Berhubungan Intim Di Siang Ramadhan

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, celaka aku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu keranjang kurma kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasûlullâh? Demi Allâh, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”

TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab ash-Shiyâm Bab Idza Jâma’a Fi Nahari Ramadhan Wa Lam Yakun Lahu Syaiun Fatashaddaqa ‘Alaihi Falyukaffir no. 1936, Imam Muslim dalam Shahihnya no. 1111, Abu Dawud dalam Sunannya no. 2390, an-Nasâ’i 3/311, at-Tirmidzi no. 724, Ibnu Mâjah dalam Sunannya no. 1672 dan Ahmad dalam al-Musnad 11/533. Seluruhnya meriwayatkan dari jalan as-Zuhri dari Humaid bin Abdurrahmân dari Abu Hurairah .

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari as-Zuhri lebih dari empat puluh perawi. [1]

PENJELASAN KOSAKATA HADITS.
(هَلَكْتُ) : Terjerumus dalam dosa yang membinasakanku.

(بِعَرَقٍ) : Keranjang berisi 15 sha’ kurma.

(أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى) : Apakah aku bersedekah dengannya kepada orang yang lebih fakir dari kami?

(مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا) : Seluruh kota Madinah dari al-Harrah Syarqiyah disebelah timur Baqi’ dinamakan Harrah Wâqim dan sebelah barat bukit as-Sil’i dinamakan Harrah al-Wabarah.

PENGERTIAN HADITS. 
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu mengkisahkan bahwa mereka pernah duduk-duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kebiasaan mereka untuk belajar dan kumpul-kumpul dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika mereka sedang demikian, sekonyong-konyong datang seorang yang menyatakan bahwa ia celaka dengan sebab melakukan dosa dan ingin mencari solusinya, seraya berkata, ‘Wahai Rasûlullâh celakalah aku! Seketika itu Nabi bertanya tentang sebabnya. Lalu orang tersebut menjelaskan bahwa ia berhubungan intim dengan istrinya di siang Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memarahinya karena ia datang untuk bertaubat dan minta solusi atas kejadian tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan solusinya dengan bertanya, apakah kamu memiliki budak untuk dibebaskan sebagai kafârahnya? Dia menjawab dengan menyatakan tidak ada. Lalu bertanya lagi, apakah mampu berpuasa dua bulan berturut-turut tidak boleh terpisah? Dia menjawab tidak sanggup. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pindah ke pilihan ketiga terakhir dengan menanyakan, apakah memiliki makanan untuk enam puluh orang miskin? Dia pun menyatakan tidak mampu.

Kemudian ia duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga datang seorang dari kaum Anshâr membawa sekeranjang berisi 15 sha’ korma  yang setara dengan 60 Mud. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang bertanya tadi, Ambillah ini dan bersedekahlah!

Akan tetapi karena kefakiran yang menimpa orang tersebut dan pengetahuannya tentang kedermawanan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senangnya Beliau memberi kemudahan kepada umatnya, maka ia berkata, Apakah aku akan memberinya kepada orang yang lebih fakir dariku? dan bersumpah tidak ada di seluruh kota Madinah keluarga yang lebih fakir dari keluarganya! Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa karena takjub dengan keadaan orang yang datang dalam keadaan takut dan minta solusi, ketika mendapatkannya, dia berbalik ingin mendapatkan sesuatu. Lalu Beliau memberikan izin kepadanya untuk memberikannya kepada keluarganya, karena menutupi kebutuhan lebih didahulukan dari kafârah. [2]

BEBERAPA FAEDAH DARI HADITS DIATAS.

  • Besarnya dosa orang yang berhubungan intim dalam keadaan puasa di siang hari Ramadhan, karena disebut membinasakan dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakuinya dan orang tersebut sudah mengetahui besarnya dosa perbuatannya, namun tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukannya. [3]
  • Wajib bagi yang berhubungan intim di siang bulan Ramadhan untuk membayar kafârah seperti yang disebutkan dalam hadits: (1) membebaskan satu orang budak, (2) jika tidak diperoleh, berpuasa dua bulan berturut-turut, (3) jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.[4]

Inilah pendapat mayoritas ulama. Sedangkan pendapat yang disandarkan kepada asy-Sya’bi t , an-Nakha’i rahimahullah dan Sa’id bin Jubair rahimahullah tentang kewajiban mengqadha saja bagi orang yang berhubungan intim ini tanpa kafârat, maka tampaknya karena hadits ini belum sampai kepada mereka, seperti dijelaskan Imam al-Baghâwi dalam Syarhus Sunnah 6/284.

  • Hukuman hanya bagi yang melakukan hubungan intim di siang hari Ramadhan, bukan di bulan lainnya. Bentuk kafârah ini untuk menebus kesalahan di bulan Ramadhan sebab mulianya bulan tersebut. Kafârah ini hanya berlaku bagi puasa di bulan Ramadhan, namun tidak berlaku pada puasa qodho’ dan puasa sunnah lainnya, karena Nash menerangkan tentang hubungan intim di siang Ramadhan dan selain Ramadhan tidak bisa disamakan dengannya. [5]
  • Kafârah tidak gugur dengan ketidakmampuan pelaku, apabila ia mampu melakukannya di waktu kewajiban kafârah tersebut walaupun dari harta orang lain yang diserahkan kepadanya, sebab dalam Hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kurma dan memerintahkannya untuk bersedekah dengannya sebagai kafârat, padahal waktu itu orang tersebut tidak mampu sebagaimana diceritakan. Ketika ia bersumpah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada keluarga yang lebih fakir darinya di kota Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya untuk memberikannya kepada keluarganya dan tidak menyatakan bahwa kafârah tetap menjadi tanggungannya.[6] Inilah salah satu pendapat mayoritas ulama. Sehingga diperbolehkan untuk makan dari makanan kafârah yang diwajibkan atasnya dan bersedekah kepada keluarganya apabila ia tidak mampu. Ada juga yang berpendapat bahwa yang diambil orang tersebut bukanlah kafârat, tetapi sedekah. Kafârat tidak gugur dengan ketid Kafârat tetap menjadi hutang baginya dengan alasan qiyâs kepada Kafârat dan hutang lainnya. Pendapat ini menyatakan bahwa dalam hadits tidak ada yang menunjukkan gugurnya kafârat tersebut, bahkan tampak dari teks nashnya tidak gugur, karena ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakannya tentang tingkatan terendah kafârat tersebut, dia menjawab tidak ada. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam dan tidak menyatakan gugurnya tanggung jawab kafârat tersebut.

