Memakmurkan Masjid di Tengah Wabah Covid-19

Setelah WHO menyatakan wabah virus Corona (Covid 19) telah menjadi pandemi, dan memperhatikan desakan dari berbagai pakar dan kelompok dengan makin massifnya wabah di tengah masyarakat, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan keadaan darurat Covid 19.

Masyarakat diminta untuk tinggal di rumah (stay at home) dan menjaga jarak dalam berinteraksi (physical/social distancing). Dalam pada itu keluar pula fatwa MUI bahwa untuk kawasan atau daerah yang terpapar wabah Covid 19, demi menghindari meluasnya penularan wabah, maka ummat Islam diminta untuk tidak menyelenggarakan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Shalat Jum’at diganti dengan shalat dzuhur di rumah.

Beberapa pemerintah daerah menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat dan fatwa MUI tersebut dengan membuat surat edaran yang isinya meminta kepada pengurus masjid dan masyarakat untuk tidak menyelenggarakan shalat jum’at dan dan shalat berjama’ah di masjid.

Pada umumnya surat edaran tersebut memohon kiranya shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid ditiadakan selama dua pekan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa masa inkubasi Covid 19 adalah 14 hari. Maka untuk memutus mata rantai penyebaran wabah Covid 19 harus dilakukan social distancing di masjid selama dua pekan.

Tapi sampai saat ini, ketika himbauan dan fatwa MUI tersebut telah berlalu tiga pekan, ummat Islam belum juga kembali shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid. Sudah 3 kali shalat Jum’at tidak diselenggarakan di masjid. Tentu dengan pengecualian beberapa masjid yang pengurus dan masyarakat sekitarnya sepakat untuk “tidak taat” pada fatwa tersebut.

Dapat diduga bahwa untuk hari jum’at depan dan beberapa waktu kedepan tetap tidak akan diselenggarakan shalat jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Apalagi grafik wabah covid semakin menanjak. Pemerintah telah menetapkan Darurat Bencana Covid 19 sampai 29 Mei 2020.

Jika “darurat tidak shalat di Masjid” tersebut tetap mengikuti darurat covid 19 yang telah ditetapkan pemerintah , maka bukan saja masjid akan kosong dari shalat jum’at dan shalat lima berjama’ah, tapi juga bulan Ramadhan tahun ini –yang sebentar lagi akan tiba– akan dilalui ummat Islam dengan “hambar” tanpa shalat tarawih. Dan juga tanpa shalat Idul Fitri.

Secara fiqih tentu tidak salah menetapkan pelarangan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu di Masjid. Banyak dalil yang bisa jadi rujukan. Ulama-ulama kita tentu telah mendalami berbagai dalil agama dan argumentasi ilmiyah untuk kemudian menetapkan fatwa. Karena itu fatwa yang sama juga dikeluarkan oleh hampir semua lembaga fatwa di negaranegara muslim.

Tapi sebagaimana dalam tradisi fiqih, adanya pandangan yang berbeda adalah suatu hal yang biasa. Maka jika ada saudara-saudara kita yang memilih tetap menyelenggarakan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid dapat pula diberi ruang pemakluman dalam konteks ini.

Menurut penulis, ada “jalan tengah” yang sesungguhnya dapat dilakukan untuk kembali ke Masjid di tengah wabah Covid 19 ini. Masjid tidak perlu terlalu lama kosong tidak ditempati shalat. Kita tidak harus pasrah menunggu sampai musim wabah Covid 19 lewat kemudian kembali shalat di masjid.

Dengan sedikit perjuangan atau mujahadah maka dalam waktu dua pekan kemudian kita sudah bisa kembali memakmurkan masjid. Dan ini berarti kita pun akan menjalani Ramadhan tahun ini tetap bersama dengan keberkahan shalat tarawih sebagaimana biasanya.

Program ini dilakukan dengan kerjasama antara pengurus Masjid dan pemerintah pada level bawah, yaitu ketua RT atau RW. Mereka bekerjasama mendata dan memastikan masyarakat sekitar Masjid untuk mesterilkan diri dari Covid 19 dengan cara stay at home selama 14 hari, dan untuk hari-hari selanjutnya tetap menjaga physical/sosial distancing.

Ini tentu memerlukan kejujuran dan komitmen kuat dari semua warga. Kalau perlu diperketat hanya untuk mereka yang memang sudah terbiasa atau rutin shalat berjama’ah dimasjid.

Semakin kecil suatu Masjid, apalagi Mushalla, semakin mudah melakukan program ini. Masjid dalam lingkungan pesantren dan kompleks perumahan dapat melakukan ini dengan baik. Mungkin program ini agak sulit dilakukan untuk Masjid Raya atau masjid-masjid besar. Saya kira itu tidak masalah.

Yang jelas jika program ini menjadi kesadaran umum ummat Islam dan dapat berjalan dengan baik, maka sebagian besar masjid dan ummat Islam dapat kembali memakmurkan Masjid dengan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid. Dan tidak kalah pentingnya adalah ummat dapat memenuhi “panggilan spiritual” shalat tarawih dengan perasaan aman.*

Oleh: Abd. Aziz Mudzakkar

*Penulis adalah Pengasuh Ponpes Hidayatullah Makassar.

HIDAYATULLAH

Semoga Vaksin Covid19 Segera Ditemukan Ilmuan

Tahukah anda bahwa yang menemukan konsep vaksin adalah ilmuan Islam, bahkan secara umum di ilmuan Islam yang meletakkan dasar-dasar pengobatan yang menjadi acuan kedokteran modern sekarang

Edukasi Vaksin di Tengah Pandemi

Di saat wabah covid19 melanda seperti ini, saat yang tepat untuk memberikan edukasi tentang vaksin yang benar. Saat ini, seluruh ilmuan dunia berusaha untuk meneliti vaksin covid19. Ini bukti bahwa vaksin adalah hal yang bermanfaat, bukan seperti tuduhan tnap bukti seperti konpirasi yahudi dan amerika, vaksin berbahaya membuat autis dan sebagainya. Ini semua tidak benar.

