Bolehkah Ejakulasi di Luar Rahim Agar tak Hamil?

DALAM literatur fiqh Islam, istilah Azl diartikan sebagai tindakan suami mencabut kemaluan dalam berhubungan ketika mendekati ejakulasi dan mengeluarkan sperma di luar rahim agar tidak terjadi pembuahan. Bagaimana hukumnya dalam Islam?

Secara hukum setidaknya ada empat pandangan berbeda menyikapi masalah Azl ini:

1. Boleh secara mutlak

Pendapat ini dilansir oleh kalangan Syafiiyyah dengan berdasarkan hadits Shahih yang diriwayatkan dari Jabir radhiallahu ‘anha:

“Kami melakukan Azl dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sementara Alquran turun, jika saja hal itu larangan niscaya Alquran akan melarang kami melakukannya,” (Mutafaq Alaih/Sunan Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620),

“Kami melakukan `azl pada masa Rasulullah. Kabar tersebut sampai kepada beliau, tetapi beliau tidak melarangnya,” (HR Muslim).

Akan tetapi menurut An-Nawawy (Ulama Syafiiyyah) dalam Syarh Muslim menegaskan apabila Azl dilakukan demi menghindari kehamilan hukumnya makruh secara mutlak baik ada kerelaan pihak istri atau tidak karena tindakan Azl dianggap memutus keturunan.

2. Makruh apabila ada hajat

Pernyataan ini dipegang oleh kalangan Hanabilah dengan dasar beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Umair dan Ibnu Umair yang membenci Azl karena dapat mengurangi jumlah keturunan yang dianjurkan syara Sabda Rasulullah “Menikahlah kalian dan memperbanyak keturunan”

3. Boleh apabila ada kerelaan Istri

Pendapat ini dari Imam Ahmad berdasarkan sebuah hadis dari Umair yang diriwayatkan Ibnu Majah:

Dari Umar ibn al-Khattab berkata: “Nabi melarang perbuatan `azl terhadap wanita merdeka kecuali seizinnya”. (HR Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620)

Perlunya kerelaan dari pihak istri ini dikarenakan istri memiliki Hak atas anak sehingga dengan tindakan Azl akan menghilangkan haknya namun apabila istri memberikan memberikan izin hukumnya tidak makruh.

4. Haram

Pendapat ini dilansir oleh kalangan Dhohiriyyah dengan tendensi hadits yang diriwayatkan dari Judzamah:

“Sesungguhnya para shahabat bertanya tentang Azl, Nabi menjawab hal itu adalah pembunuhan anak dengan samar” (HR. Muslim)

[Sumber: Nihaayah Almuhtaaj Vol 7 Hal 137, Almughny Ibnu Qudaamah Vol 5 Hal 41]

 

 

Ahlul Bait Rasulullah Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam, bag. 2

  1. Adab-Adab Terhadap Ahlul Bait

Dari keterangan pembahasan sebelumnya, tampaklah bahwa ahlul bait Rasulullaah Shallallaahu’alaihi wa Sallam memiliki keutamaan dan hak-hak yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Diantaranya adalah kita diperintahkan untuk memberikan hak mereka berupa fa’i (harta rampasan perang dari non muslim yang diperoleh tidak dengan jalan perang) dan al khumus (seperlima dari ghanimah), menghormati mereka, berwala’ terhadap mereka, bershalawat atas mereka, dan dilarang menyakiti mereka baik melalui ucapan maupun perbuatan, seperti mencela atau berbicara buruk tentang mereka, atau menyakiti mereka secara fisik.

 

Beberapa Sikap Terkait Ahlul Bait

Sebagaimana telah disebutkan di awal, bahwa mereka yang menisbatkan dirinya kepada Islam terbagi menjadi beberapa golongan dalam menyikapi ahlul bait Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.

 1. Syiah Rafidhah

Golongan pertama, Syiah Rafidhah, dan yang semisal mereka, meyakini bahwa ahlul bait Rasulullaah hanya terbatas pada ‘Ali, Faathimah, Hasan, Husain, dan 9 imam lainnya dari keturunan Husain radhiyallaahu’anhum (Ahlul Bait ‘Inda Syiahshiaweb.org). Dan merekalah yang disematkan kepadanya berbagai keyakinan bathil, seperti mengangkat mereka lebih tinggi dari tingkatan kenabian, bahkan menyifatkan mereka dengan sifat yang khusus bagi Allaah, seperti meyakini mereka mengetahui ilmu ghaib seperti berbagai hal yang telah dan akan terjadi hingga hari akhir, begitu pula meyakini wajibnya menaati mereka seperti menaati Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa Sallam, dan mengingkari mereka sebagaimana mengingkari Allah dan RasulNya. (Haqiiqatu Syiah wa Hal Yumkinu Taqaarubuhum ma’a Ahli Sunnah?, hal. 72-75).

Bersamaan dengan sikap ghuluw tersebut, mereka membenci, bahkan mengkafirkan sebagian besar sahabat, meski mereka masih termasuk Bani Hasyim, seperti Al Abbas paman Nabi dan Abdullaah bin ‘Abbas, radhiyallaahu ‘anhuma (Haqiiqatu Syiah wa Hal Yumkinu Taqaarubuhum ma’a Ahli Sunnah?, hal. 387-388), serta istri-istri Rasulullaah Shallallaahu’alaihi wa Sallam (Haqiiqatu Syiah wa Hal Yumkinu Taqaarubuhum ma’a Ahli Sunnah?, hal. 392-397).

2. Khawarij

Sedangkan golongan kedua, yakni mereka yang dikenal dengan nama Khawarij, bersikap sebaliknya, khususnya terhadap amiirul mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.

