Apakah Poligami Perlu Izin Istri dan Haruskah Memberi Tahu?

Apabila suami ingin menikah lagi dan melakukan poligami, tidak disyaratkan harus minta izin dan minta ridha istri pertamanya. Tidak ada rukun atau syarat poligami itu yang mengharuskan izin kepada istri apabila suami ingin menikah lagi dan poligami.

Penjelasan Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 

 ليس بفرض على الزوج إذا أراد أن يتزوج ثانية أن يرضي زوجته الأولى ، لكن من مكارم الأخلاق وحسن العشرة أن يطيِّب خاطرها بما يخفف عنها الآلام التي هي من طبيعة النساء في مثل هذا الأمر ، وذلك بالبشاشة وحسن اللقاء وجميل القول وبما تيسّر من المال إن احتاج الرضى إلى ذلك . 

“Bukanlah suatu kewajiban bagi suami apabila ingin menikah lagi untuk meminta ridha istrinya yang pertama, akan tetapi di antara kemulian akhlak dan muamalah rumah tangga yang baik, seorang suami harus menghibur istri dan meringankan kesedihan (akibat dipoligami) karena ini merupakan tabiat wanita dalam perkara ini (poligami). Hal tersebut dengan bermanis muka, bergaul dengan baik, perkataan yang indah dan memberikan harta yang bisa membuatnya ridha.” [fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 19/53]

Hendaknya Suami Memberi Tahu Istri

Khusus di zaman ini, dengan mudahnya komunikasi dan internet, seorang suami hendaknya harus memberitahu istrinya apabila ia akan melakukan poligami dan menikah lagi. Di zaman ini sangat sulit untuk menyembunyikan. Sangat sulit bagi suami tersebut adil dan membagi hari di antara istri-istrinya apabila ia tidak memberi tahu istri pertamanya. Sangat sulit ia berlaku adil dengan membagi hari secara sembunyi-sembunyi atau “kucing-kucingan” dengan istri pertamanya. Bisa jadi ia akan banyak berbohong untuk menyembunyikannya.

Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah menjelaskan,

أما في البلد الواحدة فلا بد من العلم حتى يقسم بينهما وحتى يعدل بينهما، وليس له أن يوهمها أنه لا زوجة له، بل يعلم ويخبرها بأن عنده زوجة؛ لأن هذا من الخداع

“Adapun apabila tinggal di satu negara/tempat, maka suami harus memberitahu (istri pertamanya), agar bisa membagi hari antara keduanya dan adil kepada keduanya. Janganlah ia membuat kesan (menyembunyikan) bahwa ia tidak punya istri lainnya, akan tetapi ia harus memberitahukan istrinya bahwa ia telah memiliki istri lainnya. (apabila tidak memberi tahu) ini merupakan bentuk penipuan.” [sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/12569]

Catatan Penting untuk Suami

Bagi suami yang akan melakukan poligami hendaknya benar-benar bertakwa dan mempertimbangkan kemampuan melaksanakan poligami. Apabila ia tidak mampu adil, maka ia mendapatkan ancaman sebagai berikut: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.

“Barangsiapa memiliki dua istri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan pundaknya miring sebelah.” [HR. Abu Dawud, Lihat Irwaa-ul Ghaliil(no. 2017]

Apabila ia tidak mampu berbuat adil maka janganlah ia melakukan poligami. Allah berfirman,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [An-Nisaa’/4: 3].

Ia juga harus memiliki harta yang cukup untuk melakukan poligami. Artinya, janganlah menikah dengan modal nekat saja tanpa mempertimbangkan kemampuan ia dalam hal harta dan memberikan nafkah, karena menikah itu perlu nafkah. Sebagaimana hadits anjuran bagi pemuda untuk menikah apabila ia telah memiliki berkal harta untuk menikah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَـرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَـرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; sebab puasa dapat menekan syahwatnya.”[HR. Bukhari]

Ibnu Daqiq Al’Ied menjelaskan,

 واستطاعة النكاح :القدرة على مؤنة المهر والنفقة . 

“Yaitu kemampuan nikah: kemampuan memberika mahar dan menafkahi” [Ahkamul Ihkam syarh Umadatul Ahkam hal. 552]

Masih ada beberapa hal lagi yang perlu diperhatikan oleh soerang suami apabila ingin poligami dan salah satu yang cukup penting adalah mental untuk melakukan poligami. Ada beberapa orang yang sanggup adil dan punya harta banyak tetapi tidak punya mental kuat untuk melakukan poligami.

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52540-apakah-poligami-perlu-izin-istri-dan-haruskah-memberi-tahu.html

Apa Jenis Makanan dan Pola Makan Sesuai Anjuran Islam?

Cukup banyak kaum muslimin yang bertanya-tanya apakah jenis makanan dan pola makan yang menjadi anjuran agama Islam? Apakah harus makan jenis makan tertentu? ataukah harus makan beberapa kali sehari? Ataukan ada waktu dan jam-jam khusus untuk makan tertentu?

Jawabannya: secara umum, jenis makanan dan pola makan adalah sesuai dengan kebiasaan kaumnya selama tidak menimbulkan bahaya dan melanggar syariat, bahkan ada sebagian ulama yang menjelaskan bahwa disunnahkan memakan jenis makanan apa yang ada dan mudah didapatkan di negerinya/kaumnya. Inilah secara umumnya.

Menyikapi Anjuran Khusus dalam Syariat Islam

Memang ada anjuran secara khusus, misalnya sunnah makan kurma (ajwah) 7 buah di pagi hari agar terhindar dari sihir, akan tetapi bukan berarti kita mengganti jenis makan dan pola makan dari kebiasaan kaum kita. Secara kesehatan ada juga jenis makanan khusus untuk tujuan tertentu, misalnya untuk diet khusus untuk menurunkan berat badan, diet khusus untuk penyakit ini, akan tetapi untuk menjadi pola hidup maka makanan itu disesuaikan dengan kebiasan setempat (kearifan lokal) sesuai dengan bimbingan para ahli kesehatan terutama ahli gizi. 

Kami buat contoh, apabila masyakarat indonesia biasa makan nasi sejak kecil dan terpapar nasi dari kecil, maka itulah makanan kebiasaan kaumnya. Hendaknya tidak diganti makan nasi dengan makan kurma (apalagi berkeyakinan kurma itu sunnah, ini tidak tepat). Apabila kita berbicara hukumnya, makan kurma itu hukumnya mubah, yang sunnah adalah apabila makan kurma sesuai dengan anjuran hadits semisal makan kurma ketika berbuka puasa atau ketika makan sahur. Secara kesehatan, kementerian kesehatan Indonesia juga telah mengeluarkan saran makan dengan program “piring makanku”, yaitu satu piring makan dibagi menjadi porsi karbohidrat, protein dan sayur sesuai aturan.

Jadi, jenis dan pola makan kita tetap sesuai dengan kebiasaan kaum kita selama ini dan hal ini tidak bertentangan melaksanakan sunnah-sunnah terkait makanan. Misalnya makan sahur dan berbuka pakai nasi, kemudian kita juga makan kurma untuk menerapkan sunnah makan sahur dengan kurma, demikian juga berbuka dengan kurma setelah itu makan nasi.

Dalil Terkait Jenis Makanan dan Pola Makan

Dalil yang menunjukkan bahwa jenis dan pola makan kita sesuai dengan kebiasaan kaumnya adalah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditawarkan makanan “dhab” yaitu sejenis kadal gurun yang halal, tetapi beliau menolak memakannya karena itu bukanlah makanan kaumnya. Beliau menolak bukan karena haramnya, tetapi bukan makanan kebiasaan kaumnya.

Perhatikan hadits berikut dari Ibnu Abbas, beliau berkata,

أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَيْمُونَةَ وَهِيَ خَالَتُهُ وَخَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوذًا فَقَدَّمَتِ الضَّبَّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ عَنِ الضَّبِّ فَقَالَ خَاالِدٌ: أَحْرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ» قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيّ 

“Khalid bin Al-Walid  mengabarkan kepada beliau bahwasanya beliau bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui Maimunah (istri Nabi) dan Maimunah adalah bibiknya Khalid dan juga bibiknya Ibnu Abbas. Maka Khalid mendapati ada dhab(semacam hewan bebentuk iguana-pen) yang dipanggang (di atas batu panas). Lalu Dhab tersebutpun dihidangkan kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam. Nabi pun mengangkat tangannya tidak menyentuh dhab. Maka Khalid bertanya, “Apakah dhabitu haram wahai Rasulullah?’. Nabi berkata, “Tidak, akan tetapi dhabtidak ada di kampung kaumku, maka aku mendapati diriku tidak menyukainya”. Khalid berkata, “Akupun mengambilnya lalu menyantapnya, dan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam hanya memandang kepadaku” [HR Al-Bukhari no 5391]

Dalam riwayat Muslim, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan itu bukanlah jenis makanan beliau,

كُلُوا فَإِنَّهُ حَلَالٌ وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي

“Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya daging ini halal. Akan tetapi bukan dari makananku” [HR. Muslim no. 3608]

Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan makan dhab karena tidak terbiasa makan dhab dan bukan termasuk makanan kaumnya. Beliau berkata,

وفي هذا كله بيان سبب ترك النبي صلى الله عليه وسلم وأنه بسبب أنه ما اعتاده

“Dalam hadits ini semuanya terdapat penjelasan sebab Nabis shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan makan dhabt karena beliau tidak terbiasa memakan dhab.” [Fathul Bari 9/580]

Ibnu Taimiyyah menjelaskan dari hadits ini, bahwa disunnahkan makan dan berpakaian sesuai dengan kebiasaan kaumnya dan negerinya, beliau berkata,

