Anjuran Shalat Taubat

Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk bersemangat melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, mendekatkan diri pada-Nya, dan tidak terjerumus dalam kubangan maksiat. Namun bagaimana jika seseorang terlanjur terjerumus dalam dosa? Jawabnya, ia punya kewajiban untuk bersegera bertaubat dan kembali pada Allah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyunnahkan shalat taubat ketika seseorang benar-benar ingin bertaubat.[1] Berikut tuntunannya.

Shalat taubat adalah shalat yang disunnahkan berdasarkan kesepakatan empat madzhab[2]. Hal ini  berdasarkan hadits Abu Bakr Ash Shiddiq, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ». ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ

Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua raka’at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.[3]” (HR. Tirmidzi no. 406, Abu Daud no. 1521, Ibnu Majah no. 1395. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)[4]. Meskipun sebagian ulama mendhoifkan hadits ini, namun kandungan ayat (Ali Imron ayat 135) sudah mendukung disyariatkannya shalat taubat.[5]

Shalat taubat ini bisa cukup dengan dua raka’at dan cukup niat dalam hati, tanpa perlu melafazhkan niat tertentu.

Kapan waktu pelaksanaan? Tidak ada keterangan waktu pelaksanaannya, boleh dilakukan siang atau malam hari. Bahkan di waktu terlarang untuk shalat sekalipun, seseorang boleh melakukannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَكَذَلِكَ صَلَاةُ التَّوْبَةِ فَإِذَا أَذْنَبَ فَالتَّوْبَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الْفَوْرِ وَهُوَ مَنْدُوبٌ إلَى أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَتُوبَ كَمَا فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ

“Demikian pula shalat taubat (termasuk shalat yang memiliki sebab dan harus segera dilakukan, sehingga boleh dilakukan meskipun waktu terlarang untuk shalat[6]). Jika seseorang berbuat dosa, maka taubatnya itu wajib, yaitu wajib segera dilakukan. Dan disunnahkan baginya untuk melaksanakan shalat taubat sebanyak dua raka’at. Lalu ia bertaubat sebagaimana keterangan dalam hadits Abu Bakr Ash Shiddiq.”[7]

Setelah seseorang mengetahui shalat taubat, ia pun harus memenuhi syarat-syarat taubat. Apa saja syarat-syaratnya? Secara ringkas dikatakan oleh para ulama sebagaimana disampaikan Ibnu Katsir,

“Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya/ mengembalikannya.”[8]

Secara lebih rinci, syarat-syarat taubat adalah:

1.  Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.

2. Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.”[9] ‘Umar, ‘Ali dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal.[10]

3. Tidak terus menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.

4.  Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.[11]

5. Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.[12]

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)

 

Semoga Allah mudahkan kita untuk selalu taat kepada-Nya dan menjauhi setiap dosa serta menjadikan kita hamba-hamba yang gemar bertaubat atas dosa yang tidak bosan-bosannya dilakukan. Amiin Yaa Mujibas Saailin.

RUMAYSHO

Rasulullah tak Berdiam Diri Ketika di Rumah

DIRIWAYATKAN pada saat itu Rasulullah baru tiba dari perang Tabuk, banyak sahabat yang ikut beserta Nabi dalam peperangan ini. Tidak ada yang tertinggal kecuali orang-orang yang berhalangan dan ada uzur.

Ketika mendekati kota Madinah, di salah satu sudut jalan, Rasulullah bersua dengan seorang tukang batu. Ketika itu Rasulullah melihat tangan buruh tukang batu tersebut melepuh, kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.

Rasulullah bertanya, “Kenapa tanganmu kasar sekali? “Si tukang batu menjawab, “Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar.”

Rasul pun menggenggam tangan itu, dan menciumnya seraya bersabda, “Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya.

Begitulah tentang gambaran betapa mencari nafkah adalah hal yang sangat mulia. Terutama hal ini diwajibkan kepada seorang laki-laki sebagai kepala keluarga. Namun begitu, bukan berarti ketika sampai di rumah hanya bisa berleha-leha, dan menyerahkan semua pekerjaan rumah kepada istri serta banyak kegiatan di luar saja. Rasulullah sendiri juga orang ‘rumahan’.

Ketika sedang di rumahnya Muhammad SAW adalah seorang manusia seperti manusia lainnya sebagaimana kata Aisyah: “Rasulullah SAW membersihkan bajunya, memberi minum kambingnya, dan melayani dirinya sendiri.”

Aisyah juga berkata: “Rasulullah SAW menjahit baju dan sandalnya sendiri.” Ketika ditanyakan kepada Aisyah, “apa yang Rasulullah SAW lakukan dalam keluarganya?” Aisyah menjawab: “Rasulullah SAW memenuhi kebutuhan keluarganya. Apabila waktu salat tiba, beliau keluar untuk salat.”

Dalam sebuah riwayat dikatakan: “Rasulullah SAW menjahit sandal dan bajunya sebagaimana seseorang di antara kamu berbuat di rumahnya.”

Aisyah berkata: Rasulullah SAW adalah selembut-lembut manusia dan semulia-mulia manusia. Beliau tertawa juga tersenyum.”

Dari Anas ra., ia berkata : “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih menyayangi keluarganya dari Rasulullah SAW.” Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku.”

Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika beliau suka, beliau memakannya. Jika tidak suka, beliau meninggalkannya.”

 

INILAH MOZAIK

Kala Cicit Rasulullah Diganggu Seorang Gubernur

DIKUTIP dari kisahmuslim, inilah kisah di zaman khilafah al-Faruq Umar bin Khathab. Saat di mana kota Madinah melimpah ruah dengan hasil ghanimah yang didapatkan kaum muslimin dari harta Kaisar Persia terakhir, Yazdajurd. Ada mahkota-mahkota yang bertabur permata, selendang yang tersusun dari mutiara, juga pedang-pedang emas bertatahkan permata dan marjan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Selain barang-barang berharga tersebut, ada pula serombongan tawanan yang amat banyak. Di antara yang menjadi tawanan tersebut adalah tiga putri sang Kaisar. Atas inisiatif Ali bin Abi Thalib, harga tebusan ketiga putri itu dipasang setinggi mungkin, lalu mereka diberi kebebasan memilih di antara pemuda Islam yang akan menebusnya.

Putri pertama memilih Muhammad bin Abi Bakar yang kemudian melahirkan seorang tokoh faqih Madinah, Qasim bin Muhammad. Putri kedua memilih Abdullah bin Umar bin Khathab yang melahirkan putra bernama Salim yang sangat mirip dengan kakeknya, Umar bin Khathab. Sedangkan putri yang ketiga memilih Husein bin Ali bin Abi Thalib yang akhirnya melahirkan Zainul Abidin.

Nah, sekarang kita akan menelusuri indahnya perjalanan hidup Salim bin Abdillah bin Umar, ayahnya dan juga kakeknya. Salim lahir di Madinah al-Munawarah, kota yang terdapat di dalamnya makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kota tujuan hijrah yang udaranya penuh keharuman nubuwat, tempat turunnya wahyu-wahyu Allah.

Beliau dibesarkan di bawah asuhan ayahandanya yang zuhud, shawwamqawwam (ahli shiyam dan ahli shalat malam), yang memiliki tabiat dan akhlak Umar. Sejak awal sang ayah sudah melihat tanda-tanda ketaqwaan dan hidayah Allah pada diri Salim. Tercermin pada akhlak islami yang kokoh di atas Alquran melebihi saudara-saudaranya yang lain. Tak heran jika ayahnya menyayangi beliau dengan tulus, hingga anak yang lain cemburu kepadanya. Abdullah menanggapi sikap mereka dengan syairnya:

Mereka cemburu atas perlakuanku terhadap Salim
Memang benar, kulit antara mata dan hidungku adalah Salim
Dada Salim dipenuhi dengan hadis-hadis Rasulullah, mendalami tentang agama Allah, diajari tentang tafsir dan selanjutnya dibina di tanah suci yang mulia.

Saat itu, Masjid Nabawi masih padat dengan hadirnya para sahabat. Tatkala pemuda ini masuk, dijumpainya setiap sudut masjid penuh dengan tokoh sahabat yang sudah kenyang dengan ajaran dan keharuman kata-kata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemana saja dia melayangkan pandangan atau memasang telinga, yang ada hanyalah kebaikan.

Beruntung sekali Salim mampu memanfaatkan peluang ini. Beliau menghirup ilmu sebanyak mungkin dari tokoh-tokoh sahabat tersebut, di antaranya Abu Yusuf al-Anshari, Abu Hurairah, Abu Rafi, Abu Lubadah, Zaid bin Khathab, di samping ayahandanya sendiri, Abdullah bin Umar. Wajar bila dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia sudah dikukuhkan sebagai orang alim, tokoh tabiin dan salah satu fiqih yang menjadi tempat bertanya bagi kaum muslimin di Madinah tentang agama dan syariat, tentang problem agama dan persoalan dunia.

Lebih dari itu, kerap kali para pejabat meminta saran dan pendapat beliau ketika menghadapi masalah. Mereka terkesan dan sangat simpati kepada Salim bin Abdullah. Beliau menjadi andalan karena kehalusan budi bahasa dan manisnya tutur kata. Jika para wali dan amir itu menentang pandangannya, jangan harap rakyat Madinah mematuhi mereka.

Sebagai contoh, seperti yang dialami Abdurrahman bin Dhahhak selaku walikota Madinah pada masa khilafah Yazid bin Abdul Malik. Pada masa ini Fathimah binti Husein bin Ali sudah menjanda dengan beberapa putra. Ibnu Dhahhak datang meminangnya, tetapi Fathimah menolaknya dengan halus, “Maaf, saya sudah tak berhasrat untuk menikah lagi. Hidup saya sudah saya waqafkan untuk memelihara anak-anak saya.”

Namun Ibnu Dhahhak tetap bersikeras. Dia terus mendesak, sementara Fathimah menolak disertai rasa takut. Ibnu Dhahhak berkata mengancam, “Demi Allah, jika engkau tidak mau menjadi istriku, aku akan menahan putra sulungmu dengan tuduhan telah meminum khamr.”

Fathimah binti Husein mengadukan masalah tersebut kepada Salim bin Abdillah. Salim menyarankan beliau agar menulis surat pengaduan kepada Amirul Mukminin tentang gubernurnya yang sewenang-wenang. Agar masalah tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Fathimah mengikuti saran tersebut dan segera mengutus seseorang menuju Damaskus.

Sebelum utusan itu berangkat, kebetulan pada saat yang sama, Amirul Mukminin memberi perintah agar Ibnu Hurmuz, bendahara Madinah, segera datang ke Damaskus untuk membawa laporan-laporan keuangan. Ibnu Hurmuz segera mempersiakan laporan-laporan yang diperlukan, kemudian singgah sejenak untuk berpamitan kepada Fathimah binti Husein, “Saya hendak pergi ke Damaskus, apakah Anda titip sesuatu?”

Fathimah berkata, “Benar, tolong laporkan kepada Amirul Mukminin kesulitan yang saya alami akibat ulah walinya, Ibnu Dhahhak. Katakan pula bagaimana dia mengabaikan para ulama, terutama Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab.” Ibnu Hurmuz menyesal karena mampir di rumah Fathimah, sebab sesungguhnya dia tidak ingin mengadukan Ibnu Dhahhak kepada khalifah di Damaskus.

Tibalah Ibnu Hurmuz di Damaskus bersamaan dengan hari datangnya utusan yang membawa surat pengaduan Fathimah binti Husein. Dalam pertemuan dengan khalifah, Ibnu Hurmuz ditanya tentang kondisi di Madinah, juga tentang Salim bin Abdillah dan para fuqaha lainnya. Yazid bin Abdul Malik bertanya, “Adakah hal-hal penting yang perlu Anda utarakan atau berita-berita yang perlu dibahas?” Ibnu Hurmuz sama sekali tak menyebut-nyebut kisah Fathimah binti Husein. Mulutnya terkunci rapat tentang sikap walinya kepada Salim bin Abdullah.

Selagi dia masih menjelaskan tentang laporan keuangan yang diminta, penjaga masuk untuk melaporkan bahwa utusan Fathimah binti Husein minta izin untuk menghadap. Pucatlah wajah Ibnu Hurmuz karena khawatir. Dia segera berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Taala mengaruniai Amirul Mukminin umur yang panjang. Memang benar Fathimah binti Husein juga menitip pesan kepada saya” lalu dia menceritakan semuanya.

Mendengar penuturan Ibnu Hurmuz, Amirul Mukminin berdiri dari tempat duduknya dan berteriak marah, “Celaka! Bukankah aku bertanya kepadamu bagaimana berita Madinah? Pantaskah kejadian sebesar itu engkau sembunyikan dariku?” Ibnu Hurmuz segera mohon maaf dan mencari dalih.

Kemudian, utusan tersebut masuk dan menyerahkan surat Fathimah binti Husein. Amirul Mukminin langsung membuka dan membacanya. Pandangan matanya. Dia berteriak lantang, “Ibnu Dhahhak sudah berani mengganggu keluarga Rasulullah dan tak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah?! Siapa yang bisa memperdengarkan kepadaku jeritan gubernur Ibnu Dhahak sementara dia tersiksa di Madinah sedangkan aku tetap duduk di Damaskus?”

Di antara hadirin berkata, “Wahai amirul mukminin, tak ada yang lain di Madinah kecuali Abdul Wahid bin Bisyr an-Nadhari, angkatlah beliau. Saat ini beliau tinggal di Thaif.” Khalifah berkata, “Benar demi Allah dia memang layak untuk tugas ini.” Maka khalifah meminta kertas dan menulis surat pengangkatan gubernur:

“Dari Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik kepada Abdul Wahid bin Bisyr an-Nadhari. Assalamualaikum. “Bersama surat ini saya melantik Anda sebagai gubernur di Madinah. Jika surat ini teah sampai kepada Anda, maka datanglah ke Madinah dan turunkanlah Ibnu Dhahhak dari jabatannya. Perintahkan agar dia membayar denda 40.000 dirham, lalu hukumlah dia hingga aku mendengar teriakannya dari Madinah.”

Berangkatlah utusan yang membawa surat tersebut menuju Thaif melewati Madinah. Ketika di Madinah dia tidak tinggal di tempat Ibnu Dhahhak, bahkan memberi salampun tidak. Gubernur itu menjadi curiga dan khawatir akan dirinya. Diutusnya seseorang untuk mengundang utusan tersebut ke rumahnya. Lalu dia bertanya tentang sebab-sebab kedatangan utusan tersebut.

Utusan itu tak menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibnu Dhahhak. Lalu Ibnu Dhahhak mengambil sesuatu di balik tempat tidurnya dan berkata, “Lihatlah, bungkusan ini berisi seribu dinar emas. Aku bersumpah akan merahasiakan apa yang kau bawa dan ke mana arah tujuanmu.”

Uang itupun diserahkan, lalu utusan tersebut menjawab pertanyaan Ibnu Dhahhak. Selanjutnya Ibnu Dhahhak berkata, “Tunggulah di sini selama tiga hari saja, aku akan pergi ke Damaskus sebentar. Baru setelah itu engkau boleh melanjutkan perjalananmu sesuai perintah yang kau terima.”

Ibnu Dhahhak bergegas menyiapkan kendaraannya, lalu segera meninggalkan Madinah menuju Damaskus. Setibanya di Damaskus, dia langsung menuju rumah saudara Yazid, Maslamah bin Abdul Malik. Dia adalah seorang yang baik lagi penolong. Ketika telah di hadapannya, Ibnu Dhahhak berkata:

Ibnu Dhahhak, “Aku berada di bawah lindunganmu, wahai amir.”
Maslamah: “Semoga baik-baik saja, apa yang terjadi atasmu?”
Ibnu Dhahhak: “Amirul Mukminin marah kepadaku karena kesalahan yang aku lakukan.”
Selanjutnya Maslamah menemui Yazid bin Abdul Malik dan berkata:
Maslamah: “Aku ada keperluan penting wahai Amirul Mukminin.”
Yazid: “Semua keperluan Anda akan aku penuh kecuali masalah Ibnu Dhahhak.”
Maslamah: “Demi Allah aku tidak memiliki keperluan selain itu.”
Yazid: “Aku tak bisa mengampuninya.”
Maslamah: “Sebenarnya, apa kesalahan yang dia lakukan?”
Yazid: “Dia menganggu Fathimah binti Husein dan mengancam serta menekannya. Dia juga tidak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah tentang itu. Para penyair, tokoh-tokoh masyarakat, ulama dan penduduk Madinah mengecamnya.
Maslamah: “Jika begitu persoalannya maka terserah Anda wahai Amirul Mukminin.”
Yazid: “Sekarang perintahkan Ibnu Dhahhak kembali ke Madinah. Dia harus menerima hukuman dari gubernur yang baru agar menjadi pelajaran bagi pejabat-pejabat yang lain.”

Legalah hati penduduk Madinah, mereka bersyukur atas pengangkatan gubernur yang baru dan gembira dengan pelaksanaan hukuman bagi Ibnu Dhahhak. Mereka puas lantaran gubernur yang baru ternyata senantiasa berlaku baik kepada rakyat dan tidak mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan melainkan setelah meminta persetujuan para ulama seperti Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdillah. Alangkah mulianya khalifah muslimin Yazid bin Abdul Malik yang telah memperjuangkan kaum muslimin dan mendidik pejabat-pejabat yang tangguh demi kejayaan Islam

[Sumber: Mereka adalah Para Tabiin, Dr. Abdurrahman Raat Basya, At-Tibyan]

 

INILAH MOZAIK

Awas! Pungutan Liar, Sejelek-jeleknya Dosa

IMAM Adz Dzahabi ternyata memasukkan pungutan liar dalam kitab beliau Al Kabair yang membicarakan tentang dosa-dosa besar. Pungutan liar di sini biasa dimaksudkan untuk pemungutan dalam jual beli.

Di antara dalil yang beliau bawakan untuk menunjukkan bahwa pungutan liar termasuk dalam Al Kabair yaitu firman Allah Taala,

“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS. Asy Syura: 42).

Di dalam hadis, tentang seorang perempuan yang melakukan zina yang kemudian menyucikan dirinya dengan menyerahkan dirinya untuk dirajam,

“Perempuan itu telah bertobat dengan tobat yang andai dilakukan oleh pemungut liar, niscaya akan diampuni baginya.” (HR. Muslim no. 1695)

Setelah membawakan dua dalil di atas, Imam Adz Dzahabi berkata bahwa orang yang melakukan pungutan liar mirip dengan perampok jalanan yang lebih jahat daripada pencuri. Orang yang menzalimi orang lain dan berulang kali memungut upeti, maka dia itu lebih zalim dan lebih jahat daripada orang yang adil dalam mengambil pungutan dan penuh kasih sayang pada rakyatnya.

Orang yang mengambil pungutan liar, pencatat dan pemungutnya, semuanya bersekutu dalam dosa, sama-sama pemakan harta haram. Demikian kata Imam Adz Dzahabi dalam Al Kabair.

Imam Nawawi juga menyatakan bahwa pungutan liar adalah sejelek-jeleknya dosa. Karena pungutan semacam ini hanyalah menyusahkan dan menzalimi orang lain. Pengambilan pungutan atau upeti seperti ini terus berulang dan itu hanyalah pengambilan harta dengan jalan yang tidak benar, penyalurannya pun tidaklah tepat. Lihat Syarh Shahih Muslim.

Hanya Allah yang beri taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.]

Semua Tahu, Islam Bukan Agama untuk Arab saja

BELAKANGAN ini banyak sekali muncul pertanyaan dan pernyataan berkaitan dengan Islam dan Arab. Lantas bagaimana seharusnya kita sebagai orang awam mendudukkan perkara ini? Menurut Ustaz Ammi Nur Baits:

Terdapat banyak sekali dalil yang menegaskan bahwa islam adalah agama yang universal. Agama islam untuk semua umat manusia sedunia. Dalam al-Quran Allah menegaskan, T”idaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk semua umat manusia, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Saba: 28)

Allah juga berfirman, Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua” (QS. al-Araf: 158)

Allah juga berfirman, “Tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya: 107).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak hadisnya untuk menegaskan demikian. Diantaranya,

Hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberi 5 keutamaan yang tidak diberikan kepada para nabi sebelumku, nabi terdahulu diutus untuk kaumnya saja, dan aku diutus untuk semua umat manusia” (HR. Bukhari 335 & Muslim 1191)

Beliau juga mengatakan, “Aku diutus kepada semua yang berkulit merah dan berkulit hitam” (HR. Muslim 1191 & Ahmad 2256).

Anda yang bukan orang arab, tidak perlu merasa gusar. Tidak perlu membuat pernyataan, “Islam bukan agama arab.” Semua sudah tahu bahwa islam bukan agama untuk arab. Membuat status di medsos, “Islam bukan agama arab”, justru menunjukkan bahwa anda terlalu katrok.

Tapi anda perlu mengakui bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam orang arab. Alquran, Allah turunkan dengan berbahasa arab. Hadis-hadis, disampaikan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan bahasa arab. Para sahabat, hampir semua orang arab. Para ulama, kebanyakan berbahasa arab. Dst.

Semua orang perlu mengakui itu, karena itu realita. Allah yang menciptakan, Allah yang memiliki, dan karenanya, Allah yang paling berhak untuk memilih. Dia yang paling berhak menentukan, dimana Allah akan mengutus Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Allah berfirman, “Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. al-Qashas: 68)

Meskipun, jika Allah berkehendak, Dia mampu untuk mengutus rasul di semua daerah, “Jika Aku menghendaki, Aku akan mengutus seorang rasul di setiap daerah.” (QS. al-Furqan: 51)

Akan tetapi, Allah hanya memilih satu tempat untuk posisi munculnya sang utusan-Nya. Sebenarnya yang menjadi masalah bukan soal tempat dan bahasa, tapi lebih pada soal menggugat agama. Karena bagaimanapun juga, ketika Allah mengutus seorang nabi, pasti mereka akan menggunakan bahasa yang dipahami kaumnya. Sehingga tidak mungkin sang nabi ini diutus dengan membawa bahasa baru, agar tidak memihak ke bahasa manapun yang digunakan manusia.

Allah berfirman, “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (QS. Ibrahim: 4).

Andai alquran diturunkan dengan bahasa jawa, bagi tipe manusia gagal, pasti akan dia kritik. Dia akan buat status, “Islam bukan agama jawa.” Lalu harus pakai bahasa apa agar anda tutup mulut, dan tidak mengkritik bahasanya? Allahu alam.

 

INILAH MOZAIK

Kristen Orthodoks Rayakan Natal

Penganut Kristen Orthodoks, tidak seperti Katolik dan aliran Kristen lainnya, memiliki tradisi perayaan Natal pada 7 Januari, yang kali ini bertepatan dengan hari Ahad pertama tahun 2018. Mereka berbondong-bondong mendatangi gereja pada Malam Natal, ketika perayaan biasanya dimulai tengah malam.

Perbedaan hampir 2 pekan antara Orthodoks dan Katolik dalam perayaan Natal disebabkan mereka menggunakan kalender berbeda. Gereja Orthodoks mengikuti Kalender Julian, yang 13 hari di belakang Kelender Gregorian –yang diperkenalkan Gereja Katolik Roma pada tahun 1582.

Libur Natal bagi penganut Kristen Orthodoks dimulai dengan 40 hari puasa, di mana orang biasanya menghindari jenis makanan tertentu seperti daging dan produk susu. Puasa berakhir dengan tanda munculnya bintang pertama pada Malam Natal, yang diyakini sebagai simbol kelahiran Yesus.

Tradisi perayaan Natal Kristen Orthodoks berbeda-beda di setiap negara.

Di Bulgaria, Yunani dan Turki, para penganut Kristen Orthodoks biasanya berendam di air dingin (sungai, danau atau laut) pada tanggal 6 Januari sebagai bagian dari perayaan Epifani, yaitu perayaan penampakan wujud “tuhan” dalam sosok Yesus Kristus.*

 

HIDAYATULLAH

Polosin: Tuhan yang Maha Penyayang Perkuat Keyakinanku

Nama aslinya Polosin Vyacheslav Sergeyevich. Ia dibesarkan di tengah keluarga ateis. Meski hidup tanpa agama, sejak kecil Vyacheslav memercayai keberadaan Tuhan yang misterius serta Mahakuasa. “Aku percaya ia takkan menolak orang-orang yang datang dan berpaling kepada-Nya,” tulis dia dalam catatan perjalanannya menemukan Islam, How I Came to Islam.

Keyakinan itu terus berkembang dan menguat menyusul beberapa situasi sulit yang dialaminya. Sejak usia remaja, ketika ia merasa tak memiliki cukup kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan rumit, Vyacheslav selalu berusaha kembali kepada Tuhan yang diyakininya itu. “Aku memohon pertolongan dari-Nya dan situasi membaik setelah itu.”

Tak berhenti pada sebatas meyakini keberadaan Tuhan, ia pun ingin menemukan kebenaran sesungguhnya tentang Zat Yang Mahakuasa itu. Maka, ia mengajukan lamaran untuk belajar di Fakultas Filsafat Universitas Negeri Moskow dan ia diterima.

Di sanalah, Vyacheslav membuka Injil untuk pertama kalinya dan mendapati kesan yang bertentangan dengan dirinya. Ia menemukan beberapa bagian dari Injil tampak benar-benar supranatural, sementara di bagian lainnya Tuhan dikemukakan untuk menghancurkan sebagian besar bangsa.

“Ada pula gagasan-gagasan aneh (dalam Injil) seperti ‘otot’, ‘tangan’, ‘tubuh’, ‘daging’, dan ‘darah’ Allah. Ada banyak asimilasi Sang Pencipta (Tuhan) dengan ciptaan-Nya, yakni manusia,” ujarnya.

Kala itu tahun 1970-an. Meski dihadapkan pada sesuatu yang dinilainya bertentangan, Vyacheslav melihat dirinya tak memiliki alternatif di tengah ideologi komunis negaranya, kecuali Gereja Ortodoks Rusia. Ia pun mendatangi sebuah Gereja Ortodoks pada usianya yang ke-19. “Di sana aku menemukan sebuah tradisi kuno serta keindahan nyanyian pujian yang memuja Tuhan. Lalu, kuputuskan mencari lebih banyak pengetahuan teologis dengan mengikuti sebuah seminari.”

Sampai pada keputusan itu, Vyacheslav merasa hal itu tak berarti bahwa ia telah menetapkan pilihan atas kepercayaan tertentu. “Karena, aku tidak memiliki kepercayaan lain apa pun untuk kubandingkan dengan Ortodoksi.”

Setelah mempelajari banyak dalil tentang ajaran Kristen melalui seminari, pria kelahiran 26 Juni 1956 ini kemudian menjadi imam keuskupan pada 1983. Posisi itu dimaknainya sebagai simbol peperangan rohani dan intelektual melawan kefasikan. “Aku merasa diriku menjadi prajurit Tuhan.”

Namun, perasaan itu tak berlangsung lama. Di tengah kesibukannya melayani umat di gereja, Vyacheslav merasa dipaksa mengabdikan diri untuk melakukan berbagai ritual di bawah perintah orang-orang yang disebutnya penuh takhayul. Aktivitasnya di gereja juga ia rasakan bukan untuk mengabdi di bidang spiritual dan keyakinan intelektual seperti perkiraannya. Kecewa, ia pun memutuskan tak lagi menjadi tentara Tuhan.

Pada 1991, Vyacheslav secara resmi meninggalkan pelayanan imamah. Namun, ia tak sekaligus meninggalkan agama yang telah menjadikannya seorang pendeta itu. Ia tetap menjadi pendeta dan melanjutkan pencariannya pada sebuah penjelasan teologis atas berbagai agama ritualistik.

Ia mulai mempelajari sumber-sumber kuno Kristen tentang sejarah gereja, sejarah pelayanan gereja, dan sejarah teologi. Penelusuran mendalam yang ia lakukan membawanya pada keraguan yang serius tentang kebenaran seluruh konsep teologis Roma-Bizantium. “Aku menemukan konsep teologi itu didasarkan atas misteri-misteri kafir pada masa lampau,” kata pria yang memperoleh gelar MA bidang ilmu politik dari Akademi Diplomatik Kemenlu Rusia itu.

Upaya pencariannya tak sia-sia. Pada 1995, Vyacheslav menyadari semua keraguannya, dan sejak itu ia mengundurkan diri dari seluruh keikutsertaannya dalam pelayanan gereja. Namun, tambahnya, keimanan antropis terhadap Yesus Kristus yang diperolehnya dari seminari kala itu masih menahannya dari pemahaman pada prinsip sederhana monoteisme. “Saat itu aku belum menyadari ajaran Islam, karena bagiku terjemahan Alquran oleh Krachkovskiy (akademisi yang menerjemahkan Alquran ke bahasa Rusia) mendistorsi arti dari ‘wahyu Ilahi’,” katanya.

Sematkan nama Ali
Namun akhirnya, semua keraguan yang membayangi Vyacheslav tentang Islam sirna saat ia menemukan penjelasan di Alquran dan ajaran Islam tentang Yesus (Nabi Isa as). Ia menilai, penjelasan Alquran tentang Yesus sangat rasional.  “Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pemurah memperkuat keyakinanku. Lalu, aku dan istriku memutuskan untuk mengumumkan bahwa kami memeluk Islam dan berdakwah tentang monoteisme,” ujarnya.

Vyacheslav berislam pada 1999 dan menyematkan nama “Ali” di depan nama tengahnya. Keislamannya sempat menjadi kontroversi kala itu dan dinilai bersifat politis terkait keanggotaannya di parlemen Rusia. Setelah masuk Islam, Polosin terpilih sebagai salah satu ketua Refakh, sebuah gerakan sosial dan politik komunitas Muslim di Rusia. Ia juga menjadi pemimpin redaksi sebuah surat kabar Muslim yang diterbitkan pada 1999.

Vyacheslav kini menjadi tokoh Islam sekaligus pakar dialog lintas agama di Rusia serta menjadi direktur Al Wasatiya Center, sebuah organisasi internasional yang berupaya membantu menyelesaikan persoalan-persoalan berbasis perbedaan agama. Beberapa buku dan artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Di antaranya, Secular State and Islamic Tradition in Russia, Criminal Sectarianism Will Never Become the Norm of Life, dan Rothschilds against Arab Rulers-Causes and Mechanism of Arab Revolutions.

 

REPUBLIKA

Habib Muhammad Ajak Umat Amalkan Nasihat Habib Ali Al Habsyi

Habib Muhammad bin Husin Al Habsyi mengajak umat Muslim di Indonesia untuk mengamalkan nasihat-nasihat Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi. Dalam tausiyahnya pada kegiatan Haul Habib Ali Al Habsyi ke-106 di Masjid Ar Riyadh, Kota Solo, Jawa Tengah, Senin (8/1), Habib Muhammad mengajak jamaah untuk kembali menghidupkan majelis di tengah-tengah keluarga.

Menurutnya, hal tersebut merupakan nasihat yang disampaikan Habib Ali agar ayah sebagai kepala keluarga meluangkan waktu untuk mengajarkan tentang mengingat Allah dan Rasul-Nya kepada istri dan anak-anaknya.

“Habib Ali juga mengatakan agar duduk bersama istri dan anak kalian dan ajarkan tentang mengingat Allah dan Rasul. Dan ini maksud dari adanya majelis seperti ini untuk menghidupkan ilmu mereka (ulama) pada diri kita. Ini merupakan amanat kepada kita untuk mengemban ajaran nabi dan disebarkan pada keluarga kita,” kata Habib Muhammad.

Lebih lanjut, Habib Muhammad juga meminta segenap umat Muslim tak risau dengan cobaan dan musibah yang datang bertubi-tubi dalam kehidupan. Ia menyarankan umat Muslim untuk meniru Habib Ali, untuk meningkatkan keistiqomahan dan terus meningkatkan ketakwaan.

“Tujuan kita pun keluar dari majelis ini adalah dengan niat untuk membersihkan diri dan semakin bertakwa pada Allah,” ujarnya.

Habib Ali merupakan seorang sufi yang lahir di Qasam, Hadramaut, pada 24 Syawal 1259 Hijriyah atau 1839 masehi. Ia merupakan putra dari Habib Muhammad bin Husain Al Habsyi dan Habibah Allawiyyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri. Sejak kecil, Habib Ali dikenal sebagai anak yang cerdas dam kuat dalam menghafal Alquran dan hadis.

 

REPUBLIKA

Abessinia, Negeri Terpilih

Makkah, bulan Rajab tahun ketujuh sebelum Hijriah (615 M). Kala itu, di tengah pekatnya malam, sejumlah sahabat Rasulullah SAW diam-diam meninggalkan Makkah bersama harta benda yang mereka miliki. Para sahabat itu terdiri atas 11 pria dan lima wanita, di antaranya Utsman bin Affan dan istrinya Ruqayah, Abdur Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Utsman bin Maz’un selaku ketua rombongan.

Dari Makkah, mereka menuju tepian Laut Merah, tepatnya Pelabuhan Shuaibah. Di sana, dua perahu telah siap membawa mereka ke sebuah negeri untuk menghindari kebiadaban kaum kafir Quraisy. Adalah Abessinia, sebuah kerajaan di benua Afrika, yang menjadi tujuan mereka. Mengapa mereka pergi ke sana? Para sahabat itu hijrah ke Abessinia atas saran Rasulullah SAW.  Inilah hijrah pertama yang dilakukan kaum Muslimin sebelum peristiwa hijrah ke Madinah.

Saat itu, tekanan dan permusuhan dari kaum kafir Quraisy semakin keras. Sebagian pengikut Rasulullah disiksa, bahkan dibunuh. Maka itu, untuk melindungi mereka, Rasulullah menyarankan agar mereka hijrah ke Abessinia. Negeri ini dipilih karena penguasa Abessinia saat itu, Raja Najasyi, sangat bijaksana meski beragama Nasrani. Orang Arab menyebut Raja Najasyi sebagai Ashama Ibnu Abjar. “Sesungguhnya di Negeri Habasyah (Abessinia) terdapat seorang raja yang tak seorang pun dizalimi di sisinya, pergilah ke negerinya, hingga Allah membukakan jalan keluar bagi kalian dan penyelesaian atas peristiwa yang menimpa kalian,” ujar Nabi SAW.

Kisah hijrah para sahabat Nabi SAW ke Abessinia diungkapkan dalam Shahih Al-Bukhari, mengutip penjelasan dari Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW yang juga ikut dalam peristiwa hijrah ke Abessinia.

Lantas, di manakah tepatnya negeri Abessinia itu? Abessinia adalah nama kuno dari Ethiopia, sebuah negara di Afrika Timur. Nama itu (Abessinia) merupakan perubahan dari nama Arab, Habasyah, yang menunjuk pada campuran berbagai ras yang berasal dari Arab Selatan. Bangsa Abessinia merupakan keturunan bangsa Semit, sementara bahasa mereka, Amhariyah, serumpun dengan bahasa Arab. Seperti rajanya, saat itu pun sebagian besar rakyat Abessinia memeluk agama Kristen (Nasrani).

Dr Sayuqi Abu Khalil dalam Atlas Hadits al-Nabawi mengatakan, wilayah al-Habasyah, saat ini dikenal dengan nama Ethiopia atau Eritrea. “Masyarakatnya dikenal sebagai al-Habasy, yakni bangsa Sudan atau bangsa berkulit hitam,” ujar Dr Syauqi.

Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW menyebut Abessinia sebagai negeri kerukunan umat beragama. Betapa tidak, warga Abbessinia dengan penuh keramahan menerima dan memberikan perlindungan kepada kaum yang berbeda agama dengan mereka. Inilah yang menjadi alasan sehingga bangsa Arab pada masa perluasan tidak melancarkan ekspansi ke wilayah itu.

Pada hijrah pertama ke Abessinia ini, para sahabat Rasulullah disambut dengan penuh keramahan dan persahabatan. Raja Najasyi lalu menempatkan mereka di Negash yang terletak di sebelah utara Provinsi Tigray. Setelah tiga bulan di sana, mereka kembali ke Makkah, dengan harapan kaum kafir Quraisy telah melunak. Namun nyatanya, perlakuan kaum Quraisy tetap keras.  Maka itu, Rasulullah kembali memerintahkan umat Muslim untuk hijrah ke Abessinia. Jumlah sahabat yang hijrah pada gelombang kedua itu terdiri atas 80 orang. Rasulullah pun berpesan kepada mereka untuk menghormati dan menjaga Abessinia atau Ethiopia.

Namun, kafir Quraisy tak tinggal diam. Mereka mengutus Amr bin As serta Imarah bin Walid menghadap Raja Najasy. Keduanya meminta sang raja untuk mengusir para pengikut Rasulullah SAW dari tanah Abessinia. Raja Najasyi menolak permintaan itu dan mengizinkan para sahabat tinggal di negeri itu hingga Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.

 

REPUBLIKA

Doa Dengan Hadits Dhaif, Boleh?

AMAT banyak  hadits-hadits yang dibukukan oleh para huffadz hadits yang di dalamnya berisi doa-doa dan dzikir, baik derajatnya shahih, hasan, maupun dhaif. Memang tidak bisa dipungkiri ada sebagian dari saudara muslim menolak mengamalkan doa-doa dan dzikir yang derajatnya dhaif, bahkan menyeru untuk meninggalkannya

Tindakan demikian, tentu mengundang respon pihak lain dan mengundang polemik di tengah umat. Sehingga perlu dicari duduk permasalahannya dalam masalah ini, yakni apa hukumnya menggunakan dzikir dan doa dari hadits-hadits yang derajatnya dhaif, tentunya dari para ulama mu’tabar.

Pendapat Imam Al Baihaqi

Sebenarnya, jauh-jauh para ulama sudah membahas persoalan ini. Adalah Al Hafidz Al Mujtahid Al Imam Al Baihaqi telah menyampaikan Imam Al Baihaqi setelah menjelaskan tingkatan derajat hadits yang disepakati kedhaifannya oleh para ulama ahlul hadits, yakni dimana perawinya tidak termasuk yang dituduh sebagai pemalsu hadits, akan tetapi dikenal buruk hafalannya dan banyak kesalahan dalam periwayatannya, atau majhul yang tidak diketahui adalahnya serta syarat-syarat diterimannya khabar darinya, ia berkata,”Maka hadits dalam kategori ini tidak dipakai dalam hukum-hukum sebagimana kesaksiannya ditolak oleh pemerintah. Namun terkadang dipakai (haditsnya-pent) yang mengenai doa-doa, motifasi, ancaman, tafsir dan riwayat peperangan yang tidak berhubungan dengan hukum-hukum.”  (Lihat, Dalail An Nubuwwah, 1/32-37)

Pendapat Imam An Nawawi

Demikian juga Imam An Nawawi, setelah menyampaikan hadits Umamah Al Bahili, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam setelah meletakkan jenazah Ummu Kultsum dalam kubur, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengucapkan, yang artinya, ”Darinya Kami menciptakan kalian. Dan kepadanya Kami mengembalikan kalian. Dan darinya Kami mengeluarkan kalian kembali.”

Kemudian Imam An Nawawi berkata,”Telah meriwayatkannya Ahmad dari Ubaidullah bin Zahr dari Ali bin Zaid bi Jad`an dari Al Qasim, dan ketiganya merupakan para perawi dhaif. Akan tetapi hadits-hadits fadhail tidak ditinggalkan, meskipun isnadnya dhaif. Dan hadits ini adalah salah satunya. (Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/293,294)

Bisa diambil kesimpulan bahwa dzikir yang diucapkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saat meletakkan jenazah Ummu Kultsum meski datang dengan sanad dhaif, namun tidak ditinggalkan, karena ia merupakan bagian  fadhail a`mal.

Pendapat Ibnu Rajab Al Hanbali

Al Hafidz Ibnu Rajab pengikut madzhab Imam Ahmad pun memiliki pendapat selaras. Setelah menyampaikan hadits dari Anas Radhiyallahu An’hu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam jika memasuki bulan Rajab berkata, yang artinya,” Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.”

Al Hafidz memberi komentشr terhadap hadits ini,”Diriwayatkan dari Abu Isma’il Al Anshari bahwasannya ia berkata,’Tidak shahih keutamaan Rajab, kecuali hadits ini.’ Perkataannya perlu dikaji, karena isnad ini terdapat perawi dhaif.”

Kemudian Al Hafidz Ibnu Rajab berkata,”Dalam hadits ini dalil mengenai (istihbab) kesunnahan doa agar disampaikan pada waktu-waktu yang memiliki keutamaan, agar bisa melakukan amalan-amalan shalih di dalamnya…” (Lathai’if Al Ma’arif, hal. 239)

Al Hafidz Ibnu Rajab meski telah menegaskan bahwa sanadnya dhaif, namun menyatakan terang-terangan bahwa hadits itu bisa dijadikan dalil mengenai doa-doa agar disampaikan kepada waktu-waktu yang memiliki keutamaan. Sehingga jika seorang berdoa dengan hadits tersebut tidak bermasalah meski dhaif, tidak masalah, ia mengandung permintaan untuk disampikan pada waktu-waktu yang mengandung keutamaan.

Pernyataan di atas adalah perkataan para ulama mu’tabar mengenai bolehnya pengamalan doa-doa dari hadits.

Doa Bagian dari Fadhail A’mal yang Boleh Gunakan Hadits Dhaif

Dan perlu diketahui bahwasannya doa adalah bagian dari fadhai’il al a’mal sebagaimana dipaparkan Imam An Nawawi sebelumnya, yang mana para ulama menyatahkan bolehnya menggunakan hadits dalam hal ini, meski dhaif.

Adalah Syeikh Abu Muhammad Al Maqdisi telah berkata,”Tidak mengapa dengan hal itu (yakni shalat tasbih), sesungguhnya dalam fadhail tidak disyaratkan shahihnya khabar.” (Al Ihtiyarat Al Ilmiyyah li Ibni Taimiyyah, hal. 100)

Demikian juga yang disampaikan Ibnu Qudamah, salah satu ulama besar dalam madzhab Hanbali,”Amalan-amalan nafilah dan fadhai’il tidak disyaratkan padanya keshahihan hadits.” (Al Mughni, 1/1044).

Imam An Nawawi menyatakan,”Dan telah bersepakat para ulama bahwa mengenai bolehnya beramal dengan hadits dhaif dalam fadha’il al a’mal.” (Al Arba’un An Nawawiyah, hal. 3)

Beberapa ulama yang menegaskan apa yang disampaikan Imam An Nawawi ini adalah Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki.  (lihat, Fathu Al Mubin, hal. 32)

Ijma’ bolehnya penggunaan hadits dhaif dalam fadha’il juga ikut ditegaskan oleh Al Allamah Ali Al Qari Al Hanafi, ”Hadits dhaif digunakan untuk fadhail a’mal sesuai kesepakatan.” (lihat, Al Maudhu’at,hal.73).

Demikian juga diikuti pendapat ini diikuti  oleh Imam Imam Al Laknawi Al Hanafi. (lihat, Ajwibah Al Fadhilah, hal. 37)

Sedangkan untuk ulama hadits mu’ashirin  Syeikh Abdullah bin Shiddiq Al Ghumari berkata,”Para huffadz hadits sepakat mengenai bolehnya menggunakan hadits dhaif dalam fadha’il a’mal. (lihat, Al Qaul Al Muqni’, hal.2,3).

Adapun pendapat yang menyatakan bahwasannya Imam Al Bukhari, Yahya bin Ma’in, Muslim dan Ibnu Al Arabi menolak hadits dhaif secara mutlak adalah pendapat yang lemah setelah ditahqiq (silahkan baca Jangan Remehkan Hadits Dhaif).

Dengan demikian, doa dan dzikir menggunakan hadits dhaif adalah perkara yang dibolehkan menurut para ulama mu’tabar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

 

HIDAYATULAH