarakat (komunitas) yang berlawanan dengan Syi’ah (kita tidak bicara tentang Syi’ah di masa Imam Ali r.a., mereka dari kalangan Ahlus Sunnah. Kita bicara tentang kelompok Syi’ah Rafidhoh yang ada sekarang ini). Sehingga ketika dikatakan Ahlus Sunnah, kita mengartikannya seseorang yang percaya bahwa khalifah pertama adalah Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman, dan Ali r.a. Sedangkan kelompok Syi’ah Rafidhoh berbicara tentang 12 imam dan pengetahuan mereka tentang hal gaib serta kesempurnaan mereka.

Untuk alasan persoalan ini, sesungguhnya ada persoalan yang sangat penting yang membedakan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah Rafidhoh selain keduanya berada dalam jalan yang berbeda. Lalu siapakah yang dimaksud dengan golongan Syi’ah Rafidhoh?

Syekh Umar Bakri menjelaskan hakikat Syiah Rafidhoh secara terperinci di dalam bukunya Ahlus Sunnah wal Jama’ah di halaman 73. Menurut beliau, As Syi’ah Ar –Raafidiyah dewasa ini dikenal juga dengan nama kaum Ja’fari, Imamiyah, dan Istna Asy’ariyyah (imam 12), yang tidak sama dengan kaum Syi’ah di masa Imam Ali. Mereka sesungguhnya mengikuti ide dan ajaran seseorang bernama Abdullah bin Saba.

Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi dari San’a di Yaman. Ibunya bernama Sauda. Abdul Hasan Asy’ari member komentar tentang Abdullah bin Saba:

“Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi. Dia menyimpan kemarahan yang hebat di hatinya terhadap keyakinan baru (Islam) yang menghancurkan dominasi kaum Yahudi dan kekuasaan terhadap kaum Arab di Madinah dan Hijaz. Dia memeluk Islam pada masa khalifah Utsman. Dia berpergian ke kota-kota seperti Hijaz, Basra, Kufah, dan Syria. Ke manapun dia pergi dia akan mencoba sebisa mungkin untuk meminta pandangan setengah penduduk kota tersebut. Akan tetapi, dia tidak dapat mewujudkan maksud baiknya.

Kemudian dia pergi ke Mesir dan menetap di sana. Dia mulai berjuang untuk merendahkan dan mengejek keyakinan masyarakat dengan mempercantik rencana jahatnya menjadi sesuatu yang elegan dan kenyataan yang bagus. Dia mendapati bahwa iklim opini di Mesir sangat menyenangkan untuk mewujudkan maksud jahatnya. Dia membuat jalan bagi kelancaran rencananya dengan pernyataannya, “Aku sungguh terkejut dengan sifat kalian. Kalian menyatakan tentang kebangkitan Kristus anak laki-laki Maryam ke dunia. Akan tetapi kalian mengingkari kebangkitan Muhammad ke dunia ini!”

Dia terus menghujamkan pendapatnya ke benak masyarakat, sehingga beberapa minggu kemudian orang-orang terperangkap pendapatnya dan mulai percaya bahwa Rasulullah akan bangkit kembali. Penyakit kedua yang dia sebarkan adalah bahwa masing-masing rasul punya seorang pelaksana yang menjalankan keinginannya. Dia akan mengatakan ‘Hai orang-orang, Ustman merebut kekuasaan dari Ali dan menyiksanya. Oleh karena itu, bangkitlah untuk berjuang dan mengembalikan pemerintahan kepada yang berhak. Kritiklah penguasa kalian dan ingkari apa yang mereka katakan dan yang mereka bangun. Dengan jalan ini kalian akan memenangkan hati masyarakat. Ibnu Saba juga mengorganisasi s ebuah brigade yang terdiri dari teman-teman dan sahabatnya untuk menyebarkan faham Mu’tazilah yang dia anut ke beberapa kota. Mereka saling berhubungan lewat surat untuk memantau perkembangan opini publik dan rencana jahat mereka yang pada akhirnya menuntut hidup khilafah sebelum pemilik halaman-halaman Kitabullah tergeletak di saat syahidnya.”

Waspada kepada Syi’ah Rafidhoh!

