Kesabaran Menghadapi Orang Keras Hati

LELAKI ini adalah lelaki yang luar biasa berbaktinya kepada kedua orang tuanya. Tak satupun permintaan orang tuanya ditolak, termasuk menikahi seorang wanita super manja setengah nakal yang tak lain adalah sepupunya sendiri.

Wanita yang kini menjadi isterinya itu luar biasa tuntutan hidupnya. Sang suami sabar dan terus menasehatinya. Sayangnya, kesabarannya seringkali dijadikan kesempatan oleh sang isteri untuk terus mendiktenya, nasehatnya sering pula dijadikan dasar pembenar kecerewetannya.

Andai tak ingat pesan orang tuanya, mungkin saja lelaki itu telah menceraikan wanita itu. Tak tersisa satupun dari tetangga yang tak mendukungnya untuk menceraikan wanita itu. Lelaki itu tetap sabar. Bahkan, saat si isteri mengancam untuk pergi dan tak akan kembali, lelaki itu dengan lembut berkata: “Mau pergi kemana? Sudah tak nyamankah ada di sini bersamaku? Ataukah sudah ada tempat lain yang dituju yang akan membuatmu bahagia?”

Diperlakukan secara halus ternyata tak membuat hati wanita itu menjadi halus, bahkan semakin mengkasar. Dia teriak-teriak akan pergi. Lelaki itu menunduk diam sambil mengingat kata guru psikologinya dulu bahwa orang yang mengancam-ancam akan pergi biasanya tak akan pergi. Orang yang memang kuat hati untuk pergi biasanya langsung pergi menghilang. Hilang tanpa pengantar.

Apakah teori itu berlaku untuk wanita yang satu ini? Kisahnya masih berlanjut. Wanita itu memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Foto-fotonya yang menempel di dinding diturunkan dan dimasukkan juga ke dalam koper itu. Dia berkata setengah membentak dan terisak: “Aku harus pergi hari ini juga. Jangan cegah saya.” Lelakinya berkata lembut: “Tahukah engkau jalan pergi dari sini? Ataukah harus aku antar engkau ke tempat yang ingin engkau tuju?”

Sang isteri kelihatan tertegun dengan susunan kalimat yang disampaikan sang suami. Dia mulai berpikir betapa ada kelembutan yang menjadi penghantar kalimat hingga sampai ke telinganya. Wanita itu lama menatap wajah suaminya itu. Lalu wanita itu melanjutkan menata baju di kopernya dan menguncinya rapat-rapat. Salam, AIM. [*]

 

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

Di Manakah Tempat Pertolongan itu Berada?

ADA banyak orang yang menuliskan keluhannya di media sosialnya. Harapannya adalah mendapatkan simpati, doa dan pertolongan orang lain. Ada banyak orang yang ke mana-mana bercerita kesedihan dan penderitaannya. Tujuannya sama, mencari pertolongan.

Ada banyak orang yang jelas-jelas meminta tolong kepada siapapun di banyak tempat yang tak ungkap di sini. Lalu ada pertanyaan, apakah mereka mendapatkan pertolongan seperti yang mereka harapkan? Ternyata, berdasarkan penelitian, jawabannya adalah tidak.

Mereka yang berdagang keluhan ternyata tak mendapatkan laba. Bahkan yang sering didapatkan adalah senyuman sinis dan kalimat nyinyir penuh hinaan. Karena itu berhentilah menjual derita. Derita dan musibah itu diberikan unyuk dijalani dengan penuh kesabaran. Lalu ada pertanyaan: “tak bolehkah berkonsultasi dan meminta pertolongan?” Jawabannya adalah boleh. Konsultasilah kepada orang yang tepat, bukan kepada setiap orang. Berkonsultasi kepada semua orang itu bukanlah konsultasi, melainkan berdagang keluhan.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana caranya supaya kita bisa dengan mudah menemukan tangan yang mudah menolong derita kita? Jawabannya adalah bahwa “tempat terbaik untuk menemukan tangan yang menolong kita adalah DI UJUNG TANGAN KITA SENDIRI.”

