Rufaidah, Perawat Muslimah Pertama yang Dipercaya Rasulullah

Pada masa Nabi Muhammad SAW masih gencar menyebarkan agama Allah, hiduplah seorang perawat Muslimah pertama dalam sejarah Islam. Ia mendedikasikan hidupnya untuk memberikan sentuhan kemanusiaan dan perawatan bagi mereka yang membutuhkan.

Dalam karya milik Muhammad Hamid Muhammad, Shuwar min Hayat al-Shahabiyyat, disebutkan nama Shahabiyah ini adalah Rufaidah binti Sa’ad Bani Aslam al-Khazraj. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Rufaidah al-Aslamiyyah. Al-Aslamiyyah, panggilan itu sendiri, dinisbatkan kepada marganya, Aslam, klan dari suku Khazraj di Madinah.

Rufaidah lahir di Madinah pada 570 M. Ia dikenal pandai membaca, menulis, serta kaya raya. Ia termasuk kaum Anshar, golongan pertama penganut Islam di Madinah. Perempuan yang meninggal dalam usia 62 tahun ini mempelajari ilmu keperawatan saat ia membantu sang ayah yang seorang dokter.

Dari ayahnya ini lah, ia mendapatkan banyak ilmu mengenai keperawatan. Pengabdian Rufaidah sangat besar. Ia ikut membantu saat terjadi Perang Badar, Uhud, Khaibar, dan Khandaq. Dengan keahlian yang ia miliki, membuat ia merasa terpanggil sebagai sukarelawan bagi korban luka perang dan diizinkan oleh Nabi untuk membantu.

Tak lupa, Rufaidah mendiri kan rumah sakit lapangan untuk membantu para mujahid yang terluka saat berperang. Bahkan, Rasulullah SAW memberikan instruksi kepada para prajurit yang terluka agar dirawat oleh Rufaidah saja. Ia pun melatih beberapa kelompok wanita untuk menjadi perawat dan membantunya mera wat para prajurit perang.

Ia hidup pada abad pertama Hijriyah. Muslimah ini digambarkan sebagai sosok perawat teladan, baik, dan bersifat empati. Ia seorang pemimpin, organisatoris, juga mampu mengerahkan dan memotivasi orang lain. Ia tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam aspek klinis semata, tapi juga melaksanakan peran komunitas.

Ia tak segan memecahkan masalah sosial yang dapat meng akibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Sosoknya kini dianggap sebagai perawat kesehatan masyarakat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam.

Selain itu, ia dikenal sebagai pelopor adanya pembagian waktu kerja atau shift yang berlaku di rumah sakit atau puskesmas saat ini. Ini terjadi awalnya keti ka perang terjadi agar para korban dapat ditangani dengan baik dan tuntas, Rufaidah membagi jadwal para perawat yang ditunjuk untuk membantunya menjadi dua shift, yaitu shift malam dan shift siang. Di antara para korban yang dirawat Rufaidah hingga sembuh adalah Sa’ad bin Mu’adz. Ia terluka dan tertancap panah di tangannya saat Perang Khandak.

Rasulullah pun menyuruh orang-orang untuk membawanya ke Rufaidah. Di tenda Rufaidah itu, kesembuhan Sa’ad dipantau se tiap pagi dan sore. Atas jasanya itu, Rasulullah memberinya bagian ganimah sama seperti bagian laki-laki, meskipun keterlibatannya dalam peperangan hanya sebagai perawat.

Konstribusi Rufaidah merambah sebagai aktivis sosial. Dia selalu terdepan dalam melakukan pembelaan kepada kaum miskin, anak yatim, atau penderita cacat mental. Dia merawat anak yatim dan memberikan bekal pendi dikan. Ia juga memberikan perawatan bagi orang dengan gangguan jiwa.

Rufaidah digambarkan memiliki kepribadian yang luhur dan empati tinggi sehingga memberikan pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasiennya de ngan baik pula. Bagi Rufaidah, sentuhan sisi kemanusiaan ada lah hal yang penting bagi perawat sehingga perkembangan sisi tek nologi dan sisi kemanusiaan (human touch) mesti seimbang.

Dia juga merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit (preventive care) dan menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan. Dalam sejarah Islam dicatat beberapa nama yang bekerja bersama Rufaidah, seperti Ummu Ammara, Aminah binti Qays al- Ghifariyat, Ummu Ayman, Safiyat, Ummu Sulaiman, dan Hindun. Dan, beberapa wanita Mus lim yang terkenal sebagai pera wat, di antaranya Ku’ayibat, Aminah binti Abi Qays al-Ghi fari, Ummu Atiyah al-Ansariyat, Nusaibat binti Ka’ab al-Mazi niyat, dan Zainab dari kaum Bani Awad yang ahli dalam penyakit dan bedah mata.

KHAZANAH REPUBLKA

Dakwah Cinta Abdullah bin Yasin

DA’I ini, tidak begitu masyhur di kalangan umat Islam Indonesia, namun peran dan kontribusinya begitu luar biasa. Ia berdakwah sama sekali tanpa menggunakan kekerasan.

Cara-cara persuasif dalam berdakwah, lebih menjadi titik tekannya. Dakwahnya dipenuhi dengan semangat cinta. Tak ayal lagi, dakwah yang dibawanya kemudian begitu berkah hingga mengislamkan lebih dari dua puluh negara Afrika. Sosok karismatik dan berpengaruh itu dalam sejarah yang hidup pada abad keempat ini dikenal dengan nama Abdullah bin Yasin.

Dr. Ragib Sirjani (Sejarahwan Muslim Mesir) dalam salah satu silsilah kuliahnya: Qorōrun Jarī`un (keputusan fenomenal) menyampaikan sisi menarik dari dai cemerlang ini. Sebelum diajak berdakwah di klan Sonhaji  yang masih masuk dalam kategori wilaya Barbar, ia sebenarnya sudah memiliki majlis ta`lim sendiri. Muridnya begitu banyak. Namun menariknya, ketika Yahya bin Ibrahim al-Judali memohon kepada Abu Imran al-Fasyi, untuk didatangkan da`i untuk kabilahnya yang banyak terjadi kemaksiatan dan pelanggaran keagamaan.

