“Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS.Tha-Ha:43)
Ketika mendengar ayat ini, salah seorang hamba Allah yang sholeh memberikan komentarnya :
Maha Suci Allah… Apabila Engkau begitu lembut dalam menjawab Fira’un yang berkata :
أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ
“Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”
Lalu bagaimana kelembutan-Mu Ya Allah kepada hamba-Mu yang setiap hari berkata :
سُبحَان رَبِّيَ الأَعلَى
“Maha Suci Allah yang Maha Tinggi.”
Apabila sedemikian besar Kasih-Mu kepada Fir’aun yang berkata :
Sejumlah negara memberlakukan lockdown untuk menekan penyebaran virus corona. China, Italia, Spanyol, dan Perancis adalah beberapa di antaranya. Di Indonesia diterapkan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Secara sederhana, lockdown adalah menutup akses sebuah wilayah. Sehingga orang yang ada di dalam, tidak bisa keluar wilayah tersebut. Demikian pula orang luar, tidak bisa masuk wilayah tersebut.
Kota boleh lockdown. Bahkan sebuah negeri boleh lockdown. Namun, hatimu jangan. Hati yang lockdown itu, nasehat nggak bisa masuk. Tausiyah nggak bisa masuk. Diingatkan, nggak bisa masuk. Apalagi kritik.
Banyak ulama membagi hati menjadi tiga. Qalbun salim (hati sehat), qalbun maridh (hati sakit), qalbun mayyit (hati mati). Misalnya Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam Ighatsatul Lahfan dan Syaikh Ahmad Farid dalam Tazkiyatun Nafs.
Hati yang lockdown itu masuk ke tipe kedua; qalbun maridh. Hati yang sakit. Sakitnya parah. Meski demikian, ia masih ada harapan sembuh. Dengan cara apa? Obati. Apa obatnya? Ilmu dan dzikir.
Maka saat-saat ‘lockdown’ akibat pandemi covid-19 seperti ini, perbanyak tilawah dan tadabbur Al Quran. Perbanyak tafakur dan membaca buku. Perbanyak dzikir dan doa. Semakin mendekat kepada Allah.
Tilawah dan Tadabbur Al Quran
Al Quran itu obat. Obat untuk penyakit yang ada dalam hati. “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)
Membaca Al Quran membuat hati tenang dan penuh kelembutan. Bahkan orang yang tak beriman sekalipun, ia bisa merasakan kedamaian ketika mendengarkan Al Quran. Itulah alasan mengapa Abu Jahal bin Hisyam, Abu Sufyan bin Harb dan Al Akhnas bin Syariq mengendap-endap mendekati rumah Rasulullah untuk mendengarkan tilawah Al Quran. Mereka menikmati syahdunya Al Quran yang dibaca Nabi.
Tak cukup tilawah, kita perlu mentadabburi Al Quran agar memahami taujih Rabbani. Sehingga kita terbimbing dengan arahan-Nya. Hati kita tunduk pada petunjuk-Nya. Sebaliknya, orang yang tidak mau mentadabburi Al Quran, hati mereka bisa terkunci. Lockdown.
“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
Tafakur dan Membaca Buku
Obat berikutnya untuk hati kita agar tidak lockdown adalah tafakur dan membaca buku. Sebenarnya dua-duanya ini adalah aktifitas membaca. Yang satu membaca alam, yang satu membaca teks. Dua-duanya bisa melembutkan hati kita, membuka pikiran dan meluaskan wawasan.
Saat-saat #dirumahsaja atau ‘lockdown’ sejatinya bisa dimanfaatkan secara optimal untuk banyak membaca. Jadikan sebagai uzlah kita. Lihatlah apa yang dilakukan Rasulullah di gua Hira sebelum diangkat menjadi Nabi. Beliau ber-uzlah. Dalam kesendirian ber-tahannuts sembari membaca kondisi masyarakat jahiliyah.
Pun banyak ulama yang menjadikan kesendiriannya sebagai waktu terbaik bertafakur, membaca dan menghasilkan karya. Ibnu Taimiyah memaknai kesendiriannya di penjara sebagai uzlah. Lalu lahirlah majmu’ fatawa. Sayyid Qutb menikmati waktunya di penjara dengan tafakur dan menulis lalu terbitlah Tafsir Fi Zilalil Quran. Buya Hamka juga demikian hingga sempurnalah Tafsir Al Azhar.
Masa-masa ‘lockdown’ ini adalah masa-masa mengobati hati. Perbanyak tafakur dan membaca. Dan bukankah ayat yang pertama turun adalah Iqra’? Perintah membaca.
Dzikir dan Doa
Hati akan menjadi hidup dan sehat (qalbun salim), salah satu kuncinya adalah dzikir. Dalam Surat Ali Imran ayat 190-191, tafakur dan dzikir ini dikombinasikan hingga orang yang memilikinya disebut ulul albab.
Orang yang banyak berdzikir, hatinya terhubung dengan Allah. Maka ia mudah menerima hidayah dan taufik-Nya. Ketika diingatkan, ia segera menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar. Ketika mendapat nasehat, ia menerima tanpa merasa terhina.
Yang jangan sampai terlupa untuk menjaga hati kita, perbanyak doa. Minta kepada Allah agar hati kita dijaga-Nya. Dialah yang menguasai hati kita. Hanya Dia yang bisa membolak-balikkannya. Maka Rasulullah mengajarkan doa: Ya Muqallibal quluub, tasbbit qalbii ‘alaa diinik. Wahai Dzat yang Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.
