Apakah setelah Cerai Langsung Pisah Rumah?

Pertanyaan:

Ustadz, jika suami-istri bercerai apakah mereka langsung pisah rumah saat itu juga?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Ini adalah sebuah salah kaprah yang beredar di masyarakat. Yaitu anggapan bahwa jika suami-istri bercerai, mereka langsung pisah rumah. Ini kekeliruan. Karena setelah cerai, ada yang disebut dengan masa idah. Allah ta’ala berfirman,

والْمُطَـلَّقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَـلَـثَـةَ قُرُوْءٍۗ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan dirinya sampai tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228).

Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan:

أي يعتددن بترك الزينة والطيب والنقلة على فراق أزواجهن

“Maksudnya, ia menghabiskan masa idah dengan tidak berdandan, tidak pakai minyak wangi, dan tidak pindah untuk berpisah dari rumah suaminya” (Tafsir Al-Baghawi).

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:

أجمعت الأمَّةُ على وجوبِ العِدَّةِ في الجُملةِ

“Ulama sepakat wajibnya menjalani masa idah secara umum” (Al-Mughni, 8/96).

Ini menunjukkan bahwa wanita yang dicerai, tidak langsung berpisah dengan suaminya. Bahkan ia wajib tinggal bersama suaminya sampai habis masa idah.

Dan selama masa idah, jika talaknya talak 1 atau talak 2, maka masih wajib dinafkahi oleh suaminya sampai habis masa idah. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

عِدَّةُ الرَّجعيَّةِ لأجْلِ الزَّوجِ، وللمَرأةِ فيها النَّفَقةُ والسُّكنى باتِّفاقِ المُسلِمينَ

“Idah untuk wanita yang ditalak raj’i (talak 1 atau 2) dari sang suami, maka sang istri tetap punya hak nafkah dan tempat tinggal berdasarkan kesepakatan ulama” (Zadul Ma’ad, 5/598).

Demikian dalam masa idah, sang wanita yang dicerai statusnya masih istri yang sah. Boleh melihat auratnya, boleh berduaan, boleh bersentuhan, dan seterusnya.

Adapun bagi yang ditalak ba’in atau talak 3, maka sudah tidak ada lagi hak nafkah, tidak ada kewajiban tempat tinggal dan sudah tidak lagi berstatus istri. Tidak boleh lagi melihat auratnya, boleh berduaan, boleh bersentuhan, dan seterusnya.

Tentang jangka waktu masa idah, disebutkan dalam ayat di atas adalah tifa quru’. Ini adalah idah bagi wanita yang dicerai dalam keadaan tidak sedang hamil. Tiga quru’ dimaknai oleh jumhur ulama salaf dengan tiga kali haid. Artinya, ketika datang haid yang ketiga, sudah habis masa idah dan sudah tidak lagi wajib tinggal bersama dan tidak wajib lagi bagi sang suami untuk menafkahi istrinya. Pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Sebagian ulama memaknai quru’ adalah suci dari haid. Sehingga ketika datang suci dari haid ketiga, baru habis masa idah. 

Adapun masa idah bagi wanita yang sudah tidak lagi haid dan wanita yang dicerai dalam keadaan hamil disebutkan dalam ayat berikut ini:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Wanita yang tidak haid lagi (monopause) di antara istri-istri kalian, jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya), maka masa idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haid. Sementara wanita yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaq: 4).

Hikmah adanya idah di antaranya:

  1. Memberikan kesempatan bagi sang suami untuk rujuk dengan istrinya tanpa kesulitan, jika talaknya talak 1 atau talak 2.
  2. Memastikan kosongnya rahim, dalam rangka untuk menjaga nasab agar tidak tercampur.
  3. Agar istri bisa ikut berkabung bersama keluarga suami dan memenuhi hak suami yang meninggal, jika idahnya dari suami yang wafat (Minhajus Muslim, hal. 331)

Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alaimin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Dijelaskan oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 

***

URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV

Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur.

Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke:

BANK SYARIAH INDONESIA 
7086882242
a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Kode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi)

PayPal: finance@yufid.org

Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini:

إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ

Artinya: 

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)

Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?

KONSULTASI SYARIAH

Hukum Menuntut Cerai Suami yang Malas Sholat

Bagaimana hukum menuntut cerai suami yang malas sholat. Pasalnya, suami merupakan pemimpin dalam rumah tangganya. Tentunya ia adalah pihak yang memegang kendali arah bahteranya. Maka dari itu, seorang perempuan harus pintar-pintar memilih laki-laki. Agar supaya bahtera rumah tangganya, berjalan sesuai relnya.

