Fikih Tata Cara Wudhu dengan Benar

Tata Cara Wudhu

Sebelum shalat kita wajib berwudhu, tanpa berwudhu shalat kita tidak sah.

Dalil Disyariatkan wudhu

Dalil disyariatkan wudhu ada dalam Alquran, As Sunnah dan Ijma’. Dalam Alquran, di surat Al Maa’idah: 6, sedangkan dalam As Sunnah adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Sedangkan dalam ijma’ adalah karena kaum muslimin dari zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang telah sepakat tentang disyariatkannya wudhu.

Keutamaan Wudhu

Banyak hadis-hadis yang menerangkan  tentang keutamaan wudhu, di antaranya sbb:

Dari Abdullah Ash Shunaabihiy bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang hamba berwudhu lalu berkumur-kumur, maka akan keluar dosa-dosa dari mulutnya. Jika ia menghembuskan air dari hidung, maka akan keluar dosa-dosa dari hidungnya. Ketika ia membasuh mukanya, maka akan keluar dosa-dosa dari mukanya sampai keluar dari pinggir kelopak mata. Ketika ia membasuh kedua tangannya, maka akan keluar dosa-dosanya dari kedua tangannya sampai keluar dari bawah kuku tangannya. Ketika ia mengusap kepala, maka akan keluar dosa-dosa dari atas kepalanya sampai keluar dari kedua telinganya. Ketika ia membasuh kedua kakinya, maka akan keluar dosa-dosanya dari kedua kakinya sampai keluar dari bawah kuku kakinya. Kemudian dengan berjalannya menuju masjid dan shalat yang dilakukannya sebagai tambahan untuknya.” (HR. Malik, Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim)

Dan dari Abu Huirairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkan perbuatan yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab: “Ya, mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu saat keadaan tidak menyenangkan, banyak melangkahkan kaki menuju masjid dan menunggu shalat yang berikutnya setelah melaksanakan suatu shalat; itulah Ar Ribaath.” (HR. Malik, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i)

Ribaath artinya menjaga perbatasan dari serangan musuh dan berjihad fii sabiilillah, yakni bahwa senantiasa menjaga kesucian dan menekuni ibadah seperti jihad fii sabiilillah.

Keutamaan lainnya adalah bahwa dengan berwudhu, muka, tangan dan kakinya akan bercahaya pada hari kiamat sehingga dapat diketahui bahwa mereka adalah umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebagaimana dalam hadis riwayat Muslim).

Tata Cara Wudhu

Dari Humran Maula (budak yang dimerdekakan) Utsman, bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah meminta dibawakan air wudhu, ia pun berwudhu, membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur dan menghembuskan air dari hidung, dan membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai siku tiga kali, yang kiri juga seperti itu. Kemudian ia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kaki kiri pun sama seperti itu. Setelah itu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu berdiri shalat dua rak’at dengan khusyu’, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Ibnu Syihab berkata, “Para ulama kami berkata, “Wudhu ini merupakan wudhu paling sempurna yang dilakukan seseorang ketika hendak shalat.” (HR. Bukhari, Muslim (ini adalah lafaznya), Abu Dawud dan Nasa’i)

Penjelasan Hadis di atas:

– Di dalam hadis di atas tidak diterangkan berapa kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, namun dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu diterangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur-kumur, menghirup air ke hidung dan menghembuskannya dengan telapak tangan kiri, Beliau melakukannya sebanyak tiga kali. Dalam hadis Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Muslim diterangkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung melakukannya dengan satu telapak tangan.

Dari sini diketahui, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara berkumur-kumur dengan menghirup air ke hidung dalam sekali cidukan dengan satu telapak tangan, dan pada saat menghembuskan air dari hidung Beliau menggunakan telapak tangan kirinya.

– Tentang membasuh tangan sampai siku, Ishaq bin Rahawaih berkata, “Kata “sampai” dalam ayat (seperti sampai siku, sampai mata kaki) bisa berarti batas akhirnya, dan bisa artinya “ma’a” (beserta), namun As Sunnah menerangkan bahwa “sampai” tersebut berarti “beserta”.”

Oleh karena itu, dalam berwudhu, kita harus meyertakan membasuh sikut ketika membasuh tangan dan menyertakan mata kaki ketika membasuh kaki.

– Tentang membasuh kepala, apakah kita membasuh hanya sebagian atau seluruhnya? Yang raajih –insya Allah- adalah membasuh seluruhnya sebagaimana diterangkan dalam hadis Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan lainnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembasuh kepalanya, dimulai dari bagian depan kepala lalu menjalankan ke belakang kepala (tengkuk), kemudian mengembalikan lagi ke depan.

JIka ada yang berkata, “Bukankah dalam hadis Mughirah diterangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap rambut bagian depannya bersama sorbannya?” maka jawabannya, “Beliau pernah mengusap bagian depan kepalanya, namun Beliau juga mengusap sorban yang menutupi bagian kepalanya yang lain sehingga menunjukkan seluruh kepalanya diusap. Oleh karena itu, wajib hukumnya mengusap seluruh kepala, jika kepalanya tertutup sorban, maka ia bisa mengusap sorbannya saja, atau jika sorban hanya menutupi sebagian kepalanya, maka ia usap bagian kepalanya yang tidak tertutup sorban, demikian juga sorban yang menutupi kepalanya.

Dalam hadis Ali yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i dengan isnad yang shahih dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya hanya sekali. Namun tidak mengapa sampai tiga kali berdasarkan hadis Utsman yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari dua jalan yang salah satunya dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.

– Dalam hadis Humran di atas tidak disebutkan mengusap telinga, namun kata-kata mengusap kepala sebenarnya sudah menunjukkan demikian, karena telinga bagian dari kepala. Di hadis Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah diterangkan cara mengusap telinga, yaitu dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam telinga dan mengusap bagian luar telinga dengan ibu jari. Mengusap kepala dan telinga adalah sama, yakni cukup sekali saja. Dalam mengusap telinga ini, boleh menggunakan air sisa mengusap kepala dan boleh juga mengambil lagi air yang baru.

– Sedangkan tentang membasuh kaki sudah cukup jelas berdasarkan hadis di atas.

Syarat Sah Wudhu

Agar wudhu kita sah, ada beberapa syaratnya sbb:

–   Niat, yakni keinginan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan karena mengharap keridhaan Allah dan mengikuti perintah-Nya. Niat tempatnya di hati, bukan di lisan, melafazkannya adalah bid’ah. Dalil wajibnya niat adalah hadis “Innamal a’maalu bin niyyat” (sesungguhnya amal itu tergantung niat).

–   Mengucapkan basmalah (Bismillah), dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اِسْمَ اَللَّهِ عَلَيْهِ

“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya (waktu memulai wudhu).” (Hasan, HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

–   Muwaalaah (tidak memutuskan dengan perbuatan lain).

Oleh karena itu, jika ketika berwudhu, di sela-selahi dengan perbuatan yang lain. Misalnya makan, minum dsb, maka wudhunya hendaknya diulangi. Kecuali jika perbuatan itu berkaitan dengan wudhu/bersuci. Misalnya di tangan atau kakinya ada bekas lilin yang menempel, lalu ia kerik dan melanjutkan wudhunya, maka wudhunya sah. Demikian juga sah wudhunya jika pindah ke kran yang satunya lagi, jika kran pertama tidak keluar air atau habis dsb.

