Mensyukuri Nikmat dari Allah

SAHABAT yang baik pengundang bertambahnya karunia Allah SWT adalah syukur. Karunia Allah SWT akan bertambah untuk kita dengan jalan memperbanyak syukur, bukan memperbanyak keinginan.

Tentu boleh kita punya keinginan, tapi keinginan itu tidak boleh membuat kita kufur nikmat. Karena tidak sedikit orang yang hanya ingat pada keinginan-keinginan yang belum tercapai padahal sudah banyak kebutuhannya yang Allah SWT cukupkan, bahkan sudah banyak juga keinginannya yang Allah SWT mudahkan.

Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah SWT yang ahli syukur, sehingga segala karunia yang Allah SWT berikan kepada kita menjadi jalan untuk semakin dekat dengan-Nya. Aamiin yaa Robbalaalamiin.[*]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Mengapa Tahun Kelahiran Rasulullah Disebut Tahun Gajah?

Menjelang kelahiran Nabi Muhammad shalallahu alahi wassalam, Kabah masuk target penghancuran tentara Raja Abrahah dari Yaman. Peristiwa itu terjadi sekitar 571 masehi, sehingga tahun kelahiran Rasulullah disebut Tahun Gajah. Pertanyaannya, siapa sebenarnya Raja Abrahah, dan mengapa ia ingin menghancurkan Ka’bah?

Raja Abrahah atau Abrahah Al Arsyam mulanya hanya seorang kepala tentara di wilayah Yaman. Wilayah yang dipimpin seorang Gubernur Kerajaan Habasyah, Aryath. Aryath merupakan gubernur pertama di negeri itu yakni pada 535 masehi pascaditaklukannya Himyariyah, sebuah kerajaan yang menguasai Yaman beratus-ratus tahun sebelumnya. Sedang Kerajaan Habsyah sendiri berada di Abissinia, Ethiopia dan diperintah Negus (Najasyi) yang berada di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi dengan kaisarnya bernama Justin I.

Namun tak lama setelah raja Negus menunjuk dan menempatkan Aryath sebagai guberur di Yaman, terjadilah perselisihan. Abrahah membunuh Aryath dan menguasai seluruh bala tentara negeri Yaman.

Raja Negus mulanya tak membenarkan tindakan Abrahah, bahkan memberikan teguran keras kepada Abrahah. Meski demikian, Abrahah berhasil meluluhkan hati Raja Negus hingga memaafkannya. Negus pun mengesahkan Abrahah sebagai gubernur kerajaan Habasyah di Yaman.

Menyaingi Mekkah

Pada masa itu bangsa Arab dari berbagai penjuru pada bulan-bulan tertentu berbondong-bondong mendatangi Makkah untuk melaksanakan haji, membesarkan Ka’bah yang dibangun Nabi Ibrahim. Sebagai gubernur Habasyah, Abrahah mempunyai hasrat untuk menyaingi Mekkah. Ia ingin orang-orang dari berbagai penjuru jazirah Arab tak lagi naik haji dan berjiarah ke Mekkah, melainkan diganti ke Yaman.

Untuk menunaikan keinginannya itu, Abrahah pun meminta bantuan kepada kekaisaran Romawi mengirimkan tenaga kerja terampil di bidang pembuatan mozaik untuk sebuah bangunan. Abrahah pun membangun sebuah gereja besar dan menjulang tinggi di Kota San’a. Gereja bernama Al Qullais (menjulang tinggi) itu menjadi ikon San’a dan merupakan satu-satunya gereja yang paling megah saat itu.

Setelah rampung, Abrahah pun mengumumkan keberadaan Al Qullais di San’a kepada orang-orang di berbagai penjuru jazirah Arab. Ia mengajak orang-orang Arab mengerjakan haji di Yaman dan meninggalkan Ka’bah. Kabar itu pun cepat tersebar dan menjadi buah bibir di kalangan bangsa Arab.

