Anjuran Mencuci Tangan Dalam Islam

Islam adalah agama yang membawa maslahah dan mencegah mudharat bagi manusia. Diantara bentuknya, Islam mengajarkan pola hidup bersih dan tampil indah. Contohnya, ada beberapa waktu yang dianjurkan untuk mencuci tangan ketika itu. Siapa yang melakukan cuci tangan dalam rangka memenuhi anjuran ini, ia mendapatkan pahala.

Berikut ini beberapa tempat yang disunnahkan untuk cuci tangan

1. Ketika berwudhu
Disebutkan dalam hadits Humran bin Aban rahimahullah tentang cara wudhu Utsman bin Affan radhiallahu’anhu :

فغسل كَفَّيْهِ ثلاثَ مراتٍ

“.. kemudian beliau membasuh kedua tangannya 3 kali”

Yang di akhir hadits, Utsman bin Affan mengatakan:

رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم توضأ نحوَ وُضوئي هذا

Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini” (HR. Bukhari no.1934, Muslim no.226).

Mencuci kedua tangan ketika wudhu hukumnya sunnah, tidak sampai wajib. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni mengatakan:

وليس ذلك بواجب عند غير القيام من النوم بغير خلاف نعلمه

Tidak mencuci tangan yang wajib kecuali ketika bangun tidur, hal ini tidak ada khilaf ulama yang kami ketahui“.

2. Ketika bangun tidur
Ketika bangun tidur disyariatkan untuk mencuci tangan sebelum memasukkan tangan ke dalam bejana atau melakukan aktifitas lainnya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إذا استيقظ أحدُكم من نومِهِ، فلا يَغْمِسْ يدَه في الإناءِ حتى يغسلَها ثلاثًا . فإنه لا يَدْرِي أين باتت يدُه

Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka jangan mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali. Karena ia tidak mengetahui dimana letak tangannya semalam” (HR. Bukhari no. 162, Muslim no. 278).

Ulama berbeda pendapat apakah larangan mencelupkan tangan ke dalam bejana (semua tempat yang menyimpan air) di dalam hadits ini apakah makruh ataukah haram. Ulama Hanabilah berpendapat hukumnya haram dan mencuci tangan hukumnya wajib. Namun jumhur ulama berpendapat hukumnya makruh dan mencuci tangan hukumnya mustahab (sunnah).

3. Ketika sebelum makan
Dalam hadits dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ إذا أرادَ أن ينامَ ، وَهوَ جنبٌ ، تَوضَّأَ . وإذا أرادَ أن يأْكلَ ، أو يشربَ . قالت : غسلَ يدَيهِ ، ثمَّ يأكلُ أو يشربُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika beliau ingin tidur dalam keadaan junub, beliau berwudhu dahulu. Dan ketika beliau ingin makan atau minum beliau mencuci kedua tangannya, baru setelah itu beliau makan atau minum” (HR. Abu Daud no.222, An Nasa’i no.257, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan:

يستحب غسل اليدين قبل الطعام وبعده, وإن كان على وضوء

Dianjurkan mencuci tangan sebelum makan dan setelah makan, walaupun dalam keadaan punya wudhu“.

4. Ketika setelah makan
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أكل كتفَ شاةٍ فمضمضَ وغسل يديهِ وصلَّى

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memakan daging bahu kambing, kemudian beliau berkumur-kumur, mencuci kedua tangannya, baru setelah itu shalat” (HR. Ibnu Majah no. 405, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

5. Ketika tangan kotor
Secara umum ketika ada kotoran pada tubuh kita atau pakaian kita, hendaknya berusaha membersihkannya agar tampil bersih dan bagus. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمالَ

Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (HR. Muslim no.91).

Terlebih jika tangan yang kotor bisa mengganggu orang lain. Dari Abu Musa radhiallahu’anhu, ia berkata:

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, amalan Islam manakah yang paling utama?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu orang yang kaum Muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya”” (HR. Bukhari no.10, Muslim no.57).

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Ustadz Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11971-anjuran-mencuci-tangan-dalam-islam.html

Hari Pertama, 17.244 Jemaah Lunasi Biaya Haji

Jakarta (Kemenag) — Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) untuk jamaah haji reguler tahap I dibuka mulai hari ini, Kamis (19/04). Sampai dengan penutupan pelunasan pada jam 15.00 WIB, data pada Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah mencatat sebanyak 17.244 jemaah telah melakukan pelunasan.

Kemenag telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) No 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Kuota Haji Tahun 1441H/2020M. KMA ini mengatur bahwa kuota haji Indonesia berjumlah 221.000. Jumlah ini terdiri dari 203.320 kuota haji reguler dan 17.680 kuota haji khusus. Kuota haji reguler terbagi menjadi tiga, yaitu: 199.518 untuk jemaah haji reguler tahun berjalan, 2.040 prioritas kuota jemaah haji lanjut usia, dan 1.512 untuk kuota petugas haji daerah.

“Artinya sudah 8.6% kuota jemaah haji yang sudah terlunasi sampai dengan sore ini,” ujar Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Muhajirin di Jakarta, Kamis (19/03).