Fardhu Wudhu

Fardhu wudhu di sini adalah rukun wudhu, di mana Jika tidak dilakukan, maka dianggap belum berwudhu. Berikut fardhu wudhu:

  1. Membasuh muka sekali, yakni mengalirkan air ke atasnya, karena arti membasuh adalah mengalirkan air. Batas muka, panjangnya dari atas dahi hingga bawah janggut dan lebarnya dari syahmah (lentik) telinga yang satu ke telinga yang satunya lagi.
  2. Membasuh kedua tangan sampai sikut, yakni sikut pun harus kena.
  3. Mengusap kepala. Mengusap di sini artinya adalah membasahkan kepala.
  4. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki, beserta kedua mata kakinya juga dibasuh.

Dalil no. 1 sampai 4 ada di surat Al Maa’idah: 6.

Kebanyakan ulama menambahkan “tertib” (dilakukan secara berurutan) ke dalam fardhu wudhu, memang demikian asalnya. Namun karena ada hadis Miqdam bin Ma’diikarib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dibawakan air wudhu, lalu Beliau berwudhu, memulainya dengan membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, membasuh mukanya tiga kali, membasuh dua tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur dan menghembuskan air dari hidungnya, kemudian Beliau mengusap kepala dan kedua telinganya…dst.” (Shahih Abu Dawud 112) maka berdasarkan hadis di atas “tertib” tidak termasuk ke dalam fardhu’ wudhu, wallahu a’lam.

Sunnah-sunnah Wudhu

  • Bersiwak, berdasarkan hadis berikut:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ الْوُضُوْءِ

“Jika sekiranya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (Shahih, HR. Ahmad)

  • Membasuh kedua telapak tangan tiga kali di awal wudhu, lih. hadis Humran di atas.
  • Menggabung berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung dalam sekali cidukan dengan satu telapak tangan sebanyak tiga kali, berdasarkan hadis Abdullah bin zaid radhiyallahu ‘anhu.
  • Menghirup air ke hidung secara mendalam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِى اْلإِسْتِنْشَاقِ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Sela-selahilah jari-jari dan lebih dalamlah dalam menghirup air ke hidung, kecuali jika kamu sedang berpuasa.” (Shahih, HR. Abu Dawud)

  • Menyela-nyela janggut, berdasarkan hadis Utsman radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela janggutnya. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, serta ia menshahihkannya)

Janggut ada yang tipis dan tebal. Jika tipis yang tidak menutupi kulit, maka wajib dibasuh beserta bagian bawahnya, karena bagian bawah jika nampak, masuk ke bagian wajah. Sedangkan janggut yang tebal, yakni yang menutupi kulit, maka dalam hal ini yang wajib adalah membasuh bagian luarnya. Dan dianjurkan menyela-nyela janggut, cara menyela-nyela janggut ada dua cara:

–   Diambil air setelapak tangan, lalu ditempatkan di bawah janggut, lalu disela-sela janggut dengannya.

–   Diambil air setelapak tangan, lalu di sela-sela janggutnya dengan jarinya seakan-akan jarinya seperti sisir. (lih. Asy Syarhul Mumti’ 1/140 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

  • Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki, dalilnya sudah disebutkan pada no. 4. Dalam hadis Mustawrid bin Syaddad dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela jari kakinya dengan menggunakan jari kelingking (HR. Lima orang selain Ahmad).

Ada riwayat yang menerangkan anjuran menggeser cincin, termasuk juga gelang ketika membasuh tangan, hanya riwayat tersebut tidak mencapai derajat shahih, namun dianjurkan dilakukan, karena masuk ke dalam keumuman perintah menyempurnakan wudhu.

  • Membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membasuh dua kali-dua kali atau sekali-sekali.
  • Mendahulukan bagian kanan.
  • Menggosok-gosok, hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Zaid bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan air yang hanya 2/3 mud, lalu Beliau menggosok-gosok tangannya (shahih, HR. Ibnu Khuzaimah).
  • Mengusap kedua telinga, namun di antara ulama ada yang memasukkan “mengusap dua telinga” ke dalam fardhu wudhu dengan alasan, karena kedua telinga bagian dari kepala yang wajib dibasuh.
  • Hemat dalam menggunakan air, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa akan ada pada ummatnya orang-orang yang berlebihan dalam bersuci dan berdoa (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
  • Berdoa setelah wudhu, yaitu dengan doa berikut:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (رواه مسلم)

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ (صحيح رواه الترمذي )

  • Melakukan shalat sunat setelahnya, berdasarkan hadis Humran di atas dan hadis Bilal radhiyallahu ‘anhu.

Tentang Berdoa di Tengah-tengah Wudhu

Tidak ada satu pun hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan doa ketika tengah berwudhu selain hadis Abu Musa Al Asy’ari, di mana ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berwudhu berdoa dengan doa, “Ya Allah, ampunilah dosaku, luaskanlah tempatku dan berilah berkah pada rezkiku.” (HR. Nasa’i dan Ibnus Sunniy dengan isnad yang shahih), akan tetapi Nasa’i memasukkan doa tersebut ke dalam doa setelah wudhu, sedangkan Ibnus Sunniy memasukkan doa itu saat tengah berwudhu. Imam Nawawi berkata: “Kedua-duanya masih mengandung kemungkinan.”

Akan tetapi, doa yang dilakukan oleh sebagian orang, seperti ketika membasuk muka, ia membaca, “Allahumma bayidh…dst”, ketika membasuh tangan ia membaca, “Allahumma a’thini kitaabiy…dst” serta doa ketika membasuh anggota badan tertentu. Hal ni sama sekali tidak ada hadis yang shahih, bahkan hadis yang menerangkan demikian adalah dha’if jiddan (sangat lemah). Wallahu a’lam.

Oleh: Marwan bin Musa

Read more https://yufidia.com/3536-fikih-tata-cara-wudhu-dengan-benar.html

Hukum Wudhu dengan Botol Spray

Wudhu dengan Semprotan Botol Spray

Bagaimana keabsahan para Jama’ah haji atau umroh yang berwudhu dengan menyemprotkan air dari botol?
Apakah sudah masuk kategori membasuh?

Jawaban:

Alhamdulillah, was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Sebelum melakukan wudhu dengan cara ini, perlu kita perhatikan teknis pensucian anggota wudhu ada dua macam:

[1] Membasuh (al-ghuslu).

[2] Mengusap (al- Mashu).

Allah ‘azza wajalla telah terangkan dalam Al-Qur’an,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Ma’idah : 6)

Anggota wudhu yang wajib dibasuh adalah: wajah, tangan sampai siku dan kaki sampai ke mata kaki.

Adapun yang wajib diusap adalah: kepala, termasuk juga telinga.

Selain empat anggota wudhu di atas, membasuh atau mengusapnya, hukumnya sunah menurut mayoritas ulama (Jumhur).

Selengkapnya bisa anda pelajari di :

Fikih Tata Cara Wudhu dengan Benar (simk artikel selanjutnya)

Sekian, Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori

Read more https://konsultasisyariah.com/35459-hukum-wudhu-dengan-botol-spray.html

Kemiripan Syi’ah dengan Yahudi

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Orang-orang yang datang sesudah mereka -sesudah Muhajirin dan Anshar- berdoa; Robbanaghfirlanaa wa li ikhwaaninalladziina sabaquuna bil iimaan, wa laa taj’al fii quluubinaa ghillal liliadziina aamanuu. Robbanaa innaka ro’uufurr rahiim. “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah terlebih dahulu beriman, dan janganlah Kau jadikan di dalam hati kami perasaan dengki terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10)

Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Maka siapakah yang lebih sesat daripada orang yang di dalam hatinya terdapat perasaan dengki terhadap kaum mukminin terbaik dan pemimpin para wali Allah ta’ala setelah para Nabi? Bahkan Yahudi dan Nasrani memiliki satu kelebihan di atas mereka. Orang Yahudi ditanya, “Siapakah orang-orang terbaik diantara pengikut agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat Musa.” Orang Nasrani ditanya, “Siapakah orang-orang terbaik diantara pemeluk agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat ‘Isa.” Kaum Rafidhah/Syi’ah ditanya, “Siapakah orang-orang terjelek diantara pengikut agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat Muhammad!!!” Mereka tidak mengecualikan kecuali sedikit sekali. Bahkan diantara orang yang mereka cela itu terdapat orang yang jauh lebih baik daripada yang mereka kecualikan.” (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah takhrij Syaikh al-Albani, hal. 470)

Keserupaan Syi’ah dengan Yahudi

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang-orang Yahudi berkata bahwa tidak boleh kekuasaan itu dipegang oleh selain keturunan Dawud. Demikian pula, kaum Rafidhah/Syi’ah. Mereka mengatakan bahwa tidak boleh imamah/kepemimpinan umat ini dipegang oleh selain keturunan Ali.

