Inilah Delapan Perkara yang Membatalkan Puasa

HAMPIR seluruh umat Islam memahami bahwa ibadah puasa itu menyehatkan. Di dalam kitab Maqashid al-Shaum yang ditulis oleh Sulthan al-Ulama ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam halaman 17, dijelaskan bahwa rahasia atau manfaat puasa adalah menyelamatkan tubuh dari berbagai penyakit dan ampuh untuk menentramkan jiwa serta pikiran. Artinya puasa itu menyehatkan jasmani dan rohani. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

“Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.” (HR. Abi Nu’aim)

Jadi puasa tersebut merupakan ibadah yang memiliki ikatan erat dengan kesehatan badan dan pikiran. Karena di dalam pelaksanaan puasa tersimpan kesehatan untuk tubuh jasmani sekaligus akal pikiran, menariknya puasa juga merupakan vitamin untuk hati sebagaimana makanan memberikan vitamin kepada tubuh. (Lihat: al-Taisir bi Syarah al-Jami’ al-Shaghir karya al-Imam al-Hafidz Zainuddin Abdurro’uf al-Manawy, juz 2. Hlm.187)

Oleh sebab itu,  sebaiknya umat Islam juga harus memahami hal yang bisa menyebabkan puasa itu menjadi batal. Adapun yang membatalkan puasa ada dua pembagian.

Pertama, perkara yang menghapus pahala puasa, sementara ia tidak membatalkan puasa dan tidak wajib mengqodho. Pembagian ini disebut dengan al-Muhbithat. Kedua, perkara yang membatalkan puasa sekaligus menghapus pahalanya, dan wajib mengqodho puasa tersebut. Pembagian ini disebut dengan al-Mufatthirat. (Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat ditulis oleh al-Habib Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.448).

Pada kesempatan ini penulis fokus terhadap perkara-perkara al-Mufatthirat. Adapun hal yang membatalkan puasa tersebut ada delapan perkara, di antaranya:

Pertamaal-Riddah yaitu keluar dari agama Islam dengan cara berniat untuk murtad atau melalui perkataan, dan perbuatan. Kemudian jika ia keluar dari agama Islam dalam waktu yang sebentar, lalu masuk Islam kembali. Maka puasanya tetap batal dan ia wajib mengqodho puasa tersebut. (Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat ditulis oleh al-Habib Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.449).

Kedua, haid, nifas, wiladah sekalipun hanya sebentar di siang Ramadhan. Artinya jika seorang perempuan haid, nifas, atau wiladah pada siang Ramadhan, maka puasanya menjadi batal dan wajib mengqodhonya. (Lihat: Umdat al-Salik wa Uddat al-Nasik ditulis oleh Syihabuddin Abi al-Abbas Ahmad bin al-Naqib, hlm.166).

Ketiga, apabila gila (al-Junun) di siang Ramadhan walaupun sebentar. Artinya seorang yang yang menjadi gila di siang Ramadhan, maka puasanya batal dan ia tidak wajib membayar fidiyah dan juga tidak wajib mengqodhonya dengan syarat penyakit gila tersebut tidak disengaja. (Lihat: Nail al-Raja’ ditulis oleh al-Sayyid Ahmad bin Umar al-Syathiry, hlm,286).

Keempat, pingsan (ayan) atau mabuk selama siang Ramadhan. Lihat: Anwar al-Masalik, ditulis oleh Syekh Muhammad al-Zuhry al-Ghumrawi, hlm.166. Namun jika seandainya pingsan (ayan) atau mabuk setengah hari saja atau hanya sebentar, maka tidak membatalkan puasa. (Lihat: Mandzumah al-Zubad ditulis oleh Ibnu Ruslan, hlm.21). Lebih detail lagi Ibn Hajar menjelaskan mabuk atau pingsan (ayan) tersebut membatalkan puasa, apabila disengaja sekalipun hanya sebentar. Dan wajib mengganti puasa tersebut pada selain bulan Ramadhan.

Kelima, berhubungan suami istri (jima’) pada siang hari Ramadhan dengan sengaja, pilihan, dan tahu bahwa perkara tersebut diharamkan. (Lihat: Busyrah al-Karim bi Syarh Masa’il al-Ta’lim ditulis oleh Sa’id bin Muhammad Ba ’Ali Ba’asyan al-Hadrami, hlm.548).

Adapun sanksi bagi seseorang yang membatalkan puasanya dengan berjima’ adalah.

Pertama, mendapatka dosa. Kedua, wajib menahan (imsak) di siang Ramadhan ketika itu, sebagaimana orang yang berpuasa. Ketiga, apabila ia tidak bertaubat, maka hakim wajib menta’zirnya sebagai pelajaran. Keempat, wajib mengganti puasa tersebut. Kelima, wajib membayar kaffarah khusus bagi lelakinya saja. Dalam hal membayar kaffarah ini, tidak dibolehkan melaksanakan tingkatan kaffarah yang ketiga, kecuali memang tidak sanggup melaksanakan kaffarah yang kedua. (Lihat: Fath al-Mu’in ditulis oleh Zainuddin Ahmad bin Abdul ‘Aziz al-Malibary, hlm 270).

Adapun kaffarah-nya adalah memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya. Dan apabila budaknya tidak ada, maka boleh melakukan tingkat yang selanjutnya, yaitu. Puasa dua bulan secara berturut-turut, artinya jika berselang satu hari saja tidak berpuasa, maka dihitung lagi dari awal puasanya. Seseorang tidak boleh melakukan perkara yang ketiga, kecuali memang benar-benar tidak sanggup melakukan puasa dua bulan berturut-turut. Adapun kaffaroh tingkat ketiga adalah memberi makan 60 orang miskin sebanyak satu mud  Nabi Muhammad ﷺ (0,6kg). (Lihat, Mukhtashar al-Muzani ditulis oleh Abu Ibrahim al-Muzani, juz 8, hlm.103).

Namun apabila tidak sanggup memberi makan 60 orang miskin satu mud, maka tetap wajib bagi seseorang tersebut sampai dia mampu. (Lihat: Anwar al-Masalik, ditulis oleh Syekh Muhammad al-Zuhry al-Ghumrawi, hlm.165).

Keenam, ada sesuatu yang masuk dari lubang yang terbuka ke dalam rongga (wushul ‘ain min manfdz maftuh ila al-jauf), seperti memasukkan makanan ke dalam mulut atau minum air.

Ketujuhal-Istimna’ yaitu mengeluarkan air mani atau sperma dengan sengaja. Adapun jika air mani keluar tanpa disengaja seperti mimpi junub di siang Ramadhan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Lihat: Raudha al-Thalibin wa Umdah al-Muftin ditulis oleh Imam Nawawi, juz, 2 hlm, 321-322). Kemudian hukum mencium istri tatkala puasa fardhu, hal tersebut dimakruhkan apabila tidak bersyahwat. Namun apabila ia mencium istrinya dengan syahwat, maka hal tersebut tidak diperbolehkan dan puasanya batal apabila ia inzal (mani keluar) tatkala mencium istri. (Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat ditulis oleh al-Habib Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.455).

HIDAYATULLAH


Berdoa Sepanjang Ramadhan

Al-Quran diturunkan di dalam bulan Ramadhan dengan tiga fungsi utama, sebagai petunjuk (hudan), penjelas (bayyinat), dan pembeda (furqon).

Ibn Katsir menjelaskan bahwa itu semua dimaksudkan sebagai pujian Allah Ta’ala kepada Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang beriman, membenarkan, dan mengikutinya.

Sebagai penjelas, artinya sebagai dalil dan hujjah yang nyata dan jelas bagi orang yang memahami dan memperhatikannya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya, berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan yang melawan penyimpangan, serta pembeda, antara yang baik dan yang bathil, yang halal dan yang haram.