Syekh Umar Bakri menjelaskan dalam bukunya Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa tidaklah cukup tempat dalam buku ini untuk memaparkan akidah kelompok yang menyimpang ini. Akan tetapi, untuk tujuan menjawab perselisihan di antara umat karena kelompok muslim Sunni ingin mengadakan rekonsiliasi dengan kelompok Syi’ah, kami menyarankan agar berhati-hati dan mengingat bahwa Allah SWT., berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti.” (QS Ali Imran : 118)

Juga firman Allah SWT.,

“Jika (mereka berangkat bersamamu), niscaya mereka tidak akan menambah (kekuatan)mu, malah hanya akan membuat kekacauan, dan mereka tentu bergegas maju ke depan di celah-celah barisanmu untuk mengadakan kekacauan (di barisanmu) ; sedang di antara kamu ada orang-orang yang sangat suka mendengarkan (perkataan) mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang dzalim.” (QS At Taubah : 47)

Syekh Umar Bakri mengakhiri penjelasan tentang Syi’ah Rafidhah dengan mencuplik ulama Syi’ah yang terkenal dan masyhur, Nimatullah al-Jazairi, yang menulis dalam kitabnya “al Anwar an-Nimaniyyah,

“Kami tidak bersepakat dengan mereka (as-Sunnah) tentang Allah, Rasul, atau para Imam, karena mereka berkata, “Tuhan mereka mengutus Muhammad SAW., sebagai seorang Rasul dan penggantinya adalah Abu Bakar.” Sementara kita, kaum Syi’ah, tidak meyakini terhadap Tuhan yang mengirim pengganti dari Rasul-Nya yaitu Abu Bakar. Tuhan itu bukanlah Tuhan kami dan Rasul-Nya bukan Rasul kami.”

Pandangan ulama terhadap Syi’ah Rafidhoh

Di dalam bukunya yang lain, Islam Standar, Melacak Jejak Salafusshaleh (Cicero, Jakarta, 2010), Syekh Umar Bakri Muhammad menjelaskan pandangan ulama terhadap Syi’ah Rafidhoh, yakni di halaman 100.

Pertama kali diawali oleh peristiwa yang sempat menarik perhatian, yaitu dari Muhammad Yusuf bin Yusuf yang berada di Kuffah. Ketika Muhammad Yusuf melihat sekelompok orang menghina sahabat, dia memerintahkan sekelompok orang tersebut untuk dibunuh. Ketika dia ditanya tentang seseorang yang menghina Abu Bakar r.a., dia menjawab agar tidak menshalatkan (shalat jenazah) orang tersebut dan tidak menyentuh jenazah penghina sahabat dengan tangan, melainkan mendorongnya dengan kayu hingga masuk ke dalam liang kubur.

Ketika ditanya tentang Syi’ah Rafidhoh, Imam Malik berpendapat, “Jangan berbicara kepada mereka atau meriwayatkan dari mereka, sungguh mereka adalah pembohong.”

Dalam satu kesempatan Imam Syafi’i berkomentar tentang Syi’ah, “Saya tidak melihat di antara golongan ahli bid’ah yang lebih terkenal kedustaannya melebihi golongan Syi’ah Rafidhoh.”

Dalam kesempatan yang lain dia berkata, “Riwayatkan ilmu yang kamu jumpai dari siapa pun kecuali dari Syi’ah Rafidhoh, sebab mereka membuat hadits-hadits palsu dan menjadikannya sebagai bagian dari agama mereka.”

Disebutkan bahwa Ahmad bin Yunus berkata, “Jika seseorang Yahudi menyembelih seekor domba dan seorang dari golongan Rafidhoh menyembelih seekor domba, maka aku akan makan daging hasil sembelihan dari orang Yahudi sebab Rafidhoh adalah orang yang telah keluar dari Islam (murtad).”

Demikian juga, Imam Abu Bakar bin Haani memutuskan haram atas kaum Muslimin untuk memakan daging hasil sembelihan dari golongan Rafidhoh dan Mu’tazilah karena mereka telah kafir, tapi seseorang dapat makan daging dari orang-orang ahli kitab (sepanjang daging tersebut disembelih). Telah disebutkan bahwa Abdullah bin Idris berkata, “Golongan Rafidhoh (Syi’ah) tidak akan memiliki pembenaran dari perantara pada hari pengadilan nanti.”

Disumberkan dari Fudail bin Marzouk bahwa pertama kali dia mendengar dari hasan Ibnu Hassan berkata kepada seorang laki-laki dari golongan Rafidhoh, “Demi Allah, membunuhmu adalah suatu perbuatan/amal yang baik, yang maka aku beribadah kepada Allah dengannya! Hanya saja aku tidak melakukannya karena kamu adalah tetangga dekatku.”

Dalam sumber yang lain, percakapan itu berlanjut dan tetangganya merespon, “Semoga Allah memberkahimu. Aku tahu bahwa kamu sedang bergurau.” Hassan bin Hassan menimpali, “Aku tidak sedang bergurau! Demi Allah, jika Allah memberikan kekuasaan kepada kami, maka kami akan memotong tangan dan kakimu karena keingkaranmu pada petunjuk (Islam).”

Wallahu’alam bis showab!

 

ARRAHMAH

Mengucapkan Natal demi Menjaga Hubungan?

