10 Malaikat yang Wajib Diketahui Beserta Tugasnya

MALAIKAT terbuat dari cahaya atau “nur” sedangkan jin berasal dari api atau “nar”. Malaikat selalu tunduk dan taat kepada Allah sedangkan jin ada yang muslim dan ada yang kafir. Yang kafir adalah syetan dan iblis yang akan terus menggoda manusia hingga hari kiamat agar bisa menemani mereka di neraka.

Malaikat tidak memiliki hawa nafsu sebagaimana yang dipunyai jin. Jin yang jahat akan selalu senantiasa menentang dan menjalankan apa yang dilarang oleh Tuhan Allah SWT. Malaikat adalah makhluk yang baik dan tidak akan mencelakakan manusia selama berbuat kebajikan, sedangkan syetan dan iblis akan selalu mencelakakan manusia hingga hari akhir.

Maka berikut ini tugas-tugas malaikat yang wajib di ketahui oleh setiap muslim:

1. Malaikat Jibril tugasnya adalah menyampaikan wahyu Allah kepada nabi dan Rasul.

2. Malaikat Mikail tugasnya adalah memberi rizki / rejeki pada manusia.

3. Malaikat Israfil tugasnya adalah meniup terompet sangkakala di waktu hari kiamat.

4. Malaikat Izrail tugasnya adalah mencabut nyawa makhluk hidup.

5. Malikat Munkar tugasnya adalah menanyakan dan melakukan pemeriksaan pada amal perbuatan manusia di alam kubur.

6. Malaikat Nakir tugasnya adalah menanyakan dan melakukan pemeriksaan pada amal perbuatan manusia di alam kubur bersama Malaikat Munkar.

7. Malaikat Raqib / Rokib tugasnya adalah mencatat segala amal baik manusia ketika hidup.

8. Malaikat Atid / Atit tugasnya adalah mencatat segala perbuatan buruk / jahat manusia ketika hidup.

9. Malaikat Malik tugasnya adalah untuk menjaga pintu neraka.

10. Malaikat Ridwan tugasnya adalah menjaga pintu sorga / surga.

Malaikat merupakan makhluk Allah yang tunduk dan patuh terhadap perintah Allah SWT. Beda Malaikat dengan manusia adalah, kalau Malaikat tidak diberi nafsu oleh Allah sedangkan manusia diberi nafsu, maka dengan itu manusia diberi Allah kelebihan.

Bahkan apabila manusia bisa mengendalikan nafsunya maka manusia bisa lebih mulia dari pada Malaikat karena Allah menciptakan Malaikat tanpa nafsu sehingga terhindar dari segala dosa.

Akan tetapi apabila manusia tidak bisa mengendalikan nafsunya maka manusia bisa lebih hina daripada binatang, karena binatang diciptakan Allah tidak diberi pikiran. Wallahu’alam. []

SUMBER: DINULISLAMI.BLOGSPOT

ISLAMPOS

Malaikat, Makhluk yang Tidak Memiliki Anak Keturunan

Malaikat bukanlah makhluk yang memiliki jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Allah Ta’ala menjelaskan karakteristik (sifat) malaikat sebagai hamba Allah dan meniadakan anak keturunan dari malaikat. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَداً سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُونَ ؛ لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُم بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ؛ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ

“Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak.” Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka. Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya’: 26-28)

Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثاً أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ

“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban.” (QS. Az-Zukhruf: 19)

Sa’id bin Musayyib rahimahullah berkata,

الملائكة ليسوا ذكورا ولا إناثا ولا يأكلون ولا يشربون ولا يتناكحون ولا يتوالدون

“Malaikat itu tidak berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, tidak makan, dan tidak minum. Juga tidak menikah dan tidak memiliki keturunan.” (Fathul Baari, 6: 306)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فَإِنَّ الْإِنْسَ وَالْجِنَّ مُشْتَرِكُونَ مَعَ كَوْنِهِمْ أَحْيَاءً نَاطِقِينَ مَأْمُورِينَ مَنْهِيِّينَ. فَإِنَّهُمْ يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَنْكِحُونَ وَيَنْسِلُونَ وَيَغْتَذُونَ وَيَنْمُونَ بِالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ. وَهَذِهِ الْأُمُورُ مُشْتَرَكَةٌ بَيْنَهُمْ. وَهُمْ يَتَمَيَّزُونَ بِهَا عَنْ الْمَلَائِكَةِ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَأْكُلُ وَلَا تَشْرَبُ وَلَا تَنْكِحُ وَلَا تَنْسِلُ.

