Pahala Infak Melimpah Ruah, Apalagi untuk Jihad Agama Allah

Pahala infak untuk menegakkan syiar agama Allah SWT akan berlipat ganda.

Jihad di jalan Allah SWT begitu besar pahalannya. Pahala jihad akan dilipat gandakan ratus ribuan kali lipat ketika berinfak sambil berjihad.  

Syekh Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi dalam kitabnya “Hayatus Sahabah” mengatakan bahwa Thabrani meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra, Rasulullah SAW bersabda: 

“Berbahagialah orang yang memperbanyak berdzikir kepada Allah saat berjihad di jalan Allah.  Karena sesungguhnya, untuk setiap kalimat yang diucapkannya, akan dikaruniai pahala sebanyak 70 ribu kebaikan. Setiap kebaikan akan digandakan 10 kali lipat dan di sisi Allah masih terdapat tambahannya.”

Maka dikatakan kepada Rasulullah SAW, “wahai Rasulullah! Bagaimana kalau infak?” Rasulullah menjawab “infak mendapat pahala seperti itu juga.”

Abdurrahman berkata: “Aku berkata kepadamu Muadz, sesungguhnya infak yang dilakukan akan digandakan 700 kali lipat. 

Muadz berkata, “Amat rendah kepahamanmu! Itu adalah ganjaran untuk orang yang berinfak, sedangkan mereka duduk di rumah tanpa keluar menyertai perang. Apabila mereka keluar berperang dan berinfak. Allah akan memberi ganjaran dari Khazannah-Nya yang tidak diketahui oleh para hamba-Nya dan tidak bisa diungkapkan oleh mereka. Mereka adalah golongan Allah dan golongan Allah lah yang akan berjaya.”

Al-Haitsami berkata dalam sanadnya terdapat seorang laki-laki yang tidak disebut.  

Diriwayatkan al Qazwini  secara majhul dan mursal sebagaimana tersebut dalam Jamul Fawaid dari Hasan, dari Ali, Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Umamah, Ibnu Amr Bin al-‘ash, Jabir dan, Imran bin Hushain  mereka semua memarfu’kannya (hadits marfu’).  

“Barangsiapa yang mengantarkan infak di jalan Allah dan tinggal di rumahnya, maka untuk setiap di dirhamnya akan digandakan pahalanya sebanyak 700 diram. Barangsiapa yang berperang dijalan Allah dan berinfak semata-mata karena Allah maka untuk setiap dirham akan digandakan pahalanya sebanyak 700 ribu dirham. Kemudian beliau membaca ayat berikut. 

وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.”

Berinfak dan berjihad telah dilakukan Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhah, Abdurrahman bin Auf, al-Abbas Said bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah, Ashim bin Adi dan banyak sahabat lainnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jauh Dari Al-Qur’an, Bagai Jasad Tanpa Ruh

Allah Swt Berfirman :

ٱلرَّحۡمَٰنُ – عَلَّمَ ٱلۡقُرۡءَانَ – خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ

“(Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia.” (QS.Ar-Rahman:1-3)

Surat Ar-Rahman adalah surat yang memiliki bermacam kemuliaan dan keagungan. Tak hanya itu, banyak pula fadilah dan keutamaan yang luar biasa bila kita membacanya.

Uniknya, dalam ayat ini Allah Swt mendahulukan nikmat pengajaran Al-Qur’an sebelum nikmat penciptaan manusia.

عَلَّمَ ٱلۡقُرۡءَانَ – خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ

“Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia.”

Karena Al-Qur’an berisi tentang kehidupan Ruh, sementara penciptaan manusia berkaitan dengan kehidupan jasad.

Lalu apa nilai jasad tanpa Ruh?

Karena itu Allah Swt menamakan Al-Qur’an sebagai Ruh.

Allah Swt berfirman :

وَكَذَٰلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحٗا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِي مَا ٱلۡكِتَٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَٰنُ وَلَٰكِن جَعَلۡنَٰهُ نُورٗا نَّهۡدِي بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَاۚ وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) rµh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS.Asy-Syura:52)

Maka jelas siapapun yang menjauh dari Al-Qur’an dan berpaling darinya maka dia lah manusia yang “kehilangan” Ruhnya.

Dia tuli walau telinganya bisa mendengar…

Dia bisu walau lisannya bisa berbicara…

Dia buta walau matanya bisa melihat…

صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡيٞ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ

“Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali.” (QS.Al-Baqarah:18)

Dia sebenarnya adalah mayat walau berjalan di atas bumi…

إِنَّكَ لَا تُسۡمِعُ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَلَا تُسۡمِعُ ٱلصُّمَّ ٱلدُّعَآءَ إِذَا وَلَّوۡاْ مُدۡبِرِينَ

“Sungguh, engkau tidak dapat menjadikan orang yang mati dapat mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka telah berpaling ke belakang.” (QS.An-Naml:80)

Selama Al-Quran adalah kitab petunjuk, cahaya, rahmat serta barokah maka siapapun yang menjauh darinya maka ia menjauh dari sifat-sifat itu. Lalu bagaimana seseorang dapat hidup tanpa petunjuk, cahaya, rahmat dan barokah?

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Suami di PHK, Istri Boleh Minta Cerai

AKHIR-AKHIR ini banyak orang yang kehilangan pekerjaannya sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Perusahaan tempat mereka bekerja tutup. Angka perceraian dikabarkan meningkat. Bagaimana ajaran Islam mengenai hal itu?

FIQIH mengatur segala aspek kehidupan manusia agar sesuai dengan syariat (syar’i). Baik kehidupan pribadi maupun hubungannya dengan makhluk lain. Selama 24 jam dalam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Kelak, semua itu harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Sementara Akhlak Mahmudah adalah tabiat, tingkah laku atau perangai baik dan patut, yang harus dijaga oleh setiap muslim agar senantiasa terjaga keharmonisan hubungan dengan makhluk di sekitarnya, khususnya antar sesama manusia.

Dalam hal pernikahan, misalnya;

Ketika suami tidak mampu menafkahi istri dan anak-anaknya dengan baik, entah karena ia belum mendapat pekerjaan yang layak, atau tertimpa musibah PHK, maka istri boleh meminta cerai darinya.

Meminta cerai dari suami dalam kasus di atas itu “Syar’i, Tapi Tidak Patut.”

Mengapa?

