Apakah Maksiat Membatalkan Puasa?

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang asalnya mubah tidaklah sempurna sampai seseorang meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa yang melakukan yang haram disertai mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah, maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu beralih mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang yang bermaksiat tetap dianggap sah dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ puasanya menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus (seperti makan, minum dan jima’) dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Menjauhi berbagai hal yang dapat membatalkan puasa, hukumnya wajib. Sedangkan menjauhi hal-hal selain itu yang tergolong maksiat termasuk penyempurna puasa.”
Mulla ‘Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.”

Diketik ulang dari buku Panduan Ramadhan 2010 karya Muhammad Abduh Tuasikal, hal 54-55.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11150-apakah-maksiat-membatalkan-puasa.html

Berbuka Puasa di Pesawat Terbang

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan 1:

Di bulan Ramadhan, take off sebagaian penerbangan itu di waktu adzan maghrib, sehingga kami (bisa) berbuka puasa ketika masih di bandara. Setelah pesawat take off dan posisi pesawat semakin tinggi dari permukaan bumi, kami menyaksikan bulatan matahari dengan jelas. Apakah kami menahan diri dari makan dan minum, atau kami menyempurnakan buka puasa kami di pesawat terbang?

Jawaban:

Jangan menahan diri dari makan dan minum (artinya, teruskan buka puasa di pesawat, pen.), karena Engkau telah berbuka puasa sesuai dengan tuntutan dalil syariat, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

Jika malam telah datang dari sisi sebelah sini (beliau berisyarat ke arah timur), dan ketika siang telah pergi dari sisi sebelah sini (beliau berisyarat ke arah barat), dan matahari telah tenggelam, maka telah masuk waktu berbuka bagi orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1954)

Pertanyaan 2:

Di bulan Ramadhan, kami melakukan safar. Di tengah-tengah perjalanan, kami menjumpai waktu malam. Kami masih berada di pesawat di udara. Apakah kami berbuka puasa ketika bulatan matahari tidak terlihat di hadapan kami atau apakah kami berbuka sesuai dengan waktu di negeri (daerah) yang kami berada di atasnya?

Jawaban:

Engkau berbuka puasa ketika melihat matahari sudah tenggelam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَا هُنَا، وَجَاءَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika matahari tenggelam dari sisi sebelah sini [1], dan malam datang dari sisi sebelah sini [2], maka telah masuk waktu berbuka bagi orang yang berpuasa” (HR. Muslim no. 1101).

Pertanyaan 3:

Jika ada mendung, dan kami berpuasa, lalu bagaimana kami berbuka ketika di pesawat?

Jawaban:

Jika menurut sangkaan kuatmu bahwa matahari sudah tenggelam, maka berbukalah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berbuka puasa pada suatu hari di kota Madinah, dan ketika itu ada mendung. Kemudian ternyata masih terlihat matahari setelah mereka berbuka puasa. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menahan diri dari makan dan minum, dan tidak memerintahkan mereka untuk mengganti puasa di hari itu (artinya, puasa di hari itu tetap sah, pen.) (HR. Bukhari no. 1959, diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu Ta’ala  ‘anha). [3]

[Selesai]

***

Diselesaikan di pagi hari yang cerah, Bornsesteeg NL, 25 Sya’ban 1439/ 12 Mei 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

 

Catatan kaki:

[1]     Yaitu di arah barat.

[2]    Yaitu di arah timur.

[3]    Diterjemahkan dari: I’laamul Musaafiriin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, hal. 77-78 (pertanyaan nomor 103, 104 dan 105).

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/39640-berbuka-puasa-di-pesawat-terbang.html

Mengapa Rasulullah Tidak Tarawih Berjamaah Sebulan Penuh?

Apakah Disyariatkan Tarawih Sebulan Penuh?

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah disyariatkan shalat tarawih secara berjamaah di bulan Ramadan? Mengapa Nabi Shallallahualaihiwasallam tidak shalat tarawih secara berjamaah secara terus-menerus?”.

Beliau menjawab:

Abu Muhammad Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:

المختار عند أبي عبد الله فعلها في الجماعة، قال في رواية يوسف بن موسى: الجماعة في التراويح أفضل. وإن كان رجل يُقتدى به فصلاَّها في بيته خفت أن يقتدي الناس به، وقد جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم: “اقتدوا بالخلفاء”. وقد جاء عن عمر أنه كان يُصلي في الجماعة، وبهذا قال المزني، وابن عبد الحكم، وجماعة من أصحاب أبي حنيفة، قال أحمد: كان جابر وعلي وعبد الله يصلونها في جماعة

“Pendapat yang valid dari Abu Abdillah (Imam Ahmad) adalah disyariatkannya shalat tarawih secara berjamaah. Diriwayatkan juga dari Yusuf bin Musa bahwa Imam Ahmad berkata: ‘secara berjamaah itu lebih utama’. Jika ada orang yang ingin meniru Nabi shallallahu’alaihiwasallam dengan shalat tarawih di rumah karena alasan khawatir orang-orang mengikutinya, maka terdapat hadis dari Nabi shallallahu’alaihiwasallam bahwa beliau bersabda: ‘teladanilah para Khulafa Ar-Rasyidin‘. Terdapat hadis dari Ibnu Umar bahwa beliau melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah. Ini juga dikatakan oleh Al-Muzanni, Ibnu Abdil Hakam, dan sejumlah ulama Hanafiyah. Imam Ahmad juga mengatakan: ‘Jabir, Ali dan Abdullah, mereka shalat tarawih secara berjamaah’” [selesai perkataan Ibnu Qudamah].