Kalau kita lihat sejarah wabah meningitis yang dahulu terjadi dan menyebar begitu cepat. Banyak korban di seluruh dunia, termasuk jamaah haji. Saat itu ilmuan berusaha meneliti dan menemukan vaksinnya, akhirnya alhamdulilah, vaksinnya ditemukan dan diwajibkan di beberapa negara yang terkena dampaknya termasuk saudi Arabia sehingga semua jamaah umrah dan haji wajib melakukan vaksin meningitis, jika tidak akan dideportasi kembali. Vaksin meningitis juga sudah mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Semoga vaksin covid19 juga bisa segera ditemukan oleh para ilmuan.

Siapa Penemu Konsep Vaksin?

Tahukah anda bahwa yang menemukan konsep vaksin adalah ilmuan Islam,  bahkan secara umum di ilmuan Islam yang meletakkan dasar-dasar pengobatan yang menjadi acuan kedokteran modern sekarang. Anggapan bahwa kedokteran modern adalah monopoli oleh barat tentu tidak benar. Kaum muslimin yang membuat sekolah kedokteran pertama di Andulusia (Spanyol) dengan penemuan-penemuan teknologi terbaru saat itu seperti alat bedah, metode operasi caesar, peredaran darah, benang jahit dan lain-lain.

Kaum muslimin lalai akan agama dan lemah imannya, silau dengan kemewahan dunia. Akhirnya Andulusia jatuh dan iptek kaum muslimin diambil alih oleh barat, jadilah ilmu kedokteran saat ini didominasi oleh mereka.

Benarlah ucapan Imam Asy-Syafi’i dahulu:

ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى.

“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu (ilmu kedokteran) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.”(Siyar A’lam An-Nubala  8/258, Darul Hadits).

Penemu konsep vaksin, adalah seorang ilmuan Muslim yaitu Ar-Razi (di Barat dikenal dengan nama Rhazez), beliau ORANG PERTAMA yang menemukan konsep dasar vaksin smallpox, wabah dan sistem kekebalan tubuh. Beliau meneliti bahwa orang yang sudah terkena smalpox  tidak akan terkena atau sulit kedua kalinya. Beliau meneliti ini setelah melihat fakta penyakit wabah yang banyak membuat manusia meninggal. Beliau lalu meneliti dan menulis buku dengan judul ”al-Jadari wa al-Hasba”  dan Manuskrip asli buku ini masih disimpan rapi di perpustakaan Leiden University, Belanda. Buku ini diterjemahkan oleh para ilmuan Eropa dengan judul: “A Treatise on Smallpox and Measles” [Sumber: https://www.amazon.co.uk/Treatise-Small-pox-Measles-Rhazes/dp/1293784087]

Ilmuan Turki (zaman khalifah Ottoman/Ustmaniyah) menyempurnakan penemuan ini, mereka sudah mengenal dan mengembangan tehnik imuniasi (variolasi). Pemerintah Turki pada tahun 1967 membuat perangko dengan tema dan gambar ibu sedang melakukan vaksin pada anaknya Hal ini  untuk mengenang penemuan spektakuler mereka saat itu.[sumber: http://www.muslimheritage.com/article/lady-mary-wortley-montagu-and-introduction-smallpox-vaccination-england]

Ada seseorang yang bernama Lady Mary Wortley Montagu asal Inggris, Ia terkena wabah smallpox dan merusak wajah serta menyebabkan saudaranya meninggal di usia muda. Ketika suaminya diangkat menjadi duta Inggris di Turki, mereka pindah ke Turki dan ia melihat sendiri teknologi variolasi ini di Turki. Ia melakukan (imuniasi ini) pada anak-anaknya juga, lalu ia memperkenalkan metode ini ke dokter Inggris dan menjadi metode yang ampuh saat itu untuk mencegah wabah. Barulah metode ini dikembangkan oleh ilmuan Eropa setelahnya semisal Edward Jenner dan lain-lain. [sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3407399/]

Sikap Muslim Terhadap Ilmu Kedokteran

Kita harus bangga bahwa kaum muslimin yang menemukan konsep vaksin dan belajar dengan serius ilmu  kedokteran dan agama. Atas dasar inilah kita harus memperhatikan ilmu kedokteran dan kesehatan yang menjadi perhatian para ulama. Imam Syafi’i berkata,

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه.

“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih berharga yaitu ilmu kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita”[Siyar A’lam An-Nubala 8/528, Darul Hadits]

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55978-semoga-vaksin-covid19-segera-ditemukan-ilmuan.html

Ini Empat Seruan MUI Berpuasa di Tengan Wabah

Tinggal hitungan hari ummat Islam akan melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.

Ramadhan merupakan momentum menguatkan hubungan hablum minallah dan hablum minnas. Tinggal hitungan jari, seluruh ummat Islam di dunia, termasuk Indonesia akan menjalankan ibadah shaum sebulan penuh.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI HM Asrorun Niam Sholeh mengatakan, menjelang Ramadhan 1441 H ini, MUI menyampaikan Marhaban Yaa Ramadhan. “Semoga umat Islam diberi kekuatan untuk melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdlah maupun ibadah ghairu mahdlah. Puasa harus menjadi momentum umat Islam untuk meningkatkan hubungan ilahiyyah dan mengeratkan hubungan insaniyah,” ujarnya.

Untuk itu MUI menyeru empat hal yang  dilakukan ummat Islam saat menjalankan ibadah puasa di tengah pandemi virus corona saat ini. Keempat hal itu adalah sebagai berikut:

1.Meningkatkan keimanan, mengajak umat Islam untuk menjadikan Ramadhan tahun ini sebagai momentum muhasabah meningkatkan keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub ila Allah), serta secara khusyu’ berzikir, bermunajat, memperbanyak membaca Alquran dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar pendemik Covid-19 dan wabah lainnya segera diangkat dan dihilangkan dari negara tercinta Indonesia.

Asrorun mengajak, kepada masyarakat yang berada di kawasan terdampak, untuk bersama membangun kebiasaan baru dalam beribadah menyesuaikan dengan kondisi pandemik dengan: menjadikan rumah sebagai pusat kegiatan ibadah, ibadah mahdlah dan ghair mahdlah. Kebiasaan ibadah di masjid dan mushalla saat tarawih, tilawah, kita geser syiar itu di kediaman masing. “Kita terangi rumah kita dengan ibadah dan tilawah,” seru Asrorun.