، نواصب: جمع ناصب، وهو من ناصب العداوة أهل البيت، وعلى رأسهم علي بن أبي طالب رضي الله عنه بعد رسول الله، فأفضل أهل البيت بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب، آذوهم بقول إما بسب، أو شتم، أو لعن، أو تكفير، أو تفسيق، أو بعمل، وذلك بأن يوصل إليهم الأذى الحسي، ومنه أذى قبورهم إن عرفت بأن يلقى عليها القاذورات أو تمتهن، فإن هذا من الإيذاء وإن كان لا يصل إليهم بذواتهم، لكن هو إيذاء معنوي نظير السب والشتم،

“Nawashib (Khawarij), jamak dari kata naashib, adalah golongan yang menampakkan permusuhan terhadap ahlul bait, utamanya terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, yang merupakan ahlul bait yang paling utama setelah Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam. Khawarij menyakiti beliau dengan ucapan, baik dengan mencela, mengutuk, melaknat, mengkafirkan, atau memfasikkan beliau. Atau dengan perbuatan, seperti menyakiti mereka secara fisik. Termasuk juga merusak kubur mereka, dengan menaruh kotoran atau semisalnya, yang meskipun tidak sampai secara dzatnya, namun merupakan gangguan maknawi yang menampakkan celaan dan kecaman” (Syarah Aqidah Al Waasithiyyah li Khalid Al Mushlih, islamweb.net )

3. Ahlussunnah wal Jama’ah

Adapun golongan ketiga, sekaligus golongan pertengahan dan terbaik dalam menyikapi ahlul bait adalah ahlus sunnah wal jamaah. Merekalah yang paling berilmu, lagi mengamalkan perintah Allaah dan RasulNya terhadap ahlul bait beliau dalam KitabNya dan sunnah yang shahih. Diantara keyakinan dan sikap ahlussunnah terhadap ahlul bait adalah:

  1. Ahlussunnah mengetahui kewajiban mereka terhadap hak hak ahlul bait, seperti khumus dan fa’i. Allaah Ta’ala juga memerintahkan untuk bershawalat atas mereka, mengikuti shalawat atas Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam.
  2. Ahlussunnah berlepas diri dari jalannya orang orang Khawarij yang keras terhadap ahlul bait, atau Rafidhah yang berlebihan dalam menyanjung mereka.
  3. Ahlussunnah mencintai istri-istri Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam dan ridha terhadap mereka. Mengetahui hak hak mereka. Dan beriman bahwa mereka adalah istri beliau di dunia dan akhirat.
  4. Ahlussunah tidak mengeluarkan sifat sifat ahlul bait dari batas-batas syariah. Mereka tidak berlebihan dalam menyifati mereka. Tidak meyakini sucinya mereka dari kesalahan, bahkan meyakini mereka adalah manusia biasa yang bisa terjatuh dalam kesalahan sebagaimana manusia lainnya.
  5. Ahlussunah meyakini ahlul bait tidak otomatis terampuni dosanya. Bahkan diantara mereka ada yang baik, ada yang jahat, ada yang shalih dan ada pula buruk amalnya.
  6. Ahlussunah meyakini bahwa pembahasan keutamaan ahlul bait tidak berarti mengutamakan mereka dalam segala hal, dan atas seluruh manusia. Bahkan terkadang ditemui pada selain mereka orang orang yang lebih utama dari mereka dari sisi lain. (Disadur dari Fadhlu Ahlil Bait wa ‘Uluwwu Makaanatihim ‘inda Ahlissunnati wal Jamaa’ati, Syaikh Abdil Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, dorar.net/aqadia/3926).

 

Semoga kita senantiasa termasuk ke dalam golongan yang terbaik dalam menjaga hak-hak ahlu bait Rasulullaah Shallallaahu’alaihi wa Sallam yang semestinya, sebagai bentuk pemuliaan dan kepatuhan kepada beliau.

 

Allaahumma Shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, wa shahbihi ajma’iin.

 

 

Penyusun: Ika Kartika

 

  • Ahlul Bait ‘inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Doktor ‘Umar bin Shaalih Al Qurmusy. Cetakan I/1434 H. Markaaz At Taashil Li Diraasati wal Buhuts, KSA
  • Ahlul Baiti ‘inda Syi’ah, shiaweb.org/shia/aqaed_sunnah_shia/pa32.html
  • Fadhlu Ahlil Bait wa ‘Uluwwu Makaanatihim ‘inda Ahlissunnati wal Jamaa’ati li Abdil Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr. dorar.net/aqadia/3926
  • Man Hum Aalul Baiti. Shaalih bin Ahmad Asy Syaami. http://www.alukah.net/spotlight/0/112703/#ixzz5K5brwWO6
  • Haqiiqatu Syiah wa Hal Yumkinu Taqaarubuhum ma’a Ahli Sunnah?. Muhammad Bayyummi. Cetakan I/1428 H. Daar Al Ghadd Al Jadiid, Mesir.
  • Syarah Al Aqidah Al Waasithiyyah. Khaalid bin ‘Abdillaah bin Muhammad Al-Mushlih. net

Syarah Riyaadush Shaalihiin. Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin. 1426 H. Daarul Wathon lin Nasyr, Riyadh, KSA

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10462-ahlul-bait-rasulullah-shallaallaahu-alaihi-wa-sallam-bag-2.html

Ahlul Bait Rasulullah Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam, bag. 1

Bismillaah. Walhamdulillaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa Rasulillaah.