Menariknya, setelah menjelaskan perihal Ramadhan dan Al-Quran, pada ayat ke 186 Surah Al-Baqarah, Allah Ta’ala menjelaskan perihal keberadaan-Nya.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawabla), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Ibn Katsir menjelaskan bahwa Allah tidak menolak dan mengabaikan doa seseorang, tetapi sebaliknya Dia Mahamendengar doa. Ini merupakan anjuran untuk senantiasa berdoa, dan Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan doa hamba-Nya.

Hal ini dipertegas dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ. “Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Maha Pemalu. Maha Dermawan. Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Maksimalkan dalam Ramadhan

Apakah ada relevansi doa dengan Ramadhan? Jawabannya sangat. Rasulullah ﷺ menjelaskan hal ini dalam sabdanya.

“Ada tiga orang yang doanya tidak akan ditolak. Penguasa yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka. Dan, doa orang yang dizalimi. Allah akan menaikkan doanya tanpa penghalang awan mendung pada hari Kiamat dan dibukakan baginya pintu-pintu langit, dan Dia berfirman, “Demi kemuliaan-Ku, Aku pasti menolongmu meskipun beberapa saat lagi.” (HR. Ahmad).

Dengan demikian, sepanjang matahari bersinar orang yang berpuasa harus banyak memanfaatkan waktu yang dilalui dengan banyak berdoa kepada Allah. Selain Allah akan menjawab doa itu, doa juga akan memberi efek positif pada diri orang yang berdoa.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ

Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a.” (HR. Tirmidzi).

Artinya, hatinya teguh, harapannya kokoh, dan kesabarannya membaja, bahwa dengan memohon, berdoa kepada Allah, kebaikan demi kebaikan pasti akan datang, baik dalam proses doa itu dikabulkan maupun saat dan setelah doa itu dikabulkan oleh-Nya.

Sunnah Para Nabi dan Rasul

Saat berbicara doa, maka sungguh di dalam Al-Quran Allah banyak menjelaskan bagaimana para hamba-hamba terkasih-Nya, dari kalangan Nabi dan Rasul tak pernah jemu, lelah, dan putus asa berdoa kepada-Nya.

Semua itu menjadi sebuah bukti bahwa kita, yang hidup sebagai umat Nabi Muhammad ﷺ benar-benar dilarang berputus asa dari rahmat Allah. Al-Quran menjabarkan bagaimana permohonan seorang hamba dan Nabi Allah yang amat sukar dalam pandangan rasio Allah kabulkan dan jadikan kenyataan.

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيّاً * إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْباً وَلَمْ أَكُن بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيّاً * وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِراً فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيّاً * يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيّاً *

“Yaitu kala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut, ‘Sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, namun aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, duhai Tuhanku. Dan sungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku mandul, maka anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra, yang akan mewarisiku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Jadikanlah pula ia, duhai Tuhanku, seorang yang diridhai.’” (QS. Maryam[19]: 2 – 6).

Lihatlah kalimat Nabi Zakaria, “namun aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, duhai Tuhanku,” merupakan isyarat penting bahwa doa kita pasti akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa dan tidak putus asa.

Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi ﷺ “Akan dikabulkan doa salah seorang di antara kalian selama ia tidak minta dipercepat, yaitu ia mengatakan, ‘Aku sudah berdoa, tetapi tidak dikabulkan.”(HR. Bukhari).

Jadi, mari jadikan Ramadhan 1441 H ini sebagai kesempatan indah dan peluang emas untuk mendapatkan pertolongan Allah dengan senantiasa berdoa hanya kepada-Nya. Insya Allah segala hajat kebaikan dunia dan akhirat, akan Allah berikan pengabulan. Allahu a’lam.*/Imam Nawawi Penulis Buku Sabar Membawa Nikmat Mengangkat Derajat

HIDAYATULLAH

Delapan Penyebab Matinya Hati

SUATU ketika Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, “Ada apa dengan kami, mengapa kami telah berdoa tetapi Allah tidak menerima doa kami, padahal Allah berfirman, ‘Aku mengabulkan doa orang yang bermohon, apabila dia berdoa kepada-Ku’?” (Qs al-Baqarah [2]: 186).

Ibrahmin bin Adham menjawab, “Karena hatimu telah mati.” Orang itu bertanya lagi, “Apa yang menyebabkan hati mati?” Jawab Ibrahim bin Adham, “Delapan hal yang menyebabkan hati dapat mati:

(1) engkau mengetahui kewajibanmu kepada Allah namun tidak melaksanakan kewajiban itu,
(2) engkau membaca Alquran tetapi tidak memperhatikan azab yang telah dijanjikan-Nya,
(3) engkau mengatakan mencintai Rasulullah Saw tetapi tidak mengikuti sunahnya,
(4) engkau mengatakan takut mati tapi tidak mempersiapkan diri untuk mati,
(5) Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya setan adalah musuhmu, maka perlakuan dia sebagai musuhmu.” Qs Fathir [35]: 6), tetapi engkau malah meminta pertolongannya dalam bentuk maksiat. Kamu begitu patuh kepadanya,
(6) engkau mengatakan takut kepada api neraka tetapi menggiring tubuh masuk ke dalam api neraka,
(7) engkau mengatakan mencintai surga tetapi tidak berbuat untuk surga,
(8) apabila engkau bangun dari tidurmu, engkau lemparkan dosa-dosamu ke belakang dan engkau buka dosa-dosa orang lain di hadapanmu. Dengan kata lain, kamu sibuk mencari aib saudaramu, tetapi kamu tidak mau melihat aibmu sendiri.

Karena itu, Tuhanmu tidak menyukaimu. Maka bagaimana mungkin Dia mengabulkan doamu?” [Imam Al-Ghazzali]

INILAH MOZAIK

Doa Buka Puasa Ramadhan yang Benar Sesuai Sunnah

Saat waktu Maghrib sudah tiba, kita disunnahkan untuk membaca doa berbuka puasa. Doa buka puasa Ramadhan yang benar sesuai Sunnah telah dijelaskan dalam beberapa hadits. Terdapat beberapa riwayat hadits yang berisi tuntunan Rasulullah Saw. tatkala beliau berbuka.

Kendati kualitas hadits berbeda-beda, namun hal itu bukan menjadi persoalan serius, selama hadits tersebut bukan palsu (maudhu’).

Berikut ini doa buka puasa Ramadhan yang benar sesuai sunnah sebagaimana diriwayat dalam beberapa hadits:

Diriwayatkan oleh Mu’adz nin Zuhroh, bahwa Nabi Muhammad Saw. ketika berbuka puasa membaca:

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Teks Latin:

Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu

Artinya:

“Tuhanku, hanya untuk-Mu aku berpuasa. Dengan rezeki-Mu aku membatalkannya.” (H.R. Abu Dawud: 2358)

Dalam hadits lain diterangkan bahwa Rasulullah Saw. tatkala menikmati hidangan berbuka puasa beliau membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Dzahabazh zhama’u wabtallatil ‘uruqu, wa tsabatal ajru, insyaallah

Artinya: “Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah, serta pahala telah tetap, insya Allah.” (H.R. Abu Dawud: 2357)Baca juga :  Niat Sholat Tarawih Sebagai Makmum [Arab, Latin dan Artinya]Baca juga :  Doa Setelah Sholawat Tarawih Lengkap Latin dan Artinya

Perbedaan Doa

Mengapa doa buka puasa berbeda-beda? Dalam konteks ini, perbedaan doa berbuka di atas bukan karena kesalahan riwayat, namun karena memang Rasulullah mencontohkan bacaan doa tidak selalu sama kepada setiap sahabat.

Oleh karena itu, entah itu kalangan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), atau ormas lain, perbedaan doa ini bukan menjadi persoalan yang sangat serius untuk diperdebatkan. Untuk menetengahkan perbedaan ini, ada kalangan ulama yang menyambungkan doa dalam kedua hadits di atas menjadi satu bacaan, sebagaimana berikut.

