Mengapa Kita Harus Meminta Perlindungan kepada Allah?

Sebelum menjawab pertanyaan dalam judul diatas, kita akan mengutip sebuah surat yang tentu sudah kita hafal bersama. Yaitu Surat An-Nas, Allah swt berfirman :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.

مَلِكِ النَّاسِ

Raja manusia.

إِلَٰهِ النَّاسِ

Sembahan manusia.

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ

yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

dari (golongan) jin dan manusia. (QS.an-Nas:1-6)

Manusia berpotensi melakukan penyimpangan setiap waktu. Hidupnya tak pernah lepas dari bisikan dan godaan sang musuh. Pada ayat diatas, Allah menyuruh nabi-Nya untuk meminta perlindungan dari bisikan setan. Padahal nabi Muhammad saw terjaga dari segala bentuk kesalahan dan penyimpangan dengan penjagaan Allah yang sempurna.

Ya, pasti perintah ini ditujukan untuk umatnya, dan itu adalah bukti bahwa manusia dapat terjerumus dalam bisikan setan yang tersembunyi. Lalu jika nabi saja diperintahkan untuk berlindung, bagaimana dengan kita? Yang setiap saat bisa tergoda. Yang setiap waktu bisa lalai kapan saja.

Namun kita tidak boleh putus asa dihadapan bisikan dan godaan yang selalu datang. Disaat kita tergoda, segera-lah bertaubat dan kembali kepada-Nya. Karena orang-orang mukmin tidak sendirian dalam mengahadapi peperangan dalam hatinya. Jika ada setan yang selalu menggoda, ada pula Malaikat yang selalu mengiringi orang-orang mukmin yang sedang berjalan di jalan-Nya. Tidak hanya mengiringi, para Malaikat itupun menjaga hamba tersebut.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا الَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS.Fussilat:30)

Pada intinya, jangan pernah menganggap diri kita tidak butuh dengan bantuan dan penjagaan Allah. Jangan pernah acuh dengan peringatan dari-Nya. Karena  musuh manusia tidak pernah tidur untuk menggoda dan menyesatkannya, maka mari kita berupaya untuk selalu sadar dan mengingat-Nya. Dan tak lupa untuk selalu meminta perlindungan kepada-Nya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Mana yang Kamu Pilih, Wanita, Dunia Atau Bidadari?

Ia mutiara terindah dunia
Bunga terharum sepanjang masa
Ada cahaya di wajahnya, Betapa indah pesonanya
Bidadari bermata jeli pun cemburu padanya
Kelak, ia menjadi bidadari surga,
Terindah dari yang ada (Hanan)

Ya, bidadari surga yang Allah segerakan berikutnya adalah wanita saleh. Konteks tulisan ini sama sekali bukan tentang fisik. Kita hanya akan membahas hal-hal substansial yang bernama kesalehan.

Untuk itu, cukuplah dialog penuh ibrah antara Ummu Salamah Radhiyallahu Anha dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang didokumentasikan oleh Imam Ath-Thabrani sebagai pecut penyemangat, pengobar ruh kesalehan.

Ummu Salamah Radhiyallahu Anha berkata, “Wahai Rasulullah, Shallallahu Alaihi wa Sallam jelaskanlah kepadaku firman Subhanahu wa Taala tentang bidadari-bidadari yang bermata jelita.” (QS. Ad-Dukhan: 54) Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”

Aku berkata lagi, “Jelaskan kepadaku tentang firman Allah, “Laksana mutiara yang tersimpan baik.” (Al-Waqiah: 23) Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara di kedalaman lautan, tidak pernah tersentuh tangan manusia.”

Aku berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, “Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik.” (Ar-Rahman: 70) Beliau menjawab, “Akhlaqnya baik dan wajahnya cantik jelita.”

Aku berkata lagi, “Jelaskan kepadaku firman Allah, “Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik.” (Ash-Shaffat: 49) Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung kulit telur bagian luar, atau yang biasa disebut putih telur.”

Aku berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, Penuh cinta lagi sebaya umurnya” (Al-Waqiah: 37) Beliau menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia pada usia lanjut, dalam keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Dia menjadikan mereka sebagai wanita-wanita gadis, penuh cinta, bergairah, mengasihi dan umurnya sebaya.”

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli” Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”

Aku bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?” Beliau menjawab, “Karena salat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas.

Mereka berkata, “Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami rida dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.”

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan mereka pun masuk surga pula. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga?

Beliau menjawab, “Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu dia pun memilih siapa di antara mereka yang akhlaknya paling bagus, lalu dia berkata, “Wahai Rabb-ku, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik akhlaknya tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya”. Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.”

Keshalihan dan akhlak baiklah sumber kemuliaan, semoga kita dapat meraihnya. Aamiin. [dakwatuna]

INILAH MOZAIK

Kegemparan Saat Uskup Agung Uganda Umumkan Memeluk Islam

Mantan uskup agung Lutheran Mwaipopo alami ujian setelah memeluk Islam.

Martin John Mwaipopo memberanikan diri mengumumkan soal keIslamannya. Di hadapan jemaatnya, Martin yang menjabat sebagai Uskup Agung ketika itu, mengumumkan ia meninggalkan Kristen untuk Islam.

Momen ini terjadi pada 23 Desember 1986, dua hari menjelang Natal. Jemaat yang mendengar berita itu begitu terkejut. Bahkan, administratornya langsung bangkit dari tempat duduk, menutup pintu dan jendela. Ia mengatakan kepada para anggota gereja, bahwa pikiran sang Uskup gusar dan telah gila.

Bagaimana tidak, hanya beberapa menit sebelumnya, Mwaipopo mengeluarkan alat musiknya dan menyanyi begitu mengharukan bagi anggota gereja. Namun, di dalam hati sang Uskup, ada keputusan yang hendak ia utarakan yang akan membuat seisi gereja gempar. Hiburan itu nyatanya hanyalah pesta perpisahan.

Reaksi jemaat sama mengejutkannya. Mereka bahkan memanggil polisi untuk membawa sang Uskup yang disebut ‘gila’ itu pergi. Mwaipopo ditahan di sel hingga tengah malam ketika Sheikh Ahmed Sheik, orang yang mengakuinya masuk Islam datang untuk menyelamatkannya.

