Inilah Alasan Mengapa Pemimpin Hasil Pilpres Harus Tetap Ditaati

Pemilu/Pilpres dan sistem demokrasi memang tidak sesuai dengan syariat baik secara secara dalil dan akal. Secara akal, suara satu orang profesor atau orang yang berlimu dan ahli disamakan dengan satu orang yang tidak tahu apa-apa atau orang tersebut bodoh.

Secara syari’at tidak sesuai juga, karena pemilihan pemimpin yang dianggap dalam Islam ada beberapa cara:

  1. Dewan Syura (Ahlul Halli Wal ‘Aqdi), sebagaimana Umar bin Khathab meninggalkan 6 orang ahli syura
  2. Tunjuk langsung, sebagaimana Abu Bakar ke Umar Radhiallahu’anhuma
  3. Mughalabah, pemimpin di kalahkan oleh kelompok yang mengalahkan

Pemimpin dari hasil pemilu juga harus ditaati

Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa ada yang berpendapat ikut serta pemilu tidak disyariatkan, tetapi jika ada presiden sudah terpilih lewat Pemilu/Pilpres malah diwajibkan untuk taat?

Jawabnya, siapapun yang terangkat menjadi pemimpin yang sah maka wajib ditaati walaupun caranya tidak sesuai syariat, misalnya cara ke 3 yaitu mughalabah, jika raja yang sah dikalahkan dan dikudeta, maka wajib mentaati yang baru.

Hadits berikut bisa memberi penjelasan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda agar taat dan patuh kepada pemimpin walaupun seorang budak Habasyah yang hitam legam. Beliau bersabda,

عليكم بالسَّمعِ والطَّاعةِ وإن تأمَّرَ عليكم عبدٌ حبشِيٌّ

Wajib bagi kalian untuk mendengar dan taat meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyah” [1]

Padahal syarat jadi pemimpin adalah merdeka, karena budak harus taat terhadap tuannya. Maka ia menjadi pemimpin, ini tidak sesuai syariat. Tapi jika seandainya benar-benar jadi pemimpin, maka harus ditaati, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda demikian. Jika saja budak yang melanggar syarat jadi pemimpin harus ditaati (dan budak menjadi pemimpin jelas tidak sesuai syariat), maka apalagi cara yang lain.

Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

أَمَّا لَوْ تَغَلَّبَ عَبْدٌ حَقِيْقَةً بِالْقُوَّةِ فَإِنَّ طَاعَتَهُ تَجِبُ إِخْمَادًا لِلْفِتْنَةِ وَصَوْنًا لِلدِّمَاءِ مَا لَمْ يَأْمُرْ بِمَعْصِيَةٍ

“Jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan gejolak (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat” [2].

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, menukilkan perkataan Ibnu Baththal ,

وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ

“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat” [3]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

الْأَئِمَّةُ مُجِْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ عَلَى أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ أَوْ بُلْدَانٍ؛ لَـُه حُكْمُ الْإِمَامِ فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ

“Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu” [4]

Jangan hanya salahkan pemimpin saja

Tapi perlu kita ketahui bahwa tidak selamanya kebaikan itu kuncinya di pemimpin saja. Kita juga perlu memperhatikan kualitas tauhid dan aqidah rakyatnya, memperbaiki aqidah masyarakat dahulu dan perlahan-lahan. Kita bisa lihat contoh ketika Bani Israil dipimpin oleh Firaun yang kejam, mereka tetap solid dan tetap beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Aqidah mereka kokoh. Tetapi ketika diselamatkan oleh Nabi Musa dan mereka dipimpin oleh Nabi-Nabi setelah beliau terus secara bergantian, mereka malah menjadi orang-orang yang mendapat hukuman diubah menjadi kera dan babi. Karena aqidah mereka terus terkikis.

Begitu juga dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala ditawarkan jadi pemimpin Arab, tetapi beliau tidak mau, dan lebih memilih memeprbaiki aqidah dan tauhid umat. Perlu diketahui juga munculnya pemimpin yang zalim bisa jadi akibat perbuatan rakyatnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ وَمَا لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا ظَهَرَ فِيهِمُ الأَمْرَاضُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِي أَسْلَافِهِمِ وَمَا مَنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَ مَا لَمْ يُطَفِّفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِجَوْرِ السُّلْطَانِ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَالسِّنِينَ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ

Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatkannya. Tidaklah muncul perbuatan keji (Zina,merampok, minum khamr, judi, dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka. Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan. Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezhaliman penguasa, kehidupan yang susah, dan paceklik. Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah. Dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan yang keras di antara mereka” [5]

Jika ingin menyalahkan jeleknya kepemimpinan pemimpin, maka rakyatnyalah yang lebih dahulu mengintropeksi diri. Karena pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Renungkanlah hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya..” [6].

Wallahu a’lam.

 

@Labroratorium Klinik RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta Tercinta

 

Footnote:

[1] HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 42, dari ‘Irbadh bin Sariyah
[2] Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi, 1/27
[3] Fathul Bari, 13/7
[4] Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239
[5] HR Ibnu Majah no. 4019 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 106
[6] Miftah Daris Sa’adah hal. 253, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Syamilah

Penulis: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslim.or.id

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/22071-inilah-alasan-mengapa-pemimpin-hasil-pilpres-harus-tetap-ditaati.html

Sekjen: Petugas Haji Jangan Sampai Cederai Komitmen

Jakarta (Kemenag) — Sekretaris Jenderal Kementerian Agama M. Nur Kholis Setiawan berpesan agar petugas haji memegang teguh komitmen untuk melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah haji Indonesia. Pesan ini disampaikan Sekjen saat menutup Pembekalan Terintegrasi Petugas Haji Arab Saudi 1440H/2019M, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.

Sekjen M. Nur Kholis menguraikan, terpilih jadi petugas haji merupakan sebuah anugerah dari Allah SWT. Untuk itu, Nur Kholis meminta petugas haji untuk menjadi hamba yang bersyukur, ridho, rela, dan ikhlas terkait posisinya sebagai petugas haji.

“Kalau sudah memiliki kualitas sebagai pelayan tamu Allah, jangan nodai itu. Jangan cederai komitmen yang sudah Anda ucapkan,” pesan Sekjen, Kamis (02/05).

Pembekalan Terintegrasi Petugas Haji Arab Saudi 1440H telah berlangsung selama 10 hari sejak 23 April-2 Mei 2019. Pembekalan ini diikuti oleh 1.108 petugas yang berasal dari Kemenag, Kemenkes, TNI, Polri, instansi terkait lainnya serta awak media yang tergabung dalam Media Center Haji 2019.

Lebih lanjut, Nur Kholis menjelaskan semua kegiatan yang dilakukan petugas haji itu adalah ibadah. Sehingga menurutnya, tidak ada alasan bagi petugas yang bergabung dalam PPIH untuk tidak mematuhi aturan dan menjalankan tugas dengan baik.

Mengutip avorisme dalam Kitab Al Hikam, M Nur Kholis mengatakan “Idza futiha laka wijhatun minat-ta’arrufi fa laa tubaali ma’ahaa in qalla ‘amaluka. Fa innahu ma futiha laka illaa wahuwa yuriidu an yata’aarfa ilaika” (Ketika Allah membuka satu dimensi ma’rifat kepadamu, jangan lagi pedulikan berapa banyak amal perbuatanmu, karena Allah tidak membukakan pintu ma’rifat, kecuali memang sudah dikehendaki-Nya).

“Bertugas menjadi PPIH adalah ibadah, sehingga willingness to serve, harus mampu mengalahkan ego pribadi, semua dicurahkan utk tamu tamu Allah,” pesan M Nur Kholis Setiawan.

Ia menambahkan bahwa untuk mewujudkan kesuksesan haji, maka dibutuhkan dukungan dari seluruh piranti yang ada, termasuk petugas. Peran petugas sangat diperlukan khususnya untuk mengawal kesempurnaan ibadah jemaah haji melalui pendidikan manasik.

“Kesempurnaan manasik haji bagi jemaah adalah sebuah keniscayaan, sehingga semua piranti untuk mewujudkannya juga keniscayaan,” ujar Nur Kholis.

Menurut Nur Kholis, petugas menjadi piranti penting bagi kesempurnaan ibadah karena petugas memiliki pengetahuan terkait ibadah haji. Apalagi setelah diberi pembekalan selama 10 hari, petugas dianggap telah memiliki kemampuan untuk membina jemaah haji.

“Wa laa yajuuzul ibtida bin-nakirah, maa lam tufid ka ‘inda zaidin namirah,” tutur M Nur Kholis mengutip salah satu bayt Alfiyah Ibn Malik.

“Sebelum dibekali selama 10 hari, calon petugas masih “nakirah” (kemampuannya bersifat umum). Setelah 10 hari digembleng, mereka bisa dianggap ma’rifat (memiliki kemampuan spesifik) yang bisa diperkenankan menjadi “pemimpin”, guide dan segala fungsinya sebagai pembina, pelayan, dan pelindung Jemaah,” lanjutnya.

KEMENAG RI

Mukjizat Terbelahnya Bulan

Peristiwa terbelahnya bulan adalah di antara mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mukjizat ini adalah jawaban atas tantangan orang-orang kafir Quraisy. Bagaimana peristiwa ini bisa terjadi? Simak kisahnya berikut ini.

Alquran Lebih Ajaib Dibanding Terbelahnya Bulan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang sangat menginginkan agar kaumnya mendapatkan hidayah. Beliau juga adalah orang yang paling semangat agar mereka selamat dari adzab Allah. Walaupun beliau tahu kisah umat-umat terdahulu. Bagaimana para rasul didustakan. Dan bagaimana akhir dari orang-orang yang mendustakan peringatan para rasul-rasul tersebut. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,

قَالَتْ قُرَيْشٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْعُ لَنَا رَبَّكَ أَنْ يَجْعَلَ لَنَا الصَّفَا ذَهَبًا وَنُؤْمِنُ بِكَ قَالَ وَتَفْعَلُونَ قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَدَعَا فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ إِنَّ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلَامَ وَيَقُولُ إِنْ شِئْتَ أَصْبَحَ لَهُمْ الصَّفَا ذَهَبًا فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْهُمْ عَذَّبْتُهُ عَذَابًا لَا أُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ وَإِنْ شِئْتَ فَتَحْتُ لَهُمْ بَابَ التَّوْبَةِ وَالرَّحْمَةِ قَالَ بَلْ بَابُ التَّوْبَةِ وَالرَّحْمَةِ

“Orang-orang Quraisy berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mintalah pada Rabbmu agar menjadikan bukit Shafa emas untuk kami. Pasti kami beriman padamu’. Nabi berkata, ‘Kalian akan lakukan itu (beriman)?’ ‘Iya’, jawab mereka. Nabi pun berdoa. Kemudian Jibril menemui beliau dan berkata, ‘Sesungguhnya Rabmu Azza wa Jalla mengirim salam untukmu dan berfirman, ‘Kalau kau mau Shafa akan menjadi emas untuk mereka. Siapa yang kufur setelah itu, Aku akan mengadzabnya dengan suatu adzab yang tidak pernah ditimpakan pada seorang pun di alam semesta ini. Tapi jika engkau mau, Aku bukakan pintu taubat dan rahmat untuk mereka’. Nabi menjawab, ‘Aku lebih memilih pintu taubat dan rahmat’.” (HR. Ahmad 2166. Syu’aib al-Arnauth mengatakan, “Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim. Al-Hakim 7601, ia mengatakan hadits ini shahih).

Hadits ini menunjukkan bahwa pintu maaf Allah dan rahmat-Nya jauh lebih bernilai dibanding gunung emas. Hakikat keduanya lebih agung dari emas walau sebesar gunung. Meskipun manusia lebih suka pada apa yang tidak mereka miliki (gunung emas). Dibanding kenikmatan besar yang tersedia untuk mereka.

Pelajaran lainnya adalah di antara metode yang digunakan ahlul batil dalam mendebat adalah meminta perkara-perkara ajaib semisal mukjizat. Tujuannya bukan untuk merenungkan kemudian beriman. Bukan pula membuat tenang hati mereka dengan kebenaran. Mereka hanya ingin menghalangi manusia dari jalan Allah. Mereka hanya ingin mendebat saja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendatangkan sebuah mukjizat yang besar dan kekal untuk mereka. Sebuah mukjizat yang dinalar oleh orang-orang Arab sebagai sesuatu yang hebat dan istimewa. Yaitu Alquran. Bahkan Allah tantang mereka dengan firman-Nya,

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. [Quran Al-Isra: 88].

Bahkan Allah tantang dengan suatu yang lebih ringan, sebagaimana dalam Surat Hud:

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. [Quran Hud: 13].

Dan juga firman-Nya,

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya”. Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar”. [Quran Yunus: 38]

Orang-orang Quraisy tidak mampu menjawab tantangan ini. Walaupun hanya dengan satu kali percobaan. Mereka tidak mampu menjawab tantangan Alquran. Mereka sadar mereka lemah dan tak kuasa menjawab tantangan Alquran, tapi mereka masih saja menantang dengan tantangan yang lain. Tujuannya adalah debat kusir dan cari-cari alasan saja.

Demikianlah kaum muslimin, kalau Alquran tak mampu membuat kita sadar, maka mukjizat terbelahnya bulan, gunung menjadi emas, dll. seandainya ada, juga tak akan mampu membuat kita sadar.

Mukjizat Terbelahnya Bulan

Mereka meminta agar bulan dibelah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri. Kemudian mengarahkan tangannya ke bulan. Bulan pun terbelah dua. Satu bagian di atas gunung. Bagian lainnya di gunung yang lain.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:

أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ سَأَلُوا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُرِيَهُمْ آيَةً، فَأَرَاهُمُ انْشِقَاقَ الْقَمَرِ

“Penduduk Mekah meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mendatangkan mukjizat. Beliau perlihatkan pada mereka terbelahnya bulan.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Manaqib 3438 dan lafadz ini milik al-Bukhari. Muslim dalam Kitab Sifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Nar 2802)

Dalam riwayat lain juga dari Anas, ia berkata,

فَأَرَاهُمُ الْقَمَرَ شِقَّتَيْنِ حَتَّى رَأَوْا حِرَاءً بَيْنَهُمَا

“Beliau perlihatkan kepada mereka bulan terbelah. Sampai mereka lihat Hira (nama tempat) di antara keduanya.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah 3655).

Dalam riwayat lain,

فِرْقَتَيْنِ؛ فِرْقَةً فَوْقَ الْجَبَلِ، وَفِرْقَةً دُونَهُ

“Terbelah dua. Satu belahan di atas gunung. Belahan lainnya di sisi yang berbeda.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir Surat al-Qamar 4583).

Diriwayatkan juga dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

: انْشَقَّ الْقَمَرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم شِقَّتَيْنِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: “اشْهَدُوا

“Bulan terbelah menjadi dua bagian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Saksikanlah!’” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Manaqib 3437 dan Muslim dalam Kitab Sifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Nar 2800).

Peristiwa ini terjadi dua kali. Bukan sekali saja. Hal ini berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Ia berkata,

فَأَرَاهُمُ انْشِقَاقَ الْقَمَرِ مَرَّتَيْنِ

“Dua kali beliau perlihatkan bulan terbelah.” (HR. Muslim dalam Kitab Sifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Nar 2802 dan Ahmad 13177).

Peristiwa pertama terjadi di Mina. Yaitu ucapan Anas:

انْشَقَّ الْقَمَرُ وَنَحْنُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِمِنًى

“Bulan terbelah. Saat itu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mina.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah 3656).

Dan kejadian kedua terjadi di Mekah. Yaitu sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:

انْشَقَّ بِمَكَّةَ

“Bulan terbelah di Mekah.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah 3656)

Meskipun peristiwa besar ini terjadi dua kali, para pendusta itu berkata, “Muhammad telah menyihir kalian.”

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

سَأَلَ أَهْلُ مَكَّةَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم آيَةً، فَانْشَقَّ القَمَرُ بِمَكَّةَ مَرَّتَيْنِ، فنزلت: {اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ القَمَرُ} [القمر: 1] إلى قوله: {سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ} [القمر: 2]

“Orang-orang Mekah meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendatangkan sebuah mukjizat. Bulan pun terbelah dua kali di Mekah. Turunlah firman Allah: ‘Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan. Sampai firman-Nya “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus”. [Quran Al-Qamar: 1-2] (HR. at-Turmudzi dalam Kitab Tafsir Alquran 3286. Ia berkomentar hadits ini hasan shahih. An-Nasai 11554. Ahmad 12711. Syu’aib al-Arnauts mengomentari bahwa sanadnya shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

رَأَيْتُ الْقَمَرَ مُنْشَقًّا بِشِقَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ بِمَكَّةَ قَبْلَ مَخْرَجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، شِقَّةٌ عَلَى أَبِي قُبَيْسٍ، وَشِقَّةٌ عَلَى السُّوَيْدَاءِ” فَقَالُوا: سُحِرَ الْقَمَرُ. فَنَزَلَتْ {اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ} [القمر: 1]

“Aku melihat bulan terbelah menjadi dua bagian sebanyak dua kali. Peristiwa ini terjadi di Mekah sebelum hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu potongan di atas Gunung Abu Qubais dan potongan lainnya di atas as-Suwaida. Mereka berkata, ‘Bulan telah disihir’. Turunlah firman-Nya: ‘Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan’.” (HR. al-Hakim 3757. Ia berkata, “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan muslim walaupun keduanya tidak meriwayatkannya. Disepakati oleh adz-Dzhabai).

Mereka mencari-cari alasan untuk mendustkan mukjizat ini. Sampai-sampai mereka bertanya pada orang-orang yang baru datang dari safar. Dengan sangkaan, kalau seandainya ini sihir, maka sihir itu tidak punya pengaruh pada orang-orang yang berada di luar Mekah, yang sedang bersafar. Para musafir ini menjawab bahwa mereka melihat bulan terbelah pada malam dan waktu yang sama saat mereka melihatnya terbelah. Mendengar jawaban tersebut, mereka malah berseloroh, “Ini adalah sihir yang terus-menerus.” Ini menunjukkan, memang sejak awal niat mereka bukan untuk membenarkan dan beriman. Mereka hanya ingin mendebat dan menghalangi manusia dari kebenaran.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

انْشَقَّ الْقَمَرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ قُرَيْشٌ: هَذَا سِحْرُ ابْنِ أَبِي كَبْشَةَ، قَالَ: وَقَالُوا: انْتَظَرُوا مَا تَأْتِيكُمْ بِهِ السُّفَّارُ؛ فَإِنَّ مُحَمَّدًا لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْحَرَ النَّاسَ كُلَّهُمْ قَالَ: فَجَاءَ السُّفَّارُ فَقَالُوا ذَاكَ

“Bulan terbelah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Quraisy berkata, ‘Ini adalah sihirnya Ibnu Abi Kabsyah (mereka gelari Rasulullah dengan sebutan demikian)’. Kata mereka, ‘Tunggulah kedatangan orang-orang yang bersafar. Karena Muhammad tak akan mampu menyihir semua orang’. Kemudian datanglah orang-orang dari safar. Mereka malah mengatakan seperti itu.” (HR. Abu Dawud 293. As-Saqaf berkata, “Riwayat Abu Dawud ath-Thayalisi dengan sanad yang shahih).