“Manusia dan jin itu sama dalam hal sebagai makhluk hidup yang bisa berbicara, mendapatkan perintah dan larangan. Mereka sama-sama makan, minum, menikah, memiliki keturunan, dan tumbuh dengan adanya makanan dan minuman. Ini adalah perkara yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan jin. Mereka (manusia dan jin) terbedakan dari malaikat. Karena malaikat itu tidak makan, tidak minum, tidak menikah, dan tidak memiliki anak keturunan.” (Majmu’ Al-Fataawa, 16: 192)

Keadaan malaikat yang tidak menikah, tidak memiliki keturunan, tidak memiliki jenis kelamin laki-laki atau perempuan merupakan keistimewaan yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat malaikat itu berbeda dengan hakikat jin dan manusia. Ini juga menunjukkan keagungan Allah Ta’ala yang telah menciptakan malaikat. Allah Ta’ala menciptakan makhluk-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki, dengan hakikat yang Allah Ta’ala kehendaki pula.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70007-malaikat-tidak-memiliki-keturunan.html

Apakah Iblis termasuk Golongan Malaikat ataukah Jin?

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah iblis termasuk golongan malaikat ataukah jin, menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama, iblis termasuk dalam jenis (golongan) malaikat

Pendapat pertama mengatakan bahwa iblis itu termasuk dalam golongan malaikat, namun diciptakan dari api. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas (Tafsir Ath-Thabari, 18: 39), Qatadah (Tafsir Ath-Thabari, 18: 41), Sa’id bin Musayyib (Tafsir Ath-Thabari, 1: 504), dan dipilih oleh Ath-Thabari (Tafsir Ath-Thabari, 1: 508) dan Al-Baghawi (Tafsir Al-Baghawi, 1: 82).

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’, maka bersujudlah mereka, kecuali iblis.(QS. Al-Kahfi: 50)

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah jika iblis itu bukan termasuk golongan malaikat, mereka tidak akan diperintahkan untuk bersujud. Mereka mengatakan bahwa pengecualian (istitsna’) dalam ayat ini adalah istitsna’ muttashil. Dalam istitsna’ muttashil, antara yang dikecualikan (iblis dalam ayat ini) dan yang mendapatkan pengecualian (malaikat dalam ayat ini) adalah sesuatu yang sama jenisnya.

Baca Juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan?

Pendapat kedua, iblis termasuk dalam golongan jin

Di antara yang berpendapat ini adalah Al-Hasan Al-Bashri dan Ibnu Zaid.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Iblis tidak termasuk jenis malaikat sama sekali. Karena iblis adalah nenek moyang bangsa jin sebagaimana Adam adalah nenek moyang manusia.” (Tafsir Ath-Thabari, 18: 41)

Ibnu Zaid rahimahullah berkata, “Iblis adalah bapaknya jin sebagaimana Adam adalah bapaknya manusia.” (Tafsir Ath-Thabari, 1: 507)

Pendapat ini juga dipilih dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (Majmu’ Fataawa, 4: 346).

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

Dia (iblis) adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.(QS. Al-Kahfi: 50)

Huruf fa’ dalam ayat di atas menunjukkan sebab-akibat. Maksudnya, Allah Ta’ala menjadikan iblis dari jenis jin disebabkan karena kedurhakaannya. Dengan kata lain, iblis adalah jin yang durhaka terhadap perintah Allah Ta’ala. Seandainya iblis adalah malaikat sebagaimana malaikat-malaikat lain yang bersujud kepada Adam, tentu iblis tidak akan melawan atau mendurhakai perintah Allah Ta’ala. Hal ini karena malaikat itu terjaga (ma’shum) dari perbuatan dosa, tidak sebagaimana golongan manusia dan jin.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُم بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ

Mereka (malaikat) itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.(QS. Al-Anbiya’: 27)

Mereka mengatakan bahwa pengecualian dalam surah Al-Kahfi ayat 50 di ayat termasuk dalam istitsna’ munqathi’, artinya perkara yang dikecualikan (iblis) itu berbeda jenis (golongan) dengan perkara yang mendapatkan pengecualian.

Argumentasi yang lain, Allah Ta’ala menciptakan iblis dari api yang menyala-nyala, dan tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa malaikat diciptakan dari api. Juga bahwa iblis itu memiliki anak keturunan, tidak sebagaimana malaikat.