Kejadian itu hanyalah awal dari guncangan ringan baginya. Reporter Al Qalam, Simphiwe Sesanti, berbicara kepada mantan Uskup Agung Lutheran kelahiran Tanzania tersebut. Setelah masuk Islam, Mwaipopo kemudian dikenal dengan nama Al Hajj Abu Bakr John Mwaipopo.

Sang penulis merasa terpancing keingintahuannya setelah diberi tahu oleh saudara laki-laki asal Zimbabwe, Sufyan Sabelo, setelah ia mendengarkan ceramah Mwaipopo di Wyebank Islamic Center, Durban. Sufyan inilah yang menceritakan tentang Mwaipopo, yang tidak hanya memperoleh gelar BA dan Master, tetapi juga doktor, di Divinity, namun kemudian beralih agama kepada Islam.

Mwaipopo memperoleh diploma dalam Administrasi Gereja di Inggris dan gelar-gelar terakhir di Berlin, Jerman. Sebelum menjadi seorang Muslim, ia pernah menjadi Sekretaris Umum untuk Afrika Timur di Dewan Gereja-Gereja Dunia, yang meliputi Tanzania, Kenya, Uganda, Burundi, dan bagian-bagian dari Ethiopia dan Somalia.

Di Dewan Gereja, dia bercampur baur dengan ketua Komisi Hak Asasi Manusia Afrika Selatan, Barney Pityana, dan ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Uskup Desmond Tutu. Sang penulis, Sesanti, kemudian menceritakan kisah kehidupan Mwaipopo, pria yang lahir 61 tahun yang lalu, tepatnya pada 22 Februari di Bukabo, sebuah wilayah yang berbatasan dengan Uganda.

Dua tahun setelah kelahirannya, keluarga Mwaipopo membaptisnya. Lima tahun kemudian, mereka menyaksikan dia dengan bangga menjadi alter boy (seseorang yang membantu anggota pendeta di gereja. Keluarga begitu bangga ketika melihatnya membantu menteri gereja, mempersiapkan ‘tubuh dan darah’ Kristus. Pikiran sang ayah dipenuhi dengan ide-ide untuk masa depan putranya itu.

“Ketika saya berada di sekolah asrama, kemudian, ayah saya menulis kepada saya, menyatakan dia ingin saya menjadi seorang imam. Dalam setiap surat, dia menulis ini,” kenang Mwaipopo, dalam artikel di laman Islamweb, dilansir Selasa (4/8).

Namun, Mwaipopo alias Abu Bakr memiliki ide sendiri tentang hidupnya, ia bergabung dengan kepolisian. Namun pada usia 25, Mwaipopo menyerah pada kehendak ayahnya. Tidak seperti di Eropa di mana anak-anak dapat melakukan apa yang mereka kehendaki setelah usia 21 tahun, di Afrika, anak-anak diajarkan menghormati kehendak orangtua mereka di atas kehendak mereka sendiri.

“Putraku, sebelum aku menutup mataku (mati), aku akan senang jika kau bisa menjadi pendeta”, begitulah kata ayahnya pada Mwaipopo.

Nasihat sang ayah kemudian mendorongnya melangkah ke Inggris pada 1964, untuk mengejar diploma dalam Administrasi Gereja. Setahun kemudian, dia pergi ke Jerman untuk membuat gelar BA. Sekembalinya, setahun kemudian, dia diangkat menjadi Penjabat Pelaksana. Hingga kemudian meraih gelar Master. Pada saat mengambil gelar doktor, Mwaipopo mulai mempertanyakan berbagai hal.

“Selama ini, saya hanya melakukan berbagai hal, tanpa bertanya. Saya mulai bertanya-tanya … ada agama Kristen, Islam, Yahudi, Budha, masing-masing agama yang berbeda mengklaim jadilah agama yang benar. Apa kebenarannya? Saya menginginkan kebenaran,” ujarnya.

Sejak itu, Mwaipopo memulai pencarian hingga ia menguranginya menjadi empat agama besar. Suatu waktu, ia mendapatkan salinan Alquran. Ketika pertama kali membuka lembaran Alquran, ayat-ayat yang pertama ia temukan adalah surah al-Ikhlas.

“Katakan: Dialah Allah, Yang Esa dan Satu-Satunya; Allah, Yang Abadi, Mutlak; Dia tidak beranak, juga tidak diperanakkan; Dan tidak ada yang seperti Dia?” demikian Mwaipopo coba mengingatnya.

Saat itulah, benih-benih Islam mulai tertanam untuk pertama kalinya. Kala itu, dia menemukan Alquran adalah satu-satunya kitab suci yang telah dihilangkan oleh manusia sejak wahyu tersebut diturunkan.

“Dalam menyimpulkan tesis doktoral saya, saya mengatakan demikian. Saya tidak peduli apakah mereka memberi saya doktor atau tidak, itu adalah kebenaran dan saya sedang mencari kebenaran,” kata Mwaipopo.

Dalam pikiran demikian, Mwaipopo memanggil Profesor Van Burger. Kala itu, ia menutup pintu dan menatap mata sang profesor. Mwaipopo lantas bertanya, mana yang benar dari semua agama di dunia.

Sang profesor menjawab, “Islam.” Mwaipopo lantas bertanya, “Kalau begitu, mengapa kamu bukan seorang Muslim?”

Profesor menjawab, “Pertama, saya membenci orang Arab, dan kedua, apakah Anda melihat semua kemewahan yang saya miliki? Apakah Anda pikir saya akan menyerahkan semuanya untuk Islam?”

“Ketika saya memikirkan jawabannya, saya berpikir tentang situasi saya sendiri juga,” kenang Mwaipopo.

Kala itu, yang terlintas dalam imajinasinya adalah misinya dan hartanya, seperti mobilnya. Dia berpikir dirinya tidak bisa memeluk Islam dan selama satu tahun lamanya dia melupakannya.

Namun kemudian, mimpi menghantuinya, ayat-ayat Alquran terus muncul, orang-orang berpakaian putih terus berdatangan, terutama pada hari Jumat, hingga dia tidak tahan lagi. Hingga akhirnya, pada 22 Desember 1986, dia secara resmi memeluk Islam. Mimpi-mimpi itu yang membimbingnya untuk masuk Islam. Mwaipopo meyakini bahwa mimpi bukan takhayul.

“Tidak, saya tidak percaya bahwa semua mimpi itu buruk. Ada yang memandu Anda ke arah yang benar dan yang tidak, dan mimpi-mimpi ini, khususnya, membimbing saya ke arah yang benar, kepada Islam,” katanya.

