Hukum Operasi Plastik Untuk Kecantikan

Hukum operasi plastik dengan tujuan kecantikan tidak diperbolehkan oleh syariat. Perlu diketahui bahwa hukum operasi plastik ini ada rinciannya.

1) Operasi plastik untuk menghilangkan cacat dan aib

Hukumnya boleh karena termasuk “mengembalikan ciptaan Allah”, misalnya operasi bibir sumbing, operasi rekonstruksi wajah setelah kecelakaan dan lain-lainnya.

2) Operasi plastik untuk kecantikan

Hukumnya adalah haram karena ini termasuk mengubah ciptaan Allah

Hal in senada dengan yang dfatwakan oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, beliau merinci hukum operasi plastik:

التجميل نوعان :

تجميل لإزالة العيب الناتج عن حادث أو غيره ، وهذا لا بأس به ولا حرج …

والنوع الثاني :

هو التجميل الزائد وهو ليس من أجل إزالة العيب بل لزيادة الحسن ، وهو محرم لا يجوز ….

“Operasi (plastik) ada dua macam:

1) Operasi plastik untuk menghilangkan aib akibat kecelakaan/musibah dan yang lainnya, maka hal ini tidak mengapa dan diperbolehkan

2) Operasi plastik untuk menambah kecantikan dan bukan untuk menghilangkan aib bahkan untuk membuat tambah cantik maka hukumnya haram dan tidak boleh.” [Fatawa Islamiyyah 4/412]

 

Berikut dalil dari rincian tersebut:

1) Operasi plastik untuk menghilangkan cacat dan aib

Hukumnya boleh, dalilnya adalah kisah sahabat Urfujah bin As’ad radhiallahu ‘anhu yang menggunakan emas untuk memperbaiki hidungnya, padahal emas haram bagi laki-laki.

أَنَّهُ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ

“Hidungnya terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menggunakan tambal hidung dari emas.” [HR. An-Nasai 5161, Abu Daud 4232]

2) Operasi plastik untuk kecantikan

Hukumnya adalah haram karena ini termasuk mengubah ciptaan Allah

Allah Ta’ala berfirman,

..وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ

“dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya”. (An-Nisa’ :119)

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

لَعَنَ اللَّهُ الوَاشِمَاتِ وَالمُوتَشِمَاتِ، وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ، لِلْحُسْنِ المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ

“Semoga Allah melaknat orang yang mentato, yang minta ditato, yang mencabut alis, yang minta dikerok alis, yang merenggangkan gigi, untuk memperindah penampilan, yang mengubah ciptaan Allah.” [HR. Bukhari 4886]

Operasi untuk memperindah dan kecantikan diharamkan sedangkan untu menghilangkan cacat atau penyakit maka diperbolehkan. As-Syaukani menjelaskan,

قوله (إلا من داء) ظاهره أن التحريم المذكور إنما هو فيما إذا كان لقصد التحسين لا لداء وعلة، فإنه ليس بمحرم

“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘kecuali karena penyakit’ dzahir maksudnya bahwa keharaman yang disebutkan, yaitu jika dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak haram.” [Nailul Authar, 6/229]

 

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel muslim.or.id

Jangan Takut Tidak Punya Rezeki

SAHABAT, jangan takut tidak diberi rezeki, tapi takutlah tidak punya syukur, karena syukur itu seperti tali yang mengikat nikmat yang sudah ada dan menarik berbagai nikmat lainnya yang belum ada.

Jangan takut tidak memperoleh rezeki, tapi takutlah tidak punya sabar ketika rezeki kita ditunda. Jangan pula takut tidak memperoleh rezeki, tapi takutlah tidak punya ridha ketika Allah SWT mengambilnya kembali.

Jangan risaukan terhadap rezeki, karena sesungguhnya rezeki itu sudah diatur oleh-Nya, dan jika Allah SWT berkehendak untuk menyegerakan rezeki kita, maka tidak ada sesuatu apapun dan makhluk apapun yang bisa menghalang-halanginya.

Sahabat yang baik, mari kita sama sama menjaga hati agar senantiasa tulus dalam menjemput rezeki. Niatkan bekerja sebagai ibadah kepada Allah SWT. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Cinta Pertama: Hanya kepada Allah

SEMUA pernah merasakan cinta pertama, ada suka dan duka, bahagia dan benci, senang dan sedih. Rasa ini senantiasa menghiasi setiap hari. Indah rasanya.

Tak heran, banyak yang mencurahkan cinta hanya pada manusia. Sesungguhnya sang Pencipta telah menanamkan benih-benih untuk mencintai dan dicintai.

Namun, karena keterbatasan manusia, tak jarang semuanya berakhir hampa dan terus merasa ada yang kurang. Cinta pertama seolah menjadi jalan kekecewaan yang menuntut mencari cinta yang lain.

Beruntunglah manusia yang menjadikan ‘cinta pertamanya’ hanya kepada Allah SWT. Dialah pemilik cinta manusia, cinta yang paling agung, paling tinggi dan paling abadi.

Sebagai manusia, kita menyukai kesempurnaan, mengelu-elukan orang terkenal seperti artis, orang pintar, genius, dan pahlawan. Mereka semua kita anggap sempurna. Kita mendambakan mereka tiap saat. Bahkan kita ingin seperti mereka. Pernahkah terpikirkan ada kesempurnaan yang maha sempurna dari orang-orang yang kita impikan itu? Kesempurnaan yang dimiliki Allah.

Kita senang dengan orang yang berbuat baik. Tak jarang jiwa pun akan mencintai seseorang yang berbuat baik pada kita. Namun adakah yang berbuat baik pada kita melebihi kebaikan Allah? Segala kebaikan dan nikmat yang kita rasakan, hanya berasal dari-Nya.

