Obsesi Akhirat dan Obsesi Dunia

“BARANG siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (QS. Asy-Syura [26]: 20)

Kehidupan modern dewasa ini menjadikan manusia larut dalam budaya materialisme. Pemujaan terhadap nafsu kebendaan kian hari kian terlihat jelas. Hari demi hari, setiap orang berlomba-lomba untuk menggapai kesuksesan, yang tidak lain dimaknai sebagai harta berlimpah, jabatan prestisius, rumah megah, mobil mewah, serta investasi baik dalam bentuk deposito, properti atau pun lainnya.

Mereka terbuai dengan kesuksesan duniawi yang bersifat sementara. Sedangkan kesuksesan hakiki nan abadi, yakni kesuksesan dan kebahagiaan ukhrawi mereka lupakan. Investasi duniawi dengan menumpuk kekayaan mereka tempuh dengan berbagai cara. Bahkan, tidak jarang menghalalkan segala cara. Sementara investasi ukhrawi dengan memperbanyak amal saleh mereka lupakan.

Padahal, Allah Swt menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu. “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid [57]: 20)

Dalam ayat lain Allah Swt juga menerangkan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik daripada kehidupan dunia. “Dan sesungguhnya akhir (akhirat) itu lebih baik daripada permulaan (dunia).” (QS. Ad-Dhuna [93]: 4)

ALLAH Swt memerintahkan hamba-Nya untuk mempersiapkan bekal (investasi) sebanyak-banyaknya untuk kehidupan, baik di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak. Hal ini terekam jelas dalam firman-Nya, “Dan berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197)

Dari beberapa keterangan ayat di atas, jelaslah bahwa investasi yang akan langgeng serta membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi kita adalah investasi akhirat, yaitu takwa.

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang obsesinya adalah akhirat, tujuannya akhirat, niatnya akhirat, cita-citanya akhirat maka dia mendapatkan tiga perkara: Pertama, Allah menjadikan kecukupan di hatinya; kedua, Allah mengumpulkan urusannya; dan ketiga, dunia datang kepada dia dalam keadaan dunia itu hina (dunia datang sendiri kepada kita tanpa perlu kita kejar). Dan barangsiapa yang obsesinya adalah dunia, tujuannya dunia, niatnya dunia, cita-citanya dunia, maka dia mendapatkan tiga perkara: Pertama, Allah menjadikan kemelaratan ada di depan mata; kedua Allah mencerai-beraikan urusannya; dan ketiga, dunia tidak datang kecuali yang ditakdirkan untuk dia saja.” (HR.At-Tirmidzi) [Didi Junaedi]

 

INILAH MOZAIK

Kemenag: Tak Ada Keterlambatan Paspor dan Visa Haji

Kementerian Agama melalui Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah tengah melakukan persiapan penyelenggaraan haji 1439H/2018M. Adapun persiapan tersebut salah satunya terkait pembuatan paspor calon jamaah haji di Indonesia.

Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Ahda Barori mengatakan proses pembuatan paspor calon jamaah sudah berjalan. Saat ini persiapan secara akumulasi telah mencapai 60 persen.

“Secara akumulasi kesiapan paspor 60 persen, di mana proses dokumen pembuatan paspor di kabupaten dan kota sudah berjalan juga,” ujarnya kepada Republika, Jakarta, Selasa (20/2).

Selain paspor, proses awal pengurusan visa juga sudah mulai dilakukan. Ia pun memastikan, setelah tidak ada keterlambatan dalam proses pengurusan kedua dokumen tersebut.

“Insya Allah lancar karena kita menyiapkan lebih awal,” ucapnya.

Saat ini Kementerian Agama dengan Panitia Kerja (Panja) Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) masih terus membahas ongkos haji tahun ini. Ahda Barori memperkirakan, proses pelunasan BPIH jamaah haji reguler akan mulai dilakukan pada akhir Maret 2018. Berdasarkan Rencana Perjalanan Ibadah Haji 1439H/2018M, pemberangkatan jamaah haji Indonesia kloter pertama akan dimulai pada 17 Juli 2018 atau 4 Dzulqaidah 2018.