Kabar itu juga didengar keturunan dari Bani Kinanah, sebuah kabilah besar bangsa Arab yang berdiam di Mekkah. Dari Bani Kinanah inilah diturunkan banyak suku, termasuk Bani Quraisy yang merupakan suku asal Nabi Muhammad shalallahu alahi wassalam. Hingga kemudian salah seorang dari Bani Kinanah itu mendatangi Kota San’a di Yaman. Secara diam-diam, orang dari Bani Kinananah itu masuk ke Al Qullais dan melakukan pengerusakan.

Mengetahui kejadian itu Abrahah pun murka. Abrahah pun mendapatkan laporan yang melakukan pengerusakan Al Qullais adalah seorang Arab yang tinggal tak jauh dari Ka’bah. Peristiwa itu membuat Abrahah semakin membenci keberadaan Ka’bah dan berniat menghancurkannya. Meski demikian, terkait pemicu penyerangan Ka’bah ini terdapat sejumlah riwayat yang berbeda.

Dr Jawad Ali dalam Sejarah Arab sebelum Islam menuliskan sejumlah latar belakang yang menjadi pemicu terjadinya serangan ke Mekkah. Misalnya Al Qurtbi yang berkata kebakaran Al Qullais menjadi alasannya karena beberapa orang Quraisy yang pergi ke wilayah Najasyi menyalakan api untuk memasak dan lupa mematikannya. Api tersebut kemudian membakar Al Qullais.

Sebagian riwayat lain menyebutkan penyerangan ke Ka’bah dimulai dari penjarahan pasukan Abrahah di Thaif. Orang-orang Thaif yang tertindas menunjukan Ka’bah sebagai bangunan yang paling dihormati, orang yang bisa menaklukannya maka sempurnalah kekuasaannya.

Upaya Meruntuhkan Ka’bah

Setelah pengerusakan Al Qullais, Abrahah memerintahkan pasukannya ke Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah. Ia juga membawa 15 ekor gajah dalam rencana serangannya itu.

“Maka laskar ini disebut Tentara Bergajah dan tahun terjadinya peritiwa penyerbuan Abrahah ke Mekkah untuk merobohkan Ka’bah disebut tahun gajah (Amul Fiil),” tulis Prof Mukhtar Yahya dalam Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan Di Timur Tengah.

Dalam perjalananya ke Mekkah, pasukan Abrahah kerap mendapat hadangan dari orang-orang yang tak sepakat dengan rencananya menghancurkan Ka’bah. Kendati demikian, pasukan Abrahah bisa melaluinya.

Setibanya di Thaif, rombongan pasukannya pun berhenti. Abrahah memerintahkan anak buahnya bernama Al Aswad bin Maqshud untuk terlebih dulu membuat kekacauan dengan merampas harta dan binatang ternak kepunyaan penduduk Mekkah. Abdul Muthalib Ibnu Hasyim (Kakek Nabi Muhammad) menjadi salah satu korbannya. Sebanyak 200 ekor unta milik Abdul Muthalib dirampas Abrahah.

Sesampainya di Mugammas, Abrahah memerintahkan anak buahnya bernama Hanathah Al Himyari mencari tahu pemuka atau tokoh Kota Mekkah. Anak buah Abrahah itu pun menemui Abdul Muthalib setelah memperoleh informasi bahwa Abdul Muthalim merupakan seorang pemimpin dan tokoh di kota Mekkah kala itu.

Kepada Abul Muthalib, anak buah Abrahah itu pun menyampaikan maksud tujuan kedatangan rombongan Raja Abrahah ke Mekkah, yakni bukan untuk memerangi penduduk Mekkah melainkan untuk menghancurkan Ka’bah. Kemudian Abdul Muthlib pun dibawa untuk bertemu dengan Abrahah. Saat bertemu Abrahah, Abdul Muthalib meminta harta dan unta-unta kepunyaannya yang dirampas dikembalikan.

Abdul Muthalib tak gentar dengan ancaman Abrahah yang berniat menghancurkan Ka’bah. Meski penduduk Mekkah tak mempunyai daya untuk melawan kekuatan pasukan Abrahah, Abdul Muthalib meyakini Ka’bah dalam perlindungan Allah.

Setelah bertemu dengan Abrahah, Abdul Muthalib mengunjungi Ka’bah untuk berdoa. Setelah itu ia memerintahkan penduduk Kota Mekkah pergi dan mencari tempat berlindung.

Sementara pasukan Abrahah pun bergerak menuju Mekkah. Sesampainya di pintu Kota Mekkah. Abrahah mengerahkan gajah-gajah yang dibawanya untuk masuk ke dalam kota itu. Meski demikian, gajah-gajah itu tak mematuhi perintah pasukan-pasukan Abrahah. Gajah-gajah yang dibawanya hanya duduk dan berputar-putar dan kembali ke tempat semua.

Di tengah kebingungannya, berbondong-bondong burung (ababil) datang ke arah pasukan Abrahah. Burung-burung itu kemudian menjatuhkan batu-batu yang dibawanya. Pasukan Abrahah pun panik apalagi dengan penyakit cacar yang datang tiba-tiba. Seketika, pasukan Abrahah pun berguguran.

Sementara Abrahah berhasil kembali ke San’a Yaman. Kendati demikian, Abrahah pun mati dengan kondisinya yang lebih parah dari pasukan-pasukannya. Abrahah meninggalkan dua anak bernama Yaksum dan Marsuq.

Setelah kejadian itu, Mekkah mengalami perubahan cuaca. Mekkah diguyur hujan lebat hingga menyebabkan banjir. Banjir itu pun membawa hanyur mayat-mayat pasukan Abrahah ke laut. “Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (3) yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar (4) sehingga mereka dijadikannya seperti daun-daun yang dimakan ulat (5),” Alquran Surah Al Fil.

Menurut Prof Mukhtar, bangsa arab kemudian mentarikhan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kalangan mereka dengan Amul Fiil atau tahun gajah. “Tahun terjadinya peristiwa ini mereka jadikan permulaan perhitungan tahun, sedang bulan pertama tetap bulan Muharam. Sebelum terjadinya peristiwa ini, mereka mentarikhkan peristiwa penting dengan meninggalnya Qushai, karena Qushai ini adalah seorang pemimpin mereka yang agung meninggal than 480 Masehi.”

Penyerbuan pasukan Abrahah ke Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah terjadi pada 12 Muharram tahun 1 Tahun Gajah atau Amul Fill bertepatan dengan 2 Maret 571 Masehi. Menurut riwayat Ibnu Hisyam dari Ziad Ibnu Abdillah Al Kufi dan dari Muhammad Ibnu Ishaq, Nabi Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal tahun 1 Aumul Fiil. Sedangakan menurut Ilmu Falak Mesir, Mahmud Pasha kelahiran Nabi Muhammad bertepatan dengan 20 April 571 M).

KHAZANAH REPUBLIKA

Imam Bukhari dan Imam Nawawi di Depan ‘Pintu Istana’

IMAM Bukhari (256 H) juga pernah mendapat perlakuan kejam dari penguasa. Dalam Hadyu As Sari (226) disebutkan, ketika beliau memasuki Bukhara, semua mata manusia tertuju kepadanya, termasuk penguasa negeri itu, Khalid bin Ahmad bin Khalfah bin Thahir.

Akhirnya ia meminta Imam Bukhari datang ke istana dan mengajarkan Kitab Shahih dan Tarikh Al Bukhari. Tentu Imam Bukhari menolak.

Bukan hendak menutup pintu ilmu bagi mereka, akan tetapi beliau tidak mau mengajar kaum bangsawan, dengan meninggalkan para pencari ilmu dari kalangan rakyat jelata.

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Imam Bukhari mengatakan, kepada utusan Sultan, ”Katakan kepadanya, saya tidak akan merendahkan ilmu, dan membawanya ke pintu-pintu Istana, jika ia membutuhkan suatu darinya (ilmu) maka datanglah ke masjid atau rumahku.”

Sikap Imam Bukhari ini membuat penguasa marah dan mengusir ulama hadits ini dari Bukhara. Di sebuah desa kecil di wilayah Samarkand beliau memutuskan untuk tinggal. Di desa itu pula, sebulan kemudian beliau wafat.

Keberanian Imam An Nawawi (676 H) dalam menolak kebijakan penguasa, juga terlalu penting untuk dilewatkan. Saat Dhahir Bebres usai menghadapi Pasukan Tatar di Syam, ia meminta fatwa para ulama wilayah itu tentang bolehnya mengambil pajak dari rakyat guna membantu peperangan. Para fuqaha Syam pun membolehkan.