Menikah dengan tujuan merubah sikap seseorang memang mulia, namun apakah ia kuat dengan sikap pasangannya? Seyogyanya carilah pasangan yang sekufu, agar supaya tidak terlalu repot dalam menghadapi masalah rumah tangga.

Lalu ketika perempuan mendapat suami yang malas sholat, apakah ia boleh menuntut cerai?

Hukum menuntut cerai suami yang malas sholat menurut Imam Nawawi dalam kitab Raudh al-Thalibin wa Umdat al-Muftin adalah boleh. Pasalnya, sikap tersebut ini bisa dikategorikan pada rendahnya spiritualitas suami. Imam al-Nawawi menjelaskan;

 كِتَابُ الْخُلْعِ. هُوَ الْفُرْقَةُ بِعِوَضٍ يَأْخُذُهُ الزَّوْجُ، وَأَصْلُ الْخُلْعِ مُجْمَعٌ عَلَى جَوَازِهِ، وَسَوَاءٌ فِي جَوَازِهِ خَالَعَ عَلَى الصَّدَاقِ أَوْ بَعْضِهِ، أَوْ مَالٍ آخَرَ أَقَلَّ مِنَ الصَّدَاقِ، أَوْ أَكْثَرَ، وَيَصِحُّ فِي حَالَتَيِ الشِّقَاقِ وَالْوِفَاقِ، وَخَصَّهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ بِالشِّقَاقِ، ثُمَّ لَا كَرَاهَةَ فِيهِ إِنْ جَرَى فِي حَالِ الشِّقَاقِ، أَوْ كَانَتْ تَكْرَهُ صُحْبَتَهُ لِسُوءِ خُلُقِهِ أَوْ دِينِهِ، أَوْ تَحَرَّجَتْ مِنَ الْإِخْلَالِ بِبَعْضِ حُقُوقِهِ، أَوْ ضَرَبَهَا تَأْدِيبًا فَافْتَدَتْ. وَأَلْحَقَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ بِهِ مَا إِذَا مَنَعَهَا نَفَقَةً أَوْ غَيْرَهَا فَافْتَدَتْ لِتَتَخَلَّصَ مِنْهُ.

Kitab menerangkan tentang khulu’, yaitu perpisahan yang diminta istri dengan mekanisme pemberian kompensasi kepada pihak suami. Khulu’ ini dilegalkan oleh para ulama’, bahkan kebolehannya ini sudah disepakati. Baik ia khulu dengan mengembalikan mahar, atau hanya sebagiannya saja.

Bahkan boleh dari uang lain, yang nominalnya lebih sedikit dari jumlah mahar. Namun melebihinya juga boleh. Dan khulu’ ini sah, baik dalam kondisi perselisihan maupun terjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak.

Hanya saja Ibnu al-Mundzir, mengkhususkan ini dalam kondisi perselisihan saja. Maka tidak ada kemakruhan, jika khulu dilakukan ketika berselisih. Khulu’ diperbolehkan ketika istri tidak suka hidup dengan suami sebab buruknya perangai suaminya atau agamanya.

Boleh juga dilakukan, jika ia melakukannya dalam rangka menjauhi dosa. Sebab ketika bersama suaminya, ia tidak bisa memenuhi hak suami. Dan bahkan dalam konteks ia dipukul suami yang dalam rangka ta’dib (dididik), ia tetap diperbolehkan untuk mengajukan cerai.

Imam al-Ghazali menganalogikan kebolehannya dalam konteks suami tidak memenuhi nafkah istrinya, ia boleh menggugat cerai suaminya. (Raudh al-Thalibin wa Umdat al-Muftin  Juz 7 Hal. 374)

Senada dengan beliau, salah seorang pakar fikih dari madzhab Hambali mengatakan;

وَجُمْلَةُ الْأَمْرِ أَنَّ الْمَرْأَةَ إذَا كَرِهَتْ زَوْجَهَا، لِخَلْقِهِ، أَوْ خُلُقِهِ، أَوْ دِينِهِ، أَوْ كِبَرِهِ، أَوْ ضَعْفِهِ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ، وَخَشِيَتْ أَنْ لَا تُؤَدِّيَ حَقَّ اللَّهَ تَعَالَى فِي طَاعَتِهِ، جَازَ لَهَا أَنْ تُخَالِعَهُ بِعِوَضٍ تَفْتَدِي بِهِ نَفْسَهَا مِنْهُ

Bahwasanya seorang wanita jika tidak menyukai suaminya karena berbagai faktor semisal akhlaknya, perawakannya, rupanya, agamanya, tuanya, atau lemahnya, dan yang semisalnya.

