Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari – 1)

Telah datang musim semi Al-Qur’an. Bulan termulia, malam termulia, momen-momen termulia yang menjadikan setiap pahala amalan menjadi berkali-kali lipat. Bahkan nafas-nafas kita akan terhitung sebagai tasbih dan tidurnya pun di hitung sebagai ibadah.

Kesempatan emas ini telah tiba dan tiada yang tau apakah kita masih berkesempatan meraih kesempatan ini di tahun-tahun berikutnya. Atas dasar inilah Khazanah Al-Qur’an pada bulan ini akan memberikan renungan Al-Qur’an setiap harinya dengan judul “Satu Bulan Bersama Al-Qur’an”.

Mari kita perlahan-lahan merenungkan bersama ayat-ayat berikut ini :

Allah swt Berfirman :

فَرِيقٌ فِي ٱلۡجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي ٱلسَّعِيرِ

“Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (QS.Asy-Syura:7)

إِنَّ ٱلۡأَبۡرَارَ لَفِي نَعِيمٖ – وَإِنَّ ٱلۡفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٖ

“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS.Al-Infithar:13-14)

يَوۡمَ تَبۡيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسۡوَدُّ وُجُوهٌ

“Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram.” (QS.Ali ‘Imran:106)

فَأَمَّا مَن ثَقُلَتۡ مَوَٰزِينُهُۥ – فَهُوَ فِي عِيشَةٖ رَّاضِيَةٖ – وَأَمَّا مَنۡ خَفَّتۡ مَوَٰزِينُهُۥ – فَأُمُّهُۥ هَاوِيَةٞ – وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا هِيَهۡ – نَارٌ حَامِيَةُۢ

“Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (QS.Al-Qari’ah:6-11)

وُجُوهٌ يَوۡمَئِذٖ مُّسۡفِرَةٌ – ضَاحِكَةٌ مُّسۡتَبۡشِرَةٌ – وَوُجُوهٌ يَوۡمَئِذٍ عَلَيۡهَا غَبَرَةٌ – تَرۡهَقُهَا قَتَرَةٌ

“Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan).” (QS.’Abasa:38-41)

Setelah membaca dan merenungkan ayat-ayat di atas, bagaimana perasaan kita? Apakah ada rasa takut dalam hati kita? Apakah ada kekhawatiran dan kegelisahan di dalamnya?

Tentu bila masih ada keimanan dalam hati kita, pasti akan muncul perasaan gelisah dan takut ketika membaca ayat-ayat ini. Bagaimana tidak, jujur saja kita tidak tau dimana posisi kita di antara dua golongan ini.

Apakah di hari kiamat wajah kita akan memutih atau menghitam?

Apakah kita termasuk dalam golongan wajah-wajah yang gembira atau dalam golongan wajah yang penuh ketakutan dan kecemasan?

Apakah timbangan amal kita akan memberi harapan dengan beratnya amal kebaikan, atau timbangan itu ringan dan tak bernilai apa-apa?

Apakah kita akan di panggil bersama Al-Abror (orang-orang baik) atau kita di sisihkan bersama Al-Fujjar (orang-orang yang berbuat keji dan jahat)?

Apakah kita akan menjadi Ahli Surga atau kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang di hempaskan ke dalam api neraka?

Pernahkah kita menyisihkan waktu barang sejenak untuk merenungkan nasib kita di akhirat?

Saudaraku, kesempatan kita masih terbuka lebar untuk menentukan nasib kita di akhirat. Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia atau malah semakin mendekatkan kita ke neraka. Kita tidak pernah tau kapan jatah waktu kita akan berhenti dan semua kesempatan ini akan berakhir.

Di saat kita belum tau bagaimana nasib kita kelak, maka sudah seharusnya kita menghindari berbagai sifat buruk yang menempel dalam diri kita.

Janganlah kita sombong…

Jangan berbuat dzalim…

Jangan berkhianat…

Jangan menipu…

Jangan menebar fitnah…

Jangan menyakiti hati orang lain…

Hari ini adalah kesempatan untuk menentukan nasib kita di akhirat. Fokus lah untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan selanjutnya, selagi masih memiliki kesempatan. Jangan sampai niat untuk mempersiapkan diri itu datang ketika kesempatan ini telah berakhir.

Siapkan bekal kita agar kita tergolong bersama mereka yang wajahnya berseri-seri di Hari Pembalasan. Dan sebaik-baik bekal menuju kesana adalah Takwa.

وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (QS.Al-Baqarah:197)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Tiga Kali Meninggalkan Shalat Jumat karena Covid-19, Apa Hukumnya?

Sejak wabah Covid-19 melanda, sudah dua minggu masjid-masjid di Indonesia –khususnya di zona merah Covid-19- tidak melaksanakan kegiatan Shalat Jumat.  Padahal ancaman bagi yang meninggalkan shalat Jumat sangatlah keras.

Kebijakan itu dilakukan setelah keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait arahan diperbolehkannya untuk meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat Dzuhur di tengah wabah Covid-19.

Sejak saat itu, berarti besok adalah Jum’at ketiga masjid-masjid meniadakan shalat Jumat. Lalu bagaimana hukum meninggalkan Jumat tiga kali berturut-turut karena Covid-19?

Ancaman Bagi Yang Meninggalkan Shalat Jum’at Tanpa Udzur

Dalam beberapa Hadits, Rasulullah  memberikan peringatakan keras kepada siapa saja yang meninggalkan Shalat Jum’at tiga kali.

Di antaranya adalah:

عن محمد بن عبد الرحمن بن سعد بن زرارة ، قال : سمعت عمي يحدث، عن النبي صلى الله عليه وسلم, قال : مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثًا طُبِعَ عَلَى قَلْبِهِ وَجُعِلَ قَلْبُهُ قَلْبَ مُنَافِقٍ

Dari Muhammad bin Abdillah bin Sa`d bin Zurarah, ia berkata, ”Aku telah mendengar pamanku menyampaikan hadits, dari Nabi , bahwa beliau telah bersabda,’Barangsiapa meninggalkan shalat Jumat tiga kali, ditutup atas hatinya dan dijadikan hatinya, hati orang munafiq. (Riwayat Musadad, dishahihkan sanadnya oleh Al Hafidz Al Bushiri dalam Ithaf Al Khiyarah, 2/272).

