Kasus Kawin Kontrak di Bogor, Bagaimana Hukumnya di Islam?

Kasus kawin kontrak di Bogor diungkap oleh polisi baru-baru ini.

Kawin kontrak atau nikah mut’ah menjadi fenomena yang masih berlangsung hingga saat ini. Baru-baru ini, polisi dan jajaran pemerintah daerah Bogor berhasil menguak praktik kawin kontrak di lokasi di Puncak Bogor dan menetapkan beberapa tersangka.

Pada dasarnya, pernikahan dalam Islam adalah sesuatu yang halal dan bahkan disunahkan. Namun, pernikahan itu sendiri memiliki syarat sah dan rukun nikah agar tidak terjerumus dalam kekeliruan dan kedzaliman dalam pernikahan.

Lalu, bagaimana dengan nikah mut’ah?

Dalam buku berjudul “Mistik, Seks, dan Ibadah”, cendekiawan yang juga pakar tafsir Alquran Prof Quraish Shihab menjelaskan, bahwa mut’ah dalam pengertian bahasa adalah kenikmatan, kesenangan dan kelezatan. Sementara nikah mut’ah didefinisikan sebagai pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu, hari atau bulan yang disepakati calon suami istri. Jika batas waktu itu berakhir, maka secara otomatis perceraian terjadi.

Lantas, bagaimana pandangan Islam terkait Nikah Mut’ah ini?

Dalam sejarahnya, nikah mut’ah pernah diperbolehkan pada masa awal Islam karena situasi darurat.  DR. Ahmad Nahrawi Abdus Salam dalam buku berjudul “Ensiklopedia Imam Syafi’i” menyebutkan, bahwa nikah mu’tah kemudian dilarang dan larangan itu sudah menjadi ijma’ ulama.

Dikutip dari buku berjudul “Serial Hadits Nikah 2 Cinta Terlarang” oleh Firman Arifandi, Lc., MA, Imam An Nawawi menjelaskan dalam Al Minhaj, bahwa nikah mut’ah pernah diperbolehkan dan kemudian dilarang hingga hari akhir. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Salamah bin Al Akwa’ berkata, “Rasulullah saw memberi keringanan pada kami dalam masalah mut’ah wanita-wanita pada tahun Authos selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya.”

Dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmizy, Abdullah bin Abbas ra mengatakan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan di awal-awal pensyariatan. Saat itu, seseorang yang mengembara di suatu negeri tanpa memiliki pengetahuan berapa lama akan tinggal, lalu dia menikah dengan seorang wanita sekadar masa bermukim di negeri itu, istrinya itu memelihara hartanya dan mengurusinya, hingga turunnya ayat yang berbunyi: orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali kepada istrinya dan budaknya.

Nikah mut’ah pernah diperbolehkan karena masyarakat Islam saat itu masih dalam masa transisi dari zaman jahiliyah kepada Islam. Akan tetapi, Rasulullah saw kemudian melarang praktik nikah mut’ah. Hal ini juga ditegaskan dalam Fathul Bari, Ibnu hajar Al Asqalani menjelaskan, bahwa pernikahan mut’ah praktiknya seperti nikah kontrak, yang mana hukum kebolehannya sudah termansukh atau terhapus.

Dari Ar-Rabi’ bin Sabrah Al-Juhani berkata, bahwa ayahnya berkata kepadanya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut’ah. Ketahuilah bahwa Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim).

Karena itulah, para ulama dari seluruh mazhab pun sepakat bahwa nikah mut’ah hukumnya haram dan memasukannya dalam jenis pernikahan yang bathil. Bahkan, pelaku nikah disamakan dengan pezina. Sahabat Nabi saw, Umar bin Khattab, menganggap nikah mut’ah sebagai sebuah kemungkaran. Selain itu, pelakunya diancam dengan hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina.

Di zaman sekarang, nikah mut’ah semakin jelas akan keharamannya. Sebab, jika ditinjau dari perspektif rukunnya, nikah mut’ah dipandang bathil karena ketiadaan saksi, wali, dan pembatasan masa nikah yang menjadikan nikah tidak sah. Kalau pun ada saksi dan wali, tidak jarang para pelakunya adalah palsu. Quraish Shihab juga mengatakan, bahwa nikah mut’ah tidak sejalan dengan tujuan perkawinan yang diharapkan Alquran. Dalam hal ini, suatu pernikahan tentunya diharapkan langgeng, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat. 

Kendati demikian, ia menyebut bahwa terdapat perbedaan pandangan antara ulama Sunni dan Syiah terkait nikah mut’ah ini. Dalih bahwa Umar bin Khattab lah yang melarang nikah mut’ah dijadikan pegangan oleh ulama Syiah untuk membolehkan nikah mut’ah. Sementara ulama Sunni melarang nikah mut’ah, namun tetap membedakannya dengan perzinahan. Akan tetapi, Quraish Shihab juga menyebut tidak sedikit ulama Syiah  yang tidak menganjurkan mut’ah, karena dapat merugikan kaum wanita.

Di Indonesia, Dewan Pimpinan MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait kawin kontrak Sejak 25 Oktober 1997 silam. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut’ah hukumnya haram.

