Kaya Harus Bersyukur, Miskin Bersabarlah

KEUTAMAAN orang kaya yang bersyukur, yaitu seseorang yang membelanjakan sesuatu yang lebih dari kebutuhannya dalam kebaikan. Adapun orang fakir yang bersabar adalah orang yang tidak mengeluhkan kefakirannya.

Sebagian besar ulama menyatakan bahwa orang kaya yang bersyukur lebih utama dari orang fakir yang bersabar, itulah pendapat yang dipilih oleh Al-‘Asqalaniy dan As-Suyuthi. Para ahli tasawuf berpendapat bahwa sesungguhnya orang fakir yang bersabar adalah lebih utama.

Perbedaan pendapat tentang keutamaan orang kaya yang bersyukur atas orang fakir yang bersabar adalah, bagi orang yang selalu memperbaiki keadaannya dengan kekayaan maupun kefakiran.

Yaitu, jika ia dalam keadaan kaya maka ia menunaikan seluruh tugas orang yang kaya, dengan membelanjakan harta, berbuat kebaikan, menyantuni, menunaikan hak harta, serta bersyukur kepada Allah Yang Maharaja dan Maha Pembalas.

Dan ketika dalam keadaan fakir maka ia menunaikan seluruh tugas orang fakir, seperti rida, sabar dan qana’ah.

Adapun seseorang yang baik keadaannya ketika kaya saja, yaitu menunaikan hak Allah Ta’ala dalam keadaan kaya dan tidak menunaikan hak-Nya dalam keadaan fakir maka kaya adalah lebih utama baginya menurut kesepakatan ulama.

Dan orang yang baik keadaannya ketika fakir saja, yaitu menunaikan hak Allah Ta’ala dalam keadaan fakir dan tidak menunaikan hak-Nya dalam keadaan kaya maka fakir adalah lebih utama baginya secara sepakat.

INILAH MOZAIK

Keluhan Berujung Marah

Cerita ini didapat dari sebuah tulisan yang tersebar viral. Cerita tentang indahnya menerima ketetapan Allah atau qana’ah. Cerita tentang bagaimana menyadarkan orang-orang yang kita cintai atas pemberian Allah SWT.

Alkisah seorang suami pulang ke rumah dengan membawa pesanan mangga yang diminta sang istri. Saat dikupas dan disantap, ternyata buah mangga tersebut super asam. Sejurus kemudian sang istri pun marah-marah.

Si suami menanggapi dengan tenang amarah sang istri. Setelah selesai didengarkan ‘bisikan setan’ ini, beliau bertanya dengan halus, “Wahai istriku yang salehah, kepada siapakah engkau sebenarnya marah? Kepada pedagang buahnya kah? Ataukah kepada pembelinya yaitu suamimu yang telah berikhtiar dengan cinta membawakan mangga pesananmu? Atau kepada petani yang menanamnya? Ataukah kepada Yang Menciptakan buah mangga itu?”

Sang istri pun terdiam. Sebuah pertanyaan yang tidak disadari langsung mengelus batin kesadarannya.

Sembari tersenyum, si suami melanjutkan nasihat hikmahnya.”Seorang pedagang buah yang baik tidak mungkin menjual buah kecuali yang terbaik. Seorang pembeli pun pasti membeli inginnya sesuatu yang terbaik pula! Begitu pula seorang petani, tentu saja ia akan merawat tanamannya agar bisa menghasilkan tanaman yang terbaik! Bukankah begitu, istriku?”

“Maka,” lanjut si suami, “sasaran kemarahanmu kini tinggal satu, tidak lain hanya kepada yang Menciptakan mangga itu! Siapa?” Allah Jalla Jalaaluh!!!”

Pertanyaan si suami ini sekaligus mengakhiri drama melankolis sang istri yang kemudian diliputi sesal dan meminta maaf.

Cerita ini mengajarkan satu hal bahwa setiap keluhan yang berujung marah sejatinya sama saja kita tidak ridha atas ketetapan Allah. Bukankah setiap peristiwa sudah menjadi ketetapan-Nya?