Lalu ia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ kepada suaminya dengan memberikan kompensasi untuk membebaskan dirinya”. Dalilnya adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 229 dan beberapa hadis yang disebutkan. (Al-Mughni,  Juz 7 Hal. 323)

Dengan demikian, istri boleh menuntut cerai kepada suami atau ia mengajukan khulu’. Sebab tidak sholat merupakan salah satu perilaku yang mencerminkan rendahnya spiritualitas sosok suami, dan rendahnya atau buruknya tingkat spiritualitas suami ini memperbolehkan istri untuk menuntut diceraikan.

Maka dari itu, pilihlah suami yang saleh. Baik saleh secara spiritual maupun sosial, agar supaya mahligai rumah tangga nyaman dan memberikan ketenangan. Sehingga terciptalah kondisi sakinah mawaddah wa rahmah, yang pada akhirnya nanti akan menciptakan generasi yang saleh dan salehah.

Demikian penjelasan tentang hukum menuntut cerai suami yang malas sholat. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Ancaman Nabi Muhammad pada Istri yang Minta Cerai karena Hal Sepele

Bahtera rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan tenang, hening, dan nyaman. Ombak pertengkarangan antara pasangan suami istri pasti selalu ada di dalamnya. Di antara mereka ada yang dapat melewati terjangan ombak tersebut dengan baik dan mulus. Namun tidak sedikit pula jalinan rumah tangga yang tenggelam dalam derasnya ombak. Artinya, perjalanan rumah tangganya hancur di tengah jalan. Entah suami atau istri yang minta cerai.

Siapa pun pasangan suami istri pastinya tidak menghendaki perceraian. Selain dibenci Allah, perceraian juga tidak jarang memutus silaturahim ikatan dua keluarga yang tadinya terjalin dengan baik ketika pasangan suami istri masih menjalani rumah tangganya. Namun cerai juga bisa menjadi solusi ketika suami, misalnya, merusak cinta suci yang diikat dengan tali pernikahan dengan cara selingkuh, berbuat kekerasan, berjudi dan mabuk-mabukan.

Sebaliknya, jika perceraian terjadi hanya karena permasalahan yang tidak begitu besar di mata masyarakat umum, maka bisa jadi yang terlebih dulu meminta cerailah yang dibenci Allah, baik suami maupun istri.

Perlu diketahui bahwa dalam mazhab Syafi’I yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, perkataan “Saya cerai kamu” yang diucapkan suami itu sudah termasuk cerai dalam hukum Islam, walaupun belum masuk di persidangan perceraian di kejaksaan. Artinya, ketika sudah mengatakan demikian, secara fikih, suami itu sudah tidak boleh melakukan hubungan suami istri, kecuali sudah rujuk terlebih dulu. Karenanya, untuk hati-hati, para suami jangan sembarangan mengucapkan kata cerai kepada istrinya.

Begitupun istri, jangan mudah meminta cerai kepada suami karena masalah sepele dalam rumah tangga. Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Seorang istri yang mudah meminta cerai suaminya hanya karena permasalahan sepele, maka dia tidak akan mencium baunya surga” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Artinya, istri yang dengan mudah meminta cerai pada suaminya dikhawatirkan tidak akan masuk surga bersama suaminya yang saleh.

Karenanya, ulama mengklasifikasi permasalahan apa saja yang memperbolehkan istri menggugat atau meminta cerai pada suaminya. Pertama, suami sering melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap istri, sehingga membuatnya cacat. Kedua, suami sering meninggalkan salat, berjudi, mabuk, main perempuan. Ketiga, suami tidak memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak dan istri selayaknya, padahal ia mampu. Keempat, suami enggan memenuhi kebutuhan biologis istri padahal ia mampu.

Karenanya, alangkah baiknya bila suami atau istri tidak mudah mengucapkan kata cerai. Apalagi jika masih dapat dikomunikasikan dengan baik di antara keduanya. Bila perlu, keduanya mendatangkan orang lain untuk mendamaikan perseteruan rumah tangganya. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Suami di PHK, Istri Boleh Minta Cerai

AKHIR-AKHIR ini banyak orang yang kehilangan pekerjaannya sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Perusahaan tempat mereka bekerja tutup. Angka perceraian dikabarkan meningkat. Bagaimana ajaran Islam mengenai hal itu?