Sebab rumah tangga dibangun untuk menciptakan ‘sakinah’ (ketentraman/kenyamanan). Dan ‘sakinah’ akan tercipta ketika suami-istri saling mengokohkan di saat yang lain rapuh. Saling menopang di saat yang lain terpuruk. Bukan meninggalkan di saat pasangannya tertimpa musibah.

Wallahu A’lam Bishshawab. [Aini Aryani, Lc]

INILAH MOZAIK

Pahala Membaca Surah Al Ikhlas

Sesungguhnya surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga Alquran.

Ada pahala bagi siapa saja yang membaca surah al-Ikhlas. Nabi SAW bersabda, “Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga Alquran.” (HR. Bukhari). Itu artinya bagi yang membacanya akan mendapat ganjaran pahala seperti membaca sepertiga Alquran.

Namun Nabi SAW tidak memberi rekomendasi untuk membaca tiga kali surah al-Ikhlas dan tidak perlu lagi membaca surah-surah lainnya. Dalam konteks ini, Nabi SAW sedang menunjukkan bahwa setiap surat di dalam Alquran  memiliki kelebihan masing-masing. Informasi ini diharapkan jadi motivasi.

Secara sosio-histrois, seperti yang ditulis oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, surah al-Ikhlas turun terkait dengan pertanyaan orang-orang musyrik kepada Nabi SAW, “Gambarkanlah kepada kami bagaimana Tuhanmu itu?”  Lalu Allah SWT menurunkan surah ini, empat ayat sekaligus.

Ayat pertama surah al-Ikhlas adalah, “Katakanlah, “Dialah Allah Yang Maha Esa.” (QS. al-Ikhlas/112: 1). Terkait ayat ini, Syaikh Nawawi Banten dalam karya magnum-opus-nya, yakni Tafsir Munir mengutip cerita al-Dahhak tentang orang-orang musyrik yang mengutus Amir Ibnu Tufail untuk membujuk Rasullullah SAW.

Ibnu Tufail berkata, “Kamu telah mencaci-maki tuhan-tuhan sembahan kami dan kamu telah menentang agama nenek-moyang kami. Kalau kamu miskin, maka kami dapat membuat kamu kaya. Andaikata kamu gila, maka kami akan mengobatimu. Termasuk kalau kamu mencintai seorang wanita, kami kawinkan  kamu.”

Nabi SAW menjawab, “Aku bukanlah orang miskin, bukan pula orang gila, dan bukan juga seorang laki-laki sedang jatuh cinta kepada seorang wanita. Sungguh, aku adalah utusan Allah yang mengajak kamu menyembah Allah dan meninggalkan menyembah berhala.”  Sungguh tegas dan jelas jawaban Nabi SAW ini.

Namun justru orang-orang musyrik itu yang tidak puas atas jawaban Nabi SAW. Kembali mereka, tulis Syaikh Nawawi Banten, mengutus  Amir Ibnu Tufail untuk kedua kalinya. Mereka meminta Amir Ibnu Tufail menanyakan bahan dasar sesembahan Nabi SAW, apakah terbuat dari emas ataukah terbuat dari perak? Lalu turunlah surah ini.

Diceritakan, ketika mereka mengetahui bahwa Tuhan Nabi Muhammad SAW itu Mahaesa, mereka makin terperangah. Syaikh Nawawi Banten mengutip keheranan mereka, “360 berhala saja tidak cukup untuk memenuhi hajat kami, maka mungkinkah satu Tuhan dapat memenuhi segala kebutuhan seluruh makhluk?”

Pertanyaan ini dijawab oleh Allah SWT dengan menurunkan surah al-Shaffat/ :1-4), “Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya. Dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat).  Dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.”

Berdasar informasi di atas, jelaslah bahwa sesuai dengan namanya “Surah al-Ikhlas”, maka seorang muslim harus ikhlas mempertuhankan Allah SWT Yang Mahaesa. Nabi SAW diutus untuk memberi kabar gembira kepada seluruh penduduk bumi bahwa ada Tuhan yang betul-betul pantas disembah untuk dijadikan Tuhan sekalian alam.

Ikhlas dalam konteks ini, sistem ketuhanan Allah SWT memenuhi keingin hati manusia dan tidak bertentangan akal sehat. Allah SWT berfirman, “Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlas/112: 2-4). Sudahkah kita membaca surah al-Ikhlas?

Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Jadwal Puasa Sunnah Bulan Muharram, Ayo Panen Pahalanya!

Puasa di hari Asyura pada bulan Muharram bisa menggugurkan dosa selama satu tahun.

Bulan Muharram memiliki keistimewaan karena di dalamnya ada hari penting agar umat Muslim dianjurkan berpuasa yakni pada hari Asyura. Fadilah yang didapatkan bagi seorang Muslim yang Puasa Asyura sangat besar karena keutamaannya dapat menggugurkan dosa selama setahun.

Seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah RA, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda: “Puasa di hari Asyura, sungguh saya mengharap kepada Allah bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu,” (H.R. Abu Daud).

Berikut jadwal puasa sunnah di Bulan Muharram:

1. Kamis, 8 Muharram/ 27 Agustus : Puasa Kamis
2. Jumat, 9 Muharram/ 28 Agustus: Puasa Tasu’a
3. Sabtu, 10 Muharram/ 29 Agustus: Puasa ‘Asyura
4. Ahad, 11 Muharram/ 30 Agustus: Puasa Setelah ‘Asyura
5. Senin, 12 Muharram/ 31 Agustus: Puasa Senin
6. Selasa, 13 Muharram/ 1 September: Puasa Ayamul Bidh
7. Rabu, 14 Muharram/ 2 September: Puasa Ayamul Bidh
8. Kamis, 15 Muharram/ 3 September: Puasa Ayamul Bidh & Puasa Kamis.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hakikat Amal Shalih

Dua Syarat Amal Shalih

Semua bentuk ibadah baik lahir maupun batin harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sehingga setiap amalan yang tidak ikhlas untuk mencari wajah Allah maka itu adalah batil. Demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tertolak. Amalan yang memenuhi kedua syarat inilah yang diterima di sisi Allah Ta’ala. (lihat ad-Durrah al-Fakhirah fit Ta’liq ‘ala Manzhumah as-Sair ila Allah wad Daril Akhirah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 15)

Kedua syarat ini telah tercakup di dalam ayat,

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُواْ نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Benar, barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dalam keadaan dia berbuat ihsan/kebaikan, maka baginya pahala di sisi Rabbnya, dan mereka tidak akan takut ataupun bersedih.” (QS. Al-Baqarah: 112)

