Doa Mustajab, Sudah Terbukti!

TAHUKAH Anda siapa suami Ummu Salamah? Ya, dia adalah seorang sahabat yang gugur sebagai syahid dalam Perang Badar. Namanya Abu Salamah.

Seperti kita tahu, seseorang yang turut serta dalam Perang Badar mempunyai keistimewaan yang tinggi. Allah pasti mengampuni mereka, seperti dijamin oleh Rasulullah saw, “Seolah-olah Allah menampakkan diri pada para sahabat yang turut serta dalam Perang Badar dan berkata, ‘Lakukan apa saja yang kalian mau. Aku telah mengampuni kalian.'”

Pada saat mengetahui Abu Salamah gugur sebagai syahid, Ummu Salamah langsung berdoa, “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kita pasti akan kembali pada-Nya. Ya Allah, selamatkanlah aku dalam menghadapi musibah ini dan berilah ganti yang lebih baik dari musibah yang sedang aku hadapi ini.”

Setelah membaca doa itu, Ummu Salamah duduk termenung. Dia bicara sendiri, “Siapa yang lebih baik daripada Abu Salamah. Dia seorang sahabat yang turut serta dalam Perang Badar dan gugur sebagai syahid?” Tak lama berselang, Ummu Salamah pun dinikahi oleh Rasulullah saw yang tentu saja lebih baik daripada Abu Salamah.

Sekarang saya melihat Anda tertarik sekali dengan doa ini. Baca terus doa ini, Anda pasti akan menemukan keajaiban. Namun masih ada dua syarat yang harus dipenuhi. Tahukah Anda dua syarat itu? Benar, dua syarat itu (1) sabar menghadapi musibah; dan (2) yakin akan terkabulnya doa Anda.

Syarat yang terakhir saat menghadapi musibah adalah Anda sabar tanpa keluhan dan protes. Akankah Anda mengadukan Allah pada manusia? Apa Anda tidak rela dengan keputusan Allah?

Hanya saja, jika Anda mengutarakan musibah yang sedang Anda hadapi pada orang lain dengan niat sekadar menginformasikannya, sepertti seorang yang menderita satu penyakit lalu ia menceritakannya pada dokter, misalnya. Atau ia mengutarakan musibah itu pada kawannya untuk diajak berembuk mencari jalan keluar, hal seperti ini akan sangat tergantung pada niatnya.

Jangan sampai Anda tidak bersyukur pada Allah! Jangan sampai Anda tidak rela dengan keputusan Allah! Bersabarlah dengan baik. Jadilah orang yang rela dengan keputusan Allah. [Amru Muhammad Khalid]

INILAH MOZAIK

 

Kaya untuk Dakwah

ISLAM tidak pernah melarang pemeluknya untuk menjadi kaya atau memerintah mereka hidup miskin. Semasa nabi masih hidup, kondisi para sahabat sangat bervarisi. Ada yang kaya, sedang-sedang saja dan ada yang miskin.

Menariknya, dari hayat mereka pembaca bisa membaca secara cermat bahwa yang menjadi soal adalah bukan pada kaya atau miskinnya. Mereka menjadi bernilai ketika kekayaannya dipergunakan untuk kepentingan dakwah dan kemiskinannya tidak sampai membuatnya  berpaling dari dakwah.

Pada tulisan ini, penulis akan berfokus pada sahabat-sahabat yang dikenal kaya raya sekaligus sangat peduli dakwah. Kekayaan yang begitu melimpah tidak membuat mereka silau harta. Justru, harta yang dimiliki dikontribusikan untuk kepentingan dakwah.

Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu misalnya, sebelum memeluk Islam, beliau terhitung sebagai orang kaya. Hartanya saat itu sebesar 40 ribu dirham. Belum lagi harta lain yang dihasilkan dari jalur bisnis.

Harta dan kekayaan yang beliau punya, saat Islam disumbangkan semuanya di jalan Allah. Georgie Zeidan  dalam buku “Tārikh al-Tamaddun al-Islāmy” (2018: V/17) mencatat hal menarik. Para khalifah –meski kaya—hidupnya bukan semata untuk memperkaya diri. Tapi disalurkan untuk kepentingan Islam.