 

IHRAM

Proses Pemvisaan Jamaah Haji Dimulai 5 Mei

Pengurusan visa jemaah haji akan mulai dilakukan pada awal Mei 2018. Hal ini disampaikan Direktur Pelayana Haji Dalam Negeri Ahda Barori saat ditemui di kantor Kementerian Agama, Jakarta.

“Proses pemvisaan jamaah haji Indonesia akan dimulai 5 Mei 2018, mengingat keberangkatan haji kloter pertama pada 17 Juli 2018,” kata Ahda Barori di Jakarta, Jumat (2/3).

“Mulai tanggal 23 April 2018, paspor calon jemaah haji sudah dapat dikirim ke Subdit Dokumen dan Perlengkapan Haji,” sambungnya.

Menurut Ahda, proses verifikasi dan cetak visa pada musim haji tahun ini sepenuhnya akan dilakukan oleh Kementerian Agama. Langkah ini diambil setelah ada kesepakatan antara Ditjen PHU dengan Kedubes Arab Saudi.

“Langkah ini diharapkan akan memudahkan dan mempercepat proses visa jemaah. Transliterasi nama jemaah ke tulisan Arab juga diharapkan lebih akurat,” ujarnya.

Ahda memperkirakan, pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) akan mulai dibuka pada bulan April. Saat melakukan pelunasan, jemaah haji akan mendapatkan souvenir dari Bank tempat mereka melunasi.

“Souvenir itu berupa batik haji dan kain ihram bagi jemaah pria, batik dan mukena untuk jemaah wanita, serta buku manasik,” tuturnya.  Adapun gelang identitas jemaah haji, biaya penggantian pembuatan passport, dan uang living cost sebesar 1.500 riyal akan diterimakan di asrama haji.

 

IHRAM

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Lagu Ketika Sa’i, Umrah, Haji, dan Politik?

Apakah pergi ke tanah suci untuk umrah, melakukan Sa’i, berhaji, hingga tinggal di Arab Saudi tidak terkait dengan politik? Pertanyaan itu menggelegak ketika beberapa hari lalu ramai kontroversi soal adanya jamaah umrah yang melakukan Sa’i sembari meneriakkan lagu cinta tanah air yang berbahasa Arab: ’Ya Lal Wathan’. Bagi mereka yang paham bahasa Arab langsung tahu itu hanya sekadar lagu, bukan doa yang lazim di berbagai majelis pengajian yang memakai bahasa Arab.

Soal lagu berbahasa Arab, ingatan ini kembali berputar kepada tingkah sosok seseorang Yusuf Roni pada tahun 70-an. Saat itu di Surabaya mendiang ulama kondang Bey Arifin protes keras terhadap perilakunya. Hal ini karena Yusuf Roni yang kala itu sudah berpindah dari Islam ke Kristen mengutip lagu ‘ya habibi’ pada sebuah forum. Ketika dia diminta berdoa dia mengutip lagu berbahasa Arab tersebut.

Dan jelas, sebagai orang yang paham bahasa itu, Bey Arifin tahu bahwa Yusuf Roni sengaja membaca lagu itu dengan maksud yang tidak baik, yakni mengolok atau pejoratif. Ceramah Yusuf Roni kala itu tersebar ke berbagai tempat melalui kaset rekamanan. Dulu saya sempat mendengarnya, tapi kini entah hilang ke mana. Yang jelas, kemudian kala itu ada berita Yusuf Roni masuk ke dalam bui.

Lalu bagaimana soal lagu berbahasa Arab di dalam Sa’i yang menimbulkan kontroversi itu? Jawabnya memang tak lazim. Apabila sejak dahulu kala sudah ada panduan adab berdoa ketika melakukan ‘lari kecil’ antara dua bukit di dekat Ka’bah: Safa dan Marwah. Dari zaman nenek moyang sudah ada panduan bagaimana hendak memulai, menuruni bukit, berlari kecil, hingga ketika naik kembali ke bukit dan mengakhiri saat menunaikan Sa’i. Bahkan ketika hendak potong rambut seusai sa’i (takhalul) pun ada syarat dan doanya.

Lalu apakah doa itu wajib? Tentu saja tidak. Hanya dianjurkan atau paling tidak disunahkan. Bahkan dengan hanya membaca Al Fatikhah saja dan melafalkan ayat Alquran yang dihapalnya semua tetap sah. Ingat haji serta juga umrah sebenarnya lebih merupakan ibadah fisik. Jadi doa, gerakan, dan hapalan ayat Alquran seperti layaknya, misalnya shalat, bisa saja tidak dilakukan.