فَسُنَّتُهُ فِي ذَلِكَ تَقْتَضِي أَنْ يَلْبَسَ الرَّجُلُ وَيَطْعَمَ مِمَّا يَسَّرَهُ اللَّهُ بِبَلَدِهِ مِنْ الطَّعَامِ وَاللِّبَاسِ . وَهَذَا يَتَنَوَّعُ بِتَنَوُّعِ الْأَمْصَارِ

“Sunnah dalam hal ini adalah hendaknya seseorang memakai pakaian dan memakan apa yang telah Allah mudahkan (tersedia) di negerinya/kaumnya berupa makanan dan pakaian. Hal ini berbeda-beda seusai dengan (keadaan) negerinya.” [Majmu’ fatawa 22/310]

Ibnu At-Tiin menjelaskan bahwa karena Rasulullah shallalahu ‘alaihi merasa tidak berselera (agak mual) dengan dhab. Beliau berkata,

وَكَانَ هُوَ صلى الله عليه وسلم قَدْ يَعَافُ بَعْضَ الشَّيْءِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang merasa mual dengan sebagian makanan (dhab ini).” [Fathul baari 9/534]

Tidak Perlu Memaksa Mengganti Makanan Pokok

Jadi makanan tersebut adalah sesuai dengan kebiasaan kaumnya dan apabila kita tidak suka dan tidak, maka tidak bisa dipaksakan. Tidak harus kita mengganti jenis makanan pokok dengan kurma, mengganti makan nasi dengan nasi mandi atau nasi briyani (bisa jadi orang Indonesia mual apabila setiap hari makan nasi ini). Jadi tidak tepat apabila mengatakan sunnahnya adalah mengganti nasi dengan kurma sebagai makanan pokok karena makan kurma adalah sunnah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjadi hukum asal apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka berupa makanan, minuman dan pakaian adalah sebuah adat/perangai sebagai seorang manusia yang hukumnya mubah. Beliau berkata:

وبهذا يتبين أن ما أحبّه صلى الله عليه وسلم من الأطعمة أو الأشربة أو الألبسة ونحو ذلك ، الأصل فيه أنه من العادات التي تفعل بمقتضى البشرية ، ولا يراد بها التشريع ، ككونه يحب الدباء ، ويعاف الضب ، ويلبس العمامة والرداء والإزار والقميص ، ما لم يدل دليل على التشريع

“Oleh karena itu jelas bahwa apa yang disukai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain maka hukum asalnya adalah perkara adat/perangai sebagai seorang manusia. Bukanlah dimaksudnya untuk menjadi syariat ibadah (tasryi’). Misalnya beliau suka labu dan tidak suka dhabb (seperti biawak padang pasir), misalnya juga memakai ‘imaamah (penutup kepala), baju, kain bawahan, gamis dan lain-lain selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa itu disyariatkan.” [https://islamqa.info/ar/answers/149523]

Ibnu hajar Al-Asqalani juga menjelaskan bahwa terkadang obat-obatan dosisnya berbeda sesuai dengan jenis makanan yang menjadi kebiasaan mereka, beliau berkata

فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”[Fathul Baari  10/169-170, Darul Ma’rifah]

Silakan Makan Apa Saja Asalkan Halal dan Thayyib

Kami perlu tekankan kembali dari urusan jenis makanan dan pola makanan adalah sesuai dengan kebiasaan kaumnya. Ajaran islam mengajarkan silahkan makan apa saja asalkan halal dan thayyib dan inti utamanya adalah TIDAK berlebihan. 

Allah berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوٓا

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat ini,

قال بعض السلف : جمع الله الطب كله في نصف آية : ( وكلوا واشربوا ولا تسرفوا )

“Sebagian salaf berkata bahwa Allah telah mengumpulkan semua ilmu kedokteran pada setengah ayat ini.” [Tafsir Ibnu Katsir 3/384, Dar Thaybah]

Catatan Agar Hidup Sehat

Agar bisa hidup sehat, kita tidak hanya memperhatikan makanan tetapi perhatikan juga olahraga dan gerak. Sebagian orang hanya fokus ke diet saja tetapi tidak pernah olahraga dan bergerak. Orang dahulu mereka makan dengan pola kebiasaan kaumnya (makan nasi dan sarapan pagi) dan banyak bergerak serta berolahraga sehingga mereka tetap sehat.

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Artikel www.muslim.or.id

Pemuraja’ah: Ustadz Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52524-apa-jenis-makanan-dan-pola-makan-sesuai-anjuran-islam.html

Akhlak Mulia Memberatkan Timbangan

Ini adalah akhlak mulia, ternyata memiliki seperti ini dapat memberatkan timbangan.

Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا شَىْءٌ أَثْقَلُ فِى مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيَبْغَضُ الْفَاحِشَ الْبَذِىءَ

Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin selain akhlak yang baik. Sungguh, Allah membenci orang yang berkata keji dan kotor.” (HR. Tirmidzi, no. 2002. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Juga dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ

Tidak ada sesuatu amalan yang jika diletakkan dalam timbangan lebih berat dari akhlak yang mulia. Sesungguhnya orang yang berakhlak mulia bisa menggapai derajat orang yang rajin puasa dan rajin shalat.” (HR. Tirmidzi, no. 2003. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Al-fahisy yang dimaksud dalam hadits adalah orang yang mengeluarkan perkataan yang tidak enak didengar atau perkataan yang tidak pantas. Al-badzi adalah orang yang berkata kotor. Jadi, orang yang bisa menjaga perkataannya adalah orang yang akan berat timbangannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi, no. 2004 dan Ibnu Majah, no. 4246. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22320-akhlak-mulia-memberatkan-timbangan.html

Uzur Shalat yaitu Tidur dan Lupa

Jika kita ada uzur shalat, entah tidur atau lupa, bagaimana cara mengerjakan shalatnya, misalnya shalat Shubuh?

Kita bisa temukan jawabannya dalam bahasan Safinatun Najah berikut ini.

Safinatun Najah

Oleh: Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami Asy-Syafi’i

[KITAB SHALAT]

[Uzur Shalat]

أَعْذَارُ الصَّلاةِ اثْنَانِ:

1- النَّوْمُ.

وَ2- النِّسْيَانُ.

Fasal: Uzur shalat ada dua, yaitu tidur dan lupa.

Catatan Dalil

Pertama: Istilah qadha’ shalat

Jika telah keluar waktu shalat yang sudah ditetapkan dan shalat belum dikerjakan, atau tidak tersisa waktu yang dibatasi untuk mengerjakan satu rakaat atau lebih, maka shalat tersebut diqadha’. Para ulama ushuliyyun (ahli ushul) menyebut dengan istilah qadha’ shalat yaitu mengerjakan yang wajib setelah waktu yang ditetapkan syariat.

Qadha’ shalat ini ada dua keadaan: (1) karena tertidur atau lupa, (2) karena meninggalkan shalat dengan sengaja.

Kedua: Qadha’ shalat karena tertidur atau lupa

Siapa yang terkena kewajiban shalat lalu ia tidak mengerjakan shalat hingga luput waktunya disebabkan karena tertidur atau lupa, maka ia harus mengqadha’ shalat tersebut setelah waktunya. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

Jika salah seorang di antara kalian tertidur atau lalai dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya), ‘Kerjakanlah shalat ketika ingat.’ (QS. Thaha: 14).” (HR. Bukhari, no. 597 dan Muslim, no. 684).

Dalam riwayat lain disebutkan,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا ، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ

Barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Tidak ada kewajiban baginya selain itu.” (HR. Bukhari, no. 597).

Dalam riwayat lain juga disebutkan,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah ia shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim, no. 684).

Ketiga: Qadha’ shalat dengan segera

Jika shalat luput karena uzur, maka hendaklah shalat tersebut diqadha’ dengan segera. Jika pun diakhirkan juga dibolehkan, berarti qadha’nya tidak segera. Hal ini merupakan pelajaran dari hadits berikut.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ كُنْتُ مَعَ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مَسِيرٍ لَهُ فَأَدْلَجْنَا لَيْلَتَنَا حَتَّى إِذَا كَانَ فِى وَجْهِ الصُّبْحِ عَرَّسْنَا فَغَلَبَتْنَا أَعْيُنُنَا حَتَّى بَزَغَتِ الشَّمْسُ – قَالَ – فَكَانَ أَوَّلَ مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَّا أَبُو بَكْرٍ وَكُنَّا لاَ نُوقِظُ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ مَنَامِهِ إِذَا نَامَ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ عُمَرُ فَقَامَ عِنْدَ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَعَلَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ وَرَأَى الشَّمْسَ قَدْ بَزَغَتْ قَالَ « ارْتَحِلُوا ». فَسَارَ بِنَا حَتَّى إِذَا ابْيَضَّتِ الشَّمْسُ نَزَلَ فَصَلَّى بِنَا الْغَدَاةَ

Dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan dan ketika itu kami berjalan semalam suntuk sampai mau mendekati Shubuh. Kemudian kami berhenti sebentar untuk istirahat. Ketika itu mata kami sudah tidak kuat lagi menahan kantuk hingga kami tertidur sampai matahari terbit. ‘Imran berkata bahwa di antara kami yang duluan terbangun adalah Abu Bakar. Kami sendiri belum mau membangunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tidurnya ketika ia tidur sampai ia terbangun sendiri. Kemudian yang bangun berikutnya adalah Umar. Ia berdiri di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Umar bertakbir dan ia mengeraskan suara takbirnya hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya, ia melihat matahari sudah terbit. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Ayo berpindah!’ Kemudian beliau bergerak bersama kami sampai matahari terlihat terang. Lalu beliau turun dan melaksanakan shalat Shubuh bersama kami.”  (HR. Muslim, no. 682)