Diriwayatkan juga dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,

انْشَقَّ الْقَمَرُ بِمَكَّةَ حَتَّى صَارَ فِرْقَتَيْنِ، فَقَالَ كُفَّارُ أَهْلِ مَكَّةَ: هَذَا سِحْرٌ سَحَرَكُمْ بِهِ ابْنُ أَبِي كَبْشَةَ؛ انْظُرُوا السُّفَّارَ فَإِنْ كَانُوا رَأَوْا مَا رَأَيْتُمْ فَقَدْ صَدَقَ، وَإِنْ كَانُوا لَمْ يَرَوْا مَا رَأَيْتُمْ فَهُوَ سِحْرٌ سَحَرَكُمْ بِهِ، قَالَ: فَسُئِلَ السُّفَّارُ وَقَدِمُوا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ فَقَالُوا: رَأَيْنَا

“Bulan terbelah di Mekah hingga menjadi dua bagian. Orang-orang kafir Mekah berkata, ‘Ini adalah sihir. Ibnu Abi Kabsyah menyihir kalian. Tunggulah orang-orang yang bersafar tiba. Kalau mereka melihat seperti apa yang kalian lihat, maka Muhammad benar. Kalau mereka tidak melihat apa yang kalian lihat, maka Muhammad telah menyihir kalian’. Mereka bertanya pada para muasafir yang datang dari berbagai penjuru. Kata mereka, ‘Kami melihatnya’.” (HR. al-Baihaqi dalam Dala-il an-Nubuwah, 2/266-267. Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Dala-il an-Nubuwah Hal: 281).

Permintaan Bodoh

Akhirnya, orang-orang musyrik mengajukan permintaan bodoh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dikisahkan Alquran:

وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الأَرْضِ يَنْبُوعًا (90) أَوْ تَكُونَ لَكَ جنَّة مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الأَنْهَارَ خِلاَلَهَا تَفْجِيرًا (91) أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللهِ وَالمَلاَئِكَةِ قَبِيلاً (92) أَوْ يَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلاَّ بَشَرًا رَسُولاً

Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca”. Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” [Quran Al-Isra: 90-93]

Semua permintaan yang mereka ajukan tersebut lebih rendah keadaannya dibandingkan keajaiban Alquran. Permintaan mereka itu hanya mencari-cari alasan. Hanyalah penolakan dan kekalahan argument. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati mereka:

وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ (14) لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ

“Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata: “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang orang yang kena sihir”. [Quran Al-Hijr: 14-15].

Demikian juga firman-Nya:

وَأَقْسَمُوا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَتْهُمْ آيَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ بِهَا قُلْ إِنَّمَا الآيَاتُ عِنْدَ اللهِ وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لاَ يُؤْمِنُونَ (109) وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (110) وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلاً مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ

“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mukjizat, pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: “Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi Allah”. Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman. Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Quran Al-An’am: 109-111].

Meskipun demikian keadaan mereka. Penolakan mereka. Keadaan mereka yang mencari-cari alasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersemangat mendakwahi mereka. Tetap berkeinginan agar mereka mendapatkan hidayah. Beliau tetap berusaha agar mereka selamat dari adzab Allah. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:

قَالَتْ قُرَيْشٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْعُ لَنَا رَبَّكَ أَنْ يَجْعَلَ لَنَا الصَّفَا ذَهَبًا وَنُؤْمِنُ بِكَ قَالَ وَتَفْعَلُونَ قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَدَعَا فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ إِنَّ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلَامَ وَيَقُولُ إِنْ شِئْتَ أَصْبَحَ لَهُمْ الصَّفَا ذَهَبًا فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْهُمْ عَذَّبْتُهُ عَذَابًا لَا أُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ وَإِنْ شِئْتَ فَتَحْتُ لَهُمْ بَابَ التَّوْبَةِ وَالرَّحْمَةِ قَالَ بَلْ بَابُ التَّوْبَةِ وَالرَّحْمَةِ

“Orang-orang Quraisy berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mintalah pada Rabbmu agar menjadikan bukit Shafa emas untuk kami. Pasti kami beriman padamu’. Nabi berkata, ‘Kalian akan lakukan itu (beriman)?’ ‘Iya’, jawab mereka. Nabi pun berdoa. Kemudian Jibril menemui beliau dan berkata, ‘Sesungguhnya Rabmu Azza wa Jalla mengirim salam untukmu dan berfirman, ‘Kalau kau mau Shafa akan menjadi emas untuk mereka. Siapa yang kufur setelah itu, Aku akan mengadzabnya dengan suatu adzab yang tidak pernah ditimpakan pada seorang pun di alam semesta ini. Jika engkau mau, Aku bukakan pintu taubat dan rahmat untuk mereka’. Nabi menjawab, ‘Aku lebih memilih pintu taubat dan rahmat’.” (HR. Ahmad 2166. Syu’aib al-Arnauth mengatakan, “Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim. Al-Hakim 7601, ia mengatakan hadits ini shahih).

Dalam riwayat lain, juga dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berakta,

سَأَلَ أَهْلُ مَكَّةَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، أَنْ يَجْعَلَ لَهُمُ الصَّفَا ذَهَبًا، وَأَنْ يُنَحِّيَ الْجِبَالَ عَنْهُمْ، فَيَزْرَعُوا، فَقِيلَ لَهُ: إِنْ شِئْتَ أَنْ تَسْتَأْنِيَ بِهِمْ، وَإِنْ شِئْتَ أَنْ نُؤْتِيَهُمُ الَّذِي سَأَلُوا، فَإِنْ كَفَرُوا أُهْلِكُوا كَمَا أَهْلَكْتُ مَنْ قَبْلَهُمْ. قَالَ: “لاَ، بَلْ أَسْتَأْنِي بِهِمْ”. فأنزل الله عز وجل هذه الآية: {وَمَا مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالآيَاتِ إِلا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الأَوَّلُونَ وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً} [الإسراء: 59]

“Penduduk Mekah meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merubah bukit Shafa menjadi emas dan agar gunung-gunung diratakan bagi mereka sehingga mereka bisa bercocok tanam. Bila mereka kufur, mereka akan dibinasakan sebagaimana umat-umat sebelum mereka yang telah dibinasakan. Beliau bersabda, ‘Tidak, akan tetapi aku menangguhkan mereka’. Lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat: Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat…”

[Quran Al-Isra: 59] (HR. an-Nasai 11290. Ahmad 2333 dan ini lafadz dalam riwayat Ahmad. Syu’aib al-Arnauth mengatakan, “Sanadnya shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim. Al-Hakim 3379, ia berkata hadits ini shahih. Walaupun tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Disepakati oleh adz-Dzahabi).

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6278-mukjizat-terbelahnya-bulan.html#more-6278

Kecintaan Ulama Kepada Buku

Kitab – kitab para ulama bukan hanya kita pajang, bukan hanya kita taruh di lemari kita. Sebenarnya kalau kita bisa memanfaatkannya dengan baik kita akan mendapatkan faedah ilmu yang begitu luar biasa.

Memang para ulama gemar untuk mengoleksi buku, memang para ulama gemar untuk mencari buku dan mereka mengumpulkannya bahkan mereka mencari dari berbagai negeri. Ada yang mencari sanad, ada yang mencari buku – buku yang mungkin sudah hampir punah.

Ulama terdahulu semangat mengoleksi dan mempelajari buku

Diantara contohnya para ulama yang gemar mengoleksi buku diantaranya adalah Ibnul Qoyim. Diceritakan oleh Ibnu Hajar Asqalani bahwasannya Ibnul Qoyim ketika meninggal dunia dia memiliki perbendaharaan buku kitab yang begitu banyak sampai sampai anak – anaknya ketika mendapatkan buku – buku dari Ibnul Qoyim mereka menjualnya sampai itu memakan waktu yang lama. Dan padahal itu sudah dibagi bagi jumlahnya untuk anak – anak dari Ibnul Qoyim. Ini menunjukan bahwasannya begitu banyaknya buku – buku yang dikoleksi oleh Ibnul Qoyim.

Yahya bin Ma’in dia punya buku yang tertata di lemari penuh yang tertata dalam seratus empat belas lemari dan ada empat lemari besar yang semuanya berisi penuh dengan buku, yang semuanya penuh dengan kitab, kitab – kitab para ulama.

Contoh lagi para ulama yang punya semangat untuk mengoleksi buku bahkan buku ini yang selalu menemaninya, yaitu seperti guru dari Ibnul Qoyim, yaitu Ibnu Taimiyah.

Ketika Ibnu Taimiyah dalam keadaan sakit, maka yang selalu menemaninya adalah sebuah buku sebuah kitab. Dia ketika sadar dia membacanya, ketika dia tidak sadar dia meletakannya dan ketika itu sampai seorang dokter yang memeriksa Ibnu Taimiyah itu mewanti wanti, wahai Ibnu Taimiyah janganlah engkau menyibukkan waktumu dengan ini, ini bisa memudharatkanmu jika engkau sibuk membaca buku. Apa – apa waktumu engkau habiskan sibuk dengan buku tersebut.

Maka, kita lihat disini semangatnya para ulama untuk mengoleksi buku. Namun, mereka bukan mengoleksinya saja, mereka membacanya, menghayatinya, menarik faedah – faedah didalamnya kemudian mereka amalkan.

Empat kiat mendapat manfaat dari kitab

Intinya disini, kami memberikan kiat – kiat agar kita bisa mendapatkan manfaat dari buku. Kiat singkat yang kami berikan;

Pertama, dalamilah bahasa arab. Karena dengan kita dalami bahasa arab akan terbuka cakrawala ilmu dan itulah yang jadi pembuka. Jadi dengan mempelajari bahasa arab terutama dalam mempelajari kaedah – kaedah dalam ilmu nahwu dan sharaf selain kita memperbanyak kosakata itu akan membuka pintu untuk mempelajari ilmu agama. Beda dengan orang yang tidak menguasai bahasa arab.

