Mengapa Rumah Ibadah Islam Disebut Masjid? Ini Asal-usulnya

Rumah Ibadah Islam disebut masjid karena tempat bersujud.

REPUBLIKA.CO.ID, Berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat sujud. Masjid merupakan suatu bangunan gedung atau lingkungan yang berpagar sekeliling, yang didirikan secara khusus sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT, khususnya untuk mengerjakan shalat. Istilah masjid berasal dari kata sajada-yasjudu yang berarti bersujud atau menyembah. 

Kata masjid merupakan bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan jama’ (banyak) masaajid banyak terdapat dalam Alquran, antara lain dalam ayat berikut ini: ”Hai Anak Adam pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid…” (QS al-A’raaf [7]: 31).

Dalam ayat lainnya, Allah SWT berfirman yang artinya, ”Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah…” (QS at-Taubah [9]: 18).

Mengutip Ensiklopedi Islam, sejarah perkembangan bangunan masjid erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam dan pembangunan kota-kota baru. Pada masa permulaan perkembangan Islam ke berbagai negeri, bila umat Islam menetap di suatu daerah baru, maka salah satu sarana untuk kepentingan umum yang mereka buat adalah masjid.

Masjid merupakan salah satu karya budaya umat di bidang teknologi konstruksi yang telah dirintis sejak masa permulaannya. Ini lantas menjadi ciri khas dari suatu negeri atau kota Islam. Perwujudan bangunan masjid juga merupakan lambang dan cermin kecintaan umat Islam kepada Tuhannya dan menjadi bukti tingkat perkembangan kebudayaan Islam.

Bangunan-bangunan masjid yang menakjubkan keindahannya di bumi Spanyol, Suriah, Kairo, Baghdad, dan sejumlah tempat di Afrika, menjadi bukti peninggalan monumental umat Islam yang pernah mengalami kejayaan di bidang teknologi konstruksi, seni, dan ekonomi.

Masjid memiliki sejumlah komponen yaitu kubah, menara, mihrab dan mimbar. Adapun komponen masjid yang khas terdapat di Indonesia adalah beduk. Selain digunakan untuk tempat melaksanakan shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Tarawih dan ibadah-ibadah lainnya, masjid juga digunakan untuk kegiatan syiar Islam, pendidikan agama, pengajian dan kegiatan lainnya yang bersifat sosial.

Fungsi masjid yang sesungguhnya dapat dirujuk pada sejarah masjid paling awal, yaitu penggunaan masjid pada masa-masa al-khulafaa-ar Rasyidun dan seterusnya. Pada masa-masa itu masjid paling tidak mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi keagamaan dan fungsi sosial. Fungsi masjid bukan hanya tempat salat, tapi juga lembaga untuk mempererat hubungan dan ikatan jamaah Islam yang baru tumbuh.

Rasulullah mempergunakan masjid sebagai tempat untuk menjelaskan wahyu yang diterimanya, memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat tentang berbagai masalah, memberi fatwa, mengajarkan agama Islam, membudayakan musyawarah, menyelesaikan perkara-perkara dan perselisihan-perselisihan, tempat mengatur dan membuat strategi militer dan tempat menerima perutusan-perutusan dari Semenanjung Arabia.    

Karena masjid adalah Baitullah (rumah Allah), maka orang yang memasukinya disunahkan mengerjakan salat Tahiyyatul Masjid (menghormati masjid dua rakaat). Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Jika salah seorang kamu memasuki masjid, jangan dulu duduk sebelum mengerjakan salat dua rakaat.” (HR Abu Dawud).

Karena masjid adalah Baitullah (rumah Allah), maka orang yang memasukinya disunahkan mengerjakan salat Tahiyyatul Masjid (menghormati masjid dua rakaat). Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Jika salah seorang kamu memasuki masjid, jangan dulu duduk sebelum mengerjakan salat dua rakaat.” (HR Abu Dawud).

KHAZANAH REPUBLIKA

Hadirkan Perasaan Ini Ketika Sholat, Membantu Anda Lebih Khusyuk

Kekhusyukan saat mengerjakan sholat, adalah dambaan setiap insan mukmin. Kyusu’ dalam sholat, memancarkan kedamaian jiwa dan ketenangan hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جعلت قُرَّة عَيْني فِي الصَّلَاة

Dijadikan sesuatu yang paling menyenangkan hatiku ada pada saat mengerjakan shalat” (HR. An-Nasaa`i dan Ahmad dan selain keduanya. Hadits shahih).

Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala menyebutkan khusyuk adalah tanda orang-orang beriman, calon penghuni surga Firdaus.

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُون.. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُون

“َSesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya” (QS. Al Mukminun : 1-2)

Lalu Allah berfirman,

أُولَٰئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ.. الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. Yakni yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (QS. Al Mukminun : 11-12)

Khusyuk menurut para ulama adalah ketenangan hati dan jiwa saat melakukan sholat. Artinya, hatinya tenang tanpa memikirkan sesuatu yang diluar daripada sholat. Lalu ketenangan hati tersebut, terpancar pada anggota badan, sehingga melahirkan sikap yang tenang pula.

Untuk membuatmu merasakan nikmat agung ini, pertama adalah berdoalah memohon kepada Allah taufik, agar Allah mengaruniakan kepada kita, kekhusyukan shalat.