Istilah ‘ahlul bait’ tentu tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Istilah ini telah banyak dikenal, dan digunakan dalam literatur Islam. Namun sayangnya, berbagai penyimpangan yang terjadi setelah wafatnya Rasulullaah Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan istilah ahlul bait ini mendapat tanggapan berbeda dari kelompok-kelompok Islam. Untuk itu, perlu kiranya kita mengetahui, siapa mereka, dan bagaimana seharusnya kita bermuamalah dengan para penyandang titel ahlul bait tersebut.

 

Siapakah Ahlul Bait?

Secara bahasa, kata Aalu dan ahlu memiliki beberapa makna, diantaranya maknanya adalah istri dan keluarga. Sedangkan bayt bermakna tempat tinggal atau tempat berlindung. Jika lafaz ahlul bait atau aalul bait disebutkan secara bersendirian, bermakna ahlul bait Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam. Ar-Raaghib berkata, “Ahlul bait dikenal sebagai Aali Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam,” (Ahlul Bait Inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 45-47).

 

Secara syar’i, terdapat beberapa pendapat mengenai siapa saja yang termasuk ahlul bait Rasulullaah yang dihimpun para ulama, berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.

 

Pertama, Istri-istri Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam.

Allah Ta’ala berfirman dalam kitabNya yang agung,

 

﴿ يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا * وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ﴾]

Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah sama dengan wanita-wanita lain, jika kalian bertaqwa.  Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang-orang yang memiliki penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan tetaplah dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya wanita jahiliyah awal, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah hanya menginginkan untuk menghilangkan kotoran dari kalian dan mensucikan kalian wahai ahlul bait sebersih-bersihnya” (QS. Al Ahzab: 32-33).

 

Syaikh Al-‘Utsamin rahimahullaahu menjelaskan,

 

وهذا نص صريح واضح جداً بأن زوجات الرسول صلى الله عليه وسلم من آل بيته، خلافاً للرافضة الذين قالوا: إن زوجات الرسول صلى الله عليه وسلم ليسوا من أهل بيته، فزوجاته من أهل بيته بلا شك. ولأهل بيت الرسول صلى الله عليه وسلم المؤمنين حقان: حق الإيمان، وحق القرابة من الرسول صلى الله عليه وسلم

 

“Ayat ini merupakan nash yang sangat jelas yang menerangkan bahwa istri-istri Rasulullaah Shallallaahu’alaihi wa Sallam termasuk ahlul bait beliau, berbeda dengan Rafidhah yang menyatakan, istri-istri Rasulullaah Shallallaahu’alaihi wa Sallam bukanlah ahlul bait beliau. Maka istri-istri beliau adalah ahlul baitnya, tanpa diragukan lagi. Ahlul bait Rasulullaah Shallallaahu’alaihi wa Sallam yang beriman memiliki hak persaudaraan atas iman, dan dan kekerabatan dari jalan Rasulullaah Shallallaahu’alaihi wa Sallam” (Syarah Riyaadush Shaalihiin, 3/223).

 

Kedua, Fathimah, ‘Ali, Hasan dan Husain.

Dari Sa’d bin Abi Waqqash, beliau berkata,

 

ولما نزلت هذه الآية: ﴿ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ ﴾ دعا رسول الله صلى اللهعليه وسلم عليًا وفاطمة وحسنًا وحسينًا فقال: “اللهم هؤلاء أهلي”

 

Ketika turun ayat ‘Katakanlah, ‘Marilah, kita panggil anak-anak kita dan anak-anak kalian,’ Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memanggil ‘Ali, Faathimah, Hasan, dan Husain, seraya berkata, “Ya Allaah, mereka ini adalah keluargaku” (HR Muslim no. 4420).

 

Ketiga, mereka yang diharamkan menerima/memakan shadaqah, yakni Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu ia berkata:

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِالتَّمْرِ عِنْدَ صِرَامِ النَّخْلِ فَيَجِيءُ هَذَا بِتَمْرِهِ وَهَذَا مِنْ تَمْرِهِ حَتَّى يَصِيرَ عِنْدَهُ كَوْمًا مِنْ تَمْرٍ فَجَعَلَ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَلْعَبَانِ بِذَلِكَ التَّمْرِ فَأَخَذَ أَحَدُهُمَا تَمْرَةً فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْرَجَهَا مِنْ فِيهِ فَقَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ آلَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَأْكُلُونَ الصَّدَقَةَ

Suatu hari Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam pernah diberikan (menerima) zakat kurma ketika masa panen yang ketika itu seseorang membawa zakat kurmanya dan yang lain juga membawa zakat kurmanya sehingga kurma-kurma itu menumpuk karena sangat banyaknya. Tumpukan itu menjadi tempat bermainnya Hasan dan Husain radhiyallaahu‘anhuma. Satu diantara kedua anak itu lantas mengambil sebutir kurma tersebut lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam melihatnya kemudian mengeluarkannya dari mulutnya seraya bersabda: Tidak tahukah kamu bahwa keluarga Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak boleh memakan shadaqah (zakat)?” (HR Bukhari no. 1390)

 

Dari Zaid bin Arqam radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata:

 

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ

 

Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan berpidato di suatu tempat air yang di sebut Khumm, yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan serta berkata; Ketahuilah hai saudara-saudara, bahwasanya aku adalah manusia biasa seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabbku,, malaikat pencabut nyawa, akan datang kepadaku dan aku pun siap menyambutnya. Sesungguhnya aku akan meninggalkan dua hal yang berat kepada kalian, yaitu: Pertama, Al Qur ‘an yang berisi petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu, laksanakanlah isi Al Qur’an dan peganglah. Sepertinya Rasulullah sangat mendorong dan menghimbau pengamalan Al Qur’an. Kedua, keluargaku. Aku ingatkan kepada kalian semua agar berpedoman kepada hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku. (Beliau ucapkan sebanyak tiga kali). Husain bertanya kepada Zaid bin Arqarn; Hai Zaid, sebenarnya siapakah ahlul bait (keluarga) Rasulullah itu? Bukankah istri-istri beliau itu adalah ahlul bait (keluarga) nya? Zaid bin Arqam berkata; Istri-istri beliau adalah ahlul baitnya. tapi ahlul bait beliau yang dimaksud adalah orang yang diharamkan untuk menerima zakat sepeninggalan beliau. Husain bertanya; Siapakah mereka itu? Zaid bin Arqam menjawab; Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil. keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas. Husain bertanya; Apakah mereka semua diharamkan untuk menerima zakat? Zaid bin Arqam menjawab. Ya” (HR Muslim no. 4425).

 

Dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu’anhu, ia berkata;

 

مَشَيْتُ أَنَا وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا :يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْطَيْتَ بَنِي الْمُطَّلِبِ وَتَرَكْتَنَا وَنَحْنُ وَهُمْ مِنْكَ بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ ؟! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّمَا بَنُو الْمُطَّلِبِ وَبَنُو هَاشِمٍ شَيْءٌ وَاحِدٌ ”  رواه البخاري برقم 2907

 

‘Aku dan ‘Utsman bin ‘Affan berjalan menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kami katakan; Wahai Rasulullah, engkau memberikan Bani Al Muthallib tapi kami tidak, padahal kami di hadapan engkau kedudukannya sama. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Bani Al Muthallib dan Banu Hasyim adalah satu (sama kedudukannya)” (HR. Bukhari no. 2907).

 

Syaikh Shaalih bin Ahmad Asy Syaami hafizhahullaahu menerangkan setelah membahas dalil-dalil mengenai siapa ahlul bait Rasulullaah Shallallaahu’alaihi wa Sallam,

 

نخلص من هذا إلى أن مصطلح (آل البيت) يدخل فيه أزواج النبي صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة وحسن وحسين رضي الله عنهم. وأن مصطلح (آل محمد) يدخل فيه من لا تحل لهم الصدقة وهم بنو هاشم وبنو المطلب وهم ذوو القربى الوارد ذكرهم في قوله تعالى: ﴿ وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى ﴾[9] قال ابن كثير في تفسيره: وقول جمهور العلماء: إنهم بنو هاشم وبنو المطلب. ومما هو معلوم أن الذين حرموا الصدقة عوضوا عنها الخمس، وهم بنو هاشم وبنو المطلب.

 

“Kesimpulannya, istilah aalul bait, tercakup di dalamnya istri-istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Ali, Faathimah, Hasan, dan Husain radhiyallahu’anhum. Dan istilah aalu Muhammad juga mencakup orang-orang yang diharamkan menerima zakat, dan mereka adalah Bani Hasyim, dan Bani Al Muthallib, merekalah yang memiliki kekerabatan yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala, “Ketahuilah, sesungguhnya ghanimah apa saja yang kamu peroleh, seperlimanya diperuntukkan bagi Rasul dan yang memiliki tali kekerabatan

 

Ibnu Katsir rahimahullaahu menafsirkannya, “Perkataan jumhur ulama, mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Al Muthallib. Dan telah dipahami bahwa orang yang diharamkan menerima zakat, digantikan (zakat tersebut) dengan al-khumus, dan mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Al Muthallib” (Disadur dari Alukah.net, http://www.alukah.net/spotlight/0/112703/ ).

 

 

Bersambung.. Insyaallaah..

 

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10460-ahlul-bait-rasulullah-shallaallaahu-alaihi-wa-sallam-bag-1.html

Menjadi Hamba Bersyukur Atas Nikmat yang Diperoleh

SUATU malam Aisyah r.a mendapati Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam shalat lail lama sekali sehingga kakinya bengkak. Melihat kenyataan ini Aisyah memberanikan diri menegur sang suami, “Ya Rasulullah, kenapa gerangan Anda melakukan shalat hingga kaki Anda bengkak-bengkak, bukankah Anda sudah dimaafkan?” Rasulullah hanya tersenyum, kemudian menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Rasulullah adalah sosok manusia yang ma’shum. Beliau terhindar dari melakukan dosa. Allah Subhanahu Wa Ta’alamemelihara dan menjaganya agar hamba-Nya yang telah menjadi pilihan-Nya tidak sampai melakukan kesalahan, apalagi dosa.

Memang pernah Rasulullah melakukan jenis kesalahan, seperti mengusir Ibnu Ummi Maktum, seorang gembel yang ikut nimbrung pembicaraan Nabi dengan pembesar-pembesar Quraisy. Beliau bermuka masam dan tidak melayani sebagaimana mestinya. Akan tetapi segera saja Allah menegurnya hingga kejadian itu segera terselesaikan. Kalau itu dianggap sebagai kesalahan, Rasulullah tidak bersengaja melakukannya, sebab menurut logika manusia normal perbuatan Nabi itu tidak salah.

Nabi juga pernah ditegur Allah gara-gara memberi janji kepada seorang kafir yang menanyakan sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Saat itu seakan-akan Nabi memastikan bahwa wahyu akan segera turun. Tapi Allah punya kehendak lain. Wahyu yang dinanti-nantikan itu tidak turun hingga Rasulullah sangat gundah. Saat itu Rasulullah mendapat teguran dari Allah, kenapa tidak memakai kata Insya Allah ketika berjanji kepada seseorang?