Kemudian, dimintalah Abdullah bin Yasin untuk berdakwah di tempat Yahya bin Ibrahim al-Judali, kepala suku dari Klan Judali. Keputusan Abdullah bin Yasin untuk berdakwah di kabilah Judalah sudah sedemikian bulat, sehingga ia rela menginggalkan keluarga dan murid-muridnya.

Berdakwalah Abdullah bin Yasin dalam kabilah Judalah. Kabilah Judalah meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun kemungkaran acap kali terjadi. Setelah dulu Daulah Fathimiyah pernah menguasai wilayah Afrika Utara, banyak sekali pemahaman-pemahaman menyimpang yang menyebar luas di kalangan penduduk Afrika, akibatnya Islam yang benar, lambat laun semakin memudar.

Penduduk kabilah Judalah sudah terbiasa menenggak minuman keras, nikah lebih dari empat, kemaksiatan dilakukan dengan secara terbuka tanpa ada satu pun yang menegur mereka. Inilah yang membuat Yahya bin Ibrahim al-Judali meminta seorang da`i yang hanif untuk mengingatkan mereka.

Dakwah Abdullah bin Yasin tak berjalan mulus. Para pemuka kaum dan penduduk yang sudah terbiasa berbuat maksiat, merasa terancam dengan kehadiran Abdullah bin Yasin. Pada puncaknya, akhirnya Abdullah bin Yasin dan Yahya bin Ibrahim al-Judali diusir dari kampung durjana itu.

Pasca diusir, keluarlah Abdullah bin Yasin dengan kesedihan yang luar biasa. Dalam perjalanan, Abdullah bin Yasin berhenti sejenak, ia berpikir tidak boleh menyerah dengan kondisi yang ia hadapi. Kalau kembali lagi ke daerah asalnya, maka kabilah Judalah dan Lamtunah akan semakin jauh dari pemahaman Islam yang benar. Ia tidak mau itu terjadi. Bagaimana ia akan mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan Allah, ketika membiarkan mereka berada dalam kubangan kemaksiatan.

Akhirnya ia membuat keputusan penting, yang kemudian menempatkanya dalam posisi agung sebagai da`i teladan. Menghadapi penentangan keras dari kabilah Judalah tidak membuat hatinya ciut, semangatnya tak pernah surut. Menariknya sikap kasar yang diperolehnya dari kabilah Judalah tidak membuatnya bersikap reaksioner dengan cara mendatangkan para murid dan rekan-rekannya dari daerah asalnya untuk menaklukkan kabilah Judalah dengan kekerasan.

Ia sama sekali tidak menggunakan kesempatan itu, meskipun sebenarnya ia mempunyainya. Ia justru memilih dakwah penuh cinta. Keputusan terakhirnya ia pergi ke daerah pedalaman di selatan Muritania, dan di situ ia membuat tenda. Dari tenda itu ia mengirim surat kepada orang-orang yang menerima dakwahnya di kabilah Judalah. Akhirnya mereka pun bergabung dengan Abdullah bin Yasin. Dalam tenda itulah dimulai sepak tejang monumental dakwahnya. Selama tiga belas tahun ia berdakwah akhirnya sampai mendapat seribu orang pengikut.

Tak puas hanya sampai di situ, akhirnya kepala suku Lamtunah, yang masih termasuk cabang dari Klan Shonhaji, ia ajak untuk bergabung dengannya. Kepala Suku Lamtunah yang bernama Yahya bin Umar al-Lamtuni sangat tertarik dengan dakwah Abdullah bin Yasin yang begitu santun dan penuh cinta. Dalam waktu semalam akhirnya mengajak kabilahnya untuk mengikuti dakwah Abdullah bin Yasin.

Dalam waktu semalam sekitar enam ribu penduduk Lamtunah, akhirnya mengikuti dakwah Abdullah bin Yasin. Sekarang jumlahnya menjadi tujuh ribu. Mereka pun menyebarluaskan dakwah Islam hingga Islam tersebar luas bukan hanya di daerah Judalah dan Lamtunah, tapi meliputi wilaya Tunis, Maroko dan alJazair dan dua puluh lebih daerah Afrika.

Ketika akhirnya Abdullah bin Yasin meninggal lantaran dibunuh oleh kaum pagan, dakwahnya kemudian diteruskan oleh Abu Bakar bin Umar al-Lamtuni (saudara dari Yahya bin Ibrahim al-Lamtuni). Bersama pamannya yang bernama Yusuf bin Tasyfin, akhirnya dakwah penuh cinta disebarluaskan kembali. Hasilnya sungguh luar biasa. Dalam waktu yang tidak sampai empat puluh tahun, wilayah Afrikan utara dan beberapa wilayah Afrika yang lain, kembali kepada jalan Islam yang hanif.

Pada puncaknya, nanti berdirilah daulah Murobithun (diambil dari kata ribhat yang berarti tali kemah. Kata ini diambil dari kegiatan awal Abdullah bin Yasin yang memulai dakwahnya di tenda). Daulah Murobithun adalah termasuk daulah Islam yang fenomenal, dan mampu menyatukan daulah Islam di Spanyol. Berangkat dari dakwah seorang Abdullah bin Yasin yang mengutamakan cinta dan teladan yang baik, akhirnya berkembang menjadi sebuah daulah yang kuat.

Kita bisa menemukan fenomena yang sama di Indonesia, ketika pada abad ke tiga belas, penduduk di seluruh pesisir Jawa bagian utara masuk Islam. Di antara penyebabnya ialah atas jasa Wali Songo yang berdakwah dengan penuh keteladanan dan cinta. Pada zaman sekarang, kita berharap semoga bermunculan da`i-da`i seperti itu, sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seantero alam. Wallahu a`lam bi al-shawab.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULAH

Kekuatan Cinta Kasih dalam Dakwah

CINTA kasih, kelembutan dan akhlak mulia adalah di antara kekuatan signifikan dalam kesuksesan berdakwah. Dalam surah Ali Imran, ada potongan ayat yang menandaskan:

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali-Imran [3]: 159)

Dengan sangat jelas, pada ayat tersebut ada pesan penting mengenai sejauh mana peran kasih sayang, cinta dan kelembutan bagi penerimaan orang terhadap dakwah Nabi. Jika beliau dalam menjalankan misinya menggunakan pendekatan represif, maka akan ditinggalkan oleh komunikan dakwah.