Tarawih di Rumah bersama keluarga inti. Menurutnya, ada dua manfaat Ibadah di Rumah. Pertama mencegah penyebaran penyakit, kedua memperkuat hubungan kekerabatan, ketiga perubahan kebiasaan ini tidak mengurangi satu senti pun ketaatan kita kepada Allah SWT.

“Ini adalah tuntunan yang diajarkan dalam Islam. Menjaga agama dan menjaga jiwa adalah dua komponen utama dalam Maqashid syariat, atau tujuan pembangunan hukum Islam. Tidak dibenarkan melaksanakan ibadah yang menimbulkan terancamnya jiwa,” katanya.

Asrorun menyampaikan, meski semua kegiatan ibadah digeser ke rumah masing-masing, masjid tetap menjadi pusat penyiaran, penanda waktu, adzan, dan pengumuman-pengumuman keagamaan. Muadzdzin dan Takmir masjid tetap mengumandangkan adzan, pusat infromasi kegiatan keagamaan, pusat informasi pencegahan dan penanggulangan covid.

“Masjid bisa dijadikan posko penanggulangan, hingga jika dimungkinkan, menjadi pusat isolasi mandiri,” katanya.

Serua kedua, MUI mengajak umat Islam menjaga imunitas dengan melakukan beberapa hal di antaranya: A. Berperilaku hidup bersih dan sehat. Puasa dan qiyamulail bida mendatangkan manfaat terhadap kesehatan.

B. Makan makanan yang seimbang.nMenyegerakan berbuka, dengan yang manis dan memperbanyak air putih, namun tetap tidak berlebihan. Dna mengakhirkan sahur, Tasahharu Fa Inna Fis Sahuuri Barakah.

C. Sahur bersama keluarga juga dapat mendatangkan Tasahharu Fa Inna Fis Sahuuri Barakah.

D.Memperbanyak Dzikir. Menurutnya, dzikir melahirkan ketenangan. Ketenangan adalah separuh obat untuk sembuh. Ibnu Sina, Ahli Kedokteran Muslim mengingatkan “Ketenangan adalah separuh obat, dan Kepanikan adalah separuh penyakit.

Dzikir jugabmelahirkan kedekatan dengan Allah “fadzkuruuni Adzkurkum… “

Dzikir mengantarkan pada kewaspadaan, kewaspadaan akan melahirkan kehati-hatian. “Sak beja-bejaning wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo”

Seruan ketiga MUI mengajak umat Islam untuk menjaga keamanan diri dan orang lain, dengan cara melaksanakan Ibadah dengan Tetap mematuhi Protocol kesehatan sehingga bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Tetangga merasa tenang dan tenteram dengan kewaspadaan dan kehati-hatian kita. Mengimbau umat Islam untuk lebih meningatkan amal shalih, salah satunya dengan membantu fakir-miskin dan dhu’afa.

“Terutama di daerah sekitar ia tinggal, melalui penyaluran zakat, infak, dan shadaqah,” katanya.

Seruan kempat MUI, mengajak umat berdoa dan mengaminkan doa. Karena tidak ada suatu peristiwa yang lepas dari kehendak Allah SWT. Kita terdiam dengan ikhlas dan sabar. Ud’uni astajib lakum.

Selain itu MUI juga mendorong para pengelola media massa, khususnya TV dan radio, agar mempersiapkan berbagai acara siaran Ramadhan yang sejalan dengan nilai-nilai al-akhlaq al-karimah dan semangat gotong royong, saling membantu dan berlomba dalam kebaikan.

“Sehingga tercipta di tengah masyarakat religiusitas dan kebersamaan untuk menghadapi dampak terjadinya pendemik covid-19,” katanya.

REPUBLIKA

Ketika Lockdown, Pasar dan Mall Masih Buka Kok Masjid Ditutup?

Pasar, Mall Masih Buka Kok Masjid Ditutup?

“Keluar rumah berani. Ke pasar berani. Ke ruang publik berani. Giliran ke masjid takut corona.?”

Ini gimana ya…. Apakah ada tulisan utk meluruskan anggapan di seperti ini?

Dari : Jiddahnya Aiza, di Salatiga.

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Mari coba kita dan luruskan.

Bila kita perhatikan, asal kerancuan Komentar atau lebih sesuai disebut nyinyiran di atas didasari oleh analogi (qiyas) antara masjid dan pasar.

Apakah analogi ini sudah tepat?

Singkat saja jawabannya, qiyas di atas kurang tepat. Alasan adalah sebagai berikut :

Pertama, menganalogikan pasar dengan Masjid, adalah bentuk perendahan kepada kemuliaan Masjid.

Kami teringat sebuah syair yang sangat menyinggung tentang hal ini,

وكيف يقال البدر أضوا من السها *** وكيف يقال الدر خير من الحصا

ألم ترى أن السيف يزري بقدره *** إذا قيل هذا السيف أمضى من العصا

Bagaimana bisa dikatakan purnama lebih terang dari bintang kecil.
Dan kerikil permata lebih berharga dari kerikil.

Bukankah martabat pedang akan berkurang, saat dikatakan pedang lebih tajam dari kayu?!

Masjid adalah tempat yang paling dicintai Allah. Sementara pasar adalah tempat yang paling dibenci oleh Allah. Bagaimana bisa kedua hal ini dibandingkan?!

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا ، وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا

Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid – masjid. Adapun tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasar. (HR. Muslim)

Bagaimana bisa dibandingkan, tempat turunnya rahmat Allah dan para malaikat, dengan tempat berkumpulnya maksiat dan kefasikan (kecuali yang dirahmati Allah)?!

Kedua, masjid masih ada pengganti, sementara pasar tidak.

Melaksanakan sholat, bisa dimanapun asalkan tempatnya suci. Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang mengatakan,

جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا

“Seluruh bumi telah dijadikan tempat sujud (masjid) untukku, dan sarana bersuci.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Sementara pasar tidak sefleksibel tempat sholat. Pasar tidak bisa digantikan. Masyarakat butuh makanan pokok, kebutuhan sehari-hari, obat-obatan dll. Mereka tak bisa menemukan itu di rumah, di sawah, di hutan, di gunung, di gua, di tengah gurun pasir. Itu semua hanya bisa didapatkan di pasar.