Kalimat “memasrahkan wajahnya kepada Allah” artinya niat dan keinginannya semata-mata untuk Allah; yaitu dia mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah. Adapun “dia berbuat ihsan” maksudnya adalah mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi bid’ah. (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar ‘ala al-Qashidah an-Nuniyah karya Syaikh Shalih al-Fauzan, 2/824-825) 

Dengan demikian hakikat amal salih itu adalah yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah disebut sebagai amal salih yang sebenarnya kecuali apabila memenuhi kedua syarat ini. Dikarenakan begitu pentingnya ikhlas dalam beribadah maka Allah menegaskan hal itu secara khusus dalam firman-Nya,

فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Dan ketika jelas bagi kita bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta ini maka tidak layak Allah dipersekutukan dalam hal ibadah dengan siapa pun juga. (lihat Tafsir Surah al-Kahfi karya Syaikh al-Utsaimin, hal. 153)  

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya. (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ 

“Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selain-Ku bersama diri-Ku maka Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, 

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama] kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.”

Di dalam riwayat Muslim, 

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnul Majisyun berkata, Aku pernah mendengar Malik berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Sebab Allah berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian.” 

Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu bukan termasuk agama.” (lihat al-I’tisham, [1/64-65])

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya. (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113)

Pentingnya Ikhlas

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini -ikhlas dan mengikuti tuntunan- atau salah satunya maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah Ta’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

‘Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka perbuat kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23).” (lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal. 14 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid (Jilid 1, hal. 60-61).

Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat “laa ilaha illallah” bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat “Muhammad rasulullah” bermakna kita harus mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1, hal. 61)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan sholat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan akan tetapi tanpa keikhlasan maka tidak ada faidah pada amalnya itu; karena itulah dibutuhkan keikhlasan … ” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 17-18)

Perintah Mengikuti Sunnah

Di dalam hadits Irbadh bin Sariyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى

“Hendaklah kalian berpegang dengan Sunnahku …” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata : hadits ini hasan sahih). 

Yang dimaksud dengan istilah “sunnah” di sini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya janganlah kalian mengada-adakan di dalam agama ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari ajarannya dan jangan keluar dari syari’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh al-Arba’in oleh al-Utsaimin, hal. 302)

Dengan demikian istilah “sunnah” di sini bermakna umum mencakup keyakinan, amalan, dan ucapan. Inilah sunnah dengan makna yang lengkap. Oleh sebab itu para ulama salaf tidak memakai istilah sunnah kecuali dengan maksud yang mencakup ini semua/seluruh ajaran agama. Kemudian para ulama belakangan setelah mereka sering menggunakan istilah “sunnah” dengan makna yang lebih khusus yaitu yang berkaitan dengan urusan akidah atau keyakinan. Hal ini bisa dipahami karena masalah akidah merupakan pondasi agama sehingga orang yang menyimpang dalam perkara ini berada dalam bahaya yang sangat besar. (lihat Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, hal. 333)

Istilah “sunnah” inilah yang sering kita dengar dalam penyebutan ahlus sunnah wal jama’ah. Sebab sunnah di sini maknanya adalah jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum munculnya berbagai bentuk bid’ah dan pendapat-pendapat yang menyimpang. Adapun istilah “jama’ah” di sini maksudnya adalah orang-orang yang berkumpul di atas kebenaran yaitu para sahabat dan tabi’in; para pendahulu yang salih dari umat ini (lihat Syarh al-Wasithiyah oleh Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 61 tahqiq Alawi Abdul Qadir as-Saqqaf)

Semoga yang singkat ini bermanfaat. Wallahul muwaffiq.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Ternyata Puasa di Bulan Syuro Adalah Puasa Paling Afdol Setelah Puasa Ramadhan

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam ‘ala Rasulillah wa ba’du.

Bulan Syuro atau dalam kalender Islam disebut bulan Muharram, yang dikenal mistis atau sial ini, ternyata menyimpan limpahan keberkahan. Menepis anggapan khurofat yang telah membudaya di masyarakat tanah air. Di antara lapis-lapis keberkahan di bulan Syuro adalah melakukan puasa di bulan ini, nilai pahalanya, puasa paling afdhol setelah puasa Ramadhan.

Dalilnya hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

“Puasa yang paling afdol setelah puasa Ramadhan adalah puasa yang dilakukan di bulannya Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan hadis di atas dengan menukil pernyataan Abu Ubaid.

قال أبو عبيد: إنَّما نسبه إلى الله عز وجل- والشُّهور كلها له – لتشريفه وتعظيمه ، وكل معظم ينسب إليه

“Abu Ubaid menerangkan: “Bulan Muharram dinisbatkan oleh Nabi kepada Allah Yang Maha Mulia padahal seluruh bulan adalah milik Allah, untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungan bulan ini. Segala yang mulia, selalu dinisbatkan kepada Allah.” (Kasyful Musykil jilid 3, hal. 597, tahqiq: Dr. Ali Husain Al-Bawab)

Bagaimana dengan puasa di bulan Sya’ban? Bukankah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa di bulan tersebut sebagai indikasi afdolnya puasa di bulan Sya’ban?

Demikian yang diceritakan Aisyah radhiyallahu’anha.

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, hadis di atas bukan berarti puasa di bulan Sya’ban adalah yang terafdol setelah puasa Ramadhan, melebihi puasa bulan Muharram. Alasannya dijelaskan Imam Nawawi rahimahullah berikut.

قوله صلى الله عليه وسلم (أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّم) تصريح بأنَّه أفضل الشهور للصَّوم، وقد سبق الجواب عن إكثار النَّبي صلى الله عليه وسلم من صوم شعبان دون المُحرَّم وذكرنا فيه جوابين، أحدهما: لعله إنِّما علم فضله في آخر حياته. والثاني: لعله كان يعرض فيه أعذار من سفر أو مرض أو غيرهما

“Sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam, “Puasa yang paling afdol setelah puasa Ramadhan adalah puasa yang dilakukan di bulannya Allah, yaitu Muharram” adalah sebagai dalil tegas bahwa bulan Muharram adalah bulan paling afdol untuk melakukan puasa. Telah kami jelaskan jawaban pertanyaan tentang Nabi memperbanyak puasa di bulan Sya’ban bukan di bulan Muharram, kami paparkan dua poin jawaban:

Pertama, bisa jadi Nabi shalallahu alaihi wa sallam mengetahui keutamaan Muharram di akhir hayat beliau.