Ketika Abu Bakar wafat, harta yang ditinggalkannya cuma satu dinar. Dia tidak banyak berpikir untuk kepentingan diri sendiri. Hartanya yang banyak disumbangkan untuk kepentingan dakwah.

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu juga terbilang orang kaya. Dalam catatan sejarah, belum ada catatan resmi mengenai jumlah hartanya. Namun, bisa dilihat dari beberapa fakta sejarah hayat beliau.

Saat menikahi Ummi Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib, mahar yang diberikan adalah sebesar ribuan dinar emas sebagaimana ditulis oleh Ya’qubi dalam kitab tarikhya. Bahkan menurut catatan sejarawan Muslim lain seperti Ibnu Qudamah mahar yang diberikan ayah Hafshah itu sebesar 40 ribu dinar. Dan Umar pun pernah berwasiat agar istri-istrinya diberikan 4000 dinar. (Syakir Nabulisi, 2011)

Meski beliau kaya, perhatikan saat wafat. Dirinya malah mempunyai hutang 80 ribu ke Baitul Mal. Beliau berwasiat kepada anaknya, jika hartanya tak cukup, maka dibayar dengan harta keluarga Khattab. Lagi-lagi, kekayaan yang dimiliki digunakan untuk kepentingan dakwah, sehingga saat meninggal tak ada yang tersisa.

Sahabat lain yang juga termasuk orang kaya adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu. Untuk mengetahui kekayaannya bisa dibaca dalam buku “Tātikh Madīnah Dimasyq” (1996: 39/442) disebutkan bahwa saat meninggal dunia, dalam simpanan Utsman terdapat 30 juta dirham, 500 ribu dirham, 150 ribu dinar. Belum lagi sebribu onta dan harta lainnya.

Seperti sahabat lainnya, Utsman semasa hidupnya adalah orang yang juga peduli dakwah. Harta yang diinfakkan di jalan Allah tidaklah sedikit. Sumur Ruma, pembiayaan perang Tabuk dan lain sebagainya, adalah bukti bahwa hartanya disalurkan untuk kepentingan dakwah.

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu juga tergolong kaya. Menurut catatan sejarah –sebagaimana ditulis oleh Georgie Zeidan—saat meninggal dunia beliau memiliki empat istri, 19 mantan istri, 24 anak. Mereka mendapat peninggalan harta tidak bergerak (tetap) yang bisa digolongkan sebagai orang kaya di antara kaumnya. Di antara peninggalan itu adalah di tanah Yanbu’.

Senada dengan sahabat lain, beliau juga orang derwaman. Terlebih jika untuk kepentingan dakwah. Muhammad Hamid dalam buku “Sīrah wa Manāqib ‘Ali bin Abi Thālib” (2018: 34-36) Beliau pernah memberi orang 100 dinar, sering membantu orang kesusahan, mewaqafkan tanah Yanbu’ dan sedekahnya jika dihitung pernah mencapai 4000 dinar. Namun, saat meninggal dunia, menurut penuturan Hasan bin Ali cuma  meninggalkan 700 dirham.

Sahabat lain yang masuk kategori kaya adalah sebagai berikut: Amru bin Asha Radhiyallahu ‘anhu saat meninggal dunia meninggalkan 300 ribu dinar dan 25 ribu dirham, penghasilan (income) 200 ribu dinar di Mesir. Zaid bin Tsabit meninggalkan emas dan perak begitu banyak sampai-sampai tak bisa dipecahkan dengan kapak. Belum lagi harta tidak bergerak lain yang senilai 100 ribu dinar.

Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu meninggalkan harta 2 juta dan sepertiga juta dinar. Ia menikahi 20 wanita selama hidupnya. Banyaknya istri menunjukkan betapa kayanya seseorang. Zubair bin Awwam Radhiyallahu ‘anhu memiliki 1000 hamba sahaya yang masing-masing dibayarkan pajaknya. Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu penghasilannya di Irak sebesar 400 ribu dinar dan pernah menjual tanah senilah 700 ribu dinar. Penghasilannya pertahun mencapai 350 ribu dinar.