Selain itu, semenjak zaman dahulu hubungan tanah suci dengan orang Nusantara (kini Indonesia,red), selain berkaitan soal ibadah selalu berhubungan pula dengan urusan politik-kenegaraan. Pada awal atau menjelang pendirian kerajaan Demak tercatat beberapa kali Sunan Gunung Jati pergi ke Makkah untuk naik haji. Memang di sana tidak diceritakan mengenai aktivitasnya, tapi kiranya dapat ditebak, bahwa dia menemui banyak ulama dan tokoh. Harap ingat saat itu Makkah dan Madinah masih berada di bawah Kekhalifahan Turki Utsamani. Dan waktu itu sama sekali belum ada tanda-tanda berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Masih sekitar 400 tahun lagi.

Semenjak zaman dahulu seperti halnya disebutkan dalam disertasi Azyumardi Azra, Arab Saudi (Makkah) adalah salah satu pusat berkumpulnya para ulama. Bahkan, jaringan ulama yang berada di Arab dan Nusantara saat itu selalu punya simpul atau ‘buhul’ dengan kawasan itu. Tak hanya ibadah, hubungan itu selalu punya kaitan hubungan sekaligus ekonomi-politik. Ingat pada dekade akhir 1700-an di Mataram Surakarta ada surat dari ulama Makkah yang menyerukan perlawanan jihad kepada Belanda. Kopian suratnya tersebar di berbagai masjid yang ada di ibu kota kerajaan itu. Waktunya adalah sebelum datangnya bulan Ramadhan.

Bahkan, sebelum meletusnya Perang Jawa, di rumah Diponegoro di Tegalrejo lazim orang-orang dari Makkah menginap di rumah yang luas itu. Kedatangan para ulama Makkah di sambut gembira oleh pangeran yang kaya dan merakyat itu. Tak hanya raja dan Pangeran Jawa — seperti Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) atau Sultan Banten pada sekitar tahun 1620-an saja yang sudah punya hubungan khusus dengan ‘Syarif Makkah’ — para Sultan di luar Jawa pun punya juga. Bahkan di antara mereka banyak yang pergi secara langsung ke Makkah dengan membawa para pengawalnya.

Nah, mau tidak mau, hubungan antara pergi tanah suci untuk ibadah atau mencari ilmu (kini sebagian orang Indonesia untuk mencari nafkah) juga berkelindan dengan masalah politik. Bila dulu Sutan Agung mengirimkan utusan untuk meminta restu kepada ’Syarif Makkah’ dan kemudian mendapat hadiah balik berupa pemberian izin pemakaian gelar Sultan dan hadiah kain Kiswah (bendera Tunggul Wulung), hubungan antara politik dengan orang yang datang ke sana banyak pula bersifat lebih teknis.

Selain itu, banyak pula catatan ‘Rihlah’ sejak zaman Ibnu Batutah, menuliskan bila pihak penguasa tanah Arabia harus memastikan jaminan pasokan makan dan minum, jaminan keamanan dari pembegalan para penyamun, jaminan sanitasi dan kesehatan, atau yang sangat penting adanya jaminan pasokan air minum untuk berjalan di tengah padang pasir.

Hingga tak heran dan lazim, bila di zaman dulu setiap kafilah (rombongan) yang hendak pergi mengarungi padang pasir dengan naik unta harus mendapat pengawalan legiun tentara serta pengawasan oleh pihak penguasa kala itu, yakni kerajaan Turki. Bukan hanya pengawal militer, petugas kerajaan pun harus ada di setiap titik untuk memastikan lancarnya perjalanan.

Ada contoh lainnya, juga soal hubungan tanah suci dan politik kenegaraan. Satu yang melekat pada ingatan adalah peristiwa dikirimnya ke tanah suci sosok orientalis Belanda, Snouck Hurgonje pada tahun 1800-an. Tujuannya untuk mencari akar dan penyebab ketika mereka yang pulang ke Nusantara (para haji) selalu menjadi pelawan tangguh dari eksistensi kolonial. Contoh yang terkenal misalnya Teungku Cik Pante Kulu. Orang Aceh inilah yang mengorbarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda dengan menuliskan ‘Syair Perang Sabi’ sepanjang perjalanannya pulang dari Makkah.