Yang kedua, ketika kita menguasai bahasa arab, maka belajarlah dari seorang guru. kita kaji kitab – kitab dari guru tersebut. Kenapa kita musti punya guru?, karena kalau kita cuma otodidak mempelajari buku tersebut tanpa panduan seorang yang lebih paham, seorang yang lebih berilmu kita bisa salah paham dalam memahami buku tersebut. Jadi, duduklah bermajlis dengan seorang guru agar kita bisa mendapatkan faedah ilmu yang bermanfaat.

Kemudian yang ketiga, yang kita lakukan adalah selain kita pelajari dari bahasa arab kemudian mengkajinya dari seorang guru kemudia kami contohkan dari apa yang dilakukan oleh para ulama, yaitu koleksinya buku – buku yang bermanfaat.

Buku – buku apa yang kita pilih kita cari dari ulama – ulama yang sudah punya ilmu yang siqqoh yang kredibel dalam masalah ilmu, ilmu – ilmu yang terpercaya jadi bukan dari sembarang penulis, bukan dari sembarang orang namun dari ulama yang sudah punya ilmu yang terpercaya.

Ada Ibnu Hajar, ada Imam Nawawi, ada juga ulama – ulama besar saat ini yang mereka punya buku – buku yang mumpuni yang ketika itu kita mengkajinya kita akan mendapatkan faedah yang begitu banyak.

Seperti inilah yang kita kaji yang kita koleksi dari apa yang sudah disarankan oleh para ulama mulai dari buku – buku aqidah, fikih – fikih dasar terutama kita mempelajari dari mazhab tertentu tanpa punya sifat untuk fanatik namun ini cuma sebagai dasar saja. Kemudian buku – buku dalam masalah akhlak, tazkiyatu nufus, dan kitab atau buku – buku yang lain.

Kemudian kiat yang terakhir, hendaklah kita punya sikap semangat dan pintar membagi waktu ketika kita belajar. Nabi katakan;

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

— Ihrish ‘ala maa yanfa’uka wasta’in billahi wala ta’jiz

“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat untukmu minta tolonglah pada Allah dengan banyak berdoa supaya mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan (janganlah — Ed) pantang menyerah, jangan punya rasa malas ketika belajar.” (HR. Ahmad 9026, Muslim 6945, dan yang lainnya).

Inilah kiat – kiat ya ikhwan sekalian, amalkanlah kiat – kiat ini mulai dari kita mempelajari bahasa arab, belajar dari seorang guru, berusaha untuk mengkoleksi buku – buku yang ini adalah buku – buku yang bermanfaat, mulai dari buku – buku bahasa Indonesia yang mungkin kita pahami yang kita koleksi.

Kalau kita sudah punya kemampuan kita mengumpulkan buku – buku bahasa Arab dan pintar dalam membagi waktu serta (jangan — Ed) pantang menyerah untuk terus belajar.

Maka, ingatlah faedah yang besar. Orang yang mempelajari ilmu agama, orang yang menekuni ilmu agama dia tidak akan pernah bingung ketika beramal karena dia punya dasar ilmu.

Kemudian inilah yang menjadi sebab dasar untuk banyak mendapat kebaikan.

Kata Nabi;

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

— Manyudillahu khairan yufaqqihhu fi dinniini…

“Siapa yang menginginkan kebaikan maka Allah akan memahamkan baginya untuk memahami agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Dan mudah – mudahan Allah memberi kita taufik untuk meraih ilmu dari ilmu itu kita bisa amalkan dari kita amalkan bisa kita dakwahkan pada orang lain dan kita sabar dalam menjalani hal – hal tadi.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

=== ## ===

Sumber: https://catatankajian.com/991-tausiyah-singkat-kecintaan-ulama-kepada-buku-ustadz-muhammad-abduh-tuasikal.html

Dikumpulkan Bersama Idolanya di Hari Kiamat

Jangan sampai salah nge-fans
Jangan salah pilih idola kesayangan

Ada yang nge-fans sama pemain bola
Cinta mati dengan klub kesayangan
Foto pemain bola idola ditempel di kamar
Baju bola semua jenis dibeli
Selalu ikuti berita dan pertandingan
Meskipun begadang tengah malam

Ada yang nge-fans banget dengan artis dan penyanyi
Semua CD dan album dibeli
Setiap hari menyanyi lagunya

Ada yang nge-fans dengan artis korea
Semua serial film selalu ditonton
Meski sampai lupa tidur, makan dan shalat
Berita hidup, cinta, perselingkuhan, semuanya diikuti
Gaya bicara dan model baju diikuti

Itu semua karena nge-fans dan cinta mati
Padahal bisa jadi idolaya fasik bahkan non-muslim
Tahu kan di mana mereka di hari kiamat?
Non-muslim jelas berada di neraka

Tidak kah takut akan dikumpulkan bersama mereka
Karena seseorang akan dikumpulkan
Bersama orang-orang yang ia cintai

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’ [HR. Bukhari]

Sebenarnya kita sudah tahu siapa idola kita
Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab:21).

Bagaimana menjadikan Beliau sebagai idola dan teladan?
Dengan cara mengikuti sunnah Beliau
Bagaimana cara mengikuti sunnah beliau?
Dengan cara mempelajarinya dan belajar
Yuk, hadiri majelis ilmu
Baca buku agama
Dengarkan kajian
berkumpul bersama teman-teman shalih

Semoga kita dikumpulkan bersama para nabi, syuhada dan orang shalih di hari kiamat

@ Perjalanan Mekkah – Jeddah

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Kemenangan Nabi Musa dan Kebinasaan Firaun di Hari Asyura

Ketika penduduk Mesir semakin fanatik dengan kekufuran mereka. Permusuhan dan pengingkaran mereka terhadap Rasulullah Musa ﷺ kian mengobarkan hasrat untuk membunuh dan menindas utusan Allah dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengikuti raja mereka yang zhalim, Firaun. Saat itulah Allah tegakkan hujjah-Nya membinasakan mereka semua. Mereka telah menyaksikan tanda-tanda dan kejadian-kejadian yang di luar nalar. Kejadian yang keluar dari proses alamiahnya. Dan membuat akal terheran-heran. Tapi mereka tetap tak mau berhenti, tak mau memahami, dan tak mau kembali kepada Allah ﷻ.

Dengan kekuasaan dan kesewenang-wenangannya, Firaun berhasil menekan rakyatnya untuk mengingkari kebenaran yang dibawa Nabi Musa.

فَمَا آمَنَ لِمُوسَى إِلاَّ ذُرِّيَّةٌ مِّن قَوْمِهِ عَلَى خَوْفٍ مِّن فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَن يَفْتِنَهُمْ وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعَالٍ فِي الأَرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِينَ

“Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Firaun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Firaun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas.” (QS:Yunus | Ayat: 83).

Puncaknya, Firaun mengklaim dirinya sebagai Tuhan yang berhak disembah. Ketika kezhaliman telah memuncak, saat itulah pertolongan Allah datang. Nabi Musa mengumpulkan para pengikutnya. Menasihati mereka, meneguhkan hati mereka, dan memberikan arahan kepada mereka.

وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ

Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri”. (QS:Yunus | Ayat: 84).

Mereka menjawab ucapan Nabi Musa dengan jawaban yang menenangkan beliau.

فَقَالُواْ عَلَى اللّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Lalu mereka berkata: “Kepada Allahlah kami bertawakkal! Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang´zalim”. (QS:Yunus | Ayat: 85).

Nabi Musa memerintahkan mereka agar bertawakal kepada Allah semata. Meminta tolong dan berharap kepada-Nya. Dan Allah ﷻ pun memberikan jalan keluar untuk mereka semua. Kemudian Nabi Musa memberikan kabar gembira dari Allah kepada kaumnya,

وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَن تَبَوَّءَا لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman”.          (QS:Yunus | Ayat: 87).

Allah ﷻ mewahyukan kepada Nabi Musa dan saudaranya, Harun –‘alaihimassalam- agar ia dan kaumnya membangun rumah yang berbeda dari rumah orang-orang Mesir secara umum. Alasannya, ketika perintah untuk pergi dari Mesir datang, mereka lebih mudah untuk memberi tahu satu dengan yang lainnya. Perhatikanlah! Selain pertolongan Allah berupa mukjizat, Nabi Musa juga menempuh usaha-usaha nyata seperti ini.

Kemudian datanglah perintah Allah ﷻ,

وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.” (QS:Yunus | Ayat: 87).

Mujahid mengatakan, “Maknanya adalah ini merupakan pertolongan Allah kepada mereka yang ditimpa bahaya, kesulitan, dan kesempitan dengan banyak shalat.

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu´.” (QS:Al-Baqarah | Ayat: 45).

Dan Rasulullah jika dihinggapi masalah, beliau bersegera shalat. Shalat memiliki dampak besar terhadap kehidupan dunia dan akhirat (al-Bidayah wa an-Nihayah Juz: 2 Hal: 105).

Selama bertahun-tahun, Nabi Musa dan pengikutnya bersabar dan menghibur diri dengan keimanan kepada Allah dan tawakal. Mereka senantiasa memperbaiki hubungan dengan Allah. meminta tolong pada-Nya dengan shalat-shalat mereka. Di sisi lain, Firaun dan para pengikutnya semakin menentang dan memusuhi kebenaran.

Nabi Musa senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ,

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلأهُ زِينَةً وَأَمْوَالاً فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّواْ عَن سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُواْ حَتَّى يَرَوُاْ الْعَذَابَ الأَلِيمَ

Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Firaun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami — akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”. (QS:Yunus | Ayat: 88).

Ibnu Juraij mengatakan, “Firaun tetap hidup selama 40 tahun setelah Nabi Musa mengucapkan doa ini.” (Tafsir al-Quran al-Azhim oleh Imam Ibnu Kastir). Lihatlah Nabi Musa, selain bersabar terhadap kaumnya sendiri, betapa sabarnya beliau menghadapi kekejaman Firaun, berdakwah kepadanya, dan berdoa kepada Allah. Tak heran Allah ﷻ mendudukkan beliau sebagai seorang ulul azhmi.

Allah ﷻ berfirman,

فَاسْتَقِيمَا وَلاَ تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

“Sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS:Yunus | Ayat: 89).

Allah mengizinkan Nabi Musa dan para pengikutnya untuk keluar dari Mesir menuju Syam.

Mengetahui kepergian Musa, kemarahan Firaun semakin memuncak. Ia siapkan pasukannya untuk mengerjar Nabi Musa dan pengikutnya. Kejadian ini diabadikan Allah ﷻ dalam Alquran.

وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي إِنَّكُم مُّتَّبَعُونَ * فَأَرْسَلَ فِرْعَوْنُ فِي الْمَدَائِنِ حَاشِرِينَ * إِنَّ هَؤُلاَء لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ * وَإِنَّهُمْ لَنَا لَغَائِظُونَ * وَإِنَّا لَجَمِيعٌ حَاذِرُونَ * فَأَخْرَجْنَاهُم مِّن جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ * وَكُنُوزٍ وَمَقَامٍ كَرِيمٍ * كَذَلِكَ وَأَوْرَثْنَاهَا بَنِي إِسْرَائِيلَ * فَأَتْبَعُوهُم مُّشْرِقِينَ

“Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: “Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli”. Kemudian Firaun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (Firaun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil, dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya kita benar-benar golongan yang selalu berjaga-jaga”. Maka Kami keluarkan Firaun dan kaumnya dari taman-taman dan mata air, dan (dari) perbendaharaan dan kedudukan yang mulia, demikianlah halnya dan Kami anugerahkan semuanya (itu) kepada Bani Israil. Maka Firaun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit.” (QS:Asy-Syu’araa | Ayat: 52-60).

Pada saat Firaun dan pasukannya berhasil menyusul Nabi Musa dan pengikutnya, pengikut Nabi Musa berkata,

إِنَّا لَمُدْرَكُونَ

“Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” (QS:Asy-Syu’araa | Ayat: 61).

Mereka mengatakan demikian karena melihat di hadapan mereka jalan tertutup oleh lautan. Mereka mengadu kepada Nabi Musa. Kemudian beliau menjawab,

قَالَ كَلاَّ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ

Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS:Asy-Syu’araa | Ayat: 62).

Nabi Musa mengucapkan kalimat kuat dengan makna yang jelas. Menunjukkan kedalaman ilmu dan keyakinan terhadap rahmat Allah. Perkataan seorang leader yang membuat tenang rakyatnya di saat menghadapi himpitan masalah. Keadaan saat itu benar-benar genting. Tidak ada jalan yang bisa dilewati. Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong. Dan Firaun adalah kejam yang tak mungkin memberi maaf. Sementara waktu terus membuat jarak Firaun kian mendekat. Dalam keadaan demikian, Nabi Musa tetap tenang dan yakin Allah akan menolongnya. Sikap ini hendaknya kita teladani sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah ﷻ. Turunlah wahyu kepada Nabi Musa,

فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِب بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ

Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (QS:Asy-Syu’araa | Ayat: 63).

Melihat laut terbelah, Nabi Musa dan pengikutnya bersegera melintasi jalan terbelah itu. Setelah melintasinya, dan pengikutnya yang paling akhir melintas telah keluar dari laut, barulah barisan awal pasukan Firaun memasuki laut. Musa ingin segera memukul laut itu agari ai kembali ke keadaannya semula. Sehingga Firaun dan pasukannya tidak bisa lewat. Namun Allah ﷻ memerintahkan,

وَاتْرُكْ الْبَحْرَ رَهْوًا إِنَّهُمْ جُندٌ مُّغْرَقُونَ

“Dan biarkanlah laut itu tetap terbelah. Sesungguhnya mereka adalah tentara yang akan ditenggelamkan.” (QS:Ad-Dukhaan | Ayat: 24).

Melihat tanda kebesaran Allah dan mukjizat Musa dengan terbelahnya laut, Firaun sadar itu adalah kekuasaan Allah ﷻ. Bukan sihirnya Musa. Akan tetapi ia membawa mati sifat sombongnya, dalam keadaan demikian ia tetap mengatakan, “Lihatlah! Bagaimana laut menjadi surut, tunduk kepadaku. Aku akan menangkap dua orang hambaku (Musa dan Harun) yang telah memberontak kepadaku”.

Firaun dan pasukannya bergegas masuk, melintasi belahan laut yang akan membinasakan mereka. saat mereka semua telah masuk ke dalam laut, Allah ﷻ memerintahkan Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya. Musa pun melakukan perintah Rabbnya. Laut yang terbelah itu kembali seperti semula. Allah ﷻ berfirman,

وَأَنجَيْنَا مُوسَى وَمَن مَّعَهُ أَجْمَعِينَ * ثُمَّ أَغْرَقْنَا الآخَرِينَ * إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُم مُّؤْمِنِينَ

“Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat) dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS:Asy-Syu’araa | Ayat: 65-67).

Tidak ada seorang pun dari kalangan orang-orang beriman tenggelam. Dan tidak satu pun dari Firaun dan pengikutnya yang bisa selamat.

Setelah benar-benar sadar dan yakin akan tenggelam Firaun mengatakan:

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Firaun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Firaun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS:Yunus | Ayat: 90).

Allah mencelanya dan memberi pelajaran kepada kita semua. Apakah ketika nyawa di kerongkongan dan kebinasaan sudah benar-benar tampak, baru seseorang akan sadar?

آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ

“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS:Yunus | Ayat: 91).

Allah telah menetapkan hukumnya. Dan membinasakan orang-orang yang berbuat zhalim.

فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS:Yunus | Ayat: 92).

Berlalulah kejadian itu. Namun pelajarannya tidak pernah hilang sepanjang zaman.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ datang ke Madinah. Beliau dapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura (10 Muharam). Kemudian beliau ﷺ bertanya pada mereka,

« مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

“Hari yang kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi itu menjawab, “Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Firaun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”.

Rasulullah ﷺ lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu setelah itu Rasulullah ﷺ memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1130).

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/5663-kemenangan-nabi-musa-dan-kebinasaan-firaun-di-hari-asyura.html

Seluruh Hotel Jemaah Indonesia di Wilayah Markaziyah Madinah

Madinah (PHU)–Seluruh hotel yang akan ditempati jemaah haji Indonesia berada di wilayah Markaziyah (kawasan terdekat Masjid Nabawi) di Madinah. Hal ini ditegaskan Menag Lukman Hakim Saifuddin usai meninjau persiapan layanan akomodasi bagi jemaah haji di Kota Madinah Al Munawwarah.

“Alhamdulillah semua pemondokan jemaah haji Indonesia berada di area markaziyah dengan titik terjauh sekitar 600 meter dari Masjid Nabawi,” kata Menag di Madinah, Rabu (01/05).

Peninjauan layanan ini dilakukan bersama dengan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani, Menteri Kesehatan Nilla F Moeloek, Duta Besar RI Untuk Kerajaan Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel, didampingi tim penyedia layanan akomodasi.

“Apresiasi kita sampaikan untuk tim akomodasi. Meski ada tambahan kuota 10ribu, mereka berhasil menyewa seluruh hotel jemaah di wilayah Markaziyah,” tutur Menag.

Total ada 107 hotel di Madinah yang disewa. Sebanyak 57 hotel disewa full musim dan 50 blocking time,” lanjutnya.

Apresiasi juga disampaikan Menko PMK Puan Maharani. Menurutnya, persiapan layanan akomodasi bagi jemaah Indonesia di Madinah sudah bagus dan sesuai standar. “Kamarnya sudah bagus dan saya kira sangat layak untuk menfasilitasi jemaah haji supaya ibadahnya bisa semakin khusyuk,” kata Puan saat melihat kamar hotel dan fasilitas yang ada di dalamnya.

Ketua tim penyiapan akomodasi pemondokan Rudi N Ambary menjelaskan, sejak awal bertugas, timnya berupaya mendapatkan penginapan di daerah markaziyah semua. Hal sama dilakukan saat menerima arahan tentang adanya tambahan kuota 10ribu. Tim segera bergerak untuk menyewa hotel-hotel yang masih ada di wilayah Markaziyah.

“Alhamdulillah, seperti tahun sebelumnya, tim bisa menyewa hotel di area markaziyah semua,” tandasnya.

Sebelumnya, tim penyedia layanan akomodasi juga sudah menyelesaikan sewa 163 hotel di Makkah. Saat ini, masih berproses untuk penyediaan tambahan lima hotel lagi di kota kelahiran Nabi.(rilis/ha)

KEMENAG RI

7 Ulama Besar Kota Madinah

Bagi Anda yang suka membaca buku-buku biografi dan sejarah Kota Madinah, tentu tak asing dengan istilah fuqoha sab’ah(الفقهاء السبعة). Suatu istilah yang ditujukan kepada tujuh orang tabi’in (murid para sahabat) yang merupakan ulama besar di Madinah zaman itu. Zaman tabi’in adalah zaman banyak ulamanya, namun tujuh orang yang hidup di masa bersamaan ini begitu menonjol dan menjadi rujukan utama. Dari mereka tersebar ilmu dan fatwa di dunia Islam (Haji Khalifah: Salmu al-Wushul ila Tabaqat al-Fuhul, 5/189).

Tujuh ulama (fuqoha sab’ah) itu adalah Said bin al-Musayyib, Urwah bin az-Zubair bin Awwam, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, Ubaidullah bin Abdullah, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dan Sulaiman bin Yasar. Untuk nama ketujuh diperselisihkan siapa orangnya; Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf atau Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab atau Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits.

Pertama: Said bin al-Musayyib

Said bin al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb al-Makhzumi al-Qurasyi. Kun-yahnya adalah Abu Muhammad. Ia adalah tokoh utama tabi’in. Kedudukannya di tengah-tengah para tabi’in bagaikan kedudukan Abu Bakar di antara para sahabat. Said dilahirkan di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab. Ibunya adalah Ummu Said binti Hakim.

Dari sisi keilmuan, tentu Said sangat luar biasa. Ia adalah pakar dalam bidang hadits dan fikih. Sosoknya adalah pribadi yang zuhud dan wara’. Walaupun sibuk dengan ilmu dan dakwah, ia juga tetap bekerja untuk kehidupan dunianya. Tabi’in yang mulia ini adalah seorang pedagang minyak zaitun. Dan ia tidak menerima pemberian.

Said bin al-Musayyib wafat di Kota Madinah pada tahun 94 H. Ada juga yang menyatakan beliau wafat pada tahun 89 H. Pendapat lainnya menyebutkan 91 H. Atau 92 H, 93 h, atau 105 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/89-109).

Kedua: Urwah bin az-Zubair

Urwah bin az-Zubair adalah putra dari sahabat yang mulia az-Zubair bin al-Awwam. Satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. saudaranya adalah seorang sahabat. Yaitu Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhu. Dengan demikian, Urwah adalah seorang Quraisy yang nasabnya Urwah bin az-Zubair bin al-Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab. Kun-yahnya Abu Abdullah.

Ibu Urwah adalah Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia dilahirkan pada tahun 29 H. Pendapat lain menyatakan 23 H.

Ulama yang mulia ini sama sekali tak pernah turut campur dalam fitnah perpecahan. Dan perjalanan hidupnya tidak hanya dihabiskan di Kota Madinah. Ia pernah tinggal di Bashrah. Kemudian menuju Mesir dan menikah di sana. Lalu tinggal di negeri Nabi Musa itu selama tujuh tahun. Setelah itu baru ia kembali ke Madinah dan wafat di kota nabi itu pada tahun 94 H. Ada yang mengatakan 92, 93, atau 95 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/136-139).

Ketiga: al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq.

Dari silsilah namanya tentu kita mengetahui, ulama dengan nasab Quraisy ini adalah cucu dari khalifah pertama Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Kun-yahnya adalah Abu Muhammad atau Abu Abdurrahman. Ibunya adalah seorang budak perempuan yang bernama Saudah.

Al-Qasim dilahirkan di Kota Madinah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Tentu al-Qasim adalah seorang yang shalih dan terpecaya riwayat haditsnya. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkomentar tentangnya, “Kalau seandainya aku memiliki hak mengangkat pemimpin, maka akan aku angkat al-Qasim bin Muhammad menjadi seorang khalifah.”

Di masa tuanya, al-Qasim mengalami kebutaan. Dan ia wafat di Madinah pada tahun 106 H. Pendapat lain menyatakan 107 H, 108 H, atau 112 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/142-148).

Keempat: Ubaidullah bin Abdullah

Nasab Ubaidullah adalah Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Hudzali al-Madani adh-Dharari. Kun-yahnya Abu Abdullah. Ia merupakan seorang mufti Madinah dan termasuk tabi’in yang paling berilmu. Ia seorang imam yang kuat hafalan dan argumentasinya. Seorang mujtahid. Yang terpercaya haditsnya, banyak riwayatnya, dan pandai bersyair. Ia adalah salah seorang pendidik Umar bin Abdul Aziz.

Ubaidullah wafat pada tahun 102 H. Atau 97 H, 98 H, atau 99 H (Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat, 5/63).

Kelima: Kharijah bin Zaid bin Tsabit

Nama dan nasabnya adalah Kharijah bin Zaid bin Tsabit al-Anshari an-Najjari. Adapun kunyahnya Abu Zaid. Ibunya adalah Ummu Saad binti Saad bin Rabi’. Ia adalah seorang tabi’in mulia. Seorang ahli ilmu dan ahli ibadah. Di masa hidupnya, ia sempat menjumpai masa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.

Kharijah wafat pada tahun 90 H atau 100 H. saat itu usianya hanya 40 tahun saja (Ibnu Hibban dalam Masyahir Ulama al-Amshar, Hal: 106).

Keenam: Sulaiman bin Yasar

Sulaiman bin Yasar atau yang juga dikenal dengan kun-yah Abu Abdurrahman adalah bekas budak dari istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummul Mukminin Maimunah binti al-Harits radhiallahu ‘anha. Ia merupakan saudara dari Atha’ bin Yasar.

Sulaiman dilahirkan pada tahun 34 H, pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Ia merupakan seorang ahli ilmu lagi terpercaya. Hadits-haditnya pun banyak. Ia meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhum.

Ulama besar tabi’in ini wafat pada tahun 104 H. Dan beberapa riwayat lain menyebutkan: 107 H, 109 H, dan 110 H. Sementara usianya adalah 73 tahun. Ada pula yang menyatakan 76 tahun (al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir 4/41).

Sementara untuk nama ketujuh ada beberapa pendapat. Mereka adalah Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab, Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam.

Ketujuh (1): Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf

Beliau adalah Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf bin Abdu Auf bin Abd bin al-Harits bin Zuhrah bin Kilab (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/118). Kita tahu Abu Salamah adalah kun-yahnya. Dan ia lebih dikenal dengan kun-yah dibanding namanya. Terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan namanya adalah Abdullah. Versi lainnya, namanya adalah Islamil. Dan ada pula yang mengatakan namanya memang Abu Salamah (adz-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam, 2/1199).

Ibunya adalah Tumadhur (تماضر) binti al-Ashbagh al-Kulabiyah Qurasyi (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/118). Ia dilahirkan pada tahun 20-an H. Dari tahun lahirnya, kita mengetahui bahwa Abu Bakar merupakan seorang generasi awal tabi’in (adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala, 4/287-288).

Abu Bakar bin Abdurrahman bin Auf adalah seorang ulama yang terpercaya. Seorang fakih. Dan banyak riwayat haditsnya. Ia termasuk seorang Quraisy yang paling utama dan ahli ibadah di tengah suku elit tersebut. Ia adalah imam dan panutan di Kota Madinah. Kedudukan tinggi yang ia capai tentu tidaklah mengherankan kalau kita mengetahui guru dekatnya. Ia adalah sepupu nabi, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu. Karena ketinggian ilmunya, ia pun sempat menjabat hakim Kota Madinah di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.

Tabi’in yang mulia ini wafat pada tahun 94 H di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Saat itu usianya tengah menginjak 72 tahun.

Ketujuh (2): Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab

Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab al-‘Adawi al-Qurasyi. Kun-yahnya adalah Abu Amr. Atau Abu Abdullah. Ibunya merupakan seorang budak. Salim adalah seorang ulama yang dikenal wara’, terpercaya, dan banyak haditsnya. Ia meriwayatkan hadits dari ayahnya sendiri, Abdullah bin Umar. Juga Abu Hurairah, Abu Ayyub al-Anshari, dll. radhiallahu ‘anhum. Salim wafat di Kota Madinah, tahun 106 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/149-155).

Ketujuh (3): Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits

Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi al-Qurasyi. Ada yang berpendapat bahwa Abu Bakar hanyalah kun-yahnya saja. Adapun namanya adalah Muhammad. Namun pendapat yang lebih tepat adalah nama dan kun-yahnya sama. Yaitu Abu Bakar.

Abu Bakar dilahirkan di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab. Ia seorang ulama yang fakih dan terpercaya. Ia juga meriwayatkan banyak hadits. Ia dijuluki sebagai ahli ibadahnya Quraisy karena begitu banyak ia mengerjakan shalat. Ia wafat di Madinah pada tahun 94 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/159-161).

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6307-7-ulama-besar-kota-madinah.html

Silakan Berdebat, Dengan Syarat

Anda tau debat? Saya tidak perlu definisikan tentang debat tapi sebagian orang butuh tau kapan dia boleh debat dan kapan dia tidak boleh berdebat.

Masalah ini kami angkat karena sudah banyak tempat orang berdebat ada facebook, ada whatssapp, telegram dan yang semacamnya dari jenis – jenis media sosial dimana orang biasa menjadikannya sebagai tempat berdebat.

Kapan anda harus debat kapan tidak? Seseorang boleh berdebat apabila dia memenuhi tiga syarat:

Syarat yang pertama adalah syarat yang berhubungan dengan niatKalau seandainya niatnya baik maka dia boleh berdebat, tentunya dengan ada syarat-syarat yang lain. Kalau niatnya jelek maka dia tidak boleh berdebat sama sekali walaupun syarat – syarat yang kedua dan ketiga nanti terpenuhi.

Pastikan niat berdebat karena Allah

Syarat seputar niat, niat nya haruslah ikhlas untuk Allah E, kalau seandainya niatnya tidaklah benar maka tidak boleh. Contoh niat yang baik misalnya bentuknya adalah tafaquh fiddiin, bentuknya adalah tanasuh dengan orang lain. Misal ada orang mendapati temannya memiliki penyimpangan kemudian dia mengajaknya diskusi maka lama kelamaan jadi debat.