BOLEHKAH bertamu pada non muslim untuk mengucapkan selamat natal? Kebiasaan seperti ini masih dilakukan di sebagian tempat apalagi yang berada di tempat yang mayoritas tetangganya adalah Nashrani. Hal ini pun kita temukan pada sebagian pegawai ketika mengucapkan selamat natal pada atasannya yang non muslim.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat Natal dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?”

Beliau rahimahullah menjawab, Tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)

Adapun dulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena dulu ketika kecil, Yahudi tersebut pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam.

Bagaimana mungkin perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untuk menyampaikan selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita samakan seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan hanya mengikuti hawa nafsu.

 

INILAH MOZAIK

Menjalin Hubungan dengan Orangtua yang Musyrik

LIHATLAH kisah teladan berikut ini sebagaimana dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shohihnya dari Mushab bin Saad dari ayahnya (yaitu Saad) bahwa beberapa ayat Al Quran turun padanya. Dia berkata,

Ummu Saad (Ibunya Saad) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selamanya sampai dia kafir (murtad) dari agamanya, dan dia juga tidak akan makan dan minum. Ibunya mengatakan, Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu untuk berbakti pada kedua orang tuamu, dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan padamu untuk berbuat itu (memerintahkan untuk murtad, pen). Saad mengatakan, “Lalu Ummu Saad diam selama tiga hari kemudian jatuh pingsan karena kecapekan. Kemudian datanglah anaknya yang bernama Amaroh, lantas memberi minum padanya, namun ibunya lantas mendoakan (kejelekan) pada Saad. Lalu Allah menurunkan ayat,

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya” (QS. Al Ankabut: 8). Dan juga ayat, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku” (QS. Lukman: 15), yang di dalamnya terdapat firman Allah, “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Lukman: 15) (HR. Muslim no. 1748).

Hal di atas tidaklah menafikan bahwa kita tetap berbuat baik pada non muslim yang penting tidak berkaitan dengan ritual ibadah dan perayaan mereka. Allah Taala berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Quran Al Azhim, 7: 247). Mengenai surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan Asma binti Abi Bakr radhiyallahu anhuma-, di mana ibundanya Qotilah binti Abdil Uzza- yang musyrik dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. (Lihat Zaadul Masiir, 8: 236-237).

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma mengatakan, “Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.”

Sufyan bin Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (QS. Al Mumtahanah: 8)” (HR. Bukhari no. 5978). Semoga Allah memberi kita petunjuk pada akidah yang lurus. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Saudara ada yang Nasrani, Bolehkah Ucapkan Natal?

BOLEHKAH mengucapkan selamat natal pada kerabat? Karena barangkali di antara kerabat ada yang non muslim, bisa jadi orang tua, saudara atau yang masih punya hubungan dekat seperti hubungan mahram.

Allah Taala berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).

Ayat ini menunjukkan bahwa konsekuensi dari hamba yang beriman adalah mencintai orang yang beriman dan loyal padanya, serta benci pada orang yang tidak beriman dan menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya walau itu adalah kerabat dekat. Lihat Taisir Al Karimir Rahman, hal. 848.

Berarti dukungan apa pun pada agama dan perayaan kerabat yang non muslim tidak dibolehkan. Termasuk bentuk dukungan yang tidak boleh adalah menghadiri perayaan non muslim seperti perayaan natal. Ibnul Qayyim menuturkan bahwa Allah telah menyebut perayaan non muslim dengan istilah “az zuur”. Inilah yang dimaksudkan dari ayat, “Dan orang-orang yang tidak menghadiri az zuur” (QS. Al Furqan: 72). Adh Dhahak menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah perayaan orang-orang musyrik. (Ahkam Ahli Adz Dzimmah, hal. 492)

Ibnul Qayyim menerangkan, “Sebagaimana mereka tidak boleh menampakkan hari raya mereka di tengah-tengah kaum muslimin, kaum muslimin pun tidak boleh turut serta, membantu dan hadir dalam perayaan mereka tersebut. Hal ini telah disepakati oleh para ahli ilmu (para ulama) dan telah dinyatakan oleh para ulama empat madzhab di kitab-kitab mereka.” (Idem)

Untuk menghadiri perayaan tersebut saja tidak boleh, apalagi sampai kaum muslimin yang merayakan atau membuat acaranya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah memiliki kata sepakat akan tidak bolehnya orang kafir menampakkan perayaan hari raya mereka di tengah-tengah kaum muslimin. Maka bagaimana mungkin kaum muslimin yang dibolehkan merayakannya? Atau mau dikata kalau muslim tidaklah masalah dari merayakannya daripada kafir yang merayakannya terang-terangan?!” (Iqtidha Ash Shirothil Mustaqim, 1: 510).

Bentuk dukungan yang tidak boleh ada pula adalah mengucapkan selamat natal. Ibnul Qayyim berkata, “Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma (kesepakatan) para ulama.” (Ahkam Ahli Adz Dzimmah, hal. 154).