Orang Yahudi berkata bahwa tidak ada jihad fi sabilillah kecuali setelah keluarnya al-Masih ad-Dajjal dan diturunkan pedang. Kaum Rafidhah pun mengatakan bahwa tidak ada jihad fi sabilillah kecuali setelah keluarnya Imam Mahdi dan terdengar seruan dari langit.

Orang-orang Yahudi mengakhirkan sholat hingga bintang-bintang tampak. Maka begitu pula Rafidhah. Mereka mengakhirkan sholat Maghrib hingga bintang-bintang tampak. Padahal di dalam hadits ditegaskan, “Umatku akan senantiasa berada di atas fithrah selama mereka tidak mengakhirkan sholat Maghrib hingga tampaknya bintang-bintang.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, di dalam Zawa’id disebutkan bahwa sanadnya hasan).

Orang-orang Yahudi menyelewengkan ayat-ayat Taurat. Begitu pula kaum Rafidhah menyelewengkan ayat-ayat al-Qur’an. Yahudi memandang tidak dituntunkan mengusap khuf. Begitu pula Rafidhah memandang hal itu tidak diajarkan.

Orang Yahudi membenci Jibril, mereka mengatakan, “Jibril adalah musuh kami dari kalangan malaikat.” Begitu pula  Rafidhah, mereka mengatakan, “Jibril salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad.” (lihat Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, dikutip dari Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 23-24)

Keyakinan Syi’ah Tentang Imam-Imam Mereka

Mengenai kedudukan para imam Syi’ah, Khomeini mengatakan, “Sesungguhnya kami ini -para imam dua belas- mengalami keadaan-keadaan bersama Allah yang tidak dialami bahkan oleh malaikat yang dekat maupun nabi yang diutus.” (lihat Tahrir al-Wasilah karya Khomeini, dikutip dari Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 27).

Bahkan para ulama Syi’ah menganggap imam-imam mereka -keturunan Ali- adalah lebih utama daripada nabi-nabi. Salah seorang ulama Syi’ah yang bernama al-Majlisi mengatakan di dalam kitabnya Mir’at al-‘Uquul“Sesungguhnya mereka -para imam- itu lebih mulia dan lebih utama daripada seluruh nabi selain Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 27)

Kaum Syi’ah juga Sangat membenci para Sahabat terutama yang menggantikan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat ini sesudah wafatnya beliau kecuali Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhum. Mereka menganggap para Sahabat itu adalah pengkhianat, bahkan kafir!

al-Qumi salah seorang ulama Syi’ah mengatakan di dalam tafsirnya tentang firman Allah (yang artinya), “Dan dia melarang dari fakhsya’, mungkar dan baghyu.” (QS. an-Nahl: 90). Dia mengatakan, “Yang dimaksud fakhsya’ adalah Abu Bakar, mungkar adalah ‘Umar, dan baghyu adalah ‘Utsman.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 21).

Di dalam Bihar al-Anwar al-Majlisi membuat pembahasan khusus yang berjudul, “Hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran Abu Bakar dan ‘Umar serta orang-orang yang mendukung mereka berdua, pahala bagi orang yang melaknat mereka, keharusan berlepas diri dari mereka, bahwa bid’ah yang mereka lakukan terlalu banyak untuk disebutkan dalam satu jilid buku ini ataupun berjilid-jilid buku yang lain…” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 21)

Siapakah yang meragukan keutamaan para Sahabat terbaik semacam Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman radhiyallahu’anhum?! Putra Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang bernama Muhammad bin al-Hanafiyah pernah bertanya kepada ayahnya, “Aku bertanya kepada ayahku: Siapakah orang yang terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapa?”. Beliau menjawab, “’Umar.” Dan aku khawatir jika beliau mengatakan bahwa ‘Utsman adalah sesudahnya, maka aku katakan, “Lalu anda?”. Beliau menjawab, “Aku ini hanyalah seorang lelaki biasa di antara kaum muslimin.” (HR. Bukhari)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhu’anhuma berkata, “Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup kami memilih-milih siapakah orang yang terbaik. Maka menurut kami yang terbaik di antara mereka adalah Abu Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.” (HR. Bukhari)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para Sahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian ada yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak akan bisa menandingi kualitas infak mereka yang hanya satu mud/genggaman dua telapak tangan, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menginfakkan ‘sepasang hartanya’ di jalan Allah maka dia akan dipanggil -oleh malaikat- dari pintu-pintu surga, ‘Wahai hamba Allah! Inilah kebaikan -yang akan kamu peroleh-.’ Barangsiapa yang tergolong ahli sholat, maka dia akan dipanggil dari pintu sholat. Barangsiapa yang tergolong ahli jihad, maka dia akan dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa yang tergolong ahli sedekah, maka dia akan dipanggil dari pintu sedekah. Barangsiapa yang tergolong ahli puasa, maka dia akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan.” Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Wahai Rasulullah, apa  yang perlu dikhawatirkan oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu itu. Adakah orang yang dipanggil dari kesemua pintu itu?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ada. Dan aku berharap kamu termasuk diantara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan keutamaan yang ada pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang beliau, “Aku berharap semoga kamu termasuk di dalamnya.” Yaitugolongan orang-orang yang dipanggil dari semua pintu surga. Hal itu karena harapan dari Allah atau Nabi-Nya pasti terjadi, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama (lihat Fath al-Bari [7/31] dan Syarh Shahih Muslim [4/353]).

Siapakah yang meragukan bahwa Abu Bakar masuk surga?! Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapakah di antara kalian yang hari ini berpuasa?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah memberi makan orang miskin?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu kembali menjawab, “Saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidaklah itu semua terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti masuk surga.” (HR. Muslim)

Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Seandainya ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat iman Abu Bakar.” (as-Sunnah, sanadnya hasan, lihat as-Sunnah li Abdillah ibni Ahmad ibni Hanbal, Jilid 1 hal. 378)

Kalau seorang Sahabat saja sudah seperti ini kedudukannya, lantas bagaimana menurut anda orang yang menganggap kafir semua para Sahabat kecuali beberapa gelintir orang saja?! Salah seorang pembesar ulama Syi’ah yang bernama al-Kulaini di dalam Furu’ al-Kafi membawakan riwayat dusta  atas nama keturunan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, bahwa Ja’far ‘alaihis salam mengatakan, “Seluruh manusia setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berubah menjadi murtad kecuali tiga orang.” Lalu ditanyakan kepada belliau, “Siapakah tiga orang itu?”. Beliau menjawab, “al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 20). Maha suci Allah.. Sungguh ini adalah kedustaan yang sangat besar!!

Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk Sunnah adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang diantara mereka maka dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham Rafidhah/Syi’ah. Mencintai mereka -para Sahabat- adalah Sunnah. Mendoakan kebaikan untuk mereka adalah ibadah. Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan mengambil atsar/riwayat mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat Qathful Jana ad-Daani, hal. 162)

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kita mencintai para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita tidak berlebih-lebihan dalam mencintai salah seorang diantara mereka. Kita juga tidak berlepas diri dari siapapun diantara mereka. Kita membenci orang yang membenci mereka, dan juga orang-orang yang menjatuhkan kehormatan mereka. Kita tidak menyebutkan mereka kecuali dengan kebaikan. Cinta kepada mereka adalah termasuk bagian agama, ajaran keimanan dan sikap ihsan. Adapun membenci mereka adalah kekafiran, kemunafikan dan sikap yang melampaui batas.” (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 488. Ta’liq Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/8733-kemiripan-syiah-dengan-yahudi.html

Seruan Dari Allah Untuk Semua Manusia

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (2577), dalam kitab “Al Birr wash Shilah wal Adab”, bab “Haramnya Kezaliman” :

وَعَن أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ عَنِ النَّبِيِّ صَ اللَّهُ عَلَيهِ وَ سَلَم فِيمَا يَروِيهِ عَن رَبِّهِ، قَالَ: “يَا عِبَادِي إِنِّ حَرَّمتُ الظُلمَ عَلَى نَفسِي، وَجَعَلتُهُ بَينَكُم مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا…”

Dari Abi Dzar rahimahullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam apa yang Nabi riwayatkan dari Rabbnya (hadits qudsi), Allah berfirman: “Wahai hamba-Ku, sesungguuhnya Aku haramkan kezaliman atas Diriku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah saling menzalimi”

Hadits yang agung dan panjang namun dicukupkan oleh penulis dalam satu kalimat saja. Hadits dari Abu Dzar yang terkenal diriwayatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Rabbnya. Dan adalah Abu Muslim Al-Khauali rahimahullah apabila membaca dan menyampaikan hadits ini beliau duduk dengan bertekuk lutut dalam rangka takut kepada Allah ta’ala.

Allah Tidak Menzalimi Hamba-Nya
Pada kalimat, “Allah berfirman” merupakan penetapan bahwa Allah ta’ala bisa berbicara. Sesungguhnya Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku”, ini adalah seruan dari Allah untuk semua manusia. Makna dari kalimat, “Sesungguhnya Aku haramkan kezaliman atas Diriku” adalah Allah mencegah dan membersihkan diri-Nya dari kezhaliman serta menolak untuk berbuat zalim padahal Allah mampu melakukannya. Allah mampu melakukan segala sesuatu akan tetapi Allah menghalangi diri-Nya untuk berbuat kezaliman karena kezaliman merupakan suatu aib (sifat kekurangan) dan Allah tersucikan dari aib.
Hadits ini adalah dalil bahwasanya Allah mampu berbuat zalim terhadap hamba-hamba-Nya namun Allah tidak ingin berbuat zalim. Maka Allah menegaskan hal tersebut untuk menunjukkan betapa adilnya Allah.
Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

Dan Rabbmu tidaklah zalim kepada siapapun” (Q.S Al-Kahfi: 49).

وَمَا رَبُّكَ بِظُلاَّمٍ لِلعَبِيدِ

Dan Rabbmu sama sekali tidak berbuat zalim pada hamba-hamba-Nya” (Q.S Fushshilat: 46).
Meskipun kata zhullam adalah sighah mubalaghah (makna hiperbola) sehingga zhullamin bermakna sangat zalim, namun makna ayat bukanlah “Allah tidaklah berbuat sedikit zalim pada hamba-hamba-Nya” melainkan makna yang tepat adalah zalim sehingga makna yang tepat adalah “Dan Rabbmu sama sekali tidak berbuat zalim pada hamba-hamba-Nya”.
Allah Ta’ala berfirman,

لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۚ

Tidak ada kezaliman hari ini” (Q.S Ghafir: 17).

Pengertian dan Macam-macam Kezaliman
Maka Allah tidak zalim pada siapapun padahal Allah mampu berbuat zalim. Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

الظلم ثلاثة: فظلم لا يتركه الله، و ظلم يغفر، وظلم لا يغفر، و أما الظلم الذي لا يغفرفا الشرك لا يغفر الله، و أما الظلم الذي يغفر فظلم العبد فيما بينه و بين ربه، و أما الظلم الذي لا يترك فظلم العبد فيقتص الله بعضهم من بعد

Kezaliman ada tiga macam yaitu kezaliman yang tidak akan Allah biarkan, kezaliman yang diampuni dan tidak diampuni. Kezaliman yang tidak diampuni adalah syirik, Allah tidak mengampuni kemusyrikan. Kezaliman yang diampuni adalah kezaliman terkait hamba dan hak Rabbnya. Kezaliman yang tidak Allah biarkan adalah kezaliman antara hamba dengan hamba Allah akan kisas sebagian dengan yang lain (HR. Abu Daud At-Thalisi dalam musnadnya no. 2223, Abu Nu’aim di dalam Hilyah (6/309) dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah no. 1927).

Zalim ada tiga macam;
1. Zalim antara hamba dengan Rabbnya dan ini adalah syirik. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang besar” (Q.S Luqman: 13).
2. Zalim antara hamba dengan hamba yakni atta’addi (melampau batas terhadap orang lain). Atta’addi mencakup tiga hal, yakni melampau batas terhadap;
a.  Harta orang lain dengan mencuri, merampok, mengambil haknya
b.  Darah orang lain dengan memukuli, melukai bahkan membunuh
C.  Nama baik dan kehormatan orang lain dengan mencaci maki, ghibah, menggunjing dan yang lain
3. Zalim terhadap diri sediri, dengan bermaksiat dan melakukan keburukan. Zalim jenis ini hukumnya haram dan termasuk salah satu dosa besar.
Kalimat “Aku haramkan kezaliman atas Diriku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian”, merupakan larangan zalim terhadap sesama manusia. Kalimat “Maka janganlah saling menzalimi” adalah taukid (penegasan) untuk kalimat “Dan Aku menjadikannya haram di antara kalian”. Zalim buruk secara syariat dan akal sehat. Orang yang berbuat kezaliman diancam dengan azab.
Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا

Sungguh menyesal orang yang memikul kezaliman” (Q.S Thaha: 111).

Penulus: Atma Beauty Muslimawati

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11616-seruan-dari-allah-untuk-semua-manusia.html

Bunga Bank BUKAN Riba, Karena Nasabah Ikhlas?

Bunga Bank itu BUKAN Riba, Asal Saling Ridho?

Cak Nun menganggap bunga bank bukan riba, tapi ucapan terima kasih. Karena bank telah memberi utangan. Videonya ada di: https://www.youtube.com/watch?v=o4wGCWhIehg&t=129s
Apakah jika saling ikhlas itu bukan riba? maaf, jk ini sya angkat, meskipun sudah basi..

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam setiap perseteruan antara kebenaran dan kebatilan, setan turut bermain di sana. Setan jin dan setan manusia, bekerja sama saling membisikkan kalimat indah, alibi-alibi, upaya pembenaran, untuk dijadikan senjata agar orang yang bersalah, bisa tetap bertahan dalam kesalahan dan penyimpangannya.

Dalam Al-Quran Allah menceritakan, bahwa setan membisikkan kalimat indah, namun menipu. Allah berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. al-An’am: 112)

Dalam al-Quran Allah bercerita, ketika Iblis diusir oleh Allah dari surga karena tidak mau sujud kepada Adam, Iblis dendam dan dia berjanji dengan bersumpah atas nama Allah, akan mengajak semua keturunan Adam ke Neraka. Namun anehnya, sewaktu Iblis menggoda Adam agar juga diusir dari Surga, Iblis datang tidak dengan wajah garang, tidak menampakkan wajah permusuhan. Tapi dia datang dengan wajah pertemanan, bahkan dia sebut dirinya pemberi nasehat bagi Adam dan Hawa.