Menurutnya, pelunasan BPIH tahap pertama bagi jemaah haji reguler akan berlangsung sampai dengan 17 April 2020. Pelunasan dilakukan pada setiap hari kerja dengan waktu pembayaran untuk Indonesia Bagian Barat pukul 08.00 – 15.00 WIB, Indonesia Bagian Tengah pukul 09.00 – 16.00 WITA, dan Indonesia Bagian Timur pukul 10.00 – 17.00 WIT.

“Pelunasan BPIH dilakukan pada Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH tempat setoran awal dengan menunjukkan bukti pembayaran setoran awal BPIH lembar pertama. Mulai tahun ini, selain datang langsung ke Bank Penerima Setoran awal (BPS), pelunasan juga bisa dilakukan secara non teller melalui internet dan mobile banking,” jelas Muhajirin.

“Sebelum melakukan pelunasan, jemaah yang berhak melakukan pelunasan biaya haji tahun ini, agar melakukan pemeriksaan kesehatan di Puskesmas atau rumah sakit. Sebab, keterangan istitha’ah secara kesehatan, menjadi salah satu syarat melakukan pelunasan,” sambungnya.

Kemenag telah merilis daftar nama jemaah berhak lunas pada laman haji.kemenag.go.id. Daftar nama tersebut juga bisa dicek langsung di Kantor Kemenag Kab/Kota setempat.

“Untuk memudahkan jemaah, kami juga siapkan aplikasi haji pintar sehingga jemaah bisa melakukan pengecekan dari rumah masing-masing,” terangnya.

“Aplikasi haji pintar sudah tersedia di Play Store. Aplikasi tersebut bisa didownload dengan nama “Haji Pintar” dengan icon Kabah dan tulisan ‘Haji Pintar’,” pungkasnya.

Penulis Khoiron EditorBoy Azhar

KEMENAG RI

Pelajaran dari Sebuah Virus

Belakangan ini, di berbagai belahan dunia, kita bisa menyaksikan bagaimana orang-orang begitu ketakutan dengan mahluk Allah Ta’ala bernama virus.

“YA TUHAN Kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

Doa di atas tertulis dalam al-Qur’an Surat Ali Imran [3] ayat 191. Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa doa itu diucapkan oleh orang-orang yang berakal. Dan, dengan akalnya, ia merenung tentang kekuasaan Allah Ta’ala.

Para ulama menganjurkan agar kita banyak merenung. Al Hasan Al Basri bahkan mengatakan, “Berpikir selama sesaat lebih baik dari pada berdiri shalat selama semalaman.”

Syeikh Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, “Sesungguhnya bila aku keluar dari rumahku, tiada sesuatu pun yang terlihat oleh mataku, kecuali aku menyadari bahwa Allah Ta’ala telah memberikan kenikmatan kepadaku, dan dalam setiap yang kulihat terkandung sebuah pelajaran,” (diambil dalam kitabut Tawakkul wal I’tibar).

Jadi, merenunglah! Bila kita merenung, akan banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Apalagi Allah Ta’ala telah mengaruniai kita teknologi informasi yang begitu canggih, sehingga kita bisa dengan mudah menjelajahi dunia.

Belakangan ini, di berbagai belahan dunia, kita bisa menyaksikan bagaimana orang-orang begitu ketakutan dengan mahluk Allah Ta’ala bernama virus. Sebagian ilmuwan menganggap virus bukanlah mahluk hidup. Sebab, DNA-nya tunggal. Berbeda dengan DNA mahluk hidup yang selalu ganda.

Ukurannya sangat kecil. Bahkan jauh lebih kecil dari bakteri. Anda bisa bayangkan bila ada sebuah benda berukuran 1 meter, lalu dibagi dengan 10 pangkat 9 alias 1.000.000.000. Kecil sekali, bukan? Dibagi seribu dengan jumlah nol hanya tiga saja sudah sangat kecil, apalagi kalau nol-nya sembilan. Allahu Akbar!

Namun, mahluk supermini ini telah mampu membuat manusia kelabakan. Padahal manusia dikaruniai akal oleh Allah Ta’ala. Tak ada mahluk hidup lain di muka bumi ini yang Allah karunia akal. Bagaimana mungkin mahluk hidup berakal bisa takluk dengan mahluk yang tak dianggap hidup?

Tapi faktanya, kota-kota besar di seluruh dunia mendadak sepi karena mahluk ini. Bahkan Masjidil Haram pun sepi. Luar biasa bila Allah telah berkehendak. Manusia betul-betul mahluk lemah di hadapan Allah Ta’ala.

Rugilah kita bila tak mampu mengambil pelajaran dari fenomena ini. Bagi orang-orang yang beriman, fenomena ini adalah ujian dari Allah, apakah mampu bersabar atau tidak. Sedang bagi orang-orang yang menolak untuk beriman kepada Allah, ini adalah teguran. Mudah-mudahan mereka segera sadar. Wallahu a’lam.Mahladi

HIDAYATULLAH


Teladan Sahabat Umar dan Amr bin Al-Ash saat Wabah Tho’un Amwas

“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan kalian dan panggilan dari Nabi kalian, juga (menyebabkan) kematian orang-orang sholih sebelum kalian”

BELAKANGAN ini warga dunia sedang menghadapi wabah virus mematikan, virus Corona (yang secara resmi dinamakan WHO: corona virus disease 2019 atau COVID-19). Berdasarkan data resmi per hari ini Covid-19 telah menjangkiti lebih dari 145 ribu orang di 121 negara dengan jumlah kematian melebihi 5000 jiwa.