“Masih tersisa ada ulama lain?” Tanya Dhahir.

“Iya, tinggal Syeikh Muhyiddin An Nawawi” Jawab salah satu dari mereka.

Akhirnya Imam Nawawi diminta datang. Setelah itu, Dhahir meminta agar beliau ikut menulis fatwa yang isinya sama seperti ulama yang lain. Tapi apa yang terjadi? Ternyata Imam Nawawi menolak.

Beliau malah mengingatkan Dhahir, bahwa ia memiliki seribu budak, tiap budak membawa emas serta dua ratus budak perempuan, masing-masing mengenakan gelang emas.

“Jika engkau telah gunakan itu semua, dan tinggal para budak laki-laki dan budak perempuan yang masih lengkap dengan pakaian tanpa gelang. Maka saya baru akan memfatwakan boleh mengambil pajak dari rakyat.” tutur An Nawawi.

Setelah mendengar jawaban Imam Nawawi, Dhahir marah, ”Keluar dari negeriku!” Perintahnya kepada Imam Nawani.

“Saya mendengar dan mentaati.” Jawab ulama besar ini. Kemudian, penulis ktab Al Adzkar ini keluar dari kota Damaskus menuju desa Nawa.

Setelah peristiwa itu, para ulama merasa kehilangan, mereka menyatakan kepada Dhahir,”Nawawi termasuk orang shalih dan ulama besar kami, yang kami jadikan tauladan, kembalikan dia ke Damaskus.”

Kemudian, Imam Nawawi diminta kembali, tapi beliau enggan dan menjawab,”Saya tidak akan masuk Damaskus, selama Dhahir masih di sana.” Setelah itu, satu bulan kemudian, Imam Nawawi wafat.*

HIDAYATULLAH

Raih Harta Berkah dan Melimpah dengan Bersedekah

Mungkin masih ada di antara kita yang ragu atau enggan bersedekah lantaran takut hartanya berkurang dan menipis. Kita lebih memilih menabung dan berinvestasi emas, tanah, dan lain sebagainya, dengan harapan hartanya akan aman, bertambah, kekal, dan menjamin masa depannya.

Kita lupa bahwasanya di dalam harta kekayaan kita itu ada andil orang lain. Di balik untung besar pabrik sepatu milik kita, ada buruh-buruh yang banting tulang pagi, siang, malam. Perusahaan kontruksi milik kita bisa berhasil membangun jembatan layang dengan tempo cepat karena berkat otot kuli-kuli. Nasi dan ikan yang laris manis dijual di restoran kita adalah buah keringat dari para petani dan nelayan.

Jadi sangat wajar jika Allah subhanahu wata ‘ala menetapkan sebagian hasil yang kita peroleh untuk diberikan kepada orang lain. Wajar pula bila muncul kecemburuan sosial apabila kita tidak bersedekah kepada mereka. Lebih-lebih, uluran tangan yang tak datang itu dibarengi dengan unjuk kemewahan di depan mata mereka.

Agaknya kita perlu sadari kembali bahwa harta kekayaan yang kita miliki pada hakikatnya hanya titipan dari-Nya. Kikir dan menyombongkan sebuah titipan tentu merupakan laku yang amat tidak pantas lagi tercela. Kisah Qarun mengandung pelajaran yang sangat berharga untuk kita. Ia kaya raya, tapi sombong dan pelitnya minta ampun. Hidup pada zaman Nabi Musa, ia menyangka hartanya akan mengekalkannya dalam kesenangan. Harta kekayaannya ia gunakan dalam kesombongan, kesesatan, dan kezhaliman. Hingga akhirnya berujung pada kehinaan. Allah membenamkannya beserta harta dan rumahnya ke dalam bumi. Tidak ada satu golongan pun yang dapat menolongnya dari adzab Allah. Na’udzubillah.

“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (menjadikannya kikir dan enggan menginfakkan harta di jalan Allah). Dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (QS 104:1-3).