Pendapat terkuat dalam masalah ini

Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah pendapat kedua, yaitu bahwa iblis itu termasuk golongan jin, bukan golongan malaikat. Hal ini karena golongan malaikat dan iblis itu berbeda dari beberapa sisi berikut ini:

Pertama, unsur penciptaan malaikat dan iblis itu berbeda. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

Malaikat diciptakan dari cahaya, sedangkan jin diciptakan dari api yang menyala-nyala.’(HR. Muslim no. 2996)

Allah Ta’ala berkata tentang iblis,

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

“Iblis berkata, ‘Aku lebih baik daripadanya karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.’” (QS. Shaad: 76)

Kedua, malaikat itu tidak menikah dan juga tidak memiliki keturunan. Sedangkan iblis, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa iblis memiliki keturunan. Allah Ta’ala befirman,

أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاء مِن دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ

Patutkah kamu mengambil dia dan keturunan-keturunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu?(QS. Al-Kahfi: 50)

Baca Juga: Musik Adalah Seruling Setan

Ketiga, malaikat itu tidak mendurhakai Allah Ta’ala sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Dan mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan oleh-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Adapun iblis, Allah Ta’ala kabarkan tentang mereka,

كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

Dia (iblis) adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.(QS. Al-Kahfi: 50)

Keempat, malaikat itu tidak makan dan tidak minum. Adapun iblis, mereka makan dan minum.

Kelima, pengecualian dari suatu lafaz yang bersifat umum itu berarti mengeluarkan sesuatu tersebut dari nama dan hukum yang mendapatkan pengecualian. (Lihat Al-Bahrul Muhith fi Ushuulil Fiqhi, 3: 276)

Allah Ta’ala befirman,

فَسَجَدَ الْمَلآئِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ ؛ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى أَن يَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ

Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama. Kecuali iblis, dia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu.(QS. Al-Hijr: 30-31)

Dengan dikecualikannya iblis dalam ayat di atas, berarti iblis bukan termasuk dalam golongan malaikat.

Jika ditanyakan, mengapa Allah Ta’ala memerintahkan iblis untuk sujud bersama malaikat? Maka jawabannya, iblis diperintahkan untuk sujud bersama malaikat karena iblis juga hadir pada saat perintah tersebut bersama malaikat. Sehingga iblis itu dikecualikan dalam ayat tersebut bukan karena iblis termasuk golongan malaikat, tetapi karena malaikat dan iblis sama-sama mendapatkan perintah. Bedanya, malaikat melaksanakan perintah, sedangkan iblis tidak.

Keenam, diperbolehkan adanya istitsna’ munqathi’ dengan adanya dalil. Pengecualian iblis, padahal mereka bukan dari golongan malaikat, menunjukkan bolehnya istitsna’ munqathi’. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan bahwa iblis itu bukan dari golongan malaikat sebagaimana yang telah disebutkan argumentasinya.

Ketujuh, firman Allah Ta’ala,

كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

Dia (iblis) adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.(QS. Al-Kahfi: 50)

Ayat di atas sangat jelas menunjukkan bahwa iblis itu termasuk golongan jin. Sehingga tidak boleh dibelokkan maknanya, kecuali dengan adanya dalil yang tegas dan jelas pula.

Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

“Argumentasi yang paling kuat dalam masalah ini adalah argumentasi yang mengatakan bahwa iblis itu bukan termasuk golongan malaikat. Hal ini karena firman Allah Ta’ala,

كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

Dia (iblis) adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.’ (QS. Al-Kahfi: 50)

adalah ayat paling jelas dalam masalah ini dari dalil-dalil wahyu. Dan ilmu berada di sisi Allah Ta’ala.” (Adhwaul Bayaan, 3: 290-291)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70005-apakah-iblis-termasuk-malaikat-atau-jin.html

Metode Beriman kepada Malaikat (Bag. 4)

Beriman kepada Malaikat Secara Rinci (Tafshil)

Iman kepada malaikat secara rinci (tafshil) adalah dengan mengikuti dan meyakini dalil-dalil secara terperinci berkaitan dengan malaikat, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Misalnya dengan:

Pertama, beriman dengan nama-nama malaikat yang Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan.

Kedua, beriman dengan sifat-sifat malaikat.

Ketiga, beriman dengan tugas yang diberikan kepada malaikat.

Muhammad bin Nashr Al-Maruzi rahimahullah berkata,

“Engkau beriman dengan malaikat yang Allah sebutkan namanya di dalam kitab-Nya. Dan Engkau beriman bahwa Allah menciptakan malaikat selain mereka, tidak ada yang mengetahui nama-nama dan bilangan mereka, kecuali Zat yang menciptakan mereka.” (Ta’zhim Qadr Ash-Shalat, hal. 393)

Sehingga perkara apa saja yang dalilnya telah sampai kepada kita yang berkaitan dengan malaikat, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka wajib diimani. Oleh karena itu, keimanan yang bersifat rinci (tafshil) ini dibangun di atas pengetahuan seseorang terhadap dalil Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Hal ini karena kewajiban yang melekat kepada seorang mukallaf itu hanyalah setelah datangnya dalil (hujjahsyar’iyyah. Allah Ta’ala berfirman,

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ

Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya).” (QS. Al-An’am: 19)

Allah Ta’ala berfirman,

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزاً حَكِيماً

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165)

Sehingga, manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan mereka terhadap malaikat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ilmu yang sampai kepada mereka. Siapa saja yang memiliki ilmu lebih rinci, maka keimanan dia lebih tinggi, keimanannya menjadi lebih dari yang lainnya.