Menariknya, kekayaan yang dimiliki oleh sahabat-sahabat yang tergolong kaya tersebut digunakan –sebagaian besarnya, bahkan ada yang semuanya—untuk kepentingan dakwah.

Betapa dahsyatnya jika orang muslim yang kaya raya di masa sekarang meneladani mereka. Harta yang ada tak hanya dinikmati sendiri, tapi digunakan untuk kepentingan dakwah. Dengan demikian, akan ada lompatan  besar dalam bidang dakwah dan umat pun akan menjadi lebih bermartabat karena tidak bergantung secara finansial ke umat lain.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Menjadi Umat Terbaik dengan Saling Menasehati

Pembahasan berikut adalah risalah ringkas dari Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullahmengenai amar ma’ruf nahi munkar. Berikut penjelasan beliau rahimahullah:

Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Mereka bisa menjadi umat terbaik jika mereka memenuhi syarat (yang disebutkan dalam ayat di atas). Siapa saja yang tidak memenuhi syarat di atas, maka dia bukanlah umat terbaik.”

Para salaf mengatakan, telah disepakati bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu wajib bagi insan. Namun wajibnya adalah fardhu kifayah, hal ini sebagaimana jihad dan mempelajari ilmu tertentu serta yang lainnya. Yang dimaksud fardhu kifayah adalah jika sebagian telah memenuhi kewajiban ini, maka yang lain gugur kewajibannya. Walaupun pahalanya akan diraih oleh orang yang mengerjakannya, begitu pula oleh orang yang asalnya mampu namun saat itu tidak bisa untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar yang diwajibkan. Jika ada orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar, wajib bagi yang lain untuk membantunya hingga maksudnya yang Allah dan Rasulnya perintahkan tercapai. Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 2)

Setiap rasul yang Allah utus dan setiap kitab yang Allah turunkan, semuanya mengajarkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Yang dimaksud ma’ruf adalah segala istilah yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhoi oleh Allah.

Yang dimaksud munkar adalah segala istilah yang mencakup segala hal yang dibenci dan dimurkai oleh Allah.

Meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah sebab datangnya hukuman dunia sebelum hukuman di akhirat. Janganlah menyangka bahwa hukuman meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya menimpa orang yang zholim dan pelaku maksiat, namun boleh jadi juga menimpa manusia secara keseluruhan.

Orang yang melakukan amar ma’ruf hendaklah orang yang faqih (paham) terhadap yang diperintahkan dan faqih (paham) terhadap yang dilarang. Begitu pula hendaklah dia halim (santun) terhadap yang diperintahkan, begitu pula terhadap yang dilarang. Hendaklah orang tersebut orang yang ‘alim terhadap apa yang ia perintahkan dan larang. Ketika dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar, hendaklah ia bersikap lemah lembut terhadap apa yang ia perintahkan dan ia larang. Lalu ia harus halim dan bersabar setelah ia beramar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana Allah berfirman dalam kisah Luqman,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

Ketahuilah bahwa orang yang memerintahkan pada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar termasuk mujahid di jalan Allah. Jika dirinya disakiti atau hartanya dizholimi, hendaklah ia bersabar dan mengharap pahala di sisi Allah. Sebagaimana hal inilah yang harus dilakukan seorang mujahid pada jiwa dan hartanya. Hendaklah ia melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam rangka ibadah dan taat kepada Allah serta mengharap keselamatan dari siksa Allah, juga ingin menjadikan orang lain baik. Janganlah ia melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk tujuan mencari kedudukan mulia atau kekuasaan. Janganlah ia melakukannya karena bermusuhan atau benci di hatinya pada orang yang diajak amar ma’ruf nahi munkar. Janganlah ia melakukannya dengan tujuan-tujuan semacam ini.