Syeikh Sa’dy dalam “Taisīr al-Karīm al-Rahmān” (2000: 154) memberikan catatan penting setelah menafsirkan ayat tersebut. Katanya, “Akhlak mulia adalah bagian primer dalam agama. Dengan menjalankannya, akan menarik hati orang pada agama Allah dan membuat mereka senang padanya. Selain itu, pelakunya pun mendapat pujian serta pahala khusus (dari Allah). Sementara akhlak tercela, bisa membuat orang lari dari dan murka pada agama. Pelakunya pun akan mendapat celaan dan sanksi khusus.”

“Jika Rasul saja dinasehati Allah dengan demikian,” lanjut Sa’dy, “maka (sebagai umatnya) bukankah kita lebih wajib meneladani akhlak mulia beliau dalam berinteraksi dengan manusia. Dengan menjalankan sikap lemah lembut, akhlak luhur dan hati simpatik, itu adalah bagian dari ketaatan kita dalam menjalankan perintah Allah dan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Bila dilihat dalam sejarah hayat Nabi Muhammad ﷺ, dalam menyampaikan pesan dakwah, kasih sayang dan cinta kasih selalu menjadi andalan. Selama dua puluh tiga tahun berdakwah, bagian yang paling menonjol dari dakwah beliau adalah kasih sayang.

Interaksi luhur itu terus beliau jalankan meski terkadang di lapangan harus mendapat perlakuan kasar dari komunikan dakwahnya.  Sebagai contoh, beliau pernah dilempari batu oleh penduduk Tha`if hingga kakinya bersimbah darah. Perbuatan mereka tentu membuat murka Allah, dan ditawarkan kepada beliau bahwa mereka akan dihancurkan dengan gunung. Namun, dengan akhlak mulia beliau malah berujar, “Ya Allah, anugerahkanlah hidayah kepada kaumku; sesungguhnya mereka tidak tau.” Kata-kata bersejarah itu menunjukkan betapa tinggi kasih sayang beliau dalam berdakwah.

Saat Pembebasan Mekah pun, sebenarnya Nabi memiliki kesempatan untuk menghabisi orang-orang musyrik dan kafir yang selama ini menyakiti dan menyebarkan berita miring seputar beliau. Pada waktu itu mereka sudah menjadi tawanan. Namun apa yang keluar dari lisan suci beliau, “Sekarang adalah hari kasih sayang, bukan hari pembantaian. Pergilah kalian, sekarang kalian bebas.” Beliau meneladani sikap luhur Nabi Yusuf yang memaafkan kesalahan-kesalahan saudaranya yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 92.

Bilapun beliau harus menggunakan cara-cara yang tegas seperti jihad di medan perang, namun semua itu tak lepas dari bingkai kasih sayang. Setelah dakwah-dakwah penuh cinta kasih dan lembut sudah tidak berguna, malah umat Islam diserang, maka alternatif terakhir –setelah semua cara lembut sudah dikerahkan—adalah mempertahankan diri dan jihad.

Perang di sini tentu tidak bisa dipahami secara serampangan sebagaimana tuduhan orang-orang orientalis yang menyatakan bahwa Islam disebar dengan pedang. Perlu diingat bahwa perang dalam Islam itu ada syarat-syarat dan adab-adab yang menggambarkan kasih sayang Islam. Dalam peperangan, umat Islam dilarang membunuh anak-anak, perempuan, orang tua renta, pemimpin agama, merusak tanaman, memutilasi dan lain sebagainya.

Catatan sejarah tersebut menunjukkan bahwa umat Islam dalam berdakwah senantiasa mengedepankan cinta kasih dan kelembutan. Namun, jika mereka diserang, maka mereka adalah orang yang paling siap mengorbankan jiwanya untuk didedikasikan di jalan Allah.

Contoh lain adalah Abdullah bin Yasin. Dalam waktu semalam –dengan dakwah berbasis cinta– sekitar enam ribu penduduk Lamtunah masuk Islam, dan mengikuti dakwahnya. Berkat dakwah beliau banyak sekali wilayah Afrika yang kemudian memeluk Islam, hingga kemudian berdiri Daulah Murabithun.

Rupanya, cara itu juga yang digunakan musuh Islam untuk mengalahkan umat Islam. Setelah berabad-abad kemudian, ketika sudah lelah dalam pertempuran Salib yang mendapat resistensi perlawanan hebat dari umat Islam, maka tokoh-tokoh mereka menggunakan cara lemah lembut untuk menaklukkan umat Islam.

Perhatikan kata-kata veteran Perang Salib, Peter The Venerable, “Aku menyerangmu bukan sebagaimana sebagian dari kami (orang-orang Kristen) sering melakukan, dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan, namun dengan akal: bukan dengan kebencian, namun dengan cinta.” (Adnin, 2005: 22)

Senada dengan Venerable, seorang misionaris legendaris Henry Martyn menyatakan, “Saya datang menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta.” (Adian, 2005: XXVII)

Langkah ini ditempuh karena mereka merasa gagal dalam perang Salib ketika menggunakan kekuatan senjata. Maka kemudian mereka menggunakan kata, logika dan cinta. Akhirnya, muncullah kemudian gerakan orientalis dan diakonia yang kemudian lebih efektif dibandingkan dengan cara represif.

Bukankah masuknya Islam ke Indonesia juga dengan damai dan penuh cinta kasih, sehingga, bisa merebut simpati dan hati masyarakat sekitar? Demikianlah kekuatan dakwah dengan cinta yang harus digalakkan oleh setiap dai agar rahmat Islam bisa menyebar ke seantero alam.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Masuk Surga dan Neraka karena Seekor Lalat

IMAM Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya yang berjudul Az Zuhud, menuliskan sebuah riwayat yang sampai kepada sahabat Salman Al Farisi.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ada seorang lelaki yang masuk surga gara-gara seekor lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat.”

Mereka, para sahabat, bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?”

“Ada dua orang lelaki,” jawab Rasulullah, “yang melewati suatu kaum yang memiliki berhala.”

Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban (memberikan sesaji) sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, “Berkorbanlah!”

Ia pun menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.”