Karena itu, mari belajar ridha dan ikhlas dengan semua ketetapan Allah.Sungguh kekayaan sebenarnya dan kepuasan hidup itu ketika kita memiliki sifat ridha dan ikhlas dengan apa pun kejadian dan peristiwa-Nya.

Ibnu Batthol mengingatkan bahwa ada kekayaan yang tersembunyi dan ia adalah intan berlian bagi kehidupan kita, yaitu qana’ah; ridha dengan ketetapan Allah Ta’ala dan berserah diri pada keputusan-Nya. Wallahu A’lam.

OLEH USTAZ MUHAMMAD ARIFIN ILHAM

KHAZANAH REPUBLIKA

Tak Usah Risau, Islam Terjaga dengan Baik

YA, jangan merisaukan Agama Islam, bagaimanapun usaha kaum kafirin, kaum munafikin, dan siapapun yang mengikuti jejak mereka untuk menjatuhkan dan menghinakan Islam.

Sungguh Islam takkan terpengaruh, Islam akan tetap terjaga dengan baik, karena Allah telah menjamin untuk menjaganya. Allah telah berfirman (yang artinya): “Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Alquran), dan Kami pula yang benar-benar akan menjaganya”. (QS. Al-Hijr: 9).

Sebagaimana Allah menjaga kemurnian Alquran, Allah juga akan menjaga kemurnian Islam, karena kandungan Alquran, tidak lain adalah Islam yang murni. Kita lihat hari-hari ini, seringkali sosok yang ditokohkan merendahkan sebagian syariat Islam, seperti: jenggot, cadar, celana di atas mata kaki, Alquran disebut kitab paling porno, teknologi zaman ini disebut lebih hebat dari mukjizat nabi, haji sebaiknya dihentikan karena pemborosan, dan statement-statement lainnya.

Tentu kita sebagai muslim geram dengan itu semua, tapi tenanglah, sejukkan hati anda, dan yakinlah bahwa usaha mereka akan sia-sia, mereka semua akan hilang sebagaimana para pendahulunya, dan Islam akan tetap tegak berdiri di muka bumi ini.

Allah telah berfirman (yang artinya): “Mereka ingin memadamkan ‘cahaya Allah’ dengan mulut mereka, namun Allah menolak kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang orang kafir membencinya”. (QS. Attaubah: 32).

Yang dimaksud “cahaya Allah” dalam ayat ini adalah petunjuk dan agama hak yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam (Tafsir Ibnu Katsir: 4/136).

Lihatlah bagaimana agungnya agama ini, agama yang dijamin Allah akan selalu hidup sempurna di muka bumi, sehingga tidak perlu kita mengkhawatirkannya lagi.

Justru yang perlu kita takutkan adalah diri kita, sudahkah kita menerapkan agama ini dalam hidup kita? sudahkah kita peduli dengan agama kita? Sungguh Islam tidak akan rugi tanpa kita, namun kita akan rugi total tanpa Islam.

Justru mereka yang berusaha merendahkan Islam itulah yang harusnya waspada, karena tindakan mereka itu hanya merugikan dan membinasakan diri mereka sendiri, Allah taala berfirman (yang artinya): “Maka harusnya orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul itu takut akan tertimpa bencana atau terkena adzab yang pedih”. (QS. Annur: 63).

Terakhir, yang harus digaris bawahi di sini, bahwa ketika kita tidak merisaukan Islam, bukan berarti kita tidak membela dan memperjuangkan Islam. Namun, harusnya kita tetap berusaha mendakwahkan Islam, karena Allah telah memerintahkan kita untuk terus berdakwah memperjuangkan Islam.