Kadang memerintahkan pada yang kebaikan itu dengan cara yang baik dan tidak membawa dampak jelek. Kadang pula mencegah kemungkaran dilakukan dengan baik tanpa membawa dampak jelek. Sebaliknya jika menghilangkan kemungkaran malah dengan cara yang mungkar pula (bukan dengan cara yang baik), maka itu sama saja seseorang ingin mensucikan khomr (yang najis kata sebagian ulama, pen), dengan air kencing (yang najis pula, pen). Siapa yang melarang kemungkaran namun malah dengan yang mungkar, maka itu hanya membawa banyak kerusakan daripada  mendapatkan keuntungan. Kadang kerugian itu sedikit atau banyak. Wallahu a’lam.

***

Diterjemahkan dari risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, penjelasan firman Allah: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnaas dalam Al Majmu’atul ‘Aliyyah min Kutub wa Rosail wa Fatawa Syaikhul Islam Ibni Taimiyah, Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama,, Muharram, 1422, hal. 62-65.

King Khalid Airport, Riyadh, KSA, 17th Shafar 1432 H (21/1/2011)

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Tingkatkan Layanan, Saudi Digitalisasi Sistem Haji-Umrah

Arab Saudi menandatangani dua kesepakatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan layanan digital berkaitan dengan haji dan umrah.

Langkah itu dilakukan agar pengalaman jamaah saat menunaikan ibadah lebih mudah dan menyenangkan.

Dilansir di Arab News, Kamis (25/10), kesepakatan itu ditandatangani di sela-sela acara pertemuan Inisiatif Investasi Masa Depan di Riyadh, Arab Saudi.

Kesepakatan yang pertama ialah dengan teknologi multinasional Eropa berbasis di Jerman, SAP, untuk mengembangkan teknologi media inovatif untuk mengubah operasi yang diperlukan guna menampung jutaan jamaah setiap tahunnya.

Kesepakatan bersama (MoU) itu ditandatangani Menteri Haji dan Umrah Saudi Dr Mohammad Saleh bin Taher Benten dan Presiden EMEA South SAP Steve Tzikakis.

Di acara terpisah, Benten juga menandatangani MoU dengan direktur pelaksana Cisco Arab Saudi Salan Faqeeh. Kesepakatan dilakukan untuk membantu meningkatkan infrastruktur dan layanan digital di kementerian.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Kementerian Haji dan Umrah Saudi akan mengeksplorasi penggunaan platform digital berbasis cloud (awan) untuk menyatukan semua data jamaah.

Dengan menggunakan teknologi yang bekerja sama dengan ratusan agen perjalanan di seluruh dunia itu, Kementerian akan dapat memperoleh pembaruan dan wawasan real-time (waktu nyata) ke dalam pengalaman perjalanan haji.

Dengan demikian, teknologi itu akan memungkinkan meningkatkan layanan manajemen jamaah, transportasi dan logistik, serta menjamin kesehatan dan keselamatan jamaah.

“Transformasi digital Departemen Haji dan Umrah sejalan dengan visi kami untuk membuat perjalanan seorang jamaah mudah dan dapat terprediksi, dalam lingkungan yang damai dan tenang,” kata Benten.

Karena jumlah jamaah haji dan umrah semakin bertambah, Benten mengatakan Saudi dapat dengan mudah meningkatkan penggunaan media internet (cloud) guna meningkatkan operasinya.

Menurut dia, hal ini membantu meningkatkan efektivitas staf dan infrastruktur Saudi untuk mengoptimalkan pengalaman perjalanan bagi semua pihak.

Direktur Pelaksana SAP Arab Saudi Khaled Alsaleh mengatakan, pemindahan operasi manual ke operasi digital ini, menghemar antara 25 dan 50 persen biaya.

Hal itu berkat pengurangan biaya perangkat keras dan eksploitasi sinergi dengan layanan berbasis cloud yang ada. Dengan menggunakan analisa real-time dan solusi internet dalam teknologi awan (cloud), ia mengatakan Kementerian Haji dan Umrah dapat meningkatkan proses perjalanan, mengoptimalkan rute transportasi, dan membantu pembayaran digital untuk lebih dari 2 juta jamaah dari 168 negara yang tiba di Makkah setiap tahun.