Sejatinya, bersedekah kepada kaum dhuafa itu membentang kebaikan dan memperbanyak sumber rezeki kita. Bila mereka dibiarkan dalam kemiskinan, terlantar dan tidak diberdayakan, maka kita telah menyumbat mata air rezeki. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya kamu tidak ditolong dan tidak mendapat rezeki kecuali lantaran (perjuangan) golongan lemah di antara kamu.” (HR.Bukhari). “Pertolonganmu terhadap orang lemah adalah sedekah yang paling afdhal.” (HR. Ibnu Abid Dunya).

Bersedekah tak akan membuat kita “buntung”. Allah berfirman, “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai. Pada setiap tangkai ada serratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS 2:261). Demikian berkahnya sedekah. Setiap hari ada ratusan malaikat yang turun ke bumi mendoakan orang yang bersedekah. Bagi orang yang setiap hari berniat untuk berinfak, akan didoakan para malaikat yang ada di depan rumahnya dengan do’a, “Ya Allah berikanlah pengganti pada orang yang suka berinfak ini.” Sebaliknya, bagi orang yang tidak ada niat, bahkan cenderung kikir, ada pula malaikat yang mendoakan, “Ya Allah berikan pada orang yang tidak mau berinfak ini kehancuran pada hartanya.”

Karena itu di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, mari kita rajin-rajin bersedekah. Agar harta kita kian melimpah dan berkah.  Untuk menjadikan sedekah lebih berkembang dan diterima oleh kaum dhuafa, kita bisa menyalurkannya melalui lembaga terpercaya dan transparan dalam mengelola sedekah. Dompet Dhuafa adalah salah satu lembaga yang mengelola dana sedekah masyarakat dan menjadikannya program-program produktif dalam bidang Kesehatan, Pendidikan, Dakwah, Ekonomi, Sosial dan Kemanusiaan. Bersedekah tanpa rasa ragu dan insya Allah mengalir pahala kebaikan untuk kita semua.

HIDAYATULLH

Muslim Itu Tidak Akan Pernah Mau Diperbudak Harta

JUDUL di atas mungkin agak aneh, sebab di era modern ini tidak lagi dikenal istilah perbudakan. Terlebih dengan massifnya propaganda soal Hak Asasi Manusia.

Akan tetapi, sesungguhnya perbudakan itu tetap ada. Imam Ghazali kala membahas makna fakir dalam Ihya Ulumuddin berkata, “Hati yang terikat dengan kesenangan terhadap harta itu laksana budak. Dan, orang yang merasa kaya dari harta itu laksana orang merdeka.”

Lihatlah keseharian umat manusia. Ada yang mati-matian, siang dan malam banting pulang demi harta.

Jika cara yang wajar tak menjanjikan, ia pun menerobos (melanggar) syariat dengan menanggalkan sifat amanah yang mesti ia pegang teguh. Korupsi, riba, dan menipu menjadi jalan yang dianggap rasional di zaman seperti sekarang.

Bahkan tekad manusia untuk mengumpulkan harta sangat luar biasa. Ada yang berani menantang regulasi demi bisa bekerja meski harus ke luar negeri. Ada yang rela menyogok demi tercapai keinginan hati, baik masuk fakultas favorit di universitas atau pun diterima sebagai pegawai atau pun aparat di institusi negara.

Bahkan orang yang terdidik pun, sekolah hingga ke luar negeri, kala menjadi seorang pejabat, tiba-tiba berubah, seolah tak pernah sekolah. Ilmunya tak lagi diarahkan untuk mensejahterakan rakyat, tetapi menjilat siapa yang telah mengangkatnya menjadi pejabat.

Sikap demikian adalah bukti bahwa tidak sedikit manusia yang menghamba pada harta, sehingga ia rela diperbudak oleh harta. Akal sehat, ilmu, dan kecemerlangan berpikir menjadi tumpul. Semua ucapan dan tindakan sesuai dengan titah yang menjanjikan harta kepadanya.

Padahal, Nabi, istri-istrinya dan para sahabat sangat merdeka, meski harta dalam genggaman mereka.

