Shalat, Kewajiban Seluruh Nabi (Bag. 1)

Termasuk yang menunjukkan agungnya kedudukan shalat adalah kewajiban shalat tersebut yang berlaku kepada seluruh Nabi ‘alaihimush shalaatu was salaam. Juga berita yang menunjukkan betapa seluruh Nabi tersebut mengagungkan ibadah shalat. Terdapat banyak dalil yang menguatkan dan menunjukkan hal tersebut dalam Al-Qur’an Al-Karim.

Kisah Nabi Yunus ‘alahis salaam

Allah Ta’ala berfirman ketika beliau dimakan ikan,

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaaffat [37]: 143-144)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

“Termasuk orang-orang yang mendirikan shalat.”

Demikian juga semisal penafsiran tersebut dari Sa’id bin Jubair, Qatadah, dan lain-lain. (Tafsir Ath-Thabari, 21: 109)

Kisah Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimus salaam

Ketika beliau meninggalkan Isma’il ‘alaihis salaam di sebuah lembah yang tidak ada seorang manusia lain di sana. Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah Ta’ala dengan mengatakan,

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat.” (QS. Ibrahim [14]: 37)

Dan beliau tidak menyebutkan amalan lain selain shalat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada amalan yang lebih afdhal dibandingkan shalat, juga tidak ada amalan yang sebanding dengannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadah, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.’” (QS. Al-Hajj [22]: 26)

Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa di antara doa beliau adalah,

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim [14]: 40)

Adapun Nabi Isma’il ‘alaihis salaam, Allah Ta’ala berfirman menceritakan kondisi beliau,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولاً نَّبِيّاً وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيّاً

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya dia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan dia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat. Dan dia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (QS. Maryam [19]: 54-55)

Kisah Nabi Ishaq ‘alaihis salaam dan keturunannya

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً وَكُلّاً جَعَلْنَا صَالِحِينَ وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

“Dan Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim) lshak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang shalih. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka agar mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 72-73)

Kisah Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam

Allah Ta’ala menceritakan kisah Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam, ketika beliau melarang kaumnya dari beribadah kepada selain Allah Ta’ala dan juga melarang mereka melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan,

قَالُواْ يَا شُعَيْبُ أَصَلاَتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاء إِنَّكَ لَأَنتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ

“Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, apakah shalatmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.’” (QS. Huud [11]: 87)

Hal ini menunjukkan bahwa kaum Nabi Syu’aib tidak melihat Nabi Syu’aib mengagungkan sesuatu melebihi pengagungan terhadap ibadah shalat.

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini,

“Shalat terus-menerus disyariatkan atas para Nabi terdahulu dan shalat merupakan amal yang paling utama. Sampai-sampai tertanam dalam diri orang kafir tentang keutamaan dibandingkan amal-amal yang lain. Bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan shalat merupakan timbangan bagi iman dan syariat. Dengan mendirikan shalat, sempurnalah kondisi seseorang, dan dengan tidak mendirikan shalat, maka cacatlah kondisi agamanya.”

Kisah Nabi Musa ‘alaihis salaam

Allah Ta’ala mengajak Nabi Musa berbicara secara langsung. Dan perkara yang pertama kali diwajibkan kepada Nabi Musa setelah Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Musa beribadah kepada-Nya adalah kewajiban shalat. Allah Ta’ala berkata secara langsung kepada Nabi Musa tanpa ada penerjemah,

فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaaha [20]: 13-14)

Hal ini menunjukkan tingginya kedudukan shalat dibandingkan seluruh amal ibadah yang lain. Karena Allah Ta’ala tidaklah memulai pembicaraan untuk menyebutkan kewajiban suatu ibadah, kecuali menyebutkan ibadah shalat.

Kemudian di antara yang diperintahkan oleh Nabi Musa ‘alaihis salaam kepada kaumnya Bani Israil setelah perintah agar mereka beriman adalah perintah untuk mendirikan shalat. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَن تَبَوَّءَا لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتاً وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya, ‘Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah shalat, serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.’” (QS. Yunus [10]: 87)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Khutbah Jum’at Sebuah Kalimat yang Berharga

إن الحمد لله، نحمدُه ونستعينُه ونستهديه وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ من شرورِ أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهدِه الله فلا مضلَّ له، ومن يضلِلْه فلا هادي له، وأشهدُ أنْ لا إله إلا الله وحده لا شريكَ له، وأشهدُ أن محمداً عبده ورسوله. أما بعد:
فيا عباد الله، إني أًوصي نفسي وإياكم بتقوى الله، فقد فاز المتقون الموحدون وخاب المجرمون الفاسقون
فقد قال الله تعالى:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
أما بعد:
فإن أحسن الكلام كلام الله، وخيرَ الهدى هدى محمد صلى الله عليه وسلم، وشرَّ الأمورِ محدثاتُها، وكلَّ محدثة بدعةٌ، وكلَّ بدعة ضلالةٌ، وكلَّ ضلالة في النار

Suatu hari seorang sahabat yang bernama Sufyan bin Abdillah ats – tsaqafy mendatangi rasulullah ﷺ untuk bertanya tentang perkara agama, beliau berkata

يَا رسول الله، قُلْ لِي فِي الإِسْلَامِ قَوْلًا، لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أحدًا بَعْدَك

“Ya rasulullah, sampaikanlah kepadaku sebuah perkataan yang tidak perlu lagi aku tanyakan kepada orang lain.”
Mendengar pertanyaan tersebut, rasulullah ﷺ pun bersabda:

قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، ثُمَّ اسْتَقِمْ

“Katakanlah : aku beriman kepada Allah ﷻ, kemudian istqamahlah.”
(HR. Muslim).

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah.
Hadits ini menunjukkan kepada kita betapa bersemangatnya seorang sahabat nabi ﷺ untuk mengetahui bagaimana cara meningkatkan kualitas keislamannya, beliau bertanya tentang suatu perkara yang jelas, gamblang, bisa langsung beliau amalkan tanpa bertanya lagi kepada orang lain. Beliau berkata:

قولًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ

Katakanlah kepadaku sebuah perkataan yang ringkas tapi mengumpulkan kemanfaatan di dunia dan akhirat. Yang bisa aku hafal dan amalkan tanpa harus butuh bertanya kepada orang lain.

Rasulullah ﷺ pun langsung memberikan beliau sebuah kalimat ringkas, namun mengandung banyak mutiara hikmah, sebuah perkataan yang akan menghantarkan orang tersebut kepada kesuksesan di dunia dan akhirat. Beliau ﷺ bersabda:

قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، ثُمَّ اسْتَقِمْ

Katakanlah : aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.

Maksud dari hadits di atas adalah bukan sekedar mengucapkan iman kepada Allah, namun, perkataan tersebut harus didasari oleh keyakinan dalam hati tanpa ada keraguan sedikitpun dan perkataan tersebut melazimkan adanya amalan anggota tubuh sebagai bukