MUI Minta Umat Islam Rapatkan Barisan

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut KH Sirojul Munir menilai isu penyerangan terhadap ulama dan tokoh agama sengaja disebar untuk tujuan melemahkan kekuatan dan persaudaraan muslim.

Lebih jauh, ia menilai isu tersebut disebarluaskan untuk menimbulkan keresahan bagi ulama dan para pengajar agama Islam. Untuk itu, ia mengharapkan seluruh umat Islam untuk merapatkan barisan menjaga keharmonisan.

“Serta berani untuk melawan segala teror yang meresahkan masyarakat. Seluruh umat Islam untuk bersama-sama mengahadapi teror tersebut,” ujar Sirojul di Pendopo Kabupaten Garut, Jawa Barat, Rabu (21/2/2018).

Sementara itu, Ketua MUI Kecamatan Cisurupan KH Cecep Jayakarama menambahkan, persoalan ancaman teror terhadap ulama harus ditanggapi dengan pikiran yang tenang dan tidak terprovokasi.

Menurutnya, uama harus memiliki kemampuan menangkal isu yang tidak jelas tersebut dan mampu meredamnya dengan memberikan kepastian kepada masyarakat agar tidak menimbulkan keresahan.

“Kalau istilah kebakaran itu maka para ulama menjadi pemadaam kebakaran, bukan menjadi bensin, ulama itu harusnya menyejukkan umat,” pungkasnya.

 

INILAH com

Hukum hoax dalam Islam

Salah satu penyebab perpecahan umat yang sudah sangat mengkhawatirkan hari ini adalah menerima berita dari orang lain tanpa menyaringnya dengan kritis.

Menurut Syeikh Abdurrahman as-Sa’di, sebagai makhluk yang diberi akal, kita harus hati-hati dalam menerima sebuah isi berita. Harus melakukan proses seleksi, menyaring, dan jangan sembrono dengan menerimanya begitu saja.

Dalam literatur-literatur ushul fiqh disebutkan dengan begitu jelas definisi sebuah berita; sesuatu yang mungkin benar sekaligus mungkin salah.

Bahkan dalam diskursus hadis, ada sebuah ilmu khusus yang membahas tentang para informan hadis (jarh wa ta’dil). Sebuah upaya memverifikasi kesahihan periwayatan melalui jalur para informannya.

Lalu bagaimana dengan berita yang lalu lalang di media sosial? Apakah semua yang beredar di Facebook, Twitter, atau Berita online, bisa kita pastikan kebenarannya dan kita bagikan tanpa proses verifikasi kebenaran isi beritanya?

Mari muhasabah atau introspeksi diri kita agar tidak terjebak dan terjerembab dalam kubangan para pembual dan pemfitnah. Salah satu jalan menghindari hoax dengan memverifikasi berita.

Allah SWT telah mewanti-wanti umat Islam untuk tidak gegabah dalam membenarkan sebuah berita yang disampaikan oleh orang fasik.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS al-Hujurat:6)

Syeikh Thahir ibn Asyur, ahli tafsir kenamaan asal Tunisia, dalam kitabnya berjudul tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir menafsirkan ayat di sebagai sebuah penjelasan bahwa kita harus berhati-hati dalam menerima berita seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya. Hal ini baik dalam ranah persaksian maupun dalam periwayatan.

Dalam konteks hari ini, kita dituntut agar berhati-hati dalam menerima pemberitaan dari media apapun, terlebih media yang isinya sarat dengan muatan kebencian kepada pihak lain.

Majelis Ulama Indonesia, Senin lalu juga sudah mengharamkan berita hoax, walau tujuannya baik. Menyebarkan informasi yang benar tetapi tidak sesuai tempat atau waktunya juga dilarang oleh para ulama.

Memproduksi atau menyebarkan informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, demi menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak, haram hukumnya.

 

BERITAGAR

Bagaimana umat Islam menyikapi hoax?