Sehingga meski masjid ditutup karena alasan pencegahan corona, ibadah sholat tetap bisa dilaksanakan di rumah. Adapun jika pasar, toko, mall semua ditutup, kebutuhan makan dan kesehatan masyarakat tidak bisa terpenuhi. Padahal menjaga nyawa juga kewajiban.

Oleh karenanya para ulama hanya menghimbau menutup masjid, bukan pasar. Karena kewajiban melaksanakan sholat di masjid dapat tergantikan, masih bisa ditunaikan di tempat selain masjid seperti di rumah. Sementara kewajiban memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, tak dapat tergantikan, hanya bisa didapat di pasar, tak bisa digantikan.

Ketiga, konsentrasi masa di masjid, sifatnya berulang setiap hari, sementara di pasar, tidak.

Di masjid kita berkumpul dengan jama’ah lainnya setiap hari, bahkan sehari lima kali. Sementara orang belanja ke pasar tidak setiap hari, cukup sepekan sekali atau dua pekan sekali atau sebulan sekali. Sehingga potensi penularan corona di masjid, lebih besar.

Keempat, physical distancing sangat susah dilakukan di masjid, sementara di pasar lebih mudah.

WHO merekomendasikan menjaga jarak fisik sekurangnya satu meter, dalam rangka pencegahan virus Corona. Karena jangkauan drobplet yang menjadi media penyebaran virus Corona, adalah sekitar satu meter.

Di masjid kita dituntut untuk merapatkan shaf, atau setidaknya berdekatan. Kemudian karpet, sajadah masjid atau lantai tempat sujud, berhubungan langsung dengan mulut dan hidung, yang menjadi sumber penularan virus Corona. Ini menyebabkan penyebaran corona lebih cepat di masjid. Adapun di pasar, physical distancing lebih mudah diupayakan. Karena ruangnya yang lebih bebas dan luas.

Demikian, Wallahua’lam bis showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36295-ketika-lockdown-pasar-dan-mall-masih-buka-kok-masjid-ditutup.html

Bingung, Di Rumah Ngapain?

Hari-hari ini, tidak sedikit orang yang dilanda kejenuhan, karena harus tinggal di rumah. Meski hal tersebut dilakukan sebenarnya juga untuk kebaikan dirinya. Itupun insya Allah hanya untuk sementara waktu saja.

Seorang mukmin tidak perlu bosan menghadapi kondisi ini. Sebab ia memiliki segudang alternatif aktivitas positif.

Contohnya adalah apa yang termaktub dalam hadits berikut ini:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا النَّجَاةُ؟ قَالَ: امْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ.

Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah jalan keselamatan itu?”

Beliau menjawab, “Jaga lisanmu. Tinggallah di rumahmu. Tangisilah dosa-dosamu”. (HR. Tirmidzi dan beliau menyatakan hadits ini hasan)

Pesan yang singkat dan padat. Sangat penting untuk kita renungi dan praktekkan. Apalagi di masa sulit seperti sekarang.

Ada tiga pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Pertama: Menjaga Lisan

Hindari kata-kata yang bernada protes atau tidak terima dengan keberadaan Covid-19. Sebab yang menakdirkan wabah ini adalah Allah Yang Maha Bijaksana. Lebih baik lisan digunakan untuk berdzikir, berdoa dan membaca al-Quran. Juga mendidik keluarga.

Waspada pula menukil atau men-share berita yang belum jelas kebenarannya. Banyak info yang berseliweran di media sosial hari ini. Jangan sampai kita berperan aktif dalam menyebarkan hoax. Apalagi yang mengakibatkan kepanikan orang banyak.

Kedua: Tinggal di rumah

Mengisolasi diri di rumah saat ini adalah sikap terbaik. Dalam rangka upaya menjaga diri dari ketertularan atau menulari orang lain. Sehingga tidak mencelakai diri sendiri atau mencelakai orang lain.

Ketiga: Menangisi dosa

Kesibukan rata-rata orang hari ini berkurang drastis. Suasana hening adalah waktu yang pas untuk merenung. Menyadari tumpukan dosa yang menjulang tinggi. Lalu menyesal sembari menangisi dosa-dosa tersebut.

Terlebih bala’ itu terjadi akibat dosa manusia. Sehingga cara mengakhirinya adalah dengan bertaubat kepada Allah Ta’ala. Demikian yang disampaikan oleh al-Abbas bin Abdul Mutthalib radhiyallahu ‘anhu. Pamanda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Masih bingung di rumah mau ngapain aja?

Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh, Purbalingga

Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

Read more https://konsultasisyariah.com/36301-bingung-di-rumah-ngapain.html

Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 1)

Tauhid adalah penangkal rasa takut dan pangkal solusi segala masalah

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ 

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman (tauhid) mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)

Tafsir bahwa keimanan adalah tauhid dan kezhaliman adalah syirik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan kezhaliman dalam ayat ini dengan kesyirikan. Padahal para sahabat awalnya memahami kezhaliman di sini umum mencakup seluruh bentuk kezhaliman, baik syirik maupun kezhaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka bertanya,

“Siapakah di antara kami yang tidak menzhalimi diri sendiri?”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pemahaman mereka terhadap ayat ini dengan bersabda,

لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِرْكُ ألَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظهُ {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ}

“Bukanlah itu maksud kezhaliman di sini. Sesungguhnya maksud kezhaliman di sini hanyalah kesyirikan. Tidakkah kalian mendengar tentang ucapan Luqman kepada putranya, dan (ketika itu) beliau sedang menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah Engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezhaliman yang terbesar”.” (HR. Bukhari(

Jika kezhaliman di ayat ini adalah kesyirikan, maka pantaslah jika keimanan yang dimaksud di ayat ini pun adalah tauhid. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata,

{آمنوا}:صدقوا بقلوبهم ونطقوا بألسنتهم وعملوا بجوارحهم ورأس ذلك التوحيد. {يلبسوا إيمانهم }:يخلطوا توحيدهم

“{orang-orang yang beriman}, maksudnya adalah orang-orang yang membenarkan kebenaran dengan hati mereka dan mengucapkannya dengan lisan mereka dan mengamalkannya dengan anggota tubuh mereka. Sedangkan pokok keimanan adalah tauhid. {Mencampuradukkan keimanan mereka}, maksudnya adalah mencampuradukkan tauhid mereka.”