Sepantasnya kita berusaha menjadikan diri sebagai pejuang Islam, karena kalau bukan kita, pasti Allah memilih orang lain untuk mengisinya. Dan ingatlah bahwa semakin kita berjuang untuk Islam, maka semakin banyak kemuliaan yang kita dapatkan darinya, wallohu alam. [Ustaz Musyaffa Ad Darini Lc., MA/muslimorid]

INILAH MOZAIK

Jadi Muslim yang Baik Itu Praktik Bukan Teori

BANYAK orang berpikir bahwa, menjadi muslim yang baik itu adalah apabila dia bisa menjelaskan teori tentang Islam. Menjadi muslim yang paling nyunah berarti adalah orang yang paling baik dalam menjelaskan, apa itu sunah.

Menjadi muslim yang paling tauhid adalah orang yang paling baik menjelaskan tentang apa itu akidah. Bukan, ternyata bukan itu yang dimaksud dengan muslim terbaik.

Tetapi yang dimaksud muslim yang paling baik seperti apa kata ulama katakan adalah muslim yang paling bisa “menampilkan” teori islam di dalam dirinya. (Akhlak)

Aisyah radhiallahu ‘anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun menjawab, “Akhlak beliau adalah (melaksanakan seluruh yang ada dalam) Alquran”

Ada seorang ustaz di dalam suatu majelis, ketika beliau berbicara Alquran beliau seperti ahli tafsir, ketika berbicara tentang As-Sunah beliau seperti ahli hadist, ketika berbicara fikih, beliau seperti paling mengerti halal dan haram.

Tapi belum tentu beliaulah yang terbaik islamnya di antara orang-orang yang ada di dalam majelis tersebut karena yang paling terbaik Islam nya di antara mereka adalah:

Jika dalam majelis Alquran, berarti merekalah yang akhlaknya paling mendekati nilai-nilai Alquran yang ideal. Yang paling baik dalam sunahnya adalah dia yang paling mendekati akhlaknya dengan sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Begitu juga dalam urusan fikih dan yang lainnya.

Jadi muslim yang terbaik adalah yang memegang teguh kepada agama Allah, bukan berpegang kepada teorinya untuk bisa menjelaskannya kembali kepada orang banyak, bukan yang paling panjang artikelnya tentang islam.

Bukan yang paling banyak follower-nya di akun-akun islami di medsos, bukan yang paing banyak jilid buku nya tentang fikih. Tetapi yang paling baik akhlaknya dan yang sesuai dengan al-quran dan as-sunah Rasulullah.

Sehingga jadilah muslim yang “menampilkan” keislaman kita di hadapan semua umat, bukan muslim yang “menjelaskan” keislaman kita di hadapan semua umat ataupun media.

Maka di sinilah peran cermin sangat penting sebagai guru terbaik kita, sudahkah kita menilai diri kita sendiri dan muhasabah diri kepada akhlak kita sebagai muslim, sudahkah kita menjadi akhlak yang terbaik di antara umat manusia?

Gunakan setap hari cermin itu untuk media bertanya kepada diri kita sendiri, sudahkah hari ini kita menunjukan akhlak terbaik dan tidak hanya berdakwah secara lisan saja tetapi secara perbuatan dan akhlak, apakah sudah benar-benar kita terapkan. Bercerminlah, jadikan cermin itu sebagai guru kita.

Rasulullah mengatakan, Innama buitstu liutammima makarimal akhlak (sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia).

Jadikanlah contoh cerminan kita sebagaimana sikap dan karakter Rasulullah karena perbuatan beliau adalah kebaikan, marahnya beliau adalah kebaikan, adab beliau adalah kebaikan, bahkan diam nya beliau adalah kebaikan.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS Al-Ahzab: 21)

Maka jika akhlak Rasulullah adalah Alquran sejatinya kita tidak hanya membaca atau menghafal Al-Quran saja, namun amalkan Alquran tersebut kepada orang lain dan kepada akhlak kita di dalam kehidupan sehari-hari. Agar kita senantiasa menjadi akhlak yang paling sempurna diantara umat manusia. Sebagaimana ayat berikut ini:

“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu” (QS Al-Qiyamah: 18)

Dan apabila kita telah bersaksi bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam adalah utusan Allah maka pastikanlah, Rasulullah bersaksi dan mengakui bahwa kita adalah umat terbaiknya. Aamiin ya Allah ya Rabbal ‘alamin. [DJS/Kutipan Ust.Hanan Attakki,Lc]

INILAH MOZAIK

Ayo Mengingat Kematian!