Dalam literatur-literatur ushul fikih disebutkan dengan begitu jelas definisi sebuah kabar/berita, yakni sesuatu yang mungkin benar sekaligus mungkin salah. Bahkan dalam diskursus hadis, ada sebuah ilmu khusus yang membahas tentang para informan hadis (jarh wa ta’dil). Sebuah upaya memverifikasi kesahihan periwayatan melalui jalur para informannya.

Lalu bagaimana dengan berita yang lalu-lalang di media sosial? Apakah semua kabar yang lewat di beranda Facebook, Twitter, atau berita daring, bisa kita pastikan kebenarannya? Lalu kita amini dan diperbolehkan membagikannya kepada orang lain tanpa melakukan proses verifikasi kebenaran isi beritanya? Siapa penulis beritanya? Apa motifnya dan tujuannya apa?

Di tengah kecepatan teknologi informasi digital sekarang ini, beberapa pihak menggunakannya untuk melakukan propaganda dan penyesatan. Orang-orang yang sudah memosisikan diri berada di kelompok tertentu (baik politik maupun ormas) akan dengan mudah terpancing bila ada pemberitaan “miring” di kubu “lawan”.

Mari muhasabah atau introspeksi diri kita agar tidak terjebak dan terjerembab dalam kubangan para pembual dan pemfitnah.

Salah satu penyebab perpecahan umat yang sudah sangat mengkhawatirkan hari ini adalah penerimaan (tanpa kritis) seseorang atas ucapan atau berita dari orang lain. Di mana berita tersebut memicu perselisihan. Berapa banyak kerugian yang dihasilkan dari sebuah berita (bohong) yang pada akhirnya melahirkan penyesalan? Berapa banyak berita yang berkembang di tengah masyarakat yang tidak sesuai dengan fakta? Oleh sebab itu, sebagai makhluk yang diberi akal, kita harus hati-hati dalam menerima sebuah isi berita. Harus melakukan proses seleksi dan melakukan penyaringan. Tidak boleh sembrono dengan menerimanya begitu saja.

(Syeikh Abdurrahman as-Sa’di)

Memverifikasi Berita

Allah SWT telah mewanti-wanti umat Islam untuk tidak gegabah dalam membenarkan sebuah berita yang disampaikan oleh orang fasik.

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS al-Hujurat:6)

Syeikh Thahir ibn Asyur, ahli tafsir kenamaan asal Tunisia, dalam kitabnya berjudul tafsir at-tahrir wa at-tanwir, dalam menafsirkan ayat di atas memberikan sebuah penjelasan bahwa ayat ini menegaskan kepada umat Islam agar berhati-hati dalam menerima laporan atau berita seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya. Hal ini baik dalam ranah persaksian maupun dalam periwayatan.

Dalam konteks hari ini, kita dituntut agar berhati-hati dalam menerima pemberitaan dari media apa pun, terlebih media yang isinya sarat dengan muatan kebencian kepada pihak lain.

Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam semesta telah memberikan petunjuk kepada umatnya dalam menjalankan kehidupannya agar sesuai dengan tuntunan syariat. Para ahli ushul fikih sejak beratus tahun yang lalu telah merumuskan tentang konsep universalitas syariat dengan memetakannya menjadi lima prinsip dasar; hifdz ad-din (menjaga agama), hifdz an-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-aql (menjaga akal sehat), hifdz al-mal (menjaga harta), dan hifdz al-ird (menjaga harga diri).

Kelima prinsip dasar universalitas syariat ini harus menjadi pegangan dan pedoman keberagamaan seorang muslim dalam menjalankan tuntunan agamanya. Artinya bahwa prinsip-prinsip tersebut harus terjamin pada diri seorang muslim di satu sisi, dan menjaganya agar tidak mencederai prinsip dasar yang menjadi hak orang lain di sisi lain.

Sebagai muslim yang baik, kita tidak diperbolehkan menghilangkan hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak memiliki harta, dan hak harga diri orang lain. Pada titik ini, dalam konteks bermuamalah dengan orang lain di dunia maya misalnya, kita tidak diperbolehkan melakukan hal yang merugikan lima hak dasar seseorang. Bagaimana dengan Anda?

