Fenomena Alam Saat Tanda Kenabian Nabi Muhammad Ditemukan

Di Bushra, Buhaira melihat tanda kenabian Nabi Muhammad.

Ketika Nabi Muhammad (saat itu belum diangkat menjadi nabi dan rasul) berdagang ke Bushra, wilayah antara Syam dengan Hijaz, beliau bertemu dengan seorang rahib Yahudi bernama Buhaira. Buhaira kala itu takjub melihat Nabi Muhammad dan mengatakan melihat kenabian di diri Rasul. Siapakah kiranya Buhaira ini?

Nama Buhaira dalam bahasa Suryani berarti lautan luas. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, kata Buhaira/Bahira berasal dari bahasa Aram yang berarti terpilih. Jadi, nama itu sebenarnya adalah nama gelar baginya, sedangkan nama baptisnya adalah Segeus atau Gergeus.

Dalam kesusasteraan Byzantium disebutkan, Buhaira adalah seorang rahib Yahudi beraliran Nastur. Dia menganut ajaran Arius dan Nustur, di mana sekter ini tidak menerima doktrin ketuhanan Yesus bahkan pantang menyebut Yesus sebagai Tuhan. Sekter ini percaya, baik itu Yesus maupun Maryam adalah manusia yang merupakan perwujudan dari kalimat luhur.

Dalam kitab Sirah Nabawiyyah karya Muhammad Ridha dijelaskan, Buhaira dikenal sebagai seorang pendeta yang menguasai ilmu falak dan perbintangan. 

Dia membangun biaranya di pinggir jalan utama menuju ke Syam dan selalu tinggal di dalamnya. Dia tinggal di sana khususnya pada musim lewat para pelancong dan kafilah dagang. Kemudian dia menyerukan kepada mereka untuk tidak menyembah berhala dan hanya mengesakan Allah. 

Buhaira juga memiliki seorang murid setia bernama Mudzhib. Di kemudian hari, Mudzhib ini pun menjadi guru dari Salman al-Farisi sebelum dia masuk Islam. 

Ketika bertemu dengan Rasulullah di Bushra, Buhaira melihat fenomena alam yang tak biasa yang mengikuti Muhammad. Awan bergerak memayungi ke manapun langkah Muhammad berarah. Lalu Buhaira menghampiri Rasulullah dan memeriksa sekujur tubuhnya.

Buhaira kemudian menemukan tanda kenabian itu di pundak beliau. Yakni di antara kedua penduknya, dan lalu Buhaira mencium antara kedua pundaknya. Buhaira pun berpesan pada, paman Nabi—Abu Thalib yang kala itu membawa Rasulullah untuk berdagang—untuk menjaga keponakannya itu. Sebab, keponakan Abu Thalib itu dikatakan bukanlah orang biasa. 

Di kemudian hari, Muhdzib pun berkata bahwa Buhaira gurunya mati di tangan orang Yahudi yang jahat. Buhaira terbunuh sebagai korban kelicikan beberapa orang Yahudi tersebut.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kontinyu dalam Menjaga Amal Ibadah Sunnah

Salah satu perkara yang mungkin sulit dan bagi kita adalah menjaga kontinuitas amal, yaitu menjaga agar kita terus-menerus melakukan amal tersebut dan tidak hanya beramal di satu waktu, kemudian meninggalkannya. Bisa jadi kita semangat shalat malam di bulan Ramadhan, lalu setelah itu, kita pun meninggalkannya, menunggu bulan Ramadhan berikutnya. 