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ، ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu, Dzahabazh zhama’u wabtallatil ‘uruqu, wa tsabatal ajru, insyaallah

Yang terpenting di dalam doa buka puasa yakni sejauh mana diri seseorang ikhlas, pasrah, dan bersyukur sebab masih diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani puasa Ramadhan. Bahkan, apabila seorang mukmin berdoa menggunakan bahasa selain Arab pun tidak masalah, selama ia berdoa hanya kepada Allah.

Demikian doa buka puasa Ramadhan lengkap latin dan artinya sesuai Sunnah Nabi. Semoga puasa Ramadhan dan ibadah lain yang kita amalkan diterima oleh Allah Swt. Selamat berbuka puasa. Marhaban ya Ramadhan.

IQRA

Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 3)

Bertauhid yang sempurna berarti bertawakal hanya kepada Allah dengan usaha yang bermanfaat secara maksimal

Salah satu ciri khas ahli tauhid yang sempurna sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia adalah tawakal kepada Allah semata. Syaikh Muhammad Shaleh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan definisi tawakal kepada Allah Ta’ala yaitu,

صدق الاعتماد على الله عز وجل في جلب المنافع ودفع المضار مع فعل الأسباب المأذون فيها

“Kejujuran dalam bersandarnya hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam mendapatkan sesuatu yang bermanfaat atau untuk hilangnya sesuatu yang membahayakan, diiringi melakukan sebab yang diizinkan (dalam Islam).” [1]

Oleh karena itu, termasuk bentuk bertauhid yang sempurna adalah mengambil sebab atau usaha syar’i dan qadari yang baik sebagai bentuk tawakal kepada Allah yang benar.

Kaidah mengambil sebab dan macam-macam sebab

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya, Al-Qaulus Sadiid menjelaskan salah satu dari hukum sebab,

أن لا يجعل منها سببا إلا ما ثبت أنه سبب شرعا أو قدرا

“Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab, kecuali jika sesuatu tersebut terbukti sebagai sebab, baik secara syar’i maupun qadari (kauni).”

Maksudnya, sebab atau usaha apapun yang kita ambil dalam berbagai permasalahan, termasuk usaha menangani wabah corona, haruslah terbukti secara syar’i atau qadari. Jadi, kita tidaklah boleh melakukan suatu usaha, kecuali jika usaha tersebut terbukti sebagai sebab, baik terbukti secara syar’i maupun secara qadari (kauni).

Sebab syar’i dan sebab qadari

Maksud dari sebab syar’i adalah harus ada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang shahih bahwa sesuatu itu merupakan sebab untuk mencapai suatu manfa’at atau menghindari (menolak) mudharat.

Maksud dari sebab qadari adalah terbukti secara ilmiah atau berdasarkan pengalaman yang jelas dan ilmiah bahwa sesuatu itu merupakan sebab.

1. Contoh sebab syar’i

Sebab terbesar menangani wabah virus corona adalah dengan bertaubat kepada Allah Ta’ala, karena musibah itu disebabkan dosa dan karena tujuan ditaqdirkan ada wabah adalah agar kita bertaubat kepada Allah Ta’ala, merendahkan diri, berdoa kepadaNya, tunduk serta taat kepada-Nya dan mengesakan-Nya.

Dalil-dalil contoh sebab syar’i

Dalil pertama, dalam Al-Qura’n Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ أَوَلَوۡ جِئۡتُكَ بِشَيۡء مُّبِين 

“Musa berkata, ‘Dan apakah (kamu akan melakukan itu) kendati pun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?’” (QS. Asy-Syura: 30)

Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya yang terkenal menuliskan, 

وما يصيبكم أيها الناس من مصيبة في الدنيا في أنفسكم وأهليكم وأموالكم {فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ }. يقول: فإنما يصيبكم ذلك عقوبة من الله لكم بما اجترمتم من الآثام فيما بينكم وبين ربكم ويعفو لكم ربكم عن كثير من إجرامكم ,فلا يعاقبكم بها

“(Wahai manusia), musibah apa pun yang menimpa kalian di dunia, yang menimpa diri kalian, keluarga kalian, serta harta kalian, {maka itu disebabkan dosa yang diperbuat tangan kalian}. Maknanya, musibah itu menimpa kalian sebagai hukuman dari Allah untuk kalian, karena dosa-dosa yang kalian lakukan antara kalian dengan Allah. Rabb kalian pun memaafkan banyak dari perbuatan dosa kalian sehingga Dia tidak menyiksa kalian (karenanya).”

Dalil kedua, Allah Ta’ala berfirman,

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ 

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41)

Para ahli tafsir rahimahullah menafsirkan kerusakan dalam ayat tersebut dengan berbagai macam penafsiran. Kalau disimpulkan, intinya adalah seluruh perkara yang rusak, tidak baik dan tidak bermanfaat bagi manusia, baik kerusakan yang bersifat konkret atau abstrak, baik kerusakan pada perbuatan manusia maupun kerusakan hasil taqdir Allah karena sebab dosa manusia, baik kerusakan yang ada pada diri, harta, binatang, maupun tumbuhan.

Ahli tafsir mencontohkan seperti penyakit (wabah), kesulitan pangan (nafkah), banyaknya kemaksiatan, kerusakan tanaman (buah-buahan), kekeringan, kematian binatang, banyaknya rasa takut, ditinggalkannya amar ma’ruf nahi mungkar, banjir, angin kencang, serta bencana alam lainnya.

Allah jelaskan dalam ayat yang agung ini tentang hikmah dan maksud adanya musibah dan kerusakan di muka bumi ini. Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan (لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ)  dengan makna,

عقوبة بعض الذي عملوا من الذنوب

“Supaya Kami membuat mereka merasakan hukuman (sebagai akibat dari) sebagian dosa yang mereka lakukan.”

Ath-Thabari rahimahullah berkata,

)لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ) يقول :كي ينيبوا إلى الحقِّ، ويرجعوا إلى التوبة، ويتركوا معاصي الله

“(Agar mereka kembali), maksudnya agar mereka kembali kepada kebenaran dan kembali bertaubat serta meninggalkan kemaksiatan kepada Allah.”

Kesimpulan ayat ini, munculnya berbagai musibah dan kerusakan di muka bumi ini disebabkan karena dosa yang diperbuat oleh manusia. Hikmahnya adalah supaya mereka merasakan hukuman (akibat) dari sebagian dosa yang mereka lakukan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dan bertaubat kepada Allah.

Dalil ketiga, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَآ إِلَىٰٓ أُمَم مِّن قَبۡلِكَ فَأَخَذۡنَٰهُم بِٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ لَعَلَّهُمۡ يَتَضَرَّعُونَ ٤٢

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (QS. Al-An’am: 42)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan al-ba’saa’ (ٱلۡبَأۡسَآءِ) dengan “kefakiran dan kesulitan nafkah” dan adh-dharraa’ (ٱلضَّرَّآءِ) dengan “penyakit dan derita”. Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan al-ba’saa’ (ٱلۡبَأۡسَآءِ) dengan “kesulitan dan kelaparan” dan adh-dharaa’ (ٱلضَّرَّآءِ) dengan “penyakit yang lama (menahun)”.

Adanya hikmah adanya hukuman penyakit tersebut disebutkan oleh perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan (لَعَلَّهُمۡ يَتَضَرَّعُونَ) dengan,

أي: يدعون الله ويتضرعون إليه ويخشعون

“Maksudnya, mereka berdoa kepada Allah, ’merendahkan diri’ dengan mengakui dosa dan bertaubat, serta khusyuk.”

Kesimpulan, munculnya berbagai hukuman musibah yang Allah timpakan kepada sebuah umat, berupa penyakit, kemelaratan, dan kesulitan nafkah itu ada hikmah dan tujuan tertentu. Yaitu agar manusia bertaubat, memohon kepada Allah dengan tunduk merendahkan diri, taat kepada Allah dan mengesakan-Nya.

Di samping itu, sebab syar’i lainnya untuk menangani wabah virus corona adalah dengan memperbanyak dzikir yang memang ada dalil shahihnya, seperti dzikir pagi sore, dzikir keluar rumah, dzikir singgah di sebuah tempat, dan selainnya. Juga semangat mempelajari ilmu syar’i, memperbanyak ibadah sunnah setelah ibadah wajib, seperti shalat malam, dan lainnya.