 

BERITAGAR

Menjaga Tutur Kata

ALHAMDULILLAH. Puji dan syukur hanya milik Allah Swt. Pencipta langit dan bumi beserta segala apa yang ada di dalamnya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman, “..Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” 

(QS. Al Mujadilah [58] : 1 )

Saudaraku, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, bahkan sampai bisikan paling halus sekalipun yang ada dalam hati manusia. Siapapun yang yakin bahwa Allah Maha Mendengar, ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya.

Yang terpenting dari pembicaraan kita bukanlah kekaguman orang terhadap kita, melainkan keridhoan Allah terhadap apa yang kita ucapkan. Kita tidak perlu mendahulukan kesibukan merangkai kata supaya dipandang pintar, terpelajar, hebat oleh orang lain. Yang perlu kita lakukan adalah menjaga agar setiap ucapan kita niatnya benar dan bisa dipertanggungjawabkan.

Lebih baik berbicara dengan kata-kata yang sederhana, selamat dari rasa ingin dikagumi orang lain, daripada berbicara dengan kata-kata yang rumit, berbelit dengan rasa ingin dikagumi orang lain.

Tutur kata kita tidak membuat Allah senang kepada kita. Tapi, bersihnya hati dan lurusnya niat, itulah yang menjadi pengundang datangnya keridhoan Allah kepada kita. Tutur kata yang indah namun diniatkan demi memikat perhatian orang lain, sesungguhnya Allah mengetahuinya. Tutur kata yang rapi namun diniatkan mencelakai orang, sesungguhnya Allah pasti mengetahuinya. Dan, setiap perkataan pasti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang terampil menjaga setiap tutur kata kita sehingga Allah ridho kepada kita. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

 

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Hidup Sesuai Aturan, Bahagia Kini dan Nanti

SEMPAT terbaca sebuah catatan yang mendorong saya menuliskan tulisan ini. Catatan itu adalah sebagai berikut “Saat manusia itu akan meninggal, otak kirinya bekerja selama 7 menit di mana akalnya memutar kembali seluruh ingatannya dan semua yang dilajukannya selama ini bagaikan sebuah mimpi.”

Bisa kita bayangkan bagaimana sedihnya orang yang sepanjang hidupnya dipenuhi dengan pelanggaran-pelanggaran sementara dalam waktu tak lama lagi akan bertemu dengan Tuhannya yang akan meminta pertanggungjawabannya.

Bisa juga dibayangkan betapa bahagianya orang yang sepanjang hidupnya dipenuhi dengan ketaatan-ketaatan yang sebentar lagi akan diberikan pujian dan pahala besar oleh Tuhannya. Adalah pasti bahwa ketakutan hidup itu hanya dimiliki mereka yang menyimpan banyak kesalahan.

Ringankanlah saat kematian kita kelak dengan menabung kebaikan-kebaikan, apapun bentuknya. Kebaikan adalah segala sesuatu yang menjadikan Allah suka kepada kita. Sebenarnya, bukan hanya menjelang kematian saja yang akan ringan, hidup kinipun akan lebih ringan saat kita jalani hidup dengan benar dan baik.

Hiduplah dengan sederhana dan bersahaja. Tak usah memaksakan apa yang tak mampu dilakukan. Tak usah memaksa diri mewujudkan semua impian yang di luar kemampuan, karena pasti mendorong kita menghalalkan segala cara. Syukuri yang ada dan jalani sesuai aturan, maka hidup akan ringan dan bahagia.

Tersisa pertanyaan: “Siapa ya yang membuat catatan di atas tadi? Apakah dia pernah mati dan kemudian hidup kembali lalu bercerita detik-detik menjelang kematian? Ataukah ada dalil?” Bagaimanapun, ikuti aturan.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Nilai Manusia Terletak pada Hatinya

URUSAN hati adalah hal penting yang selalu diperhatikan oleh Alquran. Bahkan nilai manusia terletak pada hatinya. Kali ini kita akan menyimak 8 hati yang sehat menurut Alquran. Apa saja 8 hati itu?