Motivasi dari syariat untuk menjaga kontinuitas amal

Kita dapati motivasi dari syariat agar kita menjaga kontinuitas (kesinambungan) suatu amalan. Sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ، فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Wahai ‘Abdullah, janganlah Engkau seperti si fulan. Dulu dia rajin shalat malam, dan sekarang dia meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 1152 dan Muslim no. 1159)

Demikian pula perkataan ummul mukminin, ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَقُولُ: خُذُوا مِنَ العَمَلِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا. وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa (sunnah) lebih banyak dalam sebulan selain bulan Sya’ban, dimana beliau melaksanakan puasa bulan Sya’ban seluruhnya.” Beliau bersabda, “Lakukanlah amal-amal yang kalian sanggup melaksanakannya, karena Allah tidak akan berpaling (dalam memberikan pahala) sampai kalian yang lebih dahulu berpaling (dari mengerjakan amal).” Dan shalat yang paling Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cintai adalah shalat yang dijaga kesinambungannya sekalipun sedikit. Dan bila beliau sudah biasa melaksanakan shalat (sunnat) beliau menjaga kesinambungannya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 741)

Beliau tidaklah mengkhususkan satu waktu untuk beribadah, hanya semangat di satu waktu, lalu tidak semangat beramal di waktu lainnya. Sebagaimana keadaan beliau tersebut ditanyakan oleh Alqamah kepada ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَخْتَصُّ مِنَ الأَيَّامِ شَيْئًا؟ قَالَتْ: ” لاَ، كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً، وَأَيُّكُمْ يُطِيقُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطِيقُ

“Aku bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan hari-hari tertentu dalam beramal?” Dia menjawab, “Tidak. Beliau selalu beramal terus menerus tanpa putus. Siapakah dari kalian yang akan mampu sebagaimana yang mampu dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 741)

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ أَحَبُّ العَمَلِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَدُومُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

“Amal yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amal yang dikerjakan secara kontinyu (berkesinambungan) oleh pelakunya.” (HR. Bukhari no. 6462 dan Muslim no. 741)

Meningkatkan derajat dan meraih pahala yang besar dengan rutin ibadah sunnah

Di antara faidah besar dari menjaga rutinitas dan kontinuitas (kesinambungan) ibadah adalah meningkatkan derajat seorang hamba di sisi Allah Ta’ala dan meraih pahala atau keutamaan yang besar. Sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَابِعُوا بَيْنَ الحَجِّ وَالعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الكِيرُ خَبَثَ الحَدِيدِ، وَالذَّهَبِ، وَالفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ المَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الجَنَّةُ

“Lakukanlah haji dan umrah dalam waktu yang berdekatan, karena keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan menghapus dosa, sebagaimana al-kir (alat yang dipakai oleh pandai besai) menghilangkan karat besi, emas, dan perak. Tidak ada balasan haji mabrur kecuali surga.” (HR. Tirmidzi no. 810, An-Nasa’i no. 2630. Ibnu Majah no. 2887, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Diriwayatkan dari ibunda Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa shalat dua belas rakaat sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.” 

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha kemudian berkata, 

فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Maka aku tidak akan meninggalkan shalat dua belas rakaat itu semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 728)

Dalam hadits di atas, kita bisa melihat bagaimanakah semangat salaf terdahulu dalam menjaga rutinitas amal sejak mendapatkan ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kiat utama untuk menjaga kontinuitas amal

Dalam ibadah wajib, secara umum kita memiliki kewajiban yang sama dan tidak ada pilihan kecuali harus melaksanakan ibadah wajib tersebut. Kita sama-sama harus shalat lima waktu sehari semalam dan berpuasa di bulan Ramadhan. Meskipun dalam kondisi tertentu, ibadah wajib tersebut berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Laki-laki memiliki kewajiban shalat di masjid (menurut pendapat yang kami nilai paling kuat dalam masalah ini), sedangkan tidak untuk wanita. Demikian pula, kewajiban laki-laki sebagai kepala rumah tangga, tentu berbeda dengan kewajiban istri. Sehingga secara umum, mau tidak mau, kita harus melaksanakan ibadah wajib tersebut dan tidak ada pilihan lain. 

Berbeda halnya dengan ibadah sunnah. Ibadah sunnah itu beragam, ada shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, dan seterusnya. Di antara kita utama kita bisa kontinyu dalam ibadah sunnah adalah kita memilih ibadah sunnah yang sesuai dengan kondisi kita masing-masing, manakah yang jiwa kita merasa ringan melakukannya. Dan ini, tentu saja, berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lainnya. 