Keempat: Qadha’ shalat dalam keadaan lupa tidak terkena dosa

Qadha’ shalat di luar waktunya karena ada uzur tertidur atau lupa, tidaklah dikenakan dosa. Dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku ketika mereka keliru, lupa, atau dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Juga dalam hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena itu diangkat dari tiga orang: (1) orang yang tidur sampai ia terbangun, (2) anak kecil sampai ia mimpi basah (baligh), (3) orang gila sampa ia berakal (sadar).” (HR. Abu Daud, no. 4403. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Kelima: Hendaklah membangunkan orang yang masih tidur

Disunnahkan membangunkan orang yang masih tidur, lebih-lebih lagi jika waktu shalat hampir habis. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Maidah: 2)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُصَلِّى صَلاَتَهُ بِاللَّيْلِ وَهِىَ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِذَا بَقِىَ الْوِتْرُ أَيْقَظَهَا فَأَوْتَرَتْ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat malam, sedangkan Aisyah melintang di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau sisa melakukan witir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan Aisyah. Akhirnya Aisyah berwitir. (HR. Muslim, no. 744)

Dalam riwayat lain disebutkan,

فَإِذَا أَوْتَرَ قَالَ « قُومِى فَأَوْتِرِى يَا عَائِشَةُ».

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk witir, beliau berkata, ‘Bangunlah wahai Aisyah, ayo berwitirlah.’” (HR. Muslim, no. 744)

Keenam: Qadha’ shalat karena meninggalkan shalat dengan sengaja

Jika seorang mukallaf (yang sudah dibebankan syariat) meninggalkan shalat yang sudah ada ketetapan waktunya tanpa ada uzur, maka ia berdosa karena telah menyelisihi berbagai dalil tegas yang menyatakan wajibnya shalat. Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tersebut wajib mengqadha’. Ia wajib mengqadha’ dengan segera karena ia benar-benar meremehkan shalat hingga diakhirkan. Ia juga harus bertaubat. Karena orang yang meninggalkan shalat terkena hukuman dibunuh karena sebab shalat yang ia luput. Namun jika ia mengqadha’ shalat walaupun telat, maka ia tidak dihukum bunuh.

Dalilnya yang memerintahkan untuk qadha’ adalah hadits yang disebutkan sebelumnya, “Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah ia shalat ketika ia ingat.” Dalil hadits menunjukkan bahwa tidur dan lupa adalah keadaan uzur dan disuruh untuk mengqadha’. Maka untuk keadaan orang yang meninggalkan shalat tanpa ada uzur, tentu saja mesti ada qadha’. Lihat pendapat Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily yang menjelaskan fikih Syafii dalam Al-Mu’tamad, 1:174.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa (22:19) menjelaskan bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat dan puasa secara sengaja apakah perlu diqadha’. Beliau rahimahullah berkata,

الْأَكْثَرُونَ يَقْضِيهِ ، وَقَالَ : بَعْضُهُمْ لَا يَقْضِيهِ ، وَلَا يَصِحُّ فِعْلُهُ بَعْدَ وَقْتِهِ كَالْحَجِّ . وَقَدْ ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : عَنْ الْأُمَرَاءِ الَّذِينَ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا . { فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا ، وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ نَافِلَةً } . وَدَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ ، وَاتِّفَاقُ السَّلَفِ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ مَنْ يُضَيِّعُ الصَّلَاةَ فَيُصَلِّيهَا بَعْدَ الْوَقْتِ ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ مَنْ يَتْرُكُهَا . وَلَوْ كَانَتْ بَعْدَ الْوَقْتِ لَا تَصِحُّ بِحَالِ لَكَانَ الْجَمِيعُ سَوَاءً

Kebanyakan ulama menilai, shalat atau puasa yang ditinggalkan dengan sengaja, harus diqadha’. Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa seperti itu tidak perlu diqadha’. Bahkan tidak sah mengerjakan qadha’ tersebut setelah keluar waktunya sebagaimana ibadah haji. Dan ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pemimpin yang sengaja mengakhirkan waktu shalat dari waktunya. Beliau bersabda, ‘Tetaplah kalian shalat pada waktunya. Cukup jadikan shalat kalian bersama penguasa kalian sebagai shalat sunnah.’ Al-Qur’an dan As-Sunnah juga kesepakatan para salaf menunjukkan perbedaan antara orang yang mengabaikan shalat hingga mengerjakan shalat di luar waktu dan perbedaan orang yang meninggalkan shalat. Yang jelas, jika shalat itu dikerjakan di luar waktunya, sama sekali tidaklah sah.

Penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah itulah yang dijadikan alasan bahwa tidak ada qadha’ shalat bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.

Ketujuh: Seorang muslim mesti mengerjakan shalat pada waktunya

Allah Ta’ala berfirman,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78) وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (79)

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’: 78-79).

Ada tiga macam waktu shalat yang disebutkan dalam ayat di atas:

  1. Waktu pertama yang disebutkan adalah waktu ‘duluk’. Yang dimaksudkan adalah waktu setelah matahari tergelincir mengarah ke arah barat (arah matahari tenggelam). Adapun yang dimaksud dengan waktu pertama adalah shalat Zhuhur yang berada di awal waktu duluk dan shalat Ashar yang berada di akhir waktu duluk.
  2. Waktu kedua adalah ‘ghasaqil lail’. Yang dimaksudkan adalah gelap malam. Shalat yang dikerjakan di awal ghasaq adalah shalat Maghrib, sedangkan di akhirnya adalah shalat Isya.
  3. Waktu ketiga adalah waktu fajar. Disebut dalam ayat dengan “Qur-anal Fajri”, yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat Shubuh). Shalat Shubuh disebut qur-anal fajri karena saat Shubuh adalah waktu yang disunnahkan untuk memperlama bacaan Al-Qur’an. Keutamaan membaca Al-Qur’an saat itu karena disaksikan oleh Allah, oleh malaikat malam dan malaikat siang.

Mengenai waktu shalat yang diterangkan dalam hadits bisa dilihat dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلاَةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ

Waktu Zhuhur jika matahari sudah tergelincir ke barat ketika itu panjang bayangan sama dengan tinggi seseorang, selama belum masuk waktu ‘Ashar. Waktu ‘Ashar adalah selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama belum hilang cahaya merah pada ufuk barat. Waktu shalat Isya adalah sampai pertengahan malam. Waktu shalat Shubuh adalah dari terbit fajar selama belum terbit matahari. Jika matahari telah terbit, maka tahanlah shalat karena saat itu matahari sedang terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Muslim, no. 612)

Semoga jadi ilmu yang bermanfaat.

Referensi:

  1. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i.Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  2. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan Keempat Tahun 1432 H. Ahmad bin ‘Abdul Halim Al-Harrani (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah). Penerbit Dar Ibnu Hazm-Darul Wafa’.
  3. Taysirul Lathifil Mannan. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Darul ‘Ashimah.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22099-safinatun-najah-uzur-shalat-yaitu-tidur-dan-lupa.html

Nikmat yang Berujung Siksa

MUHAMMAD bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, 2:82)

Allah mencela orang yang disebut kanud yaitu yang tidak mensyukuri nikmat. Mengenai ayat,

“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya.” (QS. Al-Adiyat: 6). Al-Hasan Al-Bashri mengatakan mengenai ayat ini, orang yang kanud adalah yang terus menerus menghitung musibah demi musibah, lantas melupakan berbagai nikmat yang telah Allah beri.

Karenanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa kebanyakan wanita menjadi penduduk neraka karena sifat di atas. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Bukhari, no. 5197 dan Muslim, no. 907). Kalau tidak mensyukuri pemberian suami saja hukumannya seperti ini, padahal hakikatnya nikmat tersebut juga berasal dari Allah, bagaimana lagi jika kita enggan bersyukur atas nikmat Allah sama sekali. Lihat Iddah Ash-Shabirin, hlm. 151.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. [rumaysho]

INILAH MOZAIK

Hakikat Orang yang Menjaga Nikmat

SYUKUR akan terus menambah nikmat dan membuat nikmat itu terus ada. Hakekat syukur adalah melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat.

Mukhallad bin Al-Husain mengatakan, “Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.” (Iddah Ash-Shabirin, hlm. 159)

Ibnu Abid Dunya menyebutkan hadits dari Abdullah bin Shalih, ia berkata bahwa telah menceritakan padanya Abu Zuhair Yahya bin Athorid Al-Qurasyiy, dari bapaknya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Allah tidak mengaruniakan syukur pada hamba dan sulit sekali ia mendapatkan tambahan nikmat setelah itu. Karena Allah Taala berfirman, “Jika kalian mau bersyukur, maka Aku sungguh akan menambah nikmat bagi kalian.” (QS. Ibrahim: 7) (HR. Al-Baihaqi dalam Syuab Al-Iman, 4:124)

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah memberi nikmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Jika seseorang tidak mensyukurinya, maka nikmat tersebut berbalik jadi siksa.”

Ibnul Qayyim berkata, “Oleh karenanya orang yang bersyukur disebut hafizh (orang yang menjaga nikmat). Karena ia benar-benar nikmat itu terus ada dan menjaganya tidak sampai hilang.” (Iddah Ash-Shabirin, hlm. 148)

INILAH MOZAIK

Wujud Syukur dengan Amal Kebaikan

SYUKUR yang tepat, bukan hanya pandai mengucapkan alhamdulillah. Sudah semestinya, syukur itu diwujudkan dalam amalan.

Coba perhatikan ibarat syukur yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah,

“Syukur itu dengan hati, dengan tunduk dan merasa tenang. Syukur itu dengan lisan, dengan memuji dan mengakui. Syukur itu dengan anggota badan, yaitu dengan taat dan patuh pada Allah.” (Madarij As-Salikin, 2:246)

Seorang yang dikenal zuhud di masa silam, yaitu Abu Hazim berkata,

“Siapa saja yang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan anggota badan lainnya, itu seperti seseorang yang mengenakan pakaian. Ia ambil ujung pakaian saja, tidak ia kenakan seluruhnya. Maka pakaian tersebut tidaklah manfaat untuknya untuk melindungi dirinya dari dingin, panas, salju dan hujan.” (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, 2:84)

INILAH MOZAIK

Mengapa Mereka Tak Pandai Bersyukur?

“Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (QS. Yasin: 34-35)

Penjelasan ayat: Allah jadikan di bawah pohon-pohon kurma dan anggur pancaran mata air, supaya mereka bisa menyantap makanan dan buah yang dihasilkan. Semua hasil itu bisa diperoleh karena nikmat dari Allah, Allah yang mengadakan, Allah yang memberikan rezeki yang seharusnya membuat kita semakin bersyukur kepada-Nya.

Ada dua makna, “dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka” yaitu:
– Makanan dan buah-buahan itu mereka usahakan dan mereka tanam. Harusnya disyukuri karena Allah mudahkan kita mendapatkan hasilnya. Kata “maa” di sini bermakna isim maushul yang berarti “yang”.
– Makanan dan buah-buahan itu tidak diusahakan oleh tangan mereka begitu saja, namun Allah yang mengizinkan makanan dan buah-buahan itu ada. Kata “maa” dalam ayat punya makna nafiyah berarti “tidak”. Lihat At-Tashil li Tawil At-Tanzil Tafsir Juzu Yasin. Hlm. 60.

Ibnu Abbas dan Qatadah menyatakan bahwa semuanya itu dari rahmat Allah, bukan dari usaha, kekuatan, dan kerja keras manusia semata. Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 6:339.

Pelajaran dari Ayat:
– Kita diberikan makanan dan buah-buahan semata-mata karena karunia Allah. Karena manusia jika bersatu mengeluarkan satu biji-bijian saja, ia tentu tidak bisa tidak mampu mengeluarkannya.
– Mendapatkan makanan dan buah-buahan adalah nikmat dari Allah.
– Wajib bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.

INILAH MOZAIK

Malam Ajarkan Kita Bagaimana Hadapi Permasalahan Hidup

APA sebenarnya yang diajarkan Allah SWT pada kita lewat gelapnya malam? Bahkan Allah SWT menjadikan malam sebagai salah satu surat di Al-Qur’an. Begitu pentingnya peran malam sehingga banyak pelajaran yang bisa kita petik di dalamnya. Dan apa saja keajaiban yang terjadi pada waktu malam? Mungkin pertanyaan bisa dijawab melalui perenungan lewat tulisan ini.

Malam mengajarkan kita untuk istirahat. Agar tubuh kita kembali bugar. Agar keletihan kita terobati. Untuk bisa menenangkan pikiran dari semua permasalahan yang kita hadapi. Agar saat fajar terbit kita punya semangat untuk bangkit.

Mengapa Allah SWT mengajarkan malam menjadi waktu untuk istirahat dan berdo’a penuh harap kepadaNya.

Sungguh jika kita mau menyadari bahwa malam adalah solusi dari ujian hidup kita. Bahwa malam mengajarkan kepada kita bagaimana menghadapi permasalahan dalam hidup kita.

Istirahat malam untuk menghilangkan kejenuhan, menenangkan pikiran, dan mengobati kelelahan adalah bentuk pengajaran Allah SWT agar kita sabar. Karena semua permasalahan hidup untuk mengatasinya perlu kesabaran dan ketenangan. Bukan ketergesa-gesaan.

Adanya malam yang akan diakhiri dengan terbitnya matahari dari timur, juga mengajarkan kita bahwa sabar dengan tetap menggantungkan harapan dan terus berbuat yang terbaik akan mengantarkan kita pada solusi terhadap permasalahan hidup kita. Sabar dengan meyakini bahwa bersama kesulitan ada kemudahan, mengantarkan kita meraih kesuksesan.

Itulah yang diajarkan malam. Bahwa gelapnya malam akan segera berakhir dengan terbitnya matahari. Begitu juga dengan himpitan hidup akan segera berakhir. Ketika kita mampu sabar, syukur dan ikhlas menerimanya, sambil terus berharap bahwa semua himpitan akan berakhir dan terus berikhtiar berbuat yang terbaik untuk meraih semua impian-impian kita.

Jadi benar-lah apa yang dikatakan Allah SWT jadikan-lah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Itulah yang diajarkan malam pada kita. Senantiasa sabar penuh harap akan terbitnya fajar kesuksesan dengan tetap berusaha sebaik mungkin sambil tak lupa mengadahkan tangan meminta kepada Pemilik Alam Semesta Allah SWT. Wallahu’alam. []

Oleh : Derby Dian Utama
twitter @derbyutama

ISLAMPOS


Protes Malaikat Terhadap Penciptaan Adam?

Bagaimana penjelasan malaikat mem-protes Allah ketika hendak menciptakan Adam. Lalu dari mana Malaikat tahu bahwa manusia akan berbuat kerusakan di bumi?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Menanggapi pernyataan pertama, malaikat memprotes Allah ketika hendak menciptakan manusia.