Adapun hadis yang marfu tentang hal ini, terdapat dalam Shahih Muslim, dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:

صلى النبي، صلى الله عليه وسلم، في المسجد ذات ليلة، فصلى بصلاته ناس، ثم صلى من القابلة، وكثر الناس، ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أوالرابعة، فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم، فلما أصبح قال

قد رأيت الذي صنعتم، فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أنني خشيت أن تفرض عليكم وذلك في رمضان

“Nabi shallallahualaihiwasallam shalat di masjid pada suatu malam. Maka orang-orang pun shalat bermakmum kepada beliau. Kemudian kabilah-kabilah pun ikut shalat bersama beliau, sehingga jumlahnya sangat banyak. Kemudian pada malam yang ketiga atau keempat mereka sudah berkumpul di masjid, namun Rasulullah shallallahualaihiwasallam tidak keluar. Ketika pagi hari tiba beliau bersabda: ‘Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, tidaklah ada yang menghalangi aku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian’. Itu ketika bulan Ramadan”.

Dan juga dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata:

“Suatu ketika Rasulullah shallallahualaihiwasallam keluar. beliau melihat orang-orang shalat (tarawih) di masjid pada bulan Ramadan. Nabi bertanya: ‘apa yang mereka lakukan?’. Seseorang menjawab: ‘mereka adalah orang-orang yang tidak punya Al-Qur’an, dan Ubay bin Ka’ab shalat mengimami mereka’. Nabi bersabda: ‘mereka melakukan hal yang benar, dan sungguh itu merupakan sebaik-baik perbuatan’” (HR. Abu Daud).

Terdapat hadis juga dalam Shahih Muslim, dari ‘Aisyah radhiallahu’anha:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، خرج من جوف الليل، فصلى في المسجد، فصلى رجال بصلاته، فأصبح الناس يتحدثون بذلك، فاجتمع أكثر منهم، فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم، في الليلة الثانية، فصلوا بصلاته، فأصبح الناس يذكرون ذلك، فكثر أهل المسجد من الليلة الثالثة، فخرج فصلوا بصلاته، فلما كانت الليلة الرابعة عجز المسجد عن أهله، فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فطفق رجال منهم يقولون: الصلاة، فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم، حتى خرج لصلاة الفجر، فلما قضى الفجر أقبل على الناس، ثم تشهد، فقال

“أما بعد فإنه لم يخف عليَّ شأنكم الليلة، ولكني خشيت أن تُفرض عليكم صلاة الليل، فتعجزوا عنها”

“Rasulullah shallallahualaihiwasallam keluar di tengah malam, kemudian shalat di masjid. Kemudian beberapa orang sahabatpun bermakmum kepada beliau. Di pagi hari, orang-orang membicarakan hal tersebut. Sehingga berkumpullah orang yang banyak (di masjid). Kemudian Rasulullah shallallahualaihiwasallam keluar lagi untuk shalat di malam yang kedua, orang-orangpun bermakmum kepada beliau. Di pagi hari, orang-orangpun membicarakan hal tersebut. Sehingga bertambah banyaklah orang-orang di masjid pada malam yang ketiga. Kemudian Rasulullah shallallahualaihiwasallamkeluar lagi untuk shalat dan orang-orangpun bermakmum kepada beliau. Di malam yang keempat, masjid tidak lagi bisa menampung orang-orang dan Rasulullah shallallahualaihiwasallam belum juga keluar, hingga datang waktu subuh baru beliau keluar. Setelah selesai shalat subuh Nabi menghadap kepada orang-orang (untuk berkhutbah), beliau membaca syahadat, lalu berkata: ‘amma ba’du, apa yang kalian lakukan tadi malam tidaklah samar bagiku. Namun aku khawatir shalat malam diwajibkan atas kalian, sehingga kalian merasa tidak bisa melakukannya’”.

Rasulullah Khawatir Shalat Tarawih Menjadi Wajib

Dalam hadis-hadis ini kita ketahui bahwa Nabi shallallahualaihiwasallam shalat tarawih berjamaah bersama sebagian sahabatnya. Namun beliau tidak melakukannya terus-menerus (hingga akhir Ramadan). Alasannya adalah karena beliau khawatir shalat tarawih diwajibkan atas umat beliau. Maka setelah masa pensyariatan berakhir, Umar radhiallahu’anhu mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdurrahman bin Abidin, ia berkata:

خرجت مع عمر -رضي الله عنه- ليلة في رمضان إلى المسجد، فإذا الناس أوزاع متفرقون، يُصلي الرجل لنفسه، ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط، فقال عمر: إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل، ثم عزم فجمعهم على أُبي بن كعب

“Aku keluar bersama Umar radhiallahu’anhu pada suatu malam bulan Ramadan ke masjid. Ketika itu orang-orang di masjid shalat berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri-sendiri, ada juga yang membuat jamaah bersama beberapa orang. Umar berkata: ‘Menurutku jika aku satukan mereka ini untuk shalat bermakmum di belakang satu orang qari’ itu akan lebih baik’. Maka Umarpun bertekad untuk mewujudkannya, dan ia pun menyatukan orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab”.