Sejarah abad ke-20 mencatat telah beberapa kali dunia menghadapi virus mematikan, diantaranya yang paling dikenal adalah virus Ebola asal Kongo (tahun 1976) yang mematikan 14.000 jiwa lebih. Virus H1N1 asal Amerika dan Meksiko (tahun 2009) yang mematikan lebih dari 123000 jiwa. Virus MERS asal Saudi Arabia (tahun 2012) yang mematikan kurang dari 900 orang. Namun wabah yang paling mematikan mungkin adalah Spanish flu atau Virus H1N1 tahun 1918 (Jan 1918- Dec 1920) yang diperkirakan menjangkiti 500 juta jiwa (atau 27% dari populasi dunia masa itu yang berjumlah 1.9 milyar jiwa) dan diperkirakan membunuh setidaknya 17 juta hingga 50 juta jiwa, namun ada pula yang memperkirakan hingga 100 juta jiwa.

Nama Spanish sendiri dinisbatkan ke Spanyol bukan karena ia merupakan asal muasal wabah ini melainkan karena Raja Alfonso 13 terjangkit dan sakit keras karena penyakit ini (Wikipedia).

Dampak dari virus Covid-19 ini pun bervariasi diantara orang-orang yang terjangkitinya, dimulai dari gejala flu biasa hingga gejala batuk kering, demam tinggi, dan kesulitan bernafas. Sebagian orang akan mengalami kondisi yang lebih parah dan mengancam jiwa seperti kegagalan ginjal akut, kerusakan liver, dan pneumonia (kegagalan paru-paru) (Sumber: National Geographic).

Menghadapi kasus ini, negara asal munculnya Covid 19 menerapkan kebijakan ketat antisipasi virus dengan melarang seluruh aktivitas sosial, membangun rumah sakit darurat dengan kapasitas 1000 pasien dalam seminggu.

Langkah cepat China ini diikuti oleh negara tetangga seperti Jepang, dan Korsel. Alhasil meskipun sedikit terlambat pada mulanya, penyebaran virus sudah melambat dan kondisi mulai terkendali. Lain ceritanya dengan Italia, negeri anggota Uni Eropa ini, sebaliknya sangat terlambat dalam antisipasi terhadap penyakit ini.

Dari 3 kasus tercapat pada 15 Februari 2020, virus Corona melonjak menjadi 1.128 kasus pada 29 Februari 2020, dan per hari ini 14 Maret 2020 telah mencapai 17.660 jiwa dengan lebih dari 1.200 jiwa meninggal dunia.  Kasus negeri Iran hampir sama, dari 2 kasus pada 19 Februari penderita melonjak menjadi 11.000 kasus lebih per hari ini dengan lebih dari 500 kematian. (Sumber: Worldometers)

Melihat pengalaman negara-negara ini seharusnya Indonesia baik pemerintah maupun kalangan terdidik memperingatkan bahaya yang mengancam dari wabah massal Covid 19 . Namun sejauh yang diperhatikan masih banyak keterlambatan dalam mengambil kebijakan maupun kesalahan dalam mensikapi keadaan genting ini.

Wabah Thoun dan Virus Corona

Sebagian dai-dai ada yang mengambil dalil Surat At Taubah ayat 51 untuk membenarkan sikap menerima apa adanya dan berpasrah:

 قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚوَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal.”

Ayat ini adalah haqq dan benar, namun penggunaannya tidaklah tepat apabila dimaksudkan agar umat Islam tidak perlu bekerja keras merencanakan langkah-langkah penting. Terutama untuk menghambat tersebarnya virus corona sementara hanya bertenang diri, berdoa, dan menerima apa adanya musibah yang bakal menimpa mereka.

Sebaliknya, Khalifah Kedua umat Islam Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah dihadapkan pada kasus wabah menular ketika ia sedang berkunjung ke Suriah.

Apa sikap Khalifah Umar? Beliau tidak berpasrah diri dan melanjutkan rencananya mengunjungi daerah terjangkiti wabah tersebut seraya menyerukan sahabat yang lain untuk berdoa menerima yang mungkin akan menimpa mereka. Sebaliknya, Khalifah Umar mengambil keputusan tegas membatalkan rencana kunjungan tersebut, yang membuat banyak sahabat yang protes atas sikap umar itu. Riwayat lengkapnya sebagai berikut:

Ketika Umar pergi ke Syam, setelah sampai di Saragh, pimpinan tentara datang menyambutnya. Antara lain terdapat Abu Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Ibnu Abbas berkata; ‘Umar berkata; ‘Panggil ke sini para pendahulu dari orang-orang Muhajirin! ‘

Maka kupanggil mereka, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Kata Umar; ‘Wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Bagaimana pendapat kalian? ‘ Mereka berbeda pendapat. Sebagian mengatakan kepada Umar; ‘Anda telah keluar untuk suatu urusan penting. Karena itu kami berpendapat, tidak selayaknya Anda akan pulang begitu saja.’