Jika demikian, tidakkah Allah berhak mendapatkan cinta kita? Mengapa kita tidak mencintai Allah, lebih dari mencintai sesama manusia?

Mengapa cinta kepada Allah tidak menghiasi relung jiwa, pikiran, dan hati kita? Dan mengapa kita lupa memberikan Cinta Pertama kita pada-Nya?

Rasa cinta ke sesama manusia membuat kita seakan menjadi budak perasaan. Kita begitu sedih jika orang yang kita kasihi tidak ada kabar, dan mungkin tidak peduli dengan kita. Tapi pernahkah kita memikirkan betapa sedihnya kekasih sejati kita, Allah Swt saat kita menomorduakan-Nya, saat kita bermalas-malasan saat telah ada panggilan untuk menjumpai-Nya, sujud pada-Nya.

‘Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi Ala Ta’atik’

“Wahai Dzat yg membolak-balikan hati teguhkanlah hatiku di atas ketaatan kepada-Mu” [HR. Muslim (no. 2654) [Chairunnisa Dhiee]

Akhi, Belajarlah Terlebih Dulu…

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)

A. Landasan Ucapan dan Amalan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semuanya pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36).

Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Shahihnya di dalam Kitab al-’Ilmusebuah bab dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal, berdasarkan firman Allahta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).’ Lalu beliau berkata, “Allah memulai dengan ilmu.”(lihat Fath al-Bari [1/194])

Imam al-’Aini rahimahullah berkata, “Artinya: Ini adalah bab yang akan menerangkan bahwasanya ilmu didahulukan sebelum perkataan dan perbuatan. Beliau bermaksud untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu hendaknya diilmui terlebih dahulu, baru kemudian diucapkan dan diamalkan. Sehingga ilmu lebih dikedepankan daripada keduanya secara hakikatnya. Demikian pula ilmu lebih diutamakan di atas keduanya dari sisi kemuliaan. Sebab ilmu adalah amalan hati, sementara hati adalah anggota badan yang paling mulia.” (lihat ‘Umdat al-Qari [2/58])

Ibnul Munayyir rahimahullah berkata, “Beliau bermaksud untuk menjelaskan bahwa ilmu merupakan syarat benarnya ucapan dan amalan. Sehingga keduanya tidaklah dianggap tanpanya. Maka ilmu itu lebih didahulukan daripada keduanya, sebab ilmu menjadi faktor yang akan meluruskan niat, sedangkan lurusnya niat itulah yang menjadi pelurus amalan. Penulis ingin menggarisbawahi hal itu supaya tidak muncul anggapan dari perkataan sebagian orang bahwa ‘ilmu tidak ada gunanya tanpa amalan’ yang menimbulkan sikap meremehkan ilmu dan bermudah-mudahan dalam mempelajarinya.”(lihat Fath al-Bari [1/195])

Suatu ketika ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Lelaki itu berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”. Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133])

Qatadah berkata: Sesungguhnya setan tidak pernah membiarkan lolos seorang pun di antara kalian. Bahkan ia pun datang melalui pintu ilmu. Setan mengatakan, “Untuk apa kamu terus-menerus menuntut ilmu? Seandainya kamu mengamalkan semua (ilmu) yang telah kamu dengar, niscaya itu sudah cukup bagimu.” Maka Qatadah berkata: Seandainya ada orang yang boleh merasa cukup dengan ilmunya, niscaya Musa ‘alaihis salam adalah orang yang paling layak untuk merasa cukup dengan ilmunya. Akan tetapi Musa berkata kepada Khidr (yang artinya), “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau bisa mengajarkan kepadaku kebenaran yang diajarkan Allah kepadamu.” (QS. al-Kahfi: 66) (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/136])

B. Ilmu Sebagai Bekal Dakwah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah -hai Muhammad-: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan tergolong bersama golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah memerintah kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar kecuali orang yang padanya terdapat tiga ciri ini: lemah lembut dalam memerintah dan lemah lembut dalam melarang, bersikap adil dalam memerintah dan adil dalam melarang, serta mengetahui apa yang diperintahkan dan mengetahui apa yang dilarang.” (lihat catatan kaki al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 52 ta’liq Syaikh Ruslan)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah…”(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82]). Syaikh Abdurrazzaq al-Badrhafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Sesungguhnya Rabbku telah mengharamkan kepadaku perkara-perkara yang keji, yang tampak maupun yang tersembunyi, begitu pula dosa, perbuatan melanggar hak, berbuat syirik kepada Allah padahal tidak ada keterangan yang Allah turunkan untuk membenarkannya, dan Allah juga mengharamkan kalian berbicara tentang Allah tanpa landasan ilmu.” (QS. al-A’raaf: 33)

Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Perkara yang paling penting bagi seorang da’i adalah memahami apa yang dia dakwahkan secara global maupun terperinci, supaya dia tidak terjerumus dalam tindakan berfatwa tanpa ilmu.” (lihat transkrip Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 7)

C. Ilmu Ada Pada Atsar

Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah berkata, “Suatu cacat yang banyak menimpa putra-putra umat ini adalah bahwasanya mereka tidak mengikuti prinsip yang telah dijamin keterjagaannya. Padahal, prinsip itu merupakan jalan kenabian. Keterjagaan sesungguhnya hanya ada pada wahyu, bukan pemikiran. Keterjagaan itu hanyalah ada pada ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 376). Beliau juga menegaskan, “Sesungguhnya hakikat dari jalan kenabian itu adalah dengan mengikuti atsar/riwayat para pendahulu. Barangsiapa yang menyelisihi jalan ini maka dia tidak berjalan di atas manhaj nubuwwah.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 377)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintah rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah atau siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dia durhaka kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada amir/pemimpin maka dia  taat kepadaku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin maka dia durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835)