SAKARATUL maut dan kematian pasti akan datang. Kematian karena usia senja, penyakit kritis, musibah, dan sebagainya, tidak bisa ditolak kehadirannya oleh semua orang. Waktu dan tempat kematian juga tidak dapat diketahui oleh siapa pun. Tidak ada yang bisa mendebatkan kenyataan ini. Tentang kematian, Allah berfirman,

“Sesungguhnya, kematian adalah haq, pasti terjadi, tidak dapat disangkal lagi. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf [50]:19)

Seseorang yang mengira bahwa kematian itu hanya kefanaan dan ketidakadaan secara total yang tidak ada kehidupan, perhitungan amal, hari dikumpulkan, kebangkitan, surga atau neraka setelah itu adalah salah.

Sebab, andai kata demikian, tentu tidak ada hikmah dari penciptaan dan wujud kita. Manusia semua sama saja setelah kematian, mukmin dan kafir sama, pembunuh dan terbunuh sama, si penganiaya dan yang teraniaya sam, pelaku ketaatan dan maksiat sama, pezina dan si rajin salat sama, pelaku perbuatan keji dan ahli takwa sama.

Kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan. Kemudian, ruh berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu tobat dan pemberian tempo pun terputus. Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selama belum sekarat.” (HR. At-Tarmidzi)

Kematian merupakan musibah yang paling besar. Karena itu, Allah menamakannya dengan ‘musibah maut’. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah) dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu, (demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini haraga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Maidah [6]:106). [Ushfuriyah]/Chairunnisa Dhiee

 

 

Jaminan Rezeki dari Allah Bukan Tanpa Usaha

TIDAK ada satu makhluk pun di dunia ini yang sanggup menjamin keberlangsungan rezeki makhluk lainnya. Karena hanya Allah yang mampu melakukan hal tersebut. Dia tahu betul apa yang dibutuhkan para makhluk-Nya. Dia tidak pernah menciptakan satu makhluk pun untuk hidup di dunia ini tanpa memperoleh rezeki.

Jaminan rezeki yang dijanjikan Allah kepada makhluk-Nya bukan berarti memberinya tanpa usaha. Kita harus sadar bahwa yang menjamin itu adalah Allah yang menciptakan makhluk serta hukum-hukum yang mengatur makkhluk dan kehidupannya.

Bukannya manusia telah terikat dengan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya? Kemampuan tumbuh-tumbuhan, manusia, dan binatang untuk hidup dan makan adalah bagian dari jaminan rezeki Allah.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muadz bin Jabal Ra, Rasulullah bersabda, “Allah berkata, ‘Wahai anak Adam, pada saat bermaksiat, hendaknya kamu merasa malu kepada-Ku, sebab Aku malu kepadamu pada hari kiamat. Aku tidak menyiksamu, wahai anak Adam. Bertaubatlah kepada-Ku, maka Aku memuliakanmu seperti kemuliaan para nabi. Wahai anak Adam, janganlah hatimu berpindah dari-Ku. Sebab, apabila hatimu berpindah dari-Ku, Aku akan menghinamu. Maka, tidak ada pertolongan bagimu. Wahai anak Adam, apabila kamu bertemu Aku pada hari kiamat nanti, sementara kamu membawa kebaikan-kebaikan seperti kebaikan penduduk bumi, Aku tidak menerima itu sampai kamu membenarkan janji dan ancaman-Ku. Wahai anak Adam, sesungguhnya Aku Maha Memberi rezeki, dan kamu adalah hamba yang diberi rezeki. Kamu tahu bahwa Aku memenuhi rezekimu, maka jangan tinggalkan ketaatan kepada-Ku hanya karena rezeki. Apabila kamu meninggalkan ketaatan kepada-Ku karena rezeki, Aku pastikan siksaan akan menimpamu. Wahai anak Adam, jagalah lima hal ini. Niscaya kamu mendapatkan surga.” [Chairunnisa Dhiee]

 

 

Kenali 10 Pemicu Ghibah yang Perlu Anda Waspadai

Mengapa dorongan ingin menggunjing dan membicarakan keburukan sesama muncul dalam kehidupan sehari-hari secara kolegial? Seringkali bahkan dilakukan secara sengaja.