 

INILAH MOZAIK

Berjuang Keras untuk Satu Isteri

Saya teringat sebuah dialog dengan “Sang Direktur” di salah satu instansi, dia memiliki posisi yang cukup strategis, dan cukup basah kata kebanyakan orang. Kami bersilaturahim ke rumah beliau dan isterinya, obrolan pun mengalir hangat dan sangat penuh kekeluargaan.

“Sudah makan malam belum nih, aku siapkan ya?” ujar sang isteri.

“Tidak usah Bu, 15 menit yang lalu kami barusan makan malam di Warung Lawu!” balasku.

“Ah, Warung Lawu! Kok mau sih makan di restauran itu?” tanyanya gemas.

“Memangnya kenapa bu, haram?” tanyaku penasaran.

“Kita sih ibu-ibu di sini udah pada boikot itu restauran, karena yang punya itu restauran ‘doyan isteri banyak’! Wah enggak bakalan deh makan di situ lagi!” Sambil tertawa renyah dan Sang Direktur mengiyakan isterinya dengan tersenyum manis.

Tak disangka dialog semakin hangat dan mengalir ke sisi perilaku umum para pejabat di instansi Sang Direktur berkantor, dimana terdengar, banyak dari pekerja ataupun pejabat yang melakukan hubungan tak wajar. Mereka dengan mudahnya menyebut si fulan ini, si fulan itu punya simpanan di sana-sini di luar nikah, entah dengan wanita tuna susila, dengan karyawatinya atau pun rekan selingkuhan. Isteri sang direktur itu sangat antusias menceritakan kasus “mereka”, dan ibarat nara sumber lah sang isteri tersebut, sambil diikuti tawa dan senyum dari suaminya layaknya suami setia di samping isterinya. Di sisi lain hatiku menolak melanjutkan pembicaraan semacam ini, “tidak ada manfaatnya dan hatiku gerah,” gumamku.

“Kalau saya gimana, ibu yakin enggak?” Tanya Sang Direktur kepada istrinya.

“Kalau saya sih yakin sekali suamiku tak begitu loh. Bapak sudah berkali-kali ikrar untuk enggak kayak gitu kan”. sambil mereka berdua saling berpegang tangan mesra, begitu pun sambutan suaminya dengan senyuman.

Beberapa minggu menjelang, aku bertemu dengan seorang rekan usaha. Sewaktu kami sedang asyik ngobrol, tiba tiba rekanku itu menerima telepon,

“Pak Fulan, apa kabar …?” Jawabnya, dan berlanjut dengan obrolan urusan pekerjaan.

Di akhir pembicaraan, di seberang telepon terdengar, “mas, tolong dikirimkan ‘yang biasa’ ke hotel ini, rang saya di …., sekarang ya! lagi lelah dan tegangan tinggi nih! Saya enggak kuat nahannya. Ya sekitar jam 11 malam deh, aku tunggu ya …? Pintanya”.

“Siap Pak, beres semuanya.” ujar rekanku sambil menutup pembicaraan teleponnya.

Aku merasa kenal dengan sebutan nama yang menelepon rekanku itu, tak sabar aku bertanya, “itu pak Fulan si Sang Direktur?” tanyaku.

“Betul, dia memang selalu minta gituan kalau sedang di sini, gue nih yang jadi repot nyariin ‘yang Biasa’ nya,” ujar rekanku.

Terbayang olehku bagaimana wajah isterinya yang begitu sangat yakin atas kesetiaan Sang Direktur. Tak di sangka bahwa “Sang Direktur” termasuk salah satu pelaku dari pergaulan ilegal. Aku segera tutup masalahnya, dan berlalu dari rekanku tadi.

 

 

Lain lagi cerita klien bisnisku yang lain. Dan aku yakin dengan mata kepalaku sendiri, dia selalu berujar kepadaku pada dua atau tiga kali kunjungan ke luar kota atau pun ke luar negeri bilamana bersama dengannya, “Aduh gue tak tahan nih, gue harus nyari nih. Gue pusing kalau di luar kota gini, mau bertualang ah! Mungkin orang jepang, asyik kali ya, beda rasanya nih, atau mungkin orang Itali asyik ya,” begitu seterusnya. Dan itu selalu ia realisasikan pada penghujung malamnya, kutahu setelah dia bercerita pada keesokan paginya.

Hatiku perih bilamana mendengar itu, dan sesekali kuucapkan Astagfirullah, Ya Allah tolong jagalah jiwa ini dari godaan seperti itu…, karena kuakui celotehan tersebut bilamana tidak kita waspadai akan bisa menyeretku ke arah tersebut. Dan aku berjuang keras untuk itu.