“Kami senang memainkan peran penting dalam mendukung Kementerian Haji dan Umrah dalam menyediakan perjalanan yang damai, lebih menyenangkan dan aman,” kata Alsaleh.

Pengumuman ini menyusul komitmen SAP tahun ini untuk menginvestasikan 285 juta riyal (76 juta dolar AS) selama empat tahun ke depan. Hal itu bertujuan untuk menciptakan transformasi digital di Kementerian.

Investasi tersebut berada di bawah bendera inisiatif “Investasi Saudi” yang baru. Inisiatif tersebut merupakan rencana pemerintah Saudi untuk menarik dan mempromosikan investasi yang semakin cepat.

Inisiatif, yang merupakan bagian dari Rencana Transformasi Nasional, itu bertujuan untuk mengkonsolidasikan upaya untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan memasarkan peluang luas di banyak sektor yang dapat Arab Saudi tawarkan di level investor multinasional, regional, dan lokal.

Adab Pada Hari Jumat Sesuai Sunnah Nabi

Hari Jumat adalah hari yang mulia, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memuliakannya. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rasulullah dan sahabatnya, bagaimana seharusnya msenyambut hari tersebut agar amal kita tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari Allah ta’ala. Berikut ini beberapa adab yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jumat.

1. Memperbanyak Sholawat Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata: ‘Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?’ Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)

2. Mandi Jumat

Mandi pada hari Jumat wajib hukumnya bagi setiap muslim yang balig berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda yang artinya, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhori dan Muslim). Mandi Jumat ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi Jumat seperti mandi janabah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Menggunakan Minyak Wangi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu sholat sesuai yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khotbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Bersegera Untuk Berangkat ke Masjid

Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR. Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat Fathul BariII/388)

5. Sholat Sunnah Ketika Menunggu Imam atau Khatib

Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)

6. Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Berkhotbah

“Sahl bin Mu’ad bin Anas mengatakan bahwa Rasulullah melarang Al Habwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat sholat Jumat ketika imam sedang berkhotbah.” (Hasan. HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

7. Sholat Sunnah Setelah Sholat Jumat

Rasulullah bersabda yang artinya, “Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat.” Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata, “Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang.” (HR. Muslim, Tirmidzi)

8. Membaca Surat Al Kahfi

Nabi bersabda yang artinya, “Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.” (HR. Imam Hakim dalam Mustadrok, dan beliau menshahihkannya)

Demikianlah sekelumit etika yang seharusnya diperhatikan bagi setiap muslim yang hendak menghidupkan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di hari Jumat. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa di atas sunnah Nabi-Nya dan selalu istiqomah di atas jalan-Nya.

(Disarikan dari majalah Al Furqon edisi 8 tahun II oleh Abu Abdirrohman Bambang Wahono)

***

Penulis: Abu Abdirrohman Bambang Wahono
Artikel www.muslim.or.id

Wahai Istri, Bersyukurlah kepada Suamimu

RASULULLAH salalallahu alaihiwasallam bersabda: “Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur (tidak berterima kasih) kepada suaminya, padahal dia membutuhkannya.” (HR. Nasai)

Hadis tersebut merupakan peringatan keras bagi para wanita mukminat yang menginginkan rida Allah Swt dan surga-Nya. Maka tidak sepantasnya bagi wanita yang mengharapkan akhirat untuk mengkufuri kebaikan-kebaikan suaminya dan nikmat-nikmat yang diberikannya atau meminta dan banyak mengadukan hal-hal sepele yang tidak pantas untuk dibesar-besarkan.

Jika demikian keadaannya, maka sungguh sangat cocok sekali jika wanita yang kufur terhadap suaminya serta kebaikan-kebaikannya dikatakan Rasulullah saw sebagai mayoritas kaum yang masuk ke dalam neraka walaupun mereka tidak kekal di dalamnya.

