Amanah dalam Pandangan Islam

Secara bahasa, amanah berasal dari kata bahasa Arab : أَمِنَ يَأْمَنُ أَمْناً  yang berarti aman/tidak takut.[1] Dengan kata lain, aman adalah lawan dari kata takut. Dari sinilah diambil kata amanah yang merupakan lawan dari kata khianat. Dinamakan aman karena orang akan merasa aman menitipkan sesuatu kepada orang yang amanah.

Secara istilah, ada sebagian orang yang mengartikan kata amanah secara sempit yaitu menjaga barang titipan dan mengembalikannya dalam bentuk semula. Padahal sebenarnya hakikat amanah itu jauh lebih luas. Amanah menurut terminologi Islam adalah setiap yang dibebankan kepada manusia dari Allah Ta’ala seperti kewajiban-kewajiban agama, atau dari manusia seperti titipan harta.[2]

Luasnya ruang lingkup amanah disebutkan oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya Islamuna“Amanah adalah segala sesuatu yang wajib dipelihara dan ditunaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Amanah adalah kata yang pengertiannya luas mencakup segala hubungan. Konsisten dalam keimanan serta merawayatnya dengan faktor-faktor yang menyebabkan berkembang dan kekalnya adalah amanah, memurnikan ibadah kepada Allah adalah amanah, berinteraksi secara baik dengan perorangan dan kelompok adalah amanah; dan memberikan setiap hak kepada pemiliknya adalah amanah.” [3]

Taujih Rabbani tentang Amanah

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58).

Ayat ini diturunkan pada saat Fathu Makkah (penaklukan Makkah) mengenai ‘Utsman bin Thalhah yang mengunci pintu Ka’bah, dan dia enggan memberikan kuncinya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata, “Kalau saya mengetahui dia seorang Rasul, niscaya saya tidak akan mencegahnya untuk masuk kedalam Ka’bah”, maka ‘Ali radhiallahu ‘anhu mengambil kunci Ka’bah dengan paksa, kemudian Rasulullah masuk kedalam Ka’bah dan sholat dua raka’at kemudian memerintahkan para sahabat untuk menghancurkan dan menyingkirkan patung-patung.

Ketika beliau keluar dari Ka’bah, ‘Abbas meminta kepada Rasulullah untuk diberikan kunci Ka’bah supaya beliau menggabungkan antara tugas pemberi minum kepada jama’ah haji dan menjadi penjaga Ka’bah, lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat ini. Rasulullah kemudian memerintahkan kepada ‘Ali radhiallahu ‘anhu untuk mengembalikan kunci Ka’bah kepada ‘Utsman dan meminta maaf—karena telah mengambil dengan paksa, Utsman Bin Thalhah berkata, “Kamu mengambil dengan paksa, menyakiti, kemudian sekarang datang meminta belas kasih”, lalu ‘Ali radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah telah menurunkan ayat tentangmu.”, kemudian ‘Ali membacakan (إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا ), maka terbukalah hati ‘Utsman untuk menerima Islam.

Pengertian ‘amanat’ pada QS. An-Nisa ayat 58 ini, ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Taujih rabbani lainnya,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab: 72).

Syaikh Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah memaknai ‘amanah’ dalam ayat di atas yaitu beban-beban agama yang diiringi dengan pahala dan hukuman. Hal itu ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya, sedangkan manusia menyatakan siap menerimanya. Maka manusia mana saja yang tidak menjaga amanah, dia amat zalim dan amat bodoh, yaitu banyak kezhaliman dan kebodohan.[4]

Taujih Nabawi tentang Amanah

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَثَ كَذِبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanat ia berkhianat.” (Muttafaq Alaihi).

Di riwayat lain ditambahkan,

وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ

“Walaupun ia berpuasa dan shalat serta mengklaim dirinya muslim.”

Keutamaan Amanah

Pertama, jalan menuju kesuksesan.

Allah Ta’ala menyebutkan salah satu golongan yang akan memperoleh kesuksesan/keberuntungan,

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat   dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8)

Kedua, sifat hamba-hamba mulia.

Amanah merupakan sifat para Nabi dan rasul, di dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala menceritakan hal ini. Nabi Nuh ‘alaihis salam berkata,

أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ

“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu.” (QS. Asy-Syu’ara:107)

Nabi Hud ‘alaihis salam berkata,

يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ

“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. Al-A‘raf: 67-68)

Ketiga, tanda keimanan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

“Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memmegang janji.” (HR. Ahmad)

” أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خِصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خِصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعُهَا: إِذَا ائْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ”/ بخاري مسلم

“Empat hal, barang siapa dalam dirinya ada empat hal tersebut, dia munafik murni, dan barang siapa yang ada sebagian dari sifat itu, dia memiliki sebagian sifat nifak hingga dia meninggalkannya. Yaitu: Jika dipercaya khiyanat, jika berbicara bohong, jika berjanji ingkar dan jika bermusuhan (berseteru) dia jahat“ (Bukhari Muslim)

Keempat, kekayaan hakiki yang menandingi dunia dan seisinya.

أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا:حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيْثٍ، وَحُسْنُ خُلُقٍ، وَعِفَّةُ طُعْمَةٍ

“Empat hal jika dia ada dalam dirimu, engkau tidak merugi walupun kehilangan dunia: Menjaga amanah, berkata dengan jujur, berakhlak yang mulia dan menjaga makanan (dari yang haram).” (HR. Ahmad)

Kelima, salah satu kompentensi terpenting bagi seorang ‘amil (pekerja).

Hal ini seperti dikisahkan di dalam Al-Qur’an ketika salah seorang putri Nabi Syu’aib ‘alaihis salam merekomendasikan Nabi Musa ‘alaihis salam agar diangkat menjadi pekerja,

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Wahai ayahku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’“. (QS. 28:26)

Ruang Lingkup Amanah

Pertama, amanah fitrah (iman kepada Allah).