Jadikan ujung tangan kita adalah ujung tangan yang mudah bersalaman damai dengan banyak orang, jadikan ujung tangan kita adalah ujung tangan yang mudah membantu orang lain, maka kita akan mudah menemukan tangan yang akan menolong kita saat kita membutuhkan pertolongan. Salam, AIM. [*]

 

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

Bukti Awal Kehadiran Islam di Mongolia

Bukti awal mengenai keberadaan umat Islam di Mongolia diungkapkan oleh misionaris Kristen, William dari Rubruck, lewat catatan yang ia buat pada 1254. Di catatan itu dia menyebutkan bahwa di Karakorum (ibu kota kekaisaran Mongol) ketika itu terdapat sembilan buah bangunan ibadah. Tujuh di antaranya berupa kuil (kemungkinan kuil Budha, Hindu, dan Taois), sedangkan dua sisanya adalah masjid.

Sementara, menurut catatan lainnya, Jengis Khan (yang hidup antara 1162-1227) disebut-sebut mempunyai ketertarikan terhadap Islam, meskipun dia sendiri tidak pernah memeluk agama samawi tersebut hingga akhir hayatnya.

Setelah berhasil menaklukkan Afghanistan, penguasa Mongol itu sempat mengunjungi Kota Bukhara di Transoksiana pada 1222. Di sana, Jengis Khan menggali lebih banyak informasi tentang ajaran Islam dari penduduk Muslim kota itu.

“Oleh karenanya, kalangan sejarawan memperkirakan kedatangan Islam di Mongolia terjadi antara 1222 dan 1254,” tulis Dr Sajid Khakwani dalam artikelnya “Mongolia” yang dipublikasikan oleh laman Chitral Times.

Pada masa selanjutnya, cucu Jengis Khan, Berke Khan (1209 – 1266), tercatat sebagai salah satu penguasa Mongol pertama yang masuk Islam. Ia resmi mengucapkan dua kalimat syahadat setelah menerima dakwah dari Syaifuddin Darwis, seorang ulama sufi dari Khawarizm.

“Langkah Berke Khan tersebut kemudian juga diikuti oleh pemimpin-pemimpin Mongol yang lain. Mereka masuk Islam setelah menikahi perempuan Muslimah,” tulis sejarawan asal Inggris, Thomas Walker Arnold, dalam buku The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith.

Sepanjang 1330-an, tiga dari empat kekhanan utama Mongol bertransformasi menjadi kesultanan Muslim. Tiga kekhanan itu adalah Horde Emas (Ulus Jochi), Ulus Hulagu, dan Ulus Chagatai

Pribadi Jujur

SubhaanAllah walhamdulillaah walloohuakbar! Maha Suci Allah yang atas izin-Nya jantung kita masih berdetak sampai hari ini, ruh kita masih berada di dalam jasadnya sampai saat ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Saudaraku yang dirahmati Allah, kita melihat orang-orang yang menunaikan shalat banyak jumlahnya, orang-orang yang melaksanakan shaum pun banyak jumlahnya. Demikian juga orang-orang yang menunaikan ibadah haji, berbondong-bondong banyaknya setiap tahun. Namun, orang yang jujur, selalu dipertanyakan mengapa tidak sebanyak mereka jumlahnya.

Padahal jelas bahwa tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Seringkali kita senang menilai orang lain jujur, akan tetapi jarang mempertanyakan kepada diri kita sendiri sejauhmana kejujuran diri kita. Kita senang melihat orang lain jujur, kita senang diperlakukan sebagai orang yang jujur, walaupun sebenarnya kita belum tentu jujur. Kita pun senang berkumpul dan berinteraksi dengan orang yang jujur, namun apakah kita sendiri sudah menjadi orang yang jujur lagi dapat dipercaya?!