عن جابر بن عبد الله : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ طَبَعَ الله عَلَى قَلْبِهِ

Dari Jabir bin Abdillah, bahwasannya Nabi ﷺ bersabda,”Siapa meninggalkan shalat Jum`at tiga kali tanpa ada perkara darurat, maka Allah menutup atas hatinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam Ash Shahih).

عن أبى الجعد الضمرى أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى قَلْبِهِ

Dari Abu Ja’d Adh Dhamri sesungguhnya Rasulullah  bersabda,”Siapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali karena menyepelekannya, Allah ‘Azza wa Jalla menutup atas hatinya.” (Riwayat At Tirmidzi, dan ia menghasankannya).

عن صفوان بن سليم قال مالك لا أدري أعن النبي صلى الله عليه وسلم أم لا أنه قال :مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Dari Shafwan bin Sulaim – Imam Malik berkata, ”Aku tidak tahu apakah dari Nabi  atau tidak – bahwasannya ia berkata, ’Barangsiapa meninggalkan (shalat) Jum’at tiga kali tanpa udzur dan tanpa sakit, Allah menutup atas hatinya.” (Riwayat Imam Malik dalam Al Muwatha`, dan ia ragu apakah perkataan itu marfu’ atau tidak dan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalib Al Aliyah (5/43) menghukuminya munqathi` (terputus), karena Shafwan bin Sulaim seorang tabi’in).

وعن ابن عباس – رضي الله عنهما – قَالَ: مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ جُمَعٍ مُتَوَالِيَاتٍ فَقَدْ نَبَذَ الإِسْلاَمَ وَرَاءَ ظَهْرِهِ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu `anhuma ia berkata,”Siapa meninggalkan shalat Jum’at tiga Jum`at berurutan, maka ia telah melempar Islam ke belakang punggungnya.” (Riwayat Abu Ya’la, mauquf dengan sanad yang shahih (Ithaf Al Khiyarah, 2/274)).

Hadits-hadits di atas ada yang berbentuk mutlak, yakni ancaman bagi mereka yang meinggalkan shalat Jum’at tiga kali, seperti hadits Musaddad. Namun hadits-hadits yang lain menunjukkan ancaman berlaku bagi yang meninggalkan shalat Jum’at karena meremehkan, tanpa udzur, tanpa sakit, atau kondisi darurat.

Maka perlu membawa hadits yang bersifat mutlak kepada hadits-hadits yang bersifat muqayad. Sebab itulah, Al Hafidz Al Bushiri meski mencantumkan hadits yang bersifat mutlak, tetap menulis bab dengan judul, ”Dan Ancaman atas Meninggalkan Shalat Jumat tanpa Udzur.” (lihat, Ithaf Al Khiyarah, 2/270) Atas Udzur-udzur yang Sebabkan Bolehnya Meninggalkan Shalat Jumat.

Para ulama menyebutkan udzur-udzur menjadikan seseorang boleh meninggalkan shalat Jumat. Sebagian udzur-udzur itu antara lain:

Hujan

Para ulama menyebutkan bahwasannya hujan merupakan salah satu udzur bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan jama’ah, berpedoman pada hadits:

عَنْ أَبِى الْمَلِيحِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ وَأَصَابَهُمْ مَطَرٌ لَمْ تَبْتَلَّ أَسْفَلُ نِعَالِهِمْ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا فِى رِحَالِهِمْ

Dari Abu Malih dari ayahnya, bahwa sesungguhnya ia menyaksikan zaman Al Hudaibiyah di hari Jum’at dan hujan turun mengenai mereka, sedangkan bawah sandal-sandal mereka tidak basah, dan Rasulullah  memerintahkan mereka melaksanakan shalat di rumah-rumah mereka.” (Riwayat Abu Dawud, Imam An Nawawi menshahihkan isnadnya dalam Khulashah Al Ahkam, 2/657)

Ketakutan dan Sakit

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-:  مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِىَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ . قَالُوا: وَمَا الْعُذْرُ؟ قَالَ: خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ. لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلاَةُ الَّتِى صَلَّى

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu `anhuma ia berkata, bahwasannya Rasulullah  telah bersabda, ”Barangsiapa mendengar (adzan) muadzin, sedangkan udzur tidak mencegahnya. Para sahabat pun bertanya,’Dan apa udzurnya? Rasulullah ﷺ menjawab,’Ketakutan dan sakit’, Maka tidak diterima darinya shalat yang ia kerjakan.” (Riwayat Abu Dawud)

Imam Al Baihaqi meletakkan hadits di atas dalam bab,”Bab Meninggalkan Mendatangi Shalat Jum’at karena Takut atau Sakit atau Perkara yang Semakna dengan Keduanya dari Udzur-udzur” (Sunan Al Kubra, 3/185)

Cuaca Terlalu Panas atau Terlalu Dingin

Dari udzur-udzur meninggalkan shalat jama’ah dan Jum’at adalah cuaca yang amat dingin, baik di malam hari maupun di siang hari, termasuk semakna dengannya cuaca yang sangat panas. (Fath Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, 2/153)

Tertidur

Termasuk dari udzur yang membolehkan seorang meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah adalah ketiduran. (Fath Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, 2/153)

Tidak Memiliki Pakaian untuk Menutup Aurat

Termasuk udzur yang menyebabkan seseorang dibolehkan meninggalkan shalat jama’ah dan shalat Jum’at adalah tidak memiliki pakaian yang menutupi aurat. (Fath Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, 2/153)

Tentu, ada pula udzur-udzur lainnya, yang disebut para fuqaha selain urdzur-udzur di atas. Dan perkara-perkara yang merupakan udzur dalam meninggalkan shalat jama’ah merupakan juga udzur dalam meninggalkan shalat Jum`at. (Fath Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, 2/299)

Wabah Covid 19 Apakah Termasuk Udzur?