2. Contoh sebab qadari

Dalam menangani virus corona kita harus pula mengambil sebab qadari sebagaimana arahan pemerintah dan ahli medis, seperti:

Tidak mendatangi tempat wabah, menutup wadah makanan dan minuman, mengucapkan salam saja ketika berjumpa dengan teman tanpa berjabat tangan, meminimalisir aktifitas keluar rumah, meminimalisir pertemuan-pertemuan yang tidak wajib, benar-benar memperhatikan kebersihan, cuci tangan dengan antiseptik, menjaga jarak dengan sesama, memakai masker, dan selainnya.

Intinya, kita kembalikan sebab qadari tersebut kepada ahlinya, dalam hal ini adalah arahan medis dari pemerintah, para tenaga medis, dan lembaga resmi yang berkompeten lainnya.


Khusus terkait dengan penanganan wabah virus corona yang mendunia ini, maka perlu memperhatikan kaidah yang terdapat dalam An-Nisa’: 83 tentang menyebarkan ataupun menviralkan suatu berita, baik bentuknya pengumuman, himbauan maupun arahan yang berdampak menyebarkan rasa takut, atau rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Apalagi terkait dengan ancaman nyawa banyak orang. Kaidahnya adalah mengembalikan ke ulama dan pemerintah, karena mengikuti ulama dan pemerintah adalah sebab keberkahan. Dan hakikatnya adalah keberkahan melaksanakan Al-Qur’an. Ini adalah sebab yang sangat besar agar kita selamat menghadapi musibah ini, meski -misalnya- banyak kekurangan secara sebab qadari.

Renungan 

Sebab syar’i itu lebih utama dari sebab qadari (medis), meski keduanya sama-sama penting untuk diambil.

Ingat, sebab syar’i dan qadari itu sama-sama pentingnya. Hanya saja tingkat kepentingannya bertingkat-tingkat antar keduanya. 

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah menyatakan dalam kitab Al-Asbab Asy-Syar’iyyah An-Naji’ah (hal. 3), “Hendaknya seseorang tidak mencukupkan diri dengan sebab medis saja dalam menangani virus corona, dan bahkan mengambil sebab syar’i itu lebih utama dalam menangani wabah corona ini dan wabah selainnya. Dan penetapan pengaruh sebab syar’i itu pasti benarnya, karena sumber penetapannya adalah wahyu Allah.”

Sobat, sungguh benar apa yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah, apalagi terkadang sebagian sebab medis itu sifatnya uji coba yang tidak ada kepastian pengaruhnya. Jika demikian maka, 

Sebab terbesar yang harus kita ambil

Sebab terbesar yang harus kita ambil adalah bertaubat kepada Allah Ta’ala dari seluruh dosa, terutama syirik besar dan setingkatnya. Hal ini karena syirik besar adalah dosa terbesar yang ancaman bagi pelakunya jika mati dan tidak bertaubat adalah berada kekal di neraka.

Dan bertaubat dari syirik itu dengan cara bertauhid dengan benar dan tidak mungkin orang bisa masuk surga tanpa bertauhid. Sedangkan contoh syirik besar adalah takut kepada jin, makhluk halus penguasa pantai, atau roh yang diyakini mampu menimpakan musibah tanpa sebab sebagaimana Allah menimpakan musibah dan mampu mengatur kematian dan kehidupan manusia.

Ritual menyembelih hewan yang dipersembahkan untuk mayit atau jin saat membangun bangunan atau saat panen laut atau saat ada wabah. Atau berdoa (istighatsah) kepada kuburan untuk tolak balak.

Bertaubat dari Syirik Kecil

Bertaubat dari syirik kecil, karena dosa syirik kecil itu lebih besar dari dosa besar (secara jenis dan secara umum). Syirik kecil seperti riya’, mencintai harta secara berlebihan (sehingga dia marah atau ridha hanyalah karena harta, meskipun harus sampai bermaksiat untuk mendapatkannya), bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, memakai jimat gelang, kalung, pusaka yang dikeramatkan untuk tolak balak, dan semisalnya.

Bertaubat dari bid’ah

Bertaubat dari bid’ah, yaitu beragama atau beribadah dengan cara yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena bid’ah adalah dosa besar yang terbesar, karena hakikatnya pelaku bid’ah membuat-buat ajaran sendiri dalam beribadah.

Termasuk juga wajibnya bertaubat dari bid’ah dalam ritual doa tolak bala’ yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bertaubat dari dosa besar dan dosa kecil

Bertaubat dari dosa besar, seperti ghibah, menenggak minuman memabukkan, mencuri, membunuh, merampok, berzina, dan korupsi. Selain itu, kita juga harus bertaubat dari dosa kecil.

Sobat, setinggi apapun iman seseorang, tetaplah wajib bertaubat dari dosa sekecil dan sesedikit apapun, apalagi jika dosanya banyak dan besar, lebih-lebih lagi saat kondisi wabah menimpanya.

Seseorang wajib segera bertaubat dari seluruh dosa, karena mati itu suatu hal yang pasti datangnya kepada setiap orang, sedangkan corona belum tentu datang mengenai setiap orang.

Maka semestinya seseorang lebih takut mati dalam keadaan tidak sempat bertaubat dari dosa daripada takut terhadap virus corona. Dan seseorang tidaklah bisa bertaubat dengan baik, kecuali dengan berilmu syar’i. Maka pelajarilah syari’at Islam ini terutama ilmu yang fardhu ‘ain, sebuah ilmu yang kalau tidak dipelajari akan terancam terjatuh pada dosa, seperti ilmu tauhid (aqidah dasar), fiqih shalat lima waktu, tentang larangan yang haram, dan lainnya. 

Semoga Allah segera menghilangkan wabah corona ini dan menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang bertauhid dan bertakwa dengan sempurna. Aamiin.

(Selesai)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55949-atasi-corona-dengan-bertauhid-yang-sempurna-bag-4.html

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari-5)

Allah swt Berfirman :

وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Ali ‘Imran:133)

أُوْلَٰٓئِكَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَهُمۡ لَهَا سَٰبِقُونَ

“Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS.Al-Mu’minun:61)

إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS.Al-Anbiya’:90)

Setiap kali mendengar ayat-ayat ini, tentu kita akan memandangi diri kita dengan penuh penyesalan dan rasa sedih. Berbagai pertanyaan akan muncul di benak kita yang sedang berkaca.
“Apakah kita termasuk bersama mereka yang berlomba menjalankan seruan Allah dan meninggalkan larangan-Nya? Atau posisi kita bersama orang-orang yang bermalas-malasan, sibuk dengan urusan dunianya dan tidak memandang serius urusan akhiratnya?”

“Apakah kita memandang sholat di awal waktu sebagai sesuatu yang penting sehingga kita selalu berusaha menunaikan sholat di awal waktunya? Ataukah kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebut Al-Qur’an sebagai kaum munafik karena meremehkan sholatnya?”

إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا

“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud ria (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS.An-Nisa’:142)

“Apakah kita termasuk orang-orang yang berlomba untuk berbakti kepada orang tua dengan penuh tawadhu’ dan merendahkan diri ? Ataukah kita tergolong dari mereka yang selalu membuat murka dan menyengsarakan hati orang tua ?”

“Mari kita berkaca ! Apakah kita termasuk orang-orang yang berlomba untuk membantu orang yang membutuhkan demi menunaikan hak mereka dan demi meraih Kerelaan Allah? Atau kita termasuk orang yang tak peduli dan lebih memilih menumpuk harta?”