Masih ada beberapa lagi tindakan Rasulullah yang langsung mendapat teguran Allah. Bila hal itu dianggap sebagai kekhilafan, sungguh bukan merupakan kesengajaan. Lagi pula belum turun suatu petunjuk langsung dari Allah. Justru lewat kekhilafan Nabi itulah Allah menurunkan salah satu ajar-Nya. Kalau tindakan Nabi tersebut dianggap sebagai kesalahan, hal itu belum dikategorikan sebagai kesalahan atau dosa.

Kalau Nabi belum pernah melakukan dosa, sedangkan tiket surga sudah di tangan, kenapa mesti susah-susah beribadah hingga bengkak-bengkak kakinya?

Pertanyaan ini wajar dalam rumus otak manusia. Termasuk wajar bila hal itu ditanyakan oleh isteri beliau sendiri. Itulah sebabnya Rasulullah tersenyum mendengarnya. Jawaban yang disampaikan Nabi juga singkat, tapi menyejukkan hati. Sedikit tetapi mengandung falsafah sangat tinggi, sederhana, sarat arti. “Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Dalam kamus fikiran Nabi, tidak sedikit kenikmatan-kenikmatan yang diterimanya sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya. Tidak terlintas dalam benaknya bahwa kebaikan-kebaikan yang disandangkannya adalah hasil dari mujahadahnya. Semua itu hanya dari Allah semata. Tanpa kasih sayang-Nya apalah arti sebuah nama Muhammad.

Dipilihnya Muhammad sebagai Rasul bukan atas usulannya sendiri. Bahkan bayangan menjadi Rasul sebelumnya juga tidak terlintas. Semua itu semata-mata hanya karunia Allah. “Tidak pantaslah bila aku menjadi hamba yang bersyukur?” adalah pertanyaan yang pas disampaikan oleh Nabi.

Di antara berjuta-juta manusia, dialah yang terpilih menjadi Rasul. Di antara rasul-rasul Allah dialah yang diangkat sebagai penghulu dan pemimpinnya.

Dengan gelar Rasulullah yang disandangnya, Muhammad adalah sang juara. Gelar apalagi yang dapat menyaingi titel Nabi ini? Pangkat mana yang lebih tinggi? Adakah jawaban yang lebih mulia darinya? Tapi Muhammad bukanlah jenis manusia yang mudah lupa diri, takabur, dan membangga-banggakan diri. Justru kebalikannya Muhammad adalah manusia yang tahu diri, tawadhu’,dan rendah hati. Beliau sangat mengerti bagaimana berterima kasih.

Itulah sebabnya Muhammad tetap dan selalu prima. Beliau selalu berlatih guna meningkatkan kualitas pribadinya. Gelar juara yang disandangnya bukan sesuatu yang jadi. Juara adalah suatu tahapan atau satu titik dari proses yang panjang. Beliau adalah makhluk menjadi.

Bandingkan dengan sang juara masa kini. Mereka datang, berjaya, kemudian segera menghilang. Juara bagi mereka adalah puncak segala yang dicita. Juara adalah ketinggian yang paling tinggi. Apalagi setelah itu kalau bukan penurunan?

Juara adalah klimaks, maka setelah itu adalah antiklimas. Tambah hari kian rendah saja grafiknya. Malah tidak jarang yang langsung anjlok, bak penerjun bebas.
Beda dengan Muhammad. Ia mensyukuri karunia Allah berupa terpilihnya ia menjadi Rasul-Nya. Akan tetapi lebih bersyukur lagi, ternyata ia juga bisa bersyukur. Mensyukuri karunia Allah juga mensyukuri bahwa dirinya juga bisa bersyukur. Luar biasa.

Semakin besar nikmat yang telah diberikan-Nya, tambah besar pula syukurnya. Semakin besar syukurnya, semakin tinggi voltase ibadahnya. Begitu seterusnya, sehingga beliau menjadi ‘abdan syakuura’.*/Sudirman STAIL (dari buku Cara Baru Memandang Dunia, penulis Hamim Thohari)

HIDAYATULAH

Manipulasi Label Halal, LPPOM MUI: Ini Mengkhawatirkan

Wakil Direktur Lembaga Pengawas Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Osmena Gunawan menyebut kasus pedagang yang menambahkan logo halal sendiri pada produknya adalah tindakan yang mengkhawatirkan.

“Yang seperti ini dikhawatirkan  MUI, ketika pedagang memasang sendiri logo halal itu. Takutnya mereka antara paham atau tidak dengan konsep halal ini,” ujar Osmena kepada Republika, Ahad (4/11).

Ia menjelaskan halal dalam suatu produk utamanya makanan atau minuman tidak sekedar terbebas dari bahan babi atau alkohol. Proses sejak awal bahan itu didapat kemudian diolah dan menjadi produk untuk dipasarkan juga harus diperhatikan kehalalannya.

Contohnya untuk produk makanan yang menggunakan bahan daging sapi atau ayam, perlu dilihat bagaimana proses penyembelihannya. Apakah sudah benar dan sesuai dengan syariat yang diwajibkan oleh agama.

Sementara di Indonesia, minim sekali tempat penyembelihan hewan atau RPH yang memiliki sertifikat halal. Ini karena tidak terpantau dan terkadang pedagang menyembelih sendiri hewan yang akan dimasak.

“Pedagang ini karena mereka sudah terbiasa dan menjadi kebiasaan, mereka jadi tidak terlalu peduli. Bahkan tidak lagi diperhatikan atau dipentingkan,” ujarnya.