Iman kepada Allah Ta’ala adalah amanah fitrah yang diberikan Allah Ta’ala kepada manusia sejak lahir. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’,” (QS. 7:172)

Dengan ayat ini, Allah Ta’ala bermaksud untuk menjelaskan kepada manusia, bahwa hakikat kejadian manusia itu didasari atas kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa. Sejak manusia dilahirkan dari sulbi orang tua mereka, ia sudah menyaksikan tanda-tanda keesaan Allah Ta’ala pada kejadian mereka sendiri.[5]

Pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum, 30: 30).

Sebagian ulama mengatakan bahwa arti fitrahadalah “Islam”. Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain. Pendapat tersebut dianut oleh kebanyakan ahli tafsir.[6] Dengan kata lain, fitrah disini maksudnya ialah tauhid atau iman kepada Allah Ta’ala.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah; orangtuanyalah yang menjadikan ia yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari)

Kedua, amanah ibadah.
Ibadah hanya kepada Allah Ta’ala merupakan bagian dari amanah yang harus ditunaikan, karena ibadah kepada-Nya merupakan salah satu konsekwensi iman dan merupakan tujuan utama manusia diciptakan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta`ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyaat : 56)

Dan yang dimaksud dengan ibadah adalah untuk mentauhidkan Allah, malaksanakan ajaran-ajaran agama-Nya, dan tidak melakukan penyembahahan selain kepada-Nya.

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

الأمانة لازمة في كل شيء، حتى الوضوء والغسلة والصلاة والزكاة والصوم وسائر أنواع العبادات.

“Menunaikan amanah wajib pada semua hal, pada wudhu’, mandi, sholat, zakat, dan semua jenis ibadah”.

Ketiga, amanah dakwah dan jihad.
Tugas dakwah dan jihad adalah amanah yang harus dipikul oleh orang muslim. Setiap muslim harus menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

“Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. “ (HR. Muslim)

Keempat, amanah dalam harta.
Harta adalah amanah dari Allah Ta’ala yang harus dikelola dan dipergunakan untuk kebaikan. Allah Ta’ala telah memberikan petunjuk kepada kita untuk menunaikan amanah dalam harta, termasuk pula yang berkaitan dengan titipan, pinjaman, wasiat dan lain sebagainya.

Di antara bentuk amanah dalam harta yang harus ditunaikan seseorang adalah memberikan nafkah terhadap orang yang menjadi tanggungannya seperti isteri, anak, orang tua, dan pembantu, baik dalam bentuk makanan, pakaian, biaya pendidikan dan lain sebagainya.

Memberikan nafkah kepada keluarga merupakan jenis nafkah yang paling utama, karena memberikan nafkah kepada keluarga termasuk wajib, sedangkan yang lainnya termasuk sunnah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَـارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَـى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا، اَلَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allahsubhanahu wa ta’ala, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.”(HR. Muslim)

Begitu juga harta yang ada di dalam kendali seseorang dalam sebuah yayasan, organisasi atau negara yang bukan milik pribadinya, melainkan milik yayasan, organisasi atau negara tersebut, maka harus memeliharanya atau memberikannya kepada yang berhak. Berkaitan dengan ini Ibnu Taimiyah berkata di dalam bukunya As-Siyasah Asy-Syar`iyyah“…Bagi setiap penguasa dan wakilnya dalam pemberian hendaknya memberikan setiap hak kepada pemiliknya, dan para pengurus harta itu tidak boleh membagikannya menurut keinginannya sendiri seperti pemilik harta membagikan hartanya, karena mereka adalah orang-orang yang diberikan amanah dan para wakil bukan pemilik.”[7]

Sebagai amanah, maka orang yang menerima harta orang lain akan berurusan dengan Allah sebelum ia berurusan dengan orang yang memberikan amanah kepadanya. Jika dalam menerima amanah tersebut ia mempunyai niat untuk mengembalikannya, maka Allah pun akan membantunya untuk dapat mengembalikannya. Tapi jika ia mempunyai niat untuk tidak mengembalikannya, maka Allah pun akan membinasakannya.

Kelima, amanah menjaga keselamatan orang lain dan menjaga kehormatannya.

Setiap kita memiliki amanah untuk menahan diri dari menyakiti dan mengganggu fisik serta nyawa orang lain, seperti menghina, menyakiti, membunuh dan semacamnya. Serta menjaga kehormatannya, yakni tidak mencemarkan nama baik atau merusak kehormatannya. Di antara perbuatan yang dilarang berkenaan dengan amanah ini adalah berghibah, mengadu domba, menuduh orang lain berzina, dan semacamnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Orang muslim (sejati) adalah apabila orang-orang muslim disekitarnya merasa aman dari lisan dan tangannya.” (Bukhari dan Muslim)

Keenam, amanah dalam menjaga rahasia.

Apabila seseorang menyampaikan sesuatu yang penting dan rahasia kepada kita, itulah amanah yang harus dijaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا حَدَّثَ رَجُلٌ رَجُلاً بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهُوَ أَمَانَةٌ

“Apabila seseorang membicarakan sesuatu kepada orang lain (sambil) menoleh ke kiri dan ke kanan (karena yang dibicarakan itu rahasia) maka itulah amanah (yang harus dijaga). (HR. Abu Dawud)

Dalam sebuah keluarga, suami isteri harus menjaga rahasia keluarga, lebih-lebih lagi rahasia ranjang. Masing-masing tidak boleh membeberkan rahasia ranjang keluarganya kepada orang lain, kecuali kepada dokter, penasehat perkawinan atau hakim pengadilan untuk tujuan yang sesuai dengan bidang tugas mereka masing-masing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْأَمَانَةِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

“Sesungguhnya amanat yang paling besar di sisi Allah pada Hari Kiamat adalah seseorang yang bersetubuh dengan istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian dia (suami) menyebarkan rahasianya.” (HR. Muslim)

Begitu juga pembicaraan dalam sebuah pertemuan atau hasil keputusan yang dinyatakan rahasia, tidak boleh dibocorkan kepada orang lain yang tidak berhak mengetahuinya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda,

اَلْمَجْلِسُ بِالأَمَانَةِ إِلاَّ ثَلاَثَةٌ: مَجْلِسُ سَفْكِ دَمٍ حَرَامٍ، أَوْ فَرْجٍ حَرَامٍ، أَوْ اِقْتِطَاعِ مَالٍ بِغَيْرِ حَقٍّ“

Semua majlis itu merupakan amanah kecuali tiga hal, yaitu:  majelis penumpahan darah, majelis hubungan badan yang diharamkan ,dan majlis pelanggaran terhadap harta orang lain.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Ketujuh, amanah kekuasaan.

Kekuasaan adalah amanah. Tidak boleh dimanfaatkan untuk meraup keuntungan bagi pribadi atau keluarga kecuali sebatas yang menjadi haknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: وَمَا لَكَ؟، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى

“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata: Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata, ”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ”Ada apa gerangan?” Dia menjawab, “Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.).” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” (HR. Muslim).

Di antara bentuk amanah dalam kekuasaan adalah memberikan suatu tugas atau jabatan kepada orang yang paling memiliki kapabilitas dalam tugas dan jabatan tersebut. Memberikan tugas atau jabatan kepada orang yang tidak kapabel atau kepada seseorang yang dianggap kapabel padahal ada orang yang lebih kapabel lagi, disebabkan karena ada hubungan kerabat atau persahabatan, satu daerah, suku, golongan, partai, atau karena suap dan semacamnya, berarti ia telah berbuat khianat dan akan menyebabkan kehancuran. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ اِسْتَعْمَلَ رَجُلاً عَلَى عِصَابَةٍ وَفِيْهِمْ مَنْ هُوَ أَرْضَى للهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَالْمُؤْمِنُوْنَ

Barangsiapa mengangkat pemimpin karena fanatisme golongan, padahal disana ada orang yang lebih diridloi oleh Allah, maka dia telah berhianat kepada Allah, Rasulnya dan orang-orang mu’min. (HR. Hakim)

وَإِعْطَاءُ الْحُكْمِ إِلَى أَهْلِهِ أَمَانَةٌ : قَالَ الأَعْرَبِيْ: مَتَى السَّاعَةُ ؟ قَالَ إِذَا ضُيِّعَ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةُ، قاَلَ كَيْفَ إِضَاعَتِهَا ؟ فَقاَلَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةُ”/ البخاري

Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat. Sahabat bertanya: Disia-siakan yang bagaimana?Rasulullah bersabda: Jika urusan telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari kiamat.” (HR. Bukhari)

Suatu ketika, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta jabatan,

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِيْ؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبَيَّ ثُمَّ قَالَ : يَا أَباَ ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وإَنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَومَ الْقِيَامَةِ حِزْيٌ وَنَداَمَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَى الَّذِى عَلَيْهِ فِيْهَا

“Wahai Rasulullah jadikan-lah saya sebagai pemimpin”, maka Rasulullah menepuk pundaknya sambil berkata, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah dan kepemimpinan itu adalah amanah, dia dihari kiamat nanti merupakan penyesalan dan kesedihan, kecuali yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan semua kewajiban didalamnya.” (HR. Muslim)

Berkenaan dengan amanah kepemimpinan ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌعِنْدَ إِسْتِهِ، يَرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غُدْرَتِهِ، أَلاَ وَلاَ غَادِرَ أَعْظَمُ مِنْ أَمِيْرٍ عَامَهُ

“Setiap pengkhianat akan mendapatkan bendera di belakang (bokong). Panjang dan pendek bendera tersebut sesuai dengan kadar penghianatannya. Ketahuilah bahwa penghiyanatan yang paling besar adalah penghianatan seorang pemimpin terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Kedelapan, amanah ilmu pengetahuan.
Seorang berilmu wajib menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat dan menerangi hati mereka. Orang yang menyembunyikan ilmunya berarti telah berbuat khianat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang bersikap demikian.

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka Allah akan mengekangnya dengan kekangan api neraka pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Di antara sikap amanah dalam ilmu adalah kembali kepada yang benar setelah yang benar itu jelas. Seperti jika ada orang yang mengemukakan suatu pendapat, kemudian dia melihat bahwa ada dalil yang lebih kuat berbeda dengan pendapatnya, maka ia hendaknya mencabut pendapatnya dan beralih kepada dalil yang lebih kuat. Hal ini disinggung oleh Rasulullah dalam haditsnya,

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِهَا وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ

“Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah lalu ia melihat ada yang lebih baik selainnya, maka hendaklah ia mengambil yang lebih baik dan membayar kaffarah terhadap sumpahnya.” (HR. Muslim)

Di antara amanah dalam ilmu adalah tidak malu menjawab dengan kalimat, “Saya tidak tahu”, jika memang ia tidak mengetahui tentang suatu masalah.

Kesembilan, amanah diri sendiri.

Diri kita sendiri adalah amanah yang harus dijaga, yakni dengan tidak melakukan sesuatu kecuali yang paling baik dan paling bermanfaat bagi diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Dari kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.”(HR. Tirmidzi, Malik dan Ahmad)

Semua nikmat yang Allah berikan kepada kita harus dijaga dan dimanfaatkan dengan baik, seperti umur, kesehatan, dan bahkan seluruh organ yang ada pada tubuh adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Ta’ala kelak. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36)

Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata,

فَالْفَرْجُ أَمَانَةٌ، وَالْأُذُنُ أَمَانَةٌ، وَالْعَيْنُ أَمَانَةٌ، وَاللِّسَانُ أَمَانَةٌ، وَالْبَطْنُ أَمَانَةٌ، وَالْيَدُ أَمَانَةٌ، وَالرِّجْلُ أَمَانَةٌ، وَلَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ

“Kemaluan itu adalah amanah, telinga adalah amanah, mata adalah amanah, lidah adalah amanah, ucapan adalah amanah, tangan adalah amanah, kaki adalah amanah, dan tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah.” [8]

Kesepuluh, amanah keluarga.

Suami istri dalam kehidupan berkeluarga memiliki amanah dan tanggung jawab yang diembannya masing-masing. Mereka akan ditanya tentang amanah dan tanggung jawabnya tersebut. Hal ini diantaranya disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” (HR. Bukhari No. 844)

Pembahasan rinci tentang amanah dan tanggung jawab dalam rumah tangga Islam, silahkan lihat disini.

Kesebelas, amanah kerja profesional.