Kalau seandainya didalam hatinya dia ingin supaya temannya ini kembali kepada kebenaran dan kembali kepada Islam maka niat ini adalah niat yang baik disitu ada satu celah untuk boleh berdebat. Atau dalam rangka untuk misalnya ingin supaya orang-orang tau kebenaran maka ini diperbolehkan dalam rangka untuk dakwah, Allah Ememberikan legalisasinya kata Allah subhanahuwata’ala:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

— Ud’uu illa sabiili robbika bilhikmati wal mau’idzoti hasanah wa jaddilhum billatii hiya ahsan

Ajaklah manusia itu untuk bisa mengikuti jalan Allah dengan cara yang hikmah dengan cara memberikan nasihat – nasihat yang baik. (QS Surat Nahl (16): 125)

Dan pada titik – titik terakhir nanti apabila orang itu butuh untuk berdiskusi atau berdebat maka kata Allah E  silahkan engkau mendebat mereka tentunya dengan cara – cara yang baik.

Niat batil tidak usah berdebat

Adapun niat – niat yang jelek maka tidak boleh sama sekali untuk berdebat, diantara niat – niat yang jelek misal hanya untuk membantah yang sebenarnya sudah ketahuan bahwasanya itu benar tapi dikarenakan tidak mau tidak suka dengan kebenaran tersebut kemudian dibantah maka ini adalah tercela, Allah E  mengatakan dalam surat Al Mu’min:

وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَق

— Wa jaadalu bil baathili liyudhihu bihil haq

Mereka mencoba untuk membantah untuk menggunakan kebathilan dalam rangka untuk menolak kebenaran. Ini dicela oleh Allah E. (QS Al-Mu’min (40): 5)

Contoh niat yang lain yang juga tidak diperbolehkan atau niat yang jelek dalam berdebat adalah hanya untuk memperlihatkan kepintaran, idzharul fitnah, idzharul dzaka hanya untuk memperlihatkan quwwatul hujjah dilihat supaya oh orang ini hebat sekali dalam berdebat, kalau demikian ini adalah bentuk – bentuk kesombongan karena ini bentuk pamer ilmu dan Rasulullah H mengatakan:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

— Laa yadkhulul jannata man kaana fii qolbihi mitsqoolu dajarrotin min kibrin

Tidaklah masuk surga orang – orang yang didalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar biji sawi.  (HR. Muslim no. 91)

Contoh yang lain dari niat yang jelek adalah manakala seseorang itu berdebat hanya dikarenakan hobi debat, kita dapati sebagian orang yang memang senang dengan yang namanya debat, ada dicari memang forum – forum dimana disitu ada debat dikarenakan memang hobi, diundang untuk berdebat senang, maka yang seperti ini juga tercela dikaranakan Rasulullah H mengatakan:

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

— Inna abghodorriajaali ilallahi aladul khosom

Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang paling keras penentangannya dan paling suka berdebat. (HR. Al-Bukhari no. 2457 dan Muslim no. 2668)

Topik yang boleh dan dilarang diperdebatkan

Syarat kedua kita boleh berdebat adalah apabila mauduu’ul mujaadalah, topik dari perdebatan itu adalah topik yang diperbolehkan oleh syari’at untuk diperdebatkan, tapi kalau tidak sesuai dengan syari’at maka tidak boleh.

Contoh topik yang boleh diperdebatkan misalnya ada hukum – hukum terbaru seputar safar, hukum terbaru seputar mu’amalah jual beli model – model yang terbaru, jual beli online model drop shipping kemudian BPJS misalnya, asuransi dan hal – hal yang lain yang sifatnya baru kemudian orang beradu dalil berdebat untuk menentukan hukumnya maka boleh dikarenakan kita butuh untuk mengetahui hukumnya.

Tapi kalau topiknya adalah topik yang tidak diperbolehkan maka gak boleh, misalnya berdebat tentang keberadaan Allah, berdebat tentang kebenaran Allah, kebenaran nabi, kebenaran Al Qur’an, kebenaran adanya surga dan neraka yang sudah pasti secara dalil maka tidak boleh lagi ada perdebatan disana, barangsiapa yang berani memperdebatkannya maka dia masuk kedalam larangan Allah E untuk berdebat dengan debat – debat yang tercela.

Contoh yang lain dari topik perdebatan yang sebenarnya tidak boleh diperdebatkan adalah perdebatan yang tidak penting, topik yang sama sekali tidak butuh untuk diperdebatkan. Misal, manakah yang lebih dulu ayam apa telur, telur apa ayam, ini topik yang sama sekali tidak perlu diperdebatkan oleh manusia.

Atau misalnya topik-topik kekinian seputar politik yang kebanyakan orang yang memang senang untuk berdebat tentang masalah politik, yang sebenarnya kita tahu permasalahan – permasalahan demikian adalah permasalahan yang tidak ada habisnya untuk diperdebatkan untuk dijadikan adu kekuatan dijadikan untuk memperlihatnkan kepintaran analisis yang baik untuk politik, maka ini sebenarnya adalah topik yang tidaklah layak untuk diperdebatkan.

Tak berilmu janganlah debat

Syarat ketiga supaya kita boleh berdebat adalah kita perhatikan diri kita dan yang diajak debat. Diri kita kalau ingin berdebat haruslah orang yang berilmu kalau tidak berilmu maka tidak boleh sama sekali anda berdebat karena kalau orang tidak berilmu lalu kemudian mendebat orang lain bagaimana caranya dia bisa memahamkan orang kalau itu adalah bentuk dakwah, kalau itu adalah berdebat dengan ahli syirik misalnya lalu kemudian tidak memiliki ilmu bagaimana cara bisa memahamkan orang tentang tauhid dan syirik.

Faaqirusyayyii laa yu’tii

Orang yang tidak punya sesuatu tidak akan bisa memberikan sesuati itu

Ilmunya saja tidak punya, bagaimana bisa mendebat orang memahamkan orang kalau ilmunya tidak ada? Bahkan yang ada kebanyakannya kalau seseorang itu berdebat dalam keadaan dia tidak memiliki ilmu, kemudian dia berdebat dengan seseorang yang sebenarnya dia adalah orang yang menyimpang tapi dia memiliki kekuatan dalam dalil, walaupun dalilnya sebenarnya membenarkan penyimpangannya. Kemudian diajak debat oleh orang yang sebenarnya berada dalam kebenaran tapi tidak memiliki ilmu, yang ada kemudian terjadi adalah orang tersebut kalah dalam perdebatannya, lalu kemudian membuat fitnah, akhirnya orang – orang lebih menanggap bahwasanya orang yang salah ini yang menyimpang tadi tapi memiliki ilmu lebih dialah yang berada di kebenaran. Adapun lawannya yang tidak memiliki ilmu ini walaupun dia benar justru berada dalam penyimpangan.

Kemudian kita perhatikan yang diajak debat, kalau sekiranya orang tersebut adalah orang yang bisa diajak kepada kebenaran silahkan anda berdebat tapi kalau seandainya orang yang diajak debat adalah orang yang kira – kira memang keras hati yang diberitahukan dalil ini dan itu dia tidak mau menerima maka tidak boleh anda berdebat dengannya. Lebih bagus anda meninggalkannya daripada mendebat orang yang keras hati dan tidak mau menerima kebenaran sama sekali .

Ada perkataan yang sangat banyak dan bagus dari Imam Syafi’i, seperti beliau mengatakan, kalau aku berdebat dengan orang jahil aku tidak pernah menang dikarenakan orang jahil mereka berdebat dengan akalnya dan nafsunya.

Imam Syafi’I V mengatakan saya didebat oleh orang pandir didebat oleh orang bodoh tapi saya diam saja, orang bertanya kenapa kau diam saja kenapa kau tidak didebat, maka saya mengatakan saya lebih pilih untuk menjadi kayu gaharu semakin dibakar semakin wangi, kalau saya tidak mau berdebat dengannya saya diam saja dia membakar saya dengan nafsunya untuk mendebat lalu saya kemudian saya biarkan saja maka saya seperti kayu wangi ketika dibakar semakin wangi.

Dan ini yang terakhir, Rasulullah H mengatakan

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

Ana za’iimun bi bayyin fii robatil jannah liman tarokal mirooa walau karoa muhiqqon

Saya jamin satu buah rumah ditepi surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia berada diatas kebenaran.

Tiga syarat tadi penuhi, niattopikanda dan yang diajak debat,

Kalau ini tidak terpenuhi sebagaimana yang saya jelaskan tadi maka tinggalkan perdebatan dan anda menerima insyaa Allah sebuah rumah ditepi surga yang dijanjikan oleh Rasulullah H .

== # ==

Sumber;

https://muslim.or.id/3536-jauhi-sikap-sombong.html

Sumber: https://catatankajian.com/872-silakan-berdebat-dengan-syarat-ustadz-muflih-safitra-msc.html

Bulan Sya’ban

Asal penamaan Bulan Sya’ban

Nama “Sya’ban” diambil dari kata “Sya’bun” yang artinya ‘kelompok’ atau ‘golongan’. Dinamakan “sya’ban” karena pada bulan ini, masyarakat jahiliah terpisah menjadi beberapa kelompok untuk melakukan peperangan.