Upaya pemasangan sendiri logo halal pada produk yang dijual pedagang kecil disebut Osmena sebagai tindakan penipuan.

Apalagi jika memasang logo halal milik LPPOM MUI sementara produk tersebut belum tersertifikasi, maka hal ini termasuk tindakan pemalsuan.

Menurut Osmena, pengusaha yang melakukan hal tersebut biasanya pedagang kecil. Ia belum melihat ada perusahaan besar yang melakukan pemalsuan tersebut.

Menurutnya, ini karena sanksi yang didapat jika ketahuan bukan hanya dari sisi pidana tapi juga akan tidak dianggap oleh konsumen yang selama ini menggunakan produknya.

Kepada masyarakat, diharapkan lebih berhati-hati lagi dalam mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan oleh pengusaha. LPPOM ke depan akan menyertakan QR Code disamping logo halal.

Ini agar masyarakat bisa mengetahui mana yang asli dan palsu juga mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang sertifikat yang dimiliki sebuah produk seperti tanggal terbit dan masa berlaku sertifikat tersebut.

Pada sabtu (3/11), MUI Singkawang, Kalimantan Barat, mempertanyakan soal label halal yang tercantum di berbagai tempat usaha di kota tersebut. Ketua MUI Singkawang Muchlis mengatakan, banyak pelaku usaha di Kota Singkawang yang memasang sendiri label halal baik dengan tulisan latin maupun tulisan arab di tempat usahanya.

“Padahal mereka tidak pernah mengurus sertifikasi halal. Hal tersebut, tidak diperbolehkan apalagi ada yang menulis 100 persen halal,” katanya saat sosialiasi produk halal di Singkawang.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Berkorban Harta Untuk Menuntut Ilmu

Sebagian dari penuntut ilmu agama di zaman ini mungkin ada yang mengeluh karena biaya menuntut ilmu yang mahal. Misalnya ketika ada kursus bahasa Arab, sebagian peserta mengeluh biaya daftarnya yang mahal (padahal sebenarnya murah, hanya saja mereka membandingkan dengan beberapa kursus yang gratis atau hanya bayar sukarela saja). Kita perlu menghilangkan “mindset” bahwa belajar ilmu agama itu pasti gratis terus dan tidak memerlukan harta. Ketahuilah bahwa yang namanya ilmu itu perlu juga pengorbanan harta baik banyak maupun sedikit.

Sebagaimana perkataan Imam Syafi’i bahwa menuntut ilmu itu perlu bekal berupa harta:

أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ

ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌوَبُلْغَةٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانِ

Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara

Akan aku kabarkan padamu perinciannya degan jelas

Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup (harta)

Bimbingan ustadz dan waktu yang lama [Diwan Syafi’i]

Agar bisa memotivasi kita supaya “tidak terlalu pelit” mengeluarkan harta untuk belajar agama, mari kita lihat bagaimana semangat para ulama dahulu. Mereka rela mengorbankan harta yang banyak bahkan ada yang sampai tidak punya harta sama sekali karena untuk menuntut ilmu agama alias bangkrut.

Syu’bah, beliau berkata,

مَنْ طَلَبَ الْحَدِيثَ أَفْلَسَ

“Barangsiapa yang menuntut ilmu hadist/belajar agama maka akan bangkrut” [Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi I/410 no.597]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

لَا يَصْلُحُ طَلَبُ الْعِلْمِ إِلَا لِمُفْلِس

“Tidak layak bagi orang yang menuntut ilmu kecuali orang yang siap miskin/bangkrut” [Al-Jami’ liakhlaqir rawi, 1/104 no.71]

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,

لا يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضربه الفقر ويؤثره على كل شئ

“Seseorang tidak akan mencapai ilmu ini sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga ia menjadi fakir dan berpengaruh kepada semuanya.” [Al-Majmu’ 1/35]

Yang cukup terkenal adalah kisah ulama menuntut ilmu sampai-sampai harus menjual atap rumah mereka.

Ibnu Al-Qasim berkata,

قال ابن القاسم: أفضى بمالك طلب العلم إلى أن نقض سقف بيته فباع خشبه، ثم مالت عليه الدنيا

“Mencari ilmu juga menyebabkan Imam Malik membongkar atap rumahnya dan menjual kayunya. Kemudian setelah itu dunia berdatangan kepadanya.” [Tartibul Madarik 1/31]

Al-Khatib al-Baghdadi membawakan riwayat,

أنفق ابن عائشة على إخوانه أربع مائة ألف دينار في الله، حتى التجأ إلى أن باع سقف بيته

“Ibnu Aisyah membelanjakan harta untuk saudara-saudaranya sebanyak empat ratus dinar, hingga ia menjual atap rumahnya.” [Tarikh Baghdadi 12/17]

Muhammad bin Salam berkata,

أنفقت في طلب العلم أربعين ألفا، وأنفقت في نشره أربعين ألفا، وليت ما أنفقت في طلبه كان في نشره

“Aku ketika menuntut ilmu menghabiskan 40.000 dan untuk menyebarkannya 40.000, sekiranya kuhabiskan ketika mencarinya, kuhabiskan ketika menyebarkannya.” [Tarikh Baghdadi 12/17]

Dan sebuah kisah nyata terkenal di mana Ibu dari Rabi’ah Ar-ra’yi guru Imam Malik menghabiskan 30.000 dinar untuk pendidikan anaknya, tatkala suaminya pulang dan menagih harta yang di titip terjadi perbincangan,