Ada juga yang berpendapat bahwa kafârat gugur dengan ketidakmampuan. Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Ahmad bin Hambal rahimahullah dan salah satu dari pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada orang tersebut untuk memberi kurma kepada keluarganya. Seandainya itu adalah kafârat darinya maka tentunya tidak boleh dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepadanya kalau kafârahnya masih dalam tanggungannya.[7]

Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata, ‘Hadits ini menunjukan tetap wajib kafârat dengan dalil pernyataan penanya yang tidak mampu untuk bebaskan budak, puasa dan memberi makan dan adanya sekeranjang kurma dan pemberian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya untuk dikeluarkan sebagai kafârat. Seandainya tidak wajib tentulah tidak memerintahkan untuk mengeluarkannya dan seandainya gugur dengan tidak mampu, maka tidak ada kewajiban atas nya sama sekali. Sehingga hal ini menunjukkan tetap adanya kewajiban kafarat dalam tanggung jawabnya. Sedangkan izin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya untuk memberi makan keluarganya karena terdesak dan menghilangkan kebutuhan tersebut wajib secara langsung. Kafârat tidak wajib langsung tapi masih bisa ditunda sebagaimana ditetapkan Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslimdan khusunya dalam keadaan seperti ini. [8]

  • Kasus yang terjadi dalam hadits amatlah menakjubkan karena ia mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadan takut, namun ia balik pulang dalam keadaan senang karena membawa kurma.
  • Menutupi kebutuhan lebih didahulukan dari kafârah.
  • kemudahan syariat Islam yang memperhatikan keadaan mukallaf dan tidak memaksakan orang yang tidak mampu melakukan yang tidak dimampuinya.
  • Tertawa pada tempatnya itu terpuji dan menunjukkan akal yang baik dan akhlak yang lemah lembut. Sebaliknya tertawa dalam keadaan yang tidak pada tempatnya, justru menunjukkan akalnya kurang.
  • Jika seseorang tidak mampu menunaikan kafârah lantas orang lain yang menunaikannya, maka itu dianggap sah. Dan kafârahnya bisa diberikan kepada yang tadi punya kewajiban kafârah. Namun hadits ini bukan menjadi dalil bahwa orang yang tidak mampu menjadi gugur kewajibannya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayarkan kafârahnya. Kafârah itu seperti halnya utang, bisa gugur jika pemberi utang menggugurkannya.
  • Jika seseorang berbuat dosa, maka hendaklah ia segera bertaubat kepada Allâh, termasuk pula dalam menunaikan kafârah.
  • Sekedar memberi makan walau tidak dibatasi kadarnya dibolehkan. Kalau sudah mengenyangkan 60 orang seperti kasus di atas, maka sudah cukup
  • Hendaknya orang yang terjerumus dalam perkara terlarang dan belum tahu hukum syariatnya untuk bertanya kepada Ulama dan takut dengan akibat buruk yang ditimbulkannya.
  • Mayoritas ulama berdalil dengan pernyataan orang tesebut (هَلَكْتُ) untuk menyatakan bahwa dia sengaja dan mengerti larangan perbuatan tersebut, sehingga orang yang lupa atau tidak tahu tidak masuk dalam hadits ini. Oleh karena itu orang yang berhubungan intim karena lupa atau tidak tahu hukumnya, tidak diwajibkan mengqadha dan tidak juga kafâ Imam al-Bukhâri rahimahullah menyatakan dalam Shahihnya: al-Hasan rahimahullah dan Mujâhid rahimahullah berkata; ”Siapa yang berhubungan intim karena lupa maka tidak dikenai apa-apa.” [9]
  • Para ulama berbeda pendapat pada hukum sang istri, apakah diwajiban kafârah? ada dua pendapat mereka. Yang pertama menyatakan sang istri tidak dikenakan kafârah. Inilah pendapat yang paling shahih menurut ulama Syafi’iyah dan mazhab Dawud dan ulama Zhahiriyah serta riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat ini dirajihkan Imam an-Nawawi rahimahullah dan Ibnu Qudâmah rahimahullah pun cenderung kepada pendapat ini, karena tidak ada dalam hadits yang menunjukkan sang istri dikenakan kafârat juga.[10] Sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa sang istri dikenakan kafarat apabila melakukannya dengan sukarela tidak dipaksa. Inilah pendapat Imam Mâlik, Imam Ahmad dalam sebuah riwayatnya dan pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah.[11] Alasannya karena sang wanita membatalkan puasanya dengan hubungan intim sehingga wajib dikenakan kafarat sebagaimana sang suaminya dan penjelasan hukum kepada sang suami adalah penjelasan juga untuk hukumnya, karena sama-sama melanggar pembatal puasa dan melanggar kesucian puasa. Inilah pendapat yang dirajihkan penulis kitab Minhatul ‘Alam (5/68) dengan alasan kuatnya dasar pendapat ini dan karena orang yang dipaksa tidak ada kafârahnya. Adapun dia tidak disebutkan dalam hadits karena tidak datang bertanya, padahal keadaannya ada kemungkinan dipaksa atau sukarela. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam tidak memberikan hukum khusus.
  • Diwajibkan mengqadha puasa yang terjadi pada hari itu hubungan intim. Inilah pendapat mayoritas ulama. alasannya adalah karena dia merusak satu hari dari Ramadhan sehingga diwajibkan mengqadha nya sebagaimana merusaknya dengan makan dan minum. Sedangkan kafârahnya adalah hukuman atas dosa yang dilakukannya. [12]Sedangkan Ibnu Hazm rahimahullah dan sejumlah ulama lainnya memandang tidak ada qadha baginya dan cukup dengan kafârah saja.[13] Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menisbatkan pendapat ini kepada satu diantara pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah [14]. Alasannya adalah karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang tersebut untuk mengqadha’. Juga karena dia melakukannya dengan sengaja sehingga tidak mengqadhanya. Hal ini merupakan pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang menyatakan, Semua orang yang sengaja meninggalkan shalat atau puasa tanpa uzur maka tidak mengqadhanya. [15]

Ibnu Mulaqqin rahimahullah berkata: Mayoritas ulama mewajibkan Qadha atas orang yang merusak puasa dengan hubungan intim dan ini yang rajih menurut kami, karena puasa yang dituntut darinya belum ia laksanakan dan dia tetap menjadi kewajibannya, seperti shalat dan selainnya apabila tidak dilaksankan dengan syarat-syaratnya. [16]

  • Tidak dihukum (Ta’zir) kepada orang tersebut dengan adanya kafarat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghukumnya walaupun mengakui kemaksiatannya. Pengakuan tersebut menunjukkan dia telah berbuat dalam keadaan mengetahui hal itu adalah kemaksiatan, namun dia datang meminta fatwa dengan mengakuinya terkena hal yang membinasakannya. Hal ini menunjukkan ilmu, penyesalan dan taubat darinya. Jelas ta’zir (hukuman) adalah untuk memperbaiki dan tidak perlu perbaikan bal sudah baik. Juga kalau kita hukum semua orang yang datang bertanya tentang kemungkaran yang ia lakukan, tentulah akan membuat orang tidak mau bertanya  ketika mereka terjerumus dalam penyimpangan dan kemaksiatan. Hal ini adalah sebuah kerusakan yang besar yang wajib ditolak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang hakim, imam, mufti dan penetap syariat saja tidak menghukum orang tersebut dengan perkataan ataupun perbuatan[17].
  • Dibolehkan menyatakan dirinya sangat fakir apabila jujur dan tidak ada maksud tidak ridha dengan takdir Allâh Azza wa Jalla , karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima pengakuan orang tersebut dan tidak mengingkari pernyataannya.
  • Diperbolehkan bersumpah untuk perkara yang hampir dipastikan benarnya, karena orang tersebut bersumpah dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada dikota Madinah keluarga yang lebih fakir dari keluarganya dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya. Padahal masalah ini tidak bisa umumnya dipastikan.