Kuakui kondisi tersebut menjadi suatu pembicaraan umum di kalangan para pebisnis atau eksekutif di kota ini. Bukan saja hal itu terjadi di kantor Sang Direktur atau rekanku saja, tetapi banyak cerita pula yang terjadi di perkantoran lainnya. Dunia semakin aneh, gumamku. Tapi aku masih optimis bahwa kejadian seperti di atas belum menjadi mayoritas perilaku para eksekutif di negeri ini, kuharap …

Jadi siapa yang seharusnya kita benci dan boikot? Warung Lawu dengan beberapa isterinya, yang meraihnya dengan cara yang halal, atau lelaki seperti Sang Direktur atau rekanku tersebut?

Akhirnya aku mencoba menelaah apa yang terjadi. Aku buka Alquran dan beberapa buku literatur, akhirnya kudapat sebuah jawaban, sesungguhnya Allah paling mengetahui karakter ciptaan-Nya, prinsipnya kaum adam itu mempunyai potensi dan hasrat yang kuat untuk pemenuhan psikologis terhadap wanita. Mereka juga butuh kasih sayang lebih dari kaum hawa. Terlebih itu kaum adam memiliki energi yang sangat kuat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya terhadap wanita. Semakin banyak semakin indah, itulah syahwat kaum adam berbicara. Nah, permasalahannya adalah bagaimana caranya untuk melampiaskan kebutuhan tersebut.

Hanya ada dua pilihan yang baik pikirku saat ini. Pertama, poligami yang halal, syariat memperbolehkan hingga memiliki empat isteri, tetapi ada dampak sosial yang saat ini masih menjadi kendala dan masih diributkan. Apalagi yang mempermasalahkan kebanyakan dari kaum hawa. Dan pilihan kedua, adalah berjuang keras untuk tetap beristeri satu , dengan alasan khawatir tidak adil, dampak sosial yang berat, atau hal lainnya.

Semua pilihan di atas pastilah tetap membutuhkan perjuangan. Bagi yang memilih poligami, dia harus berjuang untuk membahagiakan isteri-isterinya, menghadapi tantangan dampak sosialnya, harus berlaku adil, memperkuat ekonominya, memperkokoh silaturahim antar keluarga besar, dan itu semua butuh kerja keras dan berjuang pula. Selain itu memastikan bahwa poligami bukanlah menjadi penghalang perjuangan amal soleh tetapi justru menjadi penyokong gerakan amal solehnya.

Begitupun untuk alternatif kedua, yang berjuang keras untuk tetap beristeri satu. Hal ini pun butuh perjuangan yang tidak ringan, untuk menahan potensi kebutuhan psikologis maupun biologisnya untuk isteri lebih dari satu. Perjuangan untuk menekan keinginan hatinya, selalu menjaga dan mempertahankan kesetiaan, menutup celah godaan, dan menekan potensi kesenangan yang dihalalkan. Berjuang untuk membahagiakan seorang isteri dan anak-anaknya, dan banyak perjuangan lainnya yang tak bisa diutarakan di sini.

Nah, buat para kaum hawa yang memiliki suami seperti alternatif yang kedua ini, dan saya yakin makhluk seperti ini masih banyak tersebar di bumi ini, bersyukurlah. Hargailah suamimu, sayangi dan dukunglah suamimu sepenuh hati, hormati dia atas perjuangan kerasnya untuk memilih hanya seorang isteri di hatinya.

(Untuk seorang wanita yang mendampingiku hingga saat ini, adalah sebuah karunia-NYA yang indah dan telah diamanatkan kepadaku, seorang kekasih yang belum pernah sekali pun memperlihatkan wajah masam, atau amarah padaku sejak kita mengikat janji untuk mengarungi perjuangan kehidupan yang singkat ini. Terimakasih ya dukungannya, and All the praises and thanks be to Allah)

Oleh : Zidni T. Dinan

 

ERA MUSLIM

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Menyembunyikan Aib Sesama Muslim, Maka Allah Membalasnya…

Dari Ibnu Umar ra dan Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang ulama yang dikenal dengan nama Syekh ‘Utsaimin mengatakan jika seseorang melihat saudaranya melakukan kemaksiatan yang jelas, bila yang lebih utama menutupi aibnya maka sepantasnya untuk menutupnyai. Hanya saja jika aib itu menjadi kebiasaan yang buruk dari saudaranya, maka tidak mengapa untuk menasehatinya agar tidak melakukannya.

“Adapun masalah menutupi perbuatan buruknya, maka mungkin dilakukan jika engkau melihat bahwa maslahatnya adalah dengan cara menutupinya, baik yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan keji ataupun selainnya,” kata Syekh Utsaimin.

Berkaitan dengan hal ini terdapat kisah Khalifah Umar dengan lelaki tua. Suatu malam, seperti biasa Khalifah Umar berkeliling memeriksa rakyatnya, kali ini beliau ditemani Abdullah ibn Mas’ud. Pada tempat yang terpencil, mereka melihat kerlip dan sayup-sayup terdengar suara nyanyian.