Ayat-ayat di atas bukan hanya mengajak kita untuk berbuat kebaikan, namun ayat-ayat itu mendorong kita untuk bergegas melakukan kebaikan. Bukankah dalam ayat lain Allah swt Berfirman :

فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS.Al-Ma’idah:48)

Mari kita berlomba untuk melakukan kebaikan. Selagi kita masih memiliki kesempatan. Selagi pintu-pintu kebaikan itu masih terbuka dan waktu masih tersisa.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Virus Corona, Ramadhan, dan Perubahan Tradisi Muslim Sedunia

Penyebaran wabah virus corona atau Covid-19 telah mengisolasi miliaran penduduk di seluruh dunia. Sehingga bulan suci Ramadhan tahun ini yang dijadwalkan akan dimulai sekitar hari Kamis atau Jum’at 23-24 April mungkin terlihat sangat berbeda. Berikut ini adalah beberapa dampak virus corona selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri terhadap perubahan tradisi muslim sedunia, sebagaimana dirilis oleh Middle East Eye pada Senin (6/4).

Tradisi Tahunan di bulan Ramadhan

Bagi umat Islam di seluruh dunia, Ramadhan adalah salah satu bulan paling dihormati tahun ini. Diyakini bahwa selama bulan kesembilan dari kalender Islam ini, Tuhan menurunkan ayat pertama dari kitab suci Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad.

Banyak dari 1,6 miliar Muslim di dunia diperkirakan akan berpuasa setiap hari, tidak makan dan minum dari matahari terbit hingga terbenam sebagai tindakan ibadah. Islam mengikuti kalender lunar, yang berarti tanggal Ramadhan berubah setiap tahun. Orang Muslim percaya bahwa melalui puasa, mereka dapat memperkuat hubungan mereka dengan Tuhan, mempraktikkan kemauan dan berempati dengan mereka yang kurang beruntung.

Setiap hari dalam sebulan, Muslim yang taat juga akan mencoba untuk berhubungan kembali dengan iman mereka melalui ibadah, seperti sholat, membaca Quran dan memberi amal, serta menyalakan kembali hubungan dengan teman dan keluarga.

Berbuka puasa saat matahari terbenam biasanya merupakan kebersamaan bagi umat Islam di bulan Ramadhan, dengan orang-orang berkumpul di rumah atau di ruang publik untuk makan bersama.

Jam-jam puasa tergantung pada matahari terbit dan terbenam, yang memengaruhi panjangnya dari satu tempat ke tempat lain. Tahun ini, misalnya, puasa akan berlangsung lebih lama di London Inggris daripada di Sydney Australia.

Mereka yang berpuasa akan sering begadang untuk memaksimalkan jam ketika makan dan minum diizinkan. Sebagaimana tradisi puasa, bangun untuk sahur, makanan sebelum fajar, yang berfungsi sebagai alternatif untuk sarapan.

Seorang wanita Palestina berdoa di Masjid al-Aqsa di Yerusalem pada Mei 2019 (AFP)

Diyakini bahwa Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad pada salah satu dari 10 malam terakhir bulan Ramadhan, yang dikenal sebagai “Malam Lailatul Qadr”. Beberapa Muslim memilih untuk tinggal dan tidur di masjid selama hari-hari terakhir ini, untuk fokus sepenuhnya pada peningkatan pengetahuan agama mereka.

Ramadhan Tahun 2020 akan Berbeda?

Umat ​​Muslim yang mengamati Ramadhan menggunakan beberapa minggu menjelang pertemuan untuk memastikan dapur mereka dipenuhi bahan makanan tradisional.

Di Timur Tengah dan di tempat lain adalah musim yang tepat untuk berbelanja karena toko-toko menyediakan makanan tradisional dan dekorasi bertema. Jalanan dipenuhi dengan lentera yang meriah dan lampu warna-warni. Sementara penduduk menghiasi rumah mereka dengan ornamen, beberapa berbentuk bulan sabit dan bintang, untuk menandai awal bulan.

Tahun ini, jam malam dan lockdown yang diberlakukan di beberapa negara, serta mengurangi jam buka, berarti bahwa banyak Muslim akan berjuang untuk mempersiapkan seperti biasa untuk bulan Ramadhan. Di Mesir, misalnya, pemerintah telah memberlakukan jam malam dari jam 19:00 sampai 06:00.

Banyak toko melihat kekurangan makanan karena rak-rak telah dibersihkan dari barang-barang kebutuhan pokok. Beberapa pemilik toko juga menjatah jumlah produk yang dapat dibeli oleh setiap pelanggan, membuat belanja untuk keluarga yang lebih besar menjadi sulit.

Bisnis juga akan terpengaruh oleh perubahan. Banyak yang telah mengalami penurunan laba sebagai akibat dari perintah untuk melakukan isolasi sendiri di rumah, dan beberapa harus ditutup tanpa batas waktu. Langkah-langkah baru untuk menangani pandemi ini termasuk mengurangi tingkat kepegawaian dan membatasi stok. Sehingga pelaku bisnis berjuang untuk mendapatkan pasokan dari pedagang besar.

Meja diatur di jalan-jalan agar para jamaah berbuka puasa (AFP)

Bisnis independen dan penjual pasar cenderung menjadi yang paling terpukul oleh pandemi karena Ramadhan biasanya merupakan periode kunci bagi toko roti, restoran, dan penjual kerajinan. Selama bulan suci, menu termasuk camilan musiman, sementara pasar menjual produk unik untuk bulan itu, termasuk kacang dan kurma.

Bagaimana virus corona memengaruhi puasa?

Puasa selama bulan Ramadhan adalah wajib. Pengecualian dibuat untuk anak-anak, wanita yang sedang hamil, menstruasi, menyusui dan orang-orang yang sakit atau bepergian. Mereka yang mengalami gejala Covid-19 mungkin tidak harus berpuasa selama bulan Ramadhan, jika mereka tidak mampu secara fisik.

Hari-hari di Ramadhan biasanya dimulai di banyak komunitas sebelum subuh. Di gang-gang sempit di Timur Tengah selama Ramadhan, gendang pemukul kadang-kadang terdengar pada dini hari. Ini adalah musaharati yang membangunkan penduduk tepat waktu untuk sahur subuh dan mengucapkan semoga bulan penuh berkah bagi penduduk. Di beberapa lingkungan yang berhubungan erat, musaharati bahkan memanggil anak-anak dengan nama masing-masing. Tahun ini suara musaharati dapat dibungkam karena mereka mematuhi peraturan lockdown.

Pada siang hari itu sendiri, sebagian besar umat Islam yang merayakan puasa terus bekerja dan bersekolah, sambil tidak makan.

Tapi pandemi virus corona telah memaksa ribuan sekolah tutup dan jutaan orang bekerja dari rumah. Ini bisa membawa sedikit kelegaan bagi beberapa dari mereka yang berpuasa: jam-jam yang biasanya dihabiskan untuk bepergian ke dan dari tempat kerja dapat digunakan untuk mengejar ketinggalan tidur yang hilang pada malam hari.

Berbuka Puasa Ramadhan

Ramadhan adalah kegiatan yang sangat komunal sepanjang bulan, tetapi hal ini juga dapat dipengaruhi oleh pandemi virus corona.

Iftar (Indo: takjil), secara harfiah diterjemahkan sebagai “berbuka puasa”  adalah makanan yang sangat dinanti-nantikan yang sering dibagikan dengan keluarga besar dan teman-teman.

Saat masjid-masjid terisi penuh selama Ramadhan, orang-orang berduyun-duyun ke halaman (AFP)

Penyebaran Covid-19 kemungkinan akan menghentikan keluarga dan kelompok yang lebih besar untuk berkumpul, karena pemerintah di seluruh dunia mendesak orang untuk secara fisik menjauhkan satu sama lain. Ini juga dapat mencegah mereka yang tinggal di rumah tangga yang lebih kecil, yang sering diundang untuk bergabung dalam pertemuan yang lebih besar, dari melakukannya.

Seringkali organisasi atau individu amal mendirikan tenda atau stand besar di mana umat Islam dapat berkumpul dan berbuka puasa. Hidangan berbuka ini terbuka untuk semua orang, yang memungkinkan orang yang kurang beruntung juga ikut makan bersama. Tidak diketahui nanti apa yang akan terjadi dengan ini.