Wallâhu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tahdzîb Mukhtashar Sunan; 3/273
[2] Tambîhul Afhâm Syarhu Umdatul Ahkâm; Ibnu Utsaimîn; 3/426.
[3] Lihat Tambîhul Afhâm; 3/426 dan Minhâtul ‘Alaam Syarh Bulguhlmarâm; 5/65.
[4] Tambîhul Afhâm; 3/426.
[5] Lihat Ghâyatul Muqtashidîn Syarhu minhâj as-Saalikin; 2/115.
[6] Lihat Tambîhul Afhâm; 3/427.
[7] Lihat Minhatul ‘alâm; 5/66.
[8] Al-I’lâm bi Fawâd Umdah al-Ahkâm; 5/218.
[9] Lihat Fathul Bâri; 4/155-156.
[10] Lihat al-Umm; 3/251, al-Muhalla; 6/192, al-Mughni; 4/375 dan al-majmû; 6/339.
[11] Lihat al-Istidzkâr 10/108, Bidâyatul Mujtahid; 2/183 dan al-Mughni; 4/375.
[12] Lihat at-Tamhîd; 7/157 dan al-Istidzkâr 10/98.
[13] AlMuhalla; 6/264.
[14] Al-Mughni; 4/372.
[15] Minhâj as-Sunnah; 5/223-224.
[16] Al-I’lâm Bi Fawâ`id Umdatul Ahkâm, 5/242.
[17] Al-I’lâm bi Fawâ`id Umdatul Ahkâm ;Ibnul Mulaqqin; 5/215.

 

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11558-berhubungan-intim-di-siang-ramadhan.html

Akad

Pengertian Akad

Secara bahasa, akad artinya ikatan, mengencangkan, menjamin, atau perjanjian. Mengikat tali, bahasa arabnya: عَقَدَ الحَبْلَ . Sesuatu yang terikat disebut ma`qud. (al-Fairuz Abadzi, al-Qomus al Muhith, Syamilah, kata: عقد)

Sedangkan secara istilah, pengertian akad ada dua:

Pertama, pengertian akad secara umum

Dalam pengertian umum, akad artinya sesuatu yang menjadi komitmen seseorang untuk dilakukan atau komitmen seseorang yang menuntut agar orang lain melakukan suatu perbuatan tertentu yang dia inginkan.  (al-Jashsas, Ahkam al-Qur`an, Mauqi al-Islam, jilid 5, hlm. 181)

Berdasarkan pengertian ini maka jual-beli, nikah, dan semua transaksi komersial dan ganti rugi bisa disebut akad. Demikian pula sumpah untuk melakukan perbuatan tertentu di masa mendatang juga disebut akad. Karena sumpah termasuk diantara komitmen untuk melakukan sesuatu di masa mendatang.

Kedua, pengertian akad secara khusus

Secara khusus, akad adalah ikatan antara beberapa pihak transaksi melalui ijab dan qabul. (al-Jurjani, at-Ta`rifat, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, 1405, hlm. 196). Berdasarkan pengertian ini maka sumpah tidak termasuk akad. Demikian pula berjanji untuk diri sendiri, tidak termasuk akad. Istilah akad hanya digunakan untuk transaksi antara beberapa pihak, baik saling mengikat maupun tidak saling mengikat.

Rukun Akad

Ada tiga hal penting yang terkait akad:

  1. Pihak yang melakukan akad
  2. Shighah (pernyataan ijab-qobul)
  3. Ma`qud `alaihi (Objek akad)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tiga hal di atas adalah rukun dalam akad. Sementara madzhab hanafiyah berpendapat rukun akad hanya shighah. Adapun pihak yang melakukan akad dan objek akad hanya konsekwensi dari adanya shighah dan bukan rukun. (__, al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/200)

Macam-macam Akad

Akad dibagi menjadi beberapa bentuk, tergantung dari aspek tinjauannya.

Pertama, pembagian akad ditinjau dari keterkaitannya dengan harta, akad dibagi menjadi dua:

  1. Akad maliyah, yaitu semua akad yang melibatkan harta atau benda tertentu. Baik untuk transaksi komersial, seperti jual-beli maupun non komersial, seperti hibah, hadiah. Termasuk juga akad terkait dengan pekerjaan dengan kompensasi tertentu, seperti akad mudharabah, muzara`ah atau musaqah.
  2. Akan ghairu maliyah, adalah akad yang hanya terkait dengan perbuatan saja tanpa ada kompensasi tertentu. Seperti akad hudnah (perjanjian damai), mewakilkan, wasiat, dll.

Ada akad yang tergolong maliyah dari satu sisi dan ghairu maliyah dari sisi yang lain. Contohnya: akad nikah, khulu’, shulhu, dan sebagainya. (Lihat Al-Mantsur fi al-Qowaid al-Fiqhiyah, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 469)

Kedua, pembagian akad ditinjau dari konsekwensinya, dibagi dua:

  1. Akad lazim, adalah akad yang mengikat semua pihak yang terlibat, sehingga masing-masing     pihak tidak punya hak untuk membatalkan akad kecuali dengan kerelaan pihak yang lain.     Contoh: akad jual-beli, sewa-menyewa, hiwalah, dan semacamnya.
  2. Akad jaiz atau akad ghairu lazim, adalah akad yang tidak mengikat. Artinya salah satu pihak     boleh membatalkan akad tanpa persetujuan rekannya. Contoh: akad pinjam-meminjam, wadi`ah,     mewakilkan, dan lain-lain. (Lihat Al-Mantsur fi al-Qowaid al-Fiqhiyah, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 468)

Ketiga, pembahasan akad ditinjau dari keterkaitan dengan hak pilih
Ditinjau dari adanya khiyar (hak pilih) dan tidak diterimanya hak pilih, akad dibagi menjadi enam:

1. Akad mengikat yang tujuan utama komersial. Ada dua bentuk:

  • Akad yang memberi kesempatan untuk khiyar majlis dan khiyar syarat. Misalnya akad jual beli yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh (serah terima), transaksi jasa untuk suatu pekerjaan tertentu.
  • Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Seperti transaksi tukar-menukar uang, transaksi salam, dan transaksi tukar menukar barang ribawi. Semua transaksi ini tidak boleh ada khiyar.

2. Akad mengikat namun bukan komersial. Seperti akad pernikahan, khulu`, wakaf, atau hibah. Semua akad ini tidak ada hak pilih untuk membatalkan dari salah satu pihak.

3. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak namun tidak mengikat pihak lainnya. Seperti akad rahn (gadai), yang mengikat bagi pihak rahin (orang yang menggadaikan barang). Sebaliknya, tidak mengikat bagi murtahin (orang yang memberi hutang dengan gadai). Dalam transaksi ini tidak ada hak khiyar. Karena akad bagi murtahin adalah akad jaiz, sehingga dia bisa membatalkan transaksi kapan saja tanpa menunggu persetujuan pihak rahin.