Rasulullah Saw adalah seseorang yang diberi gelar Al Amin, seseorang yang sudah terjamin kejujurannya dan terpercaya. Gelar ini diberikan oleh orang-orang di lingkungan beliau yang bahkan belum mengenal Islam. Gelar tersebut adalah gelar bagi orang yang setiap ucapannya pasti benar, setiap janji pasti ditepati, setiap amanah pasti ditunaikan dengan penuh tanggungjawab, bersih dari khianat. Inilah karakter utama yang perlu kita miliki.

Seorang muslim yang jujur adalah karena ia yakin bahwa Allah Swt senantiasa melihat dirinya, senantiasa mengetahui ucapan, perbuatan sekecil apapun yang ia ucapkan dan ia lakukan.

Sesungguhnya kebohongan itu tidak pernah berguna sama sekali. Karena sungguh Allah Swt tidak mungkin bisa kita bohongi. Allah Swt pasti tahu setiap apa yang kita lakukan. Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala isi hati. (QS. Faathir [35] : 38)

Maka dari itu, kebohongan adalah sikap yang konyol, merendahkan, mencelakakan dan menghinakan diri sendiri. Jika kita berbohong, kemudian orang lain bisa dibohongi, sebenarnya itu bukan karena kita pandai berbohong, melainkan karena Allah Swt masih menutupi perbuatan kita dan masih memberi kita kesempatan bertaubat. Dan, jikalau pada saatnya nanti Allah menghendaki untuk membukanya, sehingga terbongkarlah kebohongan kita, maka tiada apapun yang bisa menyelamatkan kita.

Saudaraku, jikalau kebohongan yang kita terbongkar, maka kehormatan kita akan rubuh. Kepercayaan kepada kita pun akan sirna. Sekali kebohongan kita terbongkar, maka akan sulit untuk dipercaya lagi.

Sungguh, dicaci gara-gara kita jujur, itu jauh lebih baik daripada dipuji karena kita tidak jujur. Allah Maha Tahu siapa di antara hamba-hamba-Nya yang jujur, dan Allah berikan rasa tenang, sakiinah di dalam hatinya, sehingga dihina, dikucilkan, dipojokkan seperti apapun, dia akan tetap tenang karena Allah bersamanya.

Sebaliknya, bagi orang yang tidak jujur, sekalipun orang-orang di sekitarnya memujinya, mendukungnya, namun Allah tidak ridho, maka Allah akan cabut rasa tenang di dalam hatinya. Sehingga ia akan diliputi rasa gelisah, cemas, gundah gulana di tengah sanjungan orang. Ia sangat takut suatu saat nanti kebohongannya terbongkar. Padahal kebohongan itu serapat apapun menutupnya, cepat atau lambat niscaya akan terbuka juga.

Apa artinya kekayaan, jabatan, kedudukan, jika didapatkan dengan jalan ketidakjujuran? Apa artinya semua itu jika hanya mendatangkan kegelisahan, ketidaktenangan? Semua itu semu belaka, tidak mendatangkan kebahagiaan, malah akan mendatangkan malapetaka di dunia dan di akhirat. Naudzubillahi mindzalik!

Semoga kita termasuk orang-orang yang jujur. [smstauhiid]

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

 

Valentine’s Day dan Kesyirikan

VALENTINES Day sering melekat dalam ingatan anak muda pada setiap 14 Februari. Seorang muslim tentu generasi yang tidak hanya ikut-ikutan, namun seorang muslim adalah generasi yang menegakkan sikapnya dengan ilmu. Generasi yang menjadikan wahyu ilahiah sebagai pijakan dalam mengarungi kehidupan.

Ada apa di balik Valentines Day yang banyak manusia menjadikannya sebagai hari kasih sayang internasional? Dalam pandangan Islam, perayaan seperti ini tidak lepas dari syirik dan kemungkaran lainnnya. Dari literasi yang ada, terungkap kesyirikan perayaan Valentines Day.

Valentines Day tidak dapat dipisahkan dari sejarah Rowami kuno berkaitan dengan upacara kesyirikan mereka. Sehingga apabila kita merayakan hari tersebut, maka kita secara sadar atau tidak sadar terlibat dalam praktek kesyirikan. Ya, kita merayakan kesyirikan. Dan kesyirikan adalah penyakit yang sangat fatal dan membinasakan dalam agama islam.

Allah Azza Wa Jalla berfirman, Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi (Qs. Az Zumar: 65).

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebab turunnya ayat ini, Para salaf menyebutkan sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dan lainnya, dari Ibnu Abbas radhiallahuanhu, bahwasanya kaum Musyrikin dengan kejahilan mereka, mengajak Rasulullah shallallahualaihi wasallam untuk beribadah kepada sesembahan mereka bersama mereka (Tafsir Ibnu Katsir).

Imam Ath Thabari rahimahullah menafsirkan, maksudnya, jika engkau berbuat syirik terhadap Allah wahai Muhammad, maka akan terhapus amalanmu. Dan engkau tidak akan mendapatkan pahala, juga tidak mendapatkan balasan, kecuali balasan yang pantas bagi orang yang berbuat syirik kepada Allah (Tafsir Ath Thabari).

Allah sediakan balasan bagi yang berbuat syirik. Firman Allah, Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisa: 48). Allah tidak akan mengampuni dosa syirik pelaku, bila ia menemui Allah dalam keadaan belum bertaubat.

Inginkah anda terlibat wahai pemuda muslim dalam acara yang bernuansa kesyirikan yang tidak dapat terpisahkan dari sejarah upacara kesyirikan? Tentu tidak. [*]

 

INILAH.COM

Uzbekistan, Di Sinilah Lahir Sang Legenda Perawi Hadis

Uzbekistan merupakan rahim yang melahirkan banyak ulama besar dalam sejarah peradaban Islam.

Di antaranya Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi di bidang hadits, Imam Nasafi dan Imam Zamakhsyari di bidang tafsir, Imam Maturidi di bidang teologi, Ibnu Sina dalam bidang kedokteran dan filsafat, serta al-Khawarizmi di bidang matematika.

Di Nusantara, tidak mudah untuk menelusuri jejak ulama Uzbekistan karena referensi dan datanya sangatlah minim.

Namun, yang jelas ulama Uzbekistan disebut memiliki kontribusi besar dalam memperkuat rancang bangun dakwah di Nusantara, khususnya di tanah Jawa.

Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ), Muchlis M Hanafi mengatakan, memang belum ada indikasi kuat tentang jaringan langsung antara ulama Uzbekistan dan Indonesia.

Karena, menurut dia, ulama yang masuk ke Nusantara didominasi oleh ulama dari Timur Tengah.

“Tetapi sesungguhnya ulama-ulama Uzbekistan itu adalah mereka yang telah memberikan kontribusi besar dalam peradaban Islam, termasuk di Nusantara,” ujar Muchlis saat ditemui Republika.co.id di sela-sela acara seminar bertema “Jejak ulama Uzbekistan di Nusantara” di Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal, TMII, Jakarta Timur, Kamis (7/2).

Ia mencontohkan seperti halnya Imam Bukhari. Menurut dia, kitab karangan Imam Bukhari sangat popoler di Indonesia.

Selain itu, nama Bukhari juga kerap digunakan untuk menamai orang Indonesia karena pengaruh ulama Uzbekistan.

Begitu juga dengan nama Ibnu Sina juga sering digunakan untuk menamai bayi ataupun tempat.

“Orang kita yang nama Bukhari itu kanbanyak sekali. Orang tidak sadar kalau itu sebenarnya berasal dari nama tempat di Uzbekistan,” ucapnya.

Ia mengatakan, banyak jejak-jejak ulama Uzbekistan lainnya yang seakan hilang di Nusantara, sehingga melalui seminar tersebut pihaknya mencoba untuk menemukan kembali jejak itu dan merangkai kembali hubungan yang terputus.