Tafsir keamanan dan petunjuk meliputi di dunia maupun di akhirat

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

أي: هؤلاء الذين أخلصوا العبادة لله وحده لا شريك له ولم يشركوا به شيئا هم الآمنون يوم القيامة المهتدون في الدنيا والآخرة

“Maksudnya, orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk ‘Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, mereka adalah orang-orang yang aman pada hari kiamat dan mendapatkan petunjuk (solusi) di dunia dan akhirat.”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, 

وإن كان كثير من المفسرين قالوا أولئك لهم الأمن في الآخرة والهداية في الدنيا والصواب أن الآية عامة لا بالنسبة للأمن ولا بالنسبة للهداية في الدنيا والآخرة

“Meskipun banyak dari kalangan ahli tafsir yang menyatakan bahwa mereka (orang-orang yang beriman) mendapatkan keamanan di akhirat dan hidayah (solusi) di dunia, namun tafsir yang benar bahwa ayat ini bersifat umum, baik masalah keamanan maupun hidayah (solusi) di dunia sekaligus di akhirat.” [1]

Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi rahimahullah menafsirkan,

{أُوْلئِكَ لَهُمُ ٱلأَمْنُ} أى فِي الدُنيَا والآخِرَة

“{Mereka itulah yang mendapatkan keamanan} maksudnya “(keamanan) di dunia dan di akhirat.”

Syaikh ‘Abdullah Al-Ghunaiman rahimahullah berkata,

{أولئك لهم الأمن} الأمن التام الذي لا ينالهم معه عذاب في الدنيا ولا في القبر ولا في الآخرة

“{Mereka itulah yang mendapatkan keamanan} maksudnya “keamanan yang sempurna, dengannya mereka tidak mendapatkan adzab di dunia, di alam kubur, maupun di akhirat.” [2]

Kesimpulan:

Dari keterangan para ulama rahimahumullah di atas, balasan bagi orang yang mentauhidkan Allah dan bersih dari kesyirikan adalah,

  1. Mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat.
  2. Mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Tafsir bentuk keamanan dan petunjuk

Syaikh Shalih Alusy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa bentuk rasa aman dan petunjuk yang didapatkan oleh ahli tauhid di dunia dan di akhirat adalah sebagai berikut [3]:

“Kalau ada orang yang mengatakan: keamanan di dunia, maka kami paham, yaitu keamanan diri (jiwa), tidak diganggu orang lain, kekuatan hati, keamanan masyarakat, keamanan negara, dan keamanan daerah. Semua ini termasuk kedalam keamanan (yang dimaksud dalam ayat).

Demikian pula hidayah di dunia, yaitu dengan mendapatkan taufik untuk beramal shalih, mengenal kebenaran sebagai kebenaran dan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya dengan mengikuti kebenaran. Serta melihat kebatilan sebagai sebuah kebatilan dan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya dengan mampu menjauhinya. Hal ini juga mudah dipahami.

Keamanan di akhirat dengan tidak merasa takut, tidak bersedih, dan tidak masuk ke dalam neraka, hal ini juga mudah dipahami.

Namun bagaimana hidayah di akhirat? Bukankah taklif (tugas melaksanakan syari’at Islam) telah selesai? Taklif telah selesai, maka apakah ada hidayah (petunjuk) di akhiat?”

هذه الهداية هي الهداية في الآخرة ,فسَّرها أهل العلم بالتفسير وأهل العلم بالتوحيد, بأنَّها الهداية بسلوك الصراط حين ورود الظلمة … فإذن هناك هداية الطريق الجنة في الآخرة هذه تحصل بحسب قوة التوحيد, فكلَّما قوي التوحيد كلما قويت الهداية وقوي النور في الدنيا وفي الآخرة

“Hidayah ini maksudnya adalah hidayah di akhirat. Ulama ahli tafsir dan ulama ahli tauhid menafsirkan bahwa hidayah (di akhirat) maksudnya adalah petunjuk meniti jembatan ash-shirath, ketika adanya kegelapan. Jadi, di sana ada petunjuk jalan ke surga di akhirat. Hidayah ini didapatkan sesuai dengan kekuatan tauhid seeseorang. Semakin kuat tauhid seseorang, semakin kuat pula petunjuk dan cahaya di dunia dan akhirat.”

Hal ini sama dengan ketika para ulama ahli tafsir menafsirkan firman Allah dalam surat Muhammad tentang petunjuk bagi orang-orang yang telah meninggal syahid di jalan Allah,

وَٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَلَن يُضِلَّ أَعۡمَٰلَهُمۡ ٤ سَيَهۡدِيهِمۡ وَيُصۡلِحُ بَالَهُمۡ ٥  وَيُدۡخِلُهُمُ ٱلۡجَنَّةَ عَرَّفَهَا لَهُمۡ ٦

“Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberi hidayah kepada mereka, dan memperbaiki keadaan mereka. Dan memasukkan mereka ke dalam jannah yang telah diperkenalkan oleh-Nya kepada mereka.” (QS. Muhammad: 4-6)

Dalam kitab tafsir karya Asy-Syaukani rahimahullah disebutkan perkataan Abul ‘Aliyah,

قَدْ تَرِدُ الهِدَايَةُ والمُرادُ بِها إِرشَادُ المُؤمِنِينَ إلى مَسالِكِ الجِنانِ والطَّرِيقِ المُفضِيَةِ إلَيْها. وقالَ ابْنُ زِيادٍ: يَهْدِيْهِمْ إِلَى مُحاجَّةِ مُنْكَرٍ ونَكِيرٍ

“Terkadang disebutkan hidayah dan yang dimaksudkan adalah petunjuk bagi kaum mukminin kepada jalan surga dan jalan yang mengantarkan kepadanya. Ibnu Ziyad pun menafsirkan, Allah memberi petunjuk kepada mereka untuk bisa menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.”

Mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat.

Di dunia: dengan tentram hatinya dari berbagai rasa takut (krisis) yang mengancam jiwa, masyarakat, maupun negara, baik bentuknya krisis moral (mental), krisis moneter, maupun krisis keamanan. Demikian pula aman dari adzab di dunia.