Suatu waktu Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha diberi seratus ribu dirham. Maka ia pun mengambilnya, dan segera membagi-bagikan pada hari itu juga. Lalu pembantu Aisyah bertanya, “Apakah engkau tidak mampu pada yang engkau bagi-bagikan hari ini seandainya engkau membeli untuk kita dengan satu dirham saja daging yang bisa kami gunakan berbuka puasa?”

Dengan spontan, istri Nabi itu menjawab, “Seandainya engkau mengingatkanku, niscaya akan aku lakukan.”

Demikianlah idealnya sikap seorang Muslim. Senantiasa menjadikan harta sebagai jalan mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Bukan malah mengutamakan angan-angan, kesenangan-kesenangan yang justru akan semakin menjauhkannya dari keimanan.

Tetapi, faktanya tidak demikian. Lihat saja fakta berupa belum terealisasinya potensi zakat di Indonesia yang mencapai ratusan triliun. Mengapa itu terjadi? Bukan tidak ada umat Islam yang kaya, tetapi belum banyak yang benar-benar kaya, sehingga kekayaan berupa harta terus membelenggunya untuk tidak meningkat iman dan taqwanya.

Belumlah sifat seperti sahabat Nabi, Abdurrahman bin Auf radhiyalluh anhu.

Kepada para sahabatnya ia berkata, “Aku sangat khawatir kalau-kalau aku ini termasuk orang yang dicepatkan mendapat kebaikan di dunia, tapi tertahan dan tak dapat menyusul teman-temanku (di akhirat), di sebabkan kekayaanku yang berlimpah-limpah ini.”

Oleh karena itu, Allah menjelaskan bahwa orang yang mau menginfakkan hartanya, meminjamkan hartanya di jalan Allah, sebagai orang-orang yang bertaqwa dan kelak akan mendapatkan Surga.

Terlebih mereka yang mau berinfak di kala lapang maupun sempit.

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran [3]: 133-134).

Agar jiwa tidak diperbudak harta, Allah pun memerintahkan umat Islam untuk peduli dengan memperhatikan kebutuhan makan anak-anak yatim dan yatim piatu. Memperhatikan kebutuhan makan orang-orang miskin. Bahkan, jika ada seorang Muslim memiliki harta melimpah, ibadah luar biasa, namun tetangganya dibiarkan kelaparan, sungguh Allah sangat murka kepada perangai yang demikian.

Lantas, bagaimana sikap ideal kita sebagai Muslim, menjauhi harta, mencarinya atau seperti apa?

Imam Ghazali memberikan contoh konkret terkait ini.

“Dan sesungguhnya telah dibawa kunci-kunci bumi kepada Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam, dan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab radhiyallahu anhu, maka mereka itu mengambilnya dan meletakkannya pada tempatnya.

Mereka tidak lari dari harta itu. Karena bagi mereka berdua itu sama makna antara harta, air, emas dan batu. Dan tidak diriwayatkan dari mereka bahwa mereka itu menolak harta-harta dimaksud.”

Makna tersiratnya adalah hendaknya kita sebagai Muslim dalam kondisi apapun jangan sampai diperbudak oleh harta. Apa arti negara merdeka jika jiwa manusianya terjajah? Seorang Muslim yang sejati memandang harta sebagai alat, senjata, atau pun sarana untuk mendapatkan keridhaan Allah.

Untuk itu, sekiranya datang kepadanya harta yang menawar harga imannya, ia pun menolak. Sebab iman tak ternilai, tak terharga berapapun juga. Demikian itu membuatnya semakin merdeka dari perbudakan dimana banyak manusia justru lengah.

Dan, sekiranya harta itu datang untuk menguatkan iman dan keluarganya, maka ia pun semakin giat dalam menebar rahmat ke seluruh muka bumi.

Harta yang dimilikinya menjadikan ia semakin bersemangat untuk menjangkau tempat-tempat yang penduduk suatu negeri jarang atau bahkan tak pernah dikunjungi pemimpin lain di muka bumi. Ia bangun sekolah, rumah sakit, dan ia sejahterakan penduduknya.

Andai ia seorang pengusaha, setiap hari ia akan mencari dimana anak-anak yang bisa dibiayai untuk belajar, dibangunkan fasilitas umumnya, dan disejahterakan masyarakatnya. Dimana semua itu dilakukan atas dasar iman demi tegaknya peradaban Islam.