“Misalnya ada artefak makam seperti di Tuban itu Asmorokondi. Itu dari kata Samarkand. Itu yang diurai dalam seminar ini,” kata Muchlis.

KHAZANAH REPUBLIKA

Orang yang Bangkrut

Suatu riwayat menyebutkan, Rasulullah pernah berdiskusi dengan para sahabatnya tentang definisi orang yang merugi.

“Tahukah kalian siapa orang yang bang krut?” tanya Rasul SAW. Para sahabat berpendapat, orang bangkrut adalah mereka yang tidak mempunyai dirham maupun dinar.  Ada juga yang berpendapat mereka yang rugi dalam perdagangan.

Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah mereka yang datang pada Hari Kiamat dengan banyak pahala shalat, puasa, zakat, dan haji. Tapi di sisi lain, ia juga mencaci orang, menyakiti orang, memakan harta orang (secara bathil), menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Ia kemudian diadili dengan cara membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang pernah dizaliminya. Ketika telah habis pahalanya, sementara masih ada yang menuntutnya maka dosa orang yang menuntutnya diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).

Hadis ini mengubah cara pandang para sahabat tentang kerugian yang sebenarnya bukanlah persoalan harta, melainkan amal ibadah. Amal ibadah tak bernilai apa-apa, kecuali diikuti dengan amal sosial.

Pahala menggunung tak ada artinya tanpa diikuti dengan akhlak yang baik. Baiknya pemahaman agama seseorang dibuktikan dengan baiknya akhlak dan perilaku. Rasulullah pernah bersabda, “Kebanyakan yang menjadikan manusia masuk surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” (HR Ahmad).

Sebagaimana kisah berangkat haji seorang tabi’in, Ali bin Muwaffaq. Dari 60 ribu jamaah haji yang datang ke Tanah Suci, hanya haji Ali bin Muwaffaq seorang yang mabrur. Padahal, sebenarnya ia tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Ali menemukan satu keluarga yang kelaparan dalam perjalanan hajinya da ri Damaskus. Ia pun membatalkan perjalanan hajinya dan memberikan bekalnya kepada orang yang kelaparan itu.

Kisah masyhur yang ditulis Abdullah bin Mubarak ini mengisyaratkan, tak ada artinya ibadah sehebat apa pun tanpa peduli dengan kondisi sosial. Betapa banyak mereka yang pulang pergi ke Tanah Suci, namun tetangganya sendiri berada dalam kesusahan. Apa artinya seorang Muslim be rangkat haji dari lingkungan yang melarat dan kelaparan.

Ibadah haji sebagai rukun Islam terakhir menjadi ibadah tertinggi di sisi Allah. Tak ada balasan yang lebih pantas bagi seorang yang mendapatkan haji ma brur, kecuali surga. Namun pada ke nyataannya, kepedulian sosial jauh lebih mahal harganya dari ibadah individual. Menyakiti orang lain bisa menghapuskan nilai ibadah yang telah susah payah di perjuangkan.

Kepedulian seorang Ali bin Muwaffaq telah menuntunnya mendapatkan haji mabrur. Kendati tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci, ia diberikan ha diah haji mabrur dari Sang Khaliq. Memperlihatkan akhlak yang baik merupakan bukti kesempurnaan ibadah seseorang.

Allah SWT tak menginginkan hasil, Ia hanya melihat prosesnya saja. Proses perjalanan haji seorang Ali bin Muwaffaq telah memperlihatkan akhlak yang agung. Itulah alasannya ia mendapatkan balasan yang baik dari perjalanan hajinya. Rasulullah SAW dikenal sebagai orang yang paling baik akhlaknya. Lisannya tak pernah menghardik apalagi menyakiti orang lain. Sikap dan tindak tanduk Beliau senantiasa disukai, baik kawan maupun lawan. Tak pernah Rasulullah melukai siapa pun.