Karena keputusannya memeluk Islam itulah, gereja menyita rumahnya dan mobilnya. Istrinya pun harus mengepak pakaiannya, mengambil anak-anaknya dan pergi. Mwaipopo menjamin sang istri tidak diwajibkan untuk menjadi seorang Muslim.

Ketika Mwaipopo pergi kepada orang tuanya, mereka juga telah mendengar cerita tentang langkahnya itu. Kala itu, sang ayah justru memintanya mencela Islam. Sementara sang ibu mengatakan dia tidak ingin mendengar omong kosong dari Mwaipopo.

Namun begitu, Mwaipopo mengungkapkan perasaannya bahwa dia telah memaafkan orang tuanya. Sebab, dia akhirnya bisa menemukan waktu untuk berdamai dengan ayahnya sebelum sang ayah meninggal.

“Mereka hanya orang tua yang tidak tahu. Mereka bahkan tidak bisa membaca Alkitab, yang mereka tahu hanyalah apa yang mereka dengar dari pendeta yang membaca,” ungkapnya.

Setelah meminta untuk menginap satu malam, pada hari berikutnya, ia memulai perjalanannya ke tempat asal keluarganya, Kyela, di dekat perbatasan antara Tanzania dan Malawi. Orang tuanya telah menetap di Kilosa, Morogoro.

Selama perjalanannya, dia terdampar di Busale di rumah satu keluarga yang menjual bir buatan rumah. Di sanalah ia bertemu calon istrinya, seorang biarawati Katolik, dengan nama Suster Gertrude Kibweya, yang sekarang dikenal sebagai Suster Zainab.

Bersama biarawati itulah, Mwaipopo pergi ke Kyela. Di sana, ia bertemu lelaku tua yang memberinya tempat berteduh malam sebelumnya. Lelaki tua itu juga yang mengatakan kepadanya bahwa di situlah dia akan menemukan Muslim lainnya.

Tetapi sebelum itu, pada pagi harinya Mwaipopo mengumandangkan adzan (seruan sholat). Mendengar adzan, penduduk desa keluar dari rumah masing-masing. Mereka bertanya kepada sang tuan rumah, mengapa dia menyimpan seorang pria ‘gila’.

Beruntung, kala itu sang biarawati menjelaskan Mwaipopo tidak gila, melainkan seorang Muslim. Suster Zainab juga yang membantu Mwaipopo membayar biaya pengobatannya di Rumah Sakit Misi Anglican, ketika dia sakit parah.

Kisah berlanjut tatkala Mwaipopo bertanya kepada sang biarawati soal mengapa dia mengenakan rosario. Suster Zainab kala itu menjawab, hal itu karena Kristus digantung di sana.

“Tapi, katakanlah seseorang telah membunuh ayahmu dengan pistol, akahkah kamu berkeliling membawa senjata di dadamu?”

Sang biarawati itu berpikir, benaknya menantang keyakinan lamanya. Tidak lama kemudian, Mwaipopo melamar Suster Zainab, dan sang biarawati itu pun menerimanya.

Mereka kemudian menikah secara diam-diam. Empat pekan kemudian, Suster Zainab menulis surat kepada otoritasnya perihal kepergiannya. Lelaki tua yang memberinya perlindungan, yang juga paman Suster Zainab, mendengar pernikahan tersebut, mereka diberitahu agar meninggalkan rumahnya. Sang paman tidak bisa menerima keputusan Suster Zainab. Ayahnya pun begitu marah dengan keputusan Zainab.

Dari rumah Uskup itu, Mwaipopo pergi dan kemudian tinggal di rumah lumpur yang dibangunnya sendiri. Dari mencari nafkah sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Dunia Gereja untuk Afrika Timur, ia mulai mencari nafkah sebagai pemotong kayu dan mengolah tanah beberapa orang.

Selain pekerjaan demikian, Mwaipopo juga berdakwah Islam di muka umum. Hal inilah yang menyebabkan serangkaian pemenjaraan jangka pendek, karena khutbah yang dianggap penghinaan terhadap Kristen.

Saat melaksanakan haji pada 1988, tragedi melandanya. Rumahnya dibom, dan akibatnya tiga bayinya terbunuh. “Seorang uskup, yang memiliki ibu dan ibu saya sendiri adalah anak dari ayah yang sama, terlibat dalam rencana tersebut,” kenang Mwaipopo.

Namun, alih-alih melemahkan, semangat Mwaipopo justru kian bertambah. Sebab, jumlah orang yang memeluk Islam kala itu kian meningkat, termasuk ayah mertuanya.

Pada 1992, ia ditangkap selama 10 bulan, bersama dengan 70 pengikut. Dia didakwa melakukan pengkhianatan. Hal ini terjadi setelah beberapa toko daging babi dibom.

Dia memang berbicara menentang penjualan daging babi tersebut. Dia mengatakan, secara konstitusional, sejak 1913, ada undang-undang yang menentang keberadaan bar, klub, dan toko daging babi di Dar es Salaam, Tanga, Mafia, Lindi dan Kigoma.

Beruntung, kala itu dia dibebaskan. Segera setelah itu, dia melarikan diri ke Zambia. Dia mengasingkan diri setelah diberitahu ada rencana untuk membunuhnya.

Mwaipopo mengatakan, pada hari dia dibebaskan, polisi datang untuk menangkapnya kembali. Namun, menurutnya, para wanita mengatakan mereka akan menentang penangkapan Mwaipopo secara fisik terhadap polisi. Mereka juga yang membantu Mwaipopo melintasi perbatasan tanpa diketahui.

Saat itu, Mwaipopo dipakaikan pakaian perempuan. Karenanya, ia mengatakan itulah salah satu alasan yang membuatnya mengagumi wanita.

“Wanita harus diberi tempat tinggi, mereka harus diberi pendidikan yang baik dalam Islam. Kalau tidak, bagaimana dia bisa mengerti mengapa seorang pria menikahi lebih dari satu istri. Adalah istri saya, Zainab, yang mengusulkan agar saya menikahi istri kedua saya, Shela (temannya), ketika dia harus pergi untuk studi Islam di luar negeri,” kata Mwaipopo.

Mwaipopo atau Haji Abu Bakr pun berpesan kepada umat Islam. Ia mengatakan, ada perang melawan Islam, yang membanjiri dunia dengan literatur. Saat ini, kata dia, umat Islam dibuat merasa malu untuk dianggap sebagai fundamentalis.