REPUBLIKA

Ketika Menjenguk Orang Sakit, Ini Tata Cara Mendoakannya Sesuai Sunnah Nabi

Ketika ada suadara kita yang sedang sakit, baik tetangga, kerabat, teman dan lainnya, kita dianjurkan untuk menjenguknya. Di dalam Islam, ketika kita menjenguk orang sakit, kita dianjurkan untuk mendoakannya agar segera sembuh. Dalam kitab Dzikir wa Tadzkir disebutkan bahwa ketika menjenguk orang sakit, maka tata cara dan langkah-langkah mendoakannya sesuai sunnah Nabi Saw adalah sebagai berikut;

Pertama, ketika baru masuk menemui orang yang sakit, kita dianjurkan membaca doa berikut;

لاَ بَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ

Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membuat dosamu bersih, Insya Allah.

Kedua, memegang tangan orang yang sakit sambil membaca doa berikut;

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ، أَذْهِبِ الْبَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِى لا شِفَاءَ إِلا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لا يُغَادِرُ سَقَمًا

Ya Allah, Tuhan manusia, hilangkanlah sakit (ini), sembuhkanlah ia, Engkau adalah Dzat Yang menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan  dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan sakit.

Ketiga, kemudian meruqyah orang yang sakit dengan membaca doa berikut;

بِسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عيْنِ حَاسِدٍ، اللَّهُ يشْفِيك، بِسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ .

Dengan nama Allah, aku meruqyahmu, dari segala yang menyakitimu, dari kejahatan setiap manusia dan mata orang yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu. Dengan nama Allah, aku meruqyahmu.

Keempat, jika orang yang sakit merasa kesakitan di bagian tubuhnya, maka kita dianjurkan meletakkan tangan kita pada bagian tubuh yang sakit tersebut sambil membaca doa berikut;

 3 x بِسمِ اللَّهِ ارحمن الرحيم

Bismillahirrohmanirrohim 3 x

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

7 x أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِن شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحاذِرُ

A’udzu bi ‘izzatillah wa qudrotihi min syarri ma ajidu wa uhadziru 7 X

Aku berlindung dengan keperkasaan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang aku dapati dan aku waspadai.

Moh JuriyantoPeneliti el-Bukhari Institute

BINCANG SYARIAH

Baca Doa Ini Ketika Khawatir Kesehatan Menurun

Kita tidak selamanya sehat terus, namun dalam kondisi tertentu kita pasti mengalami sakit. Bahkan dalam fase umur kita, biasanya umur empat puluh tahun ke atas, kesehatan kita pasti mengalami penurunan. Karena itu, jika kita mengalami hal tersebut, atau kita khawatir kesehatan menurun, maka hendaknya kita membaca doa berikut agar kesehatan tetap dijaga oleh Allah. Lafadz doanya sebagai berikut;

يا حي يا قيوم يا واحد يا مجيد يا بر يا كريم يا رحيم يا غني تمم علينا نعمتك، وهب لنا  كرامتك وألبسنا عافيتك

Yaa hayyu, yaa qoyyuumu, yaa waahidu, yaa majiidu, yaa barru, yaa kariimu, yaa rohiimu, yaa ghaniyyu, tammim ‘alainaa ni’mataka wa hab lanaa karoomataka wa albisnaa ‘aafiyataka.

Wahai Dzat Yang Maha Hidup, wahai Dzat Yang Berdiri Sendiri, wahai Dzat Yang Esa, wahai Dzat Maha Terpuji, wahai Dzat Yang Melimpahkan Kebaikan, wahai Dzat Yang Mulia, wahai Dzat Yang Maha Pengasih, wahai Dzat Yang Maha Kaya, sempurnakan nikmat-Mu atas kami, berikan kemuliaan-Mu kepada kami, dan pakaikan kesehatan-Mu kepada kami.

Doa ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Biharul Anwar berikut;

عن النبي صلى الله عليه وآله: ما من عبد يخاف زوال نعمة أو فجاءة نقمة أو تغير عافية ويقول: يا حي يا قيوم يا واحد يا مجيد يا بر يا كريم يا رحيم يا غني تمم علينا نعمتك، وهب لنا كرامتك وألبسنا عافيتك  إلا أعطاه الله تعالى خير الدنيا والآخرة

Dari Nabi Saw, beliau bersabda; Tiada seorangpun hamba yang khawatir kehilangan nikmat, atau datangnya bahaya, atau menurunnya kesehatan, kemudian ia berdoa, ‘Yaa hayyu, yaa qoyyuumu, yaa waahidu, yaa majiidu, yaa barru, yaa kariimu, yaa rohiimu, yaa ghaniyyu, tammim ‘alainaa ni’mataka wa hab lanaa karoomataka wa albisnaa ‘aafiyataka’, kecuali Allah memberinya kebaikan dunia dan akhirat.

Moh Juriyanto, Peneliti el-Bukhari Institute

BINCANG SYARIAH

Wasiat Luqman (1) : Bersyukurlah kepada Allah

Pada artikel sebelumnya kita telah membahas Siapakah Luqman yang Allah Abadikan Namanya dalam Al Qur’an?

Perintah untuk Bersyukur

Kisah Luqman dalam Al Qur’an diawali dengan penyebutan anugerah hikmah kepadanya dan perintah untuk bersyukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman : 

وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“ Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, dan Kami perintahkan kepadanya, “Bersyukurlah kepada Allah”. Dan barangsiapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. ” (Luqman : 12)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Luqman untuk bersyukur kepada-Nya atas hikmah yang telah dianugerahkan kepada dirinya. Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelasakan bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan Luqman untuk bersyukur kepada Allah atas apa yang telah Allah berikan kepada-Nya agar Allah senantiasa memberkahinya dan terus menambah nikmat dan keutamaan kepada dirinya. Allah juga menceritakan bahwa syukurnya orang yang bersyukur pasti manfaatnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Dan sebaliknya barangsiapa yang kufur dan enggan bersyukur kepada Allah maka kerugian dan kesengsaraan juga akan kembali kepada dirinya sendiri. (Lihat Tafsir As Sa’di)

Perintah Allah kepada Luqman dalam ayat ini menjadi pelajaran dan wasiat bagi kita semua, hendaknya kita sebagai hamba harus senantiasa bersyukur kepada Allah.