Di akhirat: dengan selamat dari siksa, sejak di alam kubur sampai surga, yaitu selamat dari siksa di alam kubur dan selamat dari siksa neraka.

Mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Di dunia: berupa hidayah irsyad (ilmu) dan taufik (amal), hidayah meniti shirat mustaqim dan mendapatkan solusi syar’i dalam menghadapi berbagai problematika di dunia.

Di akhirat: petunjuk menjawab pertanyaan di alam kubur, petunjuk meniti shirath di atas jahannam, serta kemudahan jalan menunju surga.

Penjelasan tentang kualitas keamanan dan petunjuk yang didapatkan oleh ahli tauhid

Berdasarkan gabungan dari seluruh dalil yang ada, maka ulama menyimpulkan bahwa kadar keamanan dan petunjuk yang didapatkan oleh ahli tauhid adalah sebagaimana yang dirinci oleh Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitab Tafsirnya,

فإن كانوا لم يلبسوا إيمانهم بظلم مطلقا, لا بشرك, ولا بمعاص, حصل لهم الأمن التام, والهداية التامة. وإن كانوا لم يلبسوا إيمانهم بالشرك وحده, ولكنهم يعملون السيئات, حصل لهم أصل الهداية, وأصل الأمن, وإن لم يحصل لهم كمالها. ومفهوم الآية الكريمة, أن الذين لم يحصل لهم الأمران, لم يحصل لهم هداية, ولا أمن, بل حظهم الضلال والشقاء.

“Apabila mereka (ahli tauhid) tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman sama sekali, tidak dengan kesyirikan maupun tidak dengan kemaksiatan, maka mereka mendapatkan keamanan sempurna dan hidayah sempurna. Namun, jika mereka tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kesyirikan saja dan mereka melakukan keburukan (dosa di bawah syirik), maka mereka mendapatkan hidayah dan keamanan yang minimal, (dan) tidak mendapatkan keamanan dan hidayah yang sempurna. Dan makna tersirat dari ayat yang mulia ini pun menunjukkan bahwa mereka yang tidak termasuk dalam keduanya, mereka tidak mendapatkan hidayah dan keamanan, bahkan nasibnya adalah sesat dan celaka.”

Syaikh Sulaiman rahimahullah berkata dalam kitab Taisirul ‘Aziz,

من أتى به تاما فله الأمن التام والاهتداء التام ودخل الجنة بلا عذاب. ومن أتى به ناقصا بالذنوب التي لم يتب منها فإن كانت صغائر كفرت باجتناب الكبائر لآية النساء والنجم. وإن كانت كبائر فهو في حكم المشيئة إن شاء الله غفر له وإن شاء عذبه ومآله إلى الجنة والله أعلم

“Barangsiapa melaksanakan tauhid dengan sempurna, maka dia mendapatkan keamanan sempurna dan petunjuk sempurna, serta masuk surga tanpa adzab. Barangsiapa melaksanakan tauhid tidak sempurna karena dosa yang dia tidak bertaubat darinya, apabila dosa itu dosa kecil, maka terlebur dengan menghindari dosa besar, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ dan An-Najm. Apabila yang dilakukan itu dosa besar, maka tergantung kehendak Allah. Jika Allah menghendaki mengampuni, maka Allah akan mengampuninya. Namun jika Allah menghendaki mengadzabnya, maka Allah akan mengadzabnya. Hanya saja, tempat akhirnya pasti di surga. Wallahu a’lam.”

Balasan bagi orang yang mentauhidkan Allah dengan tauhid yang sempurna -yaitu dengan menghindari kesyirikan dan kemaksiatan atau bertaubat darinya jika terlanjur jatuh ke dalamnya- adalah:

  1. Mendapatkan keamanan dari segala hal yang menakutkan, baik di dunia maupun di akhirat.
  2. Mendapatkan petunjuk (solusi) di dunia dalam menghadapi berbagai masalah dan mendapatkan petunjuk di akherat sehingga selamat menjalani prosesi hari akhir sampai masuk kedalam surga.

(Bersambung)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55879-atasi-corona-dengan-bertauhid-yang-sempurna-bag-2.html

Social Distance dan Uzlah Corona

Dalam khazanah Islam, social distance serupa konsep uzlah, pengasingan diri.

Menghadapi wabah Virus Corona COVID-19 yang sudah mengglobal ini, menginfeksi hampir di semua negara, terlebih hingga sekarang ini para peneliti belum menemukan vaksin untuk melindungi tubuh dari virus tersebut, para ahli di dunia menyepakati cara efektif agar tidak tertular virus ini adalah dengan melakukan social distance. Social distance atau jarak sosial adalah seseorang menjaga kedekatan fisik dengan orang lain guna mengurangi perpindahan virus dari tubuh satu ke yang lain.

Kegiatan social distance atau social distancing merupakan strategi kesehatan untuk mencegah atau memperlambat penyebaran virus. Bahkan, mengutip dari CTV News, social distancing is the new norm as the world tries to contain COVID-19, social distance telah menjadi norma baru ketika dunia mencoba menghadapi Virus Corona COVD-19.  Selain itu, social distance juga dilakukan dengan mengisolasi diri bagi orang yang terinfeksi, mengkarantina diri, sehingga orang dapat terpisah satu sama lain.

Kini, social distance telah diterapkan di banyak negara yang terinfeksi Virus Corona COVID-19, termasuk Indonesia. Presiden Jokowi pada Ahad (15/3/2020) telah meminta agar masyarakat melakukan social distance guna mencegah penularan Virus Corona COVID-19.  MUI Pusat (Senin, 16/03/2020) juga sudah mengeluarkan fatwa tentang social distance ini yang terkait dengan kegiatan ibadah: Shalat Jumat bisa diganti dengan shalat Dzuhur di rumah masing-masing, shalat lima waktu tidak berjamaah, shalat tarawih tidak berjamaah, Shalat Id juga tidak berjamah dan kegiatan majelis taklim tatap muka langsung dihentikan. Fatwa ini berlaku bagi umat Islam di wilayah di mana kondisi penyebaran virus corona atau COVID-19 yang sudah tak terkendali.