Mereka mengatakan, “Berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat!”

Ia pun berkorban dengan seekor lalat, sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan. Karena sebab itulah, ia masuk neraka.

Mereka juga memerintahkan kepada orang yang satunya, “Berkorbanlah!” Ia menjawab, “Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allah azza wa jalla.”

Akhirnya, mereka pun memenggal lehernya. Karena itulah, ia masuk surga.

Demikianlah keadaan dua orang manusia yang nasibnya berbeda karena salah satunya berujung di neraka selama-lamanya, dan yang lainnya berujung di surga selama-lamanya. Padahal, keduanya sebelumnya adalah sama-sama seorang Muslim.

Manusia, seringkali menganggap remeh masalah bahaya syirik. Padahal seseorang bisa saja terjerumus dalam kesyirikan sedangkan ia tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut syirik yang menyebabkan dia terjerumus dalam neraka nantinya.

Oleh karena itu, sahabat Anas berpitawat, “Kalian mengamalkan suatu amalan yang disangka ringan, namun kami yang hidup di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganggapnya sebagai suatu petaka yang amat besar.” []

 

 

Bertemu Dajjal

Ombak besar tiba-tiba menggulung dengan dahsyatnya. Langit amat suram karena awan mendung menutupinya. Angin bertiup amat kencang hingga para pelaut kewalahan menangani layar kapal mereka. Jika mereka selamat, itu takdir Tuhan.

Begitulah mereka hanya bisa pasrah meski terus mencoba bertahan untuk tetap hidup. Mereka berjumlah 30 orang dari Bangsa Arab, tepatnya dari Kabilah Lakhm dan Judzam. Tamim Ad-Dari, nama pemimpin mereka.

Saat sinar mentari menerpa, betapa tak terkira kebahagian yang mereka dapat. Kapal masih utuh meski banyak kayu yang rompal. Layar pun tetap berkibar meski telah banyak robekan. Yang paling membahagiakan, mereka semua selamat. Namun, kebahagiaan itu hanya sekejap ketika mereka menyadari bahwa di sekeliling mereka sejauh mata memandang hanyalah air, air, dan air.

Setelah satu bulan terombang ambing di tengah lautan, betapa girang hati mereka melihat sebuah pulau. Mereka pun segera merapat ke satu-satunya daratan di luasnya samudra biru. Saat senja mulai tenggelam ditelan laut, mereka pun telah mencapai daratan tersebut.

Mengejutkan, Tamim dan kawan-kawan disambut binatang mengerikan yang bulunya sangat lebat. Kepala dan ekornya tak jelas karena saking lebatnya bulu yag menutupi seluruh tubuh binatang itu. “Binatang apa kamu ini?” tanya Tamim ketakutan.

Binatang itu pun ternyata mampu berbicara, “Aku adalah al-Jassasah,” jawabnya. Semakin ngerilah Tamim dan kawanannya. Mereka pun berbisik-bisik apa itu al-Jassasah. Belum terjawab pertanyaan itu, binatang tersebut berkata lagi. “Kalian pergilah ke kuil di sana, temuilah seorang pria karena sungguh ia sangat menanti berita dari kalian,” ujar al-Jassasah sembari menunjukkan arah.

Rombongan Tamim pun tak kuasa menolak. Meski bulu kuduk mereka berdiri, mereka tetap melangkahkan kaki menuju kuil yang dimaksud. “Bagaimana jika yang akan kita temui adalah setan?” ujar seorang rombongan. Namun, Tamim tetap menuju kuil itu.

Betapa terkejut mereka, ternyata di dalamnya terdapat seorang laki-laki super besar yang dibelenggu. Kedua tangannya diikat dengan lehernya, lutut dan pergelangan kakinya juga diikat. Bukan ikatan biasa, ikatan itu terbuat dari besi yang sangat kuat, mustahil menghancurkannya, kecuali atas izin Allah. Laki-laki raksasa itu berambut keriting dengan mata kiri buta. Di dahinya tertulis abjad arab “kaf”, “fa”, dan “ra”, atau jika disambung menjadi “kafir”.

“Sungguh betapa celaka kamu, makhluk macam apakah kamu ini?” tanya Tamim. Laki-laki bertubuh sangat besar itu pun menjawab, “Kalian sesungguhnya telah tahu tentang aku maka beritakanlah kepadaku siapa kalian ini?” ujarnya.

“Kami adalah orang-orang Arab, kami menaiki kapal, namun mendapati gelombang luar biasa sehingga kami terdampar di pulaumu ini. Kami pun bertemu Al-Jassasah, lalu hewan itu meminta kami menuju kemari,” kata Tamim secara ringkas.

Pria itu pun kembali bertanya, “Kabarkan kepadaku mengenai pohon-pohon kurma di Baisan!” Tamim dan rombongan pun bertanya tak mengerti, “Tentang apa kau bertanya pohon di sana?”

Pria terbelenggu itu menjawab, “Tentang pohon kurmanya, apakah masih berbuah?”

Mereka pun menjawab, “Ya.”

Pria itu pun menjawab, “Sungguh sebentar lagi pohon-pohon itu tak akan lagi berbuah. Lalu, kabarkanlah kepadaku tentang Danau Thabariyyah (Tiberia)!”

Mereka pun kembali bertanya, “Tentang apa kau bertanya danau itu?”

Pria buta sebelah itu menjawab, “Apakah danau itu masih berair?”

Tamim dan kawan-kawan menjawab, “Ya, danau itu memiliki banyak air.

Lagi-lagi si pria menjawab tentang masa depan. “Sungguh sebentar lagi danau itu akan kering. Lalu, kabarkanlah kepadaku tentang mata air Zugharl!”

Mereka bertanya lagi rinciannya, “Tentang apa kau bertanya mata air Zugharl?”

Pria besar namun pendek itu menjawab, “Apakah mata air itu masih mengalirkan air? Dan, apakah penduduknya masih bertani dengan memanfaatkan air itu?”

Rombongan Tamim menjawab, “Ya, mata air itu sangat deras dan penduduk bertani dengannya.”

Tiga pertanyaan belum membuat pria itu puas. Rupanya, ia telah terbelenggu ratusan tahun sehingga tak tahu lagi kabar perkembangan zaman. Ia pun melanjutkan pertanyaan meminta kabar dari Tamim dan pengikutnya. “Kabarkan kepadaku tentang nabi yang ummi, apa yang ia lakukan?” tanya pria besar jelek itu.

Mereka pun memahami bahwa yang ditanyakannya adalah perihal Nabi Muhammad yang saat itu tengah diutus. Tamim merupakan seorang Nasrani. Saat itu, ia belum mendapatkan hidayah menuju Islam. Ia pun menjawab, “Ia telah muncul dari Makkah dan tinggal di Yatsrib (Madinah),” ujarnya.

“Apakah orang-orang Arab memeranginya?” tanya laki-laki raksasa tanpa daya dengan tangan kaki terikat kencang.

“Ya,” jawab Tamim dan teman-temannya.

“Apa yang ia (Muhammad) lakukan terhadap orang Arab? Apakah ia telah menang atas mereka dan membuat mereka taat? Apakah itu telah terjadi?” tanya pria “kafir” itu lagi.

“Ya,” ujar mereka.

Pria besar itu pun mengakhiri pertanyaan. Ia kemudian memberikan kabar mengejutkan, “Sungguh baik bagi mereka yang taat kepadanya (Rasulullah). Aku beritakan kepada kalian siapa aku. Aku adalah al-Masih (ad-Dajjal). Sebentar lagi aku akan mendapat izin keluar dan berjalan di muka bumi. Tidak akan kutinggalkan satu negeri pun, kecuali aku lewati dalam waktu 40 malam, kecuali Makkah dan Tha’ibah (Madinah), dua kota itu haram bagiku memasukinya. Setiap kali aku ingin memasuki dua kota itu, malaikat menghadangku dengan pedang terhunus. Mereka menghalangiku masuk ke dua kota itu. Sungguh di setiap celah dua kota tersebut ada para malaikat yang menjaganya,” ujar pria besar yang ternyata Dajjal ini.

Usailah pertemuan rombongan Tamim dengan Dajjal. Mereka tak percaya bertemu dengan pria mengerikan itu. Apalagi, telah banyak berita Rasulullah yang mengabarkan bahwa salah satu tanda hari kiamat, yakni munculnya Dajjal.

Sepulang di tanah Arab, Tamim segera bertemu Rasulullah dan mengisahkan perjalanannya. Ia pun segera menyatakan diri memeluk Islam. Rasulullah sangat gembira mendengar pengalaman Tamim yang luar biasa. Pengalaman itu pun segera dikabarkan Rasulullah. Ia mengumpulkan umatnya di dalam masjid. Rasulullah kemudian mengisahkan perjalanan Tamim.

Kisah Masyithah, Tukang Sisir Putri Firaun

Mesir ribuan abad silam menjadi saksi sejarah kehidupan seorang wanita yang hatinya dipenuhi keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Saat itu tanah piramida dikuasai Firaun yang bengis. Ia memaksa seluruh rakyat Mesir menyembahnya.

Allah telah mengutus Nabi Musa untuk menyelamatkan Bani Israil dari kekejaman sang raja. Namun, Firaun teramat kejam hingga mereka yang beriman begitu takut untuk memperlihatkan keimanannya kepada Allah. Salah satu yang menyembunyikan keimanan tersebut yakni seorang wanita bernama Masyithah beserta keluarganya.

Masyithah merupakan salah satu pelayan istana Firaun. Ia bertugas sebagai tukang sisir putri Firaun. Sejak bertahun-tahun silam, keluarga Masyithah setia melayani istana. Ketika agama Ibrahim disampaikan Musa di tanah Mesir, mereka mengimaninya. Namun, tak ada yang tahu keimanan Masyithah, termasuk sang majikan.

Hingga suatu hari, tibalah saat Allah menguji keimanan Masyithah dan keluarganya. Saat itu Masyithah tengah menyisir rambut putri Firaun. Tiba-tiba sisir di tangannya jatuh dan tanpa sadar asma Allah keluar dari lisan Masyithah. “Allah!” seru Masyithah spontan.

Mendengarnya, putri Firaun sontak kaget. Ia pun segera menginterogasi Mayithah, siapakah Allah itu. Jika Allah itu Tuhan, maka berarti Masyithah siap dihukum mati karena telah menentang Firaun, ayahnya.

Masyithah tak juga menjawab pertanyaan sang putri. Keringat dingin menderas tubuhnya, ketakutan menderu hatinya. “Siapa Allah itu? Mengapa kau tak menjawab! Apakah kau punya Tuhan selain ayahku?” seru sang putri. Masyithah terus bungkam, namun sang putri terus mendesaknya. Hingga keberanian pun datang dari diri Masyithah. Ia tahu betul, inilah saatnya keimanan hendak diuji Allah.

“Allah adalah Tuhanku, Tuhan ayahmu, dan Tuhan seluruh alam,” jawab Mayithah tegas.

Mendengarnya, sang putri pun segera beranjak dari tempat duduknya menuju kediaman sang ayah. Ia segera melaporkan apa yang baru saja didengarnya dari lisan Masyithah. Sementara Masyithah mengabarkan kepada keluarganya untuk bersiap diri mendapat hukuman Firaun.

Firaun marah bukan kepalang ketika mendengar kabar dari sang putri. Ia pun segera memanggil Masyithah ke hadapannya. Tanpa keraguan, Masyithah pun pergi memenuhi panggilan raja.

“Apa kau meyembah sesuatu selain aku?” tanya Firaun dengan suara menggelegar, seluruh istana dibuat takut dengan amarahnya. Namun tanpa gentar, Masyithah menjawab ringan, “Ya, saya menyembah Allah. Allah Tuhanku, Tuhanmu, dan Tuhan segala sesuatu,” kata Masyithah.

Geram, Firaun pun menyuruh pengawalnya untuk mengikat Masyithah kemudian menaruh seekor ular besar di hadapannya. Namun, Masyithah tak bergidik.  Bertambah marahlah emosi Firaun. Ia pun segera memanggil tangan kanannya, Hamman, untuk mengeksekusi mati keluarga Masyithah.

Hamman kemudian segera mengumpulkan beberapa pengawal untuk menangkap Masyithah dan keluarganya. Ia pun kemudian memerintahkan pengawal lain untuk membuat lubang besar untuk diisi air panas layaknya kawah bara dari gunung api. Ia bermaksud merebus hingga mati Masyithah dan keluarganya.

Tibalah hari eksekusi, rakyat dikumpulkan untuk menyaksikan peristiwa sadis, hukuman ala Firaun. Masyithah bersama sang suami dan empat orang anak termasuk satu bayi yang digendongnya telah berada di sana, siap menghadapi hukuman keji tersebut.

Mereka melihat kubangan besar berisi air mendidih yang siap melepuhkan tubuh mereka. Namun, hati mereka tak gentar dengan siksaan dari seorang manusia. Mereka memilih beriman kepada Allah, Tuhan seluruh manusia.

Sebelum dilempar ke air mendidih, mereka ditanya oleh Hamman apakah masih akan terus mengimani Allah dan enggan menuhankan Firaun. Namun, jawaban mereka selalu sama acap kali ditanya, “Allah adalah Tuhanku, Tuhan Firaun, dan Tuhan seluruh alam. Kami akan terus beriman kepada Allah sekalipun harus terjun ke kawah mendidih”.

Maka, bulatlah keputusan Hamman untuk memasak mereka hidup-hidup dalam kubangan air yang mendidih. Suami Masyitahlah yang pertama kali mendapat giliran. Tubuhnya langsung dilalap air yang mendidih, tinggal seonggok daging gosong tak bernyawa. Melihat eksekusi keji tersebut, Hamman terbahak-bahak dan terus menghina orang-orang yang beriman kepada Allah.

Masyithah terus di atas ketegarannya mengimani Allah. Setelah sang suami, giliran anak-anaknya. Satu per satu, mereka dipaksa masuk ke air mendidih yang apinya menjilat-jilat. Semuanya dilakukan di hadapan Masyithah. Hingga tinggallah tersisa Masyithah dan seorang anaknya yang masih bayi. Ia menggendong bayi itu erat-erat. Hatinya masih tegar diatas agama Allah. Maka, diseretlah ia dan bayinya mendekati air yang teramat panas itu.

Ketika hampir memasuki kubangan air, tiba-tiba syetan membisikkan keraguan di dalam hatinya. Keraguan dengan merasa sedih dan kasihan pada sang bayi yang belum sempat tumbuh dewasa melihat dunia, bayi yang baru lahir tanpa dosa.

Masyithah pun menghentikan langkahnya menuju ajal, ia terus saja memandangi bayinya yang merah dengan perasaan sedih yang mendalam. Melihatnya, Hamman sempat berpikir Masyithah akan mencabut kata-katanya dan akan kembali menuhankan Firaun. Ia pun girang karena merasa ancamannya pada Masyithah berhasil.

Namun, pikiran Hamman salah. Masyithah tak pernah sedikit pun melepaskan keimanannya pada Allah. Lalu dengan kehendak Allah, sang bayi tiba-tiba berkata kepada ibunya, “Wahai ibu, jangan takut, sesungguhnya Surga menanti kita,” ujar bayi yang digendongnya. Mendengarnya, kembalilah ketegaran dan keberanian Masyithah. Ia pun mencium anaknya. Kemudian, masuklah keduanya ke dalam air yang mendidih. Masyithah dan keluarganya mengakhiri hidup mereka dengan berpegang teguh pada akidah.

Kisah Masyithah disebut dalam sebagian hadis Rasulullah tentang Isra mi’raj yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dan Thabrani. Hadis tersebut datang dari Hammad bin Salamah dari Atha’ bin Saib. Dalam perjalanan Isra Mi’raj ke Masjidil al-Aqsa,  Rasulullah melewati sebuah daerah yang aromanya sangat harum semerbak seperti harum kasturi.

Rasulullah pun bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, aroma harum apakah ini?” Jibril pun menjawab, “Ini adalah harum Masyithah, tukang sisir putri Firaun,” Rasulullah pun kembali bertanya, “Apa gerangan kelebihan Masyithah?” maka Jibril pun mengabarkan kisah Masyithah kepada Rasulullah yang kurang lebihnya telah dikisahkan di atas.

Islam Digest Republika

Menjaga Niat dalam Beramal

ORANG yang ikhlas akan tetap bersungguh-sungguh dalam beramal, tidak terpengaruh apakah ia sedang sendirian ataukah sedang berada di keramaian.

Tetapi jikalau amal yang dilakukan secara terang-terangan itu dilandasi niat supaya orang lain mendapatkan hikmah, maka in syaa Allah akan bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.

Sahabat yang baik, marilah kita terus melatih diri kita untuk peka membaca perubahan isi hati ketika beramal. Sehingga kita semakin terlatih untuk menjaga keikhlasan kita.

Setiap amal bergantung kepada niatnya. Semoga kita tergolong hamba-hamba Allah SWT yang senantiasa ikhlas. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [*].

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Sebaik-baik Hari yang Matahari Terbit Padanya

“SEBAIK-BAIK hari dimana matahari terbit di saat itu adalah hari Jumat. Pada hari ini Adam diciptakan, hari ketika ia dimasukan ke dalam Surga dan hari ketika ia dikeluarkan dari Surga. Dan hari Kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jumat.” (HR. Muslim)

Alhamdulillahkita dipertemukan oleh Allah dengan Hari Jum’at. Hari Jumat adalah penghulu hari dalam satu pekan. Hari Jumat pun sebuah hari istimewa, salah satu hari raya kaum muslimin. Pada hari ini, kaum muslimin menyambut dan mengisinya dengan melakukan rangkaian sunnah (kebiasaan mulia Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wasallam) yang tidak dilakukan pada selain hari Jumat.

Betapa mulianya hari ini, sehingga banyak berlimpah pahala yang bisa kita raup pada hari Jumat dengan melakukan amalan-amalan tertentu. Membaca shalawat untuk Nabi adalah sunnnah dan memperbanyak membacanya dikhususkan pada hari Jumat. Kami akan ulas beberapa amalan lain yang disunnahkan dilakukan pada sebaik-baik hari di mana matahari terbit ini.

Pakailah pakaian terbaik yang kita miliki dan wewangian untuk menuju masjid guna melaksanakan sholat Jumat berjamaah. Pakaian terbaik bukan berarti pakaian yang mahal atau baru. Namun pakaian yang sesuai tuntunan syariat sudah mencukupi.

Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam menyukai pakaian berwarna putih. Tersebut dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Pakailah pakaian putih karena pakaian seperti itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan kafanilah mayit dengan kain putih pula” (H. Abu Daud no. 4061, Ibnu Majah no. 3566 dan An Nasai no. 5325. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits inihasan). Namun tidak terlarang apabila kita memakai pakaian berwarna lain.

Kita juga disunnahkan bersegera menuju masjid. Tidak mengakhirkan mendatangi masjid untuk sholat Jumat. Karena kebanyakan orang mendatangi masjid jika khatib sudah menaiki mimbar untuk berkhutbah. Maka perhatikanlah hadits Nabi berikut ini, “Apabila hari Jumat tiba maka akan ada para malaikat di setiap pintu-pintu masjid. Mereka akan mencatat setiap orang yang datang dari yang pertama, lalu berikutnya dan berikutnya. Hingga ketika Imam telah naik di mimbarnya para malaikat pun menutup catatan-catatannya, lalu mereka ikut mendengarkan khutbah.”(HR. Bukhari 3211).

Mendengarkan khatib berkhutbah dengan tidak mengadakan kegiatan apa pun meski kecil yang mengalihkan perhatiannya dari khatib. Ini adalah sunnah Nabi yang mulia. Dalam hal ini, yang cocok dan sesuai assunnah bagi takmir masjid adalah tidak mengedarkan kotak infak saat khutbah berlangsung. Hendaknya kotak infak diedarkan sebelum imam atau khatib naik mimbar. Jamaah pun tidak terganggu dan mengadakan kegiatan bila tidak disela kotak infak.

Ada satu waktu pada hari mulia ini yang mustajab untuk berdoa pada saatnya. Dari hadits yang ada, pendapat terkuat adalah bada ashar. Oleh karena itu hendaknya kita memperbanyak memanjatkan ampunan dan permintaan/doa pada hari Jumat bada ashar. Rasulullah shalallaahu alaihi wasallam bersabda, Pada hari Jumat terdapat dua belas jam (pada siang hari), di antara waktu itu ada waktu yang tidak ada seorang hamba muslim pun memohon sesuatu kepada Allah melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah ia di akhir waktu setelah Ashar. (HR. Abu Dawud).

Mari kita berusaha agar bisa mengamalkan sunnah (kebiasaan) Nabi yang mulia ini. Sehingga kita bisa meraup pahala yang banyak di hari terbaik dalam satu pekan ini. Selamat mengamalkan sunnah Nabi pada hari ini. Semoga Allah memberkahi kita di hari yang penuh berkah ini. [*]

 

 

Beginilah Interaksi Nabi Bersama Keluarga

KETELADAN dalam berinteraksi dengan sanak keluarga dicontohkan dengan sangat baik oleh Rasulullah ﷺ. Dalam sejarah kehidupan beliau ﷺ, hubungan baik beliau bukan saja berhenti pada istri dan anaknya, bahkan kepada sanak keluarganya pun juga sangat perhatian. Pada contoh berikut, akan diungkap betapa piawainya beliau dalam berinteraksi dengan sanak keluarga.

Saat Abu Thalib kesusahan karena memiliki anak banyak dengan kemampuan finansial yang memprihatinkan, beliau dengan Hamzah berinisiatif membantunya. Waktu itu nabi Muhammad ﷺ membantu pamannya mengurusi salah satu anaknya. Dibawalah Ali bin Abi Thalib  ke rumahnya untuk diasuh supaya meringankan beban beban Abu Thalib.

Menariknya, ketika ikut bersama Nabi ﷺ , Ali deperlakukan seperti anaknya sendiri. Di rumah itu Ali sejak kecil bisa melihat keteladanan Rasulullah dalam bergaul. Tidak mengherankan jika kemudian Ali sangat berkesan dan terpengaruh dengan akhlak Nabi ﷺ. Kelak, ia menjadi yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ini adalah salah satu bentuk bagaimana kepedulian Nabi ﷺ kepada sanak familinya yang perlu diteladani.

Lebih dari itu, sampai pada menjelang kematian pun, beliau ﷺ berusaha dengan keras membantu pamannya agar pengorbanan yang selama ini dilakukan tidak sia-sia. Meski pada akhirnya Abu Thalib mati dalam keadaan kafir. Beliau pun sempat memintakan ampun, sampai pada akhirnya beliau ditegur Allah. Dialah yang memberi petunjuk, Muhammad ﷺ hanya bertugas sebagai penyampai.

Akibat dari kematian pamannya yang meninggal dalam kondisi musyrik pada tahun 10 kenabian, beliau ﷺ kesedihan luar biasa. Dalam Sirah Nabawiyah peristiwa itu biasa disebut dengan “Āmu al-Huzni” (Tahun Duka Cita) yang tiga bulan setelahnya disusul oleh isteri tercintanya: Khadijah binti Khuwailid.

Interaksi beliau ﷺ bukan saja kepada sanak keluarga dekat, di sisi lain beliau juga sangat peduli terhadap kerabat dan teman akrab istri. Setiap kali Rasulullah ﷺ menyembelih kambing, ia berkata: ‘Kirimkan sebagiannya kepada teman-teman Khadijah.’ (HR. Muslim). Padahal, Khadijah sudah meninggal dunia. Tapi, tetap saja Rasulullah ﷺ berbuat baik kepada kerabat dan teman akrabnya. Begitu pedulinya beliau kepada keluarga Khadijah, sampai-sampai ‘Aisyah pernah merasa cemburu dengannya.

Peristiwa menarik lain yang bisa diungkap di sini, selepas perang Badar, ada beberapa sanak keluarga nabi ﷺ (seperti: Abbas bin Abdil Muthalib, Abu `Āsh bin Rabi`), menjadi tawanan perang. Rasulullah ﷺ akhirnya bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar berpendapat lebih baik tawanan itu dibebaskan dengan tebusan, karena di antara mereka adalah masih saudara dan famili. Hal itu dilakukan dengan harapan Allah ﷻ memberi petunjuk mereka pada Islam. Umar berpendapat lain. Menurutnya, orang seperti mereka harus dihabis. Rasul ﷺ pun lebih condong pada pendapat Abu bakar (Maqrezi, Imtā`u al-Asmā`, 344). Ini menunjukkan, bagaimana kepedulian nabi kepada kerabatnya.