Dari Ubaidullah bin Abi Rafi’, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jangan sampai aku jumpai ada diantara kalian seseorang yang bersandar di atas pembaringannya sementara telah datang kepadanya perintah diantara perintah yang aku berikan atau larangan yang aku sampaikan lantas dia justru berkata, “Kami tidak tahu. Apa yang kami temukan dalam Kitabullah maka itulah yang kami ikuti!”.”(HR. Abu Dawud no. 4605, disahihkan Syaikh al-Albani)

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Semua yang sahih berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa syari’at maupun keterangan maka semua itu adalah kebenaran.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyahtakhrij Syaikh al-Albani, hal. 331)

Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat  Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu tetap berpegang dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala ajaran yang diada-adakan, karena itu adalah bid’ah.” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46). Imam Abul Qasim at-Taimi rahimahullah berkata, “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka untuk ittiba’ kepada salafus shalih dan meninggalkan segala ajaran yang bid’ah dan diada-adakan.” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 49)

Imam al-Ashbahani rahimahullah berkata, “Sudah semestinya setiap orang untuk mewaspadai berbagai perkara yang diada-adakan. Karena setiap ajaran yang diada-adakan adalah bid’ah. Sementara Sunnah itu hanya ada pada membenarkan atsar-atsar dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan sikap penentangan kepadanya dengan pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’. Pembicaraan ilmu kalam/filsafat, permusuhan dan perdebatan dalam urusan agama adalah perkara yang diada-adakan. Hal itu akan menanamkan keragu-raguan di dalam hati. Sehingga akan menghalangi dari mengenali kebenaran. Meskipun demikian, ilmu bukan semata-mata diperoleh dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakikat ilmu itu adalah dengan ittiba’ dan beramal dengannya.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 335)

Imam al-Ashbahani rahimahullah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya pemisah antara kita dengan ahli bid’ah adalah dalam masalah akal. Karena sesungguhnya mereka membangun agamanya di atas pemikiran akal semata, dan mereka menjadikan ittiba’ dan atsar harus mengikuti hasil pemikiran mereka. Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka mengatakan : pondasi agama adalah ittiba’ sedangkan pemikiran itu mengikutinya. Sebab seandainya asas agama itu adalah pemikiran niscaya umat manusia tidak perlu bimbingan wahyu, tidak butuh kepada para nabi. Kalau memang seperti itu niscaya sia-sialah makna perintah dan larangan. Setiap orang pun akan berbicara dengan seenaknya. Dan kalau seandainya agama itu memang dibangun di atas hasil pemikiran niscaya diperbolehkan bagi orang-orang beriman untuk tidak menerima ajaran apapun kecuali apabila pemikiran (logika) mereka telah bisa menerimanya.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 336)

Beliau rahimahullah juga berkata, “Kita tidak menentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan logika. Karena sesungguhnya agama ini diajarkan dengan dasar ketundukan dan kepasrahan. Bukan dengan mengembalikan segala sesuatu kepada logika. Karena hakikat logika yang benar adalah yang membuat orang menerima Sunnah. Adapun logika yang justru membuat orang membatalkan Sunnah, maka sesungguhnya itu adalah kebodohan dan bukan akal/logika yang benar.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 337)

Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah, beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.”Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, beliau berkata,“Kamu tidak akan salah jalan selama kamu tetap setia mengikuti atsar.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340). ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata,“Hendaknya kamu berpegang teguh dengan Sunnah, karena ia -dengan izin Allah- akan menjaga dirimu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 341)

D. Mengikuti Pemahaman Para Sahabat (Salafus Shalih)

Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Ketahuilah bahwa kaum ahli kitab sebelum kalian berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sungguh agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka, dan satu di surga; yaitu al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 4597, dihasankan Syaikh al-Albani)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya Bani Isra’il berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Adapun umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja.” Mereka pun bertanya, “Siapakah golongan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikuti aku dan para sahabatku.”(HR. Tirmidzi no. 2641, dihasankan Syaikh al-Albani)

Dari al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, beliau menuturkan: Pada suatu hari tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat mengimami kami, kemudian beliau menghadap kepada kami. Beliau pun memberikan nasehat kepada kami dengan suatu nasehat yang meneteskan air mata dan membuat hati merasa takut. Maka ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah! Seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah. Apakah yang hendak anda pesankan kepada kami?”. Beliau pun bersabda,“Aku wasiatkan kepada kalian untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan patuh, meskipun pemimpinmu adalah seorang budak Habasyi. Barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku niscaya akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu berpegang teguhlah kalian dengan Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang lurus lagi mendapat hidayah. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap ajaran yang diada-adakan itu bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, disahihkan Syaikh al-Albani)

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami mengikuti Sunnah dan Jama’ah, dan kami menjauhi ajaran-ajaran yang nyleneh, perselisihan, dan perpecahan.”(lihat al-’Aqidah ath-Thahawiyahhasyiyah Syaikh Muhammad bin Mani’ dan ta’liqSyaikh Bin Baz, hal. 69 cet. Adhwa’ as-Salaf, dan al-Minhah al-Ilahiyah, hal. 347). Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sunnah adalah jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin; mereka itu adalah para sahabat, dan para pengikut setia mereka hingga hari kiamat. Mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyahtakhrij Syaikh al-Albani, hal. 382 cet. al-Maktab al-Islami)