Hai’ah Kibar Ulama Al Azhar memutuskan, bahwasannya di masa menyebarnya wabah Covid 19, umat Islam boleh meninggalkan shalat Jum’at. Hal itu merujuk pada udzur-udzur meninggalkan yang dibolehkan meninggalkan shalat Jum’at yang telah disimpulkan oleh para ulama.

Jika dikarenakan hujan, boleh meninggalkan shalat Jum’at karena masyaqqah (kesusahan), maka meninggalkan shalat Jum’at karena bahaya Covid-19 lebih besar daripada kesulitan melaksanan shalat Jumat di masjid kerena hujan.

Para ulama juga mengambil kesimpulan hukum, bahwasannya termasuk udzur dibolehkan meninggalkan shalat Jumat karena adanya rasa takut, baik terhadap jiwa, harta atau keluarga. Maka kekhawatiran akan terjangkitnya seseorang oleh Covid-19 merupakan udzur baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan diganti dengan shalat dhuhur.

Rasulullah  juga melarang seseorang yang memakan bawang merah atau bawang putih untuk pergi ke masjid, karena hal itu mengganggu orang lain dengan baunya. Tentu, gangguan dan bahaya penyebaran wabah Covid 19 lebih besar daripada gangguan karena bau bawang yang bersifat sementara. (Lihat, Pernyataan Hai’ah Kibar Ulama Al Azhar Merespon Kondisi Darurat Wabah Covid-19). Wallahu A’lam  bi Ash Shawwab.*/Thoriq, mahasiswa S2 Syariah Islamiyah, Al Ma’had Al Ali Li Ad Dirasat Al Islamiyah, Mesir

HIDAYATULLAH

Arab Saudi Tutup Masjid Al-Haram dan Nabawi Selama Ramadhan

Presidensi Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci mengumumkan pada Senin (20/4) waktu setempat, bahwa penutupan dua masjid suci, yakni Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah akan diperpanjang selama bulan suci Ramadhan. Peniadaan ibadah di kedua masjid suci itu dilakukan sebagai bagian dari upaya memerangi pandemi virus corona.

Presiden Jenderal Dua Masjid Suci, Sheikh Dr. Abdulrahman bin Abdulaziz Al-Sudais, mengatakan dalam sebuah unggahan di Twitter bahwa Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi akan menyiarkan adzan sepanjang bulan suci ini. Namun, masjid akan tetap tertutup bagi jamaah.

Dilansir di Arab News, Selasa (21/4), pemerintah Saudi bulan lalu mulai mengintensifkan tindakan pencegahan anti virus corona dan meningkatkan koordinasi antara semua pihak terkait keselamatan jamaah. Sejak Maret lalu, otoritas Saudi telah menutup sementara Masjid Al-Haram dan Nabawi. Sebelumnya, pemerintah Saudi telah menghentikan sementara kegiatan umroh.

Pada Senin (20/4), jumlah kasus Covid-19 di Saudi telah melewati angka 10.000. Menteri Kesehatan Saudi. Dr. Tawfiq Al-Rabiah, mengatakan bahwa peningkatan kasus itu adalah hasil dari tes virus corona aktif yang dilakukan pemerintah kepada warganya.

Sejauh ini, kasus baru Covid-19 di Saudi yang dilaporkan tercatat sebanyak 1.122 kasus. Dari total kasus baru itu, 874 kasus terdeteksi sebagai hasil dari pengujian aktif yang dilakukan di distrik-distrik padat penduduk dan wilayah dengan risiko tinggi lainnya. 

IHRAM

Jangan Remehkan Najis Air Kencing

KEMATIAN adalah sesuatu yang pasti terjadi dalam hidup kita, karena itu sudah menjadi salah satu fase kehidupan.

Ketika jasad telah masuk ke dalam kubur, dan jasad kita telah tertutup rapih di dalam tanah, maka saat itulah kita mulai memasuki alam Barzah atau alam kubur. Di mana ketenangan atau pun kegelisahan kita di dalamnya itu tergantung amal kita saat ini.

Ketika amal tak cukup untuk menerangi alam kubur, di sanalah siksa kubur mulai terasa. Lalu, apa saja penyebab dari siksa kubur itu? Siksa kubur memiliki beberapa faktor penyebab, di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut:

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata bahwa Nabi pernah melewati dua kuburan, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya penghuni kubur sedang disiksa, keduanya tidak disiksa dalam masalah yang berat, salah satunya karena tidak menjaga dari air kencing, adapun yang kedua dia suka mengadu domba.”

Lalu Rasulullah SAW mengambil pelepah kurma yang masih basah dan membelahnya menjadi dua dan menancapkan pada masing-masing kubur satu buah. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa engkau lakukan ini?” Beliau menjawab, “Agar diringankan siksa keduanya selama belum kering.”

Dalam hadis tersebut menjelaskan kepada umatNya tentang sebagian faktor penyebab azab kubur yaitu meremehkan najisnya air kencing dan namimah.

Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata, “Sebagian ulama menyebutkan rahasia di balik pengkhususan air kencing dan namimah sebagai faktor siksa kubur, yaitu karena alam kubur adalah rumah utama menuju kampung akhirat.”

Kemaksiatan yang akan diberi balasan besok pada hari kiamat ada dua macam: Hak Allah SWT dan hak hamba. Hak Allah SWT pertama kali yang diadili adalah shalat, sedang hak hamba adalah darah.

Ada pun Barzah adalah tempat untuk mengadili perantara dua hak tersebut. Perantara shalat adalah suci dari hadas dan najis, sedangkan perantara pertumpahan darah adalah namimah dan mencela kehormatan. Jadi, di alam Barzah dimulai untuk membalas kedua perantara tersebut. [ ]

Sumber: 1001 Siksa Alam Kubur, Karya: Ust. Asan Sani ar Rafif, Penerbit: Kunci Iman

INILAH MOZAIK

Masjid Sunda Kelapa Islamkan 19 Ribu Orang

Sejak 2003, Masjid Sunda Kelapa fokus pada pembinaan mualaf.

Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta mempunyai program sertifikasi bagi mualaf sejak 1983. Hingga tahun ini, diperkirakan ada sekitar 19 ribu mualaf yang mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid tersebut.

Sekretaris Dewan Pengurus Masjid Sunda Kelapa, Ismed Hasan Putranto menjelaskan mulanya Masjid Sunda Kelapa hanya mengislamkan orang yang ingin masuk Islam saja. Mereka datang dan dibimbing membaca kalimat syahadat. Tapi sejak 2003, masjid mulai fokus pada pembinaan mualaf.

“Sebanyak 19 ribu lebih mualaf tercatat sejak Sunda Kelapa berdiri. Kita tiap hari ada pembinaan dengan ustadz yang siaga membantu pendalaman Islam,” kata Ismed pada Republika.co.id, Rabu (22/4).

Bagi yang memproklamirkan diri sebagai Muslim di Masjid Sunda Kelapa akan mendapat sertifikat. Nantinya, sertifikat ini digunakan mengubah kolom agama di KTP.

“Sertifikat masuk Islam ada juga kami keluarkan buat yang mualaf disini,” ujar Ismed.

Dari Senin hingga Jumat, Masjid Sunda Kelapa membuka pembinaan mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00 WIB. Ada beberapa materi yang diberikan kepada mualaf, seperti aqidah, syariat, ibadah, rukun iman, rukun Islam, dan larangan dalam Islam.

“Tidak kami lepas, mereka kami bina terus secara kontinu. Biasanya mualaf tiap seminggu sekali juga ada pertemuan diantara mereka sendiri bikin pengajian, mereka ada komunitasnya,” ujar Ismed.

Masjid Sunda Kelapa menyadari mualaf kerap bermasalah dalam tempat tinggal setelah diusir keluarga. Pengurus masjid tetap berupaya membantu mualaf menemukan tempat bernaung sementara.

Ismed berharap makin banyak jamaah yang membuka pintu bagi mualaf. Sebab sesama Muslim ialah bersaudara, termasuk mualaf.

“Boleh tinggal beberapa hari di masjid, tapi kalau lama tidak bisa. Kami bantu carikan keluarga yang siap tampung dari jamaah lain,” ucap Ismed.

KHAZANAH REPUBLIKA

Covid-19 Menuntut Manusia Merenung & Perbaiki Diri

VIRUS Corona atau Covid-19 tengah mewabah dunia. Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia salan satu yang terdampak dengan jumlah korban cukup besar. Kehidupan sosial dan ekonomi luluh lantak akibat pandemi virus mematikan tersebut.

Menurut Profesor Quraish Shihab, bencana tersebut mengharuskan siapa pun untuk merenung.

“Bencana ini mengharuskan kita merenung, mengapa terjadi? Lalu kita berusaha untuk memperbaiki diri guna terhindar darinya,” kata Prof Quraish pada acara “Munajat Hamba”, Selasa (21/4/2020).

Menurut Prof Quraish, siapa pun harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT, tetapi harus disadari pula bahwa kehendak Allah terjadi tidak secara sewenang-wenang. “Kita masih diperintahkan untuk berusaha. Salah satu usaha itu adalah doa kepada Allah subhanahu wa ta’ala,” kata ulama tafsir yang dianugerahi Bintang Tanda Kehormatan Tingkat Pertama bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni dari Pemerintah Mesir itu.

Perihal pentingnya doa, Allah telah menyatakan dalam Surat Al-Furqan ayat 77. Artinya, “Katakanlah (Muhammad kepada orang-orang musyrik), Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau tidak karena doamu. (Tetapi bagaimana Dia mengindahkan kamu), padahal sungguh kamu telah mendustakan (rasul dan Al-Quran)? Karena itu, kelak (azab) pasti (menimpamu).

“Begitu juga hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa takdir tidak akan berubah kecuali dengan doa. “La yaruddul qadara illad du’a.” Artinya, “Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa.”

“Bencana jatuh dari langit. Doa naik membumbung ke atas. Doa bertemu dengan bencana, bisa jadi bencana dialihkannya sehingga tidak turun ke bumi. Bisa jadi juga diperlemah kejatuhnya sehingga dia jatuh bagaikan di atas tumpukan jerami. Oleh karena itu doa sangat dianjurkan,” terangnya.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Allah menyatakan tidak akan menghukum hamba-Nya selama mereka beristighfar. Artinya, “Allah tidak akan menyiksa mereka selama kamu ada di tengah mereka. Allah tidak akan menghukum mereka, sementara mereka memohon ampun,” (Surat Al-Anfal ayat 33).

“Mari kita memanjatkan doa dengan beristighfar sambil berselawat kepada rasulullah SAW,” ajak penulis Tafsir Al-Misbah itu. Selain Prof Quraish, turut pula mengikuti acara ini, yaitu lama terkemuka Mesir Syekh Ali Jum’ah, Pengasuh Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon KH Husein Muhammad, Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand Prof Nadirsyah Hosen, dan Pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, KH Abdullah Kafabihi Mahrus. Selain itu, terdapat Pengasuh Pesantren Al-Munawwir Krapyak KH R Najib Abdul Qodir, Pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan KH Idris Hamid, Pengasuh Pondok Roudlotut Thohiriyyah Kajen KH Ahmad Muadz Thohir, Cendekiawan Muslim Ulil Absar Abdalla, dan Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen. [nuol]

INILAH MOZAIK

Pahala Menyimak Kajian Online

Ust, apakah ikut nyimak kajian online seperti skrg ust2 banyak yg mengisi kajiannya via streaming, apakah ttp dpt pahala hadir di majelis ilmu, sprti dikelilingi malaikat dst?