Kedua, atau saat bertemu dengan bulan Muharram, beliau sedang berada dalam kondisi uzur tidak puasa. Bisa karena safar, sakit, atau yang lainnya.”

(Shahih Muslim Bi Syarhi An-Nawawi 8/55)

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menambahkan penjelasan, bahwa pembagian afdoliyah puasa setelah puasa Ramadhan ada dua macam.

  1. Puasa bulanan yang paling afdol adalah puasa di bulan Muharram.
  2. Puasa harian yang paling afdol adalah puasa di hari-hari khusus yang dianjurkan puasa, seperti puasa Arofah, puasa Syawal, dan lain-lain.

Dalam kitab karyanya yang berjudul Lathoiful Ma’arif, beliau rahimahullah menjelaskan:

وهذا الحديث صريحٌ في أنَّ أفضل ما تُطوع به من الصِّيام بعد رمضان صوم شهر الله المحرَّم، وقد يحتمل أن يراد : أنَّه أفضل شهر تطوع بصيامه كاملا بعد رمضان، فأمَّا بعض التَّطوع ببعض شهر فقد يكون أفضل من بعض أيامه كصيام يوم عرفه، أو عشر ذي الحجة، أو ستة أيام من شوال، و نحو ذلك

“Hadis tersebut (tentang keutamaan puasa di bulan Muharram) sebagai dalil tegas bahwa puasa tathowwu’/sunah yang paling afdol setelah puasa Ramadhan adalah puasa yang dilakukan di bulannya Allah yaitu Muharram. Dan mungkin saja maksudnya adalah puasa di bulan Muharram adalah puasa bulanan penuh yang paling afdol setelah puasa di bulan Ramadhan. Adapun puasa pada sebagian hari yang terdapat dalam bulan-bulan maka pahalanya lebih afdol daripada puasa di hari yang selainnya, seperti puasa Arofah, puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa enam hari Syawal, dan yang lainnya.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 77, tahqiq: Yasin Muhammad Sawwas)

Puasa apa yang bisa kita lakukan di bulan Syuro ini?

Ya bisa puasa sunah yang populer seperti puasa Dawud, puasa Senin Kamis, puasa tiga hari setiap bulan, atau puasa Ayyamul Bidh.

Atau bisa juga puasa tathowwu’, yaitu berniat puasa sunah yang tidak terikat oleh hari. Atau bisa diisi dengan puasa Qodo’ bagi yang memiliki hutang puasa Ramadhan.

Wallahul muwaffiq.

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumnus Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta

KONSULTASI SYARIAH

Kalender Hijriyah 1422 dan Jadwal Puasa Sunnah Setahun

Islam tak bisa dilepaskan dari kalender hijriyah. Banyak ibadah, termasuk puasa sunnah, yang waktunya ditentukan dengan penanggalan ini. Inilah kalender hijriyah 1422 dan jadwal puasa sunnah setahun. Juga disertai dengan sejarah kalender hijriyah.

Sejarah Kalender Hijriyah

Bagaimana sejarah kalender hijriyah? Ia memiliki nilai historis dan filosofis yang penuh semangat. Dari namanya saja tercermin spirit perubahan. Hijrah.

Arab Tanpa Angka Tahun

Orang-orang Arab sebelum Islam dan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki angka tahun. Mereka biasa menamakan tahun dengan peristiwa besar yang terjadi saat itu.

Misalnya ada tahun yang disebut tahun gajah (amul fil) karena pada tahun tersebut terjadi peristiwa pasukan gajah di bawah pimpinan Abrahah yang akan menghancurkan Ka’bah. Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan kisahnya dalam Surat Al Fil.

Ada tahun yang disebut sebagai tahun fijar (amul fijar) karena pada tahun itu terjadi perang fijar. Ada tahun yang disebut tahun nubuwah karena pada tahun tersebut Rasulullah menerima wahyu. Ada tahun yang disebut amul huzni karena di tahun itu Rasulullah dan para sahabat bersedih setelah kehilangan dua orang yang berperan penting dalam dakwah yakni ummul mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha dan Abu Thalib. Dengan meninggalnya dua pembela dakwah itu, kafir quraisy semakin keras menindas kaum muslimin.

Demikian tahun demi tahun berjalan tanpa angka. Hingga pada tahun ketiga masa pemerintahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, datang satu masalah yang dialami oleh pejabat pemerintah. Ketiadaan angka tahun membuat sebagian pejabat pemerintah kesulitan.

Salah satunya adalah Gubernur Basrah Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengadukan kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab, “Wahai Amirul Mukminin, telah datang surat Anda kepada kami namun kami kesulitan menindaklanjutinya. DI surat tersebut tertulis bulan Sya’ban, namun kami tidak tahu apakah yang dimaksud adalah Sya’ban tahun ini atau Sya’ban tahun kemarin?”

Penetapan Tahun Pertama Kalender Islam

Mendapati masalah ini, Umar merasa perlu menetapkan angka tahun. Beliau lantas meminta para sahabat mengusulkan penetapan tahun.

Ada yang mengusulkan mengikuti tahun Romawi, namun usulan ini tertolak karena tahun Romawi terlalu jauh. Para sahabat kemudian mengusulkan penetapan tahun dengan pertimbangan yang terbagi dalam empat usulan. Pertama, kalender Islam dimulai dari tahun kelahiran Rasulullah. Kedua, kalender Islam dimulai dari tahun nubuwwah. Ketiga, kalender Islam dimulai dari tahun hijrah. Dan keempat, kalender Islam dimulai dari tahun wafatnya Rasulullah.

Usulan pertama dan ketiga tidak diambil. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, sebagian sahabat berbeda pendapat mengenai tahun kelahiran dan tahun nubuwah. Kedua, baik kelahiran maupun tahun nubuwah, keduanya adalah semata-mata anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak ada upaya atau perjuangan manusia (juhud basyari) sama sekali.

Usulan keempat juga tidak diambil. Alasannya, hal itu bisa mengulang kesedihan jika wafatnya Rasulullah dijadikan tahun pertama kalender Islam.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu mengusulkan kalender Islam dimulai dari tahun hijrah. Inilah tahun dimulainya peradaban baru Islam. Inilah tahun perubahan umat Islam dari yang semula tertindas di Makkah menjadi kekuatan di Madinah. Dan berbeda dengan kelahiran dan nubuwah Rasulullah yang sama sekali tak ada upaya manusiawi, hijrah merupakan perjuangan besar umat Islam yang dipenuhi dengan banyak sejarah pengorbanan (tadhiyah).