E. Tinggalkan Semua Kelompok Menyimpang

Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Dahulu orang-orang sering bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir hal itu akan menimpa diriku. Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami dahulu berada dalam masa jahiliyah dan keburukan, lalu Allah pun menganugerahkan kepada kami kebaikan ini. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?”. Beliau menjawab, “Iya, ada.” Aku bertanya lagi, “Apakah sesudah keburukan itu masih ada kebaikan?”. Beliau menjawab, “Iya, ada. Akan tetapi ada kekeruhan di dalamnya.” Aku pun bertanya,“Apakah kekeruhan itu?”. Beliau menjawab, “Yaitu suatu kaum yang mengikuti jalan akan tetapi bukan jalan/Sunnah yang aku tinggalkan, dan mereka mengikuti petunjuk tetapi bukan petunjuk dariku. Kamu bisa mengenali mereka dan mengingkarinya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan itu masih ada keburukan?”. Beliau menjawab,“Iya, ada. Yaitu para penyeru kepada pintu Jahannam. Barangsiapa yang memenuhi seruan itu maka mereka akan membuatnya terlempar ke dalam neraka.” Aku berkata,“Wahai Rasulullah! Jelaskan kepada kami ciri-ciri mereka.” Beliau menjawab, “Ya. Mereka adalah sekelompok kaum dari kulit bangsa kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana menurut anda jika aku mengalami hal itu, apa yang harus aku lakukan?”. Beliau bersabda, “Hendaknya kamu tetap bergabung dengan jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka.” Aku pun berkata,“Kalau ternyata tidak ada jama’ah/persatuan dan tidak ada lagi imam/pemimpin?”. Beliau menjawab, “Maka tinggalkanlah semua kelompok-kelompok yang ada, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai kematian menjemputmu dan kamu tetap berada dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari no. 3606 dan Muslim no. 1847)

Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah berkata, “al-Ikhwan al-Muslimun, apakah mereka berada di atas jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Para pengikut Jama’ah Tabligh… Harokah… Takfiri… Pemuja Kubur… Penyebar Khurafat… dan para pengikut Hizbut Tahrir… Ini semua adalah kelompok-kelompok. Apakah mereka berada di atas jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Sama sekali tidak. Kecuali apabila bisa bertemu antara timur dan barat. Kecuali apabila kamu sanggup untuk menyatukan air dengan api dengan  tanganmu. Sungguh, tidak mungkin. Ini adalah mustahil. Sesungguhnya orang-orang yang berada di atas jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hanyalah ahlul hadits, yaitu orang-orang yang setia mengikuti jalan nubuwwah. Mereka berada di atas jalan yang terpuji. Mereka adalah orang-orang yang berjalan mengikuti atsar. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam hal berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah serta menggigit keduanya dengan gigi-gigi geraham, dan mendahulukan keduanya di atas semua ucapan dan petunjuk. Baik dalam masalah akidah maupun ibadah, muamalah maupun akhlak, politik maupun kemasyarakatan.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 388)

Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah berkata, “Dengan demikian, ilmu adalah apa yang diajarkan oleh para Sahabat -semoga Allah meridhai mereka- sedangkan para sahabat tidaklah membuat ajaran-ajaran baru (bid’ah). Karena sesungguhnya mereka itu semata-mata melakukan ittiba’/mengikuti tuntunan yang ada. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan ittiba’, yang jelas-jelas berseberangan dengan jalan orang-orang yang suka membuat bid’ah. Jalan yang mereka tempuh amat sangat terang dalam hal memerangi para penyeru kebid’ahan. Sebab mereka sendirilah yang menukilkan kepada kita dalil-dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk menjauhi ahlul bid’ah, memusuhi pemujanya, dan supaya berpegang teguh dengan Sunnah dan mencintai para pengikutnya.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 393)

Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Ternyata Ada 161 Penerima Pelimpahan Nomor Porsi Telah Berangkat Haji

Jakarta (PHU)—Salah satu perubahan regulasi pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2018 adalah pelimpahan nomor porsi jemaah wafat. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 174 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelimpahan Nomor Porsi Jemaah Haji yang Meninggal Dunia, jemaah yang meninggal dunia setelah diumumkan sebagai jemaah yang berhak melunasi BPIH tahun 2018 dapat melimpahkan nomor porsi untuk anggota keluarganya.

Menurut Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Muhajirin Yanis, regulasi ini sangat diapresiasi masyarakat.

“Pelimpahan nomor porsi ini mendapatkan sambutan positif dari masyarakat karena dianggap memenuhi rasa keadilan bagi jemaah yang sudah lama menunggu dan wafat saat menjelang keberangkatan ,” kata Muhajirin Yanis beberapa waktu lalu saat menjadi narasumber pada kegiatan Rapat Teknis Pendaftaran dan Pembatalan Haji Reguler di Bogor.

Sejak sebelum keberangkatan jemaah haji pada tahun ini sudah banyak jemaah yang mengurus pelimpahan nomor porsi di Kementerian Agama. Proses pelimpahan nomor porsi bagi jemaah haji wafat sampai dengan saat ini berjumlah 474 orang.

Proses tersebut masih akan terus bertambah seiring dengan pengajuan adanya jemaah yang wafat yang belum dilaporkan Kemenag. Hal itu seperti disampaikan oleh Kepala Sub Direktorat Pendaftaran dan Pembatalan Haji Reguler, Noer Alya Fitra.