Hadis Shahih Seputar Bulan Sya’ban

  1. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakan, ‘Beliau tidak pernah tidak puasa,’ dan terkadang beliau tidak puasa terus, hingga kami katakan, ‘Beliau tidak melakukan puasa.’ Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Sya’ban. (HR. Al Bukhari & Mulim)
  2. Aisyah mengatakan, “Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
  3. Aisyah mengatakan, “Saya pernah memiliki utang puasa Ramadan, dan saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
  4. Aisyah mengatakan, “Bulan yang paling disukai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan puasa adalah bulan Sya’ban, kemudian beliau lanjutkan dengan puasa Ramadan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanadnya dinilai sahih Syekh Syu’aib Al Arnauth)
  5. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud, At Turmudzi, Ibnu Majah, dan dinilai sahih Al Albani)
  6. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut selain di bulan Sya’ban dan Ramadan.” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, At Turmudzi dan dinilai sahih Al Albani)
  7. Dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya: Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i, Ahmad, dan sanadnya dihasankan Syekh Al Albani)
  8. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari. Kecuali orang yang sudah terbiasa puasa sunnah, maka silahkan dia melaksanakannya.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
  9. Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluqnya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dinilai sahih oleh Al Albani)

Hadis dhaif seputar Sya’ban

  1. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Puasa sunah apakah yang paling utama setelah Ramadan?” Beliau bersabda: “Sya’ban, dalam rangka mengagungkan Ramadan ….” (HR. At Turmudzi dari jalur Shadaqah bin Musa. Perawi ini disebutkan oleh Ad Dzahabi dalam Ad Dhu’afa, beliau mengatakan, “Para ulama mendhaifkannya.” Hadis ini juga dinilai dhaif oleh Al Albani dalam Al Irwa’)
  2. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengtakan, “Suatu malam, saya kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya cari keluar, ternyata beliau di Baqi’ … Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala turun pada malam pertengahan bulan Sya’ban ke langit dunia. Kemudian Dia mengampuni dosa yang lebih banyak dari pada jumlah bulu kambingnya suku Kalb.’” (HR. Ahmad, At Turmudzi, dan dinilai dhaif oleh Imam Al Bukhari dan Syekh Al Albani)
  3. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika masuk malam pertengahan bulan Sya’ban maka shalatlah di siang harinya. Karena Allah turun ke langit dunia ketika matahari terbenam. Dia berfirman, ‘Mana orang yang meminta ampunan? Pasti Aku ampuni. Siapa yang minta rezeki? Pasti Aku beri rezeki. Siapa …? sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu Majah. Di dalam sanadnya terdapat Ibnu Abi Subrah. Ibnu Hajar mengatakan, “Para ulama menuduh beliau sebagai pemalsu hadis.” Hadis ini juga dinilai dhaif oleh Syekh Al Albani)
  4. Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku. (Riwayat Abu Bakr An Naqasy. Al Hafidz Abul Fadhl Muhammad bin Nashir mengatakan: An Naqasy adalah pemalsu hadis, pendusta. Ibnul Jauzi, As Shaghani, dan As Suyuthi menyebut hadis ini dengan hadis maudhu)
  5. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil: Hai Ali, siapa yang shalat seratus rakaat di malam pertengahan bulan Sya’ban, di setiap rakaat membaca Al Fatihah dan surat Al Ikhlas sepuluh kali. Siapa saja yang melaksanakan shalat ini, pasti Allah akan penuhi kebutuhannya yang dia inginkan ketika malam itu …. (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2:127-128, As Suyuthi dalam Al-Lali’ Al mashnu’ah, 2/57 – 59, dan ulama pakar hadis lainnya)
  6. Barang siapa yang melaksanakan shalat pada pertengahan bulan Sya’ban dua belas rakaat, di setiap rakaat dia membaca surat Al Ikhlas tiga kali maka sebelum selesai shalat, dia akan melihat tempatnya di surga. (Hadis palsu, disebutkan Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at, 2:129 Ibnul Qayyim dalam Manarul Munif, hal. 99, dan dinyatakan palsu oleh pakar hadis lainnya)

Amalan sunah di Bulan Sya’ban

Pertama, memperbanyak puasa sunnah selama bulan Sya’ban

Ada banyak dalil yang menunjukkan dianjurkannya memperbanyak puasa di bulan sya’ban. Di antara hadis tersebut adalah:

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakan, ‘Beliau tidak pernah tidak puasa,’ dan terkadang beliau tidak puasa terus, hingga kami katakan, ‘Beliau tidak melakukan puasa.’ Dan saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Aisyah juga mengatakan, “Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Hadis-hadis di atas merupakan dalil keutamaan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, yang tidak terdapat di bulan yang lain.
Ulama berselisih pendapat tentang hikmah dianjurkannya memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, mengingat adanya banyak riwayat tentang puasa ini. Pendapat yang paling kuat adalah keterangan yang sesuai dengan hadis dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya: Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i, Ahmad, dan sanadnya dinilai hasan oleh Syekh Al Albani)

Kedua, memperbanyak ibadah di malam nishfu Sya’ban

Ulama berselisish pendapat tentanga status keutamaan malam nishfu Sya’ban. Setidaknya ada dua pendapat yang saling bertolak belakang dalam masalah ini. Berikut ini keterangannya:

Pendapat pertama, tidak ada keuatamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Statusnya sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan bahwa semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadis lemah. Al Hafidz Abu Syamah mengatakan, “Al Hafidz Abul Khithab bin Dihyah – dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban– mengatakan, ‘Para ulama ahli hadis dan kritik perawi mengatakan, ‘Tidak terdapat satupun hadis shahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban.”” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, hlm. 33)

Syekh Abdul Aziz ben Baz juga mengingkari adanya keutamaan bulan Sya’ban dan nishfu Saya’ban. Beliau mengatakan, “Terdapat beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban, yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat di malam nishfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu, sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadis).” (At Tahdzir min Al Bida’, hal. 11)

Pendapat Kedua, ada keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Pendapat ini berdasarkan hadis shahih dari Abu Musa Al Asy’ari radhallahu ‘anhu, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluqnya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dinilai sahih Al Albani)

Setelah menyebutkan beberapa waktu yang utama, Syekhul Islam mengatakan, “… Pendapat yang dipegangi mayoritas ulama dan kebanyakan ulama dalam madzhab hambali adalah meyakini adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak hadis yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi’in ….” (Majmu’ Fatawa, 23:123)

Ibnu Rajab mengatakan, “Terkait malam nishfu Sya’ban, dulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya, mereka memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu ….” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 247)

Kesimpulan:
Dari keterangan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:

  1. Nishfu Sya’ban termasuk malam yang memiliki keutamaan. Hal ini berdasarkan hadis sebagaimana yang telah disebutkan. Meskipun sebagian ulama menyebut hadis ini hadis yang dhaif, namun insya Allah yang lebih kuat adalah penilaiannya Syekh Al Albani bahwa hadis tersebut statusnya shahih.
  2. Tidak ditemukan satupun riwayat  yang menganjurkan amalan tertentu ketika nishfu Sya’ban. Baik berupa puasa atau shalat. Hadis di atas hanya menunjukkan bahwa Allah mengampuni semua hamba-Nya di malam nishfu sya’ban, kecuali dua jenis manusia yang disebutkan.
  3. Ulama berselisih pendapat tentang apakah dianjurkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan banyak beribadah? Sebagian ulama menganjurkan, seperti sikap beberapa ulama Tabi’in yang bersungguh-sungguh dalam ibadah. Sebagian yang lain menganggap bahwa mengkhususkan malam nishfu Sya’ban untuk beribadah adalah bid’ah.
  4. Ulama yang membolehkan memperbanyak amal di malam nishfu Sya’ban, mereka menegaskan bahwa tidak boleh mengadakan acara khusus, atau ibadah tertentu, baik secara berjamaah maupun sendirian di malam ini. Karena tidak ada amalan sunnah khusus di malam nishfu Sya’ban. Sehingga, menurut pendapat ini, seseorang dibolehkan memperbanyak ibadah secara mutlak, apapun bentuk ibadahnya.

Amalan bid’ah di Bulan Sya’ban

Ada banyak bid’ah yang digelar ketika bulan Sya’ban. Umumnya kegiatan bid’ah ini didasari hadis-hadis dhaif yang banyak tersebar di masyarakat. Terutama terkait dengan amalan nishfu sya’ban. Berikut adalah beberapa kegiatan bid’ah yang serinng dilakukan di bulan Sya’ban.

Pertama, Shalat sunnah berjamaah atau mengadakan acara khusus di malam nishfu sya’ban

Terdapat hadis shahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban. Namun tidak ditemukan satupun hadis shahih yang menyebutkan amalan tertentu di bulan Sya’ban. Oleh karena itu, para ulama menegaskan terlarangnya mengkhususkan malam nishfu Sya’ban untuk melaksanakan ibadah tertentu.

Kedua, Shalat Alfiyah

Manusia pertama yang membuat bid’ah shalat Alfiyah di malam nishfu Sya’ban adalah seseorang yang bernama Ibn Abil Hamra’, yang berasal dari daerah Nablis, Palestina. Dia datang ke Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki suara bacaan Al Qur’an yang sangat merdu. Ketika malam nishfu Sya’ban, dia shalat dan diikuti oleh seseorang di belakangnya sebagai makmum. Kemudian makmum bertambah tiga, empat,..hingga sampai selesai shalat jumlah mereka sudah menjadi jamaah yang sangat banyak.

Kemudian di tahun berikutnya, dia melaksanakan shalat yang sama bersama jamaah yang sangat banyak. Kemudian tersebar di berbagai masjid, hingga dilaksanakan di rumah-rumah, akhirnya jadilah seperti amalan sunnah. (At Tahdzir Minal Bida’, karya At Turthusyi, hlm. 121 – 122).

Tata caranya

Shalat ini dinamakan shalat alfiyah, karena dalam tata caranya terdapat bacaan surat Al Ikhlas sebanyak seribu kali. Di baca dalam seratus rakaat. Tiap rakaat membaca surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. (Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 149)

Semua ulama sepakat bahwa shalat Alfiyah hukumnya bid’ah.

Ketiga, Tradisi Ruwahan-sadranan (selamatan bulan di Sya’ban)

Tradisi ini banyak tersebar di daerah jawa. Terutama jawa tengah dan jogjakarta. Mereka menjadikan bulan ini sebagai bulan khusus untuk berziarah kubur dan melakukan selamatan untuk masyarakat kampung. Pada hakekatnya tradisi ini merupakan warisan agama hindu-animisme-dinamisme. Sehingga bisa kita tegaskan hukumnya terlarang, karena kita dilarang untuk melestarikan adat orang kafir.

 

Read more https://yufidia.com/bulan-syaban/