Semoga di masa-masa ‘lockdown’ ini hati kita tidak lockdown. Aamiin.
Shalat tarawih pada bulan Ramadhan 1441 ini nuansanya sedikit berbeda. Karena adanya pandemi covid-19, para ulama termasuk MUI mengimbau agar tarawih dilaksanakan di rumah saja. Bagaimana tata cara shalat tarawih di rumah, niat dan keutamaannya? Berikut ini pembahasannya.
Shalat tarawih adalah shalat sunnah yang disyariatkan pada malam bulan Ramadhan. Tarawih merupakan bentuk jamak dari tarwiihah (ترويحة) yang artinya “waktu sesaat untuk istirahat.” Disebut demikian karena pada shalat tarawih ada waktu untuk beristirahat sejenak, khususnya setelah empat rakaat (dua kali salam).
Hukum Shalat Tarawih
Hukum sholat tarawih adalah sunnah bagi muslim laki-laki dan perempuan. Ia boleh dikerjakan berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Jumhur ulama berpendapat shalat ini lebih utama dikerjakan secara berjamaah di masjid. Namun dalam kondisi pandemi covid-19 ini, hampir semua ulama (mulai mufti Arab Saudi hingga MUI) saat ini menyarankan untuk menunaikannya di rumah, bersama keluarga. Dalam rangka mencegah penyebaran virus corona.
Para ulama umumnya berhujjah dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Selain itu juga ada hadits yang menjelaskan untuk tetap berada di rumah ketika terjadi wabah.
Dari Yahya bin Ya’mar, dari Aisyah ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang thaun, maka Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan, “Sesungguhnya ia (thaun) adalah adzab yang dikirim Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Lalu Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidak seorang pun yang ditimpa thaun lalu tetap tinggal di rumahnya dalam keadaan sabar dan mengetahui tidak ada yang menimpa dirinya kecuali apa yang ditetapkan Allah untuknya, maka baginya seperti pahala mati syahid.” (HR. Ahmad)
Waktu dan Jumlah Rakaat
Shalat tarawih disyariatkan pada malam bulan Ramadhan. Waktunya terbentang mulai setelah shalat isya’ hingga akhir malam. Ia dikerjakan setelah shalat isya’ sebelum shalat witir. Boleh dikerjakan setelah witir namun tidak afdhal.
Rasulullah mengerjakan shalat tarawih delapan rakaat lalu witir tiga rakaat. Namun waktunya lama karena bacaan beliau panjang-panjang. Di masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab, shalat tarawih dikerjakan dua puluh rakaat, ditambah witir tiga rakaat. Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa jumlah rakaat tersebut merupakan ijma’ sahabat pada waktu itu.
Jadi, masalah jumlah rakaat sholat tarawih ini merupakan masalah furu’iyah yang para ulama memiliki hujjah sendiri-sendiri. Sebagian ulama shalat tarawih delapan rakaat karena berpegang pada hadits Aisyah yang menyebutkan shalat malam Rasulullah baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya tidak pernah lebih dari 11 rakaat.
Sebagian ulama shalat tarawih 20 rakaat karena mengikuti kaum Muhajirin dan Anshar yang juga dilakukan pada masa khalifah Umar. Sebagian ulama lainnya shalat tarawih 36 rakaat karena mencontoh masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Menurut Ibnu Taimiyah, seluruh pendapat di atas bagus. Imam Ahmad juga berpendapat jumlah rakaat shalat tarawih tidak dibatasi; delapan rakaat boleh, 20 rakaat boleh, 36 rakaat juga boleh.
Keutamaan Shalat Tarawih
Shalat tarawih memiliki sejumlah keutamaan yang luar biasa. Berikut ini empat di antaranya:
1. Mendapat Ampunan Allah
Secara khusus, sholat tarawih yang dikerjakan dengan ikhlas akan mendatangkan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah lalu sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa bangun pada malam bulan Ramadhan karena iman dan mengarapkan perhitungan dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim)
2. Sholat Sunnah Paling Utama
Shalat tarawih disebut juga sebagai qiyamu Ramadhan. Ia adalah shalat malam pada bulan Ramadhan. Karenanya, ia juga memiliki keutamaan shalat malam pada umumnya sebagaimana sabda Rasulullah:
“Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada shalat malamnya” (HR. Hakim; hasan)
4. Kebiasaan Orang Shalih
Sholat malam merupakan kebiasaan orang-orang shalih terdahulu. Maka siapa yang mengerjakannya, ia pun dicatat sebagai orang-orang shalih sebagaimana mereka.
“Biasakanlah dirimu untuk shalat malam karena hal itu tradisi orang-orang shalih sebelummu, mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit, dan pencegah dari dosa.” (HR. Ahmad)
Tata Cara Shalat Tarawih di Rumah
Pada dasarnya, tata cara shalat tarawih di rumah tidak berbeda dengan di masjid. Jika dikerjakan berjamaah bersama keluarga. Namun jika tidak memiliki keluarga, atau misalnya di rumah hanya suami istri dan istrinya haid, maka dikerjakan sendiri (munfarid).
Jumlah rakaatnya boleh 8 rakaat atau 20 rakaat. Secara umum, ia dikerjakan dua rakaat salam, dua rakaat salam.