Cukup kiranya istri-istri Rasulullah saw dan para shahabiyah sebagai suri tauladan bagi istri-istri kaum mukminin dalam mensyukuri kebaikan-kebaikan yang diberikan suaminya kepadanya, agar mereka tergolong kedalam orang orang yang mensyukuri Allah Taala, sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw:

“Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia”. [mediaislam.biz]

 

 

Kata Umar Bin Abdul Azis yang Bikin Hati Bergetar

SALAH satu kalimat indah penuh makna dari sang Khalifah yang membuat hati bergetar adalah: “Orang-orang mati itu terpenjara di alam kuburnya, mereka menyesali perbuatan sia-sia yang telah mereka kerjakan di dunia. Sementara orang-orang yang masih hidup di dunia saling bunuh membunuh untuk memperebutkan perkara sia-sia yang disesali orang-orang yang sudah mati. Orang yang sudah mati itu tentu tidak bisa kembali kepada orang yg masih hidup, dan orang-orang yang masih hidup tidak mengambil pelajaran dari apa yg disesali oleh orang-orang yang sudah mati.”

Kalau kita tidak ingin menyesal di alam kubur kelak, jauhilah segala sesuatu yang sia-sia. Tak usahlah berebut sesuatu yang tak akan membuat bahagia di alam akhirat kelak sampai bertengkar dan saling membunuh.

Serius dan sungguh-sungguhlah dalam urusan ibadah, urusan agama, karena inilah bekal bahagia kita yang sesungguhnya untuk akhirat kita. Hidup di dunia hanya sebentar. Hidup di alam kubur itu lebih lama. Hidup di alam akhirat itu abadi.

Hanya orang bodoh dan tertipu yang berbangga-bangga dengan sesuatu yang nantinya tak punya nilai di alam kubur dan alam akhirat. Salam, AIM. [*]

 

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi |

Simpanan yang Tak Akan Sirna

Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.

Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.

Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Dan firman-Nya:

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34)

Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Dahulu kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)

Tingkatan-tingkatan Amalan

Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502)

Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)

Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.

Luasnya Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala

Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah Subhanahu wa Ta’ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.

Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)

Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.

Barakah Keikhlasan

Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.

Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah Subhanahu wa Ta’ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.

Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.

Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun

Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)

Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)

Dan tersebut dalam hadits:

“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)

Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam jannah karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?

Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:

“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.

Harta Kita yang Sesungguhnya

Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Baththal rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)

Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.

(Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc, Judul: Simpanan yang Tak Akan Sirna)

PENGUSAHA MUSLIM

Syarhus Sunnah: Allah itu Al-Bashiir, Maha Melihat

Allah itu Maha Melihat atau Al-Bashiir. Hal ini bisa kita pelajari dari Syarhus Sunnah karya Imam Al-Muzani, dibantu dengan penjelasan ulama lainnya.

 

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

الوَاحِدُ الصَّمَدُلَيْسَ لَهُ صَاحِبَةٌ وَلاَ وَلَدٌ جَلَّ عَنِ المَثِيْلِ فَلاَ شَبِيْهَ لَهُ وَلاَ عَدِيْلَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ العَلِيْمُ الخَبِيْرُ المَنِيْعُ الرَّفِيْعُ

  1. Allah itu Maha Esa, Allah itu Ash-Shamad (yang bergantung setiap makhluk kepada-Nya), yang tidak memiliki pasangan, yang tidak memiliki keturunan, yang Mahamulia dan tidak semisal dengan makhluk-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan Allah. Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat. Allah itu Maha Mengilmui dan Mengetahui. Allah itu yang mencegah dan Mahatinggi.

 

Allah itu Al-Bashiir

 

Nama Al-Bashiir dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 42 kali. Di antaranya dalam firman Allah Ta’ala,

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)

وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”(QS. Ali Imran: 15, 20)

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚوَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4)

مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَٰنُ ۚإِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ

Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.” (QS. Al-Mulk: 19)

Nama Allah Al-Bashiir tersusun dari kata mubalaghahyang bermakna Maha.