4. Akad jaiz dari semua pihak yang terlibat transaksi. Seperti akad syirkah, mudharabah, ju’alah, wakalah, wadi’ah, atau wasiat. Pada kasus transaksi semacam ini tidak ada hak khiyar karena masing-masing bebas menentukan keberlanjutan transaksi tanpa harus ada persetujuan dari pihak lain.

5. Akad pertengahan antara jaiz dan lazim, seperti musaqah dan muzara`ah. Yang lebih mendekati kebenaran, keduanya adalah akad jaiz. Sehingga tidak perlu ada hak khiyar, karena masing-masing pihak memiliki wewenang untuk membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak lain.

6. Akad lazim, dimana salah satu pihak transaksi tidak terikat. Contoh akad hiwalah. Dalam akad ini tidak ada khiyar, karena pihak yang tidak ditunggu persetujuannya tidak memiliki hak khiyar. Jika dalam akad, pada salah satu pihak transaksi tidak memiliki hak khiyar maka pihak yang lain juga tidak memiliki khiyar. (Al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405, jilid 4, hlm. 130)

Keempat, akad ditinjau dari tujuannya, dibagi dua:

  1. Akad Tabarru` (akad non komersial). Contoh akad hibah, `ariyah, wadi`ah, wakalah, rahn, wasiat, hutang-piutang, dll
  2. Akad Mu`awadhat (akad komersial). Contoh: jual beli, salam, tukar-menukar mata uang, ijarah, istishna`, mudharabah, muzara`ah, musaqah, dll.

(Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/234)

Kelima, pembagian akad berdasarkan sah dan tidaknya
Akad ditinjau dari hukumnya, apakah diakui secara syariat ataukah tidak dibagi menjadi dua:

  1. Akad yang sah. Akad dianggap sah jika semua syarat dan rukunnya terpenuhi. Konsekwensi akad yang sah adalah adanya perpindahan hak kemanfaatan dalam sebuah transaksi. Misalnya, dalam akad jual beli yang sah maka konsekwensinya, penjual berhak mendapatkan uang dan pembeli berhak mendapatkan barang.
  2. Akad yang tidak sah. Kebalikan dari akad yang sah, akad dianggap tidak sah jika tidak diakui secara syariat dan tidak memberikan konsekwensi apapun. Baik karena bentuk transaksinya yang dilarang, seperti judi, riba, jual beli bangkai, dst. Maupun karena syarat atau rukun transaksi tidak terpenuhi, misalnya menjual barang hilang, transaksi yang dilakukan orang gila, dst.

(Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/235)

Keenam, akad terkait adanya qabdh (serah-terima) dibagi dua:

  1. Akad yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh di tempat akad. Misalnya akad jual beli secara umum, ijarah, nikah, wasiat, wakalah, hiwalah, dan yang lainnya. Dalam akad jual beli, transaksi jual beli sah jika sudah ada ijab-qabul. Baik sekaligus dilakukan serah terima barang maupun serah terimanya ditunda. Demikian pula akad nikah. Tepat setelah akad, masing-masing telah berstatus suami istri, baik serah terima mahar dilakukan di tempat akad maupun ditunda.
  2. Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Akad ini dibagi menjadi beberapa macam:
  • Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh untuk dinyatakan sah berpindahnya kepemilikan. Meskipun akadnya dianggap sah sebelum adanya qabdh, namun kepemilikan belum berpindah sampai  Seperti hibah, hutang, atau `ariyah (pinjam-meminjam). Dalam transaksi hibah, barang yang hendak dihibahkan tidak secara otomatis pindah kepada orang yang diberi hanya dengan ijab-qabul. Namun disyaratkan adanya penyerahan barang dengan izin orang yang memberi. Demikian pula dalam transaksi hutang-piutang. Kreditur tidak secara otomatis memiliki uang yang dihutangkan dengan sebatas ijab-qabul, sampai dia menerima uang tersebut dari debitur. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Oleh karena itu, andaikan uang yang hendak dihutangkan itu hilang sesudah transaksi namun sebelum dilakukan serah terima, maka uang itu menjadi tanggungan debitur bukan kreditur.
  • Akad yang dipersyaratkan adanya  qabdh untuk bisa dinilai sah. Jika tidak ada serah terima di tempat transaksi maka transaksi dianggal batal. Contoh: transaksi tukar-menukar mata uang, tukar-menukar barang ribawi, transaksi salam, mudharabah, musaqah, atau muzara`ah. Ini berdasarkan hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali yang beratnya sama dan tunai”. (HR. Muslim 1584). Untuk jual beli salam (uang dibayar di muka, barang tertunda), mayoritas ulama berpendapat bahwa uang harus sudah diserahkan sebelum berpisah antara penjual dan pembeli. Ini berdasarkan hadis: “Barangsiapa yang ingin melaksanakan transaksi salam maka hendaknya dia tentukan takarannya, timbangannya, dan waktunya”. (HR. Muslim 1604) (Al-Asybah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 25)

Ketujuh, ditinjau dari konsekwensinya, akad dibagi dua:

  1. Akad Nafidz (terlaksana). Akad dianggap nafidz ketika akad tersebut sah dan tidak ada lagi keterkaitan dengan hak orang     lain. Contoh akad jual beli yang sempurna. Barang yang dijual tidak ada sangkut pautnya     dengan orang lain, sementara uang yang diserahkan adalah murni milik pembeli. Akad nafidz     hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ahliyatu tasharruf (kemampuan untuk     bertransaksi).
  2.  Akad Mauquf (menggantung). Akad mauquf adalah akad yang masih memiliki keterkaitan dengan hak orang lain. Seperti menjual barang orang lain tanpa izin. Mayoritas ulama berpendapat bahwa akad mauquf hukumnya sah, hanya saja konsekwensi akad bergantung pada pemilik barang atau pemilik uang. Sehingga pembeli tidak boleh menerima barang sampai mendapatkan izin dari pemiliknya. Demikian pula penjual tidak boleh menerima uang sampai dia mendapat izi dari pemilik uang. (Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/237)

Kedelapan, Akad ditinjau dari batas waktunya

  1. Akad Muaqqat (terbatas dengan batas waktu tertentu). Akad muaqqat adalah semua akad yang harus dibatasi waktu tertentu. Misalnya: ijarah, musaqah, atau hudnah (perjanjian damai).
  2. Akad Mutlak (tanpa batas waktu), ada dua bentuk:
  • Akad yang tidak boleh dibatasi waktu tertentu. Misalnya: akad nikah, jual beli, jizyah, atau wakaf. Tidak boleh seseorang nikah untuk jangka waktu tertentu. Demikian pula terlarang menjual barang, tetapi untuk jangka waktu tertentu.
  • Akad yang boleh dibatasi waktu, namun terkadang tidak membatasi, seperti hutang. Terkadang dibatasi waktu, namun jika kreditur tidak mampu melunasi pada batas waktu yang ditentukan maka wajib ditunggu. (Al-Ashbah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 29)

Rujukan:
(Al-Fairuz Abadzi, al-Qomus al Muhith, Syamilah, kata: عقد)
(Al-Jashsas, Ahkam al-Qur`an, Mauqi al-Islam, jilid 5, hlm. 181)
(Al-Jurjani, at-Ta`rifat, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, 1405, hlm. 196)
(Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/200)
(az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qowaid al-Fiqhiyah, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 469)
(Ibnu Qudamah, al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405, jilid 4, hlm. 130)
(as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 25)

Read more https://yufidia.com/akad/

Iman kepada Allah

Iman kepada Allah mengandung empat unsur (Syarah Ushul Iman, hlm. 13–22):

Pertama: Mengimani Wujud Allah ta’ala.

Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah manusia, akal manusia, syariat, dan indra manusia.

  • Bukti fitrah tentang wujud Allah.

Secara fitrah, manusia telah mengakui adanya pencipta, pengatur, dan pemilik alam semesta ini. Tidak ada orang yang mengingkari hal ini selain orang ateis yang sombong. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam). Ibu-bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari, no. 1292)

  • Bukti akal.

Bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Mereka tidak mungkin menciptakan diri mereka sendiri, dan tidak pula tercipta secara kebetulan. Allah ta’ala menyebutkan dalil akal tentang keberadaan Sang Pencipta dalam surat Ath-Thur, yang artinya, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur:35)

Ketika Jubair bin Muth’im mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini, maka dia–yang tatkala itu masih musyrik–berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhari, no. 4573)

  • Bukti syariat.

Bukti syariat tentang wujud Allah sangat banyak. Semua ayat Alquran yang berbicara tentang Allah dan segala sifat-Nya menunjukkan keberadaan Allah ta’ala.

  • Bukti indrawi.

Bukti indrawi tentang wujud Allah ta’ala dapat dibagi menjadi dua:

  • Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa, serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah ta’ala.
  • Mukjizat para nabi dan rasul, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang. Ini merupakan bukti yang jelas tentang wujud Dzat yang memelihara para nabi tersebut, yaitu Allah ta’ala. Karena hal itu terjadi di luar kemampuan manusia, Allah melakukannya sebagai penguat dan penolong bagi para rasul.

Kedua: Mengimani rububiyah Allah ta’ala

Mengimani rububiyah Allah ta’ala maksudnya ‘mengimani sepenuhnya bahwa Dialah satu-satunya Rab, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya’.

“Rab” adalah ‘Dzat yang menciptakan, memiliki, serta mengatur semesta alam’. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada yang bisa mengatur alam semesta, menghidupkan, serta mematikan, selain Allah ta’ala. Allah berfirman, yang artinya, “Ingatlah, menciptakan dan mengatur hanya milik Allah. Mahasuci Allah ….” (QS. Al-A’raf:54)

Tidak ada makhluk yang mengingkari ke-rububiyah-an Allah ta’ala, kecuali orang yang sombong. Pada hakikatnya pula, dia sendiri tidak meyakini kebenaran ucapannya. Bahkan, pada diri Fir’aun sekali pun, meskipun dia mengaku tuhan, namun hatinya yakin bahwa yang benar adalah dakwah Musa, yang mengajak untuk mengesakan Allah.

Allah ta’ala berfirman menceritakan keadaan batin Fir’aun dan pengikutnya ketika mendengar dakwah Musa dan Harun, yang artinya, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka. Padahal, hati mereka meyakini (kebenaran) dakwah Musa.” (QS. An-Naml:14)

Demikian juga, perkataan Musa kepada Fir’aun, yang Allah sebutkan dalam Alquran, yang artinya, “Sesungguhnya, kamu telah mengetahui bahwa tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rab yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti nyata, dan sesungguhnya aku menganggap kamu, wahai Fir’aun, seseorang yang akan binasa.” (QS. Al-Isra’:102)

Oleh karena itu, sebenarnya, orang-orang musyrik Quraisy juga mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka, apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Empunya langit yang tujuh dan Empunya ‘arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka, apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al-Mu’minun:84–89)

Ketiga: Mengimani uluhiyah Allah ta’ala.

Artinya, mengimani dan mengamalkan konsekuensi bahwa Dialah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia; yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah:163)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia; yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia; yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali Imran:18)

Dakwah para rasul mengajak kaumnya untuk hanya beribadah kepada Allah. Allah berfirman menceritakan ajakan mereka, yang artinya, “Sembahlah Allah oleh kamu sekalian! Sekali-kali, tidak ada Tuhan selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Al-Mu’minun:32)

Meski demikian, orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil tuhan (sesembahan) selain Allah ta’ala. Mereka menyembah serta meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu. Itulah bentuk menyekutukan Allah.

Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan dua bukti:

  • Tuhan-tuhan yang mereka sembah tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberi kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak menguasai kehidupan dan kematian, tidak memiliki sedikit pun kekuasaan di langit, serta tidak pula ikut memiliki keseluruhannya.

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun. Bahkan, mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun, dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan, tidak (pula) membangkitkan.” (QS. Al-Furqan:3)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Katakanlah, ‘Panggil mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, serta sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya untuk memperoleh syafaat.” (QS. Saba’:22–23)

  • Sebenarnya, orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Rab, Pencipta, yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan adanya pengesaan uluhiyah(penghambaan) Allah, sebagaimana mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Wahai manusia, sembahlah Rabmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan hujan itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:21–22)

Keempat: Mengimani nama dan sifat Allah ta’ala.

Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala adalah dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam Alquran atau sunah Rasul-Nya, sesuai dengan kebesaran-Nya, tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (penghapusan), takyif (menanyakan kaifiyahnya), dan tamtsil (penyerupaan).

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Allah mempunyai asma`ul husna (nama-nama yang indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asma`ul husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Kelak, mereka akan mendapat balasan terhadap perbuatan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf:180)

Dia juga berfirman, yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura:11).

Kelompok sesat terkait nama dan sifat Allah

Terkait dengan iman terhadap nama dan sifat Allah, ada dua golongan yang tersesat, yaitu:

Pertama: Golongan Mu’aththilah.

Yaitu golongan yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, atau mengingkari sebagian nama dan sifat Allah, misalnya: menganggap bahwa Allah tidak memiliki wajah, Allah tidak memiliki tangan, dan sebagainya. Padahal, Allah telah menyebutkan dalam Alquran dan hadis bahwa Dia memiliki tangan, wajah, dan kaki yang berbeda dengan makhluknya, sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah.

Menurut anggapan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni penyerupaan Allah ta’ala dengan makhluk-Nya.

Pendapat ini jelas keliru karena:

1. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang batil atau salah, karena Allah ta’ala telah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk diri-Nya, serta telah menafikan segala sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata penetapan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam firman Allah.