Baiknya hubungan vertikal kepada Allah SWT harus dipadu dengan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Keindahan Islam terlihat dari keagungan akhlak para penganutnya. Mereka yang dilembutkan hatinya (muallaf) terbuka untuk menerima Islam sebagai agamanya kebanyakan karena melihat keindahan akhlak yang dituntunkan Islam.

Mengucap dan Menjawab Salam

Interaksi sosial di dalam masyarakat membuat laki-laki dan perempuan bertemu. Bagi seorang Muslim, saat bertemu tentu mengucapkan salam satu sama lain. Bagi perempuan, adakah ketentuan mengenai mengucapkan salam ini? Bolehkah mereka mengucapkan dan menjawab salam kepada laki-laki dan sebaliknya?

Ada pandangan berbeda mengenai hal ini. Suatu ketika, Shaleh Ahmad Asy-Syaami mengatakan, saat para sahabat Nabi Muhammad kembali dari shalat Jumat, mereka bertemu seorang perempuan tua di tengah perjalanan. Lalu, mereka mengucapkan salam kepada perempuan tersebut.

Setelah itu, si perempuan memberi mereka makanan yang terbuat dari akar bit dan gandum. Keterangan ini berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari. Menurut Shaleh dalam bukunya, Berakhlak dan Beradab Mulia, inilah langkah yang benar dalam mengucapkan salam kepada perempuan.

Artinya, hanya mengucapkan salam kepada perempuan yang sudah tua dan perempuan yang mempunyai ikatan muhrim. Ia juga mengutip kitab Jami karya Imam Tirmidzi yang menceritakan bahwa pernah Rasulullah lewat dekat sekelompok perempuan, beliau memberikan isyarat dengan tangan sambil mengucapkan salam.

Cerita yang sama tercantum dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Asma binti Yazid. Shaleh mengungkapkan, dari dua hadis itu intinya sama, yaitu Rasulullah mengucapkan salam kepada sekelompok perempuan dan memberikan isyarat tangan kepada mereka.

Sementara itu, Yusuf al-Qaradhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer menjelaskan, jika memperhatikan keterangan yang menyuruh menyebarkan salam, itu tak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Rasulullah, melalui hadis yang diriwayatkan Muslim, memerintahkan untuk menyebarkan salam di antara umat Islam.

Jika saling menyebarkan salam ini dilakukan umat Islam, di antara mereka akan saling mencintai. “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan lebih baik atau balaslah dengan yang serupa,” demikian bunyi Surah An-Nisa ayat 86.

Al-Qaradhawi mengatakan, pada dasarnya perintah dalam surah itu ditujukan bagi laki-laki dan perempuan secara keseluruhan. Maka itu, ujar dia, jika ada seorang laki-laki memberikan penghormatan (mengucapkan salam) kepada seorang perempuan, perempuan itu harus menjawabnya dengan lebih baik atau serupa.

Sebaliknya, jika seorang perempuan mengucapkan salam kepada laki-laki, laki-laki tersebut harus menjawabnya. Baik dengan jawaban salam lebih panjang atau serupa dengan salam yang diucapkan si perempuan. Lebih jauh, ada riwayat lain mengenai perempuan yang mengucapkan salam kepada laki-laki.

Dalam Sahih Bukhari, diriwayatkan bahwa Ummu Hani binti Abu Thalib, saat penaklukan Kota Makkah pergi menemui Rasulullah. Sesampai di tempat tujuan, ternyata Rasulullah sedang mandi dan Fatimah, putri Rasul, sedang menutup tempat mandi beliau dengan tabir. Rasul bertanya, “Siapakah itu?”

Ummu Hani menyampaikan kepada Rasul bahwa dialah yang datang. Kemudian, Rasulullah berkata, “Selamat datang Ummu Hani.” Al-Qaradhawi mengungkapkan, hal ini juga diriwayatkan oleh Muslim. Ia menambahkan, Imam Bukhari membuat bab tersendiri dalam kitab sahihnya, Bab Taslimir-Rijal alan Nisa wan Nisa alar-Rijal.