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآَتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ  وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ

“Syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”. Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua.” (QS. al-A’raf: 20 – 21)

Seperti itu pula yang dilakukan oang munafik. Mereka membagun prinsip besar, yaitu prinsip serba boleh (permisif) di tengah kaum Muslimin. Mereka memberikan sejuta alasan agar sesuatu yang dilarang dalam al-Quran, menjadi boleh. Allah Ta’ala befirman,

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ

“Orang munafik lelaki dan orang munafik perempuan, satu sama lain saling memerintahkan yang munkar dan mencegah yang makruf.” (QS. At-Taubah: 67).

Bunga Bank Bukan Riba?

Semua utang yang menuntut adanya kelebihan adalah riba.
Ibnu Qudamah mengatakan,

كل قرض شرط به أن يزيده فهو حرام بغير خلاف

Semua utang yang mempersyaratkan harus dilebihkan (pelunasannya) hukumnya haram tanpa ada perbedaan (sepakat ulama). (al-Mughni, 4/390).

Keterangan lain disampaikan Ibnul Mundzir,

أجمعوا على أن المسلف إذا شرط على المستسلف زيادة أو هدية فاسلف على ذلك أن أخذ الزيادة على ذلك ربا

Ulama sepakat bahwa apabila orang yang memberi utang mempersyaratkan pihak yang dihutangi harus memberi tambahan atau hadiah, kemudian dilakukan transaksi utang piutang dengan kesepakatan itu, maka mengambil tambahan tadi statusnya riba. (al-Ijma’ , hlm. 90).

Semua pengajuan kredit di bank, ada ketentuan harus membayar bunga sekian persen perbulan. Dan sangat jelas ini riba, berdasar sepakat ulama. Bunga atas pinjaman ini adalah manfaat yang didapatkan pihak bank karena memberikan dana utangan ke nasabah.

Kita memang tidak bisa mendapatkan keterangan tentang bunga bank di buku-buku klasik. Karena ketika itu belum ada bank. Tapi bisa kita dapatkan dari pernyataan ulama kontemporer yang menjumpai bank. Salah satu kesepakatan mereka dinyatakan dalam kitab Ahkam al-Mal al-Haram,

Muktamar Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah di Kairo, tahun 1965, hingga muktamar tertinggi di Mekah, yang dihadiri lebih dari 300 ulama besar, menetapkan bahwa semua bunga bank adalah haram.” (Ahkam al-Mal al-Haram, hlm. 168).

Bukankah Bunga itu Saling Ridha?

Benar, riba itu saling ridha. Dan saling ridha dalam hal ini tidak mengubah hukum riba menjadi halal.

Sahabat Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu pernah berpesan kepada Abu Burdah ketika beliau berkunjung ke rumahnya Abdullah,

إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

“Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari 3603)

Judi juga saling ridha… sebelum bermain, para penjudi bersepakat, siapa yang kalah, harus menyerahkan hartanya. Tapi saling ridha tidak menyebabkan judi menjadi halal.

Sogok dan gratifikasi juga saling ridha… sebelum menang tender, vendor sudah mengikat perjanjian dengan oknum pejabat, akan ada bagi hasil setelah proyek selesai.

Tidak semua akad menjadi halal karena saling ridha. Yang dipersyaratkan saling ridha adalah jual beli atau perdagangan. Agar hasilnya halal, disyaratkan pelaku akad harus saling ridha.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta orang lain diantara kalian dengan cara batil, kecuali melalui perdagangan yang saling ridha diantara kalian. (QS. an-Nisa: 29)

Dalam ayat di atas, ada 2 syarat agar harta yang kita makan tidak terhitung sebagai harta yang bathil:

[1] Didapatkan dari hasil perdagangan atau jual beli
[2] Dilakukan saling ridha.

Demikian…

Semoga anda tidak menjadi pengikut preman…

Allahu a’lam.

Read more https://konsultasisyariah.com/30432-bunga-bank-bukan-riba-karena-nasabah-ikhlas.html

Riba, Pengertian Dan Macam-Macamnya

Oleh
Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy

Pengertian Riba
Dalam kamus Lisaanul ‘Arab, kata riba diambil dari kata رَبَا. Jika seseorang berkata رَبَا الشَّيْئُ يَرْبُوْ رَبْوًا وَرَبًا artinya sesuatu itu bertambah dan tumbuh. Jika orang menyatakan أَرْبَيـْتُهُ artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya.

Dalam al-Qur-an disebutkan:

وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“…Dan menyuburkan sedekah…” [Al-Ba-qarah/2: 276]

Dari kata itu diambillah istilah riba yang hukumnya haram, Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” [Ar-Ruum/30: 39]

Maka dikatakan, رَبَا الْمَالُ (Harta itu telah bertambah).

Adapun definisi riba menurut istilah fuqaha’ (ahli fiqih) ialah memberi tambahan pada hal-hal yang khusus.

Dalam kitab Mughnil Muhtaaj disebutkan bahwa riba adalah akad pertukaran barang tertentu dengan tidak diketahui (bahwa kedua barang yang ditukar) itu sama dalam pandangan syari’at, baik dilakukan saat akad ataupun dengan menangguhkan (mengakhirkan) dua barang yang ditukarkan atau salah satunya.

Riba hukumnya haram baik dalam al-Qur-an, as-Sunnah maupun ijma’.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah/2: 278]

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” [Al-Baqarah/2: 275]

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…” [Ali ‘Imran/3: 130]

Dalam as-Sunnah banyak sekali didapatkan hadits-hadits yang mengharamkan riba. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulisnya dan dua saksinya,” dan beliau bersabda, “mereka semua sama.”

Dalam hadits yang sudah disepakati keshahihannya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ! وَذَكَرَ مِنْهُنَّ: آكِلَ الرِّبَا.

“Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran,” dan beliau menyebutkan di antaranya, “Memakan riba.”

Dan telah datang ijma’ atas haramnya riba.

Imam ‘Ali bin Husain bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan sebutan as-Saghadi, menyebutkan dalam kitab an-Nutf bahwa riba menjadi tiga bentuk yaitu:

1. Riba dalam hal peminjaman.
2. Riba dalam hal hutang.
3. Riba dalam hal gadaian.

A. Riba Dalam Hal Pinjaman
Bentuk riba dalam hal pinjaman ada dua sifat (gambaran):

1. Seseorang meminjam uang 10 dirham tetapi harus mengembalikan 11 atau 12 dirham dan lain sebagainya.

2. Ia mengambil manfaat (keuntungan) pribadi dengan pinjaman tersebut, yaitu dengan cara si peminjam harus menjual barang miliknya kepadanya dengan harga yang lebih murah dari harga pasaran atau ia harus menyewakan barang itu kepadanya atau memberinya atau ia (si peminjam) harus bekerja untuk si pemberi pinjaman dengan pekerjaan yang membantu urusan-urusannya atau ia harus meminjamkan sesuatu kepadanya atau ia harus membeli sesuatu darinya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasaran atau ia harus menyewa suatu sewaan darinya, dan begitu seterusnya.