FIQIH mengatur segala aspek kehidupan manusia agar sesuai dengan syariat (syar’i). Baik kehidupan pribadi maupun hubungannya dengan makhluk lain. Selama 24 jam dalam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Kelak, semua itu harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Sementara Akhlak Mahmudah adalah tabiat, tingkah laku atau perangai baik dan patut, yang harus dijaga oleh setiap muslim agar senantiasa terjaga keharmonisan hubungan dengan makhluk di sekitarnya, khususnya antar sesama manusia.

Dalam hal pernikahan, misalnya;

Ketika suami tidak mampu menafkahi istri dan anak-anaknya dengan baik, entah karena ia belum mendapat pekerjaan yang layak, atau tertimpa musibah PHK, maka istri boleh meminta cerai darinya.

Meminta cerai dari suami dalam kasus di atas itu “Syar’i, Tapi Tidak Patut.”

Mengapa?

Sebab rumah tangga dibangun untuk menciptakan ‘sakinah’ (ketentraman/kenyamanan). Dan ‘sakinah’ akan tercipta ketika suami-istri saling mengokohkan di saat yang lain rapuh. Saling menopang di saat yang lain terpuruk. Bukan meninggalkan di saat pasangannya tertimpa musibah.

Wallahu A’lam Bishshawab. [Aini Aryani, Lc]

INILAH MOZAIK

Tak Ingin Perceraian, Bacalah Kitab Zadu Az-Zaujayn

Kitab Zadu Az-Zaujayn mengulas tentang masalah rumah tangga, termasuk perceraian.

Setiap pasangan suami-istri atau calon pengantin yang ingin membangun rumah tangga yang sakinah tentu tidak ingin pernikahannya berujung pada perceraian. Jika tidak ingin hal itu penting kiranya membaca dan memahami Kitab Zadu Az-Zaujayn.

Kitab ini ditulis oleh putri sulung KHR As’ad Syamsul Arifin, Nyai Zainiyah As’ad. Penulis buku biografi Kiai As’ad, Syamsul A. Hasan dalam tulisannya mengatakan, kitab ini kerap diajarkan Nyai Zainiyah As’ad kepada santriwati di kawasan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, terutama ustazah yang akan melangsungkan pernikahan.

Menurut Syamsul, Nyai Zai menjelaskan bahwa banyak pasangan suami-istri yang gagal menggapai rumah tangga sakinah karena tidak mengetahui syarat-syarat dan tata krama dalam berumah tangga. Karena itu, hendaknya setiap calon atau pasangan suami-istri mengembangkan karakter kepribadian yang ideal dalam rumah tangganya.

Syamsul menjelaskan, Kitab Zadu Az-Zaujayn dinukil dari kitab Uqud al-Lujjayn. Kitab aslinya ini terdiri dari lima pasal namun dalam kitab yang ditulis Nyai Zai ini hanya dua pasal, yaitu pasal tentang hak-hak seorang istri (kewajiban suami) dan pasal tentang hak-hak suami (kewajiban istri).

Selain itu, kitab Zadu Az-Zaujayn juga dilengkapi dengan syair berbahasa Indonesia yang memuat sopan santun suami, sopan santun istri, dan tentang mendidik anak. Dalam perspektif konseling, menurut Syamsul, kitab setebal 86 halaman ini dapat dikatagorikan sebagai salah satu materi dalam konseling perkawinan.

Menurut Syamsul, di dalam kitab Zadu Az-Zaujayn juga terdapat beberapa nilai kepribadian yang harus ditumbuhkembangkan oleh calon dan pasangan suami-istri dalam membentuk keluarga sakinah. Misalnya, karakter kesabaran dan penampilan diri yang harus menarik dan selalu berseri-seri di hadapan pasangannya.

Dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, maka kitab warisan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah ini sangat layak untuk dikaji lebih lanjut. Apalagi, isinya dinilai sangat relevan dengan konseling perkawinan dan konseling keluarga.