Islam membimbing umatnya untuk selalu berbuat ihsan (melaksanakan yang terbaik) dan itqan (sempurna) dalam beramal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اْلِاحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu…” (HR. Muslim).

إِنَّ الله يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ

“Sesungguhnya Allah menyukai jika  kalian melakukan perbuatan  dilakukan   secara itqan (sempurna).” (HR. Al Baihaqi)

Hadits-hadits yang berkaitan pula dengan hal ini telah disebutkan sebelumnya, lihat hadits riwayat Muslim di point ketujuh tentang amanah kekuasaan, serta hadits riwayat Bukhari di point kesepuluh tentang amanah keluarga. Hadits-hadits tersebut menyebutkan tentang sikap amanah yang harus dijaga oleh seorang pekerja.

Peringatan Bagi Orang yang Berkhianat

Pertama, khianat merupakan sifat munafik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آية المنافق ثلاثة : إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَحْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga;  jika berbicara berbohong, jika berjanji ingkar dan jika dipercaya berhianat. “ (HR. Bukhari Muslim)

Kedua, pengkhianat akan dipermalukan di hari kiamat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَكُلَّ غَادَرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ: هَذِهِ غُدْرَةُ فُلاَنٍ

“Setiap penghianatan akan mendapat bendera di hari kiamat, disebutkan ini penghianatan si fulan dan ini penghianatan sifulan.” (HR. Bukhari Muslim)

Ketiga, pengkhianat tidak disukai allah.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. Al-Anfal: 58)

Keempat, khianat adalah sifat orang-orang Yahudi.

Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah:13)

Kelima, khianat adalah salah satu jalan menuju neraka.

Allah Ta’ala berfirman,

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’”. (QS. At-Tahrim:10)

Wallahul Musta’an….

RISALAH TARBAWIYAH

Bolehkah Meminta Kekuasaan?

Dalam syari’at kita, tidak boleh kekuasaan dan kepemimpinan diserahkan pada orang yang tamak kecuali jika dia menawarkan diri dan menganggap ada maslahat dan bisa mendatangkan kebaikan.

Abu Musa Al Asy’ari berkata, “Aku pernah masuk menemui Nabi bersama dengan dua orang dari keluarga pamanku. Maka salah seorang dari mereka berdua berkata, “Wahai Rasulullah, angkatlah kami untuk mengurusi sebagian yang telah Allah kuasakan kepadamu.” Dan yang satu lagi berkata seperti itu pula. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

Sesungguhnya kami, demi Allah tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada seorang pun yang memintanya, atau seorang pun yang sangat menginginkannya.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733).

Imam Nawawi membuat judul bab dalam Shahih Muslim, “Larangan meminta kekuasaan dan tamak kepadanya.” Dalam kitab Riyadhis Sholihin, Imam Nawawi menyampaikan judul Bab “Larangan menyerahkan kekuasaan, jabatan hakim dan kekuasaan lainnya pada orang yang memintanya atau sangat tamak terhadapnya kecuali jika ia menawarkan diri (untuk menciptakan maslahat).”

Dalam hadits sebelumnya yang pernah diposting di Muslim.Or.Id sudah disebutkan hal yang sama, yaitu Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا ، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 7146 dan Muslim no. 1652)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tidak sepantasnya pemimpin menyerahkan suatu kekuasaan kepada orang yang memintanya untuk memimpin suatu wilayah atau sebagian kecil wilayah, walaupun yang memintanya adalah orang yang punya kemampuan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Musa ini melarang menyerahkannya kepada orang yang tamak kekuasaan. Orang yang tamak pada kekuasaan boleh jadi tujuannya adalah untuk mencari kedudukan tinggi semata, bukan untuk mendatangkan maslahat bagi rakyatnya. Jika tujuannya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Jika ada yang menyampaikan bahwa bukankah Nabi Yusuf ‘alaihis salam dahulu juga meminta kekuasaan? Sebagaimana dapat dilihat dalam ayat,

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55).

Kata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, ada dua hal yang mesti dipahami untuk memahami hal di atas:

1- Kita bisa katakan bahwa syari’at umat sebelum kita bisa ditolak jika bertolak belakang dengan syari’at kita. Yang seharusnya jadi patokan adalah syari’at kita. Kaedah ushuliyah yang telah ma’ruf menyatakan,

شرع من قبلنا شرع لنا ما لم يرد شرعنا بخلافه

“Syari’at sebelum kita bisa menjadi syari’at kita ketika tidak bertolak belakang.” Dalam syari’at kita dijelaskan bahwa orang yang meminta kekuasaan tidak diberi.

2- Bisa juga kita katakan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis salam melihat bahwa sungguh amanah harta biasa diremehkan. Banyak yang diberi harta, namun tidak menjalankan amanah tersebut dengan baik. Maka Yusuf ingin menjalankan amanat tersebut dengan semestinya, supaya tidak timbul kerusakan terhadap harta milik negara.

Ada hadits yang menjadi pendukung bahwa apa yang dilakukan Yusuf masih dibolehkan.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي فَقَالَ أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا

Dari ‘Utsman bin Abi Al ‘Ash berkata bahwa ia berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jadikanlah aku imam bagi kaumku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau kuangkat jadi imam mereka. Namun perhatikanlah saat shalat orang-orang yang lemah. Dan pilihlah muazin dari orang yang tidak mencari upah dengan azannya.” (HR. An Nasai no. 673 dan Abu Daud no. 531. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Jadi jika seorang pemimpin melihat ada yang meminta kekuasaan dengan maksud ingin mendatangkan maslahat, maka tidaklah masalah. Wallahul muwaffiq. (Lihat bahasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 20-22)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/20600-bolehkah-meminta-kekuasaan.html

Andai Anda Jadi Presiden

Demo lagi demo lagi. Celaan demi celaan, tuntutan demi tuntutan, hingga bermuara pada rencana melengserkan sang presiden. Itulah secuil dari kerusakan yang sangat banyak akibat sistem demokrasi ala barat. Tidakkah kita berpikir sejenak “Andai kita jadi presiden”, mampukah kita menunaikan amanah berat jabatan presiden?