Sumber: Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 24/10-11, Asy Syamilah

Penyusun: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/30408-mengapa-rasulullah-tidak-tarawih-berjamaah-sebulan-penuh.html

Bolehkah Memakai Pasta Gigi Ketika Berpuasa?

Sebagian kaum muslimin menyangka bahwa orang yang berpuasa harus menjauhi memakai pasta gigi ketika berpuasa. Ada yang berkeyakinan bahwa memakai pasta gigi hukumnya makruh dan bahkan juga yang berkeyakinan bahwa memakai pasta gigi akan membatalkan puasa.

Pendapat yang terkuat bahwa penggunaan pasta gigi tidaklah membatalkan puasa dan hukumnya boleh saja dipakai. Dianjurkan tidak berlebihan menggunakan pasta gigi. Berikut fatwa dari dewan fatwa Al-Lajmah Ad-Daimah terkait hal ini:

لا حرج في استعمال المعجون مع السواك؛ لأنه ليس من جنس الطعام والشراب، ولكن لا يبالغ في استعماله خشية من دخول شيء منه إلى الجوف

“Tidak mengapa (mubah)menggunakan pasta gigi bersama siwak karena bukan termasuk (perbuatan) makan dan minum, akan tetapi hendaknya tidak berlebihan dalam menggunakannya karena dikhawatirkan ada sedikit yang masuk ke kerongkongannya.” [Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 25/25]

Demikian juga fatwa Syaikh Bin Baz terkait penggunaan pasta gigi di bulam Ramadhan. Beliau menjelaskan,

نعم له غسله بالفرشاة والمعجون، لكن يحذر أن يذهب إلى جوفه شيء، يجتهد في بصق ما في فمه من ذلك، حتى لا يبتلع شيئًا. نعم

“Iya, boleh menggosok gigi menggunakan pasta gigi, akan tetapi hendaknya berhati-hati agar tidak masuk ke kerongkongannya sedikitpun dan bersungguh-sungguh mengeluarkan apa yang ada di mulutnya (kumur-kumur dan keluarkan) sehingga tidak tertelan sedikitpun.” [https://binbaz.org.sa/fatwas/15020]

Fakta menjelaskan bahwa sangat jarang sekali sisa pasta gigi itu masuk ke kerongkongan, karena orang yang sikat gigi pasti paham bahwa ketika mengosok gigi, sisa pasta gigi dan busanya dibuang dan kumur-kumur sampai bersih.

Hal ini mengingatkan kita mengenai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat sering melakukan siwak ketika berpuasa. Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَا لاَ أُحْصِى يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak beberapa kali hingga tidak dapat kuhitung banyaknya, meskipun saat itu beliau sedang berpuasa.” [HR. Tirmidzi no. 725]

Hadits ini yang digunakan ulama untuk menjelaskan hukum terkait pasta gigi, karena siwak juga faktanya mengandung beberapa zat yang akan tersisa di rongga mulut ketika digunakan. Seandainya ada sedikit zat siwak yang masuk, maka dimaafkan (udzur).

Hendaknya kita bersemangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tetap menjaga kebersihan mulut beliau, meskipun sedang berpuasa. Baik itu menggunakan pasta gigi maupun siwak. ‘Aisyah berkata,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Siwak itu menyegarkan dan membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Rabb”. [HR. An-Nasa-i]

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46634-boleh-memakai-pasta-gigi-ketika-berpuasa.html

Tahap-Tahap Diwajibkannya Puasa Ramadhan

Tahap Sebelum Diwajibkannya Puasa Ramadhan

Menahan diri dari syahwat makanan, minuman dan juga syahwat biologis merupakan perkara yang berat alias tidak mudah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala baru memerintahkan kewajiban berpuasa Ramadhan pada tahun ke dua setelah hijrah ke Madinah [1].

Allah Ta’ala mewajibkan puasa melalui beberapa tahap, yaitu tahap mewajibkan puasa ‘Asyura. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa ‘Asyura (tanggal 10 Muharram).

Tahap Diwajibkannya Puasa Ramadhan

Tahap selanjutnya Allah Ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan dengan memilih antara melaksanakan puasa atau membayar fidyah. [2]

‘Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

“Dulu, orang-orang Quraisy berpuasa di hari ‘Asyura di masa jahiliyyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa di hari tersebut (di masa jahiliyyah). Ketika beliau tiba di Madinah, beliau mengerjakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa.

Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah meninggalkan puasa ‘Asyura. Barangsiapa yang ingin berpuasa, maka dia mengerjakannya. Dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa, maka mereka meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) [3]

Ketika hati dan keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum telah menancap kuat, maka Allah Ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan secara bertahap. Pada tahap ke dua ini, mereka boleh memilih antara berpuasa atau membayar fidyah, meskipun lebih ditekankan dan dianjurkan untuk berpuasa. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak ingin berpuasa dan memilih membayar fidyah (meskipun mereka sebetulnya mampu berpuasa), maka dipersilakan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)

Tahap Diwajibkan Puasa Bagi yang Mampu

Allah Ta’ala kemudian menurunkan ayat berikutnya untuk menghapus ketentuan hukum ayat di atas. Hal ini diberitakan oleh dua sahabat yang mulia, yaitu ‘Abdullah bin Umar dan Salamah bin Akwa’ radhiyallahu ‘anhuma,

“Ayat tersebut (surat Al-Baqarah ayat 184) dihapus (hukumnya) oleh ayat berikut ini,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185) [4]

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan bahwa kandungan surat Al-Baqarah ayat 184 di atas tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua renta serta orang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya. Bagi kedua golongan tersebut, boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Sehingga ketentuan ayat tersebut (tentang pilihan untuk berpuasa atau membayar fidyah) hanya dihapus untuk orang yang mampu berpuasa.

