DERU suara truk-truk pengangkut bahan bakar mulai memecah kesunyian pagi. Suara mesin berkapasitas 8.000 cc juga terdengar berderik keras mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menarik tangki-tangki besar muatannya.
Sesekali dentuman hidrolik melepaskan angin membuat tembok mushala tempatku tidur bergetar. Mataku masih terasa pedih untuk dapat kubuka. Kusempatkan melirik handphone di sampingku. Masih pukul 3.30 pagi. Dengan malas aku mencoba duduk sambil bersandar di tembok. Kulihat temanku Dimas masih tertidur dengan pulas.
Sesekali terlihat keletihan di wajahnya yang belum pulih benar setelah seharian mendampingi operator. Tak lama kemudian terdengar suara panggilan bagi para sopir dan awak mobil untuk berkumpul.
“Mas, bangun! Sebentar lagi sudah mulai operasi” seruku sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Tak perlu waktu lama untuk dia bangun dan mengambil tasnya yang berisi laptop yang penuh dengan kode-kode program baru yang sudah kami upload ke server tadi malam.
Dengan langkah gontai kami pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Usapan air di muka kami betul-betul menyegarkan wajah kami.
“Mas, kita harus pastikan sistem yang di upload semalam berjalan dengan baik”, kataku kepada Dimas. “Iya, saya akan stand by supaya operasional lancar” jawab Dimas. Temanku yang satu ini memang bisa diandalkan untuk urusan mengotak-atik sistem baru.
Sesampainya kami di depan pintu ruang operasi kuketuk pintu tiga kali. “Srek srek”, suara sandal terdengar mendekati pintu. “Eh mas Rinto, nginep kantor to kang”, kata Pak Ari. “Iyo pak, takutnya telat malah ganggu operasional”, jawabku sambil menuju sofa tamu yang ada di depan meja operasional.
Segera kuambil laptop dalam tasku. Kubuka perlahan layar laptop dan kuisikan password. Setelah loading beberapa saat, aku segera membuka aplikasi proyek yang sedang kami kerjakan.
Sayup-sayup terdengar suara adzan Subuh mulai menggema. Aku masih meneruskan membaca baris-baris program komputer. Rasa penasaran intelektualku makin membuncah memenuhi seluruh ruang kesadaranku. Sudah beberapa kali kuotak-atik aplikasi ini, namun tak kunjung kutemukan solusi atas kendala logika otomasi di menu sistem tersebut. “Mas, kenapa datanya masih belum bisa terintegrasi ya?” seruku pada Dimas yang tak kalah pusing.
“Sepertinya masih terkendala di koneksi databasenya”, jawabnya sambil menaikkan kacamata minusnya. Aku kembali terhanyut dalam rentetan baris kode logika pemrograman yang tertata rapi di layar komputer. Aku mencoba keras untuk berpikir memecahkan teka-teki permasalahan namun belum terlihat juga masalah yang terjadi.
Kulayangkan pandanganku ke tembok. “Teng…..Teeeng” suara jam dinding berdentang keras.
“Astaghfirullah, sudah jam lima!” seru Dimas mengingatkan. “Ayuk, salat Subuh dulu mas” kata Dimas. Aku terhenyak karena subuh sudah lewat dari tadi. Segerak kuiikuti Dimas buru-buru ke kamar mandi dan berwudhu.
Setelah salat subuh sebentar, kami kembali duduk di depan laptop sambil menganalisa gambar
jaringan komputer. “Nah aku sudah ketemu mas, ada masalah di salah satu setup paramater kita dan sudah kubereskan,” serunya dengan wajah gembira.
“Ok, segera kamu setup saja biar cepet kelar nih” seruku. “Aku sudah bosen di sini ngerjain itu melulu, ngga kelar-kelar,” ocehku sambil mengacungkan jempol pada rekanku. “Kriing…kriiing” tiba-tiba handphoneku berbunyi.
“Assalamualaikum, Ayah” dari handphone kudengar celoteh anakku. “Waalaikum salam sayang”, jawabku. “Adik sudah salat?” tanyaku kembali kepada anakku. “Sudah, Yah. Tadi juga ikut Bunda Tahajud.” Tukasnya sambil ketawa ngikik. “Tut…tut…tut”, tidak terdengar lagi jawaban dari handphone. Mungkin kepencet sehingga terputus.
Aku sudah kembali hanyut dalam pekerjaanku. Aku memang sangat menyenangi pekerjaanku. Jika
sudah bergelut di depan laptopku, aku bisa berjam-jam duduk tanpa bergeser dari bangku tempatku menyandarkan tubuhku. Terkadang aku berkerja dengan keras sekali bukan karena loyalitasku tetapi lebih cenderung karena memuaskan rasa intelektualku. Seringkali salat berjemaah maupun makan siangku terlewat begitu saja karena begitu asyiknya di depan komputerku.
Siang ini aku sudah cukup puas dengan hasil kerjaku dan rekan kerjaku karena beberapa masalah sudah berhasil aku selesaikan. Sambil minum teh hangat, aku berbincang-bincang dengan beberapa rekan kerja seniorku di kantin. Dari dinding kaca kantin dapat kulihat beberapa sopir truk berkerumun menunggu antrean pengiriman. Asap rokok yang dinyalakan oleh mereka mulai masuk ke ruang kantin tempat kami berbincang. Tiba-tiba kami dikejutkan suara pintu yang terbuka.