Kemudian hadirkan perasaan dalam hati, bahwa saat anda mengerjakan sholat, anda sedang berdiri di hadapan Allah ‘azza wa jalla. Tuhan seluruh alam. Yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi dan yang nampak. Mengetahui bisikan-bisikan dalam jiwamu.

Saat anda berdiri sholat, yakinilah bahwa saat itu anda sedang bermunajat kepada Allah ‘azza wa jalla. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ

Sesungguhnya salah seorang di antara kalian apabila berdiri dalam shalatnya, maka ia sedang bermunajat dengan Rabbnya – atau Rabbnya berada antara dia dan kiblat – . Maka, janganlah salah seorang di antara kalian meludah ke arah kiblat. Akan tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kemudian saat anda membaca surat Al Fatihah, yakinilah bahwa saat itu anda sedang berdialog dengan tuhan anda. Sebagaimana diterangkan dalam hadis Qudsi,

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Allah berfirman, “Aku membagi shalat antara Aku dengan hambaKu, & hambaku mendapatkan sesuatu yang dia pinta“.

Yang dimaksud “sholat” pada hadis ini adalah bacaan surat Al Fatihah. Disebut sholat karena membaca surat Al Fatihah adalah rukun sholat. Tidak sah sholat seseorang tanpa membacanya (Shifatus Sholah, Syaikh Ibnu ‘ Ustaimin, hal. 176).

Allah melanjutkan firmanNya,

فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } قَالَ: حَمِدَنِي عَبْدِي

Bila hambaKu membaca “Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin” (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam), Allah menjawab, “HambaKu memujiKu”“.

Bayangkan, saat anda membaca “Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin” Tuhanmu dari atas langit ke tujuh menjawab, “HambaKu memujiKu

وَإِذَا قَالَ: { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ: { مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ: { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

“Jika hamba tersebut mengucapkan, “Arrahmaanirrahiim.” (Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang) Ku-jawab, “HambaKu memujiKu lagi”

Jika hamba-Ku mengatakan: “Maaliki yaumiddiin ” (Penguasa di hari pembalasan), Ku-jawab, “Hamba-Ku menyanjung-Ku.”

Dia juga berfirman, “HambaKu menyerahkan urusannya kepadaKu.”

Jika hamba-Ku mengatakan: “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin” (hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong). Ku-jawab,” Inilah batas antara Aku dan hamba-Ku, dan baginya apa yang dia minta…”

Jika hamba-Ku mengatakan: “Indinas Shiraatal mustaqiim. Shiraatal ladziina an-‘amta ‘alaihim ghairil mafhdhuubi ‘alaihim waladh dhzaalliiin..” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat. Bukan jalan orang-orang yang Kau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat), Ku-jawab, “Inilah bagian hamba-Ku, dan baginya apa yang dia minta.” (HR. Muslim no. 598).

Maka sholat adalah saat-saat dimana seorang hamba berinteraksi dengan Rabbnya. Dan tidak didapati keutamaan semacam ini dalam ibadah-ibadah lain kecuali dalam sholat. Yaitu keadaan di mana Tuhanmu menjawab setiap bacaan Alfatihah mu: Hamba-Ku memuji-Ku… HambaKu menyanjung-Ku.

Pesan semacam ini bila kita hadirkan dalam hati kita ketika sholat, sungguh akan sangat membantu untuk khusyu. Akantetapi kita sering lalai -semoga Allah mengampuni kita-. Sehingga bacaan Al Fatihah, seperti lalu begitu saja. Tidak ada perasaan bahwa saat itu Robb semesta alam sedang menjawab setiap bacaannya.

Para salafussholih dahulu, merasa bahwa sholat begitu agung di mata mereka. Karena saat sholat lah, Allah ‘azza wa jalla berinteraksi dengan hambaNya. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi rahimahullah, bahwa Ali bin Husen rahimahullah, bila wajah beliau berubah menjadi pucat. Kerabatnya lantas menanyakan hal ini kepadanya, “Apa yang membuat wajahmu berubah seperti ini ketika berwudhu?” Beliau menjawab,”

أتدرون بين يدي من أقوام؟

Tahukah kamu! Di hadapan siapa saya akan berdiri..?!

Kemudian ketika sujud, adalah saat-saat dimana seorang hamba begitu dekat dengan Tuhannya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Keadaan paling dekat seorang hamba dari Rabbnya adalah ketika dia sujud. Maka perbanyaklah doa (saat sujud)” (HR. Muslim).

Ini menunjukkan bahwa saat sholat adalah keadaan yang begitu dekat antara hamba dengan tuhannya. Saat berdiri, adalah keadaan dia bermunajat dengan tuhannya. Kemudian saat sujud adalah keadaan terdekat antara dia dengan penciptanya. Maka cukuplah ini sebagai alasan untuk menghadirkan rasa khusyuk anda, saat sholat.

***

Penulis : Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27291-hadirkan-perasaan-ini-ketika-sholat-membantu-anda-lebih-khusyuk.html

Jangan Sampai Kecopetan Shalat

Resah karena Kecopetan

Kecopetan adalah salah satu kejadian tidak mengenakkan yang barangkali pernah kita alami. Akibatnya kita bisa sedih berhari-hari. Apalagi bila benda yang dicopet adalah sesuatu yang berharga, semisal perhiasan atau HP. Kesedihan itu wajar dan manusiawi.