Keduanya lalu berjalan menuju arah kerlip itu yang ternyata berasal dari sebuah rumah. Umar mengetuk rumah tersebut, akan tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab ketukan pintunya.

Dikisahkan dari buku yang berjudul ‘The Great of Two Umars’ bahwa Umar ra lantas memanjat ke atap rumah, da melihat seorang lelaki tua sedang duduk santai dan di hadapannya terdapat cawan minuman. Selain itu ada seorang  wanita yang sedang bernyanyi.

Sang Khalifah menampakkan diri seraya menghardik, “Belum pernah aku melihat pemandangan seburuk yang aku lihat malam ini! Seorang tua yang menunggu ajalnya! Hai musuh Allah, apakah engkau mengira Allah akan menutup aibmu, padahal engkau berbuat maksiat?”

Orang tua itu membela diri, “Tidak ada seorang muslim pun yang berhak berbicara dengan sesamanya dengan cara demikian. Mungkin aku telah berbuah salah, tetapi pikirkanlah berapa kesalahan yang telah engkau perbuat. Pertama, engkau telah mengintip, meskipun Allah memerintahkan, ‘Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.’ (al-Hujurat: 12).

Kedua, engkau masuk melalui atap, meskipun Allah memerintahkan, ‘Masuklah rumah-rumah dari pintu-pintunya.’ (Al-Baqarah: 189). Ketiga, engkau masuk tanpa seizin pemiliknya dan mengabaikan salam, meskipun Allah telah memerintahkan, ‘Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.’ (An-Nur: 27)

Mendengar jawaban tersebut, Khalifah Umar merasa sangat malu, dan mengundurkan diri seraya berkata, “Baiklah, aku memaafkan kesalahanmu.” Tapi, si pemilik rumah berujar, “Ini merupakan pelanggaranmu yang keempat karena seharusnya engkau berkata, bahwa engkau memaafkan yang salah dalam pandangan Allah?”

Umar hanya menjawab, “Engkau benar!” Lalu, ia pun keluar menggigit pakaiannya sambil menangis, “Celaka engkau, Umar, jika Allah tidak mengampunimu. Ada orang yang bersembunyi dari keluarganya. Sekarang dia berkata, ‘Umar mengetahuiku.’ Kemudian, keluarganya menguntitnya.”

Selama beberapa waktu, orang tua itu tidak pernah menghadiri majelis Khalifah Umar. Suatu hari, dia datang dan duduk di barisan paling belakang, seakan-akan dia mau bersembunyi dari pandangan Khalifah Umar. Namun, malang baginya, sang khalifah melihatnya dan memanggilnya. Kontan saja, orang tua itu berdiri dan berpikir bahwa khalifah akan mempermalukannya.

Di luar dugaan, Khalifah Umar berkata padanya, “Dekatkan telingamu padaku!” Lalu, ia berbisik padanya, “Demi yang telah mengutus Muhammad dengan hak sebagai Rasul, tidak seorang pun akan kuberi tahu apa yang telah kusaksikan pada dirimu. Begitu pula Ibnu Mas’ud yang bersamaku malam itu.”

“Ya Amirul Mukminin, dekatkan juga telingamu,” ujar orang tua itu, lalu giliran dia berbisik, “begitu juga saya. Demi yang mengutus Muhammad dengan hak sebagai Rasul, aku tidak pernah kembali pada perbuatan itu sampai aku datang ke majelis ini.”

Mendengar itu, Khalifah Umar bertakbir dengan keras, “Allahu Akbar!” Tentu saja, orang-orang yang hadir heran dan tidak mengetahui alasan Umar bertakbir. Akhirnya, kedua sahabat itu bersyukur karena telah berhasil menyembunyikan aib sesama muslim.

Seperti kisah di atas, tutuplah aib saudaramu dan jangan lupa mendoakannnya, agar segera bertobat di jalan Allah SWT.

 

REPUBLIKA

Penegakan Hukum Bisa Melebur Dosa Pelaku Kejahatan

BAGI seorang muslim, hukum yang paling adil adalah hukum Allah yang Maha Penyayang dan Bijaksana. Tidak ada hukum yang lebih baik dan lebih adil daripada hukum Allah. “Dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)

Seorang muslim juga yakin bahwa penerapan hukum Allah akan membawa kepada kebaikan bagi individu, masyarakat dan negara. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Suatu hukum yang ditegakkan di bumi lebih baik baginya daripada diberi hujan selama empat puluh hari.” (HR. Nasai 4904, Ibnu Majah 2538 dan dishahihkan al-Albani)

Tatkala Allah memerintahkan kita untuk menegakkan hukum bagi orang yang melakukan kriminal, pasti di sana ada manfaat dan tujuan di dalamnya, di antaranya:

(1) Menjaga kemaslahatan manusia

Islam menjaga kebutuhan pokok manusia berupa agama, jiwa, akal, nasab dan harta manusia. Adanya hukum tersebut adalah untuk menjaga kebutuhan pokok manusia. Hukum bagi murtad untuk menjaga agama, hukum qishosh untuk menjaga nyawa, hukum rajam untuk menjaga nasab, hukum potong tangan untuk menjaga harta dan hukum cambuk bagi peminum khomr untuk menjaga akal.