Dari Atho’ radhiyallahu ‘anhu, dia mendengar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca surat Al-Baqarah ayat 184 kemudian berkata,

لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الكَبِيرُ، وَالمَرْأَةُ الكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا، فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

”Ayat ini tidak dimansukh (dihapus hukumnya, pent). Ayat ini tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua yang tidak mampu untuk berpuasa. Keduanya wajib memberi makan bagi orang miskin setiap hari yang dia tidak berpuasa”. (HR. Bukhari no. 4505)

Pada awalnya, waktu berbuka adalah dari tenggelam matahari sampai tertidur di malam hari. Jika sudah tidur, maka waktu berbuka sudah habis, meskipun masih malam (belum terbit fajar) dan meskipun mereka belum menyantap makanan. Hal ini sebagaimana hadits berikut ini,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا، فَحَضَرَ الإِفْطَارُ، فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا، فَلَمَّا حَضَرَ الإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ، فَقَالَ لَهَا: أَعِنْدَكِ طَعَامٌ؟ قَالَتْ: لاَ وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ، وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ، فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ: خَيْبَةً لَكَ، فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} [البقرة: 187] فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا، وَنَزَلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ} [البقرة: 187]

“Dahulu jika sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan tiba waktu berbuka, dan mereka tidur sebelum berbuka puasa, maka tidak boleh makan di waktu malam dan siang hari (berikutnya) sampai sore hari lagi. Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, dan ketika tiba waktu berbuka dia mendatangi istrinya dan bertanya,’Apakah ada makanan?’

Istrinya menjawab,’Tidak, namun aku akan pergi mencarikan makanan untukmu.’ Pada hari itu, Qais bekerja seharian sehingga dia pun tertidur (ketika menunggu istrinya mencari makanan, pen.). Ketika istrinya tiba kembali dan melihat Qais tertidur, istrinya berkata,’Khaibah [5] untukmu.’ Di siang harinya Qais pun terbangun dan menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat (yang artinya),”Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa untuk berhubungan badan dengan istrimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)

Para sahabat pun sangat gembira, lalu turunlah ayat (yang artinya),”Dan makan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)” (HR. Bukhari no. 1915) Sehingga berdasarkan ayat tersebut, waktu berbuka adalah dari tenggelam matahari sampai terbit waktu fajar. Demikianlah kasih sayang dan keluasan rahmat Allah Ta’ala yang dicurahkan kepada hamba-hambaNya.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kekuatan dan kemudahan dalam menjalankan ibadah puasa tahun ini.

Diselesaikan di malam hari, Rotterdam NL 20 Sya’ban 1438/16 Mei 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim

Catatan kaki:
[1] Shifat Shaum Nabi fii Ramadhan, hal. 21.
[2] Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam, 3/443.
[3] Artinya, hukum puasa ‘Asyura menjadi sunnah, tidak wajib.
[4] Hadits riwayat Ibnu Umar terdapat dalam shahih Bukhari (4/188). Sedangkan hadits riwayat Salamah bin Akwa’ terdapat dalam shahih Bukhari (1/181) dan Muslim (1145).
[5] Maksudnya, keinginan Qais (untuk makan berbuka puasa) tidak tercapai karena waktu berbuka untuknya sudah habis karena tertidur.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/30450-tahap-tahap-diwajibkannya-puasa-ramadhan.html

Mendoakan Orang yang Memberi Buka Puasa

Pahala Besar Dibalik Memberi Makan Orang yang Berpuasa

Alhamdulillah di bulan Ramadan ini banyak kaum muslimin berlomba-lomba dalam kebaikan. Salah satu ladang kebaikan itu adalah memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, memberikan sumbangan ke masjid atau tempat di mana orang banyak berbuka puasa secara gratis. Kebaikan-kebaikan seperti Ini tidaklah terasa ringan jika belum mengetahui keutamaan yang sangat besar dalam memberi makan orang yang berbuka puasa, yaitu mendapatkan pahala sebagaimana orang yang berpuasa tersebut.

Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﻓَﻄَّﺮَ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﺜْﻞُ ﺃَﺟْﺮِﻩِ ﻏَﻴْﺮَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﻣِﻦْ ﺃَﺟْﺮِ ﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻢِ ﺷَﻴْﺌًﺎ

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga .”[1]

Makanan yang Diberikan Tidak Harus Berporsi Besar

Al-Munawi menjelaskan bahwa memberi makan di sini yaitu dengan apa yang bisa digunakan untuk berbuka puasa, tidak harus memberikan “makan besar” atau makanan porsi lengkap. Beliau berkata,

ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻣﻦ ﺗﻔﻄﻴﺮﻩ ﻫﻮ ﺃﺩﻧﻰ ﻣﺎ ﻳﻔﻄﺮ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻭﻟﻮ ﺑﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ،

“Yang dimaksud dengan memberi berbuka puasa yaitu apa saja yang bisa dijadikan makanan berbuka puasa walaupun hanya dengan sebutir kurma”. [2]

Doakanlah Orang yang Memberikan Makanan Untuk Berbuka

Bagi kita yang diberi makanan berbuka puasa oleh orang lain hendaknya mendoakan orang yang telah memberi makanan walaupun yang diberikan hanya sebutir kurma atau yang lainnya.