Jawaban:

Kesibukan paling baik adalah, sibuk anda bersama ilmu. Mengajar, membaca, mendengarkan ilmu, adalah agenda yang paling baik mengisi waktu Anda di rumah Anda. Imam Az-zuhri rahimahullah pernah mengatakan,

ما عُبِدَ اللَّهُ بمثل الفقه

Tak ada ibadah yang lebih agung dipersembahkan untuk Allah, melebihi ibadah fikih (memahami ilmu).

Semenjak wabah COVID-19 melanda negeri kita, banyak kajian para ustadz yang diliburkan. Namun alhamdulillah, Allah masih sayang kepada kita, sehingga masih bisa mendengarkan ilmu, melalui jejaring internet. Para ustadz mulai menggunakan nikmat ini sebagai sarana menyebarkan ilmu, via live streaming di YouTube, Instragram, Facebook, google duo, Zoom dll.

Apakah mengikuti kajian online seperti ini, mendapatkan pahala menghadiri majelis ilmu?

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda tentang pahala majelis ilmu,

لا يقعدُ قومٌ يذكرون اللهَ عز وجل إلا حفَّتْهم الملائكةُ ، وغشيتْهم الرحمةُ ، ونزلتْ عليهم السكينةُ ، وذكرهم اللهُ فيمن عنده

“Tidaklah suatu kaum duduk untuk mengingat Allah, kecuali para Malaikat (rahmah) mengelilinginya, rahmat Allah menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang berada di sisinya.” (HR. Muslim)

Jawabannya adalah, insyaallah orang yang mengikuti kajian live streaming, juga mendapatkan pahala majelis ilmu yang disebutkan pada hadis di atas. Ada dua alasan setidaknya yang mendasari jawaban ini :

Pertama, tidak hadir ke pengajian, karena uzur, tetap dapat pahala normal.

Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا

Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana Ibadah yang dia lakukan ketika sehat atau ketika tidak safar.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menjelaskan, bahwa seorang yang beruzur melakukan rutinitas ibadahnya saat ia masih sehat atau kondisi normal, ia tetap mendapatkan pahala sebagaimana kondisi normalnya. Walaupun ia tak mampu melakukan ibadah tersebut atau tidak maksimal melakukannya.

Syekh Kholid Al Muslih menerangkan,

وهو يشمل كل صاحب عذر في تركه لما كان عليه من الخير،

Hadis di atas berlaku pada semua yang beruzur (seperti kekhwatiran tertular wabah, pent) melakukan ibadah yang dia lakukan saat kondisi normal. (https://almosleh.com/ar/12665)

Para ulama telah menjelaskan, bahwa wabah Corona adalah uzur syar’i boleh tidak sholat Jumat dan sholat berjamaah, padahal kedua ibadah tersebut bersinggungan dengan rukun Islam, maka terlebih lagi menghadiri pengajian. Sehingga karena adanya penghalang berupa wabah ini, seorang tetap mendapatkan pahala menghadiri pengajian secara normal/ideal, walaupun ia hanya menyimak melalui kajian online atau live streaming.

Kedua, teknis kajian seperti itu, masuk dalam definisi bermajelis ilmu.

Dalam hadis yang lain, Nabi ﷺ menyebut perkumpulan pengajian dengan sebutan majelis dzikir. Dijelaskan oleh Imam Az-zuhri, majelis dzikir maksudnya majelis yang di dalamnya dijelaskan halal dan haram, atau sebutan ringkasnya, majelis ilmu. Ini menunjukkan, bahwa setiap orang yang ikut serta dalam majelis ilmu, ia mendapatkan pahala bermajelis ilmu.

Karena seorang untuk disebut bermajelis, tidak harus dengan hadir bertatap muka. Seperti transaksi online misalnya, para ulama menghukumi sebagai majelis jual beli yang sah. Sehingga ketentuan jual beli, seperti hak khiyar dan yang lainnya, juga berlaku pada model transaksi ini. Demikian pula dengan majelis ilmu, seorang yang menyimak secara online, juga masuk dalam definisi bermajelis ilmu.

Syekh Dr. Abdullah As-Sulmi menerangkan,

ولا شك أن مجالسَ العلم مجالسُ تحفها الملائكة، وتغشاها الرحمة، وتتنزل عليها السكينة. ولهذا فإن فقهاء الإسلام من علماء العصر، يرون أن المجلس إنما هو ما تعارف عليه الناس في المجلس، فمجلس البيع هو ما يتبايع فيه المتبايعان، أو ما يحصل فيه في وسائل الاتصال الحديثة، ولا شك أن هذا المجلس الذي -بإذن الله- تحفُّه الملائكة، وإن كان مع الإخوة معنا في هذا الاستديو، وكذلك فيمن خلف الشاشات، يستمعون ويترقبون، يأخذون أقلامهم، يُقيدون فوائد هذا الدرس، فإنهم -بإذن الله- سوف يكونون -بإذنه- ممن تحفهم الملائكة، فحيهلا جميعًا في هذا الصرح المبارك.

Tidaklah diragukan bahwa majelis ilmu adalah majelis yang dikerumuni oleh para malaikat, rahmat Allah melimpah ruah di sana dan ketenangan pun diturunkan di tempat tersebut.

Para pakar fikih kontemporer berpandangan bahwa pengertian majelis adalah segala sesuatu yang dinilai sebagai majelis oleh masyarakat. Majelis jual beli adalah tempat terjadinya transaksi jual beli baik secara langsung atau pun melalui berbagai sarana komunikasi modern.

Tidaklah diragukan bahwa majelis kajian ini dengan izin Allah, adalah majelis yang dikerumuni para malaikat. Baik yang hadir bersama kami di studio atau pun yang menyimak dan memperhatikan kajian di balik komputer, sambil memegang pena dan mencatat pelajaran yang disampaikan. Maka mereka ini dengan izin Allah termasuk orang orang yang dikerumuni malaikat. (Kami nukil dari situs guru kami ustadzaris.com)

Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak (anggota ulama Senior Saudi Arabia) saat ditanya apakah hadis yang menjelaskan keutamaan majelis ilmu yang dikelilingi malaikat, apakah orang yang menyimak melalui internet, ia berada tempat yang jauh dari majelis, apakah tetap mendapatkan pahala di atas?