Pengaruh (Dampak) dari Keimanan terhadap Malaikat

Iman terhadap malaikat itu memiliki dampak (pengaruh) pada keyakinan seorang hamba dan juga pada amal perbuatannya. Hal ini karena iman menurut aqidah ahlus sunnah itu meliputi i’tiqad (keyakinan), qaul (ucapan), dan amal perbuatan.

Pertama, dampak iman terhadap malaikat dari sisi i’tiqad

Dari sisi i’tiqad, jika seorang hamba meyakini keberadaan malaikat, bahwa mereka adalah hamba Allah yang dimuliakan, tidak bermaksiat atau mendurhakai Allah dalam perkara yang Allah perintahkan, melaksanakan perkara yang Allah perintahkan, takut kepada Allah, dan beribadah kepada-Nya. Keyakinan semacam ini akan menumbuhkan keyakinan batilnya segala bentuk peribadatan kepada selain Allah Ta’ala. Karena jika peribadatan kepada malaikat adalah batil, padahal mereka adalah makhluk yang dekat kepada Allah, maka bagaimana lagi dengan peribadatan kepada selain malaikat?

Begitu pula akan menumbuhkan rasa cinta dan loyalitas kepada mereka, serta memusuhi siapa saja yang memusuhi malaikat. Karena jika kita meyakini bahwa malaikat Jibril ‘alaihis salaam adalah malaikat yang membawa wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kita pun mencintainya dan membenci siapa saja yang membencinya.

Kedua, dampak iman terhadap malaikat dari sisi amal perbuatan

Jika seorang hamba beriman kepada malaikat, maka dia akan menjadikan malaikat sebagai teladan dalam amal dan ibadah mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

Demikian pula, jika seseorang beriman dengan buku catatan amal perbuatan manusia, maka dia akan lebih mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan ucapan maupun perbuatan (amal) anggota badan. Karena dia meyakini bahwa ada buku catatan amal yang akan mencatat semua ucapan dan perbuatannya.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Haqiqatul Malaikat karya Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shadiq An-Najarhal. 42-44. Kutipan-kutipan dalam artikel di atas adalah melalui parantaraan kitab tersebut.

Sumber: https://muslim.or.id/69548-metode-beriman-kepada-malaikat-bag-4.html

Metode Beriman kepada Malaikat (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Metode Beriman kepada Malaikat (Bag. 1)

Beriman secara keseluruhan, tanpa membeda-bedakan

Termasuk dalam iman kepada malaikat secara global (mujmal) adalah beriman kepada seluruh malaikat, tanpa membeda-bedakan, hanya beriman kepada malaikat tertentu, dan mengingkari malaikat yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 136)

Oleh karena itu, wajib beriman terhadap seluruh malaikat, tanpa membeda-bedakan satu pun di antara malaikat dalam masalah keimanan ini. Membeda-bedakan ini bisa jadi dalam masalah jumlah (kuantitas) dan bisa jadi dalam masalah sifat.

Dalam masalah jumlah (kuantitas), misalnya hanya beriman kepada sebagian malaikat saja, dan mengingkari sebagian malaikat yang lain. Yang semacam ini berarti bertentangan dengan ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, bahwa keimanan kepada malaikat itu mencakup iman kepada seluruh malaikat, tanpa membeda-bedakan.

Beberapa bentuk terlarang yang terkait dengan melekatkan sifat tertentu kepada malaikat

Beberapa bentuk terlarang yang terkait dengan melekatkan sifat tertentu kepada malaikat adalah:

Pertama, keyakinan bahwa malaikat itu memiliki hak untuk diibadahi

Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk beriman kepada malaikat, dan juga memerintahkan kita untuk tidak menjadikan malaikat sebagai Rabb yang disembah, dan melarang kita dari menjadikan mereka sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285)

Allah Ta’ala memperingatkan,

وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُواْ الْمَلاَئِكَةَ وَالنِّبِيِّيْنَ أَرْبَاباً أَيَأْمُرُكُم بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (QS. Ali ‘Imran [3]: 80)

Malaikat tidaklah memiliki sifat yang hanya khusus dimiliki oleh Allah Ta’ala, baik dalam hal uluhiyyah maupun rububiyyah. Malaikat tidak memiliki sifat rububiyyah dan uluhiyyah, yang itu khusus untuk Allah Ta’ala. Sehingga kita katakan, “Jangan sujud kepada malaikat, jangan shalat kepada malaikat, dan jangan berdoa meminta kepada malaikat.” Inilah hakikat tauhid. Dan perkataan semacam ini tidaklah menunjukkan rendahnya kedudukan malaikat atau berarti mencela mereka. Sama sekali tidak.