Dalam pandangan al-Hafizh Ibnu Hajar, dengan judul bab semacam itu Imam Bukhari menyampaikan isyarat, dia menolak riwayat Abdur Razaq dari Ma’mur dari Yahya bin Katsir, yang menyatakan telah sampai kabar kepadanya bahwa Rasulullah tidak menyukai laki-laki memberi salam kepada perempuan dan sebaliknya.

Menurut al-Qaradhawi, ada periwayatan dari sebagian sahabat, yakni laki-laki boleh memberi salam kepada perempuan sedangkan perempuan tak boleh memberi salam kepada laki-laki. Namun, pandangan ini ditolak oleh hadis Ummi Hani di atas yang menjelaskan ia mengucapkan salam kepada Rasul saat tahun penaklukan Kota Makkah.

Padahal, Ummu Hani dan Rasulullah bukanlah muhrim. Karena Ummu Hani adalah putri pamannya, berarti mereka berdua adalah saudara sepupu. Dan, pada suatu hari, jelas al-Qaradhawi, Rasul pernah akan menikahi Ummu Hani.

KHAZANAH REPUBLIKA

Inilah Hari Kasih Sayang dalam Islam

Di kalangan muda mudi, Februari identik dengan bulan cinta dan kasih sayang. Tidak mengherankan mereka bersuka cita menyambutnya, sebab pada tanggal 14 adalah hari kasih sayang yang dikenal dengan hari Valentine atau Valentine’s Day.

Ada beberapa pendapat mengenai sejarah munculnya hari valentine ini. Yang pasti, hari ini diambil dari nama seorang pendeta bernama Santo Valentine yang rela dipenjara karena ia tetap pada pendiriannya menyembah Isa Al-Masih (Yesus) dan menolak untuk menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Karena pengorbanannya itulah sehingga tanggal 14 diresmikan sebagai hari kasih sayang.

Valentine’s Day merupakan budaya masyarakat Barat. Di hari tersebut, khusunya muda mudi, saling bertukar cokelat, kado, dan lainnya sebagai bentuk dan tanda cinta kasih pada pasangannya. Memang tidak selalu pada kekasih atau pacar, bisa diungkapkan ke orangtua, saudara, dan lainnya. Akan tetapi, tetap saja makna utamanya adalah ungkapan cinta pada kekasih. Tak bisa dipungkiri, budaya Barat ini kemudian menular dan menjangkiti masyarakat Timur yang notabene bermayoritaskan Muslim. Tak terkecuali di Indonesia, negara yang 80 persen lebih penduduknya beragama Islam. Padahal ikut latah merayakan Hari Valentine bisa berdampak pada aqidah seorang Muslim.

Yang disayangkan, ketika disampaikan bahwa tradisi ini bukan bagian dari ajaran Islam, mereka mengatakan apakah salah mengungkapkan cinta dan mengucapkan “Happy Valentine’s Day” dengan memberi sepotong cokelat, kado, atau setangkai mawar pada orang yang dikasihi dan cintai pada Hari Valentine? Salahkah meperingati tragedi cinta? Terlebih kita tidak mau dikatakan ketinggalan zaman! Pada akhirnya mereka menganggap bahwa Islam adalah agama yang tidak mengapresiasi cinta, kolot, dan ketinggalan zaman. Benarkah?

Islam Menjunjung Cinta
Islam adalah agama yang menjunjung cinta pada tingkat yang tinggi. Bahkan cinta menjadi pondasi dan dasar keimanan seseorang. Sabda Nabi, “Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”  Begitu pula ketika seseorang datang kepada Nabi Muhammad melaporkan bahwa ia mencintai seorang saudaranya tapi ia belum mengungkapkannya. Maka Nabi pun menyuruhnya agar mengatakan kepada saudaranya itu bahwa ia mencitainya. Demikian Sang qudwah mengajarkan kita. Islam juga menganjurkan umatnya untuk saling memberi hadiah agar rasa cinta dalam hati tumbuh dan berkembang. Tidak mengenal waktu, kapanpun cinta boleh diungkapkan.