Jawaban Syekh :

فضلُ الله واسعٌ، لا حجْرَ على فضلِ اللهِ، نرجو أنْ يشملَه، نرجُو، وهذا هو المُستطاعُ، فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ، وهذا قد طلبَ العلمَ بما يستطيعُ، وشاركَ طُلَّابَ العلمِ والمُجتمعين على ذلك شاركَهم بالوسيلةِ التي تيسَّرَتْ له، واللهُ المُستعان .

Karunia Allah itu luas, tak boleh membatasi karunia Allah yang maha luas. Kami berharap, ganjaran tersebut juga mencakupi orang yang menyimak melalui internet. Bertakwalah kepada Allah semampu kalian. Orang tersebut telah menuntut ilmu sebatas kemampuan yang ia miliki. Ia ikut serta bersama penuntut ilmu lainnya dan para hadirin melalui sarana yang mudah ia upayakan. Allah yang memberi pertolongan. (https://sh-albarrak.com/article/10006)

Sebagai penutup, mohon digaris bawahi bahwa, jawaban ini hanya berlaku untuk orang yang mengikuti kajian secara live. Adapun yang tidak live, maka jawaban ini tidak berlaku. Meskipun tetap mendapatkan pahala menuntut ilmu lainnya, namun tidak untuk pahala menghadiri majelis ilmu yang ganjarannya berupa dikelilingi malaikat, diliputi rahmat dst.

Wallahua’lam bis showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36319-pahala-menyimak-kajian-online.html

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 1)

Berpuasa (ash-Shiyam) merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum, jimak, yang dimulai dari matahari terbit dan berakhir ketika matahari terbenam. Berikut adalah penjelasan ayat tentang puasa

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 183

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَز.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 183]

Makna Ayat

Wahai orang-orang beriman, sungguh telah diwajibkan atasmu ibadah puasa, sebagaimana hal itu juga diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian, agar kalian menjadikannya sebagai penghalang yang menjaga dirimu dari murka dan siksa Allah Ta’ala [Tafsir Ibnu Jarir, 3: 152-155; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Nazhm ad-Durar, 3: 44; Tafsir as’Sa’di, hlm. 86; Tafsir Ibnu Utsaimin al-Fatuhah wa al-Baqarah, 2: 316-317]. 

Berpuasa (ash-Shiyam) merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum, jimak, yang dimulai dari matahari terbit dan berakhir ketika matahari terbenam [Tafsir Ibnu Jarir, 3: 152; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 25: 220].

Faidah-Faidah Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa” merupakan isyarat bahwa keimanan mengharuskan orang yang memiliki iman untuk berpuasa, karena sungguh ayat ini dibuka dengan panggilan bagi orang-orang beriman [Ar-Risalah at-Tabukiyah, hlm. 39].
  2. Ada hikmah ilahiyah dalam kewajiban berpuasa atas orang-orang beriman. Salah satu hikmah Allah adalah Dia mensyari’atkan berbagai jenis ibadah. Di antara ibadah tersebut ada yang murni ibadah harta seperti zakat. Ada yang murni ibadah fisik seperti shalat. Dan di antaranya ada ibadah yang merupakan kombinasi keduanya seperti haji. Ada juga ibadah yang berwujud meninggalkan sesuatu seperti puasa yang berupa aktivitas meninggalkan makan, minum, dan selain keduanya. Hal itu untuk menyempurnakan ujian pada diri hamba, karena sebagian orang terkadang mudah melaksanakan aktivitas ibadah fisik, namun berat melakukan ibadah harta. Demikian pula sebagian yang lain, mungkin sebaliknya, mudah menyedekahkan harta, tapi berat melakukan ibadah fisik [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2: 319]. 
  3. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” terdapat hiburan dan pelipur bagi hamba yang dibebani dengan suatu ibadah agar mudah menjalankannya. Di sini Allah Ta’ala menginformasikan bahwa Dia mewajibkan ibadah puasa atas umat Islam dan menjelaskan kepada mereka bahwa ibadah tersebut juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelumnya. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa berbagai ibadah yang nampak berat, apabila memasyarakat dan banyak dilakukan orang, niscaya akan ringan dan mudah dijalankan [Tafsir ar-Razi, 5: 243; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah, 2: 318].
  4. Salah satu hikmah dari permisalan yang ada dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” adalah untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan bagi umat ini yang telah dimiliki oleh umat-umat sebelumnya, sehingga kaum muslimin menjadi teladan dalam ibadah puasa, dan bersungguh-sungguh dalam menunaikannya dengan lebih sempurna; selain menegaskan hukum berpuasa dan memotivasi [Tafsir Ibnu Katsir, 1: 497; Tafsir Abu as-Su’ud, 1:198; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah –, 2: 317]. 
  5. Hamba sepatutnya menjalani berbagai sebab yang bisa mengantarkan dirinya mewujudkan predikat takwa, karena Allah ta’ala mewajibkan ibadah puasa ini untuk tujuan tersebut seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya (yang artinya), “diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2: 318].

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  1. Ayat ini dibuka dengan seruan Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman”, karena dalam Bahasa Arab bentuk seruan atau panggilan digunakan untuk menarik perhatian agar memperhatikan apa yang akan disampaikan setelahnya. Pengulangan seruan tersebut untuk menampakkan adanya perhatian lebih pada apa yang akan disampaikan dan untuk menjelaskan adanya hukum agama yang lain setelah perincian hukum qishash pada ayat-ayat sebelumnya [Tafsir Abu as-Su’ud, 1: 198; Tafsir Ibnu ‘Asyur, 2:154].
  2. Firman Allah ta’ala, “كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ”, redaksi tersebut dinyatakan dengan kata kerja “كُتِبَ”, yaitu kata kerja pasif dimana fa’il (subyek) dihapus karena telah dimaklumi bahwa yang menetapkan kewajiban tersebut adalah Allah Ta’ala. 