Ada orang yang kalau sedekah sunnah, dia rajin, karena memang berkecukupan dan dia punya jiwa sosial. Namun, ada orang yang agak berat sedekah sunnah, karena dia pas-pasan, namun kalau disuruh puasa menahan lapar, dia akan senang-senang saja. Ada orang yang agak berat kalau puasa rutin karena pekerja berat, namun dia senang membaca Al-Qur’an di waktu-waktu luangnya. Ada orang yang mungkin agak berat puasa sunnah rutin dan membaca Al-Qur’an, namun dia senang dan rajin mendengarkan pengajian. Dan demikian seterusnya. 

Kondisi ini sama persis dengan jalan-jalan meraih rizki. Ada orang yang berbakat jadi pedagang, namun tidak bisa menjadi petani. Ada orang yang pandai memasak, bisa buka warung, namun tidak bisa menjadi pekerja bangunan. Tentu kita tidak bisa memaksa seorang pekerja bangunan untuk beralih profesi menjadi juru masak di restoran. Jalan-jalan rizki masing-masing orang berbeda-beda, sebagaimana jalan ibadah sunnah setiap orang pun berbeda-beda. 

Oleh karena itu, sungguh indah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullahu Ta’ala ketika berdiskusi dengan seseorang yang menyibukkan dirinya dalam ibadah. 

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْعُمَرِيَّ الْعَابِدَ كَتَبَ إِلَى مَالِكٍ يَحُضُّهُ إِلَى الِانْفِرَادِ وَالْعَمَلِ وَيَرْغَبُ بِهِ عَنِ الِاجْتِمَاعِ إِلَيْهِ فِي الْعِلْمِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ

“Sesungguhnya ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Umarri Al-‘Aabid, seorang ahli ibadah, menulis surat kepada Imam Malik. Beliau menyarankan (memotivasi) Imam Malik untuk menyendiri (uzlah) dan sibuk beribadah dalam kesendirian. Dan dengan motivasi itu, dia ingin menggembosi semangat Imam Malik dari mengajarkan ilmu. Imam Malik pun membalas surat tersebut dengan mengatakan,

أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَسَّمَ الْأَعْمَالَ كَمَا قَسَّمَ الْأَرْزَاقَ فَرُبَّ رَجُلٍ فُتِحَ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصَّوْمِ وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ فِي الصَّدَقَةِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصِّيَامِ وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ فِي الْجِهَادِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَنَشْرُ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمُهُ مِنْ أَفْضَلِ أَعْمَالِ الْبِرِّ وَقَدْ رَضِيتُ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ لِي فِيهِ مِنْ ذَلِكَ وَمَا أَظُنُّ مَا أَنَا فِيهِ بِدُونِ مَا أَنْتَ فِيهِ وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ كِلَانَا عَلَى خَيْرٍ وَيَجِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا أَنْ يَرْضَى بِمَا قُسِّمَ لَهُ

‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu membagi amal (ibadah) sebagaimana Allah membagi rizki (maksudnya, ada yang sumber rizkinya dari berdagang, menjadi petani, dan seterusnya, pen.). Ada orang yang dibukakan untuknya pintu shalat, namun tidak dibukakan pintu puasa. Sedangkan yang lain, dibukakan pintu sedekah, namun tidak dibukakan pintu puasa. Yang lain lagi, dibukakan pintu jihad, namun tidak dibukakan pintu shalat. Adapun menyebarkan ilmu dan mengajarkannya termasuk di antara amal kebaikan yang paling utama. Dan sungguh aku telah ridha dengan apa yang telah Allah Ta’ala bukakan untukku. Aku tidak menyangka amal yang Allah mudahkan untukku itu lebih rendah dari amal yang Engkau kerjakan. Aku berharap bahwa kita berdua berada dalam kebaikan. Dan wajib atas setiap kita untuk ridha terhadap amal yang telah dibagi untuknya.” (At-Tamhiid, 7/158 dan Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 114)