Dalam khazanah Islam, khususnya tasawuf, konsep social distance bukanlah hal yang baru. Social distance dapat disamakan dengan konsep uzlah, pengasingan diri. Akar kata uzlah dalam bahasa Arab adalah `azala, yang artinya memisahkan, menyingkirkan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah  uzlah/uz•lah/ merupakan kata benda yang berarti pengasingan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah (berzikir dan tafakur) kepada Allah Swt.

Ada istilah yang memilki kedekatan dengan uzlah, yaitu khalwat. Secara bahasa, khalwat berasal dari akar kata khala, yang  berarti sepi, Khalwat merupakan praktik menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam laku tasawuf, seorang melakukan tahapan uzlah dahulu, memisahkan diri, menjaga jarak dari perbuatan tercela, baru kemudian melakukan khalwat, menyepi.

Maka selayaknya, bagi seorang Muslim, social distance  dimaknai sebagai momentum untuk melakukan uzlah corona, uzlah untuk menjaga jarak dari orang lain, dari kehidupan sosial, untuk sementara waktu sampai wabah Virus Corona COVID-19 ini mereda dan hilang. Mengisi uzlah ini melalui kegiatan-kegiatan ibadah yang dilakukan secara personal, utamanya seperti laku para sufi saat sedang uzlah dengan memperbanyak dzikir, dan juga sholawat, membaca Alquran serta tafakur.  

Bisa jadi, Virus Corona COVID-19 yang sudah memisahkan kita dari ibadah berjamaah merupakan teguran bagi kita yang mungkin selama ini beribadah di tengah masyarakat umum lebih banyak riya, unjuk pamer kesalehan dan mencari perhatian orang banyak, jauh dari keikhlasan. Karenanya Allah Swt yang memiliki sifat Al-Ghayyur, Maha Pencemburu, menghadirkan Virus Corona COVID-19  untuk memaksa kita uzlah demi menyelamatkan ibadah kita dari kesia-siaan dan agar kita beribadah penuh kekhlasan hanya untuk-Nya, baik dalam kesendirian maupun di tengah keramaian. Wallaahu `alam.

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki,Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre

KHAZANAH REPUBLIKA

Sejarah Haji Pernah Beberapa Kali Ditiadakan (Bagian 3)

Kini, lebih dari dua abad berlalu, bayangan Covid-19 turut mengancam pelaksanaan haji tahun ini. Seorang akademisi dan penulis asal Mesir, Hani Nasira, mengatakan jika kasus Covid-19 di seluruh dunia terus meningkat, keputusan untuk menghentikan ibadah haji seharusnya tidak mengejutkan. 

Sebab, jika diberlakukan, keputusan meniadakan haji dinilainya akan bijaksana dan sesuai dengan syariah Islam. Pasalnya, Islam pada dasarnya bertujuan untuk melindungi dan melestarikan kehidupan masyarakat.

“Di dalam Alquran, Allah berfirman ‘dan jangan bunuh dirimu.’ Nabi Muhammad juga memperingatkan sahabat-sahabatnya terhadap wabah. Abdulrahman bin Awf meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, ‘jika Anda mendengar wabah di suatu negeri, jangan memasukinya. Tetapi jika wabah itu ada di suatu tempat dan Anda berada di dalamnya, jangan tinggalkan tempat itu.’ Hadits ini menunjukkan pentingnya menghindari wabah,” kata Nasira, dilansir di Arab News, Senin (6/4).

Ia menekankan bahwa wabah Covid-19 telah merenggut ribuan jiwa di seluruh dunia dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Ia mengatakan, seluruh dunia menderita akibat penyebaran virus yang cepat dan semua orang berada dalam ketakutan.

Apalagi, saat ini para ilmuwan belum menemukan obat atau vaksin untuk virus corona. Sehingga, menurutnya, situasi demikian yang berlanjut membuat penangguhan haji diperlukan guna melindungi kehidupan. Ia juga menyoroti beberapa negara Muslim, termasuk Iran dan Turki, yang termasuk negara dengan korban wabah terbesar.

“Kami tidak ingin menambahkan bahan bakar ke api. Itu tidak logis, dan Islam juga tidak pernah menerima atau menyetujui itu. Jika saya seorang mufti, saya tidak akan ragu untuk meminta penangguhan,” tambahnya.

Sementara itu, seorang peneliti studi Islam, Ahmed Al-Ghamdi, mengatakan bahwa haji bukanlah ritual terbatas dalam arti bahwa ibadah haji dapat dilakukan setidaknya sekali seumur hidup seorang Muslim dewasa. Menurutnya, ibadah haji tidak terbatas pada waktu tertentu. Sehingga, Muslim dapat melakukan haji kapan pun dia mau saat mereka telah mencapai usia baligh.

“Nabi Muhammad, misalnya, tidak melakukan haji di tahun pertama haji menjadi kewajiban. Dia melakukan haji setahun kemudian,” kata Al-Ghamdi.

Peneliti yang berspesialisasi dalam ilmu hadits ini juga sependapat dengan Nasira. Menurutnya, syariah Islam sangat mendukung kepentingan dan kesejahteraan publik. Ia mengatakan, haji dapat ditangguhkan dalam hal kebutuhan yang mendesak, seperti karena penyebaran penyakit virus corona, alasan politik atau tekanan keamanan.

Hal itu menurutnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ia menambahkan, bahwa ibadah haji didirikan dengan alasan dan logika. Dengan demikian, jika pejabat kesehatan menemukan bahwa penyakit menular dapat menyebabkan kematian, ia mengatakan bahwa menjaga kehidupan manusia lebih penting daripada ibadah haji itu sendiri.

“Tidak ada yang salah dengan alur pemikiran dalam syariah Islam ini. Yang Maha Kuasa telah memerintahkan kita untuk tidak menjerumuskan diri kita pada bahaya,” katanya.

IHRAM

Sejarah Haji Pernah Beberapa Kali Ditiadakan (Bagian 2)

Gangguan berikutnya terjadi pada 968 M. Mengutip buku Ibn Kathir “Al-Bidaya wan-Nihayah,” laporan itu menyebutkan bahwa haji pernah ditiadakan karena adanya penyakit yang menyebar di Makkah dan merenggut nyawa banyak jamaah. Pada saat yang sama, unta yang digunakan untuk mengangkut jamaah haji ke Makkah mati karena kelangkaan air.