Adakah kita menghendaki yang demikian? Semoga. Wallahu a’lam.*

 

HIDAYATULLAH

Sembuh dengan Izin Allah

SAUDARAKU, ketika kita sakit maka tentu kita ikhtiar untuk mendapatkan kesembuhan. Ikhtiar kita bisa dengan memeriksakan diri ke dokter, bisa dengan meminum obat atau herbal, atau dengan cara lainnya seperti memperbanyak istirahat dan lain sebagainya.

Namun, hahikatnya yang menyembuhkan hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, ketika kita sakit, hal utama yang penting kita lakukan adalah berdoa kepada Allah SWT, mendekatkan diri kepada-Nya karena hanya Allah Yang Maha Menyembuhkan.

Semoga bagi kita yang sedang diuji dengan sakit, segera diberi kesembuhan oleh Allah SWT. Dan, bagi kita yang diberi nikmat sehat semoga bisa memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk menjemput ridho Alloh SWT. Aamiin yaa Robbalaalamiin.[*]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Apakah Besar Kecil Pahala Suatu Amalan Tergantung dari Niatnya?

Sebagian kita terkadang terlalu fokus pada amal yang kita lakukan dan terlalu fokus pada hasil akhir dari amal tersebut. Terkadang juga kita lupa memperhatikan niat kita dan meluruskan niat kita yaitu hanya ingin mencari wajah Allah dan ridha-Nya.

Perhatikan bahwa pahala amal itu bukan hanya tergantung pada banyaknya amal saja tetapi lebih bergantung pada niat dan keikhlasan seseorang. Amal yang besar bisa jadi kecil karena niat yang kurang ikhlas dan sebaliknya, amal yang kecil jadi besar karena niat yang sangat ikhlas.

Ibnul Mubarak berkata,

رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية

“Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar (pahalanya) karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena sebab niat.” (Al-Jami’ Ulum wal Hikam)

Contohnya adalah amalan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pahala amal mereka lebih besar daripada amal yang kita lakukan, padahal amal kita lebih banyak dan lebih besar secara dzahir. Dimisalkan emas sebesar gunung Uhud yang kita infakknya, tidak bisa menyamai pahala satu mud bahkan setengah mud emas yang para sahabat infakkan.

Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

”Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti Gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, yang dinilai oleh Allah bukanlah banyaknya amal semata, tetapi siapa yang paling baik amalnya yaitu paling ikhlas dan paling baik dalam menunaikannya.

Allah berfirman,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk : 2)

Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan bahwa yang paling baik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar amalnya sesuai sunnah. Beliau berkata,

أخلصه وأصوبه . وقال : العمل لا يقبل حتى يكون خالصا صوابا ، الخالص : إذا كان لله ، والصواب : إذا كان على السنة

“(Maksud ayat adalah) Yang paling ikhlas dan paling benar amalnya, ia juga berkata: Amal tidak akan diterima sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas yaitu hanya untuk Allah. Benar yaitu jika sesuai dengan sunnah.” (lihat Tafsir Al-Baghawi)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita dalam hadits yang agung dan terkenal tentang pentingnya niat dalam amal. Beliau bersabda,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah selalu menjaga niat kita karena menjaga niat bukanlah hal yang mudah sehingga kita hendaknya selalu memohon kepada Allah dan meminta bantuan-Nya agar selalu ikhlas dalam niat dan beramal.

Sufyan Ats-Tsauri berkata,

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي ؛ لأنها تتقلب علي

“ Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak-balik.” (Jami’ Al-‘ulum wal hikam hal. 18)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43838-apakah-besar-kecil-pahala-suatu-amalan-tergantung-dari-niatnya.html

[Humor Sufi] Ustaz, di Surga Ada Rokok Gak?

UNTUK yang masih pada merokok, ini ada kabar baik. Tadi sehabis kuliah subuh, ada yang bertanya ke pak ustaz.

Jemaah: “Maaf, ustaz, saya mau tanya. Di surga ada rokok gak?”

Ustaz: “Ada..”

Jemaah: “Alhamdulillah, lega benar hati ini rasanya dengar jawaban ustaz.”