Doa yang bisa dibaca ketika kita mendapatkan makanan/takjil untuk berbuka puasa adalah:

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي

Allahumma ath’im man ath’amanii wasqi man saqaa-nii

“Ya Allah, berilah makanan orang yang memberi aku makan dan berilah minuman orang yang memberi aku minum.“[3]

Atau doa:

اللَّهُمَّ بَارِك لَهُم فِيمَا رَزَقْـــتَهُم وَاغْفِرْ لَهُم وَارحَمْهُم

Allahumma baarik lahum fii maa razaqtahum, waghfir lahum, warhamhum

“Ya Allah, berkahilah rezeki yang Engkau anugerahkan kepada mereka, ampuni mereka dan berikanlah rahmat kepada mereka.” [4]

Doakanlah Saudaramu Maka Malaikat Akan Mendoakanmu

Hendaknya kita bersemangat dalam mendoakan saudara kita sendiri yang telah berbuat baik kepada kita, walaupun orang tersebut tidak ada di tempat atau tidak ada di hadapan kita karena terdapat keutamaan yang sangat besar ketika kita mendoakan saudara kita, yaitu doa kita akan  di-amin-kan oleh malaikat dan malaikat akan mendoakan agar kita juga mendapatkan kebaikan yang semisal dari doa yang kita panjatkan.

Dari Abu Ad-Darda’ beliau berkata bawab Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Tidak ada seorang muslimpun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”[5]

Dalam riwayat lainnya,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa yang mustajab. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, “Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.”

@Banaran, Salatiga

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Catatan kaki:

[1] HR. Tirmidzi & Ibnu Majah, Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[2] Faidul Qadhir, 6/243.
[3] HR. Muslim, No. 2055
[4] HR. Muslim 2042
[5] HR. Muslim no. 4912

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/30342-mendoakan-orang-yang-memberi-buka-puasa.html

Persiapan Layanan Bagi Jemaah Haji Indonesia di Arab Saudi Sudah 100 Persen

Banda Aceh (PHU)—Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama RI, Sri Ilham Lubis mengatakan bahwa proses persiapan untuk layanan akomodasi, katering, dan transportasi bagi jemaah haji Indonesia di Arab Saudi sudah selesai 100 persen.

“Persiapan haji tahun ini sudah dimulai sejak tahun lalu, saat penandatangan MoU Menag dengan perhajian Arab Saudi, termasuk penetapan kuota untuk Indonesia. Alhamdulillah untuk progres penyediaan Transportasi, Konsumsi dan akomodasi jemaah haji Indonesia di Arab Saudi sudah siap 100 persen,” ujar Sri Ilham Lubis didampingi Kakanwil Kemenag Aceh, Daud Pakeh, Usai menjadi Narasumber pada kegiatan sosialisasi pelayanan jemaah haji di Arab Saudi yang dilaksanakan di Banda Aceh, Kamis (09/05).

“Layanan disana mencakup akomodasi di Makkah dan Madinah, transportasi bus antar kota perhajian, bus shalawat, bus masyair dan layanan katering,” lanjutnya.

Ia menambahkan, tahun ini ada beberapa perbedaan dan peningkatan pelayanan di Arab Saudi dibanding tahun lalu, diantaranya layanan catering di Arafah, kalau  tahun lalu jemaah yang tiba siang hari di Arafah tidak semuanya diberikan makan, akan tetapi tahun ini seluruh jemaah yang sampai siang hari di Arafah semuanya mendapatkan makan.

Kemudian untuk transportasi, seluruh jemaah di Makkah akan mendapatkan bus shalawat, tahun lalu hanya jamaah yang menempati hotel dalam radius 1,5 Km dari mesjidil haram, namun tahun ini semuanya.

Begitu juga dengan hotel-hotel yang telah disewakan di Madinah dengan menggunakan sistem full musim lebih banyak dibandingkan dengan sistem blocking time, jadi tahun lalu menggunakan sistem full musim hanya 50 persen, tahun ini meningkat 72 persen.

“Sedangkan di bandara jemaah haji akan menikmati fasilitas fast track, mereka tidak perlu lagi mengurus bagasinya di bandara, kalau tahun lalu jamaah haji masih mengurus bagasi dibandara sehingga jamaah masih membutukan waktu yang cukup lama untuk mengurus bagasinya, lalu tahun ini mereka tidak perlu lagi sidik sepuluh jari di bandara, cukup satu kali sidik jari saja dan setelah itu mereka bisa langsung naik bus dan diantarkan ke hotel yang telah ditetapkan,” ujar Sri Ilham Lubis.

Ia juga meminta kepada calon jemaah haji tahun ini untuk memberi tanda pengkodean pada bagasi jamaah termasuk tanda pada passport dan juga pada kursi roda jamaah karena nanti bagasi jemaah dan passport itu akan ditangani oleh pihak Arab Saudi, sehingga kita perlu memberikan tanda yang memudahkan mereka untuk mengelompokannya  dan mengantarkannya sampai kehotel jemaah.