“Muslim harus menghentikan kecenderungan individualistis mereka. Mereka harus bersama (bersatu). Anda harus membela tetangga Anda jika Anda ingin selamat,” katanya.

Dalam pesannya, ia juga menyerukan umat Islam untuk berani. Ia lantas mengutip Ahmed Deedat dari Pusat Dakwah Islam Internasional.

“Orang itu tidak terpelajar, tetapi lihat cara ia menyebarkan Islam,” tambahnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Indonesia Susun Protokol Kesehatan Umroh dan Haji

Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan haji tengah menyusun pedoman kesehatan umroh dan haji di masa Pandemi Covid-19. Pedoman protokol kesehatan ini mesti dilaksanakan semua stakeholder demi tercapainnya tujuan bersama mencegah jamaah terpapar Covid saat ibadah di Tanah Suci.

“Protokol Kesehatan Umrah dan Haji harus dilaksanakan bersama-sama oleh semua stakeholder demi melindungi seluruh umat Islam,” kata Kapala Pusat Kesehatan Haji Eka Jusup Singka saat dihubungi, Rabu (5/8).

Eka mengatakan, protokol kesehatan memang memberikan kesan sangat membatasi semua aktifitas. Maka dari itu perlu sosialisasi yang mendalam kepada semua stakeholder yang berkepentingan dengan haji dan umroh.

“Stakeholder harus bersama-sama sepemahaman bahwa ini adalah pola kehidupan New Normal dalam menyikapi Covid 19,” katanya.

Menurut dia, jika suda ada vaksin yang efektif mencegah Covid-19, maka penyelenggaraan haji dan umrah yang merupakan prosesi berkumpulnya massa akan lebih aman. Karena vaksinya belum ditemukan, jamaah harus patuh pada protokol kesehatan yang dibuat oleh pemerintah.

“Maka higiene dan sanitasi masih menjadi hal yang sangat penting dilaksanakan, termasuk social distancing,” katanya.

Dihubungi terpisah, Kapala Bidang Sumber Daya Kesehatan dan Fasilitasi Pelayanan Kesehatan Haji, Pusat Kesehatan Haji, Indro Murwoko mengatakan, penyusunan pedoman kesehatan haji dan umrah ini dalam rangka pencegahan penyakit Covid 19.

“Jadi diharapkan ini menjadi persiapan untuk penyelenggaraan haji tahun depan,” katanya.

Memang, lokasi penyelenggaraan umrah dan haji sama yakni terpusat di Arab Saudi, hanya saja rangkaian kegiatan antara umrah dan haji yang sedikit berbeda. Kata dia, maksud dari penyusunan pedoman ini adalah memberi informasi kepada jamaah agar mereka tahu apa yang harus dilakukan agar tidak terinfeksi Covid-19.

“Dari awal diharapkan panduan ini memberi arahan agar para jamaah itu mempersiapkan diri dan tentu harapannya mereka dapat menjalankan aktivitas haji atau umrohnya dengan baik tetap sehat dan kembali dengan sehat,” katanya.

Ia memastikan, apa yang dilakukan Kementerian Kesehatan melalui Pusat Kesehatan haji ini untuk mengantisipasi apabila pada penyelenggaraan haji tahun depan Covid-19 masih terjadi di Arab Saudi, Indonesia dan negara-negara lain di dunia.

Harapannya, kata Indro memang vaksin Covid-19 dapat segera ditemukan, karena sangat bisa mengurangi risiko jamaah haji itu terinfeksi covid 19. Akan tetapi sambil menunggu vaksin itu ditemukan para ahli, maka Pusat Kesehatan Haji harus menyiapkan pedoman public health atau pedoman kesehatan masyarakat.

“Pedoman protokol kesehatan harus diketahui agar tidak terjadi penyebaran Covid kepada jamaah,” katanya.

Jangan sampai, kata dia, pedoman public health tidak disiapkan, jamaah terpapar Covid, sehingga rencana atau kegiatan mereka untuk berhaji atau umroh tidak bisa dijalankan. Dan tentunya hal ini dapat dicegah ketika

pedoman ‘public health’ dijalankan.

Indro menjelaskan, sebenarnya semua protokol kesehatan masyarakat yang ada saat ini pada prinsipnya sama. Akan tetapi aktivitas masyarakat yang akan menjalankan ibadah haji atau umrah ini memiliki beberapa rangkaian kegiatan yang spesifik yang mesti diperhatikan.

“Mulai dari rumah kemudian di embarkasi, hotel, di dalam penerbangan, kemudian fasilitas di Arab-nya itu kita harapkan mereka terinformasikan hal-hal yang bisa dilakukan dan yang sebaiknya tidak dilakukan untuk mencegah penyebaran itu,” katanya.

Jadi pedoman protokol kesehatan dari Pusat Kesehatan Haji untuk ‘strengthen’

atau memperkuat informasi tersebut. Diharapkan, ketika masyarakat itu tahu bahwa telah ada protokol kesehatan haji atau umroh mereka akan lebih nyaman atau lebih lebih dapat menerima dengan baik dibanding dengan protokol kesehatan masyarakat secara umum.

“Tetapi pada prinsipnya protokol kesehatan itu sama,” katanya.

Indro memastikan setelah pedoman protokol ini selesai disusun akan dicetak dan disebarkan melalui jejaring kesehatan. Mulai dari dinas kesehatan provinsi, kabupaten, kota sampai ke para jamaah di wilayahnya Indonesia. Pedoman ini juga bisa diakses di media sosial untuk mudah dibaca semua pihak yang berkepentingan dengan kegiata penyelenggaraan ibada haji dan umrah.

IHRAM

Belajar dari Rumah

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya; sang penyeru menuju agama Allah di atas bashirah. Amma ba’du.

Pandemi yang melanda dunia mempengaruhi berbagai lini aktifitas manusia. Perekonomian, ibadah, pendidikan dan juga kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan rutin di masjid-masjid yang dulunya berjalan berupa majelis ilmu dan pengajian kini pun lama tak lagi kita jumpai seperti di masa-masa sebelum pandemi. Inilah kenyataan yang semestinya menyadarkan kita tentang pentingnya pendidikan dan proses pembelajaran yang bisa dilakukan di rumah atau di tengah keluarga. 