Maka ditetapkanlah tahun hijrah sebagai tahun pertama kalender Islam. Dan karenanya, penanggalan ini disebut sebagai kalender hijriyah.

Jadwal Puasa Sunnah 1422 Hijriyah

Kalender Hijriyah 1422 dan jadwal puasa sunnah telah tersaji di bagian atas artikel ini. Untuk resolusi besar bisa didownload di channel Telegram BersamaDakwah.

Lebih detil tentang jadwal puasa sunnah, berikut ini jadwalnya sepanjang tahun 1422 hijriyah:

1. Puasa Senin Kamis 1422 Hijriyah

Sesuai namanya, puasa Senin Kamis merupakan puasa sunnah setiap hari Senin dan Kamis. Mulai Kamis, 1 Muharram 1422 (20 Agustus 2020) hingga Kamis, 26 Dzulhijjah 1422 (5 Agustus 2021). Kecuali Senin, 1 Syawwal (haram berpuasa karena Idul Fitri) dan Kamis, 12 Dzulhijjah (haram berpuasa karena hari tasyrik) serta selama bulan Ramadhan. Sepanjang tahun 1422 hijriyah, ada 91 hari puasa Senin Kamis.

Di antara keutamaan Puasa Senin Kamis, amal-amal diperlihatkan/dilaporkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka betapa beruntungnya ketika saat itu seorang hamba sedang berpuasa. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ

“Diperlihatkan amal-amal pada setiap hari Kamis dan Senin. Maka aku ingin amalku diperlihatkan saat aku berpuasa.” (HR. Tirmidzi; shahih lighairihi)

Keutamaan lain dan penjelasan lebih lengkap termasuk tata cara dan niatnya, bisa dibaca di artikel Niat Puasa Senin Kamis.

2. Puasa Ayyamul Bidh 1422 Hijriyah

Puasa ayyamul bidh adalah puasa sunnah pada tiga hari tengah bulan. Di mana saat itu bulan sedang putih-putihnya bersinar terang. Yaitu tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan Hijriyah.

Sepanjang tahun 1422 hijriyah, puasa ayyamul bidh ada 32 hari. Yakni setelah dikurangi Ramadhan dan 13 Dzulhijjah yang bertepatan dengan hari tasyrik (haram puasa). Jadwal lengkapnya adalah sebagai berikut:

  • Selasa, 13 Muharram 1422 (1 September 2020)
  • Rabu, 14 Muharram 1422 (2 September 2020)
  • Kamis, 15 Muharram 1422 (3 September 2020)
  • Rabu, 13 Shafar 1422 (30 September 2020)
  • Kamis, 14 Shafar 1422 (1 Oktober 2020)
  • Jum’at, 15 Shafar 1422 (2 Oktober 2020)
  • Jum’at, 13 Rabiul Awwal 1422 (30 Oktober 2020)
  • Sabtu, 14 Rabiul Awwal 1422 (31 Oktober 2020)
  • Ahad, 15 Rabiul Awwal 1422 (1 November 2020)
  • Sabtu, 13 Rabiul Akhir 1422 (28 November 2020)
  • Ahad, 14 Rabiul Akhir 1422 (29 November 2020)
  • Senin, 15 Rabiul Akhir 1422 (30 November 2020)
  • Senin, 13 Jumadil Ula 1422 (28 Desember 2020)
  • Selasa, 14 Jumadil Ula 1422 (29 Desember 2020)
  • Selasa, 15 Jumadil Ula 1422 (30 Desember 2020)
  • Selasa, 13 Jumadil Tsani 1422 (26 Januari 2021)
  • Rabu, 14 Jumadil Tsani 1422 (27 Januari 2021)
  • Kamis, 15 Jumadil Tsani 1422 (28 Januari 2021)
  • Kamis, 13 Rajab 1422 (25 Februari 2021)
  • Jum’at, 14 Rajab 1422 (26 Februari 2021)
  • Sabtu, 15 Rajab 1422 (27 Februari 2021)
  • Jum’at, 13 Sya’ban 1422 (26 Maret 2021)
  • Sabtu, 14 Sya’ban 1422 (27 Maret 2021)
  • Ahad, 15 Sya’ban 1422 (28 Maret 2021)
  • Selasa, 13 Syawwal 1422 (25 Mei 2021)
  • Rabu, 14 Syawwal 1422 (26 Mei 2021)
  • Kamis, 15 Syawwal 1422 (27 Mei 2021)
  • Rabu, 13 Dzulqa’dah 1422 (23 Juni 2021)
  • Kamis, 14 Dzulqa’dah 1422 (24 Juni 2021)
  • Jum’at, 15 Dzulqa’dah 1422 (25 Juni 2021)
  • Sabtu, 14 Dzulhijjah 1422 (24 Juli 2021)
  • Ahad, 15 Dzulhijjah 1422 (25 Juli 2021)

Di antara keutamaan Puasa Ayyamul Bidh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Abu Hurairah agar tidak meninggalkan puasa ini.

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ

“Kekasihku –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga hal padaku: berpuasa tiga hari setiap bulannya, mengerjakan sholat dhuha dua raka’at dan sholat witir sebelum tidur.” (Muttafaq ‘alaih)

3. Puasa Tasu’a 1422 Hijriyah

Puasa tasu’a adalah puasa pada tanggal 9 Muharram. Pada tahun 1422 hijiryah ini, ia jatuh pada hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 28 Agustus 2020.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berazzam mengerjakan puasa ini. Namun sebelum tiba tahun depannya, Rasulullah telah wafat.

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan orang agar berpuasa padanya, mereka berkata, “Ya Rasulullah, ia adalah suatu hari yang dibesarkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika datang tahun depan, insya Allah kita berpuasa juga pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas berkata, “Maka belum lagi datang tahun berikutnya itu, Rasulullah SAW pun wafat.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Keutamaan lain dan penjelasan lebih lengkap termasuk tata cara dan niatnya, bisa dibaca di artikel Niat Puasa Tasua.

4. Puasa Asyura 1422 Hijriyah

Puasa asyura adalah puasa hari asyura yakni tanggal 10 Muharram. Pada tahun 1422 hijiryah ini, ia jatuh pada hari Sabtu bertepatan dengan tanggal 29 Agustus 2020.