Makna dan Hakikat Syukur

Dalam firman Allah ( اشْكُرْ لِلَّهِ) (beryukurlah kepada Allah) terdapat huruf lam yang menunjukkan kekhususan dan keistimewaan. Artinya syukur secara mutlak hanyalah boleh ditujukan kepada Allah saja dan tidak boleh ditujukan kepada selain Allah.Oleh karena itu seorang hamba wajib dalam hatinya hanya bersyukur kepada Allah.  

Syukur maknanya adalah merealisasikan ketaatan kepada Allah yang telah memberi nikmat dengan cara meyakininya dalam hati, memuji dengan lisan, dan melakukaan taat dengan anggota badan. Maka yang terkait dengan syukur meliputi lisan, hati, dan juga seluruh anggota badan. 

Ada perbedaan antara syukur dan pujian. Seseorang bersyukur disebabkan karena adanya nikmat dari Allah. Adapaun pujian (الحمد) penyebabnya adalah adanya kesempurnaan dari yang dipuji dan adanya pemberian darinya. Sehingga seorang hamba memuji Allah disebabkan karena dua alasan, yaitu kesempurnaan Allah dan juga memuji-Nya karena nikmat yang Allah berikan kepada hamba tersebut. Namun memuji hanya terbatas dilakukan oleh lisan saja. Adapun bersyukur maka meliputi syukur dengan hati, lisan, dan anggota badan.

Baca Juga: Sujud Syukur Setiap Selesai Shalat

Faidah Bersyukur 

Allah Ta’ala menjelasakan : 

 وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ 

Dan barangsiapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. “

Apa maksud ayat ini ? Para ulama tafsir menjelasakan bahwa pahala syukur akan kembali kepada orang yang bersyukur. Maka ini merupakan manfaat yang akan kembali kepada dirinya. Bukanlah maksudnya syukur akan kembali kepada Allah dan memberikan manfaat untuk Allah, karena hakikatnya Allah tidak mendapat manfaat dari ketaatan hamba-Nya dan tidak pula mendapat mudharat dari kemaksiatan hamba-Nya. Oleh karena itu faidah dan manfaat dari besyukur kembalinya kepada orang yang telah bersyukur tersebut.

Dalil-dail lain yang menyebutkan tentang hal ini di antaranya :

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ

“ Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri “ (Fushilat : 46)

وَمَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِأَنفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

“ Dan barangsiapa yang beramal shalih maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan) “ (Ar Ruum : 44)

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا

“ Seandainya orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, seluruh manusia dan jin, mereka semua bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka niscaya tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. “ (H.R Muslim) (Lihat at Tashiil li Ta’wwil at Tanziil Tafsir Surat Luqman karya Syaikh Musthofa al ‘Adawy )

Tidak Bersyukur Berarti Kufur

Lawan dari syukur adalah kufur. Allah berfirman :

وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“ Dan barangsiapa yang tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. ” (Luqman : 12)

Perlu diingat, bahwa perbuatan orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah sama sekali tidak akan memberi mudahrat bagi Allah dan sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan Allah karena Dia adalah Al Ghaniy (Zat Yang Maha Kaya dan Tidak Membutuhkan Selainnya) . Demikian pula perbuatan orang-orang yang kufur tidak akan mengurangi hikmah dan keadilan Allah, karena Dia adalah Al Hamiid (Zat Yang Maha Terpuji)

Maka adanya orang yang bersyukur terhadap nikmat Allah dan ada pula orang-orang yang berbuat kufur terhadap nikmat tersebut terdapat hikmah di dalamnya. Hikmahnya adalah untuk membedakan keutaaman syukur dan bahayanya perbuatan kufur. Jika tidak ada bedanya, maka kondisi manusia akan sama sehingga niscaya tidak bisa terbedakan perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. 

Faidah Ayat

Surat Luqman ayat ke-12 ini mengandung beberapa faidah :

  1. . Penjelasan adanya anugerah hikmah yang Allah berikan kepada Luqman.
  2. . Hikmah terkadang Allah berikan kepada hamba-Nya yang bukan Nabi, karena menurut jumhur ulama Luqman bukanlah termasuk Nabi.
  3. . Wajibnya bersyukur kepada Allah, karen Allah memerintahkan ( اشْكُرْ لِلَّهِ ) ( bersyukurlah kepada Allah )
  4. . Syukur kepada Allah termasuk bagian dari hikmah, karena hikmah maknanya adalah sesuai dengan kebenaran dan menempatkan sesuatu sesuai dengan semestinya. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang bersyukur berarti dia telah merealisasikan hal tersebut.
  5. . Balasan syukur kembalinya kepada hamba yang telah bersyukur tersebut. 
  6. . Orang yang mendapat anugerah hikmah maka hendaknya lebih bersyukur kepada Allah dibanding dengan yang tidak mendapatkannya. 
  7. . Allah tidak mendapat manfaat sedikitpun dari ketaatan orang yang berbuat taat, bahkan ketaatan tersebut manfaatnya akan kembali kepada hamba itu sendiri. 
  8. . Perbuatan kufur tidak sedikitpun memberikan mudharat bagi Allah.
  9. . Penentapan adanya dua nama bagi Allah yaitu Al Ghaniy (Zat Yang Maha Kaya dan Tidak Membutuhkan Selainnya) dan Al Hamiid (Zat Yang Maha Terpuji) serta kandungan sifat yang ada dalam dua nama tersbut.
  10. . Allah disifat dengan dua sifat sekaligus yaitu ghinaa (tidak membutuhkan yang lain) dan al hamd (yang terpuji).  Tidak setiap yang ghaniy itu terpuji dan tidak setiap yang terpuji itu ghaniy. Adapun Allah memiliki kedua sifat tersebut sekaligus yang menunjukkan kesempurnaan sifat-sifat Nya. 