Juga kemungkinan akan terpengaruh adalah sahur sebelum fajar, yang beberapa organisasi Timur Tengah gunakan untuk menggantikan acara sosial kantor atau acara pers yang kalau tidak akan terjadi pada siang hari.

Untuk mengatasi batasan jarak sosial, beberapa organisasi dan masjid telah membuat webinar online dan konferensi video. Salah satu contohnya adalah Proyek Tenda Ramadhan Inggris, yang biasanya menyelenggarakan buka puasa terbuka setiap Ramadhan. Tahun ini akan menjadi tuan rumah webinar online untuk menjawab pertanyaan spiritual dan menawarkan saran tentang cara mendapatkan manfaat dari bulan suci.

Ibadah Selama Masa Pandemi

Setiap malam selama bulan Ramadhan, sholat Tarawih berlangsung di masjid-masjid di seluruh dunia. Ibadah bersama ini dilakukan dengan keyakinan bahwa ada pahala yang lebih besar untuk doa yang dilakukan dalam jemaah.

Namun tahun ini, banyak masjid di Timur Tengah, seperti Masjid An Nabawi di Arab Saudi, telah menutup pintu mereka untuk mencegah penyebaran virus.

Di Inggris, Dewan Muslim Inggris (MCB) telah mengeluarkan pernyataan yang mengatakan harus ada penangguhan segera layanan doa jika wabah terus pada tingkat yang diproyeksikan. Di AS, Masyarakat Muslim Wilayah All Dulles mengatakan semua sholat berjamaah lima hari akan dibatalkan di 10 masjid di tengah ancaman virus.

Beberapa masjid, termasuk Masjid Atlanta di AS, telah mulai menyiarkan khutbah. Ritual virtual ini dapat berlanjut selama bulan Ramadhan sehingga doa dapat diamati dari keamanan rumah para jemaah.

Di beberapa bagian Timur Tengah, azan atau panggilan untuk shalat, yang diperbesar dari masjid lima kali sehari, telah digunakan untuk mendorong orang agar tetap aman. Di Kuwait, panggilan telah diubah untuk memasukkan frasa “sholatlah di rumahmu” dan bukan “datanglah untuk sholat”.

Seorang pria berjalan menyusuri jalan untuk membangunkan penduduk setempat untuk makanan dan doa (AFP)
Virus corona dan Ibadah Haji

Bulan-bulan sebelum dan selama bulan Ramadhan adalah beberapa yang tersibuk untuk perjalanan ke kota suci Mekah, tempat kelahiran Nabi Muhammad, di Arab Saudi. Ini menarik jutaan Muslim dari seluruh dunia, yang sering menabung selama bertahun-tahun untuk menyelesaikan umrah, yang memungkinkan mereka untuk berhubungan kembali dengan iman serta mencari pengampunan dan berdoa untuk kebutuhan mereka.

Biasanya peziarah perlu memberikan bukti vaksinasi meningitis ketika memasuki kerajaan – tetapi penyebaran virus corona telah meningkatkan jumlah langkah.

Pada 27 Februari, Arab Saudi untuk sementara menangguhkan perjalanan ke situs-situs paling suci di negara itu di tengah kekhawatiran hal itu akan mendorong penyebaran virus corona, membuat agen-agen perjalanan berebut dan mengatur ulang pemesanan. Banyak peziarah membatalkan perjalanan mereka.

Awal bulan ini, Masjidil Haram Mekah dikosongkan dan dibersihkan untuk melindungi dari penyebaran virus.

Pengaruh Bentuk Ibadah Lain 

Beberapa Muslim berkumpul secara teratur untuk pengetahuan lebih lanjut tentang iman mereka dalam lingkaran studi yang dikenal sebagai halaqah. Praktik ini kembali ke zaman Nabi, ketika tradisi berbagi pengetahuan memungkinkan umat Islam untuk belajar dan mengajukan pertanyaan.

Ini meningkatkan frekuensi selama bulan Ramadhan. Diskusi dirancang agar sesuai dengan demografi para peserta. Doa dan permohonan juga biasanya dilakukan dalam sidang selama perhimpunan.

Banyak masjid akan menawarkan alternatif online, seperti platform konferensi video atau streaming langsung, sebagai pengganti tradisi yang telah berusia berabad-abad.

Amal selama Wabah

Inti dari bulan Ramadhan adalah kegiatan amal dan membantu mereka yang kurang beruntung. Umat ​​Muslim percaya ini adalah kunci iman mereka dan bahwa ada peningkatan berkah untuk tindakan kebaikan selama bulan itu.

Acara penggalangan dana biasanya diselenggarakan di sekitar acara-acara komunal, seperti jam buka puasa besar atau setelah sholat berjamaah.

Biasanya, relawan mengumpulkan sumbangan untuk mengemas tas makanan Ramadhan bagi mereka yang kurang mampu. Tahun ini, kekurangan bahan makanan penting seperti nasi, pasta, dan lentil, serta pembatasan perpindahan. Ini berarti rumah tangga dengan sedikit atau tanpa pendapatan kemungkinan akan menderita.

Di negara-negara tertentu yang dilanda krisis ekonomi, seperti Mesir, Ramadhan seringkali merupakan satu-satunya waktu dalam setahun di mana beberapa keluarga dapat makan daging jika, misalnya, potongan ayam dicampur dengan beras.

Menurut Muslim Charities Forum (MCF), umat Islam menyumbangkan setidaknya £ 160 juta [$ 160 juta] atau sekitar 2,6 miliar rupiah untuk kegiatan amal selama bulan suci. Tahun ini, berharap banyak penggalangan dana dilakukan melalui situs-situs donasi online.

Pengaruh ke Tradisi Ramadhan lain

Meskipun banyak Muslim fokus selama bulan suci pada penguatan iman mereka dan menghindari gangguan duniawi, tetapi ketika Ramadhan serial TV menemukan pemirsa prime-time.

Jumlah pemirsa dapat meroket, karena pengikut menemukan gangguan sambil menunggu berbuka puasa. Drama mencengkeram setiap hari, dengan para pemain besar, secara khusus diproduksi untuk disiarkan selama sebulan, mengantisipasi audien global yang besar.

Hotel-hotel di Timur Tengah dan Afrika Utara juga menyelenggarakan buka bersama secara besar, diikuti dengan hiburan. Sementara konser dan festival juga merupakan fitur utama bulan ini. Harapkan ini juga terkena dampak pandemi.

Idul Fitri di Tengah Wabah Virus Corona

Ramadhan berakhir dengan penampakan bulan purnama berikutnya yang menandai datangnya Hari Raya Idul Fitri.

Sholat berjamaah awal, yang diadakan pada pagi pertama Idul Fitri, menyatukan masyarakat untuk bertemu, berdoa dan makan di siang hari untuk pertama kalinya dalam sebulan.

Di sebagian besar kawasan Timur Tengah, Idul Fitri adalah hari libur nasional, waktu untuk makanan dan perayaan. Hari di mana anak-anak mengenakan pakaian baru, menerima uang atau hadiah dan makan permen. Keluarga biasanya menyelenggarakan hari libur, diisi dengan kegiatan untuk anak-anak dan pertemuan sosial untuk orang dewasa.

Orang dewasa dan anak-anak mengejar balon setelah sholat subuh di Kairo (AFP) dini hari

Rumah-rumah dihiasi dengan lampu, bendera, dan papan bertuliskan “Idul Fitri” untuk menandai hari raya tersebut. Tetapi, karena pandemi virus corona, Idul Fitri kemungkinan akan terpengaruh lebih dari Ramadhan tahun ini.

Sementara tradisi dasar Ramadhan dapat diamati di rumah, termasuk sholat jamaah melalui streaming, Idul Fitri biasanya ketika umat Islam pergi untuk merayakan, mengunjungi keluarga dan teman-teman dan kembali ke kehidupan sehari-hari yang normal. Demikian perkiraan dampak virus corona selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri. (MZN)

IQRA

Amalan di Bulan Ramadhan (5-Habis)

Ada beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa dilakukan.