Secara ringkas, tata caranya sama dengan sholat sunnah dua rakaat pada umumnya, yaitu:
Demikian diulangi hingga empat kali salam untuk yang delapan rakaat. Setelah dua kali salam, hendaklah beristirahat sejenak baru melanjutkan shalat lagi. Untuk bacaan setiap gerakan shalat, bisa dibaca di Bacaan Sholat
Niat Shalat Tarawih
Semua ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Melafadzkan niat bukanlah syarat. Artinya, tidak harus melafadzkan niat. Namun sebagian ulama selain madzhab Maliki, menjelaskan hukum melafadzkan niat adalah sunnah dalam rangka membantu hati menghadirkan niat.
Sedangkan dalam madzhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafalkan niat karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian dijelaskan Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu.
Lafadz niat shalat tarawih sebagai makmum dilafalkan sebagai berikut:
Artinya: “Aku niat sholat sunnah tarawih dua rakaat karena Allah Ta’ala”
Bacaan Shalat Tarawih
Rasulullah membaca surat-surat yang panjang dalam shalat tarawih sehingga waktu shalatnya sangat lama. Abu Dzar Al Ghifari meriwayatkan, sebagian sahabat khawatir tertinggal sahur karena begitu lamanya shalat bersama Rasulullah.
فَقُمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. يَعْنِى السَّحُورَ
Kami mengerjakan shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai-sampai kami merasa takut tertinggal falah, yakni sahur.
Menurut Qadhi Abu Ya’la, standar panjangnya bacaan shalat tarawih adalah satu juz per malam. “Rasanya tidak baik jika bacaan Al Quran kurang dari satu kali khatam selama satu bulan. Sebab tujuannya agar bacaan itu didengar oleh seluruh makmum. Namun tidak baik juga jika lebih dari satu kali khatam karena khawatir memberatkan makmum.”
Di masa sekarang, panjangnya bacaan perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi jamaah. Karena shalat tarawihnya di rumah, perlu disesuaikan dengan kondisi makmum di rumah.
“Dalam shalat tarawih, sebaiknya imam membaca ayat-ayat pendek atau ringan agar tidak memberatkan, terlebih jika waktu malamnya pendek,” terang Imam Ahmad. “Berat ringannya tergantung kesiapan makmum.”
Demikian tata cara shalat tarawih di rumah, niat, bacaan dan keutamaan. Semoga bermanfaat dan kita semua dimudahkan Allah untuk mendirikannya selama bulan Ramadhan ini meskipun berada di masa pandemi covid-19. Dan semoga Allah menurunkan pertolongan-Nya, menghilangkan virus corona dari negeri kita dan seluruh dunia.
APABILA kita lulusan pendidikan Akademi Militer (Akmil), atau Akademi Kepolisian (Akpol), kita tidak perlu sibuk memikirkan atau berambisi pada karier. Kalau terlalu fokus pada karier, kita akan bertemu dengan yang namanya pensiun. Pangkat kita saat itu tidak Iebih dari mayor, Letkolnya awet, atau sampai Brigjen, Irjen, atau Komjen saja. Tidak mungkin semuanya jadi jenderal. itu semua ada garisnya dari Allah Taala.
Orang yang mencapai pangkat jenderal, bukan karena dia hebat dan badannya berotot tegap atau gagah perkasa. Ada jenderal polisi atau TNI yang tidak sampai begitu. Contohnya Jenderal Sudirman. Sepengetahuan saya, mungkin beliau jenderal terkurus sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan, sebagian masa mengabdi beliau harus digotong karena mengidap sakit paru-paru.
Demikian pula bagi kita yang bekerja di kantor sebagai pegawai atau karyawan. Sungguh tidak perlu merintis karier dengan mencari muka maupun menjilat atasan. Juga bagi yang sedang menjabat, tidak usah pusing mempertahankan kedudukan. Ingatlah bahwa mutasi bukan mutilasi. Jadi tidak perlu dipersoalkan, apalagi sampai kasak-kusuk membawa urusan karier sampai ke dukun. Kalau dukun yang dianggap sakti itu memang sakti, pasti dialah yang jadi jenderal atau menjabat pimpinan di kantor.
Saudaraku, teruslah bekerja dengan baik, bagus, dan amanah. Persoalan karier serahkan sepenuhnya kepada Allah Taala. Pangkat, jabatan, dan kedudukan berada dalam kekuasaan-Nya. Suka-suka Allah saja untuk memberikan kekuasaan atau pangkat yang tinggi kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
“Katakanlah (Muhammad), Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Dan Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau berikan rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan.” (05. Ali ‘Imran [3]:26-27).
Siapapun yang dikehendaki Allah menjabat, menjadi jenderal, dan memegang kedudukan Iainnya, pasti akan terjadi.Tidak ada seorang dan sesuatu pun yang mampu menjegal. Begitu sebaliknya,jika AllahTa’ala berkehendak mencabut atau mengambilnya kembali, pasti Iepas, turun, dan lengser, tanpa ada yang sanggup menghalangi sedikit pun.
Semuanya benar-benar ada dalam kekuasaan Allah, siapapun bisa diberi-Nya kedudukan, pangkat dan jabatan. Meski kurus dan sakit, ketika Allah memang berkehendak, dia akan menjadi apa yang diinginkan banyak orang, Jenderal Sudirman misaInya.
Untuk menjadi penguasa, pucuk pimpinan, atau bos besar, tidak harus orang baik, orang yang jahat dan zalim pun bisa memegang kedudukan dengan izin-Nya. Namun demikian, orang zalim kedudukannya hanya sebatas mendapat izin Allah Taala.Tidak seperti orang yang baik dan menjadikan pangkat dan jabatanya untuk kebaikan, atau sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya, yang bisa memperoleh keridhaan Allah.