Keutamaan puasa asyura sangat besar. Antara lain bisa menghapus dosa setahun sebelumnya.

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah ditanya tentang puasa asyura, beliau menjawab, “dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim)

Keutamaan lain dan penjelasan lebih lengkap termasuk tata cara dan niatnya, bisa dibaca di artikel Niat Puasa Asyura.

5. Puasa Syawwal 1422 Hijriyah

Puasa Syawwal adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Yang paling utama, ia dikerjakan di awal yakni tanggal 2 – 7 Syawal. Pada tahun 1422 hijiryah ini, bertepatan dengan hari Jum’at-Kamis, tanggal 14 – 19 Mei 2021.

Keutamaan puasa syawwal sungguh luar biasa. Mengikuti puasa Ramadhan dengan puasa syawal senilai dengan puasa setahun penuh.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun” (HR. Muslim)

Keutamaan lain dan penjelasan lebih lengkap termasuk tata cara dan niatnya, bisa dibaca di artikel Niat Puasa Syawal.

6. Puasa Tarwiyah 1422 Hijriyah

Puasa Tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 Dzulhijjah. Pada tahun 1422 hijiryah ini, ia bertepatan dengan hari Ahad, tanggal 18 Juli 2021.

Penjelasan lebih lengkap termasuk tata cara dan niatnya, bisa dibaca di artikel Niat Puasa Tarwiyah.

7. Puasa Arafah 1422 Hijriyah

Puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah. Pada tahun 1422 hijiryah ini, ia bertepatan dengan hari Senin, tanggal 19 Juli 2021.

Keutamaan puasa Arafah sangat luar biasa. Ia bisa menghapus dosa setahun sebelumny dan setahun setelahnya.

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Rasulullah ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau bersabda: “Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” (HR. Muslim)

Demikian kalender hijriyah 1422 dan jadwal puasa sunnah selama setahun. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan puasa-puasa sunnah ini. Aamiin. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH


Masing-Masing Memiliki Haknya

Hadits Muslim Nomor 2750

Abu Rib’iy Hanzhalah bin Ar Rabi’ Al-Usaidiy Al-Katib – salah seorang juru tulis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam – berkata,

لَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ، فَقالَ: كيفَ أَنْتَ؟ يا حَنْظَلَةُ قالَ: قُلتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، قالَ: سُبْحَانَ اللهِ ما تَقُولُ؟ قالَ: قُلتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، يُذَكِّرُنَا بالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حتَّى كَأنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِن عِندِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، عَافَسْنَا الأزْوَاجَ وَالأوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ، فَنَسِينَا كَثِيرًا، قالَ أَبُو بَكْرٍ: فَوَاللَّهِ إنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هذا، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ، حتَّى دَخَلْنَا علَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، قُلتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، يا رَسُولَ اللهِ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ وَما ذَاكَ؟ قُلتُ: يا رَسُولَ اللهِ، نَكُونُ عِنْدَكَ، تُذَكِّرُنَا بالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حتَّى كَأنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِن عِندِكَ، عَافَسْنَا الأزْوَاجَ وَالأوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ، نَسِينَا كَثِيرًا فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ إنْ لو تَدُومُونَ علَى ما تَكُونُونَ عِندِي، وفي الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ المَلَائِكَةُ علَى فُرُشِكُمْ وفي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

“Abu Bakar radhiallahu’anhu menjumpaiku dan berkata, ‘Bagaimana kabarmu ya Hanzhalah?‘ Aku pun menjawab, ‘Aku telah menjadi munafik.‘ Abu Bakar berkata, ‘Subhanallah, apa yang sedang kau katakan?‘ Jawabku, ‘Ketika kami berada di majelis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seakan-akan surga dan neraka ada di hadapan kami (ketika Rasulullah mengingatkan kami tentangnya – pent.). Namun, saat kami berada diluar majelisnya maka kami disibukkan dengan istri-istri, anak-anak dan kehidupan kami hingga kami banyak lupa (terhadap akhirat).‘ Maka berkata Abu Bakar radhiallahu’anhu, ‘Demi Allah, Aku pun merasakan hal yang sama.‘ Maka kami pun bermaksud mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Aku pun berkata, ‘Hanzhalah telah munafik wahai Rasulullah.‘ Rasulullah bertanya, ‘Apa maksudmu?‘ Jawabku, ‘Wahai Rasulullah seakan surga dan neraka ada dihadapan kami ketika engkau mengingatkan kami tentangnya dalam majelismu. Akan tetapi, ketika kami tidak lagi berada di majelismu kamipun lalai dengan anak, istri dan kehidupan kami sehingga kami banyak melupakan (akhirat).‘ Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwa aku ada pada genggaman-Nya, jika kalian terus beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan selalu mengingat akhirat, maka niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur kalian maupun di jalan-jalan. Namun Hanzhalah, manusia itu sesaat begini dan sesaat begitu.‘ Beliau mengulanginya sampai tiga kali.” (HR. Muslim no. 2750).

Penjelasan Hadits

Al-‘Allamah Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

Perkataan penulis (kitab Riyadus Shalihin) rahimahullah sebagaimana kutipan dari Hanzhalah Al-Katib, salah satu juru tulis wahyu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bahwasannya yang dimaksud dari perkataan Hanzhalah, “Abu Bakar radhiallahuanhu menemuiku. Maka aku berkata, ‘Hanzhalah telah munafik.’” maksudnya (dia menyangka hal itu terjadi pada ed.) dirinya sendiri. Kemudian makna naafaqo adalah (dirinya telah ed.) menjadi munafik. Ia mengatakan demikan atas prasangka darinya –radhiallahu’anhu– bahwa apa yang telah ia lakukan adalah suatu perbuatan kemunafikan.