Namun yang tidak wajar adalah manakala kita kecopetan sesuatu yang lebih berharga dibanding perhiasan, lalu perasaan kita biasa-biasa saja. Seakan tidak ada kejadian apa-apa. Sesuatu yang amat berharga itu adalah shalat.

Tengak-Tengok saat Shalat

Mari kita menyimak hadits berikut ini,

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ الاِلْتِفَاتِ فِي الصَّلاَةِ، فَقَالَ: “هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ”.

Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang tolah-toleh saat shalat”. Beliau menjawab, “Itu adalah sesuatu yang dicopet setan dari shalat seorang hamba”. HR. Bukhari.

Tengak-tengok saat shalat itu terbagi menjadi dua jenis.

  1. Tengak-tengok pandangan mata.
  2. Tengak-tengok hati. Alias memikirkan selain Allah ta’ala dalam shalat.

Rendah Etika saat Shalat

Saat kita shalat, Allah ta’ala memperhatikan kita, mendengarkan bacaan kita, melihat gerakan kita, bahkan menyimak dan merespon ayat-ayat yang kita baca. Dalam kondisi sedemikian sakralnya, pantaskah kita bersikap tidak fokus dan malah tolah-toleh? Di manakah etika kita kepada Allah? 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan,

“لاَ يَزَالُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُقْبِلاً عَلَى الْعَبْدِ وَهُوَ فِي صَلاَتِهِ، مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، فَإِذَا الْتَفَتَ انْصَرَفَ عَنْهُ”.

 “Allah senantiasa memperhatikan hamba-Nya saat shalat, selama ia tidak menoleh. Bila ia menoleh, maka Allah akan meninggalkannya”. HR. Abu Dawud dari Abu Dzar _radhiyallahu ‘anhu_ dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah serta adz-Dhahabiy.

Tips Fokus dalam Shalat

Tidak mudah memang untuk menjaga kekhusyu’an dalam shalat. Namun semoga berbagai tips berikut bisa membantu kita untuk lebih konsentrasi saat menjalankan ibadah mulia ini:

  1. Mengikhlaskan niat semata karena Allah ta’ala.
  2. Menghadirkan di dalam hati keagungan Allah ta’ala.
  3. Membayangkan bahwa Allah ta’ala memperhatikan shalat kita.
  4. Berupaya menyempurnakan tata cara shalatnya
  5. Berusaha memahami dan meresapi bacaan shalat.
  6. Menjauhkan gambar, suara atau hal lain yang bisa mengganggu konsentrasi dalam shalat
  7. Tidak tolah-toleh pandangan mata ataupun hati ketika shalat.
  8. Mengingat mati saat shalat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menasehatkan,

“اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلاتِكَ، فَإِنَّ الرَّجُلَ إذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ، وَصَلِّ صَلَاةَ رَجُلٍ لَا يَظُنُّ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةً غَيْرَهَا، وَإِيَّاكَ وَكُلَّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ مِنْهُ “.

“Ingatlah mati dalam shalatmu. Seseorang jika mengingat mati; sungguh ia akan lebih mudah meningkatkan kualitas shalatnya. Laksanakanlah shalat seakan itu adalah shalat terakhirmu. Jauhilah hal-hal yang akan mengakibatkanmu menyesal”. HR. Ad-Dailamiy dan dinilai hasan Ibn Hajar al-Asqalaniy serta al-Albaniy.

  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Jum’at, 26 Shafar 1441 / 25 Oktober 2019

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen Lc. MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52504-kecopetan-shalat.html

Hukum Adopsi Anak dalam Islam (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Adopsi Anak dalam Islam (Bag. 1)

Haram Adopsi Anak Ala Jahiliyyah

Dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا، وَلَا عَدْلًا

“Siapa saja yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah.” (HR Muslim no. 3314 dan 3373)

Diriwayatkan dari sahabat Sa’ad bin Abu Waqqash, beliau berkata, “Kedua telingaku mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

مَنِ ادَّعَى أَبًا فِي الْإِسْلَامِ غَيْرَ أَبِيهِ، يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barangsiapa dalam Islam mengklaim orang lain sebagai bapaknya, padahal dia bukan bapaknya, dan dia juga mengetahui bahwa dia bukan bapaknya, maka surga menjadi haram baginya.” (HR. Bukhari no. 6766 dan Muslim no. 63. Lafadz hadits ini milik Muslim.)

Juga terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعَى مَا ليْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا، وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Tidaklah seorang laki-laki yang mengklaim orang lain sebagai bapaknya, padahal ia telah mengetahuinya (bahwa dia bukan bapaknya), maka ia telah kafir. Barangsiapa mengaku sesuatu yang bukan miliknya, maka ia bukan dari golongan kami, dan hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka.” (HR. Muslim no. 61)

Berkaitan dengan lafadz hadits di atas “maka dia telah kafir”, maka terdapat dua penjelasan ulama berkaitan dengan masalah ini. Hal ini mengingat bahwa mengklaim orang lain sebagai bapaknya adalah perbuatan maksiat, bukan perbuatan kekafiran. 