1. Hati yang tunduk. Yaitu hati yang tunduk, tenang dan yakin dengan keputusan Allah Ta’ala. “Dan tunduk hati mereka kepadanya (Alquran).” (QS.al-Hajj:54)

2. Hati yang selamat. Yaitu hati yang ikhlas karena Allah Ta’ala. Dan bersih dari kekufuran, kemunafikan dan kehinaan. “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS.ash-Shuara:89)

3. Hati yang kembali. Yaitu hati yang selalu kembali dan bertobat kepada Allah. Kemudian bertekad untuk selalu taat kepada-Nya. “Yaitu orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak terlihat (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat.” (QS.Qaf:33)

4. Hati yang takut. Yaitu hati yang takut amalnya tidak diterima oleh Allah dan dia selalu khawatir tidak selamat dari azab-Nya. “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS.al-Mukminun:60)

5. Hati yang bertakwa. Yaitu hati yang men-agungkan syiar-syiar Allah. “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS.al-Hajj:32)

6. Hati yang mendapat hidayah. Yaitu hati yang rela dan pasrah dengan ketentuan Allah Ta’ala. “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS.at-Taghabun:11)

7. Hati yang tenang. Yaitu hati yang tentram dengan meng-Esakan Allah dan selalu mengingat-Nya. “Dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.” (QS.ar-Rad:28)

8. Hati yang hidup. Yaitu hati yang mau merenungkan apa yang terjadi pada umat-umat terdahulu yang melawan perintah Allah Ta’ala. “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS.Qaf:37)

Inilah 8 tipe hati yang sehat dalam Alquran. Semoga hati kita termasuk dalam salah satu kriteria di atas.

 

[Khazanahalquran] INILAH MOZAIK

 

Sabar Menyikapi Sakit

Sikap sabar dalam menghadapi penyakit pun penting. Allah menyayangi hamba-Nya yang ditimpa penderitaan. Berprasangka bahwa sakit yang ditimpakan padanya adalah cara untuk lebih dekat kepada Allah SWT.

Orang sakit jangan sampai berputus asa. Sikap putus asa bisa membuat orang jatuh dalam pengobatan syirik, bahkan bunuh diri. Jika pun sakit yang didapatkan bahkan hingga menyebabkan meninggal, hal itu merupakan ketetapan Allah SWT, maka sebaiknya katakan Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun.

Mantan Ketua Umum PP Persis Maman Abdurrahman mengatakan sakit yang menimpa manusia dapat dari berbagai sumber. Namun, pada dasarnya penyakit yang datang akibat dari perilaku manusia yang tidak menjaga tubuhnya dengan baik.

Ketika seseorang tertimpa penyakit, harus mencari pengobatan yang halal sesuai sunnah. “Berobatlah kalian, setiap penyakit selalu ada obatnya,” ujarnya.

Berobat dapat didapatkan dari bahan-bahan herbal maupun dari rekayasa biologis dan kimiawi. Tentu, bahan yang berasal dari kimia harus dari bahan yang halal.

Setelah mencari cara untuk mengobati penyakit, kemudian harus bertawakal pada Allah SWT dan bersabar. Berdoa ketika meminum obat, “Aku berlindung kepada Allah dari keagungan dan kemuliaan dan kekuasaannya, dari kejelekan dari apa yang aku dapatkan dan temukan.”

Karena, dalam obat itu mungkin ada yang membahayakan sehingga perlu berlindung kepada Allah SWT. Orang yang berobat ke pengobatan alternatif dan mengandung syirik harus dijauhi.

Doa yang dipanjatkan untuk orang yang sakit penting agar dapat lekas sembuh. “Tidak masalah jika pengobatan dengan berdoa pada Allah SWT asalkan tidak dikomersialisasikan,” Maman menerangkan.