Inilah sebagian ciri-ciri kepala negara yang baik dalam syari’at Islam yang perlu Anda miliki seandainya Anda menjadi kepala negara:

Menjadi Imam Yang Adil

Jika anda berhasil menjadi imam yang adil, di antara balasannya Anda mendapat naungan Allah di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, namun tahukah Anda adil itu bagaimana?

Ulama telah menjelaskan tentang ciri pokok keadilan seorang imam adalah berhukum dengan Syariat Islam, maka barangsiapa yang tidak berhukum dengan syari’at Islam ia bukanlah imam yang adil. Iitulah tafsiran imam adil yang terbaik.

Artinya, jika Anda menjadi presiden, maka perlu memiliki ilmu syari’at Islam yang dalam dan keberanian untuk berhukum dengannya di tengah-tengah arus hukum yang batil.

Berat? Jika Anda merasa tidak mampu menjadi kepala negara yang baik, maka do’akanlah presiden Anda!

Doakan semoga Allah memberi petunjuk kepadanya, berilah nasihat dengan adab Islami dan  jangan cela beliau di hadapan publik.

Memilih penasihat, menteri, dan pejabat sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum contohkan.

Contohlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan dua sosok sahabatnya yang berilmu dan bertakwa, yaitu Ali dan Usamah radhiyallahu ‘anhuma dalam masalah berita dusta yang disebarkan oleh ahlul ifki (para penebar isu) tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Contohlah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,

وكان القراء أصحاب مشورة عمر كهولا كانوا أو شبانا، وكان وقّافا عند كتاب الله عز وجل.

Dahulu orang-orang yang diajak musyawarah Umar radhiyallahu ‘anhu adalah Al-Qurra`, baik tua maupun muda dan mereka benar-benar berpegang teguh dengan Al-Qur`an“.

Dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah bahwa makna Al-Qurra` adalah Ulama Ahli Al-Qur`an dan As-Sunnah serta Ahli Ibadah . Berat? Jika Anda merasa tidak mampu menjadi kepala negara yang baik, maka do’akanlah presiden Anda!

Mampu mengendalikan nafsu dengan memilih apa yang Allah ridhai

Presiden, beliau memiliki kekuasaan dan harta yang besar yang seandainya keduanya itu menjadi milik kita belum tentu kita mampu mengendalikan nafsu arogansi & kezaliman dengan  kekuasaan, harta, atau wanita. Pantaslah jika ia berhasil mengendalikan nafsu, ta’at kepada Rabbnya, dan adil maka akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya.

Berat? Jika Anda merasa tidak mampu menjadi kepala negara yang baik, maka do’akanlah presiden Anda!

Hindari menggibah (menggunjing) beliau lewat WA, facebook, twiter, dan yang lainnya. Bagaimana jika Anda merasa memiliki saran yang membangun untuknya? Tentu bukan disampaikan dengan cara demo sebagai jalan keluarnya, bukan pula statement yang memanaskan suasana, bahkan menjatuhkan martabatnya. Namun,

Ambillah secarik kertas dan tulislah

Dengan tulus ikhlas yang mendalam & mutaba’ah (evaluasi) yang baik dan goresan tinta kasih sayang diiringi pilihan kata yang diberkahi dari ucapan-ucapan Salafus Shalih, maka tuliskanlah untuknya (baca: untuk presiden Anda) perkataan yang lembut dan menyentuh hati.

Kepada yang kami hormati Bapak Presiden -semoga Allah membimbing dan menjaga Anda-,

Ingatlah,bahwa Imam yang adil adalah sosok pemimpin yang berada di antara Allah dan hamba-hamba-Nya (baca: rakyat). Ia ta’at kepada-Nya dan menuntun mereka/masyarakat, untuk ta’at pula kepada-Nya seperti dirinya,

ia suka mengingat-Nya dan menuntun mereka suka mengingat-Nya seperti dirinya.

Wahai Bapak Presiden -semoga Allah memasukkan Anda sekeluarga dalam surga-Nya-,

Sesungguhnya sosok imam yang adil adalah figur pemimpin yang siap meluruskan penyimpangan rakyatnya, melindungi mereka dari kezaliman, memperbaiki setiap kerusakan, menguatkan yang lemah serta menolong orang yang butuh bantuan.

Imam yang adil,wahai Bapak Presiden, adalah seperti sosok bapak yang sangat mencintai anak-anaknya, mencukupi mereka saat kecil, memberi bekal hidup saat mereka dewasa, mempersiapkan bekal akhirat untuk kehidupan sesudah kematian mereka.

Imam yang adil, wahai Bapak Presiden, adalah seperti sosok ibu yang sangat menyayangi buah hatinya, ia rela susah payah mengandungnya, susah payah melahirkannya, susah payah mendidiknya, ikut sedih saat anaknya sedih, bahkan ikut “demam” saat anaknya demam, terkadang disusuinya anak itu, walau  kelak harus tega menyapihnya.

Wahai Bapak Kepala Negara,

bahwa sesungguhnya Anda kelak akan memiliki tempat kedudukan yang bukan seperti kedudukan Anda sekarang,

yaitu sebuah tempat kedudukan yang memisahkan Anda dengan orang yang Anda cintai dan pendukung setia Anda di dunia, mereka akan mengantarkan Anda hanya sampai ke dalam lubang sempit, setelah itu mereka pun meninggalkan Anda sendirian, maka carilah bekal untuk hidup di suatu hari yang ketika itu seseorang akan lari dari tuntutan saudara, ibu, bapak, istri, dan anaknya.

Dan hati-hatilah terhadap sekelompok manusia yang tega menjerumuskan Anda menikmati kelezatan hidup di dunia yang sementara, namun dengan konsekuensi hilangnya kelezatan hidup Anda selamanya di Akherat.

Wahai Presiden, Pemimpin kaum muslimin,

Janganlah Anda tertipu dengan derajat Anda sekarang, namun perhatikanlah derajat Anda kelak ketika Anda harus mempertanggungjawabkan perbuatan Anda di hadapan Rabbul ‘Alamin.