Jenderal Sudirman adalah contoh yang sangat baik. Walau sudah wafat puluhan tahun ke belakang, kemuliaan akhlaknya, kesalehan, dan keberaniannya terus dikenang.Tidak sedikit juga jenderal yang dikenang dengan keburukan maupun kezalimannya. Artinya, bukan pangkat dan jabatan yang mengangkat derajat seseorang, tetapi kemuliaan akhlaknya yang akan tetap dikenang.
Maka, teruslah bekerja dengan penuh amanah dan profesional. Kita jangan sibuk memikirkan karier, tetap. sibuklah kepada Allah. Sebaiknya,jangan pula berambisi pada karier, karena tiada ambisi yang paling patut selain ambisi untuk mendapatkan keridhaan Allah. Persoalan karier serahkan kepada Allah, Zat Pemilik dan Penguasa seluruh kekuasaan dan rezeki.
Ingatlah akan nasihat Ali bin Abi Thalib ra, Beliau pernah berkata, “Aku tidak peduli kelapangan dan kesempitan. karena keduanya baik.” Dalam kesempitan bisa sabar, dan akan mendapat pahala kesabaran. Dalam kelapangan bisa bersyukur, itu juga menjadi kebaikan.
Apabila di depan kita terbuka sebuah kesempatan menerima suatu jabatan atau kedudukan, istikharahlah. “Ya Allah, kalau saya memang bisa amanah dan semakin dekat kepada-Mu dengan jabatan ini, bermanfaat bagi orang banyak, maka kuatkanlah saya untuk menerimanya. Tapi kalau jabatan ini membuat saya jauh dari-Mu, dan berbuat zalim pada yang Iain, maka saya mohon jangan Engkau berikan kepada saya, ya Allah.”
Dialah Pencipta, Pemilik, Penggenggam, dan Penguasa segaIa-galanya. Dia mengetahui kadar imarh kemampuan dan intelektual kita. Allah Mahatahu segala sesuatu tentang diri kita, termasuk mampu atau tidaknya kita dalam mengemban amanah pangkat, jabatan dan kedudukan.
“Dan Katakanlah Bekerjalah kamu, maka AlIah dan rasuI-Nya beserta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu kamu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah [9]:105). [*]
Tinggal hitungan hari ummat Islam akan melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.
Ramadhan merupakan momentum menguatkan hubungan hablum minallah dan hablum minnas. Tinggal hitungan jari, seluruh ummat Islam di dunia, termasuk Indonesia akan menjalankan ibadah shaum sebulan penuh.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI HM Asrorun Niam Sholeh mengatakan, menjelang Ramadhan 1441 H ini, MUI menyampaikan Marhaban Yaa Ramadhan. “Semoga umat Islam diberi kekuatan untuk melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdlah maupun ibadah ghairu mahdlah. Puasa harus menjadi momentum umat Islam untuk meningkatkan hubungan ilahiyyah dan mengeratkan hubungan insaniyah,” ujarnya.
Untuk itu MUI menyeru empat hal yang dilakukan ummat Islam saat menjalankan ibadah puasa di tengah pandemi virus corona saat ini. Keempat hal itu adalah sebagai berikut:
1.Meningkatkan keimanan, mengajak umat Islam untuk menjadikan Ramadhan tahun ini sebagai momentum muhasabah meningkatkan keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub ila Allah), serta secara khusyu’ berzikir, bermunajat, memperbanyak membaca Alquran dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar pendemik Covid-19 dan wabah lainnya segera diangkat dan dihilangkan dari negara tercinta Indonesia.
Asrorun mengajak, kepada masyarakat yang berada di kawasan terdampak, untuk bersama membangun kebiasaan baru dalam beribadah menyesuaikan dengan kondisi pandemik dengan: menjadikan rumah sebagai pusat kegiatan ibadah, ibadah mahdlah dan ghair mahdlah. Kebiasaan ibadah di masjid dan mushalla saat tarawih, tilawah, kita geser syiar itu di kediaman masing. “Kita terangi rumah kita dengan ibadah dan tilawah,” seru Asrorun.
Tarawih di Rumah bersama keluarga inti. Menurutnya, ada dua manfaat Ibadah di Rumah. Pertama mencegah penyebaran penyakit, kedua memperkuat hubungan kekerabatan, ketiga perubahan kebiasaan ini tidak mengurangi satu senti pun ketaatan kita kepada Allah SWT.
“Ini adalah tuntunan yang diajarkan dalam Islam. Menjaga agama dan menjaga jiwa adalah dua komponen utama dalam Maqashid syariat, atau tujuan pembangunan hukum Islam. Tidak dibenarkan melaksanakan ibadah yang menimbulkan terancamnya jiwa,” katanya.
Asrorun menyampaikan, meski semua kegiatan ibadah digeser ke rumah masing-masing, masjid tetap menjadi pusat penyiaran, penanda waktu, adzan, dan pengumuman-pengumuman keagamaan. Muadzdzin dan Takmir masjid tetap mengumandangkan adzan, pusat infromasi kegiatan keagamaan, pusat informasi pencegahan dan penanggulangan covid.
“Masjid bisa dijadikan posko penanggulangan, hingga jika dimungkinkan, menjadi pusat isolasi mandiri,” katanya.
Serua kedua, MUI mengajak umat Islam menjaga imunitas dengan melakukan beberapa hal di antaranya: A. Berperilaku hidup bersih dan sehat. Puasa dan qiyamulail bida mendatangkan manfaat terhadap kesehatan.
B. Makan makanan yang seimbang.nMenyegerakan berbuka, dengan yang manis dan memperbanyak air putih, namun tetap tidak berlebihan. Dna mengakhirkan sahur, Tasahharu Fa Inna Fis Sahuuri Barakah.
C. Sahur bersama keluarga juga dapat mendatangkan Tasahharu Fa Inna Fis Sahuuri Barakah.
D.Memperbanyak Dzikir. Menurutnya, dzikir melahirkan ketenangan. Ketenangan adalah separuh obat untuk sembuh. Ibnu Sina, Ahli Kedokteran Muslim mengingatkan “Ketenangan adalah separuh obat, dan Kepanikan adalah separuh penyakit.
Dzikir jugabmelahirkan kedekatan dengan Allah “fadzkuruuni Adzkurkum… “
Dzikir mengantarkan pada kewaspadaan, kewaspadaan akan melahirkan kehati-hatian. “Sak beja-bejaning wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo”
Seruan ketiga MUI mengajak umat Islam untuk menjaga keamanan diri dan orang lain, dengan cara melaksanakan Ibadah dengan Tetap mematuhi Protocol kesehatan sehingga bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Tetangga merasa tenang dan tenteram dengan kewaspadaan dan kehati-hatian kita. Mengimbau umat Islam untuk lebih meningatkan amal shalih, salah satunya dengan membantu fakir-miskin dan dhu’afa.
“Terutama di daerah sekitar ia tinggal, melalui penyaluran zakat, infak, dan shadaqah,” katanya.
Seruan kempat MUI, mengajak umat berdoa dan mengaminkan doa. Karena tidak ada suatu peristiwa yang lepas dari kehendak Allah SWT. Kita terdiam dengan ikhlas dan sabar. Ud’uni astajib lakum.
Selain itu MUI juga mendorong para pengelola media massa, khususnya TV dan radio, agar mempersiapkan berbagai acara siaran Ramadhan yang sejalan dengan nilai-nilai al-akhlaq al-karimah dan semangat gotong royong, saling membantu dan berlomba dalam kebaikan.
“Sehingga tercipta di tengah masyarakat religiusitas dan kebersamaan untuk menghadapi dampak terjadinya pendemik covid-19,” katanya.
Makna melaksanakan tauhid dengan sempurna (tahqiiqut tauhiid)
Syaikh Shalih Alusy-Syaikh hafizhahullah, di dalam kitabnya, At-Tamhiid, yang merupakan syarah (penjelasan) kitab Tauhid itu, telah menjelaskan tentang definisi tahqiiqut tauhiid (pelaksanaan tauhid dengan sempurna).
Beliau menjelaskan bahwa tahqiiqut tauhiid terbagi menjadi dua tingkatan. Beliau mengatakan,
“Maka tahqiiqut tauhiid meliputi dua tingkatan, yaitu tingkatan wajib dan tingkatan mustahab (sunnah). Dengan demikian, orang-orang yang melaksanakan tauhid dengan sempurna meliputi dua tingkatan ini pula.”
Tingkatan wajib dalam melaksanakan tauhid dengan sempurna
“Tingkatan yang wajib adalah meninggalkan sesuatu yang wajib ditinggalkan berupa tiga perkara yang telah disebutkan sebelumnya. (Dengan demikian tingkatan wajib itu) adalah dengan meninggalkan syirik -baik syirik yang samar maupun yang tampak jelas, syirik kecil maupun syirik besar, meninggalkan bid’ah, dan meninggalkan maksiat.”
Atau dengan kata lain, tahqiiqut tauhiid pada tingkatan yang wajib adalah membersihkan agama seseorang dari seluruh dosa, baik dosa syirik, bid’ah maupun kemaksiatan, dengan segala macamnya.
Apakah maksud “bersih dari dosa”?
Berdasarkan penjelasan di atas, inti dari tahqiiqut tauhiid pada tingkatan yang wajib adalah bersih dari segala dosa dengan segala macamnya. Sedangkan maksud bersih dari dosa dengan segala macamnya (syirik, bid’ah dan maksiat) adalah (1) seorang hamba meninggal dalam keadaan sudah bertaubat dari seluruh dosa; atau (2) dosanya sudah terlebur dengan pelebur (mukaffirat) dosa.
Jadi, yang dijadikan patokan di sini adalah akhir hidup seseorang, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
وَإِنَّمَا الَأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ
“Sesungguhnya amalan itu hanyalah berdasarkan penutupnya.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang melakukan sesuatu kemaksiatan, dosa, atau bid’ah, kemudian belum bertaubat darinya, atau belum terlebur dosanya, maka ia belumlah dikatakan telah melaksanakan tauhid secara sempurna, yaitu jenis tingkatan wajib.”
Hal ini menunjukkan bahwa
العبرة بكمال النهاية ، لا بنقصان البداية
“Yang dijadikan patokan adalah kesempurnaan pada akhir kehidupan dan bukan pada kekurangan di awal kehidupan.” [1]
Kesimpulan tingkatan wajib dalam melaksanakan tauhid dengan sempurna:
“Tingkatan ini adalah tingkatan orang-orang yang bersih dari dosa, dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perkara haram.”