Selain itu, Sri Ilham juga mengatakan untuk Armina, tahun ini tenda jemaah haji di Arafah akan disediakan AC dengan menggunakan Verion yang akan sangat dingin suhunya itu.

Untuk penempatan Jemaah, tahun ini tidak lagi menggunakan Qur’ah akan tetapi menempatkan jemaah berdasarkan embarkasinya, “Penempatan jamaah berdasarkan zonasi untuk memudahkan koordinasi pengawasan dan pengendalian dan komunikasi selama di Makkah. yang kedua ketika jemaah mendapatkan kesulitan, tersesat misalnya, mereka dengan mudah kembali kehotelnya karena sudah jelas bahwa misalnya jemaah dari SOP ini ketika tersesat ini kembalikan saja kewilayah jarwal misalnya disektor sana bisa dikembalikan kepemondokannya,” ucapnya.

“Ketiga kita juga bisa menyesuaikan citarasa masakan jemaah sesuai selera daerah masing-masing. Ini suatu keuntungan dan memudahkan kita komunikasi, memudahkan kita dalam pemilihan menu yang sesuai dengan selera mereka dan memudahkan jamaah juga ketika mereka kembali kehotelnya atau bagi kerabatnya yang ingin menjumpai familinya yang sedang berhaji juga memudahkan,” tambahnya.

“Jemaah Haji Aceh akan tinggal di wilayah Syisyah, intinya dengan sistem zonasi ini lebih memudahkan pengawasan, memudahkan koordinasi dan memudahkan pelayanan. Bisa dikatakan tahun ini adalah tahun peningkatan layanan bagi jamaah haji, karena semua sudah meningkat, transportasi ,hotel seluruhnya sudah hotel standart bintang tiga, konsumsi juga sudah memenuhi cita rasa indonesia dan standar gizi,” sambung Sri Ilham

Sri Ilham Lubis menjelaskan di Armina di arafah tendanya sudah tenda baru, menggunakan AC, penerangan menggunakan LED, karpetnya juga kualitas bagus, inikan sudah peningkatan semuanya, hingga nanti dalam pelaksanaannya bisa terwujud.

Untuk Kuota penambahan 10.000 jemaah, pihaknya juga sudah mendapatkan informasi dari pihak muassasah tentang ketersediaan hotel di Arab Saudi

“Tidak hanya untuk penempatan jemaah di Armina saja, tetapi layanan yang dibutuhkan oleh jamaah tambahan ini juga sudah kita siapkan semua,” tutup Sri Ilham Lubis.

Sementara Kakanwil Kemenag Aceh, Drs H M Daud Pakeh dalam sambutannya menyampaikan terimakasih kepada Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang telah memilih Aceh menjadi salah satu dari tiga Provinsi di Indonesia untuk pelaksanaan kegiatan “Sosialisasi pelayanan jemaah Haji di Arab Saudi.”

Kegiatan tersebut dihadiri Kakankemenag Banda Aceh dan Aceh Besar, Kepala Bidang PHI, Para Kasi di Bidang PHU, Kasi PHU di Kankemenag Banda Aceh dan Aceh Besar, Kepala KUA, Penyuluh Agama dan KBIH di lingkungan Kemenag Banda Aceh dan Aceh Besar.(nas/ha)

 

KEMENAG RI

Tidak Ada Sunnah Berbuka dengan Yang Manis

Sempat menjadi hal masyhur dan terkenal bahwa berbuka puasa itu sunahnya dengan yang manis. Konon katanya menjadi terkenal karena iklan minuman manis tertentu atau iklan sirup tertentu yang begitu terkenal melalui media TV dan lain-lain.

Perlu diketahui bahwa tidak ada sunnah berbuka dengan manis-manis seperti sirup, cendol, es teh manis dan sejenisnya. Yang disunnahkan adalah berbuka puasa sesuai dengan urutannya yaitu dengan ruthab (kurma basah), apabila tidak ada dengan tamr (kurma kering), apabila tidak ada maka dengan meneguk air putih. Perhatikan hadits berikut:

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,

ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮ ﻝُ ﺍﻟﻠِّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪً ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﻔْﻄِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻲَ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﺭُﻃَﺒَﺎ ﺕٌ ﻓَﻌَﻠَﻰ ﺗَﻤَﺮَﺍﺕٍ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢ ﺗَﻜُﻦْ ﺣَﺴَﺎ ﺣَﺴَﻮﺍﺕٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺀٍ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan kurma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan kurma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air” (HR. Ahmad, Abu Dawud, sanadnya shahih)

Memang kurma (baik ruthab maupun tamr) adalah jenis makanan yang manis, akan tetapi urutan setelahnya adalah air putih yang tidak terasa manis. Ini dalil bahwa tidak ada Sunnah berbuka dengan yang manis-manis. Memang ada pendapat ulama yang menyatakan demikian, tetapi pendapat ini lemah dan tidak sesuai dengan hadits, karena patokan utama kita adalah Al-Quran dan hadits.