Demikianlah nasihat indah Imam Malik rahimahullah yang perlu diperhatikan. Dalam ibadah sunnah, janganlah kita meremehkan orang lain karena berbeda dengan kita. Termasuk dalam dakwah. Kita dapati sebagian ustadz sangat rajin dan gemar menulis, dan menghasilkan karya-karya tulisan yang banyak. Karena memang beliau sejak dulu rajin dan gemar menulis. Namun, ustadz yang lain, belum tentu sama, karena dia disibukkan dengan dakwah langsung di masyarakat, atau menjadi relawan kemanusiaan yang terjun langsung di daerah-daerah pedalaman yang belum tersentuh dakwah. 

Oleh karena itu, yang menjadi renungan bagi kita adalah, jiwa kita, mau memilih ke arah mana?

[Selesai]

***

Penulis:M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54143-kontinyu-dalam-menjaga-amal-ibadah-sunnah.html

7 Contoh Pembagian Waktu Shalat Malam Menurut Ulama

Para ulama membagi pelaksanaan shalat malam dalam tujuh bagian.

Menghidupkan malam sesungguhnya memiliki tujuh tingkatan waktu yang dapat diterapkan dalam aktivitas malam sehari-hari. Hal ini agar shalat malam tak luput dari prioritas penunjang para kaum Muslim.

Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam kitabnya yang dialihbahasakan menjadi Saripati Ihya Ulumiddin menjelaskan, menghidupkan malam adalah keadaan orang-orang kuat yang meluangkan diri semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT. 

Menghidupkan ibadah dalam waktu malam menurut beliau dibaratkan seperti makanan dan kehidupan bagi hati mereka hamba-hamba Allah SWT yang saleh.

Pertama, adalah bangun malam untuk menghidupkan seluruh malam. Sebanyak 40 orang tabiin terkenal melakukan bangun malam sedemikian rupa untuk menghidupkan ibadah malamnya. Kedua, bangun setengah waktu malam.

Ketiga, bangun sepertiga waktu malam pada paruh terakhir malam. Keempat, bangun seperenam waktu malam pada paruh terakhir malam atau seperlimanya. Kelima, tidak mengikuti cara-cara di atas, tetapi dia tidur dan bangun malam di bagian malam yang tidak ditentukan.

Keenam, bangun malam seukuran empat rakaat atau dua rakaat. Ketujuh, ketika dia tidak bangun di tengah malam, seyogianyalah dia tidak melalaikan bangun sebelum shubuh pada waktu sahur dan jangan juga ia masuk di waktu shubuh dalam keadaan masih tidur.

Adapun bangun malamnya Rasulullah SAW dalam hal kadar, tidaklah berdasar pada satu tertib tertentu. Adakalanya Rasulullah SAW bangun separuh malam, atau sepertiganya, atau dua pertiganya, seperenamnya dengan berbeda-beda pada malam yang beliau lalui.

Hal ini juga ditegaskan Allah SWT dalam Alquran surah al-Muzammil ayat 20, yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri (bangun malam) kurang dari dua pertiga malam, seperduanya, atau sepertiganya,”.

KHAZANAH REPUBLIKA

Keterlaluan, Banyak Harta tapi Tak Zakat Mal!

SEORANG muslim yang mampu dalam ekonomi wajib membayar sebagian harta yang dimiliki kepada orang-orang yang berhak menerimanya baik melalui panitia zakat maupun didistribusikan secara langsung / sendiri.

Hukum zakat adalah wajib bila mampu secara finansial dan telah mencapai batas minimal bayar zakat atau yang disebut nisab. Sekarang kita akan lanjut membahas bagaimana perhitungan zakat. Berikut pembahasannya.

Zakat Maal = 2,5% x Jumlah Harta Yang Tersimpan Selama 1 Tahun (tabungan dan investasi)

Menghitung Nisab Zakat Mal = 85 x harga emas pasaran per gram

Contoh Perhitungan Dalam Zakat Maal Harta:

Nyonya Upit Marupit punya tabungan di Bank Napi 100 juta rupiah, deposito sebesar 200 juta rupiah, rumah rumah kedua yang dikontrakkan senilai 500 juta rupiah dan emas perak senilai 200 juta. Total harta yakni 1 milyar rupiah. Semua harta sudah dimiliki sejak satu tahun yang lalu.

Jika harga 1 gram emas sebesar Rp. 250.000,- maka batas nisab zakat maal adalah Rp. 21.250.000,-. Karena harta Nyonya Upit Marupit lebih dari limit nisab, maka ia harus membayar zakat mall sebesar Rp. 1 milyar x 2,5% = 25 juta rupiah per tahun.

Harta yang wajib dibayarkan zakat mal / zakat harta : Emas, perak, uang simpanan, hasil pertanian, binatang ternak, benda usaha (uang, barang dagangan, alat usaha yang menghasilkan) dan harta temuan.

Perhitungan untuk hasil pertanian, peternakan, dan harta temuan ada ketentuan yang berbeda dalam hal nisab maupun besaran zakatnya. Ada juga buku yang berpendapat nisab emas adalah 93,6 gram dan perak 672 gr. Untuk lebih mudah bisa kita konversi ke rupiah dulu.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang menimbun harta. Oleh karena itu hiduplah sederhana dan gunakan harta untuk diputar kembali dalam perekonomian secara halal. Jangan lupa perbanyak sedekah. [org]

INILAH MOZAIK

Inilah Zakat bagi Pedagang

Berikut penjelasan tentang nishab, ukuran, dan cara mengeluarkan zakatnya:

5. Nishab barang dagangan

Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.

Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:

1) Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang sejenisnya.
2) Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
3) Nilainya telah sampai nishab.

Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.

Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:

Modal Hutang: Rp. 200.000.000 Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000

Jadi jumlah harta zakat adalah: Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000

Zakat yang harus dibayarkan: Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000

6. Nishab harta karun

Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)

[Ustadz Kholid Syamhudi]

INILAH MOZAIK

Jika Kamu Memiliki Ternak dan Hasil Pertanian…

Berikut penjelasan tentang nishab, ukuran, dan cara mengeluarkan zakatnya:

3. Nishab binatang ternak

Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.

“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor” (HR. Bukhari)

Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:

a. Onta. Nishab onta adalah 5 ekor.
b. Sapi. Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
c. Kambing. Nishab kambing adalah 40 ekor.

4. Nishab hasil pertanian

Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyariatkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Taala,

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-Anam: 141)

Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

“Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun alaihi)

Satu wasaq setara dengan 60 sha (menurut kesepakatan ulama, silakan lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/364). Sedangkan 1 sha setara dengan 2,175 kg atau 3 kg. Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha x 3 kg = 900 kg.

Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

“Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)

Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg

[Ustadz Kholid Syamhudi]

INILAH MOZAIK

Jika Kamu Memiliki Emas dan Perak…

Berikut penjelasan tentang nishab, ukuran, dan cara mengeluarkan zakatnya:

1. Nishab emas

Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.
1 dinar = 4,25 gr emas
Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.

Dalil nishab ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

“Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun yaitu dalam emas sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)

Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.

Contoh:
Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga tersebut.

2. Nishab perak

Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.

[Ustadz Kholid Syamhudi]

INILAH MOZAIK

Ini Cara Menghitung Nisab Harta Satu Tahun

DALAM menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?

Imam Nawawi berkata,

“Menurut mazhab kami (Syafii), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun).

Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468).

Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya.

Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya.

Demikian tulisan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat. [Ustadz Kholid Syamhudi]

INILAH MOZAIK

Wasiat Luqman (Bag. 3) : Birrul Walidain

Baca pembahasan sebelumnya Wasiat Luqman (Bag. 2) : Laa Tusyrik Billah!