Pernyataan ini jelas tidak benar. Malaikat tidak pernah membantah atau memprotes keputusan Allah Ta’ala. Karena mereka hamba yang selalu taat dan tidak pernah durhaka kepada Allah.

Allah berfirman,

عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Di neraka ada penunggu para malaikat yang sangat kasar dan keras, mereka tidak pernah mendurhakai perintah Allah dan mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. (QS. at-Tahrim: 6)

Lalu bagaimana dengan pertanyaan ini?

Pertanyaan ini adalah karena ingin tahu (isti’lam), bukan pertanyaan memprotes (i’tiradh). Terbukti ketika mereka diperintahkan untuk sujud, merekapun sujud, dan tidak ada yang protes.

Dr. Muhammad Utsman al-Khamis mengatakan,

هذا سؤال من الملائكة؛ وهو كما قال أهل العلم: سؤال استعلام لا سؤال اعتراض؛ بدليل أنهم لما أمرهم الله بالسجود سجدوا أجمعون فهم لا يعترضون

Ini merupakan pertanyaan malaikat, dan ini seperti yang dinyatakan para ulama, ini adalah pertanyaan isti’lam (ingin tahu), bukan pertanyaan protes (I’tiradh). Dengan dalil, ketika mereka diperintahkan untuk sujud kepada Adam, mereka semua sujud dan mereka tidak memprotes. (Fabihudahum Iqtadih, hlm. 49).

Dari Mana Malaikat Tahu?

Di bagian ini kita akan menanggapi pertanyaan kedua, dari mana malaikat tahu bahwa manusia itu akan membuat kerusakan di muka bumi dan akan saling membunuh?

Ada beberapa pendekatan yang diberikan para ulama,

[1] Mereka mengetahui hal itu dari Allah

Mereka diberi tahu oleh Allah, meskipun tidak disebutkan dalam ayat. Ini merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum, pendapat Hasan al-Bashri, Mujahid, Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Qutaibah. (Zadul Masir, Ibnul Jauzi, 1/60)

Dan ini merupakan pendapat mayoritas ahli tafsir. (Majmu’ al-Fatawa, 7/382).

Ibnul Qayim menjelaskan,

وفي هذا دلالة على أن الله قد كان أعلمهم أن بني آدم سيفسدون في الأرض ، وإلا فكيف كانوا يقولون ما لا يعلمون

Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Allah telah memberi tahu mereka, bahwa Bani Adam akan berbuat kerusakan di muka bumi. Jika tidak diberi tahu sebelumnya, bagaimana mungkin mereka berbicara yang tidak mereka ketahui. (Miftah Dar as-Sa’adah, 1/12).

[2] Analogi dengan makhluk sebelumnya

Sebelum Adam, Allah telah menciptakan jin dan meminta mereka untuk memakmurkan bumi. Lalu mereka banyak maksiat dan saling membunuh. Ketika Allah hendak menciptakan manusia, Malaikat meng-qiyaskan makhluk ini dengan makhluk sebelumnya yang sudah pernah berbuat kerusakan di muka bumi.

Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan Muqatil. (Zadul Masir, 1/61)

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

Terkait perkataan malaikat, “Apakah Engkau akan menjadikan makhluk di muka bumi yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?”

يرجِّحُ أنهم خليفة لمن سبقهم ، وأنه كان على الأرض مخلوقات قبل ذلك تسفك الدماء وتفسد فيها ، فسألت الملائكة ربها عزّ وجلّ : ( أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ) كما فعل من قبلهم

Pendapat yang lebih kuat, bahwa mereka adalah pengganti makhluk sebelumnya. Di mana, dulu ada makhluk di bumi sebelum mereka yang menumpahkan darah, dan berbuat kerusakan. Lalu malaikat bertanya kepada Rabnya, “Apakah Engkau akan menjadikan makhluk di muka bumi yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?” maksudnya, sebagaimana yang pernah dilakukan makhluk sebelumnya. (Tafsir al-Quran al-Karim, al-Baqarah: 30).

[3] Mereka memahami berdasarkan tabiat manusia

Ketika Allah mengabarkan bahwa Dia akan menciptakan manusia, malaikat memahami tabiat mereka. Dan nampaknya Syaikhul Islam memilih pendapat ini (Minhaj as-Sunnah, 6/149).

Ibnu ‘Asyur menjelaskan,

وإنما ظنوا هذا الظن بهذا المخلوق من جهة ما استشعروه من صفات هذا المخلوق المستخلف

Para malaikat memiliki dugaan seperti itu terhadap makhluk ini dari sisi, apa yang mereka duga dari sifat-sifat makhluk ini. (at-Tahrir wa at-Tanwir, 1/230).

[4] Memahami makna kata Khalifah

Kata khalifah diartikan pemimpin, yang akan mengadili semua kedzaliman yang dilakukan sesama manusia. Dari sinilah Malaikat memahami, bahwa jika manusia disebut khalifah berarti ada kedzaliman di tengah mereka. (al-Qurthubi, 1/276)

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/35839-protes-malaikat-terhadap-penciptaan-adam.html