Bagi mereka yang telah menempuh jalan ilmu, maka muroja’ah atau mengulang-ulang pelajaran tentu satu hal yang bisa lebih maksimal dilakukan pada masa-masa semacam ini. Bagi mereka yang selama ini menekuni dunia dakwah maka metode pelajaran online pun menjadi salah satu solusi yang paling digemari. Bahkan sekolah, pendidikan tinggi dan pesantren pun banyak yang harus mengalihkan metode pembelajaran dengan lebih banyak secara online atau belajar dari rumah. 

Hal ini kembali menyadarkan kita tentang pentingnya menciptakan suasana rumah yang tarbawi. Suasana rumah yang diwarnai pembinaan dan pendidikan bagi manusia dan keluarga. Rumah adalah sekolah pertama bagi generasi. Hal ini yang selama ini luput dan banyak dilalaikan para orang tua dengan alasan kesibukan mencari nafkah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga; anak dan istri. Maka pendidikan anak pun seolah kurang mendapat prioritas oleh ayah dan ibunya sendiri. Kondisi pandemi semacam ini mau tidak mau menuntut ayah dan ibu untuk lebih perhatian kepada pendidikan dan pembinaan anak-anaknya sendiri.

Pada hari ini, sesungguhnya peran orang tua dalam menanamkan kecintaan kepada ilmu agama adalah sesuatu yang dinilai sangat-sangat berharga. Karena situasi pandemi yang masih saja meliputi dan anak-anak yang berada di rumah bersama sarana-sarana yang bisa saja merusak generasi tanpa mereka sadari. Orang tua sering beranggapan bahwa kunci kesuksesan anak adalah dengan semata-mata menyekolahkan anak setinggi mungkin. Padahal, kunci kebaikan itu ada pada kepahaman tentang agama. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kebaikan seorang terletak sejauh mana dia memahami agama ini dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kecintaan kepada ilmu agama inilah modal yang harus diberikan dan dipupuk oleh orang tua kepada anak-anaknya. Para ulama kita terdahulu pun telah mengajarkan kepada kita untuk menjadi sosok pendidik yang rabbani; yaitu yang membina manusia dengan ilmu-ilmu yang dasar sebelum ilmu-ilmu yang besar. Ilmu itu dipelajari dan dicari seiring dengan perjalanan malam dan siang hari. Sedikit demi sedikit dan terus-menerus. Sehingga dengan panduan ilmu itulah seorang hamba mengenali jalan menuju Rabbnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Dalam menuntut ilmu dibutuhkan kesabaran dan perjuangan. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, “Ilmu tidak diperoleh hanya dengan cara bersantai-santai.” Sebagian penyair arab berkata:

Katakan kepada orang yang mendamba

Perkara-perkara mulia dan utama

Tanpa perjuangan maka

Kau hanya mengharap sesuatu yang mustahil adanya

Kemuliaan umat ini bergantung pada perjuangan mereka untuk memahami agama ini dan mengamalkannya. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk belajar Islam dan mengajarkannya. Beliau bersabda, 

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Belajar al-Qur’an mencakup membacanya dengan benar, memahami isinya dan merenungkan kandungan hukum dan pelajaran berharga yang tersimpan di dalamnya. Sebab ia menjadi petunjuk bagi manusia dan pembimbing bagi orang yang bertakwa. Dengan mengikuti ajarannya manusia menjadi mulia. Dan karena mencampakkan ajarannya manusia pun hina. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِين

“Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan Kitab ini beberapa kaum dan akan merendahkan kaum-kaum yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim)

Mendidik keluarga untuk mengenali al-Qur’an dan mencintainya adalah perkara yang banyak dilupakan oleh manusia, bahkan oleh banyak di antara kaum muslimin sekalipun. Rutinitas membaca al-Qur’an pun terkalahkan oleh hoby membaca komik, kegemaran menonton televisi, dan bermain game yang tidak mendidik. Padahal al-Qur’an menyimpan obat bagi penyakit-penyakit hati. Ia menjadi rahmat bagi manusia yang beriman dan pelajaran bagi ulil albab. 

Sosok kepahlawanan para pendahulu yang salih diantara umat ini pun tersingkir oleh pahlawan fiktif dan tokoh-tokoh khayalan. Hal ini tidaklah terjadi kecuali disebabkan kesalahan manusia dan masyarakat itu sendiri. Allah berfirman, 

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d : 11)

Maka minimnya suasana tarbawi dan kurangnya pembinaan nilai-nilai agama di tengah keluarga dan masyarakat secara umum adalah fenomena yang timbul akibat kurangnya perhatian kita terhadap ilmu agama dan sikap meremehkannya. Padahal ilmu agama ini adalah ‘panglima’ bagi seluruh ucapan dan amal perbuatan hamba. Mungkin kita masih ingat perkataan emas Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya yaitu Bab Ilmu sebelum ucapan dan amalan.

Di masa pandemi ini, tidaklah berlebihan kalau para orang tua kembali memberikan perhatian besar kepada pembinaan ruhiyah anak-anaknya. Karena rumah anda adalah sekolah pertama bagi generasi penerus bangsa. Keteladanan dan bimbingan dari orang tua akan memberikan pengaruh besar ke dalam pertumbuhan dan keadaan anak setelah taufik dari Allah kepadanya. Karena itu Islam mengajarkan kepada para orang tua untuk memerintahkan anak-anak untuk mulai mengerjakan sholat walaupun usianya masih belia. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarkan aqidah kepada anak kecil di antara para sahabatnya. 

Para orang tua hendaknya belajar kembali tentang Islam dengan pemahaman yang benar. Karena tidaklah Islam itu terbatas hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa memahami isi dan konsekuensinya. Sebagaimana yang dijelaskan para ulama bahwa islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Islam dan tauhid inilah agama yang diajarkan oleh setiap nabi kepada umatnya, walaupun syari’at mereka berbeda-beda. 

Islam tegak di atas tauhid; yaitu pemurnian ibadah kepada Allah dan meninggalkan syirik kepada-Nya. Tauhid ini pula yang menjadi tujuan penciptaan segenap jin dan manusia. Allah berfirman, 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). 

Seorang ulama besar binaan manusia terbaik dan teladan bagi para pemuda Islam yaitu Ibnu Abbas menafsirkan maksud ayat ini bahwa maksud beribadah kepada Allah adalah dengan mentauhidkan-Nya, sebagaimana disebutkan al-Baghawi dalam tafsirnya.

Tauhid ini pula perintah terbesar di dalam agama. Hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh setiap insan kepada Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أن يعبدوه ولا يشركو به شيأ

“Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sudahkah para orang tua belajar tentang tauhid dan mengajarkan tauhid ini kepada keluarganya? 