2. Kesamaan dalam nama atau sifat tidak menunjukkan adanya persamaan secara hakikat. Anda melihat ada dua orang yang keduanya adalah manusia yang mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi sifat kemanusiaan, pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan mereka tidaklah sama. Apabila di antara makhluk-makhluk yang serupa dalam nama atau sifatnya saja jelas ada perbedaan hakikat, maka tentu perbedaan antara Khalik (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.

Kedua: Golongan Musyabbihah.

Yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah, lalu mereka menyamakannya dengan sifat makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nas-nas Alquran, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru, ditinjau dari beberapa hal berikut:

1. Menyerupakan Allah ta’ala dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang batil, menurut akal maupun syariat. Padahal, tidak mungkin jika nas-nas kitab suci Alquran dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan pengertian yang batil.

2. Allah ta’ala berbicara kepada hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Akan tetapi, hakikat makna informasi tentang Dzat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah. Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar. Kata “mendengar” sudah diketahui dari sisi maknanya, yaitu ‘menangkap suara’, tetapi hakikat pendengaran Allah hanya diketahui oleh-Nya. Contoh lain: Allah ta’ala memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia ber-istiwa’ di atas Arsy-Nya. Kata “istiwa’”, dari sisi asal maknanya, adalah satu hal yang sudah dipahami, yaitu ‘berada di atas sesuatu’, tetapi hakikat keberadaan Allah tidak diketahui oleh siapa pun kecuali oleh Dia sendiri.

Buah iman kepada Allah

  1. Mengesakan Allah ta’ala, sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
  2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang Mahatinggi.
  3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
  4. Semakin mengagungkan Allah.

Referensi:

  • Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Mukhtashar. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dar Ibnu Katsir. Beirut, 1407 H.
  • Syarah Ushul Iman. Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. Dar Al-Qasim. Arab Saudi. 1419 H.

Read more https://yufidia.com/iman-kepada-allah/

Cara Shaf Wanita

Bagaimana teknis pengaturan shaf wanita jika shalat di masjid dengan ikhwan dari belakang atau dari depan?

Jawab:
Jika kaum wantia shalat berjamaah di belakang kaum laki-laki, maka shaf wanita yang terbaik ialah yang paling belakang (terakhir) dan yang terjelek ialah yang paling depan. Berdasarkan hadits Abu Hurairah,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebaik-baiknya shaf (barisan) kaum laki-laki ialah yang terdepan dan yang terjelek ialah yang paling akhir. Sedangkan sebaik-baiknya shaf wanita ialah yang paling akhir dan yang terjelek ialah yang terdepan.”  (HR. Muslim 326/1)

Hadits ini menerangkan, bahwa shaf yang paling utama bagi laki-aki ialah barisan pertama dan yang paling jelek ialah shaf terakhir. Sedangkan bagi wanita adalah sebaliknya. Ini apabila wanita shalat bersama laki-laki. Namun, jika para wanita itu shalat dengan imam wanita juga (tidak bersama laki-laki), maka shaf (barisan) yang paling utama ialah shaf yang paling awal.

Berkaitan dengan hadits di atas, Imam Nawawi berkata, “Adapun barisan kaum wanita, maka yang dimaksud dalam hadits ini ialah wanita yang shalat berjamaah dengan kaum dari laki-laki. Sedangkan bila mereka shalat terpisah dari laki-laki, maka sama dengan laki-laki, yaitu sebaik-baik barisan ialah yang pertama dan yang terjelek ialah yang terakhir. Yang dimaksud dengan sejelek-jelek shaf (barisan) pada wanita dan laki-laki tersebut, adalah yang paling sedikit pahala dan keutamaannya, serta paling jauh dari yang dituntut syariat.” (Syarah Sahih Muslim, 4/380-381)

Sehingga dapat diambil pengertian, wanita membuat shaf dari belakang agar mendapatkan keutamaan ini. Sebaliknya, kaum laki-laki memulai dengan yang terdepan. Wallahu a’lam

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 2 Tahun IX 1426 H/2005M

 

Read more https://yufidia.com/cara-shaf-wanita/

Anak Jangan Durhaka, Orang Tua Jangan Terlalu Sayang Sekali

Anak kadang kurang perhatian dengan orang tuanya, lupa dengan kesibukannya bahkan bisa jadi durhaka kepada orang tuanya. Karenanya Islam sangat meotivasi agar berbakti kepada orang tua. Sebaliknya orang tua terkadang terlalu sayang sekali kepada anak mereka, terkadang mengikuti saja mau anak padahal itu tidak baik bagi agama maupun dunianya. Karenanya Islam mengingatkan para orangtua bahwa anak bisa menjadi fitnah/ujian.

Motivasi Islam agar anak berbakti kepada orang tuanya

Sangat banyak anjuran terkait hal ini, terutama ketika orang tua sudah memasuki usia senja. “Perhatikanlah wahai para anak, waktu mencari rezeki lebih panjang dari usia orang tuamu, bahagiakan mereka dengan waktu yang tersisa”

Perhatikanlah berikut ini wahai para anak

1.Perintah berbakti urutan kedua setelah perintah bertauhid kepada Allah[1]

2.Ridha Allah tergantung ridha orang tua, selama itu dalam ketaatan[2]

3.Berbakti kepada orang tua bisa menghilangkan kesusahan hidup atas izin Allah[3]

4.Durhaka kepada orang tua adalah dosa terbesar kedua setelah syirik mempersekutukan Allah[4]

5.Celaka bagi anak yang mendapati orang tuanya masih hidup tetapi ia tidak bisa masuk surga karena tidak berbakti[5]

Peringatan bagi orang tua agar anak mereka tidak menjadi fitnah/ujian

Misalnya anak minta dibelikan TV dan game tidak bermanfaat, karena orang sangat sayang, maka dikabulkan atau anak perempuannya tidak menutup aurat, maka ia tidak menasehati bahkan tidak mau tegas kepada anak perempuannya.

Perhatikan hal berikut ini wahai para orang tua:

1.Allah memperingatkan dalam Al-Quran bahwa anak dan istri bisa jadi fitnah/ujian[6]

2.Anak-anak bisa menyibukkan kita dari agama dan hal-hal penting[7]

3.Bahkan ada perintah agar tegas kepada anak, yaitu dengan cara memukulnya ketika tidak ta’at kepada Allah, ini benar-benar langkah terakhir jika berbagai nasehat kelembutan tidak ia terima. Tentunya dengan pukulan mendidik dan tidak keras, bukan pukulan dengan kemarahan dan tidak memukul di wajah[8]

Semoga kita sebagai anak selalu bisa berbakti kepada orang tua dan sebagai orang tua bisa mendidik anak dengan pendidikan terbaik

 

@Desa Pungka, Sumbawa Besar – Sabalong Samalewa

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Sangat Rugi Jika Tidak Diampuni di Bulan Ramadhan

Saudaraku
Pernahkah mendengar hadits mengenai celaka sampai 3x celaka, yaitu bagi orang yang mendapati orang tuanya sudah tua, lalu tidak bisa masuk surga karena tidak  berbakti pada orang tua

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

ﺭَﻏِﻢَ ﺃَﻧْﻒُ، ﺛُﻢَّ ﺭَﻏِﻢَ ﺃَﻧْﻒُ، ﺛُﻢَّ ﺭَﻏِﻢَ ﺃَﻧْﻒُ ﻣَﻦْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺃَﺑَﻮَﻳْﻪِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻜِﺒَﺮِ، ﺃَﺣَﺪُ ﻫُﻤَﺎ ﺃَﻭﻛِﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ، ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [HR. Muslim]

Mengapa bisa celaka? Karena memang benar-benar (maaf) “keterlaluan”, karena berbakti kepada orang tua yang sudah usia tua dan usia lanjut adalah CUKUP MUDAH dan pahalanya sangat besar

Orang tua apalagi sudah renta tidak minta hal-hal yang macam-macam pada anaknya.