Tingkatan sunnah (mustahab) dalam melaksanakan tauhid dengan sempurna
“Tingkatan mustahab dalam tahqiiqut tauhiid -sebuah tingkatan yang pelakunya berbeda-beda keutamaannya- dengan perbedaan yang besar, yaitu:
Tidak adanya pada hati seseorang suatu arah atau tujuan kepada selain Allah Jalla wa ‘Alaa. Maksudnya adalah hati menghadap kepada Allah secara totalitas, tidak terdapat kecondongan kepada selain Allah, sehingga (jika) berucap, (ikhlas) karena Allah. Jika bertingkah laku, (ikhlas) karena Allah. Jika beramal, (ikhlas) karena Allah. Bahkan seluruh gerakan hatinya karena Allah.”
Beliau juga menjelaskan bahwa sebagian ulama mengungkapkan tingkatan mustahab ini dengan,
“Meninggalkan sesuatu yang tidak apa-apa (mubah) karena khawatir (berakibat) ada apa-apanya (jika dilakukan).”
Maksudnya di sini adalah mencakup amal hati, lisan, dan anggota tubuh lahiriyyah.
Kesimpulan tingkatan sunnah dalam melaksanakan tauhid dengan sempurna:
“Tingkatan ini adalah tingkatan orang-orang yang melaksanakan perkara yang wajib dan yang sunnah serta meninggalkan keharaman, kemakruhan dan sebagian perkara yang mubah (halal).”
Demikianlah Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan dalam kitabnya I’anatul Mustafid, ketika beliau menjelaskan tentang golongan As-Saabiquun bil khairaat,
“Golongan yang selamat dari syirik besar dan kecil, bid’ah, serta (golongan yang) meninggalkan keharaman dan kemakruhan serta sebagian perkara yang mubah (halal). (Di sisi lain) mereka bersungguh-sungguh dalam melaksanakan amal ketaatan, baik amal yang wajib maupun yang sunnah. Mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan (As-Saabiqun bil khairaat). Barangsiapa yang sampai pada tingkatan ini, maka ia masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.”
Pelaksanaan tauhid dengan sempurna hakikatnya adalah pelaksanaan syahadatain
Syaikh Shalih Alusy-Syaikh hafizhahullah, di dalam kitab At-Tamhiid tersebut menjelaskan hal itu sebagai berikut,
“Pelaksanaan tauhid dengan sempurna, hakikatnya adalah pelaksanaan syahadatain ‘Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah’. Karena pada ucapan seorang ahli tauhid ‘laa ilaaha illallaah’, terdapat tuntutan pelaksanaan tauhid dan jauh dari syirik, dengan segala macamnya. Dan karena pada ucapannya ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’ mengandung tuntutan jauh dari kemaksiatan dan bid’ah. Hal itu disebabkan karena konsekuensi syahadat “Muhammadar Rasulullah” adalah ‘Beliau ditaati dalam perkara yang beliau perintahkan, dibenarkan dalam perkara yang beliau kabarkan, dijauhi larangannya, dan tidaklah menyembah Allah melainkan dengan syari’at yang diajarkannya.” (At-Tamhiid: 33)
Kesimpulan tentang gambaran ahli tauhid yang sempurna
Melaksanakan tauhid dengan sempurna itu bukan hanya seorang hamba perhatian kepada menjauhi syirik dengan segala macamnya, namun tauhidnya yang sempurna itu menuntutnya untuk meninggalkan keharaman, kemakruhan, dan sebagian perkara yang mubah (halal). Ini semua sebagai bentuk pelaksanaan syahadatain‘laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah’, yaitu ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh aktifitas seorang hamba. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah dan suri teladan terbaik dalam segala hal.
Ahli tauhid yang sempurna inilah yang mendapatkan keamanan dan petunjuk yang sempurna pula, di dunia maupun di akhirat, sebagaimana telah dijelaskan pada seri artikel yang sebelumnya.
Shalawat Nabi berarti kita berdoa agar Allah melimpahkan rahmat kepada Rasulullah SAW
Shalawat merupakan bentuk plural dari kata shalat, yang berarti ‘rahmat’, ‘kemuliaan’, dan ‘kesejahteraan.’ Biasanya, arti bershalawat dapat kita lihat dari pelakunya.
Dalam Alquran, Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. 33:56)
Bila pelaku shalawat itu adalah Allah, berarti Allah memberikan rahmat kepada makhluk-Nya. Jika malaikat yang bershalawat, berarti malaikat memintakan ampunan. Bila shalawat berasal dari orang-orang Mukmin, maka itu berarti mereka berdoa agar Allah SWT melimpahkan rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya.
Umar bin Khattab pernah berkata, “Saya mendapatkan kabar, doa tertahan di antara langit dan bumi, tidak dapat naik (diterima Allah) sehingga dibacakan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.”
Dalam sebuah hadis, yang dirawikan Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bacalah shalawat untukku. Sebab, bacaan shalawat itu membersihkan kotoran (dosa-dosa) engkau dan mintalah kepada Allah untuk wasilah.”
Para sahabat bertanya, “Apakah wasilah itu, ya Rasulullah?”
Nabi SAW menjawab, “Satu derajat yang tertinggi dalam surga yang tidak akan dicapai kecuali oleh seorang, dan saya berharap semoga sayalah orangnya.”
Ketika meletus Perang Badar, disaksikan oleh Said bin Umar al-Anshari, Nabi pernah bersabda, “Siapa membaca shalawat untukku satu kali dengan ikhlas dari hatinya, Allah akan memberi shalawat (rahmat) untuknya 10, dan diangkat ke 10 tingkat, dan diampuni baginya 10 dosa.”
Imam Turmizi merawikan Nabi Muhammad SAW berkata, “Manusia yang paling utama dalam pandanganku adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.”