Penjelasan pertama, maksud dari “dia telah kafir” adalah benar-benar kafir, namun ini khusus bagi mereka yang menganggap halal perbuatan tersebut. Kaidah umum dalam masalah ini adalah perbuatan maksiat, akan tetap bernilai maksiat, selama pelakunya meyakini bahwa itu maksiat atau perbuatan dosa. Hal itu ditandai dengan adanya perasaan bersalah dari diri pelakunya. Adapun jika seseorang menganggap bahwa sah-sah saja melakukan perbuatan maksiat, atau meyakini bahwa itu adalah bagian dari hak asasi manusia (sehingga boleh-boleh saja melakukannya), maksiat tersebut berubah menjadi perbuatan kekafiran.

Penjelasan ke dua, yang dimaksud “dia telah kafir” adalah kufur nikmat, bukan kafir yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Hal ini karena dia telah menutupi jasa dan kebaikan ayah kandungnya sendiri yang memiliki peran lahirnya dia ke dunia, bukan ayah angkatnya tersebut. Karena anak tersebut tidak mengakui ayahnya sendiri. 

Kalau kita memaknai hadits di atas dengan penjelasan ke dua (yaitu kufur nikmat), maka ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para perempuan. 

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأُرِيتُ النَّارَ، فَلَمْ أَرَ مَنْظَرًا كَاليَوْمِ قَطُّ أَفْظَعَ، وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ

“Diperlihatkan kepadaku neraka, dan aku tidaklah melihat pemandangan yang lebih mengerikan pada hari itu. Aku melihat mayoritas penghuninya adalah para wanita.”

Para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apa sebabnya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

بِكُفْرِهِنَّ

“Dengan sebab kekafirannya.”

Para sahabat bertanya lagi, “Karena kekafiran mereka terhadap Allah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ كُلَّهُ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Karena mereka mengingkari (kebaikan) suami, mereka mengingkari kebaikan (orang lain). Jika Engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka bertahun-tahun lamanya, kemudian mereka melihat darimu sesuatu (satu kesalahan), maka mereka mengatakan, ‘Tidaklah aku melihat satu kebaikan pun darimu sama sekali.’” (HR. Bukhari no. 1052 dan Muslim no. 907)

Dalam hadits di atas, maksud dari perempuan melakukan kekafiran adalah karena mengingkari atau menutupi kebaikan suaminya.

Baca Juga:

Menisbatkan pada Kakek atau Buyutnya

Diperbolehkan bagi seseorang untuk menisbatkan diri kepada kakek atau buyutnya tanpa ada maksud mengingkari ayah kandungnya. 

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn rahimahullah mengatakan,

“Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya, buyutnya, dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari ayah kandungnya sendiri, maka hal ini tidak mengapa. Hal ini sebagaimana perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أنا ابن عبد المطلب أنا النبي ولا كذب

“Aku adalah anak ‘Abdul Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu bukan suatu kedustaan.” [1]

Padahal nama beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil-Muththalib. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal ini pada perang Hunain, karena kakeknya (yaitu ‘Abdul Muththalib, pen.) lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada ayahnya (yaitu ‘Abdullah, pen.).” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1: 2173)

Kesimpulan dan Penutup

Kesimpulan, hadits-hadits di atas menunjukkan haramnya adopsi anak, bahkan adopsi anak termasuk perbuatan dosa besar. Karena anak yang diadopsi, dan dia tahu bahwa ayahnya itu sekedar ayah angkat, namun dia berkeyakinan bahwa dia betul-betul sebagai ayahnya, karena diperkuat pengadilan manusia (baca: akte lahir) bahwa anak ini adalah anaknya dan orang itu adalah ayahnya, maka anak tersebut telah terjerumus ke dalam maksiat. Demikian pula bagi sang ayah angkat.

Oleh karena itu, kami nasihatkan kepada diri sendiri dan juga kepada para pembaca untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam masalah ini. Bisa jadi, ketika Allah Ta’ala tidak mengkaruniakan anak kepada sebagian kita, hal itu karena Allah Ta’ala hendak menjauhkan kita dari keburukan. Di sisi lain, Allah Ta’ala hendak menguji kita untuk tetap menerima takdir dan hikmah Allah Ta’ala. 

Namun, perlu dicatat bahwa haramnya adopsi bukan berarti kita bersikap acuh dan cuek dengan anak-anak yatim atau anak terlantar. Kewajiban kita dan juga pemerintah kaum muslimin adalah memelihara, mendidik, dan mengurusi mereka agar tidak terlantar, sehingga pada akhirnya akan mendorong anak-anak tersebut untuk berbuat tidak baik atau bahkan berbuat kriminal. Juga mendidik anak-anak yatim dan terlantar tersebut dengan pendidikan Islam yang benar, sehingga mereka mengenal agamanya. Bahkan, amal ini adalah amal yang mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim berada di surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah.” (HR. Bukhari no. 6005)

Akan tetapi, hal itu (mengurus anak yatim) tidak boleh sampai melampaui batas sehingga terjatuh dalam hal-hal yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan. 

[Selesai]

***

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52465-hukum-adopsi-anak-dalam-islam-bag-2.html

Menikahi Wanita Ahlul Kitab Yahudi Nasrani, Masih Relevan?

Ulama berbeda pendapat terkait relevansi ahlul kitab.

Diskusi tentang hukum menikah beda agama yaitu ahlul kitab, dalam konteks ini, masih saja tetap hangat.  