Mereka berdua tidak minta harta banyak, karena sudah sulit mau menikmati harta seperti makan enak lantaran ingin jaga kesehatan

Mereka berdua tidak minta jalan-jalan yang mahal karena kaki sudah lemah diajak berjalan

Mereka berdua tidak minta jabatan karena sudah lelah mengurus dan berurusan dengan manusia

Mereka hanya minta kabar dari-mu, sering menelpon jika jauh, engkau sesekali membawa anak-anakmu pulang kampung agar mereka berdua bermain-main dengan cucunya

Bahkan sekedar mendengar kabar dari engkau bahwa engkau berhasil dunia-akhirat, mereka sangat berbahagia.

Karenanya pintu surga yang paling mudah dimasuki adalah pintu yang paling tengah yaitu berbakti kepada orang tua.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪُ ﺃَﻭْﺳَﻂُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺄَﺿِﻊْ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﺒَﺎﺏَ ﺃَﻭِ ﺍﺣْﻔَﻈْﻪُ

“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya.” [HR. Ahmad, Hasan).

Jika ada di depan kita beberapa pintu, tentu yang mudah dan nyaman bagi kita, memasuki pintu yang tengah daripada masuk pintu yang di pinggir.

Al-Baidhawi menjelaskan,

إﻥ ﻟﻠﺠﻨﺔ ﺃﺑﻮﺍﺑﺎ ﻭﺃﺣﺴﻨﻬﺎ ﺩﺧﻮﻻ ﺃﻭﺳﻄﻬﺎ

“Sesungguhnya di surga banyaj pintu, yang paling baik (nyaman) untuk memasukinya adalah pintu paling tengah (berbakti kepada orang tua).” [Tuhfatul Ahwadzi  6/21]

Demikian juga di bulan Ramadhan,
Jika ada yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka ini “keterlaluan” juga dan termasuk yang celaka, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ – أَوْ بَعُدَ – دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni.” [HR. Ahmad, dishahihkan al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani]

Di bulan Ramadhan sangat banyak sebab-sebab diampuni seperti puasa, shalat malam, zakat fithri sebagai penyuci orang puasa dan lain-lainnya.
Silahkan baca tulisan kami: 
https://muslim.or.id/39880-asal-penamaan-bulan-ramadhan.html

Pantas apabila ada ulama salaf yang berkata,

من لم يغفرْ لَه في رمضان فلن يغفر له فيما سواه؛

“Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan, maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya.” [Latha-if  Al-Ma’arif, hal. 297]

Semoga kita termasuk orang yang diampuni di bulan Ramadhan

@ Masjid MPD, Yogyakarta Tercinta

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Kita Hanya Menyampaikan, Bukan Mengubah Paksa Orang Lain

Tugas kita hanyalah menyampaikan
Sebagaimana firman Allah,

وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ 

“Dan kewajiban kami tidak lain HANYALAH MENYAMPAIKAN (perintah Allah) dengan jelas.” (QS. Yasin: 17)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan bahwa tugas kita hanya menyampaikan, apabila diterima maka alhamdulillah, apabila ditolak, maka sudah bukan kewajiban kita (mengubah paksa). Beliau berkata,

وإنما وظيفتنا -التي هي البلاغ المبين- قمنا بها، وبيناها لكم، فإن اهتديتم، فهو حظكم وتوفيقكم، وإن ضللتم، فليس لنا من الأمر شيء.

“Tugas kami hanyalah menyampaikan dengan ilmu yang jelas, kami lakukan dan kami jelaskan bagi kalian. Apabila kalian mendapat hidayah, maka itulah keberuntungan dan taufik bagi kalian. Apabila kalian tetap tersesat, maka tidak ada kewajiban bagi kami lagi (mengubah paksa).” [Lihat Tafsir As-Sa’diy]

Menyampaikan dengan ilmu ilmiah
dan cara yang lembut dan hikmah
Inilah yang disebut dengan “hidayah al-irsyad wal bayan”
Semua bisa memberikan hidayah ini dengan ilmu, sebagaimana firman Allah pada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar MEMBERI HIDAYAH/petunjuk kepada jalan yang lurus” (Asy-Syuuraa: 52).

Adapun memberikan mengubah orang lain
Maka ini hak khusus Allah
Yaitu memberikan “Hidayah at-taufiq”
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa memberikan hidayah ini
Sebagaimana firman Allah,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ 

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) TIDAK akan dapat MEMBERI HIDAYAH (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Al Qashash/28 : 56)

Berdakwah itu sederhana
Apabila diterima Alhamdulillah
Apabila ditolak, jangan dipaksa menerima
Jangan dimusuhi tetapi didoakan
Karena ia masih saudara kita se-Islam

Demikian semoga bermanfaat

@ Lombok, Pulau Seribu Masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel muslimafiyah.com

Hikmah dari Isra Miraj

SAHABATKU yang baik, dalam kedahsyatan Isra Miraj, terkandung banyak sekali hikmah yang bisa kita ambil dan jadikan teladan untuk kehidupan sehari-hari.

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Isra` : 1)

Salah satunya hikmah yang bisa kita ambil ialah bagaimana perjuangan Rasulullah untuk memudahkan umatnya dalam beribadah. Ini sebuah teladan yang bisa diambil bagi para pemimpin untuk selalu memperjuangkan kemudahan-kemudahan bagi para rakyatnya.

Semoga dengan peristiwa ini, kita senantiasa mengambil hikmah yang banyak dan semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita semua agar selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin Ya Robbal alamin. [*]

 

INILAH MOZAIK

Kumpulan Amalan Ringan #21: Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Sepuluh Kali Bada Shalatl

Kali ini adalah amalan ringan yang bisa diamalkan bada shalat, yaitu bacaan dzikir subhanallah, alhamdulillah, Allahu akbar, masing-masing dibaca sepuluh kali.