Kedua, keyakinan bahwa malaikat itu adalah anak perempuan Allah

Ini adalah keyakinan sebagian kaum musyrikin Arab. Ketika mereka meyakini bahwa malaikat itu berjenis perempuan, lalu mereka meyakini bahwa malaikat itu adalah anak perempuan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءاً إِنَّ الْإِنسَانَ لَكَفُورٌ مُّبِينٌ

“Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah).”

أَمِ اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَنَاتٍ وَأَصْفَاكُم بِالْبَنِينَ

“Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki-laki.”

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلاً ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ

“Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah, jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih.” (orang musyrik dulu sangat benci memiliki anak perempuan, pent.)

أَوَمَن يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.”

وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثاً أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ

“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban.”

وَقَالُوا لَوْ شَاء الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُم مَّا لَهُم بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan mereka berkata, “Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 15-20)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala menceritakan tiga perkataan mereka berkaitan dengan malaikat yang mencapai puncak kekafiran dan kedustaan. Pertama, (1) mereka menjadikan malaikat sebagai anak perempuan Allah. Sehingga (2) mereka meyakini Allah memiliki anak. Dan anak Allah itu berjenis perempuan. Kemudian (3) mereka menyembah malaikat di samping menyembah Allah. Setiap perkataan itu cukup menjadikan mereka kekal di neraka. Kemudian Allah berkata dalam rangka mengingkari keyakinan mereka,

أَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِينَ

“Apakah Tuhan memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki?” (QS. Ash-Shaaffat [37]: 153)

Maksudnya, apa yang menyebabkan Allah lebih memilih (memiliki) anak perempuan daripada anak laki-laki?” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 42)

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَأَصْفَاكُمْ رَبُّكُم بِالْبَنِينَ وَاتَّخَذَ مِنَ الْمَلآئِكَةِ إِنَاثاً إِنَّكُمْ لَتَقُولُونَ قَوْلاً عَظِيماً

“Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang Dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya).” (QS. Al-Isra’ [17]: 40)

Ath-Thabari rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala mengatakan kepada orang-orang musyrik yang membuat kebohongan atas nama Allah sebagaimana yang kami sebutkan, “Sesungguhnya kalian, wahai manusia, sungguh perkataan kalian “malaikat itu anak perempuan Allah” adalah perkataan yang amat besar (dosanya). Kalian membuat kebohongan atas nama Allah Ta’ala.” (Tafsir Ath-Thabari, 17: 453)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Haqiqatul Malaikat karya Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shadiq An-Najarhal. 35-38. Kutipan-kutipan dalam artikel di atas adalah melalui perantaraan kita tersebut.

Sumber: https://muslim.or.id/69524-metode-beriman-kepada-malaikat-bag-2.html

Metode Beriman kepada Malaikat (Bag. 1)

Iman kepada malaikat itu bisa berupa beriman secara mujmal (global) dan tafshil (rinci). Iman secara mujmal adalah kadar minimal sehingga keimanan seseorang dianggap sah. Iman secara mujmal adalah dengan meyakini wujud (keberadaan) malaikat. Sekali lagi, ini adalah kadar minimal sahnya keimanan seseorang. Sehingga siapa saja yang mengingkari hal ini, dia telah kafir.

Iman terhadap Wujud Malaikat

Adanya malaikat ini adalah sesuatu yang diyakini oleh kaum muslimin bahkan mayoritas manusia secara umum. Hanya sedikit sekali orang-orang yang mengingkari keberadaan malaikat, yaitu orang-orang yang nyeleneh dan menyimpang seperti ahlul kalam.

Kaum terdahulu yang mendustakan para Rasul, mereka meyakini keberadaan malaikat. Oleh karena itu, mereka mengatakan sebagaimana yang diceritakan oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an,

وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَأَنزَلَ مَلَائِكَةً

Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat.” (QS. Al-Mu’minuun: 24)

Sampai-sampai kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, dan juga kaum Dir’an, mereka meyakini keberadaan malaikat.