“Dari 474 jemaah yang menerima pelimpahan nomor porsi, 161 orang diantaranya sudah berangkat haji tahun ini. Proses pelimpahan nomor porsi mengedepankan aspek kemudahan dalam pelayanan dan tidak dipungut biaya apapun,” ujar pria yang biasa disapa Nafit di ruang kerjanya, Jakarta, Senin (22/10/2018).

Proses pengajuan pelimpahan nomor porsi jemaah wafat, memang cukup mudah. Pihak keluarga hanya perlu melayangkan surat pengajuan secara tertulis kepada Kankemenag Kabupaten/Kota. Menurut Nafit, dasar pengajuannya dari daftar nama sudah diumumkan berhak berangkat tahun 2018, namun wafat antara tanggal 12 Maret sampai dengan 15 Agustus 2018.

“Penerima pelimpahan nomor porsi jemaah wafat dapat suami atau istri atau anak kandung atau menantu dari jemaah yang wafat. Sesuai hasil musyawarah yang dituangkan dalam berita acara pelimpahan,” imbuh Nafit.

Pihak keluarga mengirimkan surat permohonan dilampiri berkas-berkasi berupa berita acara pelimpahan nomor porsi, surat pernyataan tanggung jawab mutlak, bukti identitas yang relevan dengan jemaah wafat, surat rekomendasi dari Kankemenag Kabupaten/Kota dan Kanwil Kemenag Provinsi.

“Berkas tersebut akan diverifikasi oleh Kankemenag Kab/Kota, Kanwil, dan Direktorat Jenderal PHU. Proses pengambilan foto dan sidik jari di Direktorat Jenderal PHU,” kata Nafit menjelaskan.

Sedangkan keberangkatan jemaah yang menerima pelimpahan dapat pada tahun berjalan atau tahun berikutnya, bergantung pada ketercukupan waktu penyelesaian dokumen. Namun Nafit menandaskan bahwa pelimpahan nomor porsi hanya berlaku satu kali. (ab/ab).

Berhala Zaman Now

Di hadapan para sahabatnya yang mulia, Rasulullah SAW tercinta menuturkan dauh nubuwwat, sebuah sabda yang kontennya menjangkau peristiwa yang akan datang.

“Akan datang suatu zaman atas manusia, perut-perut mereka menjadi Tuhan-Tuhan mereka. Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka. Dinar-dinar (uang) mereka menjadi agama mereka. Dan kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka. ”

Para sahabat menyimak penuh khidmat. Lanjut Sang Nabi, “Waktu itu, tidak tersisa dari iman kecuali namanya saja. Tidak tersisa dari Islam kecuali ritual-ritualnya saja. Tidak tersisa Alquran kecuali sebatas kajiannya saja. Masjid-masjid mereka makmur, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk (hidayah- Nya). Ulama-ulama mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi.”

Tergurat dari wajah para sahabat, rasa sedih dan cemas.  Dipandanginya lekat-lekat wajah Rasul, disimaknya kalam-kalam bertutur manusia pilihan tersebut. Hingga sampailah Sang Murabby Agung itu menggambarkan keadaan apa yang akan terjadi nanti jika sudah sedemikian menyedihkan kondisi umatnya.

“Kalau sudah terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka empat perkara (azab). Pertama, kekejaman tak berperi dari para penguasa.  Kedua, kekeringan tak terhingga yang sangat lama. Ketiga, beraneka kezaliman para pejabat kepada rakyat jelata. Dan keempat, pisau hukum para hakim tumpul, sekarat, dan berkarat.”

Atas tuturan ini, para sahabat pun terheran-heran. Mereka bertanya, “Wahai Rasul Allah, apakah mereka ini para penyembah berhala?” “Ya! Bagi mereka, setiap dirham (uang) menjadi berhala (dipertuhankan/disembah),” pungkas Nabi SAW.

Hadis yang cukup panjang riwayat Bukhari Muslim yang muttafaq alaih ini pun akhirnya menjadi renungan kita semua. Berhala itu bukan lagi patung- patung atau arca. Berhala zaman now itu berupa uang.

Kini, kita lihat bagaimana keadaan kita. Hari-hari kita fokusnya selalu uang. Detik, menit, dan jam dihitungnya dengan standar uang. Berangkat pagi pulang malam, bahkan hingga tidak pulang, yang dicari dan dikejar adalah uang.

Pemimpin dan para pejabatnya berusaha mati- matian untuk mengekalkan zona nyamannya; ternyata pengorbitnya adalah uang. Para hakim kehilangan muruah agungnya.

Hukum dipermainkan atas kepentingan pemilik modal. Jika modal kuat, pisau hukum kelihatan tumpul. Sebaliknya terhadap pihak yang tidak ada modal pisau hukum sangat tajam. Ujung-ujungnya bisa ditebak semua karena uang.

Ikhwah fillah, mari sadarkan diri kita semua. Uang memang bisa membeli rumah, tapi tidak bisa membeli ketenangan. Uang bisa membeli dunia, tapi tidak akan pernah bisa membeli bahagia. Bahagia dan surga hanya bisa dibeli dengan ‘sekadar uang’ yang dikuasakan oleh ketaatan yang sempurna kepada Allah dan rasul-Nya.Wallahu a’lam.

OLEH: Muhammad Arifin Ilham

Kesalahan Memahami Makna Laa Ilaaha Ilallah

Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata, “Tidak ada kebaikan bagi seseorang, yang mana orang kafir jahiliyyah lebih berilmu daripada dirinya tentang makna Laa ilaaha illallah“ (Kasyfu Syubuhaaat). Sungguh kaum muslimin telah menghafal dan sering membaca kalimat Laa ilaaha illallah dengan lisan-lisan mereka. Namun demikian tidak sedikit yang belum mengetahui maknanya secara benar, padahal kaum musyrikin jahiliiyyah memahami makna kalimat ini.