فقالت أمه: أيما أحب إليك ثلاثون ألف دينار، أَوْ هذا الَّذِي هو فيه من الجاه، قَالَ: لا وَالله إِلا هذا، قالت: فإني قد أنفقت المال كله عَلَيْهِ، قَالَ: فوالله ما ضيعته

“Ibu Rabi’ah berkata kepada suaminya, ‘Mana yang engkau sukai antara 30.000 dinar atau kedudukan yang dia (anakmu) peroleh?’ Suaminya berkata, ‘Demi Allah aku lebih suka yang ini (kedudukan ilmu anaknya)’, Ibu Rabi’ah berkata, ‘Saya telah menghabiskan seluruh harta tersebut untuk mendapatkan seperti sekarang ini’ Suaminya berkata, ‘Demi Allah, engkau tidak menyia-nyiakannya.’ [Tarikh Baghdad 9/414]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43401-berkorban-harta-untuk-menuntut-ilmu.html

Bersedekah tak Mengurangi Harta

PERNAH dikisahkan bahwa ada seorang yang kaya raya dan juga dermawan tinggal di kota Baghdad bernama Ayub. Karena sifatnya yang senang memberi, banyak pengemis mendatangi rumahnya setiap hari untuk meminta sedekah. Namun, suatu hari istrinya, Zainab, berpikir bahwa apa yang telah dilakukan suaminya telah memanjakan para pengemis tersebut.

“Zainab istriku, bersedekah tidak akan mengurangi harta kita.”

“Namun jika sedekah membuat mereka malas dan keenakan, bukankah tidak ada manfaatnya?”

Ayub pun memikirkan ucapan istrinya. Namun, ia masih memberikan sedekah kepada pengemis yang datang ke rumahnya. “Belilah makanan. Semoga perutmu kenyang.”

“Terima kasih, tuan. Semoga Allah membalas kebaikanmu,” ucap salah seorang pengemis.

Ayub masih melakukan sedekah di hari-hari berikutnya. Sampai kemudian ia pulang dari pasar dengan membawa begitu banyak barang dagangan. Saat matahari mulai bergerak kearah barat, para pengemis mulai berdatangan ke rumahnya. Kali ini, bukan sedekah seperti biasa yang ia berikan, melainkan sekotak barang dagangan.

“Kau bisa menjual barang dagangan ini, sehingga kau tidak lagi terus mengemis. Belajarlah berdagang dan tidak menggantungkan hidupmu dan keluargamu dari sedekah.” Ayub menjelaskan ketika seorang pengemis terheran dengan pemberian Ayub.

Pengemis itu pun terharu dan bersyukur. Sejak itu mereka berhenti mendatangi rumah Ayub, karena mereka telah memiliki sumber rezeki yang jauh lebih baik.

Fenomena pengemis yang suka meminta-minta masih dapat dengan mudah kita jumpai. Sesungguhnya kisah ini mengingatkan kita bahwa memberi sedekah berupa uang ibarat memberikan ikan kepada seseorang yang dapat membuatnya malas. Alih-alih membuat mereka tidak berusaha, berikan saja kail yang bisa membantu mereka mau berusaha untuk memperoleh sumber rezeki dengan jalan yang lebih mulia. [An Nisaa Gettar]

 

 

Tak Usahlah Gelisah Karena Seseorang

ADA orang yang terus gelisah karena ditinggal pergi oleh seseorang dengan tingkat kegelisahan yang menjadikan hidup seakan hanya berwarna kelabu. Mungkin saja seseorang itu adalah teman akrab, kekasih, mitra kerja ataupun ‘orang penting’ yang sebelumnya mengakrabinya. Bagaimanakah menyikapi kegelisahan ini? Haruskah terus dipikirkan dengan nuansa kesedihan?

Ada orang yang juga terus gelisah karena hubungannya dengan orang lain tidaklah bersambung dengan baik. Bisa jadi juga orang lain itu adalah tetangga, teman, mitra, ‘orang penting’ yang diharapkan pertolongannya ataupun orang yang dicinta. Lalu, bagaimanakah menyikapi kegelisahan semacam ini? Perlukah terus gelisah?

Ada untaian kalimat yang menarik untuk direnungkan: “Siapa yang ingin keluar dari kehidupanmu, dia melihat jalan keluar walau dari lubang pintu. Dan siapa yang ingin masuk dalam kehidupanmu, dari tembok dinding pun dia membuat jalan masuk.”

“Tak usah beratkan hati dengan orang yang ingin keluar dan pergi jauh darimu. Biarkan dia bebas, cukup curahkan perhatian kepada mereka yang lebih berhak mendapatkan perhatian. Tak usah pula sedihkan hati karena belum bisa dekat dan masuk ke hati seseorang, barangkali Allah akan kirimkan orang lain yang lebih pantas menerima perhatianmu.” Demikian penjelasan guru alif-alifan di surau kuno yang hampir roboh itu.

Teman sang guru ikut berkomentar: “Jangan pusingkan hatimu dengan orang yang tak menginginkanmu. Orang yang mengharapkanmu akan mencarimu dan mendapatkanmu walau dalam keramaian. Sementara orang yang tak menginginkanmu tak akan mencari dan melihatmu walau dirimu di hadapannya.”

Seorang santri senior ikut berkomentar: “Guru, berarti kita harus membuka pintu kehidupan kita lebar-lebar. Persilahkan yang mau masuk dan persilahkan yang mau keluar. Tak usah tergantung pada yang sudah ada di dalam dan tak usah pusing dengan yang mau dan telah keluar.” Saya, sebagai santri unior ikut bicara: “Bukalah pintu hati seperlunya, jangan biarkan semua jenis manusia masuk. Saat ada yang keluar, tak usahlah terlalu gelisah, jalani dan tontonlah jalan takdir”. [*]

INILAH MOZAIK

 

 

Masih Adakah Pria Setampan Nabi Yusuf?