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Solatku dan Seluruh Aktifitas Hidupku Hanya Untuk Allah!

Allah swt berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.Al-An’am:162)

Tentu ayat ini tak asing ditelinga kita. Sebuah ayat yang bagi sebagian kaum muslimin dijadikan sebagai doa pembuka ketika memulai solatnya. Ayat yang mungkin telah kita hafal begitu lama, tapi pernahkah kita merenungkan maknanya?

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.”

Ayat ini menggabungkan antara ibadah dan seluruh aktifitas kehidupan, bahkan detik-detik akhir dalam hidup kita hendaknya diniatkan untuk Allah swt. Dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.

Ya, hanya untuk Allah swt ! Bukan untuk mengikuti trend, adat ataupun pemikiran manusia !

Ayat ini ingin membongkar pemikiran sempit yang menganggap agama hanya ada di mimbar-mimbar dan masjid-masjid…

Ayat ini secara gamblang ingin mengajarkan bahwa :

Dimanapun aku berada…
Solatku…
Ibadahku…
Seluruh aktifitas hidupku…
Bahkan detik-detik akhir kematianku…

Hanya untuk Allah swt…
Akan selalu berada dijalan Allah swt…
Dan tidak pernah lepas dari syariat Allah swt…

Karena Islam bukan hanya mengajarkan kepada kita cara solat dan berpuasa. Tapi Islam sedang membimbing dan mengajarkan dalam seluruh aspek kehidupan agar kita menjadi manusia yang benar-benar layak disebut manusia.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Inilah Dakwah Para Utusan Allah

Allah Ta’ala berfirman, 

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh-sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa hikmah diutusnya para rasul adalah dalam rangka mengajak umat mereka untuk beribadah kepada Allah semata dan melarang dari peribadatan kepada selain-Nya. (Lihat al-Jami’ al-Farid lil As’ilah wal Ajwibah fi ‘Ilmi at-Tauhid, hal. 10)

Ketika menerangkan kandungan ayat 36 dari surat an-Nahl di atas Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa hikmah diutusnya para rasul adalah supaya mereka mendakwahi kaumnya untuk beribadah kepada Allah semata dan melarang dari beribadah kepada selain-Nya. Selain itu, ayat ini menunjukkan bahwa -tauhid- inilah agama para nabi dan rasul, walaupun syari’at mereka berbeda-beda.” (Lihat Fat-hul Majid, hal. 20)

Adapun istilah thaghut, para ulama menjelaskan bahwa thaghut mencakup segala sesuatu yang disembah selain Allah dan dia ridha dengannya. Oleh sebab itu, sebagian salaf menafsirkan thaghut dengan dukun-dukun/paranormal, ada juga yang menafsirkan thaghut dengan setan. 

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah memberikan pengertian yang cukup lengkap tentang thaghut. Beliau mengatakan, bahwa thaghut ialah segala hal yang membuat seorang hamba melampaui batas dengan cara disembah, diikuti, atau ditaati. Demikian sebagaimana dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah. (Lihat Fat-hul Majid, hal. 19)

Di dalam kalimat ‘sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’ terkandung itsbat (penetapan) dan nafi (penolakan). Yang dimaksud itsbat adalah menetapkan bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Dan yang dimaksud nafi adalah menolak sesembahan selain Allah. Kedua hal inilah yang menjadi pokok dan pilar kalimat tauhid “laa ilaha illallah”. Dalam “laa ilaaha” terkandung nafi dan dalam “illallah” terkandung itsbat. Sebagaimana dalam ‘sembahlah Allah’ terkandung itsbat dan pada kalimat ‘jauhilah thaghut’ terkandung nafi. (Lihat at-Tam-hiid, hal. 14)

Di dalam kalimat ‘jauhilah thaghut’ terkandung makna yang lebih dalam daripada sekedar ucapan ‘tinggalkanlah thaghut’. Karena di dalamnya terkandung sikap meninggalkan syirik dan menjauhkan diri darinya. (Lihat ad-Dur an-Nadhidh, hal. 11)

Di dalam kalimat ‘jauhilah thaghut’ juga terkandung makna untuk meninggalkan segala sarana yang mengantarkan kepada syirik. (Lihat I’anatul Mustafid, 1/36)

Ayat di atas -dalam surat an-Nahl ayat 36- juga memberikan faidah kepada kita bahwasanya amal tidaklah benar kecuali apabila disertai dengan sikap berlepas diri dari peribadatan kepada segala sesembahan selain Allah Ta’ala. (Lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4)

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Pahala Tidur di Awal Malam

Nabi SAW menganjurkan agar kaum mukmin tidur di awal malam.

Secara normatif, tidur bukan pekerjaan aktif manusia, namun pekerjaan aktif Allah SWT. Karena itu sejatinya seseorang bukan tidur tapi dibuat tertidur oleh Allah SWT dengan sebab kantuk dan lelah. Allah SWT berfirman, “Dan Dialah yang menidurkan kalian di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari.” (QS. al-An’am/6: 60).

Begitu juga bangun dari tidur, manusia dibangunkan dari tidur oleh Allah SWT atas kuasa-Nya, “Kemudian Dia membangunkan kalian pada siang hari.” (QS. al-An’am/6: 60). Dengan demikian, tidur dan bangun itu adalah kehendak Allah SWT. Terkait dengan tidur, Nabi SAW menganjurkan agar kaum mukmin tidur di awal malam.

Bersumber dari Abu Bazrah, diungkapkan bahwa,  “Nabi SAW tidak suka tidur sebelum shalat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari). Ada dua informasi yang didapat dari atsar ini. Pertama, Nabi SAW tidak tidur sebelum Isya. Kedua, Nabi SAW tidur setelah Isya atau di awal malam dan tidak suka kongkow-kongkow.

Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada Allah.” (HR. Bukhari). Dalam konteks ini, pahala tidur di awal malam adalah karena menaati perintah Nabi SAW tersebut. Selain banyak pahala lain yang mengikutinya.

Lebih tegas lagi, Nabi SAW bersabda, “Tidak ada perbincangan (sesudah shalat Isya), kecuali bagi orang yang sedang shalat atau orang bepergian.” (HR. Turmudzi). Secara implisit Nabi SAW mengajarkan apabila tidak ada kebutuhan yang sangat penting, sebaiknya seorang mukmin tidur di awal malam agar bisa bangun pada dua pertiganya.  