Demikian pembahasan surat Luqman ayat ke-12. Semoga Allah menjadikan kita termsuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersyukur atas setiap nikmat yang kita dapatkan. 

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53718-wasiat-luqman-1-bersyukurlah-kepada-allah.html

Hukum Beli Emas Virtual Antam

Ustadz di butik emas antam kita bisa beli emas virtual, jd kita tidak beli fisik emasnya, tapi kita mnyerahkan uang ke butik emas  sejumlah gram yg kita mau beli dg harga di bawah fisik emas, ada administrasinya pertahun, bedanya dg tabungan di bank, dia nilai rupiahnya mengikuti berat emas yg kita beli. klebihannya dia bisa diuangkan sewaktu2 sesuai kebutuhan kita tdk harus seluruhnya. apa itu diperbolehkan mnrt hukum syar’i?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bagian dari syarat jual beli emas adalah harus dilakukan secara tunai, dari tangan ke tangan.

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ ، يَدًا بِيَدٍ ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Jika emas dibarter dengan emas, perak dengan perak, gandum halus dengan gandum halus, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka takarannya harus sama dan harus tunai. Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya sesuai yang kalian inginkan, asalkan tunai.” (HR. Muslim 2970)

Anda bisa perhatikan kalimat yang terakhir,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya sesuai yang kalian inginkan, asalkan tunai.”

Ketika kita beli emas, berarti terjadi pertukaran uang dengan emas. Dan ini dua benda ribawi yang berbeda, namun satu kelompok, dan dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan harus dilakukan secara tunai.

Kembali kepada kasus di atas,

Ada dua pendekatan untuk kasus di atas,

[1] Membeli emas secara virtual berarti membeli emas secara tidak tunai, dalam arti uangnya diserahkan sekarang, sementara emasnya belum ada (tertunda).

Uang (tunai) <==> Emas (tertunda)

Ketika transaksi ini dilakukan, berarti melanggar hadis Ubadah bin Shamit di atas, dan itu termasuk bentuk riba nasiah.

Malik bin Aus radhiyallahu ‘anhu bercerita, bahwa beliau pernah mendatangi kerumunan beberapa orang, lalu aku sampaikan, “Siapa yang mau menukarkan dirhamnya? Ini saya punya dinar.”

Di sana ada Thalhah bin Ubaidillah yang ketika itu berada di dekat Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sahabat Thalhah  merespon, “Tunjukkan emasmu, sini saya bawa dulu. Jika nanti pembantuku datang, akan saya serahkan dirhamku.”

Mendengar ini, Umar langsung mengingatkan,

كَلَّا، وَاللهِ لَتُعْطِيَنَّهُ وَرِقَهُ، أَوْ لَتَرُدَّنَّ إِلَيْهِ ذَهَبَهُ

Tidak boleh seperti itu, demi Allah, kamu harus serahkan perakmu (dirham) sekarang, atau kamu kembalikan emas itu kepadanya. (HR. Muslim 1586)

Dalam kejadian di atas, Umar mengingkari praktek yang dilakukan Sahabat Malik dengan Sahabat Thalhah, ketika mereka melakukan tukar menukar emas dengan perak secara tidak tunai. Dimana Malik bin Aus menyerahkan emasnya, sementara Thalhah menyerahkan peraknya setelah pembantunya datang. Ada penundaan di sana, dan itu dilarang.

[2] Hakekat transaksi ini adalah utang piutang, namun ada kelebihan.

Misalnya, harga emas saat ini adalah 700rb/gr. Lalu anda menyetorkan uang ke butik emas senilai 7jt, sehingga dicatat telah memiliki emas 10gr. Tiga bulan berikutnya, harga emas 750rb/gr. Lalu anda setor lagi senilai 6jt, sehingga tercatat membeli emas 8gr. Total emas anda 18gr. Selang setahun, harga emas naik menjadi 800rb/gr. Kemudian anda mengambilnya dalam bentuk uang.

Uang yang akan anda terima adalah 14.400.000. Padahal yang anda setorkan senilai 7jt + 6jt = 13jt. Selisih 1.400.000 adalah riba utang piutang, dan bukan selisih jual beli emas, karena tidak ada emasnya.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/35849-beli-emas-virtual-antam.html

Alquran Peringatkan Bahaya Sifat Setani Manusia atas Alam

Sifat setan yang ada dalam diri manusia bisa merusak lingkungan.

Memasuki awal 2020, Indonesia dikejutkan dengan sejumlah berita tak mengenakkan, salah satunya banjir. Permasalahan menjaga lingkungan dan bahaya pemanasan global pun kembali santer terdengar.