Allah Ta’ala menceritakan kaum Nuh ‘alaihis salaam,

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَوْمِهِ مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَأَنزَلَ مَلَائِكَةً مَّا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, ‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.‘” (QS. Al-Mu’minuun : 24)

Allah Ta’ala mengatakan,

فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِّثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ ؛ إِذْ جَاءتْهُمُ الرُّسُلُ مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ قَالُوا لَوْ شَاء رَبُّنَا لَأَنزَلَ مَلَائِكَةً فَإِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

Jika mereka berpaling, maka katakanlah, ‘Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan Tsamud.’ Ketika para rasul datang kepada mereka dari depan dan belakang mereka (dengan menyerukan), ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah.’ Mereka menjawab, ‘Kalau Tuhan kami menghendaki, tentu Dia akan menurunkan malaikat-malaikat-Nya, maka sesungguhnya kami kafir kepada wahyu yang kamu diutus membawanya.’” (QS. Fushshilat: 13-14)

Begitu juga Fir’aun, meskipun terang-terangan menampakkan ingkar terhadap wujud sang Pencipta (Allah Ta’ala), akan tetapi dia mengatakan,

فَلَوْلَا أُلْقِيَ عَلَيْهِ أَسْوِرَةٌ مِّن ذَهَبٍ أَوْ جَاء مَعَهُ الْمَلَائِكَةُ مُقْتَرِنِينَ

Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya?” (QS. Az-Zukhruf: 53)

Tidaklah Fir’aun mengatakan hal itu kecuali setelah dia mendengar tentang adanya malaikat. Terlepas dari dia mengakui atau menolak keberadaan mereka. (Lihat An-Nubuwwah, 1: 195)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di antara perkara yang mutawatir dari para Nabi tentang sifat malaikat adalah ilmu yang bersifat yakin tentang adanya malaikat di alam nyata (bukan khayalan).“ (Dar’u Ta’aarudh Al-‘Aql Wan Naql, 6: 109)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa dia melihat Jibril. Hal ini menunjukkan bahwa Jibril adalah malaikat yang ada di alam nyata, bisa dilihat dengan mata, dan dijangkau dengan penglihatan. Tidak sebagaimana perkataan orang-orang filsafat dan orang-orang yang mengikuti mereka bahwa malaikat itu hanya imajinasi, dan tidak bisa dilihat dengan penglihatan.

Hakikat malaikat menurut mereka adalah malaikat itu hanyalah khayalan (imajinasi, sesuatu yang abstrak) yang ada dalam benak pikiran, tidak ada wujud konkretnya. Keyakinan ini bertentangan dengan keyakinan para rasul dan pengikut rasul, dan keluar dari semua agama yang ada.

Oleh karena itu, urgensi penetapan tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Jibril (dalam bentuk aslinya) itu lebih penting daripada urgensi penetapan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Allah. Karena hal itu adalah landasan keimanan, yang iman terhadap perkara lainnya tidak bisa terwujud tanpanya. Siapa saja yang mengingkarinya, maka dia kafir.” (At-Tibyaan Fi Aqsaamil Qur’an, hal. 123)

Di antara dalil yang menunjukkan keberadaan malaikat, bahwa mereka adalah makhluk yang hidup dan bisa berbicara adalah berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ ؛ إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَاماً قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ ؛ فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاء بِعِجْلٍ سَمِينٍ ؛ فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mengucapkan, ‘Salaamun’. Ibrahim menjawab, ‘Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Adz-Dzariyaat: 24-27)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَمَّا جَاءتْ رُسُلُنَا لُوطاً سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعاً وَقَالَ هَـذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ

Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata, ‘Ini adalah hari yang amat sulit.‘”

وَجَاءهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِن قَبْلُ كَانُواْ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَـؤُلاء بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُواْ اللّهَ وَلاَ تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنكُمْ رَجُلٌ رَّشِيدٌ

Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata, ‘Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?’

قَالُواْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ

Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.’”

قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ

Luth berkata, ‘Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).‘”

قَالُواْ يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَن يَصِلُواْ إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ اللَّيْلِ وَلاَ يَلْتَفِتْ مِنكُمْ أَحَدٌ إِلاَّ امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ

Para utusan (malaikat) berkata, “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh, bukankah subuh itu sudah dekat?” (QS. Huud: 77-81)

Datangnya malaikat menemui Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, kemudian Nabi Ibrahim menghidangkan daging agar mereka memakannya, juga mengucapkan salam kepada mereka. Lalu mereka pun pergi ke Nabi Luth ‘alaihis salam, berbicara dengan Nabi Luth, dan menghancurkan kampung kaum Luth. Semua ini menunjukkan wujud (keberadaan) malaikat, dan mereka adalah makhluk yang hidup dan bisa berbicara.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Haqiqatul Malaikat karya Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shadiq An-Najarhal. 33-35. Kutipan-kutipan dalam artikel di atas adalah melalui parantaraan kitab tersebut.