Sebagian lain mengatakan; ‘Anda datang membawa rombongan besar yang di sana terdapat para sahabat Rasulullah Saw. Kami tidak sependapat jika Anda menghadapkan mereka kepada wabah penyakit ini.’ Umar berkata: ‘Pergilah kalian dari sini! ‘ Kemudian ‘Umar berkata lagi: ‘Panggil ke sini orang-orang Anshar! ‘

Maka aku memanggil mereka, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Ternyata kebijaksanaan mereka sama dengan orang-orang Muhajirin. Mereka berbeda pendapat seperti orang-orang Muhajirin. Maka kata Umar; ‘Pergilah kalian dari sini! ‘ Kata Umar selanjutnya; ‘Panggil ke sini pemimpin-pemimpin Quraisy yang hijrah sebelum penaklukan Makkah!’ Maka aku (Ibnu Abbas) memanggil mereka.

Ternyata mereka semuanya sependapat, tidak ada perbedaan. Kata mereka; ‘Kami berpendapat, sebaiknya Anda pulang saja kembali bersama rombongan Anda dan jangan menghadapkan mereka kepada wabah ini. Lalu Umar menyerukan kepada rombongannya “Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian!”

Kemudian Abu ‘Ubaidah bin Jarrah bertanya; “Apakah kita hendak lari dari takdir Allah?” Umar menjawab: ‘Mengapa kamu bertanya demikian hai Abu ‘Ubaidah?

Agaknya Umar tidak mau berdebat dengannya. Beliau menjawab: “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah. Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukanlah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala dengan takdir Allah?”

Di tengah perbincangan Umar dengan Abu Ubaidah tiba-tiba datang sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin ‘Auf yang belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia berkata: “Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri.”

Mendengar itu, akhirya Umar mengucapkan puji syukur kepada Allah, setelah itu beliau pergi. Di dalam Hadis Ma’mar ada tambahan Umar berkata: “Bukankah jika kamu menggembalakan unta di tempat yang tandus dengan meninggalkan tempat yang subur berarti kamu telah membuatnya lemah?”

Ketika itu Abu Ubaidah menjawab: “Ya.” Kemudian Umar berkata: maka berangkatlah! Maka Abu Ubaidah berangkat hingga sampai di Madinah, lalu dia berkata: “Insyaallah ini adalah tempat tinggal.” (Shahih Muslim No. 4114).

Begitupula kisah dari Sahabat Amru bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu.

Ketika mewabahnya penyakit bangkitlah sahabat Abu Ubaidah bin AlJarrah ra. diantara umat lalu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan kalian dan panggilan dari Nabi kalian, juga (menyebabkan) kematian orang-orang sholih sebelum kalian, dan Abu Ubaidah memohon kepada Allah swt agar mendapatkan bagian penyakit itu untuknya, sehingga terjangkitlah beliau dan wafatlah ia. Lalu Muadz bin Jabal ra. menggantikannya memimpin umat, lalu ia bersabda kepada khalayak dan berkata sebagaimana Abu Ubaidah ra. berkata namun ia menambahkan dengan permohonan agar keluarganya pun mendapatkan penyakit tersebut, maka terjangkitilah putranya bernama Abdurrahman dan meninggallah, maka beliaupun berdoa bagi dirinya maka terjangkitilah ia seraya berkata: “Dengan ini, aku tidak mencintai sedikitpun bagianku di dunia.” lalu wafatlah beliau, dan kemudian digantikan oleh Amru bin Al-Ash ra., ketika menjadi pemimpin menggantikan pendahulunya namun berbeda pandangan dengan mereka, beliau berseru kepada khalayak umat dengan mengatakan:

أيها الناسإن هذا الوجع إذا وقع فإنما يشتعل اشتعال النار فتحصّنوا منه في الجبال

“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung.” (Diriwayatkan dari Imam Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitab Badzal Maa’un hal 163)

Sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhu yang lain memang ada yang pasrah tidak menyarankan tindakan apapun namun hal ini bukanlah berangkat dari perintah wahyu. Ketika sahabat yang terkemuka seperti Umar bin Khattab ra. dan Amr bin Al-Ash ra. menganjurkan sesuatu yang lebih tepat maka para sahabat yang lain dapat memahami dan mengikuti petunjuk dan arahan yang lebih selamat bagi ummat pada waktu itu.

Tidaklah mengherankan bahwa beberapa pemerintah negeri Timur Tengah bahkan mengambil tindakan yang terbilang sangat janggal seperti misalnya Saudi Arabia yang menghentikan ibadah umroh sebagai langkah pencegahan, Kuwait yang sampai menghentikan sholat berjamaah dan memerintahkan muadzzin untuk mengumandangkan adzan Assholat fii buyuutikum, dan Mesir yang baru-baru ini membatasi waktu sholat jum’at. Sementara Qatar belum sampai menganjurkan sholat di rumah, namun sudah mengetatkan waktu ibadah sholat lima waktuagar jeda antara adzan dan sholat hanya 5 menit dan setelah sholat fardhu masjid akan langsung ditutup. Sedangkan untuk sholat jumat, waktu sholat jumat dari adzan dan khutbah diperpendek hingga hanya 10 menit saja.