Kalimat tauhid adalah kalimat yang sangat agung, kalimat yang juga membedakan antara muslim dan kafir. Seorang muslim harus memahami makna kalimat ini dengan benar. Kesalahan dalam memahami kalimat ini bisa menjadi pintu pembuka terjerumus ke dalam berbagai perbuatan syirik yang membatalkan tauhid. Semoga tulisan ringkas ini bisa memberikan pemahaman bagi kita tentang makna kalimat tauhid yang benar.

Makna Laa Ilaaha Illallah yang Benar

Makna Laa ilaaha illallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] yang benar adalah [ لآ معبود حق إِلاَّ اللهُ ] ) ( Laa ma’buuda bi haqqin illallah ), artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak untuk disembah kecuali hanya Allah saja. Semua sesembahan yang disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, matahari, bulan, bintang, kuburan, berhala, dan sesembahan lainnya dalah sesembahan yang batil, tidak bisa memberikan manfaat dan tidak pula bisa menolak bahaya.

Pada kalimat [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] terdapat empat kata yaitu:

  1. Kata Laa لآُ) berarti menafikan, yakni meniadakan semua jenis sesembahan.

  2. Kata ilaah ( إِلَهَ) berarti sesuatu yang disembah.

  3. Kata illa (إِلاَّ ) berarti pengecualian.

  4. Kata Allah (الله ) maksudnya bahwa Allah adalah ilaah/sesembahan yang benar.

Dengan demikian makna [لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] adalah menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah saja sebagai sesembahan yang benar.1

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Hajj: 62).

Allah juga berfirman :

وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ

Dan janganlah kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah. sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim“. (Yunus : 106)

Dalam kalimat syahadat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ terdapat dua rukun, yaitu nafi (peniadaan) dan itsbat(penetapan).

  1. Rukun pertama terdapat pada kalimat لآإِلَهَ. Maksudnya adalah membatalkan seluruh sesembahan selain Allah dalam segala jenisnya dan wajib kufur terhadapnya.

  2. Rukun kedua terdapat pada kalimat إِلاَّ اللهُ . Maksudnya menetapkan bahwa hanya Allah saja satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan.

Dalilnya adalah firman Allah:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ

Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.“ (Al Baqarah: 256)

Pada penggalan ayat (فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ) merupakan rukun yang pertama yaitu لآإِلَهَ , sedangkan pada kalimat (وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ) merupakan rukun yang kedua yaitu إِلاَّ اللهُ.

Allah Ta’ala juga berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

“ Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut ” (An Nahl : 36). 2

Kesalahan Memaknai Kalimat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ]

Masih banyak yang keliru dalam memahami makna kalimat tauhid. Terdapat beberapa makna yang batil dan tertolak dalam memaknai لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ , di antaranya adalah:

(1). Memaknai dengan لآمعبود إِلاَّ اللهُ (tidak ada sesembahan kecuali Allah).

Pemaknaan seperti ini salah, karena konsekuensi dari makna ini berarti setiap sesembahan baik yang disembah dengan cara yang benar maupun cara yang batil adalah Allah. Hal ini juga bertentangan dengan realita yang ada, karena dapat kita saksikan bahwa sesembahan selain Allah sangat banyak ragamnya. Ada manusia yang menyembah jin, malaikat, matahari, bintang, batu, berhala, pohon, dan lain sebagainya. Konsekuensi dari pemaknaan seperti ini berarti segala sesembahan yang ada tersebut adalah Allah?! Ini jelas suatu pemaknaan yang batil.

(2). Memaknai dengaلآخالق إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta selain Allah).

Pemaknaan seperti ini juga salah. Pemaknaan seperti ini hanya merupakan sebagian saja dari makna kalimat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُNamun bukan ini yang dimaksud, karena makna ini hanya menetapkan tauhid rububiyyah saja. Hanya sekedar pengakuan rububiyyah saja tidak cukup, bahkan ini juga merupakan keyakinan musyrikin jahiliyyah. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“ Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? “(Az Zukhruf : 87)

Keyakinan kaum musyrikin tentang rububiyyah Allah tidak memasukkan mereka sebagaimuslim dan tetap diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi sekadar memaknai rububiyyah Allah saja tidaklah cukup dan ini merupakan kesalahan.

(3). Memaknai dengan لآحاكميةَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada yang menetapkan hukum selain Allah).

Pemaknaan seperti ini juga salah, karena hanya merupakan sebagian saja dari makna لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُPengakuan seperti ini saja tidak cukup dan bukan ini maksud لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُSeandainya mengesakan Allah dalam hakimiyyah (penetapan hukum) namun masih menyembah selain Allah maka belum dikatakan bertauhid. 3

Dampak Kesalahan Memaknai لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Seseorang harus memahami makna kalimat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan benar. Kesalahan dalam memahami makna kalimat ini dapat mengantarkan seseorang terjerumus dalam beragam perbuatan syirik. Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah menjelaskan, “ Apa yang mereka katakan tentang makna kalimat Laa ilaaha ilallah dengan makna rububiyyah saja akan menyebabkan terbukanya pintu-pintu kesyirikan di tengah kaum muslimin. Kaum muslimin akan menyangka bahwa bahwa tauhid hanyalah sekadar mentauhidkan Allah dalam perkara rububiyyah saja. Jika seseorang sudah meyakini bahwa pengatur segala sesuatu adalah Allah saja maka sudah dianggap bertauhid. Demikian pula jika ada yang meyakini bahwa Zat yang tidak membutuhkan sesuatu dan segala sesutau membutuhkan kepad Zat tersebut adalah Allah, maka sudah dianggap bertauhid. Keyakinan seperti ini jelas merupakan kebatilan. Kalau hanya sekadar rububiyyah, kaum musyrikin dahulu juga memahami dan meyakini rububiyyah, sebagaimana Allah terangkan dalam Al Qur’an :

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“ Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar) ” (Al Ankabut : 61)

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui “. (Az Zukhruf : 9).