Direktur Rumah Fikih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat, menjelaskan mayoritas ulama telah bersepakat tentang kebolehan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab. Karena, hal itu merupakan ketentuan langsung dari Allah SWT serta ditegaskan di dalam kitab-Nya yang abadi, Alquran.

Dia menjelaskan nas  yang ada dalam Alquran menyebutkan dengan jelas bahwa halal bagi laki-laki Muslim menikahi wanita ahli kitab. Dan semua ulama sepakat bahwa laki-laki muslim dihalalkan untuk menikahi wanita ahli kitab.

Dalam Alquran Allah SWT berfirman, yang artinya:  “Dan dihalalkan (mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.”  (QS al-Maidah: 5)

Para ulama juga sepakat bahwa kehalalan menikahi wanita ahli kitab ini berlaku bukan hanya pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat saja, melainkan berlaku juga hingga pada masa berikutnya, sampai hari ini dan juga sampai selesainya alam semesta nanti.

Maka para ulama sepakat bahwa kehalalan menikahi wanita kitabiyah itu berlaku untuk terus menerus tdak terbatas pada  kurun waktu tertentu. Namun, menurut Ustaz Sarwat, yang jadi titik perbedaan pendapat adalah dalam menetapkan ke-ahli-kitab-an para wanita.

“Cuma masalahnya wanita Kristen di kampung kita sekarang ini dia bisa dianggap ahli kitab atau tidak? Itu aja yang jadi masalah. Kalau masa Nabi SAW tidak usah dipertanyakan, karena riil-nya memang seperti itu,” kata Ustaz Sarwat.

Sosok yang dikenal kepakarannya dalam bidang fikih ini menjelaskan, para ulama zaman sekarang berbeda pendapat dalam hal ketetapan seorang ahli kitab tersebut. Sebagian menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wanita ahli kitab hanya terbatas pada kalangan tertentu, sedangkan sebagian lainnya meluaskan maknanya.

Bagi pendapat yang membatasi, menurut dia, mereka berpendapat bahwa ahli kitab sudah tidak ada lagi di masa sekarang.  Atau dengan kata lain, orang-orang yahudi dan nasrani yang dikenal sekarang ini, bukan termasuk dalam kategori ahli kitab sebagaimana yang dimaksud di dalam surah al-Maidah ayat 5 di atas.

“Ulama zaman sekarang beda-beda pendapat. Ada yang bilang  bisa dianggap ahli kitab, ada yang bilang tidak. Kalau di Indonesia rata-rata bilang tidak, Kristen itu bukan ahli kitab,” jelas Ustaz Sarwat. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Sunnah Membantu Istri di Rumah

Salah satu sunnah yang mungkin mulai ditinggalkan para suami adalah membantu istri dan pekerjaannya di rumah, semoga para suami bisa menerapkan sunnah ini walaupun hanya sedikit saja. Beberapa suami bisa jadi cuek terhadap pekerjaan istri di rumahnya apalagi istri pekerjaannya sangat banyak dan anak-anak juga banyak yang harus diurus dan dididik.

Merupakan kebiasaan dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membantu pekerjaan istrinya di rumah.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat” (HR Bukhari).

Hal ini merupakan sifat tawaadhu’ (rendah hati) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencontohkannya pada manusia, padahal beliau adalah seorang pimpinan dan qadhi tertinggi kaum muslimin. Bisa jadi ada suami yang merasa diri menjadi rendah jika melakukan perbuatan dan pekerjaan rumah tangga karena ia adalah orang besar dan berkedudukan bahkan bos di tempat kerjanya.

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini,

من أخلاق الأنبياء التواضع ، والبعد عن التنعم ، وامتهان النفس ليستن بهم ولئلا يخلدوا إلى الرفاهية المذمومة

Di antara akhlak mulia para nabi adalah tawaadhu’ dan sangat jauh dari suka bersenang-senang (bermewah-mewah) dan melatih diri untuk hal ini, agar mereka tidak terus-menerus berada pada kemewahan yang tercela (mewah tidak tercela secara mutlak).” (Fathul Bari kitab adab hal. 472)

Membantu istri bisa dilakukan dengan pekerjaan sederhana, terkadang membantu hal yang sederhana saja sudah membuat senang dan bahagia para istri, semisal menyapu emperan saja, mencuci piring dan lain-lainnya.

Dalam hadits lainnya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan hal-hal sederhana untuk membantu istri-istri beliau semisal mengangkat ember dan menjahit bajunya.

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember” (HR Ibnu Hibban).

Ini adalah bentuk muamalah yang baik kepada istri dan diperintahkan dalam AL-Quran.

Allah berfirman,

وعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْف

Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang ma’ruf” (QS An Nisaa’:19)

Dan firman Allah Ta’ala,

وَلَهٌنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْف

Dan hak mereka semisal kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS Al Baqarah: 228)

Berbuat baik pada istri merupakan bentuk akhlak sebenarnya (akhlak asli) seorang suami. Istri merupakan “bawahan suami” dan seseorang akan mudah melampiaskan akhlak buruknya ketika menghadapi orang yang derajat/jabatannya di bawahnya. Oleh karena itu, sebaik-baik akhlak seseorang adalah yang paling baik terhadap istrinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

‘Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya (HR At-Tirmidzi As-Shahihah no 284).