Terakhir, satu permohonan kami, yaitu posisikanlah surat kami ini selayaknya surat yang datang dari seorang sahabat akrab yang paling mencintai Anda, ikhlas lillahi Ta’ala dengan harapan Anda sudi menerima risalah ini.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

***

[Digubah dan dipetik dari surat yang ditulis oleh Al-Hasan Al-Bashri kepada Kepala Negara Umar bin Abdul Aziz  rahimahumallah Ta’ala, diambil dari Al-`Aqdul Fariid, Ibnu Abdi Rabbihi Al-Andalusi 1/33 Maktabah Syamilah]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24049-andai-anda-jadi-presiden.html

Sabda Rasulullah dan Amanah Jabatan

Suatu waktu Abu Dzar al-Ghifari bertanya kepada Nabi. “Ya Rasulullah, mengapa kau tak memberi jabatan apa-apa kepadaku?” Sambil menepuk bahu sahabatnya yang zuhud itu, Nabi menjawab, “Hai Abu Dzar, kau seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah.”

Sebagai amanah, sabda Rasulullah, jabatan kelak pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang yang dapat menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya (HR Muslim).

Sabda Nabi itu tidak hanya untuk Abu Dzar, tetapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat (pemikul jabatan) yang tersembunyi dalam pesan di atas yaitu: amanah, mengambil dengan benar, dan menunaikan dengan baik.

Kriteria di atas tidaklah sederhana. Sebab, pejabat dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekadar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh Alquran haruslah orang yang kuat dan terpercaya. “Sesunguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya,” (QS al-Qashas (28) :26).

Kuat pada ayat di atas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah (dapat dipercaya) adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka, sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pejabat. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya.

Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer, padahal ilmu keislaman mereka berdua belum mamadai. Namun, ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah.

Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan hadisnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.

Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas jabatannya dan kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka Alquran memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz), dan berpengetahuan (alim) (QS Yusuf (12) :54-55).

Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi, yaitu hafiz, artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadis yang lain: Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya. (HR Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘alim, artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya, mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pejabat dan pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Di sini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Zar tidak diberi jabatan oleh Nabi.

Pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas jabatan dan kepemimpinannya.

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

REPUBLIKA

Rahasia di Balik Takdir: Kisah Tuan yang Terselamatkan Hewan

Manusia terkadang tak mampu membaca hikmah di balik takdir.

Hidup itu faktanya memang dinamis, selalu terjadi dua yang saling bertukar: kebahagiaan dan kedukaan. Kebahagiaan yang datang, tak terkira senangnya hidup kita, dan bagi orang beriman akan semakin bersyukur kepada Allah.

Kedukaan yang menghampiri, kesedihan yang akan timbul, dan bagi orang beriman akan ditambah dengan sabar yang luar biasa.

Diriwayatkan, dahulu ada seorang laki-laki yang tinggal di pedusunan Arab. Orang ini memiliki seekor ayam, keledai, dan anjing yang sangat membantu dan berguna dalam hidupnya. 

Ayam jantan membangunkannya untuk shalat Shubuh, keledai membantunya mengangkat barang-barang bawaan, dan anjing menjaganya dari gangguan orang-orang jahat.

Pada suatu hari, datanglah serigala memangsa ayam jantannya. Orang ini sangat sedih dengan kematian ayam kesayangannya itu. Namun, karena taat pada Allah, ia berkata, Semoga kejadian ini menjadi kebaikan.  

Beberapa hari kemudian, serigala itu datang lagi dan memangsa keledainya. Ia pun bersedih hati karena tidak ada lagi binatang yang akan membantunya membawa barang- barang. Namun, ia berkata, Semoga kejadian ini juga menjadi kebaikan.  

Beberapa hari kemudian, anjing kesayangannya pun mati juga sehingga membuat ia semakin bersedih hati. Namun, ia tetap saja mengatakan dengan dengan penuh kesabaran, Semoga kejadian ini juga menjadi kebaikan.

Setelah kejadian yang membuat sedih hati itu berlalu beberapa waktu, ketika ia bangun pada suatu pagi, ia kaget karena melihat orang- orang di sekelilingnya telah ditawan. Yang tersisa hanyalah ia dan keluarganya. Ternyata mereka ditawan karena memiliki binatang- binatang peliharaan yang selalu menimbulkan keributan.  

Sementara itu, ia dan keluarganya selamat karena ayam, keledai, dan anjing yang sebelumnya jadi miliknya telah tiada dimangsa serigala. Kematian binatang-binatang tersebut telah menjadi suatu kebaikan baginya sesuai dengan yang telah ditakdirkan Allah.

Rencana Allah itu memang indah, bukan? Namun, kita terkadang suka terlalu cepat menyimpulkan kepahitan hidup yang datang dengan sering menggerutu dan mengatakan, Allah itu tidak adil kepada saya. Padahal, di balik semua kepahitan ada hikmah luar biasa.

Sesungguhnya, ukuran dan kualitas iman seseorang di muka bumi, satu di antaranya bisa dibuktikan dengan seberapa sabar menerima irama takdir Allah. Jika lulus dengan ujian kesabaran tersebut, tentu balasan Allah jauh lebih baik dan memuliakan siapa pun yang menerimanya dengan senang hati.

Seni hidup di dunia, sejatinya mampu bersabar dengan putaran takdir Allah. Syukur kala kebahagiaan datang, syukur kala kepahitan menghampiri, adalah dua senjata orang beriman agar setiap langkah hidup menjadi ibadah, tidak dihadapi dengan menggerutu.

Terlebih lagi, menghindari perasaan buruk sangka kepada setiap ketentuan Allah. Tetaplah kita di jalan Allah meskipun kesulitan hidup datang. Ingat, rencana Allah itu sebaik dan sesempurna-sempurna rencana.

Sejatinya, kita ingat bahwa segala sesuatu yang menimpa kita datangnya dari-Nya. Tidak mungkin Allah memberi takdir yang menyengsarakan karena kita yakin kasih-Nya lebih besar daripada murka-Nya. Mari nikmati rahasia Allah sebagai wujud nyata bahwa kita orang-orang beriman atas segala takdir-Nya.