Tidur di awal malam berarti memperpanjang waktu tidur yang memang harus digunakan secara maksimal hingga mencapai dua pertiganya. Allah SWT berpesan, “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untuk kalian malam dan siang, supaya kalian beristirahat pada malam itu.” (QS. al-Qashash/28: 73).  Sepertiganya digunakan untuk beribadah hingga pagi.

Bangun pada dua pertiga malam itu lebih mudah dilakukan apabila seorang mukmin tidur di awal malam. Maka itu, bagi yang selama ini masih merasa berat untuk bangun pada dua pertiga malam, maka cobalah tidur di awal malam agar bisa menunaikan shalat Tahajud dan rangkaian ibadah sunah lainnya seperti berzikir dan membaca Alquran.

Selain itu, aktivitas tidur di awal malam itu sendiri harus diniatkan  untuk beribadah agar berpahala sepanjang tidur tersebut. Sebab, menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, ada dua macam kematian. Pertama, kematian kecil yang disebut dengan tidur. Kedua, tidur yang tidak bangun lagi selama-lamanya, ini adalah kematian besar.

Terkait kematian besar dan kecil, Allah SWT berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.  Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.” (QS. al-Zumar/39: 42).

Dalam kehidupan keseharian, orang yang tidur di awal malam dan bangun pada dua pertiganya tampak lebih cerah mukanya, muda dan sehat. Hal ini logis, karena dia tidur di saat prime time sehingga tidurnya berkualitas. Begitu juga saat dia bangun, mandi dan berwudhu dengan menggunakan air segar pertama pada hari itu.

Inilah kiranya pahala lain  bagi orang yang tidur di awal malam dan bangun pada dua pertiganya. Semoga Allah SWT memberikan anugerah besar ini kepada kita agar dapat mengamalkan yang Rasulullah SAW sunahkan. Sebab  setiap sunah yang diimplementasikan berujung pada diberinya pahala dari Allah SWT. Aamiin.

Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Inilah Manfaat Dzikir yang Luar Biasa

Inilah manfaat dzikir yang luar biasa. Coba deh kaji keutamaannya dari hadits jaami’ al-‘ulum wa al-hikam ini.

Hadits Ke-50 dari Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab

الحَدِيْثُ الخَمْسُوْنَ

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ قَالَ : أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجُلٌ ، فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيْنَا ، فَبَابٌ نَتَمَسَّكُ بِهِ جاَمِعٌ ؟ قال : (( لاَ يَزالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللهِ – عَزَّ وَجَلَّ – )) خَرَّجَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ بِهَذَا اللَّفْظِ .

Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam (amalan sunnah) itu amat banyak yang mesti kami jalankan. Maka mana yang mesti kami pegang (setelah menunaikan yang wajib, pen.)?” Beliau menjawab, “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berdzikir kepada Allah (maksudnya: terus meneruslah berdzikir kepada Allah, pen).” (HR. Ahmad dengan lafazh seperti ini) [HR. Ahmad, 4:188; Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ibnu Hibban, no. 2317; Al-Hakim, 1:495. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat pula penjelasan hadits ini dalam Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh At-Tirmidzi, 9:305].

Faedah hadits

Pertama: Para sahabat begitu bersemangat dalam bertanya berkaitan dengan urusan agama mereka.

Kedua: Allah memerintahkan kita untuk banyak berdzikir. Allah juga memuji orang yang banyak berdzikir tersebut.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا , وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42)

وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdzikir (mengingat) Allah pada setiap waktunya.” (HR. Bukhari, no. 19 dan Muslim, no. 737)

Yang dimaksud banyak berdzikir di sini adalah berdzikir ketika berdiri, berjalan, duduk, berbaring, termasuk pula dalam keadaan suci dan berhadats.

Ketiga: Para ulama menghitung dzikir dengan jarinya.

Khalid bin Ma’dan bertasbih setiap hari 40.000 kali. Ini selain Al-Qur’an yang beliau baca. Ketika ia meninggal dunia, ia diletakkan di atas ranjangnya untuk dimandikan, maka isyarat jari yang ia gunakan untuk menghitung dzikir masih terlihat.

Ada yang bertanya pada ‘Umair bin Hani, bahwa ia tak pernah kelihatan lelah untuk berdzikir. Ketika ditanya berapa jumlah bacaan tasbih beliau, ia jawab bahwa 100.000 kali tasbih dan itu dihitung dengan jari jemari.

Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami, ‘Hendaknya kalian bertasbih (ucapkan subhanallah), bertahlil (ucapkan laa ilaha illallah), dan bertaqdis (mensucikan Allah), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.’” (HR. Tirmidzi, no. 3583; Abu Daud, no. 1501 dari hadits Hani bin ‘Utsman dan disahihkan oleh Adz-Dzahabi. Sanad hadits ini dikatakan hasan oleh Al-Hafizh Abu Thahir).

Keempat: Jika seseorang telah benar-benar mengenal Allah, ia akan berdzikir tanpa ada beban sama sekali.

Kelima: Berdzikir adalah kelezatan bagi orang-orang benar-benar mengenal Allah. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)

Keenam: Ada keutamaan berdzikir saat orang-orang itu lalai.

Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 524). Di sini dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.

Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al-Hambali setelah membawahkan perkataan Abu ‘Ubaidah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Ibnu Rajab pun menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat berjumpa di pasar. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.” Mereka pun menepi dan menjauh dari keramaian, lantas mereka pun mengingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi temannya. Di mimpi tersebut, temannya berkata, “Aku merasakan bahwa Allah mengampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pasar (dan lantas mengingat Allah).” Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:524.

Ketujuh: Allah telah mewajibkan pada kaum muslimin untuk berdzikir kepada Allah pada siang dan malam dengan mengerjakan shalat lima waktu pada waktunya. Dari shalat lima waktu itu ada shalat rawatib (qabliyah dan bakdiyah), di mana shalat rawatib itu berfungsi sebagai penutup kekurangan atau sebagai tambahan dari yang wajib.

Kedelapan: Antara shalat Isya dan shalat Shubuh ada shalat malam dan shalat witir. Antara shalat Shubuh dan shalat Zhuhur ada shalat Dhuha.