KHAZANAH REPUBLIKA

Awas! Jangan Sembarang Ucapkan Kalimat Cerai

DITINJAU dari lafalnya, kalimat cerai ada dua,

1. Lafal sharih (jelas) adalah lafadz talak yang sudah bisa dipahami maknanya dari ucapan yang disampaikan pelaku. Artinya lafadz talak sharih tidak bisa dipahami maknanya kecuali perceraian. Misalnya: Kamu saya talak, kamu saya cerai, kamu saya pisah selamanya, kita bubar, silahkan nikah lagi, aku lepaskan kamu, atau kalimat yang semacamnya, yang tidak memiliki makna lain, selain cerai.

Imam as-Syafii mengatakan,

“Lafadz talak yang sharih intinya ada tiga: talak, pisah, dan lepas. Dan tiga lafadz ini yang disebutkan dalam Alquran.” (Fiqh Sunah, 2/253).

2. Lafadz kinayah (tidak tegas) adalah lafadz yang mengandung kemungkinan makna talak dan makna selain talak. Misalnya pulanglah ke orang tuamu, keluar sana.., gak usah pulang sekalian.., atau kalimat semacamnya.

Cerai dengan lafadz tegas hukumnya sah, meskipun pelakunya tidak meniatkannya. Sayid Sabiq mengatakan,

“Kalimat talak yang tegas statusnya sah tanpa melihat niat yang menjelaskan apa keinginan pelaku. Karena makna kalimat itu sangat terang dan jelas.” (Fiqh Sunah, 2/254)

Sementara itu, cerai dengan lafadz tidak tegas (kinayah), dihukumi sesuai dengan niat pelaku. Jika pelaku melontarkan kalimat itu untuk menceraikan istrinya, maka status perceraiannya sah.

Bahkan sebagian ulama hanafiyah dan hambali menilai bahwa cerai dengan lafadz tidak tegas bisa dihukumi sah dengan melihat salah satu dari dua hal; niat pelaku atau qarinah (indikator). Sehingga terkadang talak dengan kalimat kinayah dihukumi sah dengan melihat indikatornya, tanpa harus melilhat niat pelaku.

Misalnya, seorang melontarkan kalimat talak kinayah dalam kondisi sangat marah kepada istrinya. Keadaan benci istri yang dia ikuti dengan mengucapkan kalimat tersebut, menunjukkan bahwa dia ingin berpisah dengan istrinya. Sehingga dia dinilai telah menceraikan istrinya, tanpa harus dikembalikan ke niat pelaku.

Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat, semata qarinah (indikator) tidak bisa jadi landasan. Sehingga harus dikembalikan kepada niat pelaku. Ini merupakan pendapat Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin, sebagaimana keterangan beliau di Asy-Syarhu al-Mumthi (11/9). [Ustaz Ammi Nur Baits]

Apakah Jatuh Talak bila Seorang Suami Melaknat Istrinya?

Pertanyaan: Bagaimana hukum seorang suami yang melaknat isterinya? Apakah jatuh talak/cerai kepada istrinya karena laknat tersebut?

Jawaban:

Laknat suami dan isteri adalah hal yang munkar. Hukumnya tidak boleh, bahkan itu termasuk perbuatan dosa besar. Larangan ini didasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Melaknat orang mukmin sama dengan membunuhnya”. Dan sabda lain : “Mencela orang muslim itu fasik dan membunuhnya termasuk perbuatan kufur.” (Muttafaq ‘alaih).

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن اللعانينَ لَايَكُونُونَ شُهَدَاءَ وَلَا شُفَعَاءَيَومَ القِيَامَةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang melaknat tidak menjadi saksi dan orang yang mendapat syafa’at pada hari Kiamat.”

Wajib bagi sang suami untuk bertaubat dan meminta maaf kepada isterinya atas pencelaannya. Sedangkan isterinya tetap sah sebagai istrinya, alias tidak menjadi haram atasnya dengan laknatnya tadi. Jadi, tidak jatuh talak atas ucapan laknat tersebut.

Dan yang juga menjadi kewajiban seorang suami terhadap istrinya adalah mempergaulinya dengan cara yang baik dan menjaga lisannya dari setiap perkataan yang membuat Allah marah. Begitu juga istri, hendaknya memperbaiki perilakunya terhadap suaminya dan menjaga lisannya dari hal yang membuat Allah murka dan apa yang menjadikan suaminya marah kecuali dengan cara yang benar.

Allah ta’ala berfirman:

“…Dan pergaulilah istri-istri kalian dengan cara yang baik….” (QS. an-Nisa’; 19)

Dan Allah berfirman:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” (QS. al-Baqarah: 228).

 

Sumber: Al-Fatawa- Kitab Dakwa 2/247-248 oleh Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah.

Fiqih Wanita