Sumber: https://muslim.or.id/69520-metode-beriman-kepada-malaikat-bag-1.html

Kedudukan Iman terhadap Malaikat

Iman terhadap malaikat merupakan rukun kedua dari rukun iman. Keimanan seorang hamba tidaklah sempurna kecuali dengan beriman terhadap malaikat. Siapa yang kufur dengan malaikat, sungguh dia tersesat dengan kesesatan yang jauh. Dia juga tidak berhak disebut sebagai orang mukmin.

Allah Ta’ala telah menyebutkan bahwa rasul dan orang-orang yang beriman, mereka semua beriman kepada malaikat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami, ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285)

Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa sifat ash-shidqu (jujur dan benar dalam keimanan) itu untuk mereka yang merealisasikan keimanan terhadap malaikat. Allah Ta’ala mengatakan,

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)

Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa orang yang kufur terhadap malaikat, sungguh dia telah tersesat. Dan Allah Ta’ala menggambarkan kesesatan tersebut sebagai kesesatan yang jauh. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً

Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 136)

Semua dalil ini menunjukkan kedudukan iman terhadap malaikat. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Iman terhadap malaikat adalah salah satu pokok yang lima, yaitu rukun iman.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 836) [1]

Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala telah menetapkan iman itu adalah iman terhadap keseluruhan perkara ini. Allah Ta’ala menyebut siapa saja yang beriman terhadap keseluruhannya sebagai orang-orang mukmin. Sebagaimana Allah Ta’ala menyebut kafir kepada siapa saja yang mengingkari perkara-perkara tersebut.” (Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 297)

Kekafiran terhadap salah satu unsur rukun iman memiliki konsekuensi kekafiran terhadap rukun iman yang lainnya. Siapa saja yang ingkar kepada Allah Ta’ala, maka dia ingkar terhadap rukun iman yang lain. Siapa saja yang ingkar (tidak beriman) kepada malaikat, maka dia ingkar dengan para rasul dan kitab-kitab. Dia pun kafir kepada Allah Ta’ala, karena dia telah mendustakan kitab-kitab dan para rasul. (Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 19: 193)

Penting untuk diketahui bahwa penamaan iman terhadap malaikat dengan istilah “rukun”, adalah istilah yang ditetapkan oleh para ulama. “Rukun iman yang enam” bukanlah istilah yang secara khusus disebutkan oleh dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, istilah ini ditetapkan dalam rangka memberikan penjelasan dan kemudahan di dalam mempelajari agama ini. Dan hal ini tidaklah mengapa. [2]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/69501-kedudukan-iman-terhadap-malaikat.html

Mengapa Malaikat Selalu Taat Kepada Allah?

Di dalam Al-Quran, Allah menegaskan dalam banyak ayat bahwa para malaikat adalah para hamba-Nya yang mulia. Mereka senantiasa mengikuti perintah-Nya, selalu taat dan tidak pernah maksiat kepada-Nya. Mereka hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah.

Ini sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Anbiya’ ayat 26-27 berikut;

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمٰنُ وَلَدًا سُبْحٰنَهٗ بَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُوْنَ لَا يَسْبِقُوْنَهٗ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِاَمْرِهٖ يَعْمَلُوْنَ

Dan mereka berkataTuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak. Mahasuci Dia. Sebenarnya mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.

Juga dalam surah Al-Tahrim ayat 6, Allah berfirman sebagai berikut;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Para ulama telah menjelaskan mengenai sebab mengapa para malaikat selalu taat kepada Allah dan tidak pernah maksiat kepada-Nya. Salah satu sebabnya adalah karena para malaikat hanya dibekali akal semata, dan tidak dibekali syahwat. Para malaikat tidak memiliki syahwat sehingga tidak ada potensi di dalam diri mereka untuk bermaksiat kepada Allah.

Ini berbeda dengan manusia. Selain dibekali akal, manusia juga dibekali syahwat. Sehingga selain berpotensi melakukan taat dengan akalnya, manusia juga berpotensi melakukan maksiat dengan syahwatnya.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Thariq Al-Hijratain berikut;

فإن الله سبحانه خلق خلقَه أطواراً ، فخلق الملائكة عقولاً لا شهوات لها ولا طبيعة تتقاضى منها خلاف ما يراد من مادة نورية لا تقتضي شيئاً من الآثار والطبائع المذمومة

Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam bentuk yang bermacam-macam. Dia menciptakan malaikat dengan dibekali akal dan tidak dibekali syahwat dan watak yang memungkinkan menyelisihi maksud tujuan mereka yang diciptakan dari cahaya yang tidak mungkin memiliki tabiat-tabiat yang tercela.