Sains modern dalam bidang kesehatan masyarakat, khususnya bidang ilmu epidemiologi, mensyaratkan apabila suatu wilayah terjangkit maka haruslah dilakukan karantina terhadap para penderita, sementara itu untuk mencegah agar wabah tidak meluas maka prosedur yang ditempuh adalah penghentian kegiatan-kegiatan umum yang melibatkan massa agar kontak sosial dapat diperkecil sebisa mungkin. Tentu sebagai seorang muslim, tawakkal kepada Allah tetap menjadi pegangan hidup namun bukan berarti muslim harus berpasrah menerima apa adanya sementara belum menempuh daya upaya ikhtiar yang maksimal sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ada. wallahu a’lam. ACE, Doha, 14 Maret 2020.*

Oleh: Ady C. Effendy

PhD Student, MSc – Public Health, University of Sheffield, Sheffield, United Kingdom (2020), dan MA – Contemporary Muslim Thought and Societies Hamad bin Khalifa University, Qatar (2015)

HIDAYATULLAH


Tersenyum saat Salat, Bolehkah?

SESEORANG yang sedang salat lalu tersenyum, oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dikatakan salatnya batal. Beliau menegaskan bahwa yang membatalkan salat itu adalah tertawa, khususnya bila tertawa dengan mengeluarkan suara bahkan terbahak-bahak.

Tidak batalnya salat karena tersenyum terdapat pada hadis-hadis berikut ini:

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah bersabda, “Senyum itu tidak membatalkan salat tetapi yang membatalkan adalah tertawa.” (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

“Kelihatan gigi ketika tersenyum tidak membatalkan salat, yang membatalkan salat itu adalah tertawa dengan suara keras.” (HR. Ath-Thabarani) []

INILAH MOZAIK

Bolehkah Orang Tua Menyuruh Anak Perempuan Bercerai?

Menantu Tidak Shalat, Orang Tua Menyuruh Anak Perempuannya Bercerai

Pertanyaan:

Assalamualaikum pak ustadz, dari awal pernikahan memang bpk saya tidak merestui kami, dikarenakan suami saya jarang2 sholatnya dari awal pernikahan pun belum pernah dia sholat aplg sholat jumat. Lalu suami sya sering tidak mengizinkan saya nginep dirumah ortu saya, ketambah saya sering sakit dan BB saya turun drastis. Karna tidak nyaman tinggal bersama mertua yang masih suka judi. Lalu ortu saya menyuruh saya untuk bercerai, tapi saya bingung ustad karna dari awal sya menikah hanya untuk ibadah. Apa yang harus saya lakukan pak ustad

Via Tanya Ustadz for Android

Jawaban:

Bismillah, Alhamdulillah wasshalaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillaah wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin. Amma ba’du;

Diantara kesempurnaan syariat islam adalah bagaimana islam telah mengajarkan pemeluknya dalam melangkah kepada bahtera pernikahan. Agama ini mensyariatkan wali bagi wanita yang hendak menikah. Diantara hikmahnya ialah wali lebih memahami siapa yang lebih baik yang dapat menjadi pemimpin bagi putrinya. Oleh sebab itu hendaknya seorang wanita mentaati ayahnya dalam pemilihan jodoh selama yang menjadi dasar adalah keshalihan pelamar. InsyaAllah keberkahan ada didalam mentaati keduanya.

Bolehkah seorang ayah atau ibu menyuruh anak perempuannya bercerai?

Pada asalnya kedua orang tua tidak boleh menyuruh anak perempuannya bercerai kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat. Yang demikian termasuk Takhbib yaitu merusak hubungan seorang istri dengan suaminya. Perbuatan seperti ini termasuk hal yang diharamkan. Terdapat sebuah hadits yang mengancam seseorang yang melakukannya. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا

Bukan termasuk golongan kami seseorang yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya. (HR. Abu Daud)

Ibnu Taimiyah (728 H) ditanya tentang wanita yang disuruh cerai oleh ibunya, apakah ia berdosa sebab ibunya mendoakan keburukan atasnya. Beliau menjawab:

إذا تزوجت لم يجب عليها أن تطيع أباها ولا أمها في فراق زوجها ولا في زيارتهم ولا يجوز في نحو ذلك؛ بل طاعة زوجها عليها إذا لم يأمرها بمعصية الله أحق من طاعة أبويها {وأيما امرأة ماتت وزوجها عليها راض دخلت الجنة}

Apabila seorang wanita telah bersuami maka tidak wajib mentaati ayah dan ibunya untuk bercerai dari suaminya, tidak pula untuk mengunjungi mereka atau yang semisalnya. Bahkan mentaati suami selama tidak menyuruh bermaksiat kepada Allah lebih diutamakan dari mentaati kedua orang tuanya. (dalam sebuah hadits) “Sekiranya seorang wanita meninggal dan suaminya ridha terhadapnya niscaya ia masuk surga.”