 

Maksud Allah itu Maha Melihat

 

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah ketika menerangkan ayat,

وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 96); ia menerangkan bahwa Allah itu melihat apa yang manusia kerjakan, tidak ada yang samar dalam ilmu Allah. Allah mengetahui semuanya dari segala sisi. Allah yang menjaga dan mengingat amalan mereka, sampai nantinya akan memberikan hukuman. Bashiir berasal dari mubshir yaitu yang melihat, lalu diubah mengikuti wazan fa’iil. Sebagaimana musmi’ (yang mendengar) menjadi samii’, siksa yang pedih (mu’lim) menjadi aliim (sangat pedih), mubdi’ as-samaawaat (pencipta langit) menjadi badii’, dan semisal itu. (Sya’nu Ad-Du’aa’, hlm. 60-61. Lihat AnNahju Al-Asma’ fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna, hlm. 164)

Al-Khatthabi rahimahullah menyatakan bahwa Al-Bashiir berarti yang Maha melihat, dan disebut Al-Bashiir karena mengetahui segala perkara yang samar.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyatakan dalam pembahasan tambahannya dalam Taisir Al-Karim Ar-Rahman, Al-Bashiir maksudnya bahwa Allah melihat segala sesuatu, walaupun itu kecil. Allah itu melihat jejak langkah semut hitam dalam kegelapan malam di tanah yang hitam. Allah juga melihat segala yang berada di bawah lapis bumi yang tujuh dan segala yang ada di langit yang ketujuh.

Samii’ dan Bashiir juga punya makna bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat mereka yang berhak mendapatkan hukuman sesuai dengan hikmah dari Allah. Makna terakhir ini merujuk pada hikmah.

 

Melihat itu Ada Dua Macam

 

  1. Allah memiliki penglihatan
  2. Allah itu memiliki bashirah, mengetahui segala sesuatu secara detail.

 

Perenungan Beriman kepada Nama Allah Al-Bashiir

 

Pertama: Penetapan sifat melihat bagi Allah karena Allah sendiri yang menetapkan untuk dirinya, dan Allah lebih tahu diri-Nya sendiri.

Kedua: Penetapan sifat melihat bagi Allah berarti menetapkan sifat sempurna karena yang buta dan melihat tentu berbeda. Coba renungkan ayat,

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚأَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’am: 50)

Tidak melihat itu sifat kurang sehingga tidak pantas dijadikan sesembahan. Sehingga Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mengingkari bapaknya yang menyembah berhala seperti disebutkan dalam ayat,

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (QS. Maryam: 42)

Begitu juga Allah mengingkari sesembahan orang musyrik dalam ayat,

أَلَهُمْ أَرْجُلٌ يَمْشُونَ بِهَا ۖأَمْ لَهُمْ أَيْدٍ يَبْطِشُونَ بِهَا ۖأَمْ لَهُمْ أَعْيُنٌ يُبْصِرُونَ بِهَا ۖأَمْ لَهُمْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۗقُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلَا تُنْظِرُونِ

Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah: ‘Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh (kepada-ku)’.” (QS. Al-A’raf: 195). Bagaimana mungkin manusia yang menyembah lebih sempurna dari berhala yang disembah?!

Ketiga: Allah itu Al-Bashiir berarti Maha Melihat segala aktivitas hamba. Allah itu tahu mana yang pantas mendapatkan hidayah dan mana yang tidak pantas, begitu pula tahu mana yang pantas mendapatkan kekayaan dan yang tidak.

Dalam ayat disebutkan,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚإِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 27)

Juga dalam ayat yang lain,

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ ۚوَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. At-Taghabun: 2)

Keempat: Allah itu Maha Melihat berarti Allah itu Maha Mengetahui segala yang kita perbuat dan Dia sangat malu ketika melihat hamba-Nya berbuat maksiat atau berbuat yang tidak disukai oleh-Nya.

Dalam hadits tentang masalah ihsan disebutkan,

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ , فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.” (HR. Muslim, no. 8)

 

Cukup Tahu Allah itu Maha Melihat

 

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan bahwa ada seseorang melewati seorang wanita di suatu padang pasir pada malam hari. Ia katakan pada wanita tersebut, “Tidak ada yang menyaksikan kita saat ini selain bintang-bintang di langit.” Wanita itu menjawab, “Lantas siapa yang menciptakan langit tersebut, bukankah Dia melihat kita?”

Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَىٰ

Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-‘Alaq: 14). Lihat bahasan dalam Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hlm. 156.

 

Cukup dengan mengetahui Allah itu Al-Bashiir membuat kita semakin takut berbuat maksiat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

 

Referensi:

  1. AnNahju Al-Asma’ fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna. Cetakan keenam, Tahun 1436 H. Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi. Penerbit Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi. hlm. 158-164-167.
  2. Fiqh Al-Asma’ Al-Husna. Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr. Penerbit Ad-Duror Al-‘Almiyyah. hlm. 152-156.
  3. Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan ke-12, Tahun 1431 H. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani. Penerbit Maktabah Malik Fahd. hlm. 60.
  4. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

 

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Hukum Melanggar Peraturan Lalu Lintas

Banyak kasus kecelakaan terjadi akibat pelanggaran lalu lintas, seperti menerobos lampu lalu lintas, ngebut ketika berkendaraan, tidak memakai helm, atau alat pengaman saat berkendara.

Demikian juga, seringkali di antara kita meremehkan peraturan lalu lintas ketika kita melihat tidak ada polisi. Ada nasihat berharga dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkenaan dengan fenomena di atas.

Soal :
Bagaimana hukum Islam terhadap seseorang yang melanggar peraturan lalu lintas semisal dia menerobos lampu lalu lintas ketika lampu berwarna merah.

Jawab :
Tidak boleh ada seorang muslim pun yang melanggar peraturan negara dalam aturan berlalu lintas karena perbuatan tersebut bisa mendatangkan bahaya yang besar bagi dirinya sendiri dan pengguna jalan lainnya. Negara (baca: pemerintah) -semoga Allah Taala memberikan taufik kepadanya- tidaklah membuat semua aturan ini kecuali sebagai usaha dalam mewujudkan kebaikan bersama bagi kaum muslimin dan untuk mencegah bahaya, jangan sampai menimpa mereka. Oleh karenanya, tidak boleh ada seorang pun yang melanggar aturan-aturan tersebut. Pihak yang berwajib berhak menjatuhkan hukuman kepada pelanggar dengan hukuman yang bisa membuat orang tersebut dan yang semisalnya jera untuk mengulangi pelanggarannya.

Terkadang, Allah Taala mengatur hamba-Nya melalui perantaraan pemerintah dan hasilnya terkadang lebih baik daripada umat langsung diperintahkan dengan Al-Qur`an. Hal ini disebabkan kebanyakan mereka tidak takut melanggar aturan Al-Qur`an dan as-sunnah, namun mereka justru takut melanggar aturan pemerintah dikarenakan ada hukuman yang menunggu mereka. Dan hal ini terjadi tidak lain kecuali karena lemahnya keimanan mereka kepada Allah Taala dan hari akhir atau bahkan keimanan itu tidak ada pada kebanyakan mukmin. Allah Taala berfirman:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf : 103)

Kita meminta kepada Allah Ta’ala hidayah dan taufik untuk kita seluruhnya. (Fatawa Islamiyah Ibnu Baz : 4/536. Diterjemahkan dari Fatawa asy-Syar’iyah, hlm. 579-580)

Orang beriman diperintahkan taat pada penguasa (ulil amri) sepanjang tidak melanggar perintah-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيْعُواْ اللّهَ وَأَطِيْعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِيْ الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً)

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa : 59)
Jadi, taat peraturan lalu lintas berarti menaati penguasa dalam hal bukan maksiat dan merupakan qurbah (upaya mendekatkan diri pada Allah Taala) pada perkara yang sepertinya remeh namun ketika lurus niatnya karena-Nya niscaya berpahala.

Semoga risalah singkat ini semakin menguatkan tekad kita untuk mendulang pahala dengan mematuhi peraturan lalu lintas meskipun polisi tak melihatnya.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Artikel Muslimah.or.id