Dalam kitab Majmu Al-Fatwa, Ibnu Taimiyah menyebutkan sebagai berikut;

خُلقَ للملائكة عقولٌ بلا شهوة وخُلق للبهائم شهوة بلا عقل وخُلق للإنسان عقل وشهوة فمَن غلب عقلُه شهوتَه : فهو خير من الملائكة ومَن غلبت شهوتُه عقلَه : فالبهائم خير منه

Diciptakan untuk malaikat akal tanpa syahwat, dan diciptakan untuk hewan syahwat tanpa akal, serta diciptakan untuk manusia akal dan syahwat. Siapa saja yang mendayagunakan akalnya dibanding syahwatnya, maka dia lebih baik dari malaikat, dan siapa saja yang mendayagunakan syahwatnya dibanding akalnya, maka hewan lebih baik darinya.

BINCANG SYARIAH

Mengapa Allah Menciptakan Malaikat?

Di antara makhluk ciptaan Allah yang wajib diimani keberadaannya adalah para malaikat. Malaikat adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dari cahaya, tidak makan dan tidak minum, dan mereka senantiasa taat melakukan segala yang diperintahkan oleh kepada mereka. Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, setidaknya ada tiga alasan mengapa Allah menciptakan para malaikat ini.

Di antara tujuan mengapa Allah menciptakan malaikat itu pertama, untuk beribadah kepada Allah, bersujud dan bertasbih kepada-Nya, dan mengagungkan-Nya. Ini sebagaimana disebutkan dalam surah Al-A’raf ayat 206 berikut;

اِنَّ الَّذِيْنَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهٖ وَيُسَبِّحُوْنَهٗ وَلَهٗ يَسْجُدُوْنَ

Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud.
Kedua, menjalankan perintah Allah untuk mengurus makhluk-makhluk-Nya. Misalnya, malaikat Hamalatul ‘Arsy yang bertugas memikul ‘Arsy. Jumlah malaikat Hamalatul ‘Arsy adalah delapan. Ini sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Haqqah ayat 17 berikut;

وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚوَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas mereka.

Selain malaikat Hamalatul ‘Arsy, terdapat beberapa malaikat yang mendapatkan tugas mengurus makhluk-makhluk Allah yang lain. Misalnya, Malaikat Ridhwan yang bertugas menjaga surga, Malaikat Malik yang bertugas menjaga neraka, dan lainnya.

Ketiga, menjalankan perintah Allah untuk mengurus manusia secara khusus. Misalnya, Malaikat Maut yang bertugas mencabut ruh manusia, Malaikat Rokib dan Atid yang bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia, dan para malaikat yang bertugas mendoakan ampunan untuk orang-orang beriman.

Para malaikat yang bertugas mendoakan ampunan atas orang-orang beriman sebagaimana disebutkan dalam surah Ghafir ayat 7 berikut;

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

Para malaikat yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhan mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan); Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.

BINCANG SYARIAH

Ketika Malaikat Ingin Tahu Hikmah Penciptaan Nabi Adam

Allah SWT mengabarkan kepada para malaikat dengan berbicara langsung kepada mereka untuk menarik perhatian mereka, bahwa Allah akan menciptakan Adam dan keturunannya. Penyampaian kabar itu dengan cara seperti penyampaian akan adanya perkara besar sebelum kejadiannya.

Kabar tersebut membuat para malaikat ingin tahu hikmah penciptaan Adam sehingga mereka bertanya kepada Allah SWT.

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam bukunya Al-Bidayah Wan-Nihayah yang diringkas Ahmad Al Khani menerangkan, para malaikat bertanya tentang hikmah penciptaan Adam, tujuannya ingin mengetahui lebih banyak tentang hikmah penciptaan Adam.

Dalam hal ini para malaikat bertanya kepada Allah bukan sebagai tanda sikap anti, merendahkan atau rasa dengki kepada bani Adam.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 30)

Dalam buku Al-Bidayah Wan-Nihayah dijelaskan, hikmah yang paling jelas dari penciptaan bani Adam adalah sesuatu yang tidak diketahui malaikat. Maksud dari hikmah yang tidak diketahui itu adalah, di antara bani Adam akan ada para Nabi, para Rasul, orang-orang jujur, dan para syuhada.

Kemudian Allah menjelaskan kepada para malaikat tentang kehormatan Adam di atas kehormatan mereka. Karena ilmu yang dimiliki Adam.

Dan Dia (Allah) ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar.” (QS Al-Baqarah: 31)

Mengenai hal ini, Ibnu Abbas mengatakan, nama-nama tersebut adalah nama-nama yang biasa diketahui oleh manusia. Adam memiliki empat macam kehormatan. Pertama, dia diciptakan langsung dengan tangan Allah yang mulia. Kedua, ditiupkan kepadanya ruh-Nya. Ketiga, perintah Allah kepada para malaikat untuk sujud kepadanya. Keempat, Adam diajari berbagai nama benda.

IHRAM