Demikianlah, betapa banyak keutamaan bershalawat kepada Nabi SAW!
Berlebihan dalam beragama ditentang oleh Rasulullah SAW sendiri.
Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam masjid. Tiba-tiba, beliau mendapati ada seutas tali yang menjulur antara dua tiang.
Beliau kemudian bertanya, “Tali apa ini?”
Seorang sahabat menjawab, “Itu tali milik Zainab. Jika ia merasa lelah berdiri dalam shalat, maka digunakannya tali itu untuk berpegangan.”
Lepaskan tali itu,” perintah Nabi SAW, “hendaknya kalian shalat dalam keadaan baik, dan jika lelah, maka sebaiknya tidur.”
Dari kisah itu, Rasulullah SAW memberi peringatan dan teguran kepada siapapun Muslim yang berlebih-lebihan dalam melaksanakan perintah agama. Dalam perkara shalat pun, Nabi SAW memberikan panduan. Hendaknya seseorang shalat dengan kadar kemampuannya.
Jabir bin Samurah, seorang sahabat Nabi SAW, pernah memberikan kesaksian ihwal shalatnya Nabi SAW. Kata dia, “Aku telah shalat bersama Rasulullah SAW. Shalat beliau itu sedang, dan khutbahnya juga sedang.”
Sedang yang dimaksudkannya ialah, bacaan beliau tidak terlalu panjang, tetapi juga tidak kelewat pendek. Sedang berarti pertengahan antara kedua titik ekstrem tersebut.
Maka, jangan berlebihan dalam beragama sampai-sampai bertindak di luar kewajaran. Pernah suatu ketika, tiga orang lelaki datang bertamu ke rumah Rasulullah SAW. Waktu itu, Nabi SAW belum datang.
Maka, ketiganya menanyakan tentang ibadah keseharian Nabi SAW kepada seorang istri beliau. Sesudah mereka mendapatkan jawaban, ada perasaan yang masih tersimpan. Bukankah Rasulullah telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah, baik yang lalu maupun yang akan datang?
“Kalau begitu,” kata si orang pertama, “aku akan shalat malam sepanjang malam.”
“Aku akan puasa selamanya,” ujar orang kedua menimpali.
“Adapun aku,” ujar orang ketiga, “aku akan menjauhkan diri dari perempuan dan tak akan menikah.”
Setelah Rasulullah SAW datang, beliau bertanya, “Kaliankah yang telah berkata begini begitu? Demi Allah, saya lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa ketimbang kalian. Saya berpuasa, tetapi juga berbuka. Saya shalat malam, tetapi saya juga tidur, dan saya menikah. Maka, siapa yang membenci sunnahku, ia bukan dari umatku.”
Ada ilmu yang mesti diperhatikan sebelum melaksanakan puasa Ramadhan. Ada larangan yang berisi perintah untuk tidak berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan. Karena ada yang punya tujuan melaksanakan puasa sebelum itu untuk hati-hati atau hanya sekedar melaksanakan puasa sunnah biasa.
Hadits yang membicarakan hal ini disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom hadits no. 650 sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seseorang yang punyakebiasaan puasa, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1914 dan Muslim no. 1082).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Dalil ini adalah larangan berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan karena ingin hati-hati dalam penentuan awal Ramadhan atau hanya ingin melaksanakan puasa sunnah biasa (puasa sunnah mutlak).
2- Larangan di sini adalah larangan haram, menurut pendapat lebih kuat karena hukum asal larangan demikian sampai ada dalil yang menyatakan berbeda.
3- Dikecualikan di sini kalau seseorang yang punya kebiasaan puasa tertentu seperti puasa Senin Kamis, atau puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak puasa), kalau dilakukan satu atau dua hari sebelum Ramadhan, maka tidaklah mengapa.
4- Begitu pula dikecualikan jika seseorang ingin melaksanakan puasa wajib, seperti puasa nadzar, kafaroh atau qodho’ puasa Ramadhan yang lalu, itu pun masih dibolehkan dan tidak termasuk dalam larangan hadits yang kita kaji.
5- Hikmah larangan ini adalah supaya bisa membedakan antara amalan wajib (puasa Ramadhan) dan amalan sunnah. Juga supaya kita semakin semangat melaksanakan awal puasa Ramadhan. Di samping itu, hukum puasa berkaitan dengan melihat hilal (datangnya awal bulan). Maka orang yang mendahului Ramadhan dengan sehari atau dua hari puasa sebelumnya berarti menyelisihi ketentuan ini.
6- Ada hadits yang berbunyi,
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا
“Jika sudah mencapai separuh dari bulan Sya’ban, janganlah kalian berpuasa.“ (HR. Abu Daud no. 2337). Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan hadits yang sedang kita kaji yang menyatakan larangan berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan. Artinya, puasa sebelum itu masih boleh meskipun setelah pertengahan Sya’ban. Dan sebenarnya, hadits ini pun terdapat perselisihan pendapat mengenai keshahihannya. Jika hadits tersebut shahih, maka yang dimaksudkan adalah larangan puasa sunnah mutlak yang dimulai dari pertengahan bulan Sya’ban. Adapun jika seseorang punya kebiasaan puasa seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, atau ingin menyambung puasa Sya’ban karena separuh pertama melakukannya, begitu pula karena ingin mengqodho’ puasa Ramadhan, maka seperti itu tidaklah masuk dalam larangan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban.
7- Islam memberikan batasan dalam melakukan persiapan sebelum melakukan amalan sholih seperti yang dimaksudkan dalam hadits ini untuk puasa Ramadhan.