Alquran Surat Luqman:14

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“ Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Ku kalian akan kembali.” (Luqman : 14)

Perintah Birrul Walidain dan Betapa Agung Kedudukannya dalam Islam

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Allah memerintahkan untuk berbakti kepada keduanya setelah menjelaskan tentang larangan berbuat kesyirikan. Ini menunjukkan berbuat baik kepada kedua orang tua memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam.

Berulang kali dalam banyak ayat Allah menyebutkan kewajiban untuk menunaikan hak kedua orang tua setelah memerintahkan untuk menunaikan hak Allah, yaitu hanya beribadah kepada Allah dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Ini menunjukkan bahwa hak kedua orang ua adalah hak yang terbesar setelah hak Allah dan rasul-Nya.  Allah Ta’ala berfirman dalam beberapa ayat-Nya : 

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

“ Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. “ (An Nisaa’:36)

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

“ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.“ (Al Isra’: 23)

قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

“ Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua. ” (Al An’am 151)

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

“ Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada kedua orang tua.“ (Al Baqarah : 83). ( At Tashiil li Ta’wiil at Tanziil Tafsir Surat Luqman )

Bakti kepada Ibu Lebih Utama

Dalam ayat ini disebutkan bagaimana kesusahan seorang ibu ketika mengandung anaknya :

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ 

“ Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya selama dua tahun “

Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ

“ Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu orang yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, hasan).

Apakah yang dimaksud firman Allah  (وَهْناً عَلَى وَهْنٍ ) ?

Imam Mujahid menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah kesulitan ketika mengandung anak. Imaam Qatadah menjelaskan maksudnya adalah ibu mengandung dengan penuh usaha yang berat. ‘Atha’ al Kharasani menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung dalam keadaan kondisi lemah yang terus semakin bertambah lemah. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adziim)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelasakan bahwa hak ibu lebih wajib ditunaikan daripada hak bapak. Allah Ta’ala menyebutkan apa yang dialami ibu berupa berat dan kesulitan saat hamil mengisyaratkan bahwasanya hak ibu lebih besar. Kesulitan yang dialami ibu tidaklah dialami oleh bapak, hanya ibu yang mengalami kesulitan dan rasa berat tersebut. Memang benar bahwa bapak juga mengalami kesulitan yang lain seperti misalnya ketika menceri nafkah atau kesulitan yang lain. Akan tetapi penderitaan fisik bagi seorang ibu ketika hamil tidak seperti yang dialami oleh bapak. Oleh karena itu ibu memiliki hak yang lebih besar untuk ditunaikan daripada bapak. (Tafsir Surat Luqman, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Bersyukur Kepada Keduanya Setelah Bersyukur Kepada Allah

Jika kita telah mengetahui bagaiamana beratnya kedua orang tua mengasuh dan mendidik kita sejak kecil, maka menjadi kewajiban kita untuk berterima kasih dan berbakti kepada keduanya. Allah Ta’ala berfirman :

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“ Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku kalian akan kembali.” (Luqman : 14)

Dalam ayat lain Allah Ta’ala juga berfirman :

وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan ucapkanlah: “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (Al Isra’: 24).

Yang dimaksud bersyukur kepada Allah adalah dengan dengan mewujudkan peribadatan hanya kepada-Nya, menunaikan hak-hak Allah, serta tidak menggunakan nikmat yang Allah berikan untuk berbuat maksiat. Adapun bersyukur kepada kedua orang tua yaitu berbuat baik kepada keduanya dengan berkata yang lemah lembut, melakukan perbuatan yang baik, bersikap tawadhu’, menghormati dan memuliakan mereka, membantu kebutuhan mereka, serta meninggalkan berbagai perkataan maupun perbuatan yang menyakiti mereka”. (Taisiir Al Karimir Rahman Tafsir Surat Luqman).

Dalam ayat ini didahulukan penyebutan syukur kepada Allah daripada kepada kedua orang tua. Meskipun hak orang tua sangat besar, namun hak Allah tetap harus didahulukan daripada hak-hak yang lainnya. 