An-Nawawi dan Ar-Rafi’i berpendapat:

لا شئ أفضل بعد التمر غير الماء، فقول الروياني: الحلو أفضل من الماء ضعيف

“Tidak ada yang lebih utama setelah kurma selain air putih. Adapun pendapat Ar-Rauyani bahwa yang manis lebih utama dari air, maka ini adalah pendapat yang lemah.” [Fathul Mu’in, Bab Shaum, Hal. 92]

Adapun minuman yang dingin dan manis memang merupakan minuman yang disukai oleh Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, akan tetapi bukan sunnahnya berbuka dengan yang dingin dan manis. Minuman dingin dan manis bisa diminum kapan saja waktunya. Perhatikan hadits berikut:

Aisyah radhiallahu anha berkata,

كَانَ أَحَبُّ الشَّرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُلْوَ الْبَارِدَ

“Minuman yang paling disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah yang dingin dan manis.” [HR Ahmad & At Tirmidzi, shahih]

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan beberapa kemungkinan maksud “dingin dan manis” yaitu:

1.Bersumber dari mata air segar dan sumur yang manis

2.Rendaman air campuran madu, kurma dan kismis (beliau menguatkan pendapat ini)

Beliau berkata,

وهذا يحتمل أن يريد به الماء العذب كمياه العيون والآبار الحلوة ، فإنه كان يستعذب له الماء

ويحتمل أن يريد به الماء الممزوج بالعسل أو الذي نقع فيه التمر أو الزبيب وقد يقال – وهو الأظهر

“Kemungkinan maksudnya adalah air yang segar seperti mata air dan sumur yang manis, air ini memang segar. Bisa juga maksudnya adalah rendaman air campuran madu, kurma dan kismis -pendapat ini lebih kuat-.” [Zaadul Ma’ad 4/205]

Berdasarkan penjelasan di atas, dingin dan manis ini adalah minuman yang alami bukan dengan pemanis gula di zaman sekarang yang apabila diminum berlebihan akan membahayakan bagi kesehatan.

 

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46638-tidak-ada-sunnah-berbuka-dengan-yang-manis.html

Mencintai Wali-wali Allah oleh Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr

Faidah Ringkas Kajian Mencintai Wali-wali Allah

Oleh Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr

Masjid Istiqlal –  Ahad, 25 Jumadal Akhir 1437 H / 3 April 2016

    1. Mencintai wali Allah dan kaum muslimin  adalah salah satu  simpul iman terkuat. Rasulullah bersabda:
      أوثقُ عُرَى الإيمانِ الحبُّ في اللهِ ، وَالبُغْضُ فيهِ
      “Tali simpul iman terkuat adalah menyintai karena Allah dan membenci karena Allah.”
    2. Memusuhi wali Allah berarti menjadi musuh Allah.  Dalam hadits qudsi, Allah berfirman:
      مَن عَادَى لي وليّاً؛ فَقَدْ آذَنته بالحَرب
      Siapa yang memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.
    3. Kita harus menjaga lisan dan hati kita bersih dari mencaci, menjelekkan, dan dengki kepada orang yang beriman. Allah berfirman:
      (وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ)
      Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” [Surat Al-Hashr 10]

      Rasulullah ditanya:
      يا رسولَ اللهِ أيُّ النَّاسِ أفضلُ ؟ قال : كلُّ مَخمومِ القلبِ صَدوقُ اللِّسانِ
      “Wahai Rasulullah siapakah Sebaik-baik manusia manusia? Rasulullah menjawab: yang bersih hatinya dan selalu benar atau jujur lisannya.”

    4. Siapakah wali Allah? 
      Wali artinya dekat. Wali Allah adalah orang yang dekat dengan Allah azza wa jalla. Kewalian seseorang bertingkat sesuai dengan amal shalihnya. Allah berfirman:
      (أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ)
      “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” [Surat Yunus 62 – 63]

      Oleh karena itu menurut ulama, wali itu adalah:
      من كان مؤمنا تقيا كان لله وليا
      Orang yang beriman dan bertaqwa maka dialah wali Allah

    5. Kewalian itu bukanlah soal tampilan lahir yang berbeda dengan umumnya manusia. Hakikat kewalian adalah kedekatan, keimanan dan ketakwaan kepada Allah.  Firman Allah dalam hadits qudsi:
      مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ لَأُعِيْذَنَّهُ»
      Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya dari-Ku. Tidak ada yang paling Aku cintai dari seorang hamba kecuali beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang telah Aku wajibkan kepadanya. Adapun jika hamba-Ku selalu melaksanakan perbuatan sunah, niscaya Aku akan mencintanya. Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku) menjadi penglihatan yang dia melihat dengannya, menjadi tangan yang dia memukul dengannya, menjadi kaki yang dia berjalan dengannya. Jika dia memohon kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni, dan jika dia minta perlindungan kepada-Ku, niscaya akan Aku lindungi.”
    6. Wali Allah memiliki 2 tingkatan:
      1. Tingkat pertengahan. Orang yang menjalankan kewajiban agama dan meninggalkan yang haram.
      أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْت الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟ قَالَ : نَعَمْ .
      “bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah dengan berkata, “Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun, apakah saya akan masuk surga?” Beliau menjawab, Ya.” (HR. Muslim).2. Tingkat Tinggi. Orang-orang yang senantiasa beriltizam mengerjakan amalan-amalan Sunnah setelah yang wajib
    7. Para Ulama adalah para wali Allah. Imam Syafi’i berkata:
      إن لم يكن العلماء العاملون أولياء الله، فليس لله ولي!
      Bila ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah maka tidak ada wali Allah!

      Jelas bahwa para ulama adalah para wali Allah. Rasulullah bersabda:
      وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
      Sungguh, keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah adalah ibarat bulan purnama atas semua bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar.”