Ada beberapa perbuatan baik dan amalan di bulan Ramadhan yang bisa dilakukan. Di antaranya yaitu:

f. Melaksanakan ibadah umroh

Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di bulan Ramadhan adalah melaksanakan ibadah umroh. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa nilai pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah haji. “Umrah di bulan Ramadhan sama dengan ibadah haji.”

Namun, sebagaimana sholat tarawih, umroh di bulan Ramadhan pada tahun ini (1441 H / 2020 M) juga tidak dianjurkan. Bahkan, dilarang oleh Pemerintah Arab Saudi. Dan, larangan itu sudah dilakukan sejak Februari lalu, jauh sebelum Ramadhan.

Hal ini karena umat Islam di sejumlah negara sedang dilanda wabah virus corona (covid-19). Sehingga, larangan umroh dimaksudkan untuk mencegah penyebaran virus tersebut.

g. Memperbanyak Itikaf

Itikaf dalam bahasa adalah berdiam diri atau menahan diri pada suatu tempat, tanpa memisahkan diri. Sedang dalam istilah syar’i, itikaf berarti berdiam di Masjid untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara tertentu, sebagaimana telah diatur oleh syariat.
 
Itikaf merupakan salah satu perbuatan yang dikerjakan Rasulullah SAW, seperti yang diceritakan oleh Aisyah RA: “Sesungguhnya Nabi SAW selalu i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai meninggal dunia, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sesudah beliau.” (Muttafaqun alaih).

Namun, Sama dengan ibadah sholat tarawih dan umroh yang pada Ramadhan tahun ini (1441 H / 2020 M) tidak dianjurkan, memperbanyak itikaf di masjid pada Ramadhan tahun ini juga tidak dianjurkan. Sebab, pemerintah dan ulama di sejumlah negara mengeluarkan imbauan untuk tidak mengadakan ibadah dalam bentuk keramaian, termasuk di masjid.

Demikianlah beberapa ibadah penting yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan Ramadhan dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Semoga kita termasuk di antara orang-orang yang mendapat taufik dari Allah SWT untuk mengamalkannya, dan mendapatkan kebaikan serta keberkahan bulan Ramadhan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengapa Kita Perlu Mempelajari Al-Aqidah Al-Wasithiyah?

Alim ulama dan penuntut ilmu tidaklah asing dengan kedudukan risalah al-Aqidah al-Wasithiyah yang merupakan karya Syaikh al-Islam Ahmad bin Abdil Haliim Ibnu Taimiyah rahimahullah. Meskipun ringkas, risalah ini menjelaskan prinsip-prinsip keimanan dan akidah yang menjadi pijakan generasi terbaik umat ini dengan sangat baik, sehingga dikatakan bahwa setiap keyakinan yang bertentangan dengan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah dalam risalah ini berarti telah menyelisihi jalan yang lurus.

Di masa yang semakin jauh dari masa kenabian Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam, dimana semakin banyak kesesatan dalam akidah, maka kaum muslimin perlu mempelajari rincian akidah dan prinsip iman yang tertuang dalam risalah ini. Setidaknya ada empat alasan yang mendasari hal tersebut.

Pertama

Kandungan risalah ini berpijak pada al-Qur’an al-Karim, as-Sunnah, dan ijmak salaf, dalam lafazh dan maknanya. Syaikh al-Islam telah menerangkan keistimewaan itu ketika terjadi debat yang berlangsung antara beliau dan orang yang menentang risalah ini.

Beliau rahimahullah mengatakan,

وأنا تحريت في هذه العقيدة اتباع الكتاب والسنة

“Saya berupaya mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menyusun kitab al-Aqidah al-Wasithiyah ini.” [Majmuu’ al-Fataawa, 3: 165]

Beliau rahimahullah juga mengatakan,

وكلّ لفظ ذكرته، فأنا أذكر به آية، أو حديثاً، أو إجماعاً سلفياً

“Saya senantiasa menyertakan ayat al-Quran, hadits, dan ijmak salaf untuk mendukung setiap lafazh yang disampaikan dalam risalah ini.” [Majmuu’ al-Fataawa, 3: 189]

Kedua

Kandungan risalah ini merupakan hasil dan buah penelitian Syaikh al-Islam terhadap akidah salaf terkait Tauhid Asma’ wa Shifat dan prinsip keimanan yang mencakup keimanan pada hari akhir, takdir, sikap terhadap sahabat Nabi, dan pokok akidah dan keimanan lainnya. 

Beliau rahimahullah mengatakan,

ما جمعت إلا عقيدة السلف الصالح جميعهم

“Dalam risalah ini, saya hanya mengumpulkan seluruh akidah yang diyakini generasi salaf.” [Majmuu’ al-Fataawa, 3: 169]

Ketiga

Ibnu Taimiyah rahimahullah telah mengerahkan jerih payah dalam mengompilasi thariqah, jalan beragama yang ditempuh oleh al-Firqah an-Naajiyah al-Manshuurah, Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, dalam risalah al-Aqidah al-Wasithiyah ini dengan sangat teliti. Bahkan beliau memberikan waktu bagi berbagai pihak yang tidak menyetujui risalah ini agar bisa mendatangkan hujjah bahwa akidah yang ditulis dalam risalah itu tidak sejalan dengan akidah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum.

Beliau rahimahullah mengatakan,

قد أمهلت كل من خالفني في شيء منها ثلاث سنين فإن جاء بحرف واحد عن أحد من القرون الثلاثة -التي أثنى عليها النبي صلى الله عليه وسلم حيث قال: «خير القرون القرن الذي بعثت فيه ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم»- يخالف ما ذكرته فأنا أرجع عن ذلك

“Saya telah memberikan waktu tiga tahun kepada setiap orang yang tidak menyetujui apa yang tertulis dalam risalah ini. Apabila ia mampu mendatangkan satu bukti yang menyelisihi isi risalah ini dari tiga generasi terbaik umat yang dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya saya akan rujuk.” [Majmuu’ al-Fataawa, 3: 169]

Keempat  

Meskipun risalah ini tipis, namun isinya mencakup sebagian besar permasalahan akidah dan pokok-pokok akidah, yang dilengkapi dengan perilaku dan akhlak yang musti dijalani oleh Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Risalah ini banyak dipuji oleh alim ulama, di antara mereka adalah:

  • Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan,

وقع الإتفاق على أن هذه معتقد سلفي جيد

“Ada kesepakatan bahwa apa yang tertuang dalam risalah al-Aqidah al-Wasithiyah adalah mu’taqad salafi yang benar.” [al-Uqud ad-Durriyah, hlm. 212]

  • Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan,

وقع الإتفاق على أن هذه عقيدة سلفي سنية سلفية

“Ada kesepakatan bahwa akidah yang tertuang dalam risalah ini adalah akidah sunniyah salafiyah.” [ad-Dzail ‘alaa Thabaqaat al-Hanaabilah, 2: 396]

  • Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Si’diy rahimahullah mengatakan,

جمعت على اختصارها ووضوحها جميع ما يجب اعتقاده من أصول الإيمان وعقائده الصحيحة

“Dengan keringkasan isi dan kejelasan bahasa, risalah ini mengumpulkan seluruh keyakinan dalam pokok-pokok keimanan dan akidah shahihah yang wajib diyakini.” [at-Tanbiihaat al-Lathiifah, hlm. 6]

Alasan-alasan di atas setidaknya cukup memotivasi kaum muslimin untuk mempelajari risalah ini agar tidak keluar dari jalan yang lurus, karena setiap orang yang mempelajari isi risalah al-Aqidah al-Wasithiyah maka dia telah menguasai pokok-pokok keimanan yang menjadi inti Rukun Iman. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Firanda Andirja hafizahullah [Kajian Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah].