Kemudian percakapan berikutnya, dimana Abu Bakar radhiallahu’anhu bertanya, “Apa maksudmu?” Kemudian Hanzalah radhiallahu’anhu menjawab, “ketika kami berada di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seakan-akan surga dan neraka ada di hadapan kami (ketika Rasul mengingatkan kami tentangnya -pent.)” memiliki maksud seakan-akan mereka (Abu Bakar dan Hanzalah merasa) benar-benar melihat surga dan neraka bersamaan dengan nasihat-nasihat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan. Hanzhalah seperti orang yang sedang menyaksikannya secara langsung, bahkan lebih. Karena memang berita tersebut bersumber dari seorang manusia yang paling jujur perkataannya dan seorang yang paling tahu tentang Rabb-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian maksud, “Namun saat kami berada di luar majelisnya, kami disibukkan oleh istri-istri, anak-anak dan kehidupan duniawi kami”, adalah senda gurau kami bersama mereka (istri, anak, dan kehidupan duniawi) menjadikan kami lupa dengan keadaan kami saat berasa di majelis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sambungan hadits, “Abu Bakar radhiallahu’anhu berkata bahwa dirinya juga mengalami hal yang sama. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ketika tiba disisi Rasul, Hanzhalah berkata, ‘Hanzhalah telah munafik ya Rasulullah. Beliau (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) bertanya, ‘Apa maksudmu?’ Hanzhalah menjawab, ‘Ketika kami berada di majelis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seakan-akan surga dan neraka ada dihadapan kami. Namun saat kami berada di luar majelisnya, kami disibukkan oleh istri-istri, anak-anak dan kehidupan duniawi’” memiliki maksud senda gurau kami bersama mereka menjadikan kami banyak lupa dengan keadaan kami di majelis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda, “Demi zat yang jiwaku berada di dalam genggamannya, jika kalian terus beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada disisiku dan mengingat selalu nasihatku, maka niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian ketika kalian berada di tempat tidur maupun di jalan.” Maksudnya adalah keyakinan yang kuat yang mereka miliki menyebabkan para malaikat akan menjabat tangan kalian sebagai bentuk penghormatan atas kalian, karena apabila bertambah yakin seorang hamba, maka Allah Ta’ala akan menjadikannya istiqomah dan menguatkannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدىً وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketaqwaan mereka.” (QS. Muhammad : 17).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda, “Akan tetapi wahai Hanzhalah, sesaat dan sesaat”. Maksudnya, sesaat untuk Rabb Azza wa Jalla, sesaat untuk anak-anak dan keluarga, sesaat untuk memberi istirahat untuk diri sendiri dan untuk memberikan hak kepada yang berhak.

Inilah sisi keadilan dan kesempurnaan syariat islam. Bahwasanya masing-masing memiliki hak yang harus kita tunaikan. Allah Ta’ala memiliki hak yang harus kita tunaikan. Begitu pula diri kita memiliki hak yang harus kita tunaikan. Keluarga, tetangga, hingga setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya terhadap diri kita. Demikian membuat kita dapat hidup dengan tenang dan beribadah kepada Allah dengan tenang. Karena manusia ketika berat terasa oleh dirinya maka ia cenderung akan bosan dan letih. Lalu ia akan banyak mengabaikan hak-hak orang lain.

Begitu juga yang terjadi dalam ibadah dan dalam menunaikan hak-hak diri, keluarga, dan tamu. Perkara ilmu pun tidak luput dari itu. Ketika seorang penuntut ilmu merasa malas untuk mengulang pelajaran suatu kitab, maka hendaklah ia mempelajari kitab yang lain. Ketika ia melihat dirinya malas untuk mempelajari bab tertentu, hendaklah ia mempelajari bab yang lain. Seperti itulah cara agar membuat dirinya tenang hingga ia menggapai ilmu yang banyak. Namun ketika ia membuat dirinya membenci sesuatu maka ia akan merasakan kemalasan dan keletihan hingga menjadikannya bosan dan meninggalkannya, kecuali bagi orang-orang tertentu yang Allah kehendaki.

Banyak orang tidak mau berletih dalam mengulangi, menelaah, dan meneliti ilmu-ilmu yang ada. Sehingga ketika semangat ini redup, hatinya akan terasa sempit. Padahal jikalau ia mau mengulang, menelaah, dan meneliti, tentu ia akan menjadi orang yang tekun dan taat. Sesungguhnya Allah Maha Memberi kemuliaan kepada orang yang dikehendakinya karena Allah sang Pemilik kemuliaan yang agung.

Disusun dari Kitab Syarah Riyadhus Shalihin (234-236/2).

**

Penyusun: Fauzan Hidayat

Pemurojaah: Yulian Purnama, S.Kom

MUSLIMorid

Arti Ghibah, Dosa dan Bagaimana Cara Taubatnya

Banyak orang menganggap ghibah sebagai dosa yang remeh. Apalagi ketika sudah berganti istilah menjadi gosip. Berikut ini pembahasan arti ghibah, dosanya dan bagaimana cara taubatnya.

Arti Ghibah

Ghibah (غيبة) berasal dari kata ghaib (غيب) yaitu tidak hadir. Ghibah adalah membicarakan sesuatu tentang orang yang tidak hadir yang jika orang tersebut mengetahuinya maka ia tidak suka. Dalam bahasa Indonesia, biasa diterjemahkan dengan menggunjing atau gosip.

Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah menjelaskan tentang ghibah dengan sabda beliau:

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

“Kamu mengatakan tentang saudaramu hal-hal yang tidak disukainya”

Ada sahabat yang bertanya, “bagaimana jika apa yang dikatakan itu memang fakta?” Beliau lantas menjawab:

إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Jika apa yang kamu katakan itu ada pada saudaramu, berarti kamu telah ghibah. Dan jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada saudaramu, berarti itu adalah fitnah.”

Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan, arti ghibah adalah engkau menyebut-nyebut orang lain yang tidak berada bersamamu dengan suatu perkataan yang ia tidak suka jika mendengarnya.

Bentuk dan Contoh Ghibah

Ghibah ini bisa beragam bentuk dan jenisnya. Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin menjelaskan, ghibah bisa berupa perkataan tentang fisik. Misalnya, kepalanya botak, mata buta sebelah, gembrot, kurus kering, dan sebagainya.

Contoh pada zaman sekarang, “Fulanah itu masa pandemi corona begini kok malah semakin gemuk.”

“Iya, Mbak. Dia itu makannya banyak. Sampai makanan teman juga disikat.”

Kedua, menyangkut pakaian atau penampilan. Contoh, “Dia nggak pantas sama sekali pakai baju begitu. Kelihatan norak dan ndeso.”

Ketiga, menyangkut sifat atau perbuatan. Contoh, “Memang dia itu pemalas. Saya pernah ke rumahnya, jam 10 baru mandi.”

Keempat, menyangkut ibadah. Contoh, “Fulan itu hanya pandai ceramah. Dia sendiri jarang puasa sunnah. Saya tahu, karena sering bertemu.”