Jawaban atas pertanyaan ‘mengapa’ inilah yang hendak diungkap Imam Zainuddin al-Juba’i al-Amili as-Syami ( w 965 H) dalam karyanya yang cukup langka dan fenomenal berjudul Kasyf ar- Raibah ‘An Ahkam al-Ghibah. Ada sepuluh hal yang bisa memicu perbuatan menggunjing keburukan orang lain yaitu:

Pertama, Kemarahan dalam diri pelaku ghibah terhadap si obyek. Amarah terhadap seseorang mendorong pelaku membeberkan aib yang bersangkutan. Terlebih jika ruh keagamaan dan sikap //wara’//hilang dari mereka yang tengah dirundung amarah.

Jika amarah tersebut tak tersalurkan atau ternetralisir dengan permintaan maaf, atau jiwa besar mengikhlaskan, yang akan terjadi selanjutnya adalah, amarah itu mengendap dan semakin mengeras dalam batinnya.

Amarah itu menjelma menjadi dendam kesumat, selamanya akan mengingat dan menyebutkan keburukan si fulan. Berhati-hatilah, kata al-Juba’I, amarah dan dendam pemicu dominan ghibah.

Kedua, solidaritas yang salah tempat. Berkumpul dalam perkumpulan, yang mungkin, tujuan awalnya baik, ternyata di tengah-tengah perbincangan tersebut, pelaku ghibah mengawali melontarkan isu, gosip, dan kabar burung tentang seseorang, lalu mengajak kita, benar-benar ikut dalam pusaran ghibah.

Kerap kali, dalam kondisi demikian, kita menyadari larangan berghibah, akan tetapi karena menjaga perasaan dan solidaritas salah tempat tadi, akhirnya, kita turut menjerumuskan diri, bersama-sama si pelaku berghibah.

Ketiga, mendegradasi kredibilitas si obyek ghibah. Ini bisa jadi muncul karena misal faktor persaingan tak sehat, atau untuk tujuan mereduksi kredibilitas seseorang dalam hal persaksian. Pelaku dalam kondisi semacam ini, melakukan ‘serangan’ lebih awal untuk menjatuhkan ‘lawannya’ itu di depan publik.

Keempat, cuci tangan atas perbuatan yang sama-sama pernah dilakukan dengan si obyek ghibah.

Ia ingin mencitrakan seolah-olah bersih dan sepenuhnya tak terlibat, padahal fakta tidak demikian. Pelaku ghibah akan menguak aib yang sebenarnya, ia juga melakukannya. Ia berbohong untuk dirinya sendiri, namun ia jujur menguliti keburukan orang lain.K

Kelima, keinginan mengangkat status pelaku dan menjatuhkan martabat si obyek dengan merendahkan dan atau menyebarkan kekurangan intelektualitasnya misal, kepada orang lain.

Seperti tudingan bahwa si fulan itu bodoh, tak pandai bicara, dan minim wawasan. Tujuannya hanya satu, meninggikan derajat dan nilai si pelaku di mata orang.

Keenam, dengki. Ia tak ingin saudaranya mendapat nikmat. Jika publik memuji ‘lawannya’, kedengkian si pelaku, akan membakar hatinya dan menggerakkannya melakukan ghibah.

Bagaimana agar publik berhenti memuji ‘saingannya’ itu. Caranya sangat tak santun dan tak beretika. Ia akan membuka aib orang tersebut di depan khalayak. Harapannya, rangkaian pujian demi pujian yang selama ini tertuju pada si obyek akan terhenti.