Faidah-Faidah Ayat 

1. Ayat ini menunjukkan perhatian dari Allah kepada para hamba dalam berinteraksi dengan kedua orang tua. Oleh karena itu Allah mewasiatkan para hamba untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

2. Allah lebih kasih sayang kepada para orang tua daripada anak kepada kedua orang tuanya, karena Allah lah yang memerintahkan anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya tersebut. 

 3. Penjelasan tentang agungnya kedudukan berbakti kepada kedua orang tua karena Allah menjadikannya sebagai wasiat untuk para hamba, yaitu sesuatu perjanjian yang sangat ditekankan yang hendaknya ditunaikan.. 

4. Hak ibu lebih wajib ditunaikan daripada hak bapak.

5. Hendaknya para ibu bersabar ketika mengalami berbagai kesusahan dan rasa berat yang dirasakan selama hamil, karena demikianlah hal yang dialami wanita ketika hamil, sebagaimana Allah berfirman : 

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ

“ Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, ” (Luqman : 14)

6. Ayat ini menunujukkan bahwa waktu minimal kehamilan normal adalah enam bulan. Hal ini berdasarkan ayat :

وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ 

“ dan menyapihnya dalam dua tahun “

Sementara dalam ayat lain Allah berfriman :

وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً

“ Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan “ (Al Ahqaf : 15).

Total seluruh masa hamil dan menyusui adalah 30 bulan, sedangkan masa menyusui selama 24 bulan, sehingga minimal masa kehamilan seorang wanita normal adalah 6 bulan. 

7. Wajib bersyukur kepada kedua orang tua sebagaimana wajibnya bersyukur kepada Allah. Akan tetapi syukur kepada Allah lebih didahulukan daripada kepada kedua orang tua. ( Lihat Tafsir Surat Luqman, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah) 

Semoga kita dimudahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua kita. Kita berharap mudah-mudahan Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa kita dan dosa kedua orang tua kita.

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54118-wasiat-luqman-bag-3-birrul-walidain.html

Orang Tua Tidak Pernah Menafkahi, Wajibkah Anak Tetap Berbakti?

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Soal:

Seorang lelaki menceraikan istrinya ketika hamil. Setelah melahirkan, Allah berikan rezeki kepada sang Ibu sehingga ia merawat anaknya, mendidiknya dan membesarkannya hingga sang anak menikah, tanpa sepeser pun bantuan dari bapak sang anak tersebut. Apakah sang anak tetap wajib berbuat baik kepada ayah kandungnya dan berbakti kepadanya? Padahal ia tidak pernah merawat sang anak dan sang anak tidak pernah merasakan kehangatan seorang ayah di sisinya.

Jawab:

Iya, tetap wajib bagi seorang anak untuk menunaikan hak orang tuanya. Walaupun sang orang tua lalai dalam pemenuhan kewajibannya berupa pendidikan dan nafkah. Karena anak maupun orang tua memiliki hak yang wajib ditunaikan kepada satu-sama-lain. Jika orang tua lalai dalam pemenuhan hak terhadap anak, maka ia berdosa. Namun ini tidak mengugurkan pemenuhan hak orang tua dari sang anak, yaitu dengan berbakti kepadanya dan berbuat baik kepadanya.

Dan hendaknya setiap Muslim membalas kebaikan kepada orang yang berbuat buruk kepadanya, walaupun terhadap selain orang tuanya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik” (QS. Fushilat: 34).

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah” (QS. Asy Syura: 40).

Setiap Muslim dituntut untuk membalas keburukan orang lain dengan kebaikan. Maka bagaimana lagi jika ia orang tua kita? Maka lebih ditekankan lagi untuk berbuat demikian.

Sumber: Majmu Fatawa Syaikh Shalih Al Fauzan, 2/583, Asy Syamilah

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/39028-orang-tua-tidak-pernah-menafkahi-wajibkah-anak-tetap-berbakti.html