Ustaz: “Tapi,”

Jemaah: “Kenapa ustaz?”

Ustaz: “Sayang di surga tidak ada api, jadi kalo mau nyalain rokok, ya jalan dikit… ke NERAKA”

[Humor Sufi]

INILAH MOZAIK

Hanya Aku dan Kamu Saja yang Masuk Surga

Al-Imam Abul Qasim Hibatullah bin Al-Hasan bin Manshur Ath-Thabari Al-Lalikai rahimahullah (wafat 418 Hijriah) mengkisahkan:

“Ada dua orang Khawarij yang sedang thawaf di Kabah, lalu salah satu dari keduanya berkata kepada temannya: “Tidak ada yang masuk surga dari semua makhluk ini selain aku dan kamu saja”.

Temannya bertanya kepadanya (dengan penuh keheranan): “Surga yang luasnya seluas langit dan bumi dibangun hanya untuk aku dan kamu saja?”

Temannya menjawab: “Iya”.

Maka temannya itu berkata (dengan jengkel atas pemahaman yang sempit tersebut): “Kalau begitu untuk kamu saja!” Dan ia-pun meninggalkan pemikiran Khawarij.”

[Syarah Ushul Itiqad Ahlis Sunnah Wal Jamaah 8/ 1307]

Lucu, sedih, miris, tragis dan berbagai perasaan lainnya campur jadi satu membaca kisah diatas.

Sungguh bahaya merasa paling benar sendiri seakan surga milik pribadi dan kelompoknya saja.

Terlalu banyak ayat-ayat Alquran yang memerintahkan kita untuk membuka telinga, mata dan hati atau akal pikiran, serta mencela siapa saja yang menutup telinga, mata dan hati atau akal pikirannya.

Masihkan kita memilih untuk terpenjara oleh akal pikiran kita yang sempit? [kajianislam]

Tujuh Nasihat Ulama Untuk Kita

BERIKUT ini ada tujuh nasihat indah dari para ulama agar kita terhindar dari sifat sombong, suka meremehkan orang lain, dan sifat ujub, bangga diri serta merasa lebih baik dari orang lain.

1. Apabila kita berjumpa anak-anak, kita katakan dalam diri kita, anak ini lebih mulia dari saya karena ia belum dibebani dosa.

2. Apabila kita berjumpa orang yang usianya lebih muda dari kita, kita katakan dalam diri kita, orang ini lebih mulia dari saya karena tentu dosanya lebih sedikit dari saya.

3. Apabila kita berjumpa orang yang usianya lebih tua dari kita, kita katakan dalam diri kita, orang ini lebih mulia dari saya karena telah beribadah kepada Allah lebih lama dari saya.

4. Apabila kita berjumpa orang jahil, kita katakan dalam diri kita, orang ini lebih mulia dari saya karena ia berbuat dosa atas dasar kejahilan dan ketidakmengertiannya, sedangkan saya berbuat dosa dalam keadaan memiliki ilmu dan mengerti.

5. Apabila kita berjumpa orang alim, kita katakan dalam diri kita, orang ini lebih mulia dari saya karena didalam dadanya penuh ilmu.

6. Apabila kita berjumpa orang jahat, janganlah kita merasa lebih mulia darinya, akan tetapi kita katakan dalam diri kita, boleh jadi orang ini akan bertobat di kemudian hari sehingga menjadi orang yang baik, sedangkan saya belum tahu bagaimana akhir kehidupan saya nanti.

7. Apabila kita bertemu orang kafir, kita katakan dalam diri kita, belum tentu orang ini kafir selamanya, boleh jadi ia mendapat hidayah dan kemudian masuk Islam.

Demikianlah tujuh nasehat indah dari para ulama, semoga Allah hindarkan kita dari sifat sombong, suka meremehkan orang lain, dan sifat ujub, bangga diri serta merasa lebih baik dari orang lain, aamiin.

Semoga bermanfaat.

Hamba Allah yang selalu berharap petunjuk, ampunan dan kasih sayangNya, juga selalu berdoa dan berharap mati husnul khotimah diatas Islam dan Sunnah.

[@AbdullahHadrami]

 

INILAH MOZAIK