Beberapa tahun terakhir, isu menjaga lingkungan dan bahaya pemanasan global memang menjadi hal yang kerap disoroti oleh sejumlah media dan aktivis. Beragam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada lingkungan, berusaha bergerak sebagai bentuk usaha untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut.

Menjaga lingkungan sendiri sudah menjadi tugas sebagai seorang manusia. Pakar Tafsir dan Ilmu Qiraat, KH Ahsin Sakho Muhammad menyebut sebagai seorang khalifah di muka bumi, manusia seharusnya bisa melindungi bumi beserta isinya.  

“Saat Allah menciptakan alam semesta, kondisinya sudah siap dihuni manusia dan dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Maka sudah menjadi tugas manusia untuk menjaganya dengan baik,” ujar Kiai Ahsin saat dihubungi Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Dia menyebut saat Allah SWT menciptakan manusia, para malaikat sudah mengkhawatirkan akan kerusakaan yang terjadi akibat ulah manusia. Hal ini dituliskan dalam QS al-Baqarah ayat 30, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.”

Manusia memiliki sifat hewan dimana ingin merajai, kecenderungan takabur, dan memiliki sifat setan yakni cerdik. Malaikat sejak awal sudah membayangkan manusia memiliki potensi merusak, baik secara fisik maupun non-fisik.

Kiai Ahsin menyebut kerusakan non-fisik atau rohani akan berujung pada merusak hal-hal fisik. Salah satunya jika memiliki sifat tidak jujur dan tamak.

Manusia akan berlanjut merusak lingkungan untuk memenuhi keinginan diri sendiri. Salah satunya seperti membabat hutan tanpa memperhatikan lingkungan dan membuka penambangan secara ilegal.

Dalam QS al-A’raaf ayat 56 disebutkan, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.”

“Allah menyediakan sungai, tapi sungai dibuat membuang sampah dan hajat. Air yang awalnya berharga jadi tidak berharga lagi. Padahal air ini digunakan untuk bebersih, Allah mencintai kebersihan. Generasi bagus bisa muncul kalau tinggal di llingkungan yang bagus, akhlaknya bagus, etika bagus,” ujar Kiai Ahsin.

Ada beberapa hal kecil yang bisa dilakukan oleh manusia untuk menjaga lingkungan ini, dan semuanya dimulai dari didikan orang tua kepada anaknya sejak kecil. Dalam hal etika, orang tua bertanggung jawab untuk mendidik anak dengan etika yang baik, seperti jujur, menghormati, menghargai, dan mengasihi.

Sementara yang berkaitan dengan lingkungan, ajari anak untuk tidak membuang sampah sembarangan, rajin bebersih, dan tidak membuang-buang air karena air ini berharga. Apa yang diterima atau diberikan dalam keadaan baik, maka kembalikan dalam keadaan yang baik pula.

“Allah SWT itu indah dan menyukai pada keindahan. Kalau seandainya orang Islam mencintai Allah, maka harus mencintai keindahan. Alam semesta ini kan lukisan terbesar yang sangat indah. Apa yang dibuat alam pasti indah,” ujarnya. /

KHAZANAH REPUBLIKA

Ketika Seorang Musafir Menjadi Makmum dari Imam Muqim, Bolehkah Qashar?

Jika seseorang yang sedang bepergian jauh (musafir) singgah di satu masjid untuk shalat, dan ketika itu penduduk setempat (yang tidak safar, mereka disebut dengan muqim) sedang shalat, maka hendaknya musafir tersebut shalat bersama mereka, yaitu di belakang imam muqim. Dan untuk shalat empat raka’at (shalat dzuhur, shalat ‘ashar, dan shalat isya’), dia harus menyempurnakan shalatnya (yaitu mengerjakan sebanyak empat raka’at) dan mengikuti imam sampai selesai, dan tidak boleh diqashar menjadi dua raka’at.

Dalil-Dalil Permasalahan Ini

Hal ini berdasarkan riwayat dari Musa bin Salamah, beliau menceritakan,

كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ، فَقُلْتُ: إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا، وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ. قَالَ: تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dulu kami bersama Ibnu ‘Abbas di Mekah. Aku katakan, “Jika kami shalat bersama kalian (penduduk Mekah), kami shalat empat raka’at. Jika kami kembali ke rombongan kami, kami shalat dua raka’at.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Itulah sunnahnya Abul Qasim (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad 3: 357) [1]

Demikian pula, diriwayatkan dari Musa bin Salamah, beliau berkata,

سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ: كَيْفَ أُصَلِّي إِذَا كُنْتُ بِمَكَّةَ، إِذَا لَمْ أُصَلِّ مَعَ الْإِمَامِ؟ فَقَالَ: رَكْعَتَيْنِ سُنَّةَ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, bagaimana kalau aku shalat ketika aku berada di Mekah, jika aku tidak shalat bersama imam (penduduk Mekah)? Ibnu ‘Abbas berkata, “(Shalatlah) dua raka’at, itu adalah sunnah Abul Qasim (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 688)

Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, beliau berkata,

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، كَانَ إِذَا كَانَ بِمَكَّةَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، إِلَّا أَنْ يَجْمَعَهُ إِمَامٌ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ، فَإِنْ جَمَعَهُ الْإِمَامُ يُصَلِّي بِصَلَاتِهِ