Ketika pertama kali tiba di Madinah, dalam peristiwa hijrah, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, terlebih dahulu mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dari Mekah dan orang-orang Anshar yang merupakan penduduk asli Madinah. Meskipun mereka tidak terikat hubungan darah, tapi iman dan Islamlah yang membuat mereka bersaudara. Begitu kuatnya cinta di antara mereka hingga Sa’ad bin Rabi’ dari kalangan Anshar berkata kepada saudaranya dari kalangan Muhajirin, Abdurrahman bin ‘Auf, “Ambillah separuh hartaku. Aku juga mempunyai dua istri. Maka pilihlah yang engkau mau, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya telah habis, maka kawinilah ia!” Masya Allah. Bisa dikatakan, hari dipersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar inilah hari kasih sayang yang sesungguhnya. Cinta Sa’ad yang sangat besar pada saudaranya hingga menawarkan salah seorang dari istrinya. Hal yang sangat sulit dilakukan oleh siapapun juga. Tapi, itulah cinta dan kasih sayang yang sangat besar pada saudaranya karena Allah.

Bahkan mereka lebih mempedulikan kondisi saudara mereka ketimbang diri mereka sendiri. Allah sebutkan dalam Alqur’an: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9). Demikian Islam mengajarkan cinta dan kasih sayang.

Islam sangat memahami cinta. Karena itu Islam menganjurkan pernikahan. Bahkan hingga level  emergency atau wajib bagi yang sudah mampu. Itu adalah fitrah dan Islam tidaklah bertentangan dengan fitrah manusia. Ia bukanlah ajaran yang mengharamkan cinta dalam bingkai pernikahan seperti kependetaan dalam kekristenan.

Islam Punya Identitas Sendiri
Berkaitan dengan hari Valentine, Islam jelas tidak membolehkan penganutnya untuk merayakan hari tersebut. Islam sebagai sebuah agama dan peradaban, sangat tidak menginginkan umatnya meniru budaya buruk yang lahir dari luar, dalam hal ini adalah Barat. Seharusnya Islamlah yang memberi contoh dan menjadi teladan bagi budaya lain. Ketika kiblat umat Islam masih menghadap ke Baitul Maqdis yang juga merupakan kiblat umat Yahudi, Nabi Muhammad selalu berdoa kepada Allah agar umat Islam memiliki kiblat sendiri. Allah lalu mengabulkannya dan memindahkan kiblat ke Masjidil Haram di Mekah.

Juga pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan hari Asyura, Rasulullah memerintahkan umat Islam berpuasa pada tanggal 9 atau 11 Muharram, hal itu dilakukan tidak lain agar umat Islam berbeda dengan umat Yahudi yang juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram sebagai rasa syukur diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah. Demikian pula ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallammelihat orang-orang Madinah bermain dan bersuka ria pada dua hari yang dahulu di masa jahiliyah mereka juga bersuka cita di dua hari itu. Melihat hal tersebut, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (HR. Abu Dawud)

Sikap Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas adalah perlawanan terhadap tradisi dan budaya orang-orang di luar islam. Ia menginginkan umat Islam memiliki identitas dan budaya sendiri, tidak ikut latah dan mengekor pada umat lain yang memiliki nilai berbenturan dengan nilai Islam. Dan yang terpenting adalah sabda Nabi yang sangat terkenal, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia menjadi bagian dari mereka.” Hal ini merupakan peringatan bagi mereka yang suka mengikuti dan menyerupai kaum lain. Cukuplah Islam sebagai identitas dan budaya kita, lalu katakan ‘tidak’ untuk valentine’s day!

Oleh Ustadz Mahardy Purnama