Seorang suami di rumah bersama istri dan keluarganya tidak boleh gengsinya tinggi dan kasar, tetapi harus ramah dan berlapang-lapang dengan keluarga dan istrinya.

Dari Tsabit bin Ubaid radhiallahu ‘anhu berkata,

عن ثابت بن عبيد رحمه الله قال : مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَجَلَّ إِذَا جَلَسَ مَعَ الْقَوْمِ ، وَلاَ أَفْكَهَ فِي بَيْتِهِ ، مِنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِت

Aku belum pernah melihat seorang yang demikian berwibawa saat duduk bersama kawan-kawan namun demikian akrab dan kocak saat berada di rumah melebihi Zaid bin Tsabit” (Al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari no 286).

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/39376-sunnah-membantu-istri-di-rumah.html

Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 1)

Peran Suami dalam Rumah Tangga

Setiap rumah tangga membutuhkan pemimpin yang mengatur dan mengelola urusan rumah tangga, demikian juga menjaga dan memperhatikan kondisi anggota keluarga. Pemimpin ini haruslah didengar, dipatuhi, dan ditaati selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah Ta’ala. 

Pemimpin dalam rumah tangga ini adalah laki-laki (suami). Dan yang mengangkat laki-laki sebagi pemimpin adalah Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34) 

Mengapa Suami Dijadikan Pemimpin?

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala sebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan Allah Ta’ala sebutkan sebabnya. 

Keutamaan Laki-Laki Lebih dari Wanita

Sebab pertama yang Allah Ta’a sebutkan adalah karena Allah telah memberikan keutamaan pada laki-laki lebih dari wanita. Misalnya, dari sisi penciptaan, laki-laki secara umum memiliki kekuatan fisik melebihi wanita. Laki-laki mampu melakukan berbagai pekerjaan berat yang tidak mampu dikerjakan oleh wanita. 

Laki-laki diberi kelebihan akal oleh Allah Ta’ala. Yang dimaksud dengan “kelebihan dari sisi akal” di sini adalah laki-laki mampu berpikir jernih tentang tindakan yang terbaik, mampu berpikir panjang dan jauh ke depan, sehingga lebih hati-hati dan lebih tepat dalam mengambil keputusan. Demikian pula kesabaran yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. 

Sehingga kenabian itu hanya Allah Ta’ala khususkan bagi kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Kami tidaklah mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7)

Dalam masalah kepemimpinan, syariat menetapkan kepemimpinan itu pada laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. Bukhari no. 4425)

Dalam masalah fiqh persaksian, Allah Ta’ala jadikan persaksian seorang laki-laki setara dengan persaksian dua orang perempuan. Dalam masalah fiqh waris, Allah Ta’ala jadikan bagian untuk wanita itu separuh bagian kaum laki-laki. 

Dalam masalah pernikahan, seorang laki-laki boleh menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Namun, seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami saja di satu waktu, tidak boleh lebih. Dalam masalah perceraian (thalaq), Allah Ta’ala jadikan hak thalaq dan ruju’ itu bagi kaum laki-laki (suami), tidak bagi kaum wanita (istri). Dalam masalah nasab, seorang anak itu dinasabkan (di-“bin”-kan) kepada bapaknya, kecuali dalam sedikit kasus saja yang dinasabkan kepada sang ibu. 

Dalam syariat jihad, Allah Ta’ala jadikan kewajiban berjihad itu bagi kaum laki-laki, bukan kaum wanita. Demikian pula, mayoritas masalah berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar itu berkaitan dengan laki-laki, dan bukan wanita. Meskipun boleh dalam sebagian kasus, seorang wanita melakukan nahi mungkar selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. 

Maka hal ini menunjukkan bahwa “jenis” laki-laki Allah Ta’ala berikan keutamaan lebih dari jenis wanita. Hal ini sebagaimana dikuatkan pula oleh firman Allah Ta’ala,

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228) 

Penanggung Jawab Nafkah Istri dan Keluarga

Sebab ke dua Allah Ta’ala menjadikan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah karena kaum laki-laki (suami) adalah penanggung jawab terhadap nafkah istri dan keluarga. Sejak akad nikah, suami wajib memberikan nafkah untuk sang istri, di samping mahar yang telah diberikan. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri berkaitan dengan kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal (rumah). Oleh karena itu, dalam sebagian harta yang dimiliki suami terdapat hak bagi sang istri. Namun tidak sebaliknya, harta istri adalah milik istri, kecuali istri memberikan kerelaan berupa sedekah kepada sang suami.

Karena sebab kepemimpinan laki-laki adalah nafkah kepada sang istri, maka jika suami membebankan nafkah rumah tangga kepada istri, maka kepemimpinannya telah jatuh. Demikian pula, jika istri ikut bertanggung jawab terhadap sebagian nafkah keluarga, maka pada asalnya istri telah mengambil sebagian kepemimpinan laki-laki. 