    8. Tanda kewalian seseorang adalah melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Kewajiban terbesar adalah shalat 5 waktu. Maka wali Allah adalah yang menjaga shalat 5 waktu di masjid. Bila ada yang mengaku wali namun tidak pernah shalat di masjid, maka jelas dia bukan wali! Allah berfirman:
      {وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ}
      dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)  [الحجر : 99]

      Allah Juga berfirman:
      {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ}
      Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [آل عمران : 102]

      Sehingga jelas keliru bila ada yang mengaku wali namun tidak shalat, tidak pergi haji ke Ka’bah karena katanya ka’bahnya yang mendatangi walinya. Ini adalah khurafat yang jelas penyimpangannya!

    9. Wali Allah tidak akan menganggap dirinya suci sebesar apapun amal yang dikerjakan. Allah berfirman:
      فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ}
      janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.  [النجم : 32]“Maka tidak mungkin ada Wali Allah yang mengakui sendiri bahwa dirinya adalah wali”
    10. Wali Allah tidak harus bisa melakukan hal-hal luar biasa yang disebut karamah. Sebagian wali Allah dikaruniai karamah atas tujuan tertentu, bukan syarat mutlak disebut wali.  Karena karamah yang paling tinggi adalah keistiqamahan. Ahlussunnah mengimani kebenaran karamah hanya saja tidak menjadikan barometer utama syarat kewalian.
    11. Tiga barometer untuk mengenali wali Allah menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah:
      1. Shalatnya
      2. Kecintaannya pada Sunnah dan ahlussunnah
      3.  Berdakwah di Jalan Allah secara ikhlas bukan untuk mencari pengikut yang mengagungkan dirinya
    12. Tidaklah disebut wali Allah sampai (1) Berusaha ikhlas dalam ibadah; (2) Mengikuti contoh dari Rasulullah. Allah berfirman:
      {قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
      Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” [يوسف : 108]
    13. Bersemangatlah untuk mengejar derajat yang tinggi di sisi Allah. Rasulullah bersabda:
      احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ
      “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah”

      Allah berfirman:
      {وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ}
      Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.[العنكبوت : 69]

    14. Mencintai wali Allah merupakan tanda kebaikan. Maka cintailah orang-orang yang shalih, berakhlak mulia dan wali Allah. Karena Rasulullah bersabda:
      الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ يَوْمَ القِيَامَةِ
      Seseorang itu bersama yang dicintainya di hari kiamat
    15. Teruslah belajar ilmu syar’i karena ia adalah lentera yang menerangi jalan ke surga. Rasulullah bersabda:
      وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ،
      Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga.
    16. Bergaullah dengan teman yang baik. Karena Rasulullah bersabda:
      المَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
      Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman
    17. Hisablah diri kita sebelum hari perhitungan datang. Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa mempersiapkan dirinya menghadapi kehidupan setelah kematian.
      سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

      Selesai dengan memuji Allah yang maha sempurna

      Akhukum fillah,
      Encang iRul Al Batawiy

Sumber: https://catatankajian.com/188-mencintai-wali-wali-allah-oleh-syaikh-abdurrazzaq-bin-abdul-muhsin-al-badr.html

Tips Sehat Ramadhan untuk Anak Kos

Saat Ramadhan pola makan anak kos yang jauh dari keluarga jadi tantangan tersendiri.

Saat bulan Ramadhan, aktivitas sehari-hari terutama bagi mahasiswa yang tinggal jauh dengan keluarga menjadi tantangan tersendiri. Mereka harus mampu mengelola pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi selama berpuasa agar belajar tak terganggu.

Menurut mahasiswi Universitas Oxford, Hiba, makanlah apa yang Anda nikmati asal sehat. Intinya, pada bulan Ramadhan penting untuk makan dengan baik, tidur nyenyak, serta minum banyak air saat berbuka dan sahur.

Pada saat sahur ia menyarankan makanan yang lebih ringan, seperti susu, sereal, dan roti panggang. Sementara makanan berbuka bisa makan kurma, kacang-kacangan, salad buah, berbagai makanan yang digoreng seperti samosa dan pakora. Ditambah minuman favoritnya, Rooh Afza, yang seperti bunga mawar.

“Minumlah air secara teratur antara berbuka dan sahur daripada menenggak seluruh botol tepat sebelum imsak. Ini memastikan Anda lebih baik terhidrasi sepanjang hari,” kata Hiba dilansir BBC, Jumat (10/5).

Sementara mahasiswi dari University of Birmingham, Sahar, menuturkan saat Ramadhan penting untuk makan makanan sehat dan tidak terlalu banyak. Makan dalam porsi normal saat berbuka,  makanan ringan saat sahur, serta minum yang cukup dapat mengatasi ujian apapun.

Mahasiswi University College London, Kam, memiliki kiat utama dalam berpuasa. Kuncinya adalah persiapan makan. Ia mengatakan The British Nutrition Foundation (BNF) merekomendasikan makan sahur yang penuh dengan cairan, karbohidrat kompleks, protein dan serat, serta minum banyak air agar tetap terhidrasi.

“Rencanakan berbuka di awal untuk membuat hari-harimu lebih efisien. Mengambil keputusan harian akan membebaskanmu untuk berkonsentrasi pada pekerjaanmu,” kata dia.

RAMADHAN REPUBLIKA