Kemudian beliau melanjutkan:

وإذا كانت الأم تريد التفريق بينها وبين زوجها فهي من جنس هاروت وماروت لا طاعة لها في ذلك ولو دعت عليها. اللهم إلا أن يكونا مجتمعين على معصية أو يكون أمره للبنت بمعصية الله والأم تأمرها بطاعة الله ورسوله الواجبة على كل مسلم

Dan apabila ibu menginginkan perpisahan antara putrinya dengan suaminya maka dia termasuk jenis Harut dan Marut. Tidak ada ketaatan kepadanya dalam hal itu walaupun ibunya mendoakan keburukan atasnya. Kecuali jika keduanya berkumpul diatas kemaksiatan atau suaminya memerintahkan kepada putrinya untuk bermaksiat kepada Allah sedangkan ibunya memerintahkkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang wajib atas setiap muslim. (Majmu’ Al-Fatawa: 33/112-113)

Seorang anak perempuan yang telah menikah maka suaminya lebih berhak daripada kedua orang tuanya dan lebih wajib untuk ditaati selama tidak dalam kemaksiatan. Tentunya didalam hal ini karena hikmah yang besar. Terdapat banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan suami lebih wajib ditaati daripada kedua orang tua. Diantaranya;

Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ؟ قَالَ: «زَوْجُهَا» قُلْتُ: فَأَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ؟ قَالَ: «أُمُّهُ»

Aku bertanya kepada Nabi ﷺ siapakah orang yang paling besar haknya untuk ditunaikan oleh seorang wanita? Maka Nabi ﷺ menjawab: Suaminya. Kemudian Aisyah Radhiyallahu ‘anha kembali bertanya: lalu Siapakah orang yang paling besar haknya untuk ditunaikan seorang laki-laki? Nabi ﷺ menjawab: Ibunya. (HR. An-Nasa’i)

Nabi Muhammad ﷺ berkata kepada seorang wanita:

«أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: «كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟» قَالَتْ: مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ، قَالَ: «فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ»

Apakah kamu bersuami? Dia menjawab; Iya. Nabi ﷺ kembali bertanya; Bagaimana kepatuhanmu kepadanya? Wanita itu menjawab; Aku tidak pernah enggan menunaikan haknya kecuali apa yang aku tidak mampu. Lalu Nabi ﷺ bersabda; Lihatlah dimana dirimu dihadapannya karena sesungguhnya ia adalah surgamu atau nerakamu.” (HR. Ahmad)

Ibnu Qudamah (620 H) menukilkan perkataan imam Ahmad dalam kitabnya Al-Mughni:

قال أحمد، في امرأة لها زوج وأم مريضة: طاعة زوجها أوجب عليها من أمها، إلا أن يأذن لها.

Imam Ahmad berkata tentang seorang wanita yang memiliki suami dan ibunya sedang sakit: mentaati suaminya adalah lebih wajib baginya dari ibunya, kecuali atas izin suami kepadanya. (Al-Mughni: 7/295)

Maka seorang wanita tidak wajib mentaati perintah kedua orang tuanya untuk bercerai. Meskipun demikian hendaknya ia tetap selalu berbakti kepada keduanya dengan terus bersilaturrahmi, mengunjunginya dan menunaikan hak-haknya yang lain. Begitu juga hendaknya sang suami memberikan kesempatan dan membantu istrinya dalam berbakti kepada kedua orang tuanya.

Hal diatas adalah keadaan apabila keduanya berkumpul diatas ketaatan. Lalu bagaimana jika sang suami tidak shalat?

Jika Suami Tidak Pernah Shalat

Terkait seorang suami yang tidak shalat maka ini adalah permasalahan yang tidak bisa dianggap biasa. Shalat adalah rukun islam yang kedua. Shalat adalah tiang agama. Shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat yang sekiranya sholatnya baik maka beruntung dan selamatlah ia, jika sebaliknya maka rugi dan celakalah ia. Apabila seseorang tidak shalat karena mengingkari kewajibannya maka ia dihukumi kafir keluar dari agama islam dengan kesepakatan kaum muslimin.

Sedangkan apabila seseorang meninggalkan shalat karena malas, sebagian ulama berpendapat hukumnya adalah murtad keluar dari islam dan sebagian berpendapat dia adalah orang fasik, pelaku dosa besar yang dosanya lebih besar dari dosa mencuri, membunuh, zina atau dosa-dosa besar lainnya. Maka apakah seseorang rela apabila keislamannya diperselisihkan oleh para ulama karena ia malas tidak mau shalat?

Adapun apa yang harus dilakukan oleh seorang istri apabila suami tidak shalat telah dibahas dalam artikel sebelumnya. Silahkan dibaca pada artikel berikut:

Demikian, Wallahu A’lam.

Dijawab oleh Ustadz Idwan Cahyana, Lc.

Read more https://konsultasisyariah.com/36241-bolehkah-orang-tua-menyuruh-anak-perempuan-bercerai.html

Betapa Agungnya Syahadat, Salat dan Zakat (3)

DARI Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berkah untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 21]

Faedah Hadits:

Kesepuluh: Jihad dihukumi fardhu kifayah, kadang dihukumi juga fardhu ain. Namun tidak semua jihad itu dihukumi fardhu ain mengingat firman Allah Taala,

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Kesebelas: Wajib bersyahadat dengan hati dan lisan. Jika ia menampakkan dengan lisannya, dan kita tidak mengetahui isi hatinya, maka cukup dihukumi secara lahiriyah. Adapun rahasia hatinya diserahkan kepada Allah. Wajib kita menahan diri sampai ia menyelisihi apa yang nampak.