Doa yang didampingi dengan sabar membawa ketenangan hati. Ketenangan hati merupakan bagian dari akselarasi kesembuhan karena melapangkan dada. “Kalau hanya mengaduh dan marah karena sakit, justru akan bertambah sakit,” ujarnya.

Hakikat Ibadah

Sungguh, sangat banyak hal-hal yang harus disyukuri seorang hamba. Nikmat tersebut baru akan terasa nilainya ketika Allah SWT telah mencabutnya. Jadi, sebelum Allah mencabut nikmat itu, syukurilah keberadaannya.

“Dan, jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitungnya (karena banyaknya). Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Penyayang.” (QS an-Nahl [16] : 18).

Ketika seorang hamba sudah mengetahui hakikat ibadahnya sebagai bentuk syukur, saat itulah ibadah bisa menjadi perisainya. Seorang yang menunaikan kewajibannya dan juga menambahnya dengan ibadah-ibadah sunah akan bermuara pada kecintaan Allah. Ketika ia sudah mendapatkan cinta Allah, seluruh aktivitas yang ia jalani di muka bumi adalah restu dan rida dari Allah SWT.

Sebagaimana Firman Allah dalam hadis qudsi: “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku senangi daripada melaksanakan apa yang Aku fardukan atasnya. Dan, tidak pula hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan melakukan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencitainya. Dan, bila Aku mencintainya, menjadilah Aku telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila ia bermohon kepada-Ku maka pasti Ku kabulkan permohonannya, apabila ia meminta perlindungan-Ku maka pasti ia Ku lindungi. (HR Bukari Muslim).

Mereka yang mendapatkan cinta Allah tersebut juga diistilahkan dengan wali Allah. Tak mudah untuk mengetahui siapa wali Allah tersebut. Tetapi, yang jelas wali Allah adalah ahli ibadah yang menunaikan ibadah sebagai bentuk rasa syukur mereka.

Berhati-hatilah berurusan dengan para wali Allah. Seperti dinyatakan dalam kelanjutan hadis di atas, “Siapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang dicintai Allah) maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang dengannya.”

Sumber : Dialog Jumat Republika

Islam: Akidah, Syari’ah, Tashawuf

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا الْإِيمَانُ؟ قَالَ: الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ. قَالَ: مَا الْإِسْلَامُ؟ قَالَ: الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ. قَالَ: مَا الْإِحْسَانُ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. رواه البخاري

Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam suatu hari keluar menuju khalayak, lalu datanglah Jibril dan ia berkata,”Apakah iman itu?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Iman adalah, Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, pertemuan dengan-Nya, para rasul-Nya, dan engkau beriman dengan hari kebangkitan.” Jibril pun berkata,”Apakah Islam?” Rasulullah Shalallalahu Alaihi Wasallam bersabda,”Islam adalah, Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan dan melaksanakan puasa Ramadhan.” Jibril pun berkata,”Apakah ihsan?” Rasulullah Shallallahu Alalihi Wasallam bersabda,”Engkau beribadah kepada Allah seaakan akan Engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” (Riwayat Al Bukhari)

Mengenai hadits di atas, Imam Tajuddin As Subki berkata,”Ilmu-ilmu syari’at pada hakikatnya ada tiga: Fiqih, yang diisyaratkan dengan Islam. Ushuluddin yang diisyaratkan dengan iman. Tashawuf yang diisyaratkan dengan ihsan. Selain ilmu-ilmu itu, kalau ia tidak kembali kepada ilmu-ilmu tersebut, ia di luar syari’ah.” (Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 1/117)

Al Munawi juga menyampaikan,”Asal dari tashawuf adalah ihsan, yang ditafsirkan dari hadits Jibril Alaihis Salam,’Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan Engkau melihat-Nya. Dan jika Engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu.’”(Irgham Auliya Asy Syayathin bi Dzikri Auliya Ar Rahman, 4/46)