Bentuk Ghibah bisa berupa perkataan, tulisan maupun isyarat. Imam Ghazali mencontohkan, isyarat mata yang dimaksudkan untuk mencela juga termasuk ghibah. Contoh lain, seseorang yang kakinya pincang. Lalu orang lain mengisyaratkan dia dengan menirukan cara jalan tersebut dengan maksud menghinanya.

Dosa Ghibah dan Bahayanya

Banyak orang menganggap ghibah sebagai dosa kecil, hingga meremehkannya. Maka mereka pun tetap asyik melakukan tanpa merasa telah melakukan kesalahan besar.

1. Dosa Besar

Ghibah termasuk dosa besar. Karenanya Imam Adz Dzahabi memasukkannya dalam kitab Al Kabair.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan larangannya dalam Surat Al Hujurat ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

2. Perusak Ukhuwah

Allah memfirmankan bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Bahkan persaudaraannya sangat kuat hingga Allah menyebut ikhwah dalam Surat Al Hujurat ayat 10. Setelah itu, pada ayat 11 dan 12, Allah menjelaskan tentang hal-hal yang bisa merusak ukhuwah. Salah satunya adalah ghibah.

3.  Ibarat Makan Bangkai

Dalam Al Hujurat ayat 12 tersebut, Allah mengibaratkan ghibah dengan makan bangkai saudara sendiri.

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

..dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.. (QS. Al Hujurat: 12)

Setiap orang pasti tidak suka makan bangkai. Kata fakarihtumuuh (فكرهتموه) menggunakan fi’il madhi (kata kerja lampau), menunjukkan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti semua orang merasakannya.

“Yakni sebagaimana kamu tidak menyukai hal itu secara naluri, maka bencilah perbuatan tersebut demi perintah syara’” tulis Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini. “Karena sesungguhnya hukuman yang sebenarnya jauh lebih keras dari apa yang digambarkan.”

4. Mencederai Kehormatan Muslim

Dosa menggunjing tergolong besar karena ia mencederai kehormatan seorang muslim yang sebenarnya haram baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maksudnya, haram bagi seorang muslim menumpahkan darah sesama muslim. Haram pula mengambil harta muslim yang lain tanpa hak. Dan juga haram mencederai kehormatannya.

Ibnu Taimiyah menjelaskan, semakin besar iman seseorang yang ia cederai kehormatannya, semakin besar pula dosanya. Demikian pula semakin besar iman seseorang yang ia gunjing, semakin besar pula dosanya.

5. Allah Buka Aibnya

Seseorang yang hobi ghibah dan mencari-cari aib seorang muslim, Allah akan membuka aibnya meskipun ia menyembunyikan aib itu rapat-rapat.

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِى بَيْتِه

“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lidahnya sedangkan iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian suka menggunjing orang-orang muslim dan mencari-cari aib mereka. Karena siapa yang mencari-cari aib muslim, Allah akan mencari-cari aibnya. Dan siapa yang Allah cari aibnya, maka Dia akan membuka aib itu meskipun ia bersembunyi di rumahnya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

6. Keimanannya Jauh dari Sempurna

Orang yang suka menggunjing, keimanannya jauh dari sempurna. Bahkan Rasulullah menggunakan istilah iman belum masuk di hati untuk orang yang suka menggunjing sebagaimana hadits tersebut.

Sebab yang Mendorong Seseorang Menggunjing

Ibnu Qudamah Al Maqdisi menjelaskan ada banyak faktor yang mendorong seseorang menggunjing. Pertama, bisa jadi ia marah atau sakit hati kepada seseorang tetapi tidak berani menghadapinya. Maka ia pun menggunjing orang tersebut. Ini juga menunjukkan lemahnya karakter orang yang suka menggunjing.

Kedua, menyesuaikan dengan teman dan lingkungannya. Karena temannya suka menggunjing, ia pun ikut-ikutan. Awalnya mungkin ia tidak menggunjing, tetapi karena masuk dalam forum gosip, ia asyik mendengarkan dan akhirnya ikut terlibat. Bahkan menimpali atau menambahkan.

Ketiga, seseorang ingin mengangkat dirinya sendiri dan menjatuhkan orang lain. Ia merasa kalah dari orang lain, maka ia pun mencari keburukan orang tersebut dan menceritakannya. Jadilah ghibah.

Keempat, untuk canda dan lelucon. Awalnya sekedar obrolan ketika kumpul-kumpul. Lalu ingin bercanda hingga akhirnya menggunjing orang lain dan menceritakan keburukannya.

Kelima, karena buruk sangka. Ia selalu melihat orang lain dengan prasangka buruk. Karenanya ia menceritakan apa yang ia tahu dengan perspektif negatif.

Cara Bertaubat dari Ghibah

Ghibah adalah dosa yang menyangkut hak manusia. Karenanya untuk bertaubat, ia harus bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang tersebut. Sebagaimana Imam Nawawi menjelaskan dalam Riyadhus Shalihin ketika membahas taubat:

  1. Menyesali perbuatan ghibahnya
  2. Memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
  3. Berjanji tidak akan mengulangi
  4. Meminta maaf kepada orang yang telah ia gunjing

Taubat kepada Allah haruslah sungguh-sungguh. Jika menggunjingnya sudah sekian lama dan kepada begitu banyak orang, mungkin tidak cukup dengan istighfar. Sebagai bentuk taubat nasuha, perlu kiranya mengerjakan sholat taubat.

Terkait poin 4 ini, Ibnu Qudamah menjelaskan, jika ghibah belum didengar oleh orang yang digunjing, permohonan maaf cukup dengan memohonkan ampunan bagi orang tersebut. Agar  ia tidak mendengar apa-apa yang belum diketahuinya. Sehingga hatinya bisa menjadi lebih lapang.

“Tebusan tindakanmu yang memakan daging saudaramu adalah dengan cara memuji dirinya dan mendoakan kebaikan baginya,” kata Mujahid. “Begitu pula jika orang tersebut telah meninggal dunia.”

Sedangkan Syaikh Yusuf Qardahwi dalam At Taubat ila Allah menjelaskan, kemudharatan yang timbul menjadi pertimbangan utama antara meminta maaf kepada orang yang digunjing atau tidak. Jika dengan meminta maaf dan memberitahukannya bisa menimbulkan kemudharatan yang lebih besar, maka cukup mendoakan dan memujinya. Atau meminta maaf secara umum tanpa menyebutkan apa yang ia gunjing. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BersamaDakwah