“Sesungguhnya Ibnu ‘Umar jika shalat di kota Mekah, dia shalat dua raka’at (maksudnya dengan diqashar). Kecuali jika dia shalat jama’ah dengan imam setempat (penduduk Mekah), dia shalat mengikuti shalat mereka (yaitu empat raka’at). Jika dia shalat berjama’ah bersama imam (muqim), maka dia shalat mengikuti shalat mereka (yaitu tidak diqashar).” (HR. Ibnu Khuzaimah 2: 74) [2]

Diriwayatkan dari Nafi’ beliau berkata,

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُصَلِّي وَرَاءَ الْإِمَامِ بِمِنًى أَرْبَعًا فَإِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

“Sesungguhnya ‘Abdullah bin ‘Umar jika beliau shalat di belakang imam ketika berada di Mina, dia shalat empat raka’at. Akan tetapi, jika dia shalat (wajib) sendiri, dia shalat dua raka’at.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 1: 149) [3]

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa ketika seorang musafir shalat berjamaah dan yang menjadi imam adalah penduduk setempat yang bukan musafir (alias imam muqim), maka dia tidak boleh meng-qashar shalat. Hal ini adalah berdasarkan ijma’ para ulama, karena wajib mengikuti imam dan tidak boleh menyelisihi imam. Meskipun makmum (musafir) meyakini bahwa yang lebih afdhal adalah meng-qashar shalat. Hal ini karena keutamaan shalat berjamaah itu lebih ditekankan. Pendapat ini juga dikuatkan berdasarkan cakupan makna umum dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 414)

Jika musafir tersebut terlambat dan imam sedang berada di raka’at ke tiga

Lalu, bagaimana jika musafir tersebut terlambat, dia masuk ketika imam sudah berada di raka’at ke tiga dari shalat dzuhur, misalnya. Ketika imam salam, apakah makmum musafir tadi ikut salam (sehingga dia shalat dua raka’at) atau bangkit lagi menyempurnakan shalatnya menjadi empat raka’at?

Jawabannya, dia wajib menyempurnakan shalatnya menjadi empat raka’at (tidak boleh diqashar). Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Laahiq bin Humaid, beliau berkata,

قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ: الْمُسَافِرُ يُدْرِكُ رَكْعَتَيْنِ مِنْ صَلَاةِ الْقَوْمِ، يَعْنِي الْمُقِيمِينَ، أَتُجْزِيهُ الرَّكْعَتَانِ أَوْ يُصَلِّي بِصَلَاتِهِمْ؟ قَالَ: فَضَحِكَ، وَقَالَ: يُصَلِّي بِصَلَاتِهِمْ

“Aku berkata kepada Ibnu ‘Umar, seorang musafir mendapati dua raka’at bersama shalat penduduk setempat. Apakah dua raka’at itu sudah mencukupi (sehingga dia bisa ikut salam) atau apakah shalat mengikuti shalat mereka (yaitu disempurnakan tetap empat raka’at)? Ibnu ‘Umar pun tertawa dan berkata, “Shalat mengikuti shalat mereka (yaitu bangkit lagi dan menyempurnakan tetap menjadi empat raka’at).” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 3: 157) [4]

Berdasarkan hal ini, jika seorang musafir datang terlambat, namun dia masih mendapati satu raka’at bersama imam penduduk setempat (imam muqim), maka dia tidak boleh meng-qashar shalatnya.

Jika musafir mendapati kurang dari satu raka’at bersama imam muqim

Jika seorang musafir bermakmum di belakang imam muqim, namun mendapati shalat jama’ah kurang dari satu raka’at, misalnya imam sudah tasyahhud akhir, apakah dia tetap harus menyempurnakan shalat (empat raka’at) atau dia boleh meng-qashar shalat?

Permasalahan ini pada dasarnya dibangun di atas khilaf kapankah seseorang itu dikatakan mendapati shalat jama’ah bersama imam. Sebagian ulama yang berpendapat bahwa baru dinilai shalat jama’ah jika mendapatkan (minimal) satu raka’at (penuh) bersama imam. Sebagai konsekuensinya, jika musafir mendapati shalat jama’ah kurang dari satu raka’at seperti contoh kasus di atas, maka boleh bagi musafir tersebut untuk meng-qashar shalatnya, karena dia dinilai telah terlewat dari shalat jama’ah. Dia seperti orang yang shalat sendirian. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Ahmad, dan juga merupakan pendapat Imam Malik bahwa siapa saja (musafir) yang mendapati shalat jama’ah bersama imam muqim kurang dari satu raka’at, maka dia boleh meng-qashar shalat.

Sebagian ulama berpendapat bahwa sudah bisa dinilai shalat jama’ah meskipun hanya mendapati tasyahhud akhir bersama imam. Sebagai konsekuensinya, jika musafir hanya mendapati tasyahhud akhir bersama imam muqim (misalnya), maka musafir tersebut tidak boleh meng-qashar shalatnya. Hal ini karena dia dinilai telah mendapatkan shalat jama’ah.

Dalam permasalahan ini, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yaitu bahwa baru dinilai shalat jama’ah jika minimal mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam. Hal ini karena jika hanya mendapati kurang dari satu raka’at, itu tidak terhitung di dalam shalat, dan dia tetap harus menyelesaikan shalatnya secara sempurna sendirian. Sehingga sebagai kesimpulan, jika musafir mendapati kurang dari satu raka’at bersama imam muqim, maka dia boleh meng-qashar shalat. Wallahu Ta’ala a’lam. [5]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53630-ketika-seorang-musafir-menjadi-makmum-dari-imam-muqim-bolehkah-qashar.html

Khutbah Jumat: Menyikapi Musibah Banjir 2020

Awal tahun 2020, banjir melanda banyak wilayah di Indonesia, terutama Jabodetabek. Karenanya Khutbah Jumat 3 Januari 2020 ini mengambil tema Menyikapi Musibah Banjir 2020.