Campur tangan politik kekuasaan yang lebih netral pun pernah terjadi. Ini menyangkut soal pelayanan kepada para jamaah haji. Peristiwanya terjadi pada tahun 1920-an ketika wabah kolera menyebar di tanah suci, bahkan hingga Eropa. Konon sumber penyebabnya adalah dari sisa hewan kurban yang dipotong dengan baik. Nah, akibat meluasnya wabah kolera ini maka peristiwa ibadah haji diputuskan ditutup sementara waktu sampai wabah ini lewat.

Peristiwa lebih terkini sempat juga terjadi di awal 80-an atau pada masa awal Revolusi Iran. Kala itu jamaah haji Iran selalu ribut meneriakan yel-yel yang terkait revolusi pimpinan Ayatullah Khomeni. Tak cukup berteriak, mereka juga menggelar aneka poster dan selebaran.

Akibat ulah itu, pihak Arab Saudi segera membereskannya. Sampai kini semua poster, spanduk, bendera, atau identitas politik sewaktu haji dan umrah dilarang di area haji dan umrah. Tak hanya dilarang, pihak yang masih saja nekad membawanya akan ditangkap dan menginap di ‘tarhil’ alias tempat tahanan. Imbas lainnya, mulai saat itu muncul atau menjadi pemicu isu ‘internasionaliasi’ masalah urusan haji.

Akhirnya, janganlah heran bila ada sebagian jamaah umrah kini meneriakan Pancasila dan menyanyikan lagu ‘Hizbul Wathan’. Itu jelas bukan bagian ibadah ‘mahdoh’ karena hanya ekspresi poitik atas nama idiologi ‘nation state’ yang tercipta baru beberapa lama, yakni usai tumbangnya kerajaan Turki Utsmani dan hadirnya imperium kolonial negara barat. Kala itu Jazirah Arab, setelah Turki tersungkur dan terbagi dalam banyak negara. Salah satu di antaranya kemudian muncul negara Arab Saudi, Irak, Qatar, Turki, dan lainnya.

Walhasil, marilah direnungkan kata seorang pemilik travel haji dan umrah yang terkenal. Dia mengatakan, janganlah lagu itu menjadi ekspresi dari nafsu agar menjadi sukses dengan slogan-slogan travel mereka, bukan dengan pertolongan dari Allah SWT. Sebab, seharusnya orang beriman dan shaleh tidak akan melakukan hal-hal yang sifatnya keduniaan di dalam pelaksanaan umrah dan haji.

Dan, mudah-mudahan pula sekarang mulai muncul kesadaran bahwa salah satu kemampuan ‘Istito’ah’ dalam penyelengaraan ibadah haji juga mencakup adanya dukungan yang memadai dari pihak penguasa politik. Ingat dari dulu Snouck Hurgonje pun sudah mengatakan bagi setiap Muslim melakukan ibadah haji (umrah) adalah bentuk ekspresi dari ‘nasionalisme Islam’. Dan para jamaah di sana bukan hanya sekadar menghadiri sebuah perayaan ‘Het Mekkaansche feest’ (Festival Makkah)!

 

IHRAM

Menag Tanggapi Jamaah Umrah Bernyanyi dan Baca Pancasila

Peristiwa jamaah umrah membaca syair Ya Lal Wathan dan Pancasila yang viral di media sosial menjadi perhatian publik, kemudian menjadi polemik terkait boleh tidaknya hal tersebut dilakukan. Pemerintah Saudi bahkan meminta klarifikasi kepada Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan Kementerian Agama (Kemenag) tidak pada posisi untuk menilai apakah hal tersebut benar atau salah. Penilaian menjadi domain ulama atau ahli agama, bukan umara atau pemerintah. Namun, Kemenag sudah mengeluarkan buku pedoman manasik untuk ibadah umrah dan haji.

“Buku manasik itu menjelaskan tentang bacaan atau doa-doa yang baik saat menjalankan tawaf, sa’i, dan ibadah lainnya, baik umrah maupun haji,” kata Lukman melalui keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Kamis (1/3).