Oleh karena itu kami nasihatkan, jika suami mengijinkan istri untuk bekerja (sehingga konsekuensinya memiliki penghasilan sendiri), maka jadikanlah penghasilan istri itu untuk dirinya (istri) sendiri. Adapun kebutuhan nafkah untuk keluarga, maka 100% tetap di tangan suami. Hal ini mengingat sebab kepemimpinan laki-laki adalah karena laki-laki yang memegang urusan nafkah kepada istri dan keluarganya. Juga agar laki-laki bisa menegakkan kepalanya di depan sang istri dan tetap menjaga kewibawaannya di hadapan sang istri. Selain itu, jika istri memegang dan bertanggung jawab terhadap sebagian urusan nafkah, hal ini akan menjadi salah satu sebab seorang istri kemudian durhaka kepada suami karena merasa telah banyak berjasa kepada sang suami.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52497-laki-laki-adalah-pemimpin-rumah-tangga-bag-1.html

Beban Pemimpin

Kepemimpinan adalah beban yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab.

Kepemimpinan adalah beban yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab, sepenuh hati, amanah, dan adil. Tanggung jawab itu tidak hanya kepada orang-orang yang di pimpin, tetapi juga terlebih kepada Allah di akhirat. Nabi mengatakan, Setiap imam adalah pemimpin dan bertanggung ja wab terhadap rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim). Di hadis lain, Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka. (HR Abu Nu’aim).

Mengingat beratnya beban kepemimpinan, Abu Bakar ash- Shiddiq dan Umar bin al-Khathab, misalnya, di awal pidato setelah dilantik menjadi pemimpin, menegaskan bahwa kepemimpinan sejatinya adalah sebuah beban yang berat sehingga mereka mengharapkan rakyat agar bersikap kritis dan senantiasa mengingatkan mereka ketika salah jalan atau dianggap telah melenceng dari tanggung jawab kepemimpinan. Mereka sadar, manusia bisa tergoda dan tergelincir pada halhal buruk sehingga perlu diingatkan.

Abu Bakar, misalnya, dalam pidato di awal kepemimpinannya mengatakan dirinya telah diberi kepercayaan oleh rakyatnya dan ia bersedia menanggung beban berat itu, padahal ia menegaskan dirinya bukan orang yang terbaik daripada yang lainnya. Ia menegaskan pula, bila dirinya bertindak benar, rakyat perlu mendukungnya. Sebaliknya, bila ia bertindak salah, rakyat perlu meluruskannya.

Umar bahkan memuji orang yang mengkritik keras kepemim pinannya bila melenceng dari garis yang telah ditentukan. Dikisahkan, ketika berpidato di hadapan rakyatnya, salah seorang berdiri sambil mengacungkan pedangnya dan berkata, Wahai Umar, bila Anda melenceng selama memimpin, kami akan meluruskannya dengan pedang kami! Mendengar hal itu, Umar tidak marah, malah tersenyum dan bersyukur, kemudian berkata, Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan seseorang untuk meluruskan kesalahan Umar dengan pedangnya.

Kesadaran bahwa kepemimpinan adalah beban berat yang harus ditanggung dengan baik telah membuat Khalifah Umar selalu memikirkan rakyatnya. Disebutkan, ia setiap malam berjalan bersama pembantunya untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Ia tak ingin satu orang rakyatnya kelaparan. Ketika pada suatu malam ia mendapati sebuah rumah di dalamnya ada orang yang merintih kelaparan, keesokan harinya ia sendiri yang memanggul gandum dan memberikannya kepada orang tersebut.

Ketika pembantunya memohon agar ia yang membawa gandum itu, Umar mengatakan, Apakah engkau sanggup menanggung dosa Umar karena menelantarkan rakyatnya? Umar adalah sosok pemimpin yang keras, tegas, dan bera ni, tetapi begitu mencintai dan menyayangi rakyatnya serta tidak otoriter. Ia menyadari tugas utama seorang pemimpin adalah melayani rakyatnya dengan adil.

Bila itu tidak dilakukan, selain berarti mengkhianati amanat rakyat, juga berarti mengkhianati Allah. Ia begitu menjaga pesan Rasulullah dan tak ingin melanggarnya. Beliau mengatakan, Barang siapa diserahi ke kua saan untuk mengurus manusia, lalu menghindar (meng elak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkan nya maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR Ahmad).

Kepemimpinan bukan perkara ringan atau dianggap bukan beban. Tanggung jawabnya sangat berat karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Karena itu, selain mewanti-wan ti perihal kepemimpinan, Allah menjanjikan balasan yang besar kepada pemimpin yang berhasil mengembannya dengan baik. Nabi bersabda, Ahli surga ada tiga macam: pemimpin yang adil, orang yang mengasihi sesama, dan orang yang tidak me ngemis meskipun keluarga nya banyak. (HR Muslim). Termasuk orang yang diberi naungan pada hari kiamat yang sangat panas adalah pemim pin yang adil (HR al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam. 

Oleh: Fajar Kurnianto

KHAZANAH REPUBLIKA


Parameter Kebahagiaan dan Kesuksesan Seorang Muslim

Kebahagiaan dan Kesuksesan Seorang Muslim terbagi pada dua golongan.

Dalam memilih parameter kebahagiaan dan kesuksesan, umat manusia terbagi pada dua golongan. Golongan pertama menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur kebahagiaan, sedangkan golongan kedua menggunakan materi sebagai ukurannya.

Mereka yang menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur, berlandaskan pada kalam Allah SWT bahwa manusia yang paling mulia ialah yang paling bertakwa (QS 49: 15). Mereka percaya, baik rezeki yang berlimpah maupun kekurangan materi, merupakan ujian dari Allah atas ketakwaan mereka (QS 8: 28). Sehingga, mereka tak pernah merasa rugi jika kehilangan materi ataupun berbangga diri jika mendapatkan kelimpahannya (QS 57: 23).