Sifat (gambaran) riba yang pertama misalnya, seseorang meminta kepada orang lain sejumlah uang dengan cara meminjam, ia meminta darinya sebanyak 10.000 riyal, lalu Ahmad (si pemberi pinjaman) berkata, “Engkau harus mengembalikan uang pinjaman itu kepada saya sebesar 11.000 riyal,” atau ia berkata, “Engkau harus memberi saya tambahan walaupun sedikit.” Maka inilah riba dan hukumnya haram. Dan masuk dalam kategori ini pinjaman dari bank-bank dengan memberikan tambahan sebagai imbalan pinjaman yang ia terima.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah agar kamu mendapat keberuntungan.” [Ali ‘Imran/3: 130]

Abu Bakar al-Jashshash rahimahullah berkata, “Riba yang dulu dikenal dan dilakukan oleh orang-orang Arab hanyalah berupa pinjaman dirham dan dinar sampai batas waktu tertentu dengan memberikan sejumlah tambahan dalam pinjaman sesuai dengan kesepakatan mereka. Ini adalah riba nasi-ah dan riba seperti ini sangat masyhur di kalangan orang Arab pada masa Jahiliyyah, dan ketika al-Qur-an turun, maka datanglah pengharaman ini.

Sifat (gambaran) yang kedua misalnya, si pemberi pinjaman mengambil manfaat (keuntungan) pribadi dari pinjaman yang ia berikan.

Misalnya, seseorang meminjam sejumlah uang dari orang lain, lalu Muhammad (si pemberi pinjaman) meminta kepada orang tersebut agar ia menjual sesuatu miliknya kepadanya atau memberinya sesuatu ataupun yang lainnya sebagai imbalan dari pinjaman yang ia berikan kepadanya. Maka ia telah mengambil keuntungan pribadi dari pinjamannya, dan ini termasuk riba.

B. Riba Dalam Hal Hutang
Bentuk riba kedua ialah riba dalam hal hutang, yaitu seseorang menjual barang kepada orang lain dengan cara diakhirkan pembayarannya, ketika waktu pembayaran tiba si pemberi hutang memintanya untuk segera melunasi hutangnya dengan berkata, “Berikan aku tambahan beberapa dirham,” maka perbuatan ini juga termasuk riba.

Misalnya seseorang meminjam uang dari orang lain sebesar 10.000 riyal dan akan dibayar pada waktu tertentu (sesuai dengan kesepakatan). Ketika waktu pembayaran hutang telah tiba, ia tidak mampu untuk membayarnya, lalu ia (si pemberi pinjaman) berkata kepadanya, “Engkau bayar hakku sekarang atau engkau harus memberiku tambahan atas 10.000 riyal yang engkau pinjam dan waktu pembayarannya akan diakhirkan lagi.” Maka ini juga termasuk riba.

C. Riba Dalam Pegadaian
Bentuk riba yang ketiga ialah riba dalam pegadaian. Riba dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dari para ulama رحمهم الله.

[Disalin dari Kitab Al-Buyuu’: Al-Jaa-izu minhaa wa Mamnuu’ Penulis Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy, Judul dalam Bahasa Indonesia Jual Beli Yang Dibolehkan Dan Yang Dilarang, Penerjemah Ruslan Nurhadi, Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1427 H – Februari 2006 M]

Read more https://almanhaj.or.id/4044-riba-pengertian-dan-macam-macamnya.html

Faedah Surat An-Nuur #33: Karunia Allah dengan Amalan yang Dibalas Berlipat

Karunia Allah begitu besar. Allah memberi petunjuk dalam beramal dan melipatgandakan pahalanya. Silakan dalam surah An-Nuur ayat 38 berikut ini.

Tafsir Surah An-Nuur

Ayat 38

لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nuur: 38)

Faedah ayat

  1. Balasan itu tergantung dari amal perbuatan.
  2. Allah memiliki ilmu karena sesuatu dibalas dengan adil tentu setelah memiliki ilmu.
  3. Kalau Allah mampu membalas amalan hamba, berarti Allah memiliki qudrah (kemampuan). Yang menunjukkan kesempurnaan qudrah Allah, pastilah Allah membalas setiap orang yang beramal.
  4. Allah memiliki masyiah (kehendak), karena disebutkan dalam ayat “Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya”.
  5. Allah memiliki rezeki yang banyak karena disebutkan dalam ayat “Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas”.
  6. Tanpa batas di sini bukan berarti rezeki diberi tanpa ada takdir. Maksud ayat adalah Allah memberikan balasan pada manusia bukan ada batasan, tetapi dibalas dengan balasan yang banyak. Tetap kesemua itu dengan takdir Allah.

Beberapa faktor pahala suatu amalan dapat berlipat

Pertama: Yang dilakukan adalah amalan yang lebih utama dari lainnya.

Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili menyatakan bahwa setelah yang wajib itu ada amalan sunnah. Yang paling afdal adalah talabul ilmi yang dihukumi sunnah, jihad, dan dzikir. Ini adalah tiga amalan yang utama setelah yang wajib.

Kedua: Amalan yang dilakukan adalah amalan wajib, lebih besar pahalanya dari yang sunnah.

Dalam Majmu’ah Al-Fatawa (17:133), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Wajib mendekatkan diri dengan amalan wajib sebelum amalan sunnah. Mendekatkan diri dengan amalan sunnah barulah ada setelah amalan wajib dilakukan.”

Ketiga: Amalan yang lebih ikhlas, pahalanya lebih besar.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖوَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚوَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗوَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271)

Keempat: Amalan yang makin mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pahalanya lebih besar.

Dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari, no. 20 dan Muslim, no. 1718)

Kelima: Amalan yang kontinu lebih afdal dari amalan yang dilakukan sesekali saja.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui ‘Aisyah dan di sisinya ada seorang wanita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Si fulanah yang terkenal luar biasa shalatnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,“Jangan seperti itu. Hendaklah engkau beramal sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Allah itu tidak bosan untuk menerima amalanmu hingga engkau sendiri yang bosan.

. وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara kontinu.” (HR. Bukhari, no. 43 dan Muslim, no. 485).

Keenam: Amalan yang sederhana lebih afdal daripada amalan yang menyusahkan diri.

Kata Salman pada Abu Darda’,

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ

Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.“ Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari, no. 1968).

Ibadah paling afdal dilihat dari waktu dan tugas

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa para ulama berkata,

إِنَّ أَفْضَلَ العِبَادَةِ العَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الوَقْتِ وَوَظِيْفَتِهِ

“Ibadah yang paling afdal adalah amalan yang dilakukan sesuai ridha Allah dalam setiap waktu dengan memandang pada waktu dan tugas masing-masing.” (Madarij As-Salikin, Ibnul Qayyim, 1:89, Asy-Syamilah – Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Arabi)