Ia menerangkan, bacaannya diisi dengan doa dan zikir. Tentu masing-masing bisa memilih mana doa-doa terbaik dan mana zikir terbaik. Selain buku manasik, Kemenag juga sudah mengeluarkan aturan tentang bimbingan manasik bagi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).

 

Pasal 8 Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal PIHK misalnya, PIHK wajib memberikan bimbingan manasik sebelum keberangkatan, selama perjalanan dan selama di Arab Saudi. Hal sama diatur juga dalam Pasal 11 PMA Nomor 18 Tahun 2015 tentang PPIU.

“Sudah diatur materi saat pelatihan dan pelaksanaan manasik haji dan umrah berpedoman pada buku paket bimbingan manasik haji dan umrah yang diterbitkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama,” ujarnya.

Lukman mengimbau, jamaah haji dan umrah Indonesia senantiasa menjaga kesakralan dan kesucian tanah haram. Misalnya dengan mempertimbangkan prinsip kepatutan dan kepantasan dalam melafalkan doa dan zikir saat ibadah sa’i atau tawaf.

Menurutnya, pertimbangan itu penting karena agama tidak hanya terkait ketentuan syar’i semata tapi juga rasa. Walaupun baca doa dan berzikir tapi kalau sambil teriak-teriak bisa mengganggu kekhusyuan jamaah lainnya.

“Jamaah juga agar menghormati dan menaati tata aturan yang telah ditetapkan Pemerintah Saudi,” ujarnya. Sebagai bentuk pembinaan, Lukman meminta jajarannya memperhatikan pola dan proses bimbingan manasik haji dan umrah yang dilakukan PIHK dan PPIU.

 

IHRAM

 

 

Rasulullah Sosok Paling Berjasa

ALHAMDULILLAH. Puji dan syukur hanya milik Allah Swt. Dialah Dzat Yang telah menciptakan seluruh alam dengan segala isinya ini, mengaturnya dengan sempurna tanpa kekurangan sesuatu apapun. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Kalau ada orang lain yang berbuat baik kepada kita, tentu kita akan senang kepada orang itu. Dan, akan lebih senang lagi jikalau kebaikannya itu tulus. Siapakah orang yang paling berbuat baik kepada kita? Dialah orang yang paling ingin dan paling berjuang supaya kita tidak menjadi penghuni neraka. Jadi, syariatnya orang yang paling berjasa pada kita adalah orang yang paling berupaya agar kita tidak termasuk penghuni neraka.

Oleh karena itu, jika ada orang yang demikian besar usahanya mengingatkan, menasehati, mengajak kita untuk bertaubat, untuk istiqomah pada kebaikan dan kebenaran, maka dialah orang yang harus benar-benar kita terimakasihi.

Kalau ada orang yang memberi uang kepada kita sembari memberi nasehat agar uang tersebut sebaiknya dipergunakan di jalan Allah, untuk syiar agama Allah, atau untuk amal apapun yang Allah ridhoi, maka itu menjadi jauh lebih bernilai daripada nominal uangnya.

Rasulullah Saw adalah sosok yang paling besar jasanya bagi kita. Beliau adalah sosok yang paling ingin agar kita menjadi penghuni surga dan selamat dari api neraka. Bahkan hingga detik-detik akhir hidup Rasulullah Saw, beliau senantiasa mengingat kita dan mendoakan agar kita selamat di dunia dan akhirat.

Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab [33] : 56)

Maka, hendaknya kita senantiasa berjuang untuk berterimakasih dan membalas jasa kepada orang yang sangat berjasa kepada kita, terutama kepada Rasulullah Saw. Meskipun upaya kita itu tidak bisa menyamai besarnya jasa beliau kepada kita. Marilah bersungguh-sungguh meneladani akhlak mulia yang beliau ajarkan, dan mari bersungguh-sungguh mengamalkan setiap petunjuk yang beliau terangkan kepada kita. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah Swt. yang kelak dikumpulkan bersama Rasulullah Saw. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Sisa Mani Keluar lagi, Haruskah Mengulang Mandi?

TERKADANG pasangan suami istri setelah melakukan jimak atau hubungan badan menyegerakan mandi junub agar kembali suci dan dapat melaksanakan ibadah seperti salat. Namun, tak sedikit dari mereka yang mengeluhkan masih adanya sisa mani yang keluar beberapa saat setelah mandi.