“Aku hanya mau menikah dengan lelaki setampan Nabi Yusuf.”

FULANAH adalah seorang perempuan Arab dengan paras cantik. Ia begitu terkenal, sehingga banyak pemuda yang kemudian ingin melamarnya. Namun ia tak kunjung memutuskan siapa lelaki yang akan menjadi pasangannya, karena baginya tidak ada seorang pun yang pantas untuknya.

Perempuan yang semakin bangga dengan kecantikannya itu akhirnya memutuskan untuk mencari lelaki setampan Nabi Yusuf. Ia pun berjalan menyusuri sudut kota yang ramai, hingga bertemu dengan seorang wanita tua.

“Nenek, apakah engkau bisa membantuku mencarikan seorang suami? Namn ia harus lelaki setampan Nabi Yusuf,” ujarnya kepada sang wanita tua.

“Wahai Fulanah, apakah kau sudah pernah melihat sendiri ketampanan Nabi Yusuf?”

Fulanah menggeleng.

“Lalu bagaimana kau akan menemukannya?”

Perempuan cantik itu terdiam sambil keduanya terus menyusuri jalanan kota. Ia pun kembali bertanya, “Menurut Nenek, apakah di sini ada lelaki setampan Nabi Yusuf?”

“Pertanyaanmu sungguh aneh,” jawab Nenek. “Aku tidak tahu. Aku baru pernah melewati daerah ini. Tapi menurutku, semua lelaki yang kulihat tadi tampan-tampan. Lagipula kau kan belum pernah melihat ketampanan Nabi Yusuf.”

Fulanah kembali terdiam. Mereka masih meneruskan perjalanan, hingga melewati sekumpulan pemuda yang tengah berburu. Gadis itu mendekat dan berbisik, “Nenek, adakah salah satu dari mereka yang setampan Nabi Yusuf?”

“Sungguh sulit memahamimu. Bukankah semua lelaki tersebut tampan? Lihatlah, mereka semua menyukaimu. Cepatlah pilih satu dan menikahlah.”

Lagi-lagi Fulanah terdiam. Bersama sang nenek tua ia kembali meneruskan perjalanan. Kemudian sampailah mereka di sebuah padang yang luas dan gersang. Ujarnya, “Nenek, aku tak akan bisa menemukan lelaki setampan Nabi Yusuf di sini.”

Sang wanita tua menoleh dan menatap Fulanah. “Jikapun ada, lelaki itu tak akan melihatmu. Lihatlah.” Ia mengeluarkan sebuah cermin. “Parasmu tak lagi cantik. Kau sudah menua.”

Fulanah tidak menyadari dirinya sudah setua itu. Ternyata perjalanan bersama sang nenek tua telah melewati puluhan tahun yang telah menelan kecantikannya. Siapa sangka bahwa sang nenek tua adalah sesosok malaikat yang hendak menyadarkan sang perempuan cantik. [An Nisaa Gettar]

 

 

Lembah-Lembah yang Disinggahi Rasul

Salah satu fenomena alam adalah terbentuknya lembah. Lembah merupakan wilayah yang dipenuhi oleh pegunungan atau perbukitan dengan luas ribuan kilometer persegi. Di Madinah, sebagai pusat perabadan Islam pada masa awal, tercatat sejumlah lembah yang pernah menorehkan sejarah.

Lembah-lembah tersebut pernah disinggahi oleh Rasulullah SAW, baik untuk shalat atau menghilangkan lelah. Lembah itu dilengkapi dengan sumber mata air yang menghijaukan kawasan sekelilingnya. Berikut ini di antara lembah-lembah yang pernah disinggahi oleh Rasulullah SAW selama berada di Madinah:

Aqiq

Lembah yang terletak di sisi barat Kota Madinah ini merupakan satu yang paling terkenal. Dalam riwayat Bukhari, Rasulullah pernah melakukan shalat di sana ketika waktu malam tiba.

Peninggalan sejarah membuktikan, lembah ini pernah dijadikan sebagai pusat peradaban dua dinasti Islam, yakni Abbasiyah dan Ummayah. Sejumlah khalifah mendirikan istana dan puing-puingnya masih bisa ditemukan hingga sekarang. Kawasan ini juga terkenal subur.

Buthhan

Lembah yang bermula dari timur Quba menelusuri perkampungan Madinah dekat Mushalla hingga di barat Gunung Sala’ dekat Masjid al-Fath dan bersimpangan dengan Lembah Aqiq ini, merupakan lembah yang utama di Madinah.

Bahkan, merujuk riwayat Aisyah, lembah ini istimewa seolah berada di atas sungai-sungai surga. Riwayat Bukhari menyebutkan, Rasul pernah berwudhu di Buthhan dan melaksanakan shalat Ashar ketika Perang Khandaq. Lembah ini juga menduduki peran penting sepanjang sejarah peradaban pra-Islam

Qanat

Lembah yang juga dinamakan Syandha ini terletak di Timur Laut Madinah. Qanat pernah menjadi lokasi persiapan tentara Rasul sebelum berperang di Uhud. Hamzah bin Abd al-Muthalib, paman Rasul, dimakamkan di sini.

Banyak bendungan dibangun di atas lembah ini, bentuk bangunannya merujuk pada masa Bani Utsman. Banjir bandang pernah terjadi di lembah ini beberapa kali, yaitu pada 690 H dan 734 H.