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” ( Yunus : 31).4

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa kaum musyrikin dahulu tidak mengingkari makna rububiyyah.

Kita bisa amati masih banyak praktek kesyirikan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin seperti berdoa, menyembelih, dan memberika sesaji kepada selain Allah. Mereka beranggapan sudah bertauhid kepada Allah dengan cukup meyakini rububiyyah Allah, meskipun mereka menujukan sebagian ibadah mereka kepada selain Allah. Ini terjadi karena mereka tidak memahami makna tauhid dengan benar.

Demikianlah penjelasan yang ringkas tentang makna لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang benar dan beberapa kesalahan dalam memaknainya. Semoga menambah ilmu dan iman kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

***

Penulis: dr. Adika Mianoki

Artikel Muslim.or.id

____

1 Lihat pembahasan selengkapnya dalam At-Tamhiid li Syarhi Kitabi At Tauhiid 72-78

2 Lihat At Tauhid Al Muyassar hal 14

3 Lihat At-Tauhid Al-Muyassar 13-15 dan Aqidatu At-Tauhid 39-42

4 Lihat At-Tamhiid li Syarhi Kitabi At Tauhiid 86-87

Doa Agar Terhindar dari Keburukan Kaya dan Miskin

Doa Agar Dijauhkan dari Neraka dan dari Keburukan Kaya dan Miskin

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
Allaahumma innii a’uudzu bika

مِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَعَذَابِ النَّار

dari fitnah neraka dan adzab neraka
min fitnatin naar wa ‘adzaabin naar

وَمِنْ شَرِّ الْغِنَى وَالْفَقْرِ

serta dari keburukan kekayaan dan kefakiran
wa min syarril ghinaa wal faqr

(HR. Abu Daud no. 1543. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Read more https://yufidia.com/doa-agar-terhindar-dari-keburukan-kaya-dan-miskin/

Bahagia dengan Qanaah

Qanaah atau puas diri dengan segala karunia Allah Taala merupakan kemuliaan di sisi-Nya. Menerima ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla dengan tulus, ridha dengan semua yang Dia tetapkan dan bersabar menghadapinya, serta mengharap pahala besar di sisi Allah Taala adalah wujud kecintaan seorang hamba. Kebahagiaan sejati tak sekadar diukur dengan kekuasaan rezeki. Oleh karena itu, seorang mukmin harus selalu yakin tanpa ragu bahwa rezekinya telah ditulis dan ditentukan oleh Allah Taala.

Orang yang qana’ah adalah hamba yang beruntung di dunia, lebih-lebih di akhirat. Tidak hasad dan tamak dengan nikmat Allah Taala yang diberikan kepada orang lain akan melahirkan perasaan syukur. Justru dengan qanaah, beban hatinya terasa ringan karena betapa banyak orang yang diuji dengan kelimpahan harta dan segala fasilitas hidup serba mewah, namun tak sedikit di antara mereka tergelincir menjadi orang yang rakus. Bukankah kekayaan atau kebahagiaan hati hanya akan dirasakan seorang mukmin yang merasa puas dan bersyukur dengan segala takdir-Nya, baik dalam keadaan suka maupun duka. Dan berlebih-lebihan dalam memburu dunia akan membuat hatinya gundah lantaran sering kali manusia gagal dalam menggapai fatamorgana. Dengan qanaah, niscaya manusia merasakan manisnya iman dan tak melalaikan akhirat, negeri sesungguhnya yang diimpikan orang-orang beriman.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

 

Barangsiapa yang merasa aman atas keluarganya, sehat badannya, ada sesuatu yang dimakan pada harinya maka seakan-akan dunia menjadi miliknya.” (HR. At Tirmidzi no. 2346)

Sungguh indah apa yang dikatakan oleh Abu Farras al-Hamdani: Kekayaan sejati adalah kekayaan akan diri sendiri. Meski kosong tanpa pangkat dan jabatan. Tiada sesuatu di atas kesederhanaan yang dianggap cukup. Namun, bila kamu berpuas diri, maka semuanya menjadi cukup. (Diwan Abi Farras, hlm. 223)

Ubay bin Kaab rahimahullah berkata, Barangsiapa yang tidak menanamkan perasaan mulia dengan kemuliaan Allah, maka jiwanya akan terputus. Barangsiapa pandangannya selalu mengawasi apa yang ada di tangan orang lain, maka selalu dirundung kesedihan. Barangsiapa menduga bahwa nikmat Allah itu hanya ada di makanan, minuman, dan pakaiannya, maka sangat sedikit ilmu pengetahuannya dan siksaan telah datang padanya. (Tafsir al-Baghawi, V : 303-304)

Demikianlah, betapa untuk meraih qanaah butuh perjuangan dan kesabaran. Kesadaran mendalam betapa lebih utamanya nikmat akhirat yang abadi dibandingkan dengan berbagai kesengsaraan jasad sehingga ia tetap memiliki sikap qanaah dan selalu berbaik sangka pada segala ketentuan Allah Taala.