(2) Menegakkan keadilan di antara manusia

Keadilan adalah pokok syariat yang harus ditegakkan. Dan termasuk keadilan apabila orang yang bersalah dan melakukan kriminal harus dihukum, sebab bila pelaku dibiarkan saja maka akan menyebabkan suburnya kejahatan.

(3) Mewujudkan kasih sayang kepada pelaku dan masyarakat

Adanya hukuman dapat mengerem pelakunya dari tindak kejahatan dan menyadarkannya dari kekeliruannya selama ini yang semua ini merupakan kasih sayang Islam baginya, sebagaimana penegakan hukum ini dapat menyebabkan keamanan semakin tersebar di masyarakat. Syaikhul Islam mengatakan, “Hukuman itu adalah obat yang mujarab untuk mengobati orang-orang yang sakit hatinya. Dan ini termasuk kasih sayang Allah kepada hambaNya”. (Majmu Fatawa 15/290)

(4) Peringatan bagi masyarakat

Hikmah lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai peringatan bagi masyarakat agar tidak meniru perbuatan tersebut sehingga setiap kali mereka akan melakukan kriminal tersebut maka harus berfikir seribu kali. Oleh karenanya Islam mensyariatkan agar penegakan hukum itu disaksikan oleh masyarakat luas.

(5) Pelebur dosa bagi pelaku kriminal

Sesungguhnya penegakan hukum itu bisa melebur dosa pelaku kejahatan. Adapun bagi orang yang tidak mensucikan dirinya dari dosa dengan tobat atau penegakan hukum maka dia akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dan lebih pedih besok pada hari kiamat. (Al-Maqoshidul Syariyyah lil Uqubat fil Islam, Dr. Rowiyah Ahmad Abdul Karim, hlm. 65-73). [*]

 

INILAH MOZAIK

Jagalah Makananmu Maka Allah Akan Menjagamu

MasyaAllah, Sebanyak ini….?

Kuamati kembali daftar dzat halal dan haram yang tertera di dalam majalah tersebut. Aku benar-benar shock karena makanan yang selama ini masuk dalam tubuhku mengandung dzat haram. Ingin rasanya aku keluarkan kembali semua isi perutku tapi hal itu tidaklah mungkin. Penyesalan tidak ada gunanya justru saat inilah seharusnya aku banyak bersyukur kepadaNya. Dia Yang Maha Tahu telah mengingatkan aku betapa pentingnya menjaga setiap tetes dzat yang masuk ke dalam tubuh. Dia Yang Maha Tahu pula yang telah mengajariku bahwa dengan menjaga makanan kita, maka kita telah menjaga keimanan.

Saat ini, di negeri orang yang mayoritas penduduknya non muslim, aku merasakan betapa pentingnya arti makanan. Disaat yang lain makan dengan lahap, sementara kita harus teliti membaca kandungan dzat makanan kita. Disaat yang lain bebas memilih makanan kesukaan kita, sementara kita harus menahan rasa lapar yang mendera. Dan semua tidak semudah seperti yang aku bayangkan sebelumnya karena dzat-dzat itu tidak hanya menyeretku ke jurang kemalasan dan ke lembah kehinaan tetapi menutup semua jalan yang ingin aku lewati. “Ya” Aku jadi malas beibadah kepadaNya, dan Allah tidak memperkenankan aku bermunajat kepadaNya di malam hari karena tanpa aku sadari telah begitu banyaknya dzat haram yang masuk kedalam tubuh ini. Belum lagi urusan-urusan tiba-tiba jadi sulit untuk aku tembus.

“Kenapa dzat? Kenapa tidak langsung khamr, daging babi dan yang lainnya?”

Karena yang besar dan terlihat secara fisik biasanya lebih mudah untuk dihindari. Justru yang kecil dan tidak terlihat yang sulit sekali dihindari dan kita mudah terjebak. Pada awalnya, aku hanya mengetahui dzat 472e saja yang haram. Setiap kali membeli sesuatu, aku selalu mengeceknya dan semua berjalan lancar. Ibadah harian yang biasa aku kerjakanpun tidak ada masalah berarti. Sampai akhirnya aku menyadari “ada sesuatu yang tidak beres.” Aku sangat sulit… sekali bangun malam walaupun aku sudah mencoba berbagai macam strategi. Dan akhirnya aku menemukan daftar itu di sebuah majalah Islam. Aku bersihkan semua makanan yang mengandung dzat-dzat tersebut dan mulai saat itu aku memilih tidak makan kalau kandungan dzatnya tidak jelas atau meragukan. Subhanallah kini aku bisa bangun malam kembali, bermunajat kepadaNya, dan melaksanakan ibadah yang lain dengan lebih khusyuk. Allahpun membuka begitu banyak jalan kemudahan untukku dan segala urusan menjadi lancar. Alhamdulillah segala Puji Hanya Untuk Allah Yang Mencintai kebaikan dan hanya menerima sesuatu yang baik.