 

HIDAYATULLAH

3 Maret 1924, Mengenang Runtuhnya Khalifah Utsmaniyah

Hari ini, 94 tahun silam Khalifah Utsmani atau Kesultanan Turki Ustmani (Ottoman) runtuh. Islam yang pernah berjaya di Eropa dan menguasai dua per tiga dunia dihapuskan dalam tata dunia pada 3 Maret 1924. Sejak itu, umat Islam tidak lagi dinaungi khilafah dan tercerai berai menjadi lebih dari 50 negara. Umat Islam seperti tidak punya tempat mengadu setelah terpecah.

Kekhalifan Islam terakhir itu dihancurkan secara sistematis oleh negara-negara Barat yang memupuk dendam dengan Khilafah yang didirikan Ertuğrul Gazi tersebut. Kita mulai dari sultan Kekhalifahan Utsmani terakhir sebelum berganti menjadi Republik Turki, yakni Sultan Abdul Hamid II.

Kejayaan Islam di Eropa ditandai dengan berkembangnya kedaulatan Khalifah Utsmani yang selama berabad-abad berhasil menancapkan pengaruhnya di Eropa Timur, Balkan, dan Mediterania. Namun, pada akhir abad ke-19 M, pengaruh itu berangsur pudar. Menjelang masa-masa kejatuhan kekhilafahan Islam terakhir ini, muncul pemimpin Kesultanan Turki Utsmani yakni Sultan Abdul Hamid II.

Dengan segala daya yang ada, ia mencoba untuk terus mempertahankan tegaknya ajaran Islam di wilayah kekuasaannya dari berbagai macam bahaya yang mengancam, khususnya kekuatan Barat dan Yahudi. Sultan Abdul Hamid II dilahirkan di Istanbul, Turki, pada Rabu, 21 September 1842. Nama lengkapnya adalah Abdul Hamid bin Abdul Majid bin Mahmud bin Abdul Hamid bin Ahmad.

Dia adalah putra Abdul Majid dari istri kedua. Ibunya meninggal dunia saat Abdul Hamid berusia tujuh tahun. Sultan Hamid II menguasai bahasa Turki, Arab, dan Persia. Ia juga dikenal senang membaca dan bersyair. Abdul Hamid menjadi khalifah Turki Utsmani menggantikan pamannya, Abdul Aziz, yang bergelar Murad VI pada 1876. Pamannya yang berkuasa cukup lama ini diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah, kemudian dibunuh musuh politik Kesultanan Turki Utsmani.

Sang paman mewariskan negara dalam kondisi yang carut-marut. Tunggakan utang luar negeri, parlemen yang mandul, campur tangan asing di dalam negeri, tarik-menarik antarberbagai kepentingan di dalam tubuh pemerintahan, serta birokrat-birokrat yang korup.

Tak lama setelah naik takhta, dia mendirikan Dewan Majelis Rendah. Anggota dewan ini ada yang dipilih dan ada pula yang anggotanya ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Dewan yang anggotanya dipilih dinamakan Dewan Mab’utsan, sedangkan dewan yang anggotanya ditentukan oleh pemerintah namanya A’yan.

Sebagai seorang pemimpin, Sultan Hamid II dikenal dekat dengan ulama dan selalu menaati nasihat-nasihat mereka. Dia menganggap semua rakyat sama di hadapan undang-undang, juga memberikan kebebasan pers. Dia membuat peraturan wajib belajar kepada semua rakyat. Semasa memerintah, ia menghapus peraturan yang memperbolehkan polisi untuk menyiksa tahanan dalam masa investigasi dan menghapuskan peraturan pengambilan paksa tanah milik rakyat dan kerja paksa.

Dia juga menolak untuk memecat seorang hakim tanpa alasan yang benar. Selain itu, dia juga memberantas korupsi dan suap. Dia sangat serius dalam menerapkan hukum yang sesuai dengan syariat Islam.