Ibnul Qayyim melanjutkan,

  • “Ibadah yang paling baik pada waktu jihad adalah berjihad, walaupun nantinya sampai meninggalkan wirid rutin seperti shalat malam, puasa di siang hari, meninggalkan shalat sempurna untuk shalat wajib (shalatnya diqashar) tidak seperti dalam keadaan aman.
  • Apabila tamu hadir di rumah, paling afdal adalah sibuk melayani tamu daripada rutinitas yang sunnah, begitu pula dalam menunaikan hak istri dan keluarga.
  • Apabila datang waktu sahur, paling afdal adalah sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, dan beristighfar.
  • Apabila datang seseorang meminta dibimbing atau saat itu adalah waktu mengajarkan ilmu pada orang yang tidak paham, paling afdal adalah membimbing dan mengajarkan ilmu.
  • Apabila azan berkumandang, paling afdal adalah sibuk menjawab azan daripada melakukan rutinitas ibadah lainnya.
  • Apabila waktu shalat lima waktu tiba, maka lebih afdal adalah serius dan melakukannya dalam bentuk yang sempurna, bersegera melakukannya pada awal waktu, lalu keluar ke Masjid Jami’ walaupun itu jauh.
  • Apabila ada orang yang membutuhkan bantuan lewat kedudukan, badan, atau harta, maka kita sibuk dengan menolongnya, mengangkat kesulitannya, hal itu didahulukan dari amalan rutin dan senangnya kita bersendirian.
  • Apabila waktu membaca Al-Qur’an, yang afdal adalah konsentrasi untuk merenungkan dan memahami seakan-akan Allah sedang berbicara denganmu secara langsung, sehingga hati benar-benar menyatu saat itu. Adapun bertekad untuk melaksanakan setiap perintah yang ada dalam Al-Qur’an lebih lagi dari sekadar konsentrasi merenungkannya.
  • Apabila seseorang wukuf di Arafah, yang afdal adalah bersungguh-sungguh merendahkan diri, berdoa, berdzikir, tidak berpuasa supaya lebih semangat dalam berdoa dan berdzikir saat itu.
  • Apabila seseorang masuk dalam sepuluh hari pertama Dzulhijjah, afdalnya ia memperbanyak beribadah, lebih-lebih lagi memperbanyak takbir, tahlil, tahmid, dan semua itu lebih afdal daripada jihad kecuali jihad yang fardhu ‘ain.
  • Apabila seseorang masuk pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, afdalnya adalah beriktikaf di masjid, menyendiri, mengurangi bergaul dan sibuk dengan manusia, bahkan iktikaf itu lebih afdal dari menyampaikan ilmu dan membaca Al-Qur’an menurut kebanyakan ulama.
  • Apabila saudara kita sakit atau meninggal dunia, afdalnya adalah menjenguk yang sakit, menghadiri prosesi dan mengurus jenazahnya, ini lebih didahulukan daripada menyendiri (iktikaf) atau kumpul-kumpul dengan yang lain.
  • Apabila seseorang mendapati musibah atau kita disakiti lainnya, afdalnya adalah bersabar ketika bergaul dengan yang lain, tanpa membalas dengan menyerang. Karena seorang mukmin yang bergaul dengan manusia yang bersabar atas gangguan mereka lebih afdal daripada seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak pula diganggu lainnya.
  • Seseorang bergaul dengan yang lain dalam kebaikan, itu lebih afdal daripada ia hidup mengasingkan diri sehingga tidak bisa mengajarkan kebaikan pada yang lain. Seseorang yang hidup mengasingkan diri dari kejelekan, itu lebih afdal daripada ia bergaul lantas terpengaruh kejelekan. Jika ia tahu dengan ia bisa meminimalkan kejelekan, itu lebih baik daripada ia mengasingkan diri.

Maka afdalnya pada tiap waktu dan keadaan, seseorang mendahulukan sesuatu yang Allah ridhai pada waktu dan keadaan tersebut, dan sibuk dengan kewajiban di dalamnya sesuai dengan waktu, tugas, dan konsekuensinya.”

Semoga bermanfaat.

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21247-faedah-surat-an-nuur-33-karunia-allah-dengan-amalan-yang-dibalas-berlipat.html

Sifat Jahiliyah yang Masih Ada di Tengah-Tengah Kita

Kali ini kita akan membahas beberapa sifat jahiliyah, ada empat sifat yang berasal dari ayat Al-Qur’an dan ada sifat yang berasal dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Empat Sifat Jahiliyah dalam Al-Qur’an

Kata jahiliyah dalam Al-Qur’an dapat ditemukan pada empat tempat.

Pertama, pada firman Allah tentang zhan jahiliyah,

وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ

Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?.” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” (QS. Ali Imran: 154)

Ayat ini bercerita tentang perang Uhud (yang terjadi pada Syawal tahun ketiga Hijriyah), ketika pasukan kaum muslimin mulai terdesak karena harus menerima tekanan dari depan dan belakang. Meskipun demikian, Allah berikan ketenangan bagi para sahabat, sampai mereka dibuat ngantuk. Namun berbeda dengan orang munafik yang terlibat dalam pertempuran itu. Mereka sangat cemas, sangat takut, hingga muncul anggapan tidak benar tentang Allah, Rasul-Nya, dan agama islam.

Muncul anggapan di benak mereka, jangan-jangan Allah dusta, jangan-jangan yang dijanjikan Muhammad itu palsu? Mana, katanya ada pertolongan Alllah? Bisa jadi agama islam akan habis, dan seterusnya. Lihat bahasan dalam Tafsir As-Sa’di dan Tafsir Al-Muyassar.

Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud, ngantuk (dibuat tertidur) ketika perang itu dari Allah, sedangkan ngantuk ketika shalat itu dari setan.

Kedua, pada firman Allah tentang hukum jahiliyah,

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah mereka mau mencari hukum Jahiliyah. Siapa yang lebih baik hukumya bagi orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)

Allah mengkritik manusia yang meninggalkan aturan Allah yang penuh kebaikan dan yang menjauhkan dari berbagai keburukan. Sedangkan selain hukum Allah yang dibuat manusia tidak seperti itu. Sebagaimana orang jahiliyah menjadikan orang-orang sesat dan bodoh untuk diambil pendapatnya. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan “man hakama bi ghairi hukmillah, fahakamal jahiliyyah (siapa yang berhukum dengan selain hukum Allah, itulah berhukum dengan hukum jahiliyah).” Demikian disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir.

Ketiga, pada firman Allah tentang tabarruj ala jahiliyah,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ

Hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan tegakkanlah shalat.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Disebutkan dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 433), wanita yang disebut berdandan ala jahiliyah yang pertama adalah berdandan yang dilakukan oleh wanita dengan berpenampilan cantik di hadapan para pria dan ini terjadi sebelum Islam. Sedangkan dalam Islam, yang boleh ditampakkan disebutkan dalam ayat,

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An-Nuur: 31).

Maqatil bin Hayan mengatakan bahwa yang dimaksud berhias diri adalah seseorang memakai khimar (kerudung) di kepalanya namun tidak menutupinya dengan sempurna. Dari sini terlihatlah kalung, anting dan lehernya. Inilah yang disebut tabarruj (berhias diri) ala jahiliyyah.

Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaklah wanita berdiam di rumahnya dan tidak keluar kecuali jika ada kebutuhan. Dan di antara kebutuhan adalah mengerjakan shalat.

Silakan kaji dari kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 6:183 (terbitan Dar Ibnul Jauzi).

Keempat, firman Allah tentang kesombongan jahiliyah (fanatisme golongan),

إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya.” (QS. Al-Fath: 26)

Surah Al-Fath, berbicara tentang perjanjian Hudaibiyah, yang itu sebenarnya merupakan awal kemenangan kaum muslimin. Meskipun ada banyak hal ganjil yang dilakukan orang-orang musyrik ketika perjanjian Hudaibiyah. Seperti, tidak mau menuliskan bismillahir rahmanir rahiimdi klausul perjanjian. Mereka juga menolak kalimat, “Muhammad Rasulullah”. Padahal itu semuanya kebenaran. Mereka tolak itu, karena fanatik jahiliyah, yang membuat mereka benci kebenaran.

Karena itu, makna Hamiyyah Al-Jahiliyah, fanatisme jahiliyah, menyebabkan mereka bersikap sombong dan menolak setiap kebenaran yang bertentangan dengan prinsip suku dan golongannya.

Berarti empat perkara jahiliyah yang disebutkan di atas adalah:

  1. prasangka jahiliyah, itulah suudzan kepada Allah yang merupakan lambang kerusakan hati dan akidah.
  2. hukum jahiliyah, itulah setiap aturan yang melanggar syariat.
  3. tabarruj jahiliyah, pamer keindahan tubuh di tengah masyarakat. Yang merupakan lambang kerusakan wanita.
  4. fanatisme jahiliyah, yaitu cinta dan benci karena golongan, memberikan pembelaan karena kepentingan golongan, sehingga rela menolak kebenaran demi golongan.

Orang Jahiliyah Tidak Punya Pemimpin

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ حُجَّةَ لَهُ ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan pada penguasa, maka ia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dalam ia tidak punya argumen apa-apa untuk membelanya. Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada bai’at, maka ia mati seperti keadaan orang jahiliyah.”(HR. Muslim no. 1851).

Mati jahiliyah yang dimaksud adalah mati dalam keadaan sesat dan salah jalan sebagaimana keadaan orang-orang jahiliyah karena dahulu mereka tidak mau taat pada pemimpin bahkan mereka menilai ‘aib jika mesti taat seperti itu. Namun bukanlah yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati kafir sebagaimana sangkaan sebagian golongan yang keliru dan salah paham.

Orang Jahiliyah Punya Sifat Bangga pada Leluhur, Mencela Keturunan, Mengaitkan Turunnya Hujan Bukan pada Allah, dan Meratapi Mayit

Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal.” (HR. Muslim, no. 934)

Siapa yang Disebut Orang Jahiliyah?

Coba perhatikan pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berikut.

Seseorang itu tumbuh dari agama bapak atau agama tuannya atau agama masyarakat yang ada di negerinya. Sebagaimana seorang bocah itu tumbuh dari agama kedua orang tuanya atau orang yang merawatnya atau dari masyarakat sekitarnya. Ketika anak tersebut baligh (dewasa), maka barulah ia dikenai kewajiban untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya. Janganlah seperti yang mengatakan,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah: 170).

Setiap orang yang tidak mengikuti dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, enggan mentaati Allah dan Rasul-Nya lalu berpaling pada adat dan tradisi nenek moyang dan masyarakat yang ada. Itulah yang disebut orang Jahiliyah dan layak mendapat celaan.

Begitu pula orang yang sudah jelas baginya kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya lantas ia berpaling pada adat istiadat, itulah orang-orang yang berhak mendapatkan celaan dan hukuman. (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:225).

Semoga kita dibebaskan dan dapat merdeka dari sifat kejahiliyahan.


Disusun di Darush Sholihin, 23 Dzulhijjah 1440 H (24 Agustus 2019)

Oleh yang selalu mengharapkan ampunan Allah: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21257-sifat-jahiliyah-yang-masih-ada-di-tengah-tengah-kita.html

Menyibukkan Diri dengan Berita

Diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِنِّي سَمِعْتُهُ يَقُولُ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنَ الصَّلاَةِ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، قَالَ: وَكَانَ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةِ المَالِ، وَمَنْعٍ وَهَاتِ، وَعُقُوقِ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدِ البَنَاتِ

“Sesungguhnya aku pernah mendengar beliau selalu mengucapkan doa selesai shalat, yaitu;

LAA ILAAHA ILLALLAAH, WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR 

(Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia maha berkuasa atas segala sesuatu)

Beliau mengucapkannya hingga tiga kali. Dan beliau juga melarang “qiila wa qaala”; banyak bertanya [1]; menghambur-hamburkan harta [2]; tidak mau melaksanakan kewajiban; meminta sesuatu yang bukan haknya; mendurhakai ibu; dan mengubur hidup-hidup anak perempuan.” (HR. Bukhari no. 6473)

Terdapat beberapa penjelasan tentang makna “qiila wa qaala”, yaitu [3]:

Pertama, mengutip atau menyebar semua berita yang dia dengar, dia mengatakan, “Katanya demikian sih” atau “Si fulan mengatakan ini” atau “Denger-denger kabarnya begitu”. Padahal dia tidak mengetahui apakah itu informasi (berita) yang valid ataukah tidak. Dan dia sendiri tidak bisa (atau belum bisa) memastikan apakah berita itu berita yang valid ataukah tidak. Orang semacam ini disebut sebagai pendusta oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5, Abu Dawud no. 4992 dan An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 11845)

Model pertama ini misalnya sibuk dengan berita gosip, desas-desus, atau hoax yang tidak benar. Apalagi jika berita gosip itu berkaitan dengan kehormatan ustadz, ulama, atau pemimpin (pemerintah) kaum muslimin. Tentu lebih parah lagi bahaya yang bisa ditimbulkannya.

Kedua, seseorang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya dengan membahas dan mengutip berita. Sebagaimana yang kita jumpai saat ini, yaitu orang-orang yang mengisi majelis mereka dengan sibuk mencermati, mengutip, dan mengomentari berita yang memang benar (valid). Sibuk harus merasa tahu semua berita yang viral hari ini, entah di media online atau media sosial, padahal berita benar itu tidak ada manfaat dan kepentingannya untuk dirinya. 

Di antara model pengertian kedua ini adalah sibuk mencari berita tentang kehidupan artis, entah si artis menikah (lagi), atau bercerai, atau belanja, atau sedang wisata ke suatu tempat, atau sedang ke salon, dan seterusnya, yang tidak ada manfaatnya kita mengetahui seluk beluk dan detil kehidupan mereka.

Jika orang awam sibuk membicarakan artis, bisa jadi kalangan penuntut ilmu (thalibul ‘ilmi) sibuk membicarakan ustadznya. Entah sang ustadz yang menikah (lagi), entah sang ustadz beli barang baru, dan kabar-kabar pribadi lainnya yang tidak ada manfaatnya kita menghabiskan waktu untuk membahas dan membicarakan kehidupan pribadi beliau dan keluarganya. Oleh karena itu, kita tidak perlu merasa selalu ingin tahu tentang kehidupan pribadi seseorang jika tidak ada kaitannya dengan suatu kewajiban yang harus kita kerjakan sebagai sesama kaum muslimin. 

[Selesai]

M Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50908-menyibukkan-diri-dengan-berita.html

Jumlah Jamaah Haji Tahun Ini Capai 2,4 Juta Jiwa

MAKKAH – Badan Pusat Statistik Arab Saudi merilis data dan angka terkait pelaksanaan haji pada tahun ini. Secara keseluruhan, jumlahnya mencapai 2.489.406 jiwa.

“Perbandingan secara global jamaah haji tahun 1440 H  (2019) dan 1439 H  (2018)  dari sisi jumlah naik sebesar 117.731 jemaah dibanding jumlah jemaah tahun 1439 H (2.371.675 jamaah) dengan persentase kenaikan 4,96 persen,” tulis laporan Badan Pusat Statistik Arab Saudi yang dirilis belum lama ini.

Adapun rinciannya yaitu, jamaah haji dalam negeri mencapai 634.379 jiwa. Sementara, jamaah haji dari luar negeri mencapai 1.855.027 jiwa.

Untuk  jamaah dalam negeri Arab Saudi, yang merupakan orang asli Arab Saudi berjumlah  sedangkan 211.003 bukan orang asli Saudi  423.376.  Berdasarkan jenis kelaminnya yaitu, laki-laki 1.385.234 sedangkan jamaah wanita 1.104.172.

Dari asal benuanya, laporan itu menulis jamaah haji dari negara Arab Majlis Ta’awun 31.884 / 2 persen sedangkan jamaah haji dari negara Arab Non-Majlis Ta’awun: 414.750 /22 persen. Selanjutnya, jamaah haji dari Afrika di luar Arab 187.814 / 10 persen lalu jamaah haji dari Amerika Utara-Selatan Australia 26.892 / 1 persen. Berikutnya, jamaah haji dari Asia 1.126.633 / 61 persen dan jamaah haji dari Eropa: 67.054 / 4 persen

Berdasarkan kedatanganya, jamaah haji yang menggunakan pesawat sebanyak  1.741.568 dan yang menggunakan kapal laut  17.250 Jamaah. Sedangkan yang melalui jalur darat  96.209 jamaah. Secara global, jumlah petugas yang dikerahkan selama musim haji, dari petugas keamanan, administrasi pemerintahan dan urusan khusus, berjumlah 350.830 petugas.

IHRAM