“Banyak dari mereka yang berhasil mencapai Makkah dengan aman tidak bisa hidup lama setelah haji karena alasan yang sama,” menurut laporan Darah.

Di antara mereka yang datang ke Makkah untuk menunaikan haji dalam jumlah yang signifikan adalah orang Mesir. Namun pada 1000 Masehi, mereka tidak mampu melakukan perjalanan karena tingginya biaya hidup di Saudi pada tahun itu.

Sekitar 29 tahun kemudian, tidak ada jamaah dari Timur atau Mesir yang datang untuk berhaji. Menurut laporan Darah, pada 1030 hanya beberapa jamaah asal Irak yang berhasil mencapai Makkah untuk melakukan haji. Sembilan tahun kemudian, Muslim dari Irak, Mesir, Asia Tengah dan Arab utara tidak dapat melakukan haji.

Kepala departemen sejarah di Universitas King Abdul Aziz, Dr. Emad Taher, mengatakan gangguan yang terjadi saat itu adalah kerusuhan politik dan ketegangan sektarian. Selanjutnya, pada 1099 tidak ada yang melakukan ibadah haji karena takut dan rasa tidak aman di seluruh dunia Muslim sebagai akibat dari perang.

Sekitar lima tahun sebelum Tentara Salib merebut Yerusalem pada 1099, para penguasa Muslim di wilayah Arab kurang bersatu. Akibatnya, tidak ada Muslim yang bisa mencapai Makkah untuk menunaikan haji.

Pada 1168, orang-orang Mesir terjebak dalam konfrontasi dengan Komandan Kurdi Asaduddin Shirkuh, yang ingin memperluas dinasti Zangid ke Mesir. Situasi saat itu secara alami tidak memungkinkan orang Mesir untuk melakukan haji.

Ibadah haji kembali terganggu pada abad ke-13. Laporan Darah menyebutkan, tidak ada orang dari luar wilayah Hijaz yang dapat melaksanakan haji antara tahun 1256 dan 1260.

Selanjutnya, penyelenggaraan haji terganggu akibat kampanye militer yang dilancarkan oleh pemimpin Perancis Napoleon Bonaparte di wilayah Ottoman di Mesir dan Suriah dari 1798 hingga 1801. Hal itu lantas membuat rute standar ke Makkah tidak aman bagi jamaah.

IHRAM

Sejarah Haji Pernah Beberapa Kali Ditiadakan (Bagian 1)

Wabah virus corona yang melanda hampir semua negara telah berdampak pada banyak segi kehidupan, termasuk dalam kegiatan ibadah umat Muslim dunia. Setelah kegiatan umroh dihentikan sementara guna mencegah penyebaran virus corona, kini umat Muslim juga bertanya-tanya akankah pelaksanaan ibadah haji tahun ini dibatalkan?

Pemerintah Arab Saudi telah mengambil sejumlah langkah pencegahan untuk mengendalikan penyebaran infeksi Covid-19, khususnya di Makkah dan Madinah. Sejauh ini, ada lebih dari 480 kasus virus corona di dua kota suci itu.

Dalam upayanya, Kerajaan Saudi telah menghentikan kegiatan umrah sampai pemberitahuan lebih lanjut. Selain itu, Saudi juga menghentikan semua penerbangan penumpang internasional tanpa batas waktu, dan memblokir jalan masuk dan keluar ke beberapa kota, termasuk Makkah dan Madinah. Dilaporkan ada lebih dari 2.000 kasus Covid-19 di Saudi, dengan 25 kematian. Sedangkan secara global, tercatat lebih dari 1 juta orang telah terinfeksi virus corona dan 59.000 dari mereka meninggal.

Sementara itu, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini pun masih diragukan. Dalam pernyataan pada 31 Maret 2020 lalu, Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Dr. Muhammad Salih bin Taher banten, meminta para penyelenggara haji untuk menunda kontrak layanan haji. Ia meminta Muslim di seluruh dunia untuk menunggu sebelum membuat rencana atau kontrak haji sampai ada kejelasan terkait ibadah yang dijadwalkan akan dimulai pada akhir Juli itu.

“Kami meminta dunia untuk tidak terburu-buru berkaitan dengan kelompok-kelompok haji sampai jalur epidemi menjadi jelas, mengingat keselamatan jamaah dan kesehatan masyarakat sebagai prioritas,” kata Banten kepada TV Al-Ekhbariya yang dikelola Pemerintah Arab Saudi.

Jika wabah masih belum mereda, ada kemungkinan haji tahun ini dibatalkan. Hal ini memang menjadi pukulan bagi umat Islam. Akan tetapi, dalam sejarahnya, pelaksanaan ibadah haji sendiri telah beberapa kali mengalami gangguan, sehingga ditiadakan.

Dilansir di Arab News, Senin (6/4), sebuah laporan yang diterbitkan oleh Yayasan Raja Abdul Aziz untuk Penelitian dan Arsip (Darah) mengemukakan tentang sejumlah pembatalan ibadah haji selama berabad-abad karena keadaan yang di luar kendali otoritas haji. Dalam laporan itu disebutkan, bahwa penyelenggaraan haji pertama kali terganggu pada 930 M.

Kala itu, Bani Qarmati yang dipimpin oleh Abu Thahir al-Qarmati datang ke tanah suci Makkah dan menginvasi Baitullah. Mereka menyerang jamaah haji pada hari kedelapan haji. Qarmatian adalah aliran Syiah Ismaili, yang memberontak terhadap kekhalifahan Abbasiyah.

Orang-orang Qarmati memiliki keyakinan bahwa melaksanakan haji adalah tindakan penyembahan berhala. Peristiwa penyerangan itu menewaskan lebih dari 30.000 jamaah tahun itu. Selain itu, orang-orang Qarmati juga menyerang sumur Zamzam di Makkah dan menodainya dengan mayat.

Membawa juga lari Hajar Aswad dari Ka’bah ke kota Hajr (sekarang Qatif), yang merupakan ibukota mereka di Teluk Arab saat itu. Setelah penyerangan berdarah itu, ibadah haji tidak digelar selama 10 tahun berikutnya.  

IHRAM