Lantas apakah hal ini membuat suami istri tersebut harus mengulangi mandinya? Menurut penjelasan dari Ustaz Farid Numan Hasan, hal yang pertama harus dilakukan adalah memperjelas status mani tersebut. Jika mani yang dimaksud adalah mani yang di kemaluan istri, lalu keluar lagi beberapa saat kemudian, maka itu tidak usah diulang lagi mandinya, sebab itu sisa saja, tidak membuat keadaan junub. Cukup cebok aja, lalu wudu jika mau salat.

Namun jika yang dimaksudkan adalah suami yang keluar mani lagi, maka mesti mandi lagi, sebab itu membuat keadaan junub lagi. Wallahu a’lam.

 

INILAH MOZAIK

Salat Sempurna Mencegah Perbuatan Keji dan Munkar

DARI Imran bin Hushain radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai firman Allah Ta’ala, ‘Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar’.

Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa yang salatnya tidak dapat mencegahnya dari berbuat keji dan munkar, itu bukanlah salat (yang sempurna)’.” (HR Abi Hatim dan Ibnu Mardawih)

Salat merupakan sesuatu yang amat berharga. Jika salat dilakukan dengan cara yang benar, salat akan membuahkan hasil, yaitu akan mencegah kita dari hal-hal yang tidak patut.

Jika kita belum memperoleh hasil ini, hendaknya kita meyakini bahwa salat kita belum sempurna. Sangat banyak hadis yang meriwayatkan tentang masalah ini. Diantaranya, Ibnu Abbas berkata, “Salat menghentikan dari berbuat dosa (yang sedang dilakukan), dan salat menjauhkan dari perbuatan dosa (di masa yang akan datang).”

Menurut Abul ‘Aliyah, hendaknya ada tiga hal dalam salat, yakni ikhlas, takut kepada Allah Ta’ala, dan dzikrullah. Jika dalam salat tidak terdapat tiga hal tersebut, maka bukanlah shalat (yang sempurna).

Ikhlas selalu menarik ke arah amal saleh. Takut kepada Allah menjauhkan diri dari perbuatan munkar. Dzikrullah adalah membaca Al-Quran, yang dengan sendirinya mengajak kepada perbuatan baik dan mencegah kemunkaran.

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, “Salat yang tidak dapat mencegah perbuatan munkar dan amalan-amalan yang tidak sesuai, salat itu tidak mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala. Bahkan, menjauhkan kita dari-Nya.”

Hasan bin Ali juga meriwayatkan sabda Rasulullah yang berbunyi, “Jika salat seseorang tidak menghalanginya dari perbuatan buruk, maka itu bukanlah salat. Bahkan salat seperti itu akan menjauhkannya dari Allah Ta’ala.”

Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa tidak mengikuti kehendak salat, maka dia belum salat. Mengikuti kehendak salat adalah dengan meninggalkan perbuatan keji dan munkar.”

Abu Hurairah berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Si fulan suka mengerjakan salat tahajud malam hari, tetapi pagi harinya ia mencuri’. Beliau bersabda, ‘Dalam waktu dekat, salat itu akan menghentikannya dari perbuatan itu’.”

Dari hadis-hadis di atas kita dapat mengetahui, bahwa seseorang yang selalu sibuk bermaksiat kepada Allah hendaknya ia benar-benar menyibukkan diri dengan salat yang benar, sehingga perbuatan buruknya akan hilang dengan sendirinya.

Untuk menghilangkan perbuatan buruk sangat sulit dan memerlukan waktu lama. Sedangkan menyibukkan diri di dalam salat itu mudah dan tidak memerlukan waktu yang lama. Dengan keberkahan salat, kebiasaan buruk itu akan hilang.

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita agar dapat menunaikan salat sebaik-baiknya. []

 

INILAH MOZAIK

Surah Al-Ikhlas Menyebutkan Empat Keesaaan Allah

TERDAPAT empat keesaan Allah dalam kandungan Surah al-Ikhlas. Yakni, pertama, keesaan tentang Dzat-Nya. Kedua, keesaan tentang segala perbuatan-Nya. Ketiga, keesaan tentang segala sifat-Nya. Keempat, keesaan tentang segala macam peribadatan.