Selayaknya kita meneladani kehidupan Rasul mulia yang selalu qanaah dan zuhud, meskipun dunia telah dibentangkan di hadapannya. Dengan qanaah yang dilandasi keimanan yang kuat insyaa Allah setiap insan akan merasa selalu bahagia dan terhindari sari sikap iri maupun dengki. Segala yang dianugerahkan Allah Taala adalah yang terbaik untuk hambanya, meskipun terkadang terlihat tidak baik untuk manusia. Allah Maha Adil dan sangat memahami hamba-Nya, memenuhi segala kebutuhannya, dan Maha Penyayang pada hamba-Nya yang bertakwa.

Semoga Allah pemilik Arsy yang agung memberi kita taufik dan petunjuk serta penjagaan dari keburukan jiwa. Semoga Allah Taala menanamkan dalam hati dan memperkokoh iman kita untuk selalu qanaah, ikhlas menjalaninya seraya hanya mengharap ridha-Nya. Aamiin.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

 

Referensi

  • 32 Dosa Suami, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Kiswah Media, Solo, 2011.
  • Senja Kala Bidadari, Zaenal Abidin bin Syamsudin dan Ummu Ahmad Rifqi, Penerbit Imam Bonjol, Jakarta, 2014.
  • Majalah Elfata, Edisi 10 volume 11, 2011.

Read more https://muslimah.or.id/10549-bahagia-dengan-qanaah.html

Dua Hafiz Cilik Indonesia Tampil di MTQ Moskow

Dua hafiz cilik Indonesia Muhammad Ghozali Akbar (10) dan Kamil Ramadhan (11) melantunkan ayat-ayat suci Alquran di puncak acara MTQ Internasional Moskow ke-19 (19th Moscow International Quran Reciting Competition). Sekretaris Pertama Fungsi Pensosbud KBRI Moskow, Enjay Diana mengatakan kehadiran kedua hafiz cilik Indonesia adalah sebagai tamu undangan khusus dari Dewan Mufti Rusia.

“Kami ingin memberikan cinta kasih kami dan lantunan ayat-ayat suci Alquran,” kata Ketua Yayasan Wakaf Pesantren Yatim Tahfidz Al-Qur’an de Muttaqin, Ike Muttaqin saat berada di atas panggung mendampingi Ahmad dan Kamil yang tampil untuk kategori hafiz (hafalan) di Moskow, Ahad (21/10).

Tercatat, lebih dari 6.000 orang hadir pada acara tersebut yang umumnya merupakan masyarakat muslim Rusia di Moskow dan sekitarnya yang memenuhi gedung Crocus City Hall. Hadir pula undangan dari berbagai kalangan, termasuk perwakilan diplomatik.

“Surat yang dibaca keduanya adalah Surat Ar-Rahman ayat 1-40,” kata Ike.

Disebutkan dia, banyak di antara yang hadir merasa terharu, bahkan menitikkan air mata saat mendengar lantunan kedua hafiz cilik ini, apalagi sebelumnya ditayangkan secara singkat latar belakang kehidupan mereka.

Ahmad adalah seorang anak yatim dan mulai belajar membaca Alquran sejak usia 8 tahun dan dalam waktu 8,5 bulan berhasil menghafal 30 juz Alquran. Sedangkan Kamil juga seorang anak yatim, bahkan sempat menjadi pengemis, yang mulai menghafal Alquran sejak usia 8 tahun dan berhasil hafal 30 juz dalam waktu 6,5 bulan.

Ahmad pernah menjadi juara pertama dan Kamil juara ketiga pada lomba Hafiz Indonesia tahun 2017. Pada lomba Hafiz Internasional 2018 di Jeddah, Ahmad memperoleh juara ketiga dan Kamil menempati posisi keenam.

Di akhir acara MTQ Internasional Moskow ke-19 ini, Ahmad dan Kamil mendapat banyak ucapan selamat dari para penonton yang menghampirinya untuk berfoto bersama. Bahkan beberapa orang memberikan sedekah kepada kedua hafiz cilik itu.

Ike berharap kiprah Ahmad dan Kamil dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada orang lain untuk lebih mencintai Al-Quran dengan banyak membaca, menghafal dan mengamalkannya.

MTQ Internasional Moskow ke-19 yang diselenggarakan Dewan Mufti Rusia berlangsung pada 18-21 Oktober dan diikuti 33 peserta dari 33 negara. Di antara negara-negera tersebut yakni, Rusia, Bosnia Herzegovina, Serbia, Turki, Mesir, Yordania, Irak, Iran, Qatar, Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab, Palestina, Suriah, Tunisia, Yaman, Tanzania, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia.

Babak kualifikasi dilangsungkan di Masjid Agung Moskow. Indonesia diwakili oleh Muhamad Adbul Faqih dari Jawa Tengah. Meskipun belum berhasil menjadi yang terbaik, kehadiran wakil Indonesia turut mempererat ukhuwah Islamiah.

Pada lomba kali ini, juara pertama diraih oleh Al-Awsagi Abdulhakim dari Yaman, peringkat kedua oleh Muhammad Abdulkadir dari Tunisia, dan posisi ketiga oleh Waleed Al Marzouqi dari Uni Emirat Arab. Salah satu dewan juri MTQ adalah Said Aqil Husin Al Munawar dari Indonesia yang pernah menjabat Menteri Agama tahun 2001-2004.

Duta Besar Republik Indonesia untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus, M. Wahid Supriyadi yang hadir pada acara puncak MTQ ini menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Tim Indonesia. Rusia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di Eropa, di mana jumlah muslim sekitar 25 juta orang atau 17 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Rusia. Islam merupakan agama yang berkembang dan saat ini terdapat lebih dari 7.000 masjid di Rusia.