Demikian yang dapat dituliskan. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55955-mempelajari-al-aqidah-al-wasithiyah.html

Bolehkah Petugas Medis Covid19 yang Memakai APD Tidak Berpuasa Ramadhan?

Di masa pandemi corona atau COVID 19 ini tentu peran para petugas medis menjadi sangat vital sebagai garda depan dalam pananggulangan wabah ini. Lalu di bulan Ramadhan ini apakah mereka para petugas medis COVID 19  yang memakai Alat Perlindungan Diri (APD) boleh tidak berpuasa Ramdahan?

Boleh Tidak Puasa Ramadhan?

Jawabnya: Ia boleh tidak berpuasa Ramadhan setelah mencoba berpuasa dahulu. Apabila tidak sanggup melanjutkan puasa karena merasakan sangat haus dan lelah setelah memakai APD (alat pelindung diri), sedangkan pada hari itu masih tersisa beberapa jam lagi waktu berbuka puasa dan ia berprasangka kuat khawatir kondisi kesehatan akan menurun, maka ia boleh berbuka puasa (membatalkan puasa) pada hari  itu kemudian mengqadha pada hari yang lain. Hal ini berbeda-beda setiap orang ada yang kuat ada yang tidak kuat, apabila tidak kuat, ia boleh berbuka puasa.

Berikut Pembahasannya

Sebelumnya perlu kami jelaskan bahwa dalam menjelaskan suatu hukum, perlu “tashawwur” atau gambaran kasus yang benar. Apabila “tashawwur” atau gambaran kasusnya yang didapat oleh ustadz atau ulama itu tidak tepat, maka penjelasan hukum (fatwanya) juga tidak tepat. Sebagaimana dalam kaidah fikh,

الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

Artinya: “Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”

Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz Bagaimana hukum KB (Keluarga berencana) yang diperintahkan membatasi kelahiran?

Tentu sang ustadz akan menjawab: “Hukumnya haram, karena bertentangan dengan anjuran Islam memperbanyak keturunan, tentu dengan memperhatikan nafkah dan pendidikan anak”

Akhirnya menyebarlah fatwa “Hukum KB adalah haram secara mutlak”, padahal gambaran kasus (tashawwur) KB tidaklah demkian. Hukum KB ini dirinci berdasarkan tujuan:

  1. Tahdidun nasl [تحديد النسل] yaitu membatasi kelahiran, ini hukumnya haram
  2. tandzimun nasl  [تنظيم النسل] yaitu mengatur jarak kelahiran, ini hukum boleh bahkan pada beberapa kasus dianjurkan

Demikian juga dengan fatwa mengenai “Shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid ketika musim wabah”. Ustadz atau ulama harus mendapatkan gambaran kasus (tashawwur) yang tepat dari ahli medis sebelum memberikan penjelasan hukumnya.

Gambaran Kasus saat Memakai APD

Kembali lagi ke hukum tenaga medis covid19 yang memakai APD, gambaran kasusnya perlu dijelaskan. Saya pribadi merasakan memakai APD karena spesialisasi saya adalah Patologi Klinik dan bekerja di laboratorium yang memeriksa sampel covid19. Gambaran kasus memakai APD:

  1. APD dipakai sekali saja, ketika dipakai tidak boleh dilepas karena keterbatasan APD
  2. Memakai APD bisa jadi 8 jam atau 12 jam sesuai shifnya, di lab bisa 4 jam saja apabila sampel sedikit
  3. Selama memakai APD sulit untuk minum dan buang air kecil, sehingga menjadi “serba salah”, jika minum banyak khawatir nanti akan buang air. Jika minum sedikit nanti mudah haus
  4. Selama memakai APD akan keluar keringat cukup banyak (elektrolit keluar banyak), terlebih ruangan tidak begitu dingin, kacamata bisa berembun sehingga penglihatan sulit dan itu tidak boleh diperbaiki. Demikian juga jika maka terasa gatal, tidak boleh dikucek dan harus ditahan
  5. Setelah memakai APD sebagian dari kita akan merasakan sangat haus, lapar dan lelah

Apabila kita membahas hukumnya. Ini kembali pada pembahasan “hukum tidak berpuasa Ramadhan karena pekerjaan” 

Jawabanya secara umum: hukum asalnya TIDAK BOLEH meninggalkan puasa Ramadhan karena alasan pekerjaan, karena ini rukun Islam.

Saya mendengar fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan (kurang lebih):

لم يرد في التاريخ أن السلف ترك الصيام لأجل عمل

“Tidak ada dalam sejarah Islam bahwa salaf dahulu meninggalkan puasa (Ramadhan karena alasan pekerjaan)

Berikut fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, yang menjelaskan orang yang bekerja sebagai pembakar roti dan merasakan haus sekali, ia tetap harus berpuasa.

Pertanyaan:

عن رجل يعمل في مخبز ويواجه عطشاً شديداً وإرهاقاً في العمل هل يجوز له الفطر

“Pertanyaan dari seorang yang bekerja sebagai pembakar roti, ia merasakan sangat haus dan lelah ketika bekerja, apakah ia boleh tidak berpuasa Ramadhan?

Jawaban:

لا يجوز لذلك الرجل أن يفطر ، بل الواجب عليه الصيام ، وكونه يخبز في نهار رمضان ليس عذراً للفطر ، وعليه أن يعمل حسب استطاعته

“Tidak boleh bagi orang tersebut berbuka puasa (tidak berpuasa), bahkan wajib baginya berpuasa. Adapun keadaan ia sebagai pembakar roti pada siang Ramadhan bukanlah udzur syar’i . ia wajib bekerja sesuai kemampuannya.” [Fatwa Al-Lajnah 10/238]

Perhatikan bahwa pembuat roti ini bisa mengatur pekerjaannya, ia bisa bekerja siang hari hanya beberapa jam (tidak full) atau memindahkan pekerjaannya pada malam hari. Gambaran kasus ini berbeda dengan petugas medis covid19 yang memakai APD, mereka tidak bisa mengatur jam kerja karena tugasnya adalah 24 jam dan masing-masing akan mendapatkan shif siang hari.

Alasan “khawatir” yang nyata dan kuat adalah alasan yang boleh (udzur syar’i) untuk tidak berpuasa Ramadhan. Petugas medis covid19 memang ada yang khawatir (berprasangka kuat) kondisi kesehatannya akan menurun apabila melanjutkan puasa. Ini adalah alasan dengan kekhawatiran yang nyata dan bukan dibuat-buat.

Salah satu dalil yang boleh tidak berpuasa Ramadhan karena khawatir adalah ibu hamil yang khawatir akan janinnya apabila ia berpuasa. Sang ibu tidak mengkhwatirkan dirinya, tetapi mengkhwatirkan janinnya, padahal di zaman dahulu belum ada alat untuk mengetahui kondisi janin seperti sekarang. Jadi sang ibu hanya mengandalkan “feeling” dan perasaan bahwa apabila ia berpuasa, maka janinnya akan bahaya.

Dalil akan hal ini, hadits berikut:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengugurkan kewajiban bagi musafir untuk berpuasa dan setengah shalat; dan menggugurkan pula kewajiban puasa bagi wanita hamil atau menyusui”. [HR. Tirmidzi]

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan,

والحامل إذا خافت على ولدها: أفطرت، وكذلك المرضع إذا أضر بلبنها

“Ibu yang hamil apabila khawatir akan janinnya, ia boleh tidak berpuasa (Ramadhan), demikian juga dengan ibu menyusui apabila khawatir akan membahayakan air susunya.” [Al-Umm 2/113]

Kesimpulan

Petugas medis covid19 yang memakai APD boleh tidak berpuasa Ramadhan apabila berprasangka kuat khawatir kondisi tubuhnya menurun, lalu mengqadhanya. Hal ini berbeda-beda setiap orang, ada yang kuat menahan dan melanjutkan pausa Ramadhan dan ada yang tidak kuat

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK (Petugas lab covid19 RS Unram)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56234-petugas-medis-covid19-puasa-ramadhan.html