Keempat keesaan Allah tersebut tercakup secara ringkas dalam Surah al-Ikhlas, khususnya dalam ayat pertama yang menegaskan: Qul huwallahu ahad (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa).

Makna Esa dalam ayat tersebut terambil dari lafazh “wahda” mempunyai makna “kesatuan.” Makna kesatuan ini bukan berarti bilangan satu yang akan ada bilangan dua, tiga, dan seterusnya. Melainkan kesatuan bulat yang tidak ada sesuatu yang dapat menambah pada bilangan dua atau tiga, dan seterusnya.

Kesatuan di sini adalah na’at (sifat) dari kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang berkedudukan sebagai nama. Jika kesatuan di sini sebagai na’at, maka Esa ini hanya digunakan untuk Allah yang memiliki kekuasaan mutlak, tanpa ada sekutu yang dapat mengimbangi-Nya.

Menurut pendapat dari seorang penafsir sekaligus pakar tasawuf, yakni Abu as-Su’ud, bahwa dalam Surah al-Ikhlas menempatkan kata huwa untuk menunjukkan kepada Allah. Padahal sebelumnya kata huwa yang menunjukkan kepada-Nya tidak pernah disebut dalam al-Qur’an, kecuali dalam Surah al-Ikhlas. Hal ini tentu agar memberikan kesan bahwa Dia Yang Maha Kuasa itu sedemikian terkenal dan nyata, sehingga hadir dalam benak setiap hamba yang mengimani-Nya.

Kata huwa tersebut tertuju hanya kepada “Ahad” yang berarti Allah. Dalam makna ahad di sini menunjukkan sifat yang memiliki “kesatuan mutlak”, yakni Allah semata, dan tidak ada sesuatu yang selain-Nya.

Keesaan empat macam dari Allah tersebut adalah satu kesatuan yang abadi, yang tidak akan pernah berubah oleh pengertian atau pertimbangan apa pun. Di samping itu, keesaan-Nya sungguh tidak ada campur tangan dari unsur lain yang meliputi-Nya.

Dia Maha Esa merupakan kesatuan yang utuh dan abadi. Dari kesatuan yang abadi tersebut meliputi sifat-sifat keperkasaan-Nya. Inilah Tuhan yang dalam Surah al-Ikhlas disebutkan mempunyai sifat yang “Abadi”.*/Sudirman STAIL

Sumber buku: Bacalah Al-Ikhlas Maka Pilihlah Pintu Surgamu. Penulis: Muhammad Makhdlori

 

HIDAYATULLAH

Beristighfar untuk Membuka Pintu Rezeki

ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut:

Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)

Nabi Nuh ‘alaihi salam memberikan nasihat kepada kaumnya agar beristighfar kepada Allah. Mengapa Nabi Nuh memberikan nasihat seperti itu? Karena kaumnya pada saat itu banyak berbuat maksiat dan kafir kepada Allah, sehingga Dia tidak menurunkan hujan dalam jangka waktu sangat lama. Bahkan, kemarau saat itu sampai menyebabkan para wanita kaum Nabi Nuh menjadi mandul.

Mereka pun mendatangi Nabi Nuh untuk meminta saran tentang apa yang harus mereka kerjakan. Nabi Nuh akhirnya memberikan nasihat agar mereka beristighfar kepada Allah dari kemusyrikan, kemaksiatan, dan kekafiran mereka.

Imam al-Qusyairi mengatakan di dalam tafsirnya: “Sesungguhnya istighfar adalah mengetuk pintu-pintu nikmat (rezeki). Barangsiapa yang di dalam dirinya terdapat rasa butuh kepada Allah, maka dirinya tidak akan bisa sampai kepada-Nya, kecuali dengan mengajukan istighfar sebagai pembukanya.”

Hasan al-Bashri pernah didatangi oleh tiga orang tamu. Yang pertama datang mengeluh karena tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tamu kedua mengeluh karena desanya ditimpa paceklik dan tamu ketiga mengeluh karena tidak kunjung diberikan keturunan.

Hasan al-Bashri menyuruh ketiga-tiganya memperbanyak istighfar. Ketika beliau ditanya, “Wahai Hasan, tiga orang datang kepadamu mengeluhkan permasalahan yang berbeda, mengapa engkau menyuruh mereka dengan hal yang sama, yaitu istighfar?” Hasan al-Bashri kemudian membaca ayat di atas.