Mereka tetap berlomba-lomba untuk mengeluarkan tabungan, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan (QS 14: 31), untuk membersihkan diri dari keserakahan dan ketamakan (QS 9: 103). Mereka bukan pembenci materi. Bisa jadi mereka termasuk orang-orang yang ulung mendulang kekayaan. Namun bagi mereka, tak ada gunanya materi berlimpah jika tiada takwa di hati. “Sebaik-baik harta ialah harta yang saleh (bersih) di tangan orang saleh.” (HR Ahmad).

Golongan yang kedua ialah mereka yang menjadikan materi sebagai acuan bagi kebahagiaan, kesuksesan, dan tujuan dari kehidupannya. Bagi mereka itu, kekayaan materi, gelar kehormatan, dan kekuasaan adalah segalanya. Mereka sedih jika tidak mendapatkan yang diinginkan, namun merasa sombong jika sudah digenggaman. Bahkan, mereka merasa dimuliakan oleh Allah jika mendapatkan kekayaan, namun sebaliknya merasa hina bila ketiadaan harta (QS 89:15-16).

Di sisi lain, mereka tak pernah puas untuk terus menambah pundi-pundi kekayaan mereka, bahkan “andaikan mereka memiliki dua gunung harta niscaya mereka mengharapkan yang ketiganya, hingga tak ada yang memuaskan perut mereka kecuali tanah (kematian)”. (HR Bukhari). Dan, mereka tak akan rela untuk kehilangan sepeser pun darinya, bahkan andai kata mereka menguasai pundi-pundi kekayaan milik Allah (QS 17: 100).

Dalam beribadah, mereka menjadikan materi sebagai tolok ukur. Apabila mereka mendapat kebaikan dalam bentuk materi mereka merasa ibadah mereka bermanfaat, namun jika sebaliknya mereka merasa ibadah mereka sia-sia (QS 22: 11).

Sebagian di antara mereka juga ada yang menghitung-hitung secara matematis infaknya yang berlipat ganda dan berharap kekayaan beranak pinak. Mereka salah memahami bahwa janji Allah itu untuk melipatgandakan kebaikan yang mereka dapatkan (QS 9: 121) dan bukan mengalikan angka nominal yang mereka sumbangkan. Dampaknya, pada saat mereka tidak segera mendapatkan kekayaan,  mereka protes pada Allah dan berputus asa dari rahmat-Nya. Naudzubillah.

Adapun kita, Allah telah memberikan dua pilihan. Apakah mengikuti jalan golongan pertama yang mengutamakan ketakwaan sehingga bisa mensyukuri setiap keadaan, ataukah mengikuti golongan kedua yang mengejar kebendaan sehingga menjerumuskan kita pada kekufuran. “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan padanya (manusia) jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”(QS 76: 3). Wallahu a’lam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Manfaat Kesehatan di Balik Anjuran Memaafkan dan Tahan Marah

Memaafkan sangat bermanfaat bagi kesehatan.

Empat belas abad yang lalu Rasulullah SAW secara tegas telah menyebutkan bahwa seorang pemarah merupakan seorang yang lemah.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW: ”Bukanlah orang yang kuat itu adalah seorang pegulat, namun yang disebut orang kuat adalah mereka yang bisa mengendalikan amarahnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Lemah mengadung arti baik secara fisik ataupun mental. Menurut ahli kesehatan jiwa, Dr Guy A Pettitt, dalam artikelnya Forgiveness and Health, secara fisik marah yang berkepanjangan berdampak pada stres dan urat-urat menjadi tegang. Akibatnya, akan timbul rasa sakit di bagian leher, punggung, dan lengan. 

Begitupun sirkulasi darah ke jantung dan anggota tubuh lainnya menjadi terhambat, sehingga kandungan oksigen dan nutrisi dalam sel berkurang, pecernaan dan pernapasan juga akan terganggu. Sistem kekebalan tubuh pun melemah, sehingga tubuh menjadi sangat rawan terserang penyakit. 

Secara mental, marah berdampak sangat fatal terhadap kejiwaan seseorang, karena dengan marah, terkadang seseorang tidak bisa mengontrol diri. Sehingga, sangat memungkinkan untuk berbuat sesuatu di luar kendalinya, seperti mencaci, memukul, bahkan mungkin membunuh.  

Allah SWT mengajarkan kepada hambanya untuk bersikap gampang memaafkan kesalahan seseorang, sebagaimana Allah SWT sangat gampang mengampuni dosa-dosa hambanya. Malah, Allah SWT mencela orang yang suka marah dengan menyebutnya sebagai orang bodoh. Sebagaimana firman-Nya, ”Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf [7]:199). 

Dr Frederic Luskin dalam bukunya Forgive for Good sebagaimana yang dikutip Harun Yahya, menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran, dan percaya diri, sehingga akan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat, dan stres. 

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, ”Tidaklah kelemahlembutan itu berada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah, dan tidaklah kelembutan itu dicabut kecuali akan menjadikannya jelek.” (HR Muslim). Maka, kalau ingin hidup sehat, jadilah seorang pemaaf. 

KHAZANAH REPUBLIKA