Alasannya, karena ibadah puasa itu umumnya memberatkan diri hamba. Sehingga dalam hal ini, etikanya pembebanan suatu hal yang memberatkan tidak disebutkan secara langsung bahwa Allah Ta’ala yang menetapkannya, meski benar bahwa Dia-lah yang menetapkan. Itulah mengapa penetapan suatu perkara yang berwujud kelapangan dan kegembiraan yang dilakukan Allah Ta’ala, tetap dinyatakan dengan redaksi yang menggunakan kata kerja aktif, dimana fa’il tetap disebutkan. Hal ini seperti firman Allah ta’ala,

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ

“Rabb-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” [QS. al-An’am: 54] [Tafsir Abu Hayyan, 2: 177]

  1. Pada firman Allah ta’ala, “عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ”, terdapat taqdim dan takhir, maksudnya ada yang didahulukan dan diakhirkan, dimana kata “عَلَيْكُمُ” didahulukan atas kata “الصِّيَامُ”. Hal ini berfungsi sebagai penegasan, karena memulai dengan menyebutkan bentuk penetapan lebih tegas daripada langsung menyebutkan sesuatu yang ditetapkan [Ad-Dur al-Mashun, 2: 266].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55951-ayat-ayat-shiyam-bag-1.html

Jika Lockdown Berkelanjutan, Ini Petunjuk Al-Qur`an

Pendemi ini cara agar kita semakin mendekat kepada Allah. Selain itu,  pelajaran peduli kepada umat, agar tak suka mencari selamat 

SAAT ini, orang pada umumnya sedang resah, khawatir, takut dan dihinggapi perasaan tidak menentu karena virus corona. Tidak ada tahu sampai kapan akan berhenti dan tidak ada info valid dan pasti siapa gerangan di balik semua ini. Apa ini natural atau by design.

Sebagai Muslim, di tengah situasi seperti ini, penulis dengan bismillah mencoba melihatnya dari sudut pandang al-Qur`an. Mencoba mendaras, menelaah, mentadabburi berbagai macam kisah yang identik atau secara subtansi mirip dengan kondoisi lockdown dan bagaimana solusinya.

Penulis akan memulai dengan tingkatan paling rendah hingga level yang paling tinggi.

Pertama, kasus Nabi Yusuf yang ter-lockdown dalam sumur. Allah berfirman:

{فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (15) } [يوسف: 15]

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS: Yusuf [12]: 15).

Akibar iri hati, saudara-saudara Yusuf bersepakat untuk menjauhkan dia dari ayahnya (Ya’qub). Opsi paling ringan adalah diletakkan ke dalam sumur. Menurut data tafsir Ibnu Katsir, beliau terkurung dalam sumur ini selama tiga hari.

Kisah kedua, Nabi Yunus yang berada dalam perut ikan lantaran meninggalkan kaumnya. Al-Qur`an menggambarkan:

{فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ (142) فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ (143) لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (144)} [الصافات: 142 – 144]

“Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela . [142] Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, [143] niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS: Ash-Shaffat [37]: 142-144)

Dalam tafsir Ibnu Katsir, disebutkan perbedaan pendapat mengenai berapa lama Yunus di perut ikan. Ada yang mengatakan 3 hari, 7 hari dan paling maksimal 40 hari dan ini yang masyhur. Berada dalam perut ikan di kedalaman lautan yang sangat gelap.

Ketiga, kisah Ashabul Kahfi yang ditidurkan oleh Allah dalam gua selama 300 tahun lebih. Demikian penggambaran al-Qur`an:

{وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا } [الكهف: 25]

“Dan mereka (Ashabul Kahfi) tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi [18]: 25)

Ketiga kisah ini menggambarkan orang yang menghadapi ujian dari Allah. Berada di suatu tempat yang sebenarnya sangat dijauhi orang. Sepi, sunyi dan taka da komunikasi dengan pihak luar.

Saat Yusuf di dalam sumur, tidak ada kepastian bekal makan yang jelas. Demikian juga Yunus, mana ada makanan siap saji dalam perut ikan, apalagi Ashabul Kahfi yang harus diam di gua selama 3 abad. Benar-benar kondisi yang jauh lebih dahsyar daripada corona.

Dari semua kisah lockdown yang penulis dapat dari al-Qur`an ini, ada beberapa hal yang dilakukan mereka saat menghadapi situasi sulit ini. Pertama, semaki dekat dengan Allah. Yang mereka takutkan dan khawatirkan pertama kali bukan takut mati atau tak bisa makan. Tapi justru ketika tidak diperhatikan Tuhan.

Dalam kondisi seperti itu, mereka semakin memperkohoh iman, mengevaluasi diri, mendapatkan waktu maksimal untuk lebih intim bersama Allah. Dalam keadaan sesempit itu, mereka masih memiliki harapan. Di sinilah peran agama. Membuat orang selalu memiliki harapan di puncak keputus asaan.

Mengapa mereka tidak khawatir? Karena yakin punya Allah, dan pasti akan dijamin rezekinya dengan cara yang Allah kehendaki. Tugas hamba adalah berikhtiar sepuncak yang dimampu. Adapun qaha dan qadar murni prerogatifnya.

Yusuf menghadapai masalah kedengkian dari saudara-saudaranya? Apa Allah mencampakkannya? Tidak, itu hanya berlangsung minimal tiga hari setelah itu dia ditemukan oleh kafilah dagang hingga dijual ke penguasa Mesir hingga bertemu dengan takdirnya menjadi Bendaharawan Mesir.

Yunus, selama 40 hari tinggal di dalam perut ikan besar, kalau bukan karena dzikirnya, beliau akan tinggal di situ sampai hari kiamat. Menurut akal manusia biasa, pasti mati. Rupanya, Allah masih menyelamatkan beliau. Lebih dari itu, sekembalinya ke tempat kaumnya, mereka sudah beriman.

Demikian juga Ashabul Kahfi, mereka berjuang menegakkan nilai-nilai tauhid. Menjadi buronan kelas kakap penguasa tiran kala itu. Sampai akhirnya masuk dalam gua dan ditidurkan selama itu. Ketika bangun, negerinya sudah dipimpin oleh penguasa yang adil.