 

Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,

خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لاَ يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ يُسَبِّحُ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ عَشْرًا وَيَحْمَدُ عَشْرًا وَيُكَبِّرُ عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ وَخَمْسُمِائَةٍ فِى الْمِيزَانِ وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ وَيَحْمَدُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَيُسَبِّحُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ فِى الْمِيزَانِ

Ada dua perangai jika seorang hamba yang muslim menjaganya niscaya dia akan masuk surga. Dua perangai ini mudah namun sedikit yang mengamalkannya. Setiap bada shalat hendaknya membaca SUBHANALLAH sebanyak sepuluh kali, ALHAMDULILLAH sebanyak sepuluh kali, dan ALLAHU AKBAR sebanyak sepuluh kali. Maka jadilah (total satu hari) sebanyak seratus lima puluh kali di lisan dan sebanyak seribu lima ratus kali di timbangan (mizan). Jika dia mulai berbaring (untuk tidur) dia bertakbir sebanyak tiga puluh empat kali, bertahmid sebanyak tiga puluh tiga kali, dan bertasbih sebanyak tiga puluh tiga kali, maka itu di lisan sebanyak seratus kali, sedangkan di mizan sebanyak seribu kali.”

(Abdullah bin Amr berkata) Dan sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitungnya dengan tangannya. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah bagaimana dua amalan ini mudah namun sedikit orang yang mengamalkannya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَأْتِى أَحَدَكُمْ – يَعْنِى الشَّيْطَانَ – فِى مَنَامِهِ فَيُنَوِّمُهُ قَبْلَ أَنْ يَقُولَهُ وَيَأْتِيهِ فِى صَلاَتِهِ فَيُذَكِّرُهُ حَاجَةً قَبْلَ أَنْ يَقُولَهَا

Setan mendatangi salah seorang dari kalian ketika mau tidur sehingga setan menjadikannya tidur sebelum dia mengucapkannya. Dan setan mendatanginya di shalatnya dan mengingat-ingatkan ia tentang hajatnya sebelum ia mengucapkannya.”  (HR. Abu Daud, no. 5065; Tirmidzi, no. 5065. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

 

Nantikan kumpulan amalan ringan berikutnya berserial, dan insya Allah akan menjadi sebuah buku.

Bahasan ini dikembangkan dari kitab “Al-Ajru Al-Kabir ‘ala Al-‘Amal Al-Yasir” karya Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Cetakan pertama, Tahun 1415 H, Penerbit Dar Ibnu Hazm.

 


 

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/20363-kumpulan-amalan-ringan-21-subhanallah-alhamdulillah-allahu-akbar-sepuluh-kali-bada-shalat.html

Muslim Itu Punya Prinsip, Tidak Ikut-ikutan

Fenomena internet dan sosial media di zaman ini menyebabkan budaya, gaya, mode dan pemikiran menyebar begitu cepat dan diikuti oleh banyak orang dengan tersebarnya (viralnya) hal tersebut. Tidak luput juga kaum muslimin ikut-ikutan dengan budaya, gaya dan pemikiran tersebut. Apabila budaya dan pemikiran yang sesuai dengan ajaran Islam, maka tidak mengapa, seperti trend teknologi dan sains, akan tetapi yang menyebar cepat dan menjadi viral cukup banyak yang bertentangan dengan agama Islam.

 

Seorang muslim itu harus punya prinsip, yaitu bersumber dari Al-Quran dan sunnah berdasarkan pemahaman para salaf. Dikarenakan punya prinsip, seorang muslim tidak mudah ikut-ikutan begitu saja, akan tetapi kembali kepada prinsip dalam Al-Quran dan sunnah.

Berikut beberapa gaya atau trend yang digandrungi oleh masyarakat khususnya pemuda bahkan dianggap biasa dan dianggap tidak melanggar syariat, padahal hal tersebut melanggar syariat.

1. Tato

2. Tindik/tepong/ piercing

3. Berpakaian ketat bagi wanita

4. Ikut-ikutan challenge yang tidak bermanfaat dan terlihat bodoh/konyol

5. dan lain-lainnya

Berikut sedikit pembahasannya:

1. Tato

Tato di zaman ini oleh sebagian orang mulai dianggap biasa saja, karena budaya dari luar dan bahkan pejabat pun ada yang memakai tato. Tato ini dilarang oleh Islam sebagaimana dalam hadits berikut.

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَثَمَنِ الدَّمِ وَنَهَى عَنْ الْوَاشِمَةِ وَالْمَوْشُومَةِ وَآكِلِ الرِّبَا وَمُوكِلِهِ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli anjing dan jual beli darah , dan melarang orang yang mentato dan yang ditato dan pemakan riba, serta melaknat orang yang menggambar.” (HR. Al-Bukhari)

 

2. Tindik/tepong/piercing

Menindik telinga bagi wanita adalah hal yang wajar karena wanita berhias, akan tetapi menindik telinga bagi laki-laki adalah suatu hal yang aneh di zaman dahulu, karena berhias itu bukan sifat identik laki-laki, terlebih hal ini ditegaskan larangannya oleh ulama. Ibnu Abidin berkata,

ثقب الأذن لتعليق القرط مِن زِينَةِ النساءفلا يحل للذكور

“Menindik telinga untuk tempat anting adalah perhiasan bagi wanita dan tidak halal bagi laki-laki.” [Raddul Muhtar, 27/81]

Demikian juga gaya dan trend yang menyerupai orang fasik di zaman ini seperti melakukan piercing yang bukan pada tempat yang layak seperti di alis, di lidah, di pusar bahkan di daerah intim. Sangat tidak layak seorang muslim ikut-ikutan dalam hal ini.

 

3. Berpakaian ketat bagi wanita

Gaya dan trend ini mungkin sejak dahulu sudah ada dan semakin nampak di zaman ini. Sebagian wanita muslimah merasa biasa saja ketika tidak berjilbab atau mungkij berjilbab tetapi memakai pakaian ketat, padahal hal ini dilarang keras dalam Islam dan ancamannya cukup keras yaitu tidak mencium bau surga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” [HR. Muslim]

 

4. Ikut-ikutan challenge yang tidak bermanfaat dan terlihat bodoh/konyol

Di zaman ini terkenal istilah challenge (tantangan) yaitu tantangan melakukan sesuatu kemudian pelakunya meng-upload gambara atau video ia melakukan challenge (tantangan) tersebut. Hanya saja kebanyakan challenge (tantangan) tersebut adalah hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan hal-hal yang bodoh atau terlihat konyol. Hanya saja karena hal tersebut sedang viral dan menjadi ajang pembuktian eksistensi diri, maka banyak yang ikut-ikutan padahal ia tahu itu hal yang terlihat konyol.

Melakukan hal ini hanya buang-buang waktu saja dan tidak bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” [HR. Tirmidzi, shahih]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya bahwa umat islam ada yang suka mengikuti orang non-muslim terutama Yahudi dan Nasrani, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mau mengikuti agama mereka.” (QS. Al-Baqarah: 120)

Sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kelak bahwa akan ada dari umatnya yang mengikuti segala tindak tanduk orang yahudi dan nashrani, jika mereka masuk ke lubang dhab (semacam biawak gurun pasir), maka orang Islam akan mengikuti mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ ه

“Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal), niscaya akan kalian ikuti,” maka para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani?” (Jawab Rasulullah): “Siapa lagi?!” [HR. Bukhari & Muslim]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46445-muslim-itu-punya-prinsip-tidak-ikut-ikutan.html