“Mas Rinto, aplikasinya kembali ngga konek. Antrean semakin panjang dan tolong segera dibantu,” seru Dimas yang dari tadi berada di ruang kerjanya.
Aku pun kembali bergegas menuju ruangan di samping kantin. Beberapa kabel jaringan yang ada kucabut, dan kucolok kembali. “Mas, tolong dicek apakah sudah kembali konek atau tidak?” seruku pada Dimas yang dari tadi bengong di belakangku. “Belum, Mas,” jawabnya sambil teriak dari dalam kantor.
Sementara itu antrean para sopir yang sudah mulai mengular menaikkan tingkat stressku. “Pak, lama banget sih” kata para sopir truk yang sudah tidak sabar. “Sabar pak, sabar.
Orang sabar itu disayang Allah,” jawabku sekenanya. “Kayaknya perlu dicek antenanya di atas atap mas Rinto” usul Dimas yang dari tadi ikut stress mendengar omelan para sopir. “Ok deh mas Dimas, aku naik ke atas atap ya, kamu jaga di sini dan kasih tau kalau sudah bisa nyambung kembali,” kataku sambil berlalu menuju tangga belakang.
Dengan perlahan aku mulai menaiki tangga belakang dengan hati-hati. Sesampainya di atap, aku mulai berjalan mengikuti coran tembok menuju antena berbentuk parabola yang menjadi
penghubung koneksi jaringan di kantorku. Kulihat lampu indikator pada antena tersebut tidak menyala. Dengan segera kucabut kabel yang tercolok di perangkat tersebut kemudian kutancapkan kembali. “Dimaaas, sudah nyambuuuung?” teriakku dari atas atap. “Sudah mas, wokeeeeh.”
Serunya membalas teriakanku. “Sip deh” batinku sambil merasa puas atas kemampuanku. Aku pun berjalan kembali melintas atap untuk kembali turun. Sesudah sampai di dinding, aku mencoba melangkahkan kaki arah tangga, tapi nahas. Tangga yang licin membuat kakiku terpeleset sehingga aku harus bertumpu pada tanganku di salah satu genteng. “Kreek” suara atap patah tertarik oleh tanganku karena tak mampu lagi menahan berat tubuhku. Tak ayal lagi, tubuhku melayang di udara, bumi siap menerima hempasan tubuhku. “Buk, Aduuuh” Aku berteriak kesakitan dan kulihat langit menjadi gelap.
“Tit…tit…tit” suara teratur itu terdengar di telingaku. Saat kubuka mataku, aku ternyata sedang terbaring di sebuah kamar yang serba putih. Perlahan-lahan aku mencoba mengingat kembali memori terakhirku. Ketika aku teringat kejadian kemarin, aku menduga bahwa ini adalah rumah sakit. Kucoba menggerakkan kakiku, ternyata sakit sekali.
“Ayah sudah siuman?” kudengar suara putriku ada didekatku. Aku menolehkan wajahku ke arah suara itu. “Alhamdulilah Sayang, ayah sudah baikan” jawabku sambil tanganku mengusap-usap kepalanya. Aku begitu bahagia masih bisa bertemu dan melihat kembali anakku.
“Alhamdulilah, Fathin senang lihat Ayah sudah baikan. Fathin bersyukur banget sama Allah. Doa Fathin terkabul. Tadi Fathin doain ayah biar segera sembuh”, celoteh anakku yang memang dari kecil ceriwis sekali dan rona wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang luar biasa. Sambil berjingkrak-jingkrak dia berlari ke pangkuan ibunya untuk mengabarkan berita gembira bahwa ayahnya sudah siuman.
Kupandangi lekat-lekat anakku. Begitu mudahnya anak ini berbahagia dengan kembalinya kesadaran diriku. Tapi bagaimana mungkin, sebelumnya aku dengan seluruh kesehatan badanku tak mampu untuk mensyukurinya? Bagaimana mungkin aku tidak memenuhi panggilanmu untuk salat berjemaah di saat Engkau berikan harta yang sudah mencukupi kebutuhanku? Begitu sombongnya diriku menganggap dapat menyelesaikan masalah-masalah pekerjaan, padahal itu semua adalah ilham dari-Mu. Kini aku yakin bahwa jatuhnya diriku ini pun adalah kuasa-Mu untuk dapat kembali menyadarkanku agar kembali ke jalan-MU.
“Allahuakbar…Allahuakbar”, suara gema adzan Dzuhur yang sayup-sayup kudengar tak terasa telah melelehkan mataku. Hari ini aku hanya bisa mendengar panggilan-Mu tanpa bisa memenuhinya karena peringatan-Mu kepadaku. Aku berjanji akan kembali bersegera memenuhi seruan-Mu, sebelum Engkau benar-benar meminta pertanggungjawaban hidupku. Terima kasih ya Allah telah Kau ingatkan hamba-Mu.
[Riswanto Warih Prabowo, Aktivis Dakwah Kampus ITB’ 99]
INILAH MOZAIK