Ketujuh, kekurangan dan aib seseorang sebagai bahan candaan. Sadar atau tidak, candaan tak pantas kita terhadap si fulan di belakangnya, bermuatan ghibah, meski sekadar ingin mencairkan suasana, memancing gelak tawa. namun, ketahuilah hal itu sama sekali tak pantas.

Kedelapan, keinginan merendahkan dan menghina si fulan. Menurut al-Juba’i, sekalipun pembeberan keburukan itu dilakukan di hadapannya, dan ia mengetahui dan mendengar, itu pun, bisa dikategorikan sebagai ghibah, sebab ia tak menutupi aib, malah membuka dan menjadikannya bahan ejekan.

Kesembilan, menurut al-Juba’i, sangatlah tipis dan halus muatannya. Ini terkadang terjadi di kalangan orang-orang terdidik. Seperti perkataan demikian,”Kasihan si fulan saya ikut prihatin.”

Tak ada yang salah dengan kalimat ini, yang keliru ialah, biasanya kalimat ini disusul dengan membeberkan kekurangan-kekurangan si fulan yang melatarbelakangi mengapa si pelaku ghibah prihatin.

Kesepuluh, kemurkaan karena Allah SWT. Kok bisa? Ya, ini lagi-lagi kerap menghinggapi mereka yang terdidik dan kalangan khusus seperti ulama. Seseorang bisa saja marah, karena si fulan bermaksiat, melanggar larangan-larangan-Nya, namun, secara spontan kerap, ia justru membuka aib si fulan tersebut di hadapan orang lain.

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Meminta Maaf kepada Orang yang Sudah Wafat

MENURUT mazhab Syafi’i, jika kita pernah menzalimi seseorang, kita harus meminta maaf dan menyebutkan sebabnya. Oleh karena itu, seseorang yang menggunjing orang lain dan ingin meminta maaf haruslah menyebutkan ucapannya dan siapa saja yang bersamanya dikarenakan untuk tujuan yang berbeda.

Sehingga pemberian maaf tidak akan berpengaruh bila tidak diketahui sebabnya. Berbeda dengan mazhab Maliki dan Hanafi yang menyatakan bahwa tidak wajib memerinci secara detail ketika meminta maaf.

Jika terdapat kesulitan dalam meminta maaf, seperti orang yang digunjing telah meninggal atau sulit menemuinya karena lama tak berjumpa, hendaklah beristighfar untuknya.

Begitu pula jika gunjingannya tidak dapat disampaikan maka cukup adanya penyesalan dan istighfar untuknya. Bila keadaannya seperti itu bahkan tidak diperbolehkan mengungkapkannya. Ibnu Al-Mubarak berkata, “Janganlah kamu mengganggunya dua kali.”

Jika pelaku telah menyesali dan beristighfar untuknya, itu cukup baginya meskipun setelah itu gunjingan itu didengar oleh orang yang digunjingkan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu ‘Adiy, “Jika seseorang di antara kalian menggunjing saudaranya, hendaklah beristighfar untuknya. Sesungguhnya itu merupakan penebusnya.”

INILAH MOZAIK

Jangan Berbuat Kerusakan di Bumi

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. [al-A’râf/7:56]

Saat menjelaskan maksud ayat ini, Abu Bakar bin ‘Ayyâsy rahimahullah (wafat th. 194 H) berkata, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk bumi ketika mereka sedang dalam kerusakan, lalu Allâh Azza wa Jalla memperbaiki mereka dengan mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka barangsiapa mengajak kepada sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia benar-benar termasuk orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi.”[1]

Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) mengatakan, “Maksud dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Adalah janganlah engkau menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dan janganlah engkau berbuat maksiat di muka bumi, karena perbuatan seperti itu adalah pengerusakan yang sebenarnya di muka bumi.

بَعْدَ إِصْلَاحِهَا  yakni setelah Allâh memperbaiki bumi itu untuk orang-orang yang menaati Allâh Azza wa Jalla, dengan mengutus para rasul kepada mereka yang menyeru kepada kebenaran, dan menjelaskan hujjah-hujjah kepada mereka.”

وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا  yakni ikhlaskanlah semua doa dan amal hanya untuk Allâh Azza wa Jalla dan janganlah engkau menyekutukan-Nya dengan apapun juga seperti ilah-ilah, berhala dan lainnya. Serta hendaklah semua yang engkau lakukan itu didasari dengan rasa takut kepada siksa-Nya dan mengharapkan pahala-Nya.”[2]

Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) mengatakan, “Mayoritas ahli tafsir mengatakan, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi dengan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan mengajak ketaatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla setelah Allâh Azza wa Jalla memperbaikinya dengan mengutus para rasul dan menerangkan syariat serta mengajak supaya taat kepada Allâh Azza wa Jalla. Karena sesungguhnya menyembah selain Allâh, berdoa kepada selain-Nya dan melakukan perbuatan syirik kepada-Nya adalah kerusakan yang paling besar di muka bumi. Bahkan kerusakan bumi pada hakekatnya hanyalah disebabkan oleh syirik kepada Allâh dan menyalahi perintah-Nya”.

Dengan demikian perbuatan syirik, berdoa kepada selain Allâh Azza wa Jalla , mengagungkan sesembahan selain-Nya dan mentaati selain Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kerusakan terbesar di muka bumi. Semua ini tidak mendatangkan kebaikan sama sekali untuk bumi dan juga untuk penduduknya kecuali kalau Allâh menjadi satu-satunya Dzat yang mereka ibadahi dan taati, memohon kepada-Nya dan tidak taat kepada selain Allâh Azza wa Jalla , kemudian selalu menaati rasul-Nya dan mengikuti (petunjuk)nya, bukan yang lain. Makhluk selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya wajib ditaati jika menyerukan ketaatan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun jika menganjurkan perbuatan maksiat dan menyuarakan hal-hal yang menyalahi syariat-Nya, maka ia tidak boleh didengar dan ditaati.

Barangsiapa memperhatikan kondisi alam, maka ia akan dapati bahwa setiap kebaikan di muka bumi ini bersumber pada tauhidullâh (mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla ), beribadah kepada-Nya dan menaati Rasul-Nya. Sebaliknya, setiap kejahatan, fitnah, malapetaka, kekeringan, berkuasanya musuh atas umat Islam dan bencana lainnya, penyebabnya adalah menyalahi Rasul-Nya dan menyeru kepada selain Allâh dan Rasul-Nya.”[3]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan tentang ayat ini, “Allâh Azza wa Jalla melarang perilaku merusak dan hal-hal yang membahayakannya, setelah Allâh Azza wa Jalla melakukan perbaikan di muka bumi. Karena jika berbagai macam urusan sudah berjalan dengan baik dan setelah itu terjadi kerusakan, maka kondisi demikian ini lebih berbahaya bagi umat manusia. Maka, Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang hal itu, dan memerintahkan hamba-hamba-Nya agar beribadah, berdoa, merendahkan diri kepada-Nya dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman ( وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ), “…Berdoalah kepada-Nya dengan penuh rasa takut dan penuh harap…” Maksudnya, Takut terkena siksa Allâh Azza wa Jalla dan berharap bisa meraih pahala melimpah di sisi-Nya.

Kemudian Allâh berfirman ( إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ), “…Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” Allâh menggunakan kata قَرِيبٌ  dan bukan قَرِيْبَةٌ  (padahal kata رحمة  itu untuk muannats, mestinya menurut bahasa harus menggunakan قَرِيْبَةٌ –red), karena yang dijelaskan adalah kandungan dari kalimat rahmat yaitu tsawâb (pahala), atau karena kata rahmat itu disandarkan kepada Allâh Azza wa Jalla. Oleh karena itu, Allâh mengatakan :

إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik [4]

FAWAID AYAT INI
Dari uraian di atas, kita bisa mengambil beberapa faidah[5] :