Keduabelas: Tidak cukup seseorang beribadah kepada Allah semata sampai ia menafikan pula segala sesembahan selain Allah. Karena dalam kalimat laa ilaha illallah terdapat nafi (penafian) dan itsbat (penetapan), yaitu menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah sebagai satu-satunya yang disembah.

Ketigabelas: Syahadat Muhammad adalah utusan Allah punya konsekuensi seperti yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitabnya Tsalatsatul Ushul,

(1) mentaati perintahnya, (2) membenarkan setiap berita dari beliau, (3) menjauhi segala yang dilarang, (4) menyembah Allah hanya boleh dengan syariat beliau.

Keempatbelas: Hisab makhluk diserahkan kepada Allah. Tugas Rasul shallallahu alaihi wa sallam hanya menyampaikan.

Wallahu waliyyut taufiq. Hanya Allah yang memberi hidayah. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Betapa Agungnya Syahadat, Salat dan Zakat (2)

DARI Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berkah untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 21]

Faedah Hadits:

Kelima:Dalam hadits ini disebut rukun Islam yang tiga yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan memunaikan zakat. Karena ketiga hal ini mesti ditunaikan segera mungkin. Sedangkan puasa jadi wajib ketika berjumpa bulan Ramadhan, begitu pula haji jadi wajib ketika bertemu dengan bulan haji dan ketika sudah mampu. Karena alasan inilah menurut Syaikh Saad bin Nashir Asy-Syatsri penyebutan mengenai puasa dan haji masih bisa ditunda.

Keenam: Jika ada jamaah yang menghalangi dari menunaikan shalat dan membayar zakat, maka imam boleh memeranginya. Ini cuma berlaku untuk imam (pemimpin), tidak berlaku pada rakyat.

Ketujuh: Siapa yang mengerjakan tiga perkara yang disebutkan dalam hadits di atas (syahadatain, shalat, dan zakat), maka tidak keluar dari agama Islam kecuali karena hak Islam seperti membunuh muslim lainnya tanpa jalan yang benar, begitu pula yang memberontak dari pemerintahan yang sah, juga yang sudah menikah lantas melakukan zina.

Kedelapan: Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah hamba karena beliau juga terkena perintah.

Kesembilan: Perintah memerangi di sini dihukumi wajib sampai amalan yang disebutkan dalam hadits dilakukan. Hukumnya tidak mungkin sunnah karena masalah ini telah membolehkan sesuatu yang diharamkan. Sebab membolehkan sesuatu yang diharamkan, maka hukum tersebut menjadi wajib.

Contoh lainnya khitan pada laki-laki. Khitan berarti memotong sesuatu dari manusia. Padahal asalnya tidak boleh memotong sesuatu dari anggota tubuh manusia. Hal ini hanya dibolehkan untuk hukum wajib. Kesimpulannya, khitan dihukumi wajib.

INILAH MOZAIK

Betapa Agungnya Syahadat, Salat dan Zakat

DARI Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berkah untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 21]

Faedah Hadits:

Pertama: Yang dimaksud bersyahadat adalah mengakui dua kalimat syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah utusan Allah. Bukan yang dimaksud membangun keimanan dari penelitian dan keraguan terlebih dahulu. Sehingga imannya orang yang sekedar taklid tetap sah.

Kedua: Harus meyakini dua kalimat syahadat dengan yakin, tidak cukup dengan keragu-raguan.

Ketiga: Hadits ini menunjukkan agungnya shalat karena shalat merupakan rukun pokok dari rukun Islam yang ada. Begitu juga hadits ini menunjukkan agungnya zakat.

Keempat: Imam Ahmad berpandangan dengan hadits ini bahwa meninggalkan shalat itu kafir, hal ini berbeda dengan pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.

Para sahabat dan tabiin menganggap meninggalkan shalat amat berbahaya bahkan mereka mengatakan orang yang tidak shalat bukanlah muslim.

INILAH MOZAIK

Ada Qadariyah dan Jabariyah dalam Virus Corona

abariyah dan Qadariyah Virus Corona


Perlahan, perdebatan seputar penanganan penularan virus Corona (Covid-19) memasuki halaman depan rumah keyakinan dan keimanan umat beragama (khususnya Islam). Dalam perspektif ini, setidaknya ada 2 perdebatan yang muncul terkait virus Corona:

Pertama, Takutlah pada Allah SWT jangan takut pada Corona.
 
Pernyataan ini benar tapi cacat logika/nalar. Benar karena sangat jelas takut hanya pada Allah SWT. Salah, karena Allah tidak bisa (tidak boleh) dibandingkan dengan Corona. Logika ini sama dengan ungkapan orang tua pada anaknya, “Sudah besar koq tidak bisa berenang, kalah sama ikan teri”.