Kesembilan: Dzikir dengan lisan disunnahkan setiap waktu dan ada yang dianjurkan pada waktu tertentu seperti:

  • Dzikir bakda shalat wajib.
  • Dzikir pagi dan petang pada bakda shubuh dan bakda ashar (yang tidak ada shalat sunnah setelah dua shalat tersebut).
  • Dzikir sebelum tidur, dianjurkan berwudhu sebelumnya.
  • Dzikir setelah bangun tidur.
  • Beristighfar pada waktu sahur.
  • Dzikir ketika makan, minum, dan mengambil pakaian.
  • Dzikir ketika bersin.
  • Dzikir ketika melihat yang lain terkena musibah.
  • Dzikir ketika masuk pasar.
  • Dzikir ketika mendengar suara ayam berkokok pada malam hari.
  • Dzikir ketika mendengar petir.
  • Dzikir ketika turun hujan.
  • Dzikir ketika turun musibah.
  • Dzikir ketika safar.
  • Dzikir ketika meminta perlindungan saat marah.
  • Doa istikharah kepada Allah ketika memilih sesuatu yang belum nampak kebaikannya.
  • Taubat dan istighfar atas dosa kecil dan dosa besar.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Siapa yang menjaga dzikir pada waktu-waktu tadi, dialah yang disebut orang yang rajin berdzikir kepada Allah pada setiap waktunya.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:529)

Mayoritas bahasan di atas diambil dari Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam pada bahasan hadits ke-50.

Tulisan ini jadi bahasan terakhir kajian Hadits Arbain dan Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam.

Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. 

Referensi:

  1. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.
  2. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  3. Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh At-Tirmidzi. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Al-Imam Al-Hafizh Abul ‘Ula Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al-Mubarakfuri. Penerbit Darul Fayhan & Darus Salam.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Kekuatan Doa yang Mengantarkan Erick Yusuf Berhaji

Ustaz Erick Yusuf memiliki kisah menarik ketika berhaji maupun umroh. Erick sebenarnya ingin umroh dan berhaji sejak muda, namun dia bingung karena tidak memiliki cukup uang untuk umroh apalagi berhaji.

Berhaji membutuhkan biaya yang sangat besar, karena benar Allah memerintahkan haji itu untuk yang mampu. Namun kemampuan ini tak lantas berhenti dari tidak memiliki uang semata.

Allah akan memampukan hamba-Nya dari arah yang tidak disangka-sangka. Untuk itu Erick terus memantaskan diri dengan menguatkan niat. “Saya akhirnya berusaha untuk memantaskan diri, dengan menguatkan niat dan berazam dengan cara lain memasang gambar poster Baitullah di depan kamar, di depan tempat tidur sehingga sebelum tidur dan bangun tidur tekad kuat terus terasa,” ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (4/8).

Erick terus memohon kepada Allah setiap bangun tidur dan di setiap shalatnya agar diizinkan pergi ke Baitullah. Setiap hari Erick memantaskan diri dengan mempelajari tata cara berhaji dan terkait tentang permasalahan selama berhaji.

Setelah membaca buku-buku tentang haji, dia merasa seakan-akan besok akan pergi ke Baitullah. Alhamdulillah, tidak berapa lama dia memantaskan diri Allah memenuhi doa-doanya.

Di lingkungan tempat tinggalnya, saat itu ada yang mengadakan manasik haji. Namun ustaz pembimbingnya berhalangan hadir, sehingga dia diminta untuk menggantikannya.

Meski hanya memberikan materi manasik, dia merasa doanya telah diijabah oleh Allah SWT. Dia optimistis, ketika diminta untuk membimbing manasik, Allah pasti akan memberikan hal yang lebih besar untuk dia.

Benar saja, tidak beberapa lama dia pun diajak untuk umroh tanpa biaya. Saat umroh, dia pun terus berdoa agar bisa kembali ke tanah suci untuk berhaji. Tidak berapa lama, dia pun mendapatkan panggilan Allah untuk berhaji dan tanpa biaya juga.

“Saya ingin berbagai bahwa kekuatan keistiqamahan dengan doa yang berulang itu, insya Allah akan di dengar Allah SWT. Karena tak hanya berdoa, saya juga dahulu berusaha untuk menyisihkan penghasilan untuk menabung dan digunakan untuk berhaji,” ujar dia.

Dengan berniat dan mencintai amalan ini, bahwa berhaji hanya karena Allah, maka kita meyakini bahwa Allah akan mengabulkannya. Allah akan membuka pintu langitnya dan kemudian akan turun pertolongan dari pintu langit tersebut.

Selama berhaji, ada dua pengalaman menarik yang meninggalkan kesan hingga saat ini. Saat itu adalah waktunya bermalam di Mina dan cuaca terasa panas.

Sehingga dia bersama beberapa orang memilih untuk duduk-duduk di luar sembari berzikir. Ketika sedang membaca Alquran, dia bertemu jamaah haji lain, berkenalan kemudian berbincang hingga curhat.

“Dia cerita kalau di masa lalu dia adalah seorang perampok dan sering merampok truk pembawa barang, meski telah haji berkali-kali dan bertaubat tetapi hatinya tidak tenang dan merasa khawatir hingga saat itu,” jelas dia.

Subhanallah, ada seorang jamaah yang juga mendengar kisahnya, dan ternyata mengenal pria mantan perampok ini. Dia pun memastikan nama mantan perampok itu dan kejahatan yang dilakukannya.

Ternyata jamaah yang bertanya itu adalah salah seorang korban perampokannya di masa lalu. Dia masih ingat betul tentang peristiwa perampokan tersebut, dia yang sedang mengemudi truk penuh dengan barang.

Sejak keduanya saling mengenali, mereka saling berpelukan dan meminta maaf satu dengan lainnya. Mantan perampok ini kini bisa berlega hati karena bisa mendapatkan maaf dari korbannya.

Kisah lainnya adalah ketika Erick wukuf di Arafah. Saat itu dia sedang khataman Alquran dan berzikir. Ustaz Erick kemudian bermunajat kepada Allah hingga rasanya tak berjarak dengan Allah.

“Saat itu rasanya saya telah siap untuk meninggal dunia, bahkan saya meminta dimatikan saat itu juga, namun tetiba terlintas di benak saya, istri dan anak-anak saya, kemudian saya langsung beristighfar,”ujar dia.

Bahwa tidak boleh seorang Muslim untuk meminta kematian, Erick segera merubah doa dan niatnya bahwa untuk diberikan kebaikan. Sebagai Muslim tidak boleh egois apalagi jika telah diamanahkan tanggung jawab untuk menjaga istri dan anak. Hal ini menjadikan dia lebih dekat dengan Allah SWT.

IHRAM