Ada kebiasaan hidup yang hampir sama antara Rasulullah, para sahabat, dan orang–orang sholeh, mereka selalu menjaga makanan mereka. Menggalakan puasa demi penyucian diri dan kedekatan dengan RobbNya.

Masih segar dalam ingatan kita kisah seorang pemuda yang menemukan apel di sungai, kemudian ia memakannya. Ditengah menikmati apel itu, ia tersadar bahwa apa yang ia makan bukanlah miliknya. Setelah mencari dan mencari, akhirnya ia dapat menemukan sang pemilik buah apel itu. Akhir cerita, sang pemilik pohon apel, menikahkan pemuda itu dengan salah seorang anaknya. Bukti keimanan terpancar dalam diri pemuda tersebut. Ia sangat menyadari bahwa setiap tetes makanan yang masuk kedalam tubuh pasti akan mempengaruhi kecintaannya pada Allah. Karena setiap output pasti tergantung dengan input maka makanlah makanan yang halal, cek dzat-dzat yang terkandung didalamnya, jangan remehkan yang kecil, karena kita bisa selamat dengannya atau bahkan terpuruk dilembah kehinaan karenanya. Jagalah makananmu, maka Allah akan menjagamu. Wallahu’a’lam bishshowab

 

ERA MUSLIM

Perhatikan Hal ini sebelum Menyemir Rambut!

HANYA saja yang perlu dicatat satu kaidah dalam masalah berhias dan dandan, tidak boleh meniru kebiasaan orang kafir, atau orang fasik. Karena ini dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,

“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum, maka dia bagian dari kaum itu.” (HR. Abu Daud 4031 dan dishahihkan al-Albani).

Karena itu, sebelum menyemir rambut, perlu diperhatikan kondisi orang yang rambutnya disemir. Jika mayoritas orang tidak baik, maka kaum muslimin tidak boleh menirunya. Apalagi sebagian masyakarat menganggap bahwa rambut disemir pirang atau coklat, ciri khas orang yang tidak saleh. Karena ini identitas anak-anak geng jalanan.

Meskipun bisa jadi ini boleh untuk wanita, dalam rangka tampil indah di depan suaminya. Tidak dihukumi tasyabuh, karena tidak nampak di luar.

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK

Awas! Rasulullah Melarang Bentuk Cukur ini

TERDAPAT hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang qaza.” (HR. Bukhari 5921 dan Muslim 2120)

Dalam riwayat Muslim disebutkan keterangan dari Imam Nafi (muridnya Ibnu Umar) tentang pengertian qaza. Ibnu Umar mengatakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang qaza.”

Aku (Umar bin Nafi perawi hadis) bertanya kepada Nafi, “Apa itu qaza?”

Jawab Nafi, “Qaza adalah menggundul sebagian kepala anak dan membiarkan (tidak menggundul) bagian kepala lainnya.” (HR. Muslim 2120).

Berdasarkan pengertian Qaza yang disampaikan Imam Nafi, membuat tato rambut, termasuk bentuk cukur yang dilarang. Karena termasuk qaza, menggundul sebagian rambut dan membiarkan sebagian lainnya.
Itu Tasyabbuh.

Di antara alasan larangan itu adalah karena tasyabbuh dengan kebiasaan orang non muslim atau kebiasaan geng-geng jalanan. Seharusnya kita merasa malu ketika model rambut kita sama persis seperti model rambut orang yang dicap nakal di tengah masyarakat. Atau kita merasa malu, ketika model rambut kita ternyata sama dengan model rambut artis-artis kafir.

Sementara dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang meniru-niru satu kaum, maka dia bagian dari kaum itu.” (HR. Abu Daud 4033).

Allahu akbar, nasihat yang sangat dalam. Hanya dengan meniru kebiasaan satu kaum, kita dianggap bagian dari kaum itu. Artinya, jika kita meniru kebiasaan ulama atau kebiasaan orang saleh, insyaaAllah kita bagian dari mereka.

Sebaliknya, ketika kita meniru kebiasaan orang jahat, orang yang agamanya rusak, kita juga dianggap bagian dari mereka. Tentu saja kita tidak ingin menjadi orang yang digolongkan oleh Allah sebagai orang menyimpang atau bahkan digolongkan oleh Allah sebagai orang non muslim.

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK