Telaah ar-Razi Soal Penciptaan Alam Semesta

Fakhruddin ar-Razi juga menelaah tentang bagaimana Allah menciptakan alam semesta. Ada dua bentuk penciptaan. Pertama, melalui kata Jadilah! (kun; lihat Alquran surah al-Baqarah ayat 117, surah Ali Imran ayat 47, surah al-An’am ayat 73, surah an-Nahl ayat 40, surah Maryam ayat 35, surah Yaasiin ayat 82, dan surah al- Mu`min ayat 68).

Kedua, penciptaan langit dan bumi dalam enam hari (lihat Alquran surah Huud ayat 7, surah Qaf ayat 38, as-Sajadah ayat 4, dan Fushilat ayat 9-12). Ada tafsiran bahwa frasa Jadi, maka jadilah! (kun fayakun!)” berarti bahwa Allah menciptakan segala sesuatu sebagai pengejawantahan frasa tersebut. Akan tetapi, ar-Razi kurang sepakat dengan tafsiran itu.

Menurut dia, penciptaan sudah dibentuk sebelum pengujaran kata jadi dari frasa Jadi, maka jadilah! Fakhruddin ar-Razi mengambil contoh pembahasan surah Ali Imran ayat 59, yang menceritakan tentang penciptaan Isa bin Maryam: Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah’ (seorang manusia), maka jadilah dia.

Perhatikan bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah datang terlebih dahulu baru kemudian Allah mengujarkan kata jadilah”. Oleh karena itu, menurut ar-Razi, kata jadilah itu sendiri merupakan makhluk yang telah Allah ciptakan sebelumnya.

 

REPUBLIKA

Mengenal Sosok ar-Razi, Sang Ilmuwan Cemerlang

Fakhruddin ar-Razi (1149- 1209) merupakan salah satu ilmuwan paling cemerlang dalam sejarah peradaban Islam. Karya-karyanya mencapai ratusan buku yang meliputi banyak bidang, mulai dari kedokteran, astronomi, matematika, logika, fisika, kalam, fikih, ushul fikih, hingga tafsir Alquran. Dalam bidang tafsir, kitabnya yang sampai kini masih terus dikaji adalah Mafatih al-Ghaib (at-Tafsir al-Kabir li Alquranul Karim).

Adapun dalam disiplin fikih dan ushul fikih, ia telah menulis buku al-Mahshul fil Fiqh dan al-Mahshul fil Ushul Fiqh. Untuk kajian kalam dan filsafat, dua karyanya yang masyhur antara lain al- Qadha wa al-Qadar, al-Mulakhash fil Filsafah, al-Mathalib al-‘Aliyah fil Hikmah, dan al-Mabahits al-Masyra qiyyah (Pemba hasan Filsafat Ketimuran).Selain menulis banyak buku, tokoh dari abad ke-12 Masehi ini juga kerap melakukan perjalan an ke berbagai kota pusat-pusat ilmu pengetahuan.

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Hu sayn at-Taymi al-Bakri at-Tabaristani. Pria keturunan sahabat Rasulullah SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq, ini lahir di Ray (kini sekitar Teheran, Iran) dan wafat di Herat (masuk Afghanistan modern) di usia 61 tahun.

Awalnya, Fakhruddin ar-Razi mendapat kan pendidikan dari sang ayah, Dziya’uddin Umar, seorang pakar mazhab Imam Syafii dan Asy’ariyah. Setelah ayahandanya wafat, dia menempuh penga jaran dari sejumlah ulama terkemuka yakni, antara lain, Ahmad bin Zarinkum al-Kamal al-Simnani, Majdin al-Jilly, dan Muhammad al-Baghawi. Majdin al-Jilly merupakan orang Azerbaijan yang juga murid generasi kedua dari Imam al-Ghazali.

Selain itu, Fakhruddin ar-Razi juga menimba ilmu kalam dari Kamaluddin as- Samawi. Semasa mudanya, ia memelihara bacaan dan hafalan Alquran. Melewati usia belasan tahun, minatnya terhadap sains mulai muncul. Lantaran kegeniusannya, di usia 35 tahun Fakhruddin ar-Ra zi sudah memahami seluk-beluk kitab fenomenal dalam bidang kedokteran, al-Qanun fil Tibb (the Canon of Medicine)karya Ibnu Sina.

Dalam usia muda, dia mengunjungi Kota Khawarizmi dan Transoxania untuk berinteraksi dengan ulama-ulama setempat. Di samping alasan mengejar ilmu, perjalanannya ke wilayah-wilayah Islam di timur itu juga menjadi awal baginya mendapatkan perlindungan dan dukungan dari penguasa-penguasa Muslim. Misal nya, Sultan Ghiyath al-Din dari Ghazna dan penggantinya yakni Syihabuddin.

Akan tetapi, Fakhruddin ar-Razi juga menjalin pertemanan dengan lawan politik sultan Ghazna itu, yakni Shah Khawarizmi Alauddin Takesh dan anaknya, Muhammad. Dengan dukungan dari kalangan elite kerajaan itu, pada zamannya Fakhruddin ar-Razi termasuk ilmuwan yang hidup mapan. Selain dua kota tersebut, dia juga menyambangi Khurasan, Bukhara, Samarkand, dan India.

Sebagai sosok dengan kapasitas intelektual yang tinggi, Fakhruddin ar- Razi senang berdebat dengan orang-orang yang berseberangan pandangan. Dia tidak suka dengan orang yang lemah dalam penalaran dan terburu-buru menyimpulkan argumen. Polemik keilmuan acap kali begitu keras. Salah satu pihak yang mengecamnya adalah kelompok Karramiyah, yang mendukung penafsiran literal atas teks-teks sumber Islam.

Bahkan, kelompok Ismailiyah dan Hanbali disebut-sebut pernah mengancam nyawanya. Beberapa riwayat mengatakan, kematian Fakhruddin ar-Razi terjadi lantaran minumannya diracun. Di Herat, kota tempatnya mengembuskan napas terakhir, dia mengajar di madrasah yang khusus dibangun Sultan Ghiyath untuknya

 

REPUBLIKA

Matematika Rizki

MATEMATIKA menjadi pelajaran wajib bagi setiap siswa. Sepertinya, matematika adalah mata pelajaran paling dasar kedua setelah bahasa yang ditanamkan sejak dini. Bahasa adalah sebagai dasar berkomunikasi sementara matematika adalah sebagai dasar berhitung. Komunikasi dan berhitung sepertinya menjadi bagian pokok kegiatan hidup.

Pelajaran berhitung paling dasar adalah tentang penambahan dan pengurangan. Ini adalah pelajaran agar manusia terbebas dari kerugian. Sayangnya, yang banyak muncul dalam fase berikutnya adalah semangat menambah terus tanpa mau mengurangi. Tampaklah karakter tamak dan bakhil. Semoga Allah menjauhkan kita dari karakter jelek ini.

Pelajaran matematika berikutnya adalah perkalian dan pembagian agar manusia paham penghitungan dengan semangat pelipatgandaan dan terbebas dari pembagian yang meruntuhkan secara bertahap dan terstruktur. Sayangnya, semangat seperti ini seringkali memunculkan karakter mengeksploitasi orang lain dan menguras habis segala yang bisa dikuras tanpa mempertimbangkan etika. Semoga Allah hindarkan kita dari tabiat tak baik ini.

Karakter tersebut muncul dengan terang benderang dalam domain perebutan rizki, semangat ingin cepat kaya. Yang dibicarakan selalu saja penambahan dan perkalian. Banyak yang lupa bahwa terlalu sering berpikir penambahan akan memaksa pengurangan datang tiba-tiba dan mengejutkan. Akhirnya rizkinya tak jadi bertambah. Banyak yang tak sadar bahwa terlalu banyak bicara perkalian akan memaksa hadirnya pembagian yang menuntut pengeluaran rizki tanpa disangka.

Matematika rizki itu adalah bahwa siapa yang mengurangi hartanya secara sadar dengan niat kebaikan maka penambahan jumlah dan keberkahan akan tiba dengan sendirinya. Lebih dari itu, siapa selalu membagi hartanya sengan niat kemaslahatan maka Allah akan mengkalikannya dengan sesuka Allah sehingga jumlah hartanyapun berkali lipat.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAHMOZAIK

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Bahaya Kemiskinan, Mohonlah Perlindungan pada Allah

Jika kemiskinan makin meraja, maka akan menjadi kemiskinan yang mampu membuatnya lupa akan Allah dan juga kemanusiaannya, sebagaimana seorang kaya yang apabila terlalu meraja.

ISLAM memandang kemiskinan merupakan satu hal yang mampu membahayakan akidah, akhlak, kelogisan berpikir, keluarga, dan juga masyarakat. Islam pun menganggapnya sebagai musibah dan bencana yang harus segera ditanggulangi.

Seorang muslim harus segera memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas kejahatan yang tersembunyi di dalamnya. Terlebih, jika kemiskinan ini makin meraja, maka ia akan menjadi kemiskinan yang mansiyyan (mampu membuatnya lupa akan Allah dan juga kemanusiaannya), sebagaimana seorang kaya yang apabila terlalu meraja, maka ia akan menjadi kekayaan yang mathgiyyan (mampu membuat orang zalim; baik kepada Allah maupun kepada manusia lainnya).

Banyak sahabat Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam yang meriwayatkan bahwa Rasulullah sendiri pernah ber-taawudz (memohon lindungan Allah) dari kemiskinan. Apabila memang kemiskinan tidak berbahaya, maka tentunya Rasulullah tidak perlu ber-taawudz atasnya.

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam ber-taawudz:

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah api neraka, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kekayaan dan juga berlindung pada-Mu atas fitnah kemiskinan.” (HR. Bukhari).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bertaawudz:

“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari kemiskinan, kekurangan dan juga dari kehinaan. Aku berlindung padamu dari perbuatanku untuk menzalimi ataupun untuk terzalimi.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Tampak dari hadits ini sesungguhnya Rasulullah berlindung kepada Allah dari semua hal yang melemahkan, baik secara materi ataupun secara maknawi; baik kelemahan itu karena tidak mempunyai uang (kemiskinan), atau tidak mempunyai harga diri, dan juga karena hawa nafsu (kehinaan).

Poin penting dari semua ini adalah adanya keterkaitan taawudz dan kekafiran. Sesungguhnya kekafiran inilah yang menjadi landasan dasar dari adanya taawudz itu sendiri, yang semuanya ini akhirnya menjadi bukti akan bahaya kemiskinan.

Diriwayatkan dari Abu Bakar langsung kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam:

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari kekafiran dan kefakiran. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur. Sesungguhnya tiada Tuhan selain Engkau.” (HR. Abu Dawud).

Imam Manawy dalam kitabnya Faidhul Qadir menyebutkan bahwa ada keterkaitan kuat antara kekafiran dan kefakiran, karena kefakiran merupakan satu langkah menuju kekafiran. Seorang yang fakir miskin, pada umumnya akan menyimpan kedengkian kepada orang yang mampu dan kaya. Sedang iri dengki mampu melenyapkan semua kebaikan. Mereka pun mulai menumbuhkan kehinaan di dalam hati mereka, di saat mereka mulai melancarkan segala daya upayanya demi mencapai tujuan kedengkian mereka tersebut.

Kesemuanya ini mampu menodai agamanya dan juga menimbulkan adanya ketidak-ridhaan atas takdir yang telah ditetapkan. Akhirnya tanpa sadar akan membuatnya mencela rezeki yang telah datang padanya. Walaupun ini semua belum termasuk ke dalam kekafiran, namun sudah merupakan langkah untuk mencapai kekafiran itu sendiri.

Sufyan At-Tsauri berkata: “Apabila diberikan padaku empat puluh dinar hingga aku mati dengannya, maka sesungguhnya hal ini lebih aku sukai daripada kefakiranku di suatu hari, dan daripada aku harus merendahkan diriku dengan mengemis kepada orang lain.”

Lalu ia berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku apabila aku ditimpa bencana kemiskinan ataupun ditimpa suatu penyakit. Mungkin pada saat itu aku akan kafir ataupun tidak merasakan apa pun.*/Sudirman STAIL

 

HIDAYATULLAH

Menikahi Bekas Menantu Laki-Laki, Bolehkah?

Allah SWT memasukkan ibu mertua sebagai perempuan yang tidak boleh dinikahi.

Ikatan pernikahan merupakan hubungan suci yang diatur dalam Alquran. Seorang lelaki bisa menikahi perempuan manapun selama bukan golongan perempuan yang dilarang untuk dinikahi. Hanya, ada beberapa kondisi yang menjadi pertanyaan kaum Muslimin.

Apabila seorang lelaki menikah dengan seorang perempuan, tetapi baru beberapa bulan mereka lantas bercerai. Pasangan ini bahkan tak pernah melakukan hubungan seksual. Lantas, lelaki itu berhasrat untuk menikahi bekas mertua mantan istrinya tersebut. Pertanyaan pun menyeruak apakah mantan menantu ini boleh menikahi bekas mertuanya?

Dalam Alquran surah an-Nisa ayat 23, Allah SWT memasukkan ibu mertua sebagai perempuan yang tidak boleh dinikahi. Dalam hal ini, Imam Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat pada masa Pemerintahan Khalifah Muawiyyah. Ketika itu, Bakr ibnu Kinanah pernah menceritakan kepadanya bahwa ayahnya menikah kan dirinya dengan seorang wanita di Taif.

Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, “Wanita tersebut tidak kugauli sehingga pamanku meninggal dunia, meninggalkan Utrima yang juga adalah ibu si wanita itu, sedangkan ibunya adalah wanita yang memiliki harta yang banyak.” Ayahku berkata (kepadaku), “Maukah engkau mengawini ibunya?” Bakr ibnu Kinanah mengatakan, ‘Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah tersebut.’ Ternyata ia berkata, ‘Kawinilah ibunya!’. “Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya bahwa setelah itu ia bertanya kepada Ibnu Umar. Maka ia menjawab, “Jangan kamu kawini dia.”

Setelah itu aku ceritakan apa yang di katakan oleh keduanya (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar). Lalu ayahku menulis surat kepada Mu’awiyah yang isinya memberitakan apa yang dikatakan oleh keduanya. Mu’awiyah menjawab, “Sesungguhnya aku tidak berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, tidak pula mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Kamu tinggalkan saja masalah tersebut karena wanita selainnya cukup banyak.” Dalam jawabannya itu Mu’awi yah tidak melarang—tidak pula mengizinkan— aku melakukan hal tersebut. Lalu ayahku berpaling meninggalkan ibu si wanita itu dan tidak jadi menikahkannya (denganku).

Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Fiqih Kontemporer menjelaskan, tidak boleh menikah dengan bekas ibu mertua. Baik anaknya (bekas istrinya) sudah pernah di gauli maupun belum, baik yang dicerai kan sebelum digauli maupun yang me ninggal sebelum digauli. Syekh Qara dha wi menjelaskan, Allah SWT sudah mengatur ini dalam Alquran.

“Diharamkan atas kalian (menga wini) ibu-ibu kalian; anak-anak kalian yang perempuan; saudara-saudara ka lian yang perempuan, saudara-saudara ba pak kalian yang perempuan; saudarasaudara ibu kalian yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudara lelaki kalian: anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian: ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara sepersusuan kalian; ibuibu istri kalian (mertua) anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri kamu itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istriistri anak kandung kalian (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa:23).

Menurut Syekh Qaradhawi, dalam ayat ini, Allah SWT tidak membedakan antara mertua yang anaknya sudah pernah digauli (berhubungan seks) dan yang belum. Dengan demikian, akad nikah yang dilakukan seorang pria dengan seorang wanita mengharamkan kemungkinan adanya pernikahan dengan ibu mertua untuk selama-lamanya.

Syekh Qaradhawi melanjutkan, berbeda apabila seorang pria menikah dengan ibu yang belum pernah digaulinya. Kemudian, terjadi perceraian di antara mereka atau istrinya meninggal dunia. Pria itu pun boleh menikah dengan putri ibu tersebut. Hal ini menjadi salah satu kategori perempuan yang boleh dinikahi dalam ayat tersebut. “… anak-anak istri mu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri. Tetapi, jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya..” (QS an- Nisa:25). Wallahu a’lam. 

 

REPUBLIKA

 

Kehebatan Jibril yang Disebut dalam Alquran

ADA banyak sifat Jibril yang Allah sebutkan dalam al-Quran, berikut diantaranya,

[1] Firman Allah, “Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.” (QS. At-Takwir: 19-21).

Dalam ayat di atas, ada beberapa sifat jibril,
– Utusan Allah yang mulia
– Makhluk yang kuat
– Memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah pemilik Arsy
– Ditaati para malaikat lainnya
– Amanah di sisi Allah Taala

[2] Firman Allah, “Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang memiliki mirrah; dan dia menampakkan diri dengan rupa yang asli.” (QS. An-Najm: 5-6)

Dalam ayat ini, ada beberapa sifat Jibril,
– Sangat kuat
– Dzu mirrah. Ulama berbeda pendapat tentang makna Dzu Mirrah, menurut Ibnu Abbas, dzu mirrah artinya penampilan yang sangat indah. Sementara menurut Mujahid, artinya memiliki kekuatan. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/444).

 

INILAHMOZAIK

Petualangan Ibnu Fadhlan ke Rusia

Kunjungan itu dituliskan Ibnu Fadhlan begitu detail.

Layaknya ilmuan pada masa kejayaan Islam, Ahmad bin Fadlan menyumbang kontribusi bagi fondasi bangsa Rusia. Heroisme Ibnu Fadlan bahkan dikenang dalam sebuah film Hollywood, the 13th Warrior yang pernah di rilis pada 1999. Tak tanggung-tanggung, aktor kawakan Antonio Banderas memerankan tokoh Ibnu Fadlan.

Dalam film ini, Ibnu Fadlan digam bar kan sebagai seorang yang pemberani, cerdas dan mahir berbahasa. Sosok Ahmad bin Fadlan bukanlah tokoh rekaan. Dialah seorang negara wan, pakar hukum Islam, sekaligus il mu wan yang menjadii pejabat tinggi Kha lifah Bani Abbasiyah, Al-Muqtadir Billlah. Ibnu Fadlan ditugaskan untuk pergi ke kawasan Rusia untuk meme nui undangan Kaisar Bulgaria Khan Almuch (Al mos) pada 921.

Sang kaisar meminta kepada khalifah untuk mengirim sebuah delegasi yang bisa menjelaskan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kaisar ini pun me mohon ban tuan finansial untuk membangun masjid dan benteng-ben teng untuk me lindungi dan mem pertahan kan diri dari serangan-serangan penguasa Kazar yang berhaluan Yahudi. Ibnu Fadlan pun diutus di dalam delegasi tersebut ke negeri Beruang Merah.

Ibnu Fadlan berangkat bersama anggota delegasi lain dari Baghdad pada 11 Shafar 309 Hijriyah. Delegasi ini me nem puh perjalanan menuju dataran ting gi di wilayah timur dan utara melewati berbagai wilayah pe gunungan. Mereka berjalan melalui Ha ma dzan, Rayy dekat Teheran, lalu menyeberangi Sungai Jay houn hingga mencapai Samarkand. Dari Samarkand, perjalanan dilanjutkan me nuju Bu khara, lalu menuju Khawarizm melewati wilayahwilayah lagor Turki.

Perjalanan kemudian berlanjut sam pai ke Sungai Volga. Pada akhirnya, mereka pun bertemu dengan penguasa Slavia pada 12 Muhar ram 310 M. Delegasi ter se but me makan waktu perjalanan sebe las bulan hing ga mencapai Kerajaan Bul garia di selatan Rusia. Selama perjalanan tersebut, Ibnu Fadlan pun mencatat me moar yang men jadi satu-satunya sum ber penulisan sejarah Ru sia, Bulgaria, dan Turki.

Dalam manuskrip tersebut, Ibnu Fadhlan berki sah dengan detail tentang kaum lelaki dalam tradisi dan budaya mereka, keduduk an perempuan di anta ra mereka, situasi dan kondisi penduduk serta mata pencaharian mereka, adat istiadat dan tradisi mereka dalam me ngu burkan jenazah. Ibnu Fadhlan pun menceritakan bagaimana keyakinan mereka berkaitan dengan Tuhan.

Pada satu memoarnya, Ibnu Fadhlan bercerita, “Apabila mereka berhasil me nang kap pencuri atau perampok, maka mereka meng giringnya ke sebuah pohon besar dan kemudian lehernya diikat dengan tali dan rantai. Lalu menggantungnya pada pohon tersebut. Pencuri itu terus tergantung di atas pohon hingga anggota dan organ tubuhnya tercabik-cabik oleh angin dan hujan.”

Ahmad Fadhlan pun menceritakan de ngan detail kebiasaan primitif penguasa dalam buang air. “Sang penguasa tidak turun dari tempat tidurnya. Apabila ingin buang air besar maupun kecil, maka ia membuangnya di dalam teko. Apa bila ingin mengendarai ken dara an nya, maka mereka mendatangkan ken daraannya itu ke tempat tidur. Lalu ia mengendarai nya dari atasnya. Apabila ingin turun, maka ia mendatangkan ken daraannya dan turun di atasnya.”

Ada juga kisah tentang berbagai ri tual dan upa cara khusus kematian di Rusia. Me reka membuat ritual dalam menangani jena zah para pemimpin. Di antaranya adalah mem bakarnya. “.. Aku ter tarik untuk me nyak sikan hal itu, hing ga aku mendapat in for masi mengenai se orang lelaki terhormat di antara me reka yang meninggal dunia. Ke mudian mereka memasukkannya ke dalam ku burannya dan mendirikan tenda selama sepuluh hari berturutturut hingga me reka usai memotong pakaianpakainnya dan menjahitnya.”

Ibnu Fadhlan menjelaskan, jenazah orang fakir akan mendapat perlakuan ber beda. Mereka akan dibuatkan sebuah perahu kecil. Jenazahnya lalu dimasuk kan di dalamnya kemudian dibakar ber sama perahu itu. Sedangkan, jika ada orang kaya meninggal, mereka akan mengumpulkan hartanya lalu dibagi dalam tiga bagian. Sepertiga untuk ke luarga, sepertiga untuk menyediakan pa kaian, dan sepertiga tersisa untuk mem buat anggur yang mereka minum ketika budak perempuannya bunuh diri. Budak itu lantas dibakar bersama ma jikannya dengan penuh kebahagiaan.

 

REPUBLIKA

Nasrani Masa Silam Sebut Jibril dengan An-Namus

ORANG nasrani masa silam menyebut Jibril dengan nama an-Namus. An-namus sendiri artinya sosok ghaib yang menjadi kawan seseorang, dia bisa melihatnya namun orang lain tidak bisa melihatnya.

Diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu anha, ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pertama kali mendapatkan wahyu surat al-Alaq di gua Hira, beliau pulang menemui Khadijah Radhiyallahu anha dalam kondisi badannya menggigil. Hingga Khadijah membawanya menemui Waraqah bin Naufal sepupunya Khadijah dan beliau beragama nasrani di zaman jahiliyah, menulis kitab dan menyalin Injil ke dalam bahasa arab. Ketika itu, Waraqah sudah sangat tua, tuna netra.

Setelah Waraqah mendengar cerita yang disampaikan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau langsung berkomentar,

Itu Namus yang pernah turun menemui Musa Shallallahu alaihi wa sallam andai di masa sekarang saya masih muda, andai saya masih hidup ketika kaummu akan mengusirmu semua orang yang membawa misi dakwah seperti yang anda bawa, pasti diganggu. Andai saya masih hidup ketika anda berdakwah, saya akan membantu dan membela anda. (HR. Bukhari 4953 & Muslim 160).

 

INILAHMOZAIK

Makanan yang Bid’ah, Apa Itu?

“Makanan ini bid’ah lho!” kata ustadz Abdullah Hadrami seraya menunjuk masakan khas Timur Tengah.

Wah, makanan bid’ah? Makanan yang tidak isbal maksudnya? Eh?!

Islam merupakan agama yang sangat holistik, konsep hidup yang universal dan sempurna. Segala aspek sudah diatur dalam Islam untuk kebaikan kita baik saat dunia maupun akhirat.
Masalah makan dan minum pun juga telah dibahas dalam Islam secara lengkap, akurat dan jelas.
Allah berfirman:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [QS 7 Al-A’raf, ayat 31]

Ustadz menjelaskan bahwa kita diperbolehkan memakai pakaian, makan dan minum apapun yang kita sukai asalkan halal, tidak ada unsur berlebihan dan tidak ada niat menyombongkan diri.

Bahkan Sulthanul Ulama’ (Pemimpin para Ulama) Al-‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah mengatakan makan dan minum yang enak-enak dan lezat yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW adalah termasuk kategori bid’ah mubahah yaitu bid’ah yang diperbolehkan dengan syarat seperti yang telah disebutkan di atas.

Al-‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah (wafat 660 H / 1066 M) adalah seorang ulama besar pada masanya sehingga mendapat gelar Sulthanul Ulama’ atau pemimpin ulama.

Beliau membagi bid’ah menjadi lima bagian sebagaimana hukum yang lima, yaitu:

1. Bid’ah Wajibah atau bid’ah yang wajib, seperti membukukan ilmu nahwu, fiqih, dan lain-lain.

2. Bid’ah Mustahabbah atau bid’ah yang dianjurkan, seperti membangun sekolahan, pesantren, dan lainnya.

3. Bid’ah Mubahah atau bid’ah yang boleh-boleh saja, seperti makan dan minum yang lezat, pakaian dan rumah yang bagus dan lainnya.

4. Bid’ah Makruhah atau bid’ah yang makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan, dan lainnya.

5. Bid’ah Muharramah atau bid’ah yang haram, seperti bid’ah qadariyah dan aqidah menyimpang lainnya, menambahi shalat Subuh menjadi tiga raka’at, dan lainnya.

Wallahua’lam. [Paramuda/BersamaDakwah]

 

BERSAMA DAKWAH

Toleransi dan Teladan Rasulullah

Toleransi antarumat beragama bukanlah produk masyarakat modern yang hidup dalam tingkat kera gaman yang tinggi. Meski baru menjadi kebijakan resmi di negara berbahasa Inggris pada 1999, toleransi telah diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada periode awal Islam.

Sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar menjelaskan hal itu. Ia berkata, “Dua orang Yahudi lelaki dan perempuan telah berzina dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya, ‘Apakah hukum an kepada orang yang berzina se perti yang terkandung di dalam Taurat?’ Mereka (yang membawa orang Yahudi tersebut) menjawab, ‘Kami mencoreng muka mereka dengan warna hitam, dan menaikkan mereka ke atas kendaraan, lalu membawanya berkeliling.’ Rasulullah berkata, ‘Datang kanlah kitab Taurat itu sekiranya kamu berlaku jujur.’

Mereka pun mengambil Taurat dan membacanya. Ketika bacaan mereka sampai pada ayat rajam, tibatiba pemuda Yahudi itu meletakkan tangannya di atas ayat tersebut dan hanya membaca ayat yang sebelum dan setelahnya. Abdullah bin Salam yang turut bersama Rasulullah SAW berkata kepada beliau, ‘Perintahkanlah ia untuk mengangkat tangannya.’ Pemuda itu lalu mengangkat tangannya sehingga Rasulullah dan para sahabat segera mengetahui bahwa ayat yang berusaha ia tutupi ialah ayat tentang rajam. Kemudian Rasulullah memerintahkan agar kedua orang yang berzina tadi dihukum rajam.”

Dari hadis itu nampak jelas bahwa Rasulullah memerintahkan penjatuh an hukuman rajam pada umat Yahudi berdasarkan hu kum yang tertera pada kitab mereka dan bukan menurut ketentuan Alqur an. Maka, toleransi adalah perihal muamalah yang telah diterapkan se jak masa awal Islam, dengan cara pandang yang berasas kan multikulturalisme.

Sikap tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa menyakiti seorang dzimmi (kaum kafir yang tidak memusuhi Islam dan tunduk dalam pemerintahan Islam) maka sungguh ia menyakitiku. Dan, barang siapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah.” (HR Thabrani).

 

REPUBLIKA