Oleh Feri Anugrah   

KHAZANAH REPUBLIKA


Kisah Tabayyun Burung Hud-Hud

DALAM Al-Quran, di surah An-Naml ayat ke-22, dikisahkan bahwa burung Hud-hud menyaksikan sebuah kaum penyembah matahari di bumi Yaman—yang dahulu disebut negeri Saba’—hal itu kemudian disampaikan kepada Nabi Sulaiman as.:

“Aku datang kepadamu (Sulaiman) dengan membawa kabar yang pasti dari negeri Saba’…”

Burung Hud-hud tidak mengatakan: “Aku dengar begini…” atau berkata: “Kata orang begini…”

Namun dia membawa berita yang langsung disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri. Nabi Sulaiman juga tidak serta merta meyakini kabar tersebut, justru beliau berkata : “Kita akan melihat, apakah kamu termasuk dari golongan yang terpercaya atau golongan pendusta.”

Begitulah seharusnya cara seorang muslim dalam menginformasikan atau mengkritisi sebuah informasi. Tidak menelan mentah-mentah semua kabar yang berserakan di media, tengah-tengah publik, ataupun lainnya, namun diuji dan dilihat kebenarannya terlebih dahulu.

” …maka selidikilah kebenaran (kabarnya) agar kamu tidak menimpakan suatu kaum dengan perkara yang tidak mereka inginkan karena kecerobohanmu…” (QS. Al-Hujurat: 6).

“Cukuplah suatu dosa bagi seseorang yang gemar menceritakan semua kabar yang didengarnya,” Muhammad SAW. []

ISLAMPOS



Di Masa Rasulullah Ada Pengemis Juga, Apa Bedanya Sekarang?

Pengemis pada masa Rasulullah tidak memakai jaringan mafia.

Keberadaan pengemis di sejumlah kota besar di Indonesia saat ini amat berbeda dengan yang ada pada zaman Nabi Muhammad SAW. 

“Zaman Nabi ada peminta-minta, tapi bukan pengemis yang mangkal di pinggir jalan,” kata Direktur Rumah Fikih Indonesia (RFI), Ustaz Ahmad Sarwat, kepada Republika.co.id, Kamis (10/10).  

Keberadaan para pengemis di zaman nabi, kata Ustaz Sarwar, bisa ditusuri dari sejumlah ayat Alquran. Seperti dalam surah al-Baqarah ayat 177 yang menyebutkan kata wassaailiina (والسائلين) yang berarti orang yang meminta-minta.

“Demikian juga dalam surat adh-Dhuha ayat 10, wa ammas-saaila fala tanhar

(وأما السآئل فلا تنهر). Dan kepada orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardiknya,” kata Ustaz Sarwat.

Meski pengemis sudah eksis sejak zaman Nabi, tapi Ustaz Sarwat menekankan bahwa terdapat perbedaan mencolok dengan pengemis yang jamak ditemui di kota-kota besar pada saat ini.

Pengemis pada masa itu tidak meminta secara terang-terangan. Mereka setidaknya masih memiki harga diri jika dibandingkan dengan pengemis di Indonesia, terutama di DKI Jakarta.

“Kalau disini kan sudah jadi semacam pekerjaan tersendiri, ada jaringannya, ada bandarnya, ada setorannya,” ungkap Ustaz Sarwat.

Para pengemis di Jakarta, lanjut dia, melakukan pekerjaanya yang terorganisir itu dengan memanfaatkan ketidaktahuan orang, memainkan rasa iba, haru, dan kasihan. “Padahal boleh jadi itu sebuah jaringan mafia,” ucapnya.

Untuk itu, dia berharap agar umat Islam tidak terkecoh dengan para pengemis semacam itu. Walaupun tidak ada larangan dalam Islam untuk memberi kepada pengemis, tapi jika memberikan sedekah atau infak kepada jaringan pengemis tentu tidaklah tepat.

“Di masa Nabi dan di Alquran ada perintah memberi kepada peminta-minta, tapi bukan jaringan pengemis macam di Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta itu. Keduanya harus dibedakan karena memang tidak sama,” ucap Ustaz Sarwat.

Adapun Perda DKI Jakarta yang dimaksudkan Ustaz Sarwat adalah Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Perda ini dalam Pasal 40 memang melarang orang untuk menjadi pengemis ataupun memberi uang dan barang kepada pengemis. Selain itu, masih pada pasal yang sama, juga disebutkan bahwa dilarang menyuruh orang lain untuk menajdi pengemis.

Untuk itu, dia berharap agar semua pihak mendukung upaya pemberantasan jaringan mafia yang ada di Jakarta sesuai dengan acuan dalam Perda tersebut. Terlebih lagi, Perda itu juga telah mengatur sanksi bagi orang yang menjadi, menyuruh ataupun memberi kepada pengemis. Yakni berupa sanksi pidana, atau denda.

“Nah dalam pandangan syariah, perda itu adalah ketentuan yang harus diterima, karena bagian dari ketaatan kita kepada pemimpin,” kata Ustaz Sarwat.

REPUBLIKA


Saat Dunia Dilanda Fitnah, Begini Pesan Ali Bin Abi Thalib

Ali bin Thalib berwasiat agar berhati-hati menghadapi fitnah.

Sebagai ‘mata air’ hikmah, Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW, banyak mewasiatkan kepada umat Islam akan kehidupan, baik dalam memenuhi hajat profannya (material) maupun sakralnya (akhirat).

Dalam satu kesempatan misalnya, ia bertutur soal hubungan manusia dengan Sang Khaliq. Katanya, “Barang siapa telah memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka ia akan memperbaiki hubungannya dengan orang lain, dan barang siapa telah memperbaiki urusan akhiratnya, maka ia akan memperbaiki urusan dunianya.”

Ali juga menganjurkan kita berpikir dan merenungkan kembali informasi yang kita terima. “Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita). Penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit.” Cobaan atau fitnah di masa Khalifah Ali tak kalah hebatnya dengan fitnah-fitnah saat ini.