Tapi logika ini bukan tanpa dasar teologis. Logika bepikir ini masuk pada paham Jabariyah dalam teologi Islam. Intinya, paham ini memiliki keyakinan semua sudah diatur oleh Allah SWT sehingga tidak ada ruang ikhtiar bagi manusia. Manusia hanya menjalani nasib.

Kedua, Virus Corona sangat berbahaya, manusia harus berikhtiar/usaha mencegah penularannya.

Pernyataan ini benar, kemudian banyak yang berikhtiar gunakan masker (walau tidak sakit), pakai hand sanitizer, salam siku, dll.

Ikhtiar ini juga sebenarnya bersandar pada paham teologi Qadariyah. Paham ini pada prinsipnya berkeyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri. 

Tapi saat paham ini dipraktikkan dalam ibadah keagamaan, misalnya menghentikan sholat Jum’at atau sholat jama’ah dengan jarak aman 2 meter setiap jamaah, mulai muncul perdebatan. Yang kadang, (maaf) tidak berguna bagi pencegahan penularan virus Corona.

Agar perdebatan ini tidak berlarut dan kita kembali fokus pada penangkalan penyebaran virus Corona, saya ingin menyampaikan pemikiran jalan tengah. Pemikiran ini berawal dari pertanyaan, Bagaimana sikap seorang muslim sebagai umat beriman terhadap penyebaran virus Corona?

Ada 3 konsep penting dalam keyakinan Islam yang saling berelasi dan dapat digunakan secara simultan (bersamaan) bukan parsial (terpisah, dikotomi) saat umat beriman khususnya muslim dalam mengahadapi penyebaran virus Corona, yaitu:
Ikhtiar, Sabar dan Tawakkal

Ketiganya seperti tiga orang sahabat karib dalam setiap perjalanan kehidupan. Tidak boleh dipisahkan saat kita menghadapi penyebaran virus Corana. Relasi tiga konsep tersebut dapat dijelaskan sbb:

1. Sabar dan tawakkal itu ada dalam ikhtiar, bukan di luar ikhtiar. Sabar dan tawakkal tanpa ikhtiar akan menghilangkan fungsi manusia sebagai khalifah kehidupan.

2. Tawakkal dan ikhtiar itu harus dengan kesabaran, bukan di luar kesabaran. Tawakkal dan ikhtiar tanpa sabar, menjadikan kita manusia tidak lulus ujian.

3. Ikhtiar dan sabar itu harus dibalut tawakkal, bukan di luar tawakkal. Ikhtiar dan sabar tanpa tawakkal akan membuat kita manusia menjadi sombong.

Beberapa firman Allah SWT dalam Al-Qur’an ini dapat diacu untuk menjelaskan tiga relasi tersebut:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”(QS ar-Ra’d [13]: 11)

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.” (QS al-Baqarah [2]: 45).

“Dan betapa banyak Nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS Ali ‘Imran [3]: 146).

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah”.
(QS Ali Imran [3]: 159)

Sebagai penutup, untuk menggambarkan hal tersebut saya kirim kisah dari seorang teman sebagai berikut:

                        *****

Suatu hari banjir besar melanda sebuah daerah. Air naik makin tinggi hingga hampir menenggelamkan rumah.

Orang-orang pergi mengungsi. Seorang pemuka agama memilih bertahan di atas genteng rumah ibadah.

Dia amat percaya bahwa Tuhanlah yang mendatangkan banjir dan Tuhan juga yang akan menolongnya. Tidak ada yang perlu ditakuti kecuali Tuhan.

Sebuah perahu regu penolong datang menghampiri pemuka agama itu. “Bapak, ikutlah naik perahu ke tempat aman,” seru regu penolong.

“Jangan pikirkan aku. Tuhan sendiri yang akan menolongku,” kata pemuka agama itu.

Air terus naik. Pemuka agama itu pun naik lagi lebih tinggi ke menara rumah ibadah.

Regu penolong kembali datang sampai dua kali untuk membujuk pemuka agama itu naik ke perahu.

Namun selalu ditolak. “Tuhan sendiri yang akan menolongku,” begitu selalu jawab pemuka agama itu.

Banjir makin besar dan menenggelamkan rumah ibadah.

Pemuka agama yang nangkring di atas menara pun menemui ajalnya.

Di akhirat ia bergegas mencari Tuhan dan protes.

“Tuhan, aku ini kurang setia apa pada-Mu. Hidupku kudedikasikan pada-Mu. Tapi kok di saat banjir besar Kamu tak datang menolongku,” kata dia dengan sangat emosi kepada Tuhan.

“Aku sudah mengirim tiga perahu dan kau menolak untuk mengungsi,” jawab Tuhan.

                  ******

Itu sebabnya (sepertinya), dalam Al-Qur’an ayat berpikir lebih banyak dari ayat tawakkal dan ayat sabar.

Artinya, ikhtiar, sabar dan tawakkal selain masuk wilayah keimanan juga harus pakai pikiran. Maka, saat kita berikhtiar, bersabar dan bertawakkal sebaiknya menggunakan pikiran.

Semoga manfaat. Jika salah saya minta ampun pada Allah SWT. Jika khilaf saya mohon maaf.

Oleh: Prof DR Iswandi Syahputra, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

KHAZANAH REPUBLIKA