Dilihat dari sebentar dan lama lockdown yang mereka hadapi, semuanya mendapat akhir yang manis. Apa sebab? Pertama, iman yang kuat sehingga tidak larut pada rasa takut. Kedua, tujuan hidup yang jelas. Ketiga, tidak lepas dari zikir (selalu on dengan Allah). Keempat, berjuang untuk umat. Kelima, punya idealisme besar berupa: tidak mendapatkan dunia dengan berbagai perniknya tidak masalah, asal masih diperhatikan oleh Allah. Ketika Allah sang Pencipta yang menjadi muara harapan, maka segala cintaan-Nya akan tunduk pada iradah-Nya. Yusuf yang tadinya dibuang menjadi anak gedongan, segala kebutuhan Yunus dipenuhi bak sedang berada dalam kapal selam, Ashabul Kahfi tidur nyaman dan nyenyak. Waktu yang sudah tiga abad itu hanya terasa semalam.

Dari ketiga kisah itu, penulis mengambil hikmah:

Pertama, dalam situasi sesulit apapun jangan dikuasai oleh rasa takut berlebihan. Allahush Shamad (Allah tempat bergantung). Sebab, kalau hati sudah putus asa, maka tak ada jalan untuk bangkit.

Kedua, semakin mendekat kepada Allah. Boleh jadi, ini adalah satu momen rahmat yang disediakan oleh Allah, agar hamba-Nya semakin dekat kepada-Nya.

Ketiga, menebarkan optimisme, peduli kepada umat serta tak mencari selamat sendiri.

Demikianlah sudut pandang orang Muslim: yang ditakuti hanyalah Allah. Kalaupun setelah melakukan ikhtiar, tapi tetap meninggal dalam suasana ujian, maka itu bernilai syahid. Kalau masih diberi kesempatan hidup, berarti Allah masih memberi kesempatan untuk menyiapkan lebih banyak bekal menuju akhirat.*/ 

Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Sambut Ramadan: Ini Pesan Rasulullah untuk Kita

MENJELANG bulan suci Ramadan, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berpidato di hadapan para sahabatnya. Ceramah di penghujung bulan Syaban tersebut berisi tentang keistimewaan Ramadan, serta anjuran untuk meningkatkan penghambaan kepada Allah dan kepedulian sosial.

Yang menarik, Rasulullah menggunakan redaksi sapaan “ya ayyuhannas” (wahai manusia) saat mengawali pidatonya, yang menandakan bahwa pesan tersebut berlaku umum bagi seluruh umat, bukan kaum Muslimin semata. Berikut isi lengkap pidato tersebut:

“Wahai manusia, sungguh bulan agung dan penuh berkah telah menaungi kalian. Bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Pada bulan itu, Allah menjadikan puasanya sebagai suatu kewajiban dan qiyam atau salat di malam harinya sebagai ibadah sunah. Siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu kebajikan, maka nilainya sama dengan mengerjakan kewajiban di bulan lain. Siapa yang mengerjakan suatu kewajiban dalam bulan Ramadan tersebut, maka sama dengan menjalankan tujuh puluh kewajiban di bulan lain.”

“Ramadan itu adalah bulan kesabaran; sedangkan ketabahan dan kesabaran, balasannya adalah surga. Ramadan adalah bulan pertolongan. Pada bulan itu rezeki orang-orang mukmin ditambah.”

“Siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa di bulan itu, maka ia akan diampuni dosanya, dibebaskan dari api neraka. Orang itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tersebut. Sedangkan pahala puasa bagi orang yang melakukannya, tidak berkurang sedikit pun.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tak semua dari kami memiliki makanan untuk berbuka bagi orang lain.”

Rasulullah menjawab, “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberikan sebutir kurma, atau seteguk air, atau seteguk susu.” Nabi pun melanjutkan, “Dialah Ramadan, bulan yang permulaannya dipenuhi dengan rahmat, periode pertengahannya dipenuhi dengan ampunan, pada periode terakhirnya merupakan pembebasan manusia dari azab neraka.”

“Barangsiapa yang meringankan beban pekerjaan pembantu-pembantu rumah tangganya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan membebaskannya dari api neraka.”

“Oleh karena itu dalam bulan Ramadan ini, hendaklah kamu sekalian dapat meraih empat bagian. Dua bagian pertama untuk memperoleh rida Tuhanmu dan dua bagian lain adalah sesuatu yang kamu dambakan. (Untuk meraih) dua bagian yang pertama, hendaklah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan memohon ampunan kepada-Nya. (Untuk meraih) dua bagian yang kedua hendaklah memohon (dimasukkan ke dalam) surga dan berlindung dari api neraka.”

“Siapa yang memberi minuman kepada orang yang berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari telagaku, suatu minuman yang seseorang tidak akan merasa haus dan dahaga lagi sesudahnya, sehingga ia masuk ke dalam surga.” (Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah: 1780; al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman: 3455. Redaksi hadits di atas riwayat Ibn Khuzaimah).

Meskipun sebagian ahli menyebut hadits ini berstatus dhaif, kandungannya masih bisa diamalkan karena berkaitan dengan fadhailul amal (keutamaan amal). Beberapa keterangan yang disebutkan hadits ini, banyak persamaan yang disebutkan hadits yang lebih sahih. Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan pernyataan mengenai hadits dhaif:

“Hadits yang dhaif lebih aku cintai dari ra’yu (pendapat akal seseorang).” Dalam kalimat yang lain, beliau berpendapat:

“Beramal dengan hadits yang dhaif lebih utama dari menggunakan qiyas (analogi)”.

Hadits itu dimuat juga dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terkenal, antara lain: Muhammad Yusuf al-Kandahlawi dalam kitab Hayah al-Shahabah, III/400401, Imam al-Munzdiri dalam kitab al-Targhib wa al-Tarhib, I/1617, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz dalam kitab Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah, XV/4445. Prof. Hasbi al-Shiddiqi dalam Pedoman Puasa. [nuol]