  1. Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi dengan melakukan perbuatan syirik, maksiat dan kerusakan lainnya.
  2. Sesungguhnya perbuatan maksiat itu merusak akhlak, amal dan rezeki
  3. Para rasul diutus untuk memperbaiki kehidupan di muka bumi
  4. Wajib berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan penuh keikhlasan, karena doa adalah ibadah
  5. Beramal dan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla harus dilandasi dengan rasa takut dan penuh harap
  6. Dianjurkan untuk berbuat ihsan (berbuat kebaikan)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tafsîr Ibnu Abi Hâtim ar-Râzi 4/124 cet. Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah
[2] Tafsîr ath-Thabari 5/515 cet. Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah
[3] Badâi’ul Fawâid, hlm. 385, tahqîq Basyîr ‘Uyûn dan lihat juga Badâi’ut Tafsîr hlm 1/404 oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, dikumpulkan oleh Yusra as-Sayyid Muhammad
[4] Tafsîr al-Qurânil ‘Azhîm 3/429, tahqîq Sâmi bin Muhammad Salâmah, cet. Ke-IV Dârut Thayyibah th. 1428 H
[5] Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân oleh Syekh Abdurrahmân as-Sa’di t dan Aisarut tafâsîr oleh Syekh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri dan kitab-kitab lainnya).

Read more https://almanhaj.or.id/9963-jangan-berbuat-kerusakan-di-bumi.html

Pemeliharaan Ka’bah dan Keutamaan Memuliakan Tamu

Sejak abad kelima, Qushay menguasai Makkah sehingga berhak menangani segala urusan Ka’bah. Pasca meninggalnya leluhur kaum Quraisy itu, wewenang tersebut diwariskan kepada putra sulungnya, Abdud Dar, kakak Abdul Manaf.

Setelah Abdul Manaf wafat, mulai terjadi pertentangan di antara para elite Quraisy. Untuk menghindari konflik, disepakatilah pembagian tugas. Keturunan Abdul Manaf menangani penyambutan jamaah haji, sedangkan keturunan Abdud Dar memegang panji politik.

Hasyim bin Abdul Manaf ditetapkan sebagai penanggung jawab logistik bagi para peziarah Ka’bah. Setelah Hasyim wafat, kedudukan itu diteruskan oleh saudaranya, Abdul Muthalib bin Hasyim–kakek Nabi Muhammad SAW.

Pada masa permulaan dakwah Islam, tugas mulia itu dilakukan putra-putra Abdul Muthalib, termasuk Abbas, paman Nabi SAW. Sesudah pembebasan Makkah (Fathu Makkah), semua keputusan tentang pemeliharaan Ka’bah ada di tangan Rasulullah SAW.

Sejak saat itu, tidak ada perubahan yang signifikan dalam tata cara menyambut para jamaah, kecuali bahwa semua berhala di sekitar Ka’bah dan pelbagai ritual syirik yang sebelumnya mewarnai ibadah haji dimusnahkan sama sekali.

Tentu saja, melayani para tamu Masjid al-Haram tidak hanya meningkatkan prestise, tetapi juga faktor materi. Setiap bulan Dzulhijah, pendapatan warga Makkah otomatis naik lantaran tingginya permintaan (demand) barang-barang kebutuhan.

Berbeda umpamanya dengan Madinah yang bertanah subur, Makkah sangat mengandalkan sektor perdagangan untuk menggerakkan ekonomi. Oleh karena itu, penduduk setempat mementingkan sikap terbuka dan ramah terhadap kafilah-kafilah dari luar, termasuk para jamaah haji.

Ada banyak hadis sahih yang mengajarkan keutamaan memuliakan tamu, tanpa memandang kaya atau miskin. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Abu Syaikh meriwayatkan, beliau SAW telah memperingatkan kaum Muslimin, “Tamu datang dengan membawa rezekinya dan pergi dengan menghapus dosa-dosa kalian. Dan, Allah menghapus dari dosanya dan dosa-dosa kalian.”

Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi SAW menjelaskan, Allah SWT memberikan pahala setara haji dan umrah kepada seorang mukmin yang menjamu tamunya setiap kali suap makanan yang diterima tamu.