Demikian juga pasca Perang Hunain (8 H), Kabilah Hawāzin ada yang menjadi tawanan. Saat Nabi Muhammad ﷺ tahu kalau di antara mereka ada saudari sesusunya (Syaimā` binti Halimah As-Sa`diyah), yang dilakukan nabi adalah: memuliakan, melepaskan, diberikan ghanimah, dan kembali ke kampungnya dengan gembira (An-Nimri, Al-Durar fī Ikhtiṣāri al-Maghāzi wa al-Siyar, 230-231). Bayangkan! Saudara sesusu saja diperlakukan dengan sangat baik oleh Rasulullah ﷺ.

Peristiwa lain yang bisa dicatat ialah ketika nabi ﷺ hendak keluar Mekah (pasca Umrah Qadhā`, 6 H), beliau ﷺ dipanggil anak permpuan Hamzah bin Abdul Muthalib, “Paman, Paman.” (Terenyuhlah hati beliau). Berebutlah Ali, Ja`far dan Zaid bin Haritsah untuk mengasuhnya. Rasul ﷺ pun memutuskan agar ia diasuh oleh bibinya [saudara ibunya] (Abu Hasa al-Nadawi, al-Sirah al-Nabawiah, 433).

Semua itu adalah contoh kecil bagaimana perhatian nabi ﷺ kepada sanak familinya. Sebagai Rasulullah ﷺ –yang akhlaqnya digambarkan Aisyah seperti al-Qur`an—interaksi dengan sanak keluarga telah dilakukan dengan sangat baik oleh beliau. Semoga, umat Islam bisa meneladaninya.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Hikmah Sholat Berjamaah di Mesjid

DI ANTARA hikmah diwajibkannya sholat adalah agar tegak syariat agama ini. Di mana sholat adalah syariat yang agung dari agama kita. Bahkan sholat termasuk amalan mulia. Juga, sholat merupakan amalan yang menentukan nilai amalan-amalan lain kita. Siapa yang menjaga sholat, maka ia sedang menjaga agama bagi dirinya.

Bagi seorang muslim laki-laki mukim dan mampu, sholat berjamaah di masjid adalah kewajiban. Pendapat inilah pendapat terkuat dari perbedaan pendapat yang ada. Dan bila kita mau keluar dari khilafiyah tentang hukum sholat berjamaah bagi muslim laki-laki, maka memilih pendapat ini adalah sebaik-baik sikap agar kita keluar dari khilafiyah tersebut dalam kondisi mendekati kebenaran.

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (QS. Al-Baqarah 43).

Barangsiapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bila ada uzur.” (Hr. Abu Daud dan Ibnu Majah. Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa al-Ghalil no. 551)

Sahabat Abdullah bin Masud Radliyallahu Anhuma berkata, “Barangsiapa yang ingin ketika berjumpa dengan Allah esok dalam keadaan sebagai muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat 5 waktu di tempat dikumandangkan adzan (yaitu di masjid), karena Allah telah mensyariatkan bagi Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk, dan shalat 5 waktu di masjid adalah salah satu di antara sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang tidak ikut berjamaah ini, shalat di rumahnya, maka sungguh kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, dan jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, maka sungguh kalian akan tersesat. Dan sungguh aku melihat dahulu kami para sahabat, tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali orang munafiq yang sudah jelas kemunafikannya, dan sungguh dahulu ada sahabat yang dibopong ke masjid dan ditopang di antara dua lelaki agar bisa berdiri dalam shaf“. (HR. Muslim)

Sholat berjamaah di masjid bagi laki-laki adalah keutamaan yang besar. Di antaranya yang dapat kita lihat dan rasakan langsung adalah keutamaan dari sisi syiar Islam dan ukhuwah islamiyah. Coba lihat dan rasakan bagaimana suasana crowd sholat Jumat di masjid-masjid. Kaum mukminin berduyun-duyun datang ke masjid. Tidak jarang kita temui beberapa jamaah yang tidak mendapatkan shaf untuk sekedar mendengarkan khutbah khatib. Warung, kios, dan toko nyaris semua tutup, kecuali dijaga oleh kaum wanita atau pemiliknya non muslim. Jalanan pun sepi dari lalu lalang laki-laki.

Kalau pemandangan demikian juga dilihat dan dirasakan pada sholat wajib yang lain, niscaya syiar agama akan semakin terang benderang. Setiap adzan berkumandang dari menara masjid-masjid, maka setiap itu pula ratusan kaum muslimin setempat memenuhinya. Masjid ramai karena kaum muslimin yang sholat berjamaah. Masjid ramai tidak sebatas pada perayaan hari besar Islam dan kegiatan tabligh akbar saja.

Tak ayal pula ukhuwwah islamiyah akan semakin nyata, karena diawali dan dibangun dari sholat berjamaah di Masjid. Lihat dan rasakan wahai saudaraku, saat kita berdiri satu shaf padahal mungkin tidak saling kenal. Kita saling merapatkan kaki-kaki kita, kita saling merapatkan bahu-bahu kita, dan kita serempak di bawah satu komando. Apabila ini diamalkan oleh sekian ribu kaum muslimin, niscaya ini adalah awal ukhuwah islamiyah yang kokoh. Dan ini akan membuat orang-orang kafir dan munafik gentar. Karena tiada lain yang tidak mendatangi masjid karena udzur yang dibenarkan syariat, melainkan ia adalah orang kafir atau ia termasuk munafik.

Saudaraku, perhatikan masjidmu. Untuk apa ia dibangun? Untuk apa kalian infak untuk membangunnya? Untuk apa kalian bergotong royong membangunnya? Tidak lain agar kalian dan anak-anak kalian serta tetangga kalian dapat mendirikan sholat berjamaah di masjid. Sebuah masjid dibangun, niscaya diperuntukkan sholat berjamaah. Lalu, di mana akal kita bila kita bersusah payah bersama-sama membangun masjid, namun setelah masjid berdiri kita meninggalkannya? Fatabiru ya ayyuhal muslimun.

Allahu Alam.