Dalam hal kemaslahatan umat, Sultan Abdul Hamid II mengajak umat untuk mendirikan sebuah universitas Islam. Ia juga memerintahkan pendirian sekolah-sekolah, rumah-rumah dinas bagi para dosen, akademi politik dan kesenian wanita, museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, sekolah kedokteran, rumah sakit spesialis anak, perumahan bagi orang-orang yang tidak mampu, kantor pos pusat, ruang-ruang pertemuan, beberapa organisasi petani dan buruh serta pabrik-pabrik keramik. Selain itu, dia juga memasang pipa-pipa untuk mengalirkan air minum.

Saat berkuasa, Sultan Abdul Hamid II juga memerintahkan pembangunan jalur rel kereta api (KA) dari Damaskus ke Madinah sepanjang 1.327 kilometer. Pembangunan rel KA ini membutuhkann waktu selama tujuh tahun.

Abdul Hamid II mengemban amanah memimpin sebuah daulah yang luasnya membentang dari timur dan barat. Ia menghabiskan 30 tahun kekuasaannya sebagai khalifah dengan dikelilingi konspirasi, intrik, dan fitnah dari dalam negeri.

Sementara dari luar negeri, ada perang, revolusi, dan ancaman disintegrasi serta tuntutan berbagai perubahan yang senantiasa terjadi. Saat berkuasa, dia terpaksa menandatangani perjanjian Saint Stefanus, karena adanya tekanan dari negara-negara Eropa.

Dalam perjanjian tersebut, pemerintah Turki Utsmani harus memberikan kemerdekaan penuh kepada negara Rumania, Bulgaria, dan Serbia. Dia juga berjanji akan menjaga dan melindungi orang-orang Arman yang beragama Kristen dari serangan orang-orang Kurdi dan Syarkasi.

Sultan Hamid II juga berjanji mempersempit batas-batas wilayah kekuasaan Turki Utsmani agar tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang Kristen untuk melakukan penyerangan terhadap Islam. Sementara itu, orang-orang Bulgaria berusaha memengaruhi orang-orang Islam yang ada di Bulgaria, Serbia, dan pegunungan Hitam untuk mengadakan pemberontakann terhadap kekhalifahan Turki Utsmani.

Untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Kesultanan Turki Utsmani, Sultan Abdul Hamid II melakukan berbagai upaya untuk menyatukan umat Islam dan membantu mereka agar dapat melawan para penjajah yang menjadi penguasa di negeri mereka sendiri. Kemudian, dia mengubah beberapa keputusan dalam perjanjian Berlin yang sangat merugikan dan sangat ia khawatirkan, yang berisi tentang penggabungan Bosnia Herzegovina ke dalam wilayah Austria. Dia juga berhasil mengalahkan pasukan Rusia dan mengatasi pemberontakan.

Namun, dengan bantuan para Syekhul Islam saat itu, para musuh Sang Sultan berusaha membujuk syekh untuk menurunkan Sultan Abdul Hamid II dari jabatannya pada 1909. Inilah salah satu bentuk pengkudetaan terhadap jabatan sultan. Sultan Abdul Hamid II terpaksa menerima keputusan tersebut. Kemudian, ia beserta seluruh anggota keluarganya diasingkan ke Salonika, Yunani.

Pada 1912, Sultan Abdul Hamid II dipulangkan ke Istanbul dan diasingkan dalam penjara istana tua Beylerbeyi. Akan tetapi, anak-anaknya dipisah-pisahkan, bercerai berai. Beberapa di antara mereka dibuang ke Prancis, dan menjadi pengemis yang hidup terlunta-lunta di emperan jalan.

Kondisi di pembuangan Salonika atau di istana tua Beylerbeyi Istanbul sama saja bahkan lebih parah. Sultan Abdul Hamid II menghembuskan napas terakhir dalam penjara Beylerbeyi pada 10 Februari 1918.

 

REPUBLIKA

 

Baca juga: Kesultanan Islam Terakhir Runtuh, Ini Penyebabnya