Banyak kejadian yang juga disaksikan dan dialami oleh Imam Fakhruddin ar-Razi pada zamannya tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu rezeki. Kita di zaman sekarang juga dapat menyaksikan dan merasakannya.

Ketika kita merasakan harta kita sedikit tersendat, barangkali istighfar kita juga kurang. Saat terjadi paceklik harta di dalam rumah tangga kita, maka salah satu hal terpenting yang harus dilakukan adalah memperbanyak istighfar kepada Allah. Jangan-jangan banyak dosa dan kemaksiatan yang menyumbat pintu rezeki dari Allah.

Di saat Khalifah Umar bin Khaththab radiyallahu anhu meminta rezeki dengan turunnya hujan, maka tidak banyak yang beliau lakukan. Umar hanya keluar dari rumahnya, lalu memperbanyak istighfar bersama umat Islam. Tak ada lainnya yang beliau baca.

Sungguh, kita boleh percaya atau tidak dengan kisah dan cerita di zaman dahulu. Tapi itulah kisah yang diceritakan oleh para ulama di dalam kitab-kitabnya ketika menafsirkan firman Allah di atas. Memang, yang diminta pada waktu itu bukanlah bantuan dari pemerintah berupa bantuan langsung tunai, uang SPP anak-anak kita, atau subsidi sembako untuk menurunkan harga kebutuhan bahan pokok. Para ulama dahulu dan para sahabat tidak meminta agar perusahaannya mendapatkan investasi yang lebih banyak. Tidak pula meminta bertambahnya tender yang dimenangkan. Mereka hanya meminta hujan.

Untuk kehidupan di zaman itu, hujan adalah sumber rezeki dan kehidupan. Sebab, kebanyakan mereka mengandalkan rezeki dari bercocok tanam.

Apakah sebagai karyawan, Anda sering mengalami keterlambatan gaji? Pemotongan gaji yang berlebihan? Apakah demonstrasi menjadi solusi? Bisa jadi itu perlu dilakukan, tapi cara terbaik sebagai pembuka pintu rezeki adalah beristighfar sebanyak-banyaknya. Yakinlah dengan firman Allah di atas. Dengan izin Allah, rezeki harta akan segera diberikan.

Atau Anda seorang direktur perusahaan atau pemegang saham dan aset perusahaan? Anda baru saja mendapatkan telepon kalau perusahaan Fulan membatalkan kontraknya dengan perusahaan Anda, sehingga mengalami kerugian yang sangat besar? Karyawan Anda berdemonstrasi karena menuntut upah yang tidak mampu dibayar perusahaan? Cobalah meyakinkan diri, lalu beristighfar kepada Allah sebanyak-banyaknya, niscaya Dia akan segera membukakan pintu dan jalan keluar dari masalah tersebut.

Al-Qur’an juga memberikan penjelasan tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu-pintu rezeki di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini:

Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu, lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengatakan: “Nabi Hud alaihi salam memerintahkan kaumnya untuk beristighfar (memohon ampunan kepada Allah) agar dosa mereka dihapus Allah dan permintaan ampun mereka diterima di sisi-Nya. Barangsiapa memiliki sifat ‘pemohon ampun’, al-mustaghfir, maka Allah akan memudahkan rezeki untuknya, melancarkan urusannya, dan menjaganya.”

Al-Qur’an juga memberikan arahannya kepada kita saat pintu rezeki seakan tertutup di hadapan kita, yaitu agar kita menghadapinya dan berusaha membukanya dengan kunci pintu rezeki, berupa istighfar kepada Allah. Al-Qur’ an menyatakan:

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.” (Hud: 3)

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu” adalah Allah akan memberikan rezeki dan kelapangan kepada kalian. Sedangkan Imam al-Qurthubi mengatakan: “Balasan-balasan itu adalah buah dari istighfar dan tobat. Allah akan memberikan kelapangan rezeki dan kenikmatan kehidupan kepada orang-orang yang beristighfar kepada-Nya.”*Nur Faizin, dari bukunya Rezeki Al-Qur’an-Solusi Al-Qur’an untuk Yang Seret Rezeki.

 

HIDAYATULLAH