Semoga sajian singkat di sore ini bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.Com sekalian sebagai persiapan ilmu sebelum Ramadhan. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, 7: 18–27.
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 7–8.
Imam At-Thabari mengisahkan bahwa pada saat terjadi Tha’un Amwaas di negeri Syam, wabah tersebut telah merenggut jiwa banyak orang, termasuk gubernur Syam kala itu, yaitu Abu Ubaidah ‘Amir bin Al-Jarrah, dan kemudian juga merenggut jiwa gubernur selanjutnya yaitu sahabat Mu’az bin Jabal.
Tatkala sahabat ‘Amr bin Al-Ash ditunjuk sebagai gubernur, beliau berkhutbah dan berkata kepada penduduk Syam:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ إِذَا وَقَعَ فَإِنَّمَا يَشْتَعِلُ اشْتِعَالَ النَّارِ، فتجبلوا منه في الجبال
“Wahai masyarakat sekalian, sesungguhnya wabah penyakit ini bila telah melanda, maka akan cepat menyebar bagaikan api yang berkobar-kobar, maka dari itu hendaknya kalian pergi ke gunung gunung.”
Mendengar anjuran sang gubernur ini, sahabat Watsilah Al-Huzali berkata: “Engkau salah besar, sungguh demi Allah, aku telah menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan engkau (wahai ‘Amr) ketika itu masih dalam kondisi lebih buruk dibanding keledaiku ini (masih kafir).”
Mendapat sanggahan ini, sahabat ‘Amr berkata: “Sungguh demi Allah aku tidak akan membantah ucapanmu, sungguh demi Allah aku tidak akan menetap/berdiam diri di kota ini.”
Kemudian sahabat ‘Amr bin Al-Ash segera bergegas mengasingkan diri di pegunungan, dan masyarakatpun segera berhamburan mengikutinya, dengan menyebar ke pegunungan. Tak selang berapa lama, Allah mengangkat wabah Tha’un dari negeri Syam.
Tatkala berita tentang sikap sahabat ‘Amr bin Al-Ash ini sampai kepada Khalifah Umar bin Al-Khatthab, sungguh demi Allah beliau tidak mengingkarinya. (At-Thobari dengan sanad yang lemah)
Walaupun lemah sanadnya, namun ini bukan riwayat yang berkaitan dengan hukum, dan biasanya para ahli sejarah sangat toleran dalam membawakan riwayat semacam ini dalam hal hal sejarah dan yang serupa, karena tidak berkaitan dengan halal dan haram. Apalagi tindakan sahabat ‘Amr bin Al-Ash di atas masih dapat ditoleransi sebagai bentuk upaya mencegah penyebaran penyakit, yang diajarkan dalam sunnah yaitu membatasi interaksi sosial masyarakat.
Bila mereka pergi ke gunung gunung, maka itu berarti mereka meninggalkan masjid-masjid dan tidak berjamaah di masjid.
TAHUN 448 H
Imam Az-Zahabi mengisahkan bahwa pada tahun 448 H, di negeri Mesir dan Andalusia terjadi paceklik dan wabah yang dahsyat, bahkan tidak pernah terjadi kekeringan dan wabah yang lebih dahsyat dari yang terjadi kala itu di negeri Qordoba dan Isybiliya (Sevilla), sampai-sampai seluruh masjid ditutup, tanpa ada seorangpun yang mendirikan sholat di dalamnya. Dan tahun itu dikenal dengan tahun kelaparan dahsyat. (Siyar A’alam An-Nubala’ 13/438)
TAHUN 449 H
Ibnu Jauzi juga mengisahkan bahwa pada tahun 449 H, terjadi wabah yang sangat dahsyat di negri Ahvaz, Wasit dan sekitarnya. Sampai sampai 20 hingga 30 orang dikuburkan dalam satu lubang.
Banyak dari kaum fuqara’ yang terpaksa makan daging anjing, bahkan sebagian mereka sampai makan daging mayat manusia.
Dikisahkan, banyak keluarga yang masih menyimpan khamr, anggota rumah tersebut mati secara bersamaan.
Begitu dahsyatnya wabah yang melanda, sehingga masjid-masjid menjadi kosong, tidak ada yang mendirikan shalat di dalamnya.
Masyarakat setempat bersegera bertaubat, menyedekahkan harta mereka, menumpahkan khamr, mematahkan alat-alat musik, memperbanyak baca Al-Qur’an. (Al-Muntazham oleh Ibnu Al-Jauzi 16/17-18)
TAHUN 827 H
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengisahkan kejadian pada awal tahun 827 H, bahwa di kota Makkah terjadi wabah yang dahsyat. Setiap hari rata-rata berjatuhan korban meninggal sekitar 40 orang. Pada bulan Rabi’ul Awwal saja, korban meninggal ditaksir mencapai 1700 jiwa.
Dikisahkan bahwa imam shalat yang mendirikan shalat di depan Maqam Ibrahim, yang memimpin shalat para pengikut mazhab As-Syafii hanya diikuti oleh 2 orang saja. Sedangkan imam-imam jamaah pengikut mazhab lainnya sama sekali tidak mendirikan jamaah, karena tidak seorangpun yang mengikuti shalat mereka. (Inba’ul Ghumri bi Abna’il Umri oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani 3/326)
Dan masiih banyak kisah yang lainnya.
Kawan, ini adalah sejarah, selanjutnya silahkan Anda yang berusaha mengambil faedahnya.