Bagaimana sikap seorang muslim menghadapi musibah, terutama banjir yang terjadi di awal tahun ini? Berikut ini kami persembahkan dalam bentuk teks khutbah Jumat:

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ . وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memanjangkan usia kita hingga bisa memasuki tahun 2020 ini. Sungguh merupakan nikmat-Nya saat kita hidup dalam keimanan dan semoga kelak Allah mematikan kita dalam kondisi beriman pula. Maka marilah kita terus berusaha meningkatkan taqwa kepada-Nya.

Sholawat dan salam atas Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah memberikan keteladanan kepada kita semua. Bagaimana menghadapi segala hal dalam hidup ini. Baik yang kita sukai sehingga harus banyak bersyukur. Atau apa yang tidak kita sukai sehingga harus bersabar.

Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Awal tahun 2020 ini kita dikejutkan dengan musibah banjir yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Terutama Jabodetabek. Tak hanya kerugian materi akibat terendam dan hanyut, banjir Jabodetabek juga menyebabkan sedikitnya 30 orang meninggal dunia.

Bagaimana sikap kita sebagai muslim menghadapi musibah banjir ini?

1. Sabar

Sikap pertama sebagai seorang muslim ketika menghadapi musibah atau hal-hal yang tidak disukainya adalah bersabar. Sabar bukan berarti menyerah dan berdiam diri tanpa ikhtiar. Sabar dalam menghadapi musibah adalah meneguhkan diri untuk tidak menyalahkan takdir Allah dan bertahan dalam mentaati-Nya serta menahan diri dari bermaksiat kepada-Nya.

Maka ketika menghadapi musibah, termasuk banjir, seorang muslim yang sabar tidak akan marah kepada Allah. Tidak adakan menyalahkan Allah. Kalimat pertama yang ia ucapkan adalah istirja’ yang berangkat dari kesadaran iman.

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ . الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

..Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNya kami kembali). (QS. Al Baqarah: 156)

Kesadaran bahwa semua milik Allah dan semua akan kembali kepada-Nya membuat kita lebih ringan saat menghadapi musibah. Sebab kita menyadari semua adalah milik-Nya. Kita pun menjadi tak terlalu kecewa dan depresi menghadapi musibah seperti ini.

Dan yang lebih menggembirakan, orang-orang yang bersabar dengan mengucapkan kalimat istirja’ ini, Allah akan memberinya keberkahan, rahmat dan petunjuk. Sebagaimana Allah sebutkan dalam ayat selanjutnya. Yakni Surat Al Baqarah ayat 157.

Bahkan hadits shahih dijelaskan, orang yang bersabar dan mengucapkan istirja’ saat menghadapi musibah, ia akan mendapat pahala dan ganti yang lebih baik.

مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

Tidaklah seorang muslim mengalami musibah, lalu dia mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’  (dan berdoa) ‘ya Allah berikanlah pahala untuk musibahku, dan gantikan untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya’. Melainkan Allah akan memberikan pahala dalam musibahnya dan memberinya ganti dengan yang lebih baik. (HR. Muslim)

2. Membantu korban banjir

Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah,
Orang-orang mukmin itu bagaikan satu tubuh. Saat yang satu terkena musibah, selayaknya yang lain membantu. Jangan justru mem-bully orang yang terkena musibah.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan kalaupun kita juga terkena musibah, namun saudara kita lebih membutuhkan, Islam mengajarkan untuk membantunya. Semampu kita. Meskipun hanya dengan ucapan yang baik dan untaian doa. Tentu lebih baik lagi jika mampu membantu evakuasi, membantu konsumsi dan bantuan-bantuan lain yang diperlukannya.

Pertolongan ini bukan hanya dibatasi untuk saudara seiman. Saudara sebangsa dan sesama manusia pun perlu ditolong. Dan menolong orang yang membutuhkan seperti inilah yang akan mendatangkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga musibah bisa berubah menjadi berkah.

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”. (HR. Muslim)

3. Muhasabah dan introspeksi

Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Datangnya musibah termasuk banjir 2020 ini seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi kita. Muhasabah. Sebab pada umumnya musibah datang kepada kaum muslimin dalam dua jenis. Pertama, sebagai ujian. Kedua, peringatan.

Sebagai ujian, kita kuatkan kesabaran. Namun yang tak kalah penting, dengan berbagai fakta lapangan kita perlu introspeksi bahwa ada peringatan dalam musibah banjir ini.

Peringatan seperti apa? Peringatan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar Rum: 41)

Sering kali bencana terjadi karena kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Termasuk banjir juga demikian.

Kerusakan ini ada dua macam. Pertama, kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya bencana. Dan ini merupakan bagian dari sunnatullah. Ketika hutan digunduli, air yang melaluinya langsung lewat tanpa terserap sehingga mudah terjadi banjir dan tanah longsor. Ketika sampah dibuang sembarangan termasuk ke sungai, ia akan menutup saluran air dan menjadi salah satu faktor banjir. Ketika gedung-gedung dibangun tanpa memperhatikan keseimbangan alam dan aliran air, juga menjadi salah satu faktor banjir.