Agar tidak terjerumus dan terjebak dalam kubangan fitnah, kepada para sahabatnya Ali berpesan, “Ketika fitnah berkecamuk, jadikanlah dirimu seperti ‘ibnu labun’ (anak unta yang belum berumur dua tahun), karena ia masih belum memiliki punggung yang kuat untuk dapat ditunggangi dan tidak memiliki air susu untuk dapat diperah.” Begitu pun pandangannya soal manusia yang lemah.

Di mata satu-satunya khalifah Islam yang bergelar “Imam” ini, orang lemah bukan mereka yang tak berdaya menghadapi lawan, tak berharta, atau tidak memiliki kedudukan. Tapi, “Orang yang paling lemah adalah mereka yang tidak dapat menjalin tali persahabatan dengan orang lain, dan lebih lemah darinya adalah orang yang mudah melepaskan persaudaraan dengan sahabatnya,” ujar Ali, sebagaimana dinukilkan dari Nahj al-Balaghah.

Di bagian lain wasiatnya, Ali menegaskan, “Akan datang kepada manusia suatu masa yang tidak tertinggal dari Alquran kecuali tulisannya dan dari Islam kecuali namanya. Pada masa itu masjid-masjid dimakmurkan bangunannya sedangkan ia sendiri kosong dari hidayah, orang-orang yang menghuni dan memakmurkannya adalah yang paling jahat di muka bumi. Fitnah bersumber dari mereka dan segala kesalahan kembali kepada mereka. Orang-orang korban fitnah dan telah bertaubat, akan dipaksa kembali dan orang-orang yang tertinggal di belakang (tidak ikut serta dalam kafilah fitnah) akan dirayu agar bergabung dengannya. Allah berfirman: ‘Demi Dzat-Ku, akan Ku-kirim untuk mereka sebuah fitnah (cobaan) besar yang akan menjadikan orang-orang sabar bingung menentukan sikap.’ Kita memohon kepada-Nya untuk mengampuni kealpaan yang membuat kita tergelincir.”

KHAZANAH REPUBLIKA


Cross Hijaber, Prilaku Menyimpang

Nikmat dan Manfaat Pakaian

Pakaian merupakan salah satu anugerah Allah, karena pakaian banyak sekali manfaatnya, diantaranya:

  1. Menutupi aurat
  2. Melindungi diri dari panas dan dingin
  3. Perhiasan

Memakai Pakaian Khas Lawan Jenis

Namun, Islam mengatur dalam berpakaian agar tidak melenceng dari norma dan fithrah, diantara aturan tersebut adalah tidak boleh berpakaian menyerupai pakaian ciri khas lawan jenis. Hal ini dilarang bahkan termasuk dosa besar serta pelakunya terancam dengan laknat Allah.

Dari Ibnu Abbas berkata:

لَعَنَ النَّبِيُّ الْمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ الْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ

Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria. (HR. Bukhari)

Dalam masalah pakaian secara khusus, Abu Hurairah berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَ الْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ

Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim, dan Ahmad dengan sanad shahih)

Hikmah dari larangan ini jelas yaitu mengeluarkan pelakunya dari karakter dan ciri khas asli yang diberikan oleh Allah. (Bahjah Nufus, Ibnu Abi Jamrah 4/14)

Islam Membedakan Pakaian Laki-Laki dan Perempuan

Islam telah membedakan antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hal pakaian, maka tidak boleh bagi kaum lelaki memakai pakaian yang merupakan ciri khas kaum hawa. Begitu pula sebaliknya, tidak boleh kaum wanita berpakaian pakaian yg merupakan ciri khas pria, karena hal itu penyimpangan dari fithrah dan bukti kerusakan akal dan merupakam penyakit yang menjalar pada umat sekarang akibat ikut-ikutan dengan gaya barat sehingga tidak ada bedanya antara pria dan wanita dalam pakaian, gaya berjalan dan bicara! (Zinatul Marah Muslimah hlm. 45-46 oleh Syeikh Abdullah Al Fauzan)

Adapun patokan masalah ini adalah pada kebanyakan penggunaan dan ciri khas bukan kepada selera hawa nafsu, sebab jika patokannya selera hawa nafsu maka nanti lelaki boleh memakai krudung dan cadar serta perempuan boleh memakai kopyah dan sorban. Tentu saja hal itu bertentangan dengan nash dan ijma’ (kesepakatan ulama). (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 22/146)

Aturan dalam Berpakaian Sesuai Ciri Khas 

  1. Syaikhuna Dr. Sami bin Muhammad As Shuqayyir menjelaskan bahwa masalah ini dapat dipetakan menjadi tiga keadaan:
    Pakaian yang merupakan khas perempuan. Maka tidak boleh dipakai kaum lelaki, seperti kerudung, cadar, dan sebagainya.
  2. Pakaian yang merupakan khas lelaki. Maka tidak boleh dipakai perempuan, seperti celana jeans, songkok nasional dan lain sebagainya.
  3. Pakaian yang biasa dipakai keduanya, bukan ciri khas salah satu mereka, maka boleh dipakai keduanya, seperti sandal jepit dan sebagainya.

Realita Berpakaian di Zaman Ini

Sungguh meremukkan hati kita, bagaimana kaum hawa masa kini berbondong-bondong merampas sekian banyak jenis pakaian pria. Hampir tidak ada jenis pakaian pria satu pun kecuali wanita bebas-bebas saja memakainya. Sehingga terkadang tak mampu dibedakan lagi mana yang pria dan mana yang wanita !!!.

Demikian pula, sungguh ironis orang pria tetapi berpakaian perempuan seperti para banci, bahkan lebih parah lagi, sekarang ada para penyusup yang dengan sengaja berkerudung dan bercadar lalu masuk ke majlis taklim untuk menodai citra hijab yang mulia dan membuat kerusakan kepada Islam.

Hati-Hati dengan Muslimah Gadungan !

Oleh karena itu kami nasehatkan kepada para akhwat saat di majlis taklim dan berkumpul sesama akhwat, hendaknya membuka cadar mereka dengan tujuan:

  1. Agar saling mengenal antar sesama
  2. Agar ketahuan para penyusup yang ingin membuat kerusakan.

Semoga Allah menjaga kita semua dari segala fitnah.

Oleh: Abu Ubaidah As Sidawi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52180-cross-hijaber-prilaku-menyimpang.html