Kedua, kerusakan jiwa manusia. Yakni dengan semakin banyaknya dosa dan kemaksiatan, Allah pun menegur manusia untuk kembali kepada-Nya. Kerusakan semacam ini sangat dikhawatirkan para sahabat sehingga ketika terjadi gempa di Madinah, Khalifah Umar bin Khattab meminta seluruh penduduknya untuk bertaubat.

BNPB menyebutkan, banjir yang meluas di awal tahun 2020 ini dipengaruhi oleh curah hujan yang sangat tinggi dan merata. Curah hujan pada 1 Januari 2020 tergolong ekstrim. Tertinggi selama 24 tahun terakhir. Yakni 377 mm/hari.

Kita bisa membuang sampah pada tempatnya. Kita bisa menanam kembali hutan dan pepohonan. Namun kita tak bisa mengendalikan curah hujan. Di sinilah pentingnya taubat nasuha serta menjauhi segala kemaksiatan dan dosa.

أَقُوْلُ قَوْلِ هَذَا وَاسْتَغْفِرُوْاللَّهَ الْعَظِيْمِ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ . أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Betapa pentingnya taubat nasuha agar Allah mengampuni dosa-dosa kita dan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan kita. Tanpa keberkahan, hujan menjadi banjir dan kemarau membawa kekeringan. Dengan keberkahan dari Allah, hujan maupun kemarau akan mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf: 96)

Di akhir khutbah kedua ini marilah kita berdoa kepada Allah semoga Allah mengampuni kita atas segala dosa dan kesalahan. Juga memberkahi bangsa kita, menolong seluruh kaum muslimin. Dan menjadikan kita sebagai ahli surga.

Doa

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ باَرِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ باَرَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ . رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ. اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ . رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

[Khutbah Jumat Menyikapi Musibah Banjir 2020. Edisi 8 Jumadil Awal 1441 H bertepatan 3 Januari 2020. Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BersamaDakwah


Sabarlah Engkau dalam Tiga Hal ini…

ALLAH Taala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)

Dalam ayat ini diperintahkan kepada orang beriman untuk bersabar, sabar menghadapi gangguan orang lain, melakukan ketaatan (menunggu shalat setelah shalat), disuruh pula bertakwa kepada Allah, supaya menjadi orang yang beruntung di dunia dan akhirat.

Sabar sendiri ada tiga macam:
– Sabar dalam menjalankan ketaatan.
– Sabar dalam menjauhi maksiat.
– Sabar dalam menghadapi musibah.

Mushabarah dalam ayat berbeda dengan sabar. Menurut Syaikh As-Sadi, mushabarah adalah terus menerus bersabar dalam menghadapi musuh.

Faedah dari Ayat:
– Sabar, mushabarah, melakukan ketaatan, dan takwa termasuk sifat orang beriman.
– Ayat ini menunjukkan keutamaan menyelisihi hawa nafsu dan berusaha menahan kesulitan demi menggapai ridha Allah.
– Ada perbedaan antara ishbiru dan shaabiru. Ishbiru hanya dari satu pihak yaitu menahan diri dari sesuatu. Sedangkan shaabiru berasal dari dua pihak yaitu bersabar atas gangguan orang lain misalnya bersabar ketika bertemu musuh.
– Kita diperintahkan tsabat, terus kokoh dalam menghadapi orang yang ingin menentang syariat.
– Ayat ini menunjukkan keutamaan orang yang melakukan ribath. Bentuk sederhananya adalah menunggu satu shalat ke shalat berikutnya. Bisa pula bentuknya adalah menjaga pos dari musuh.
– Ada akibat yang baik (falah, keberuntungan), bagi orang yang sabar, mushabarah, murabathoh (melakukan ribath), dan bertakwa. Berarti luput dari salah satu sifat ini, luput dari keberuntungan secara keseluruhan atau sebagian.
– Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, maka ia akan menjadi orang beruntung ketika bertemu dengan Allah.
– Ayat ini menunjukkan amalan secara bertahap, dari yang ringan hingga yang berat, mulai dari sabar, mushabarah, murabathah, dan takwa.
– Kalimat laallakum tuflihun, semoga kalian beruntung, menunjukkan bahwa hal itu pasti akan terjadi jika terpenuhi syarat dan Allah tidak mungkin mengingkari janji-janji-Nya.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. [Referensi: Tafsir As-Sadi; Tafsir Az-Zahrawain; Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Memberi dengan Harapan Mendapatkan Balasan Lebih

DALAM pelajaran sirah nabawiyah kali ini, kita kaji tafsir surah Al-Mudattsir yang merupakan wahyu kedua yang turun kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Allah Taala berfirman,

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (QS. Al-Mudattsir: 1-7)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam Diingatkan Jangan Ungkit-Ungkit Pemberian dan Ingin Mendapatkan yang Lebih Banyak

“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”, maksudnya kita dilarang mengungkit-ungkit pemberian yang telah diberikan kepada orang lain baik yang diberikan adalah nikmat diniyah maupun duniawiyah. Lantas dari pemberian itu ingin memperoleh yang lebih banyak. Yang kita lakukan adalah terus berbuat baik kepada orang lain sesuai dengan kemampuan kita. Adapun meminta balasan, hanyalah meminta kepada Allah.

Syaikh Musthafa Al-Adawi mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini di antaranya adalah janganlah memberi suatu pemberian lantas menginginkan ganti lebih banyak. Inilah yang dimaksud dengan riba seperti pada firman Allah,

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Ruum: 39). Lihat At-Tashil li Tawil At-Tanzil Tafsir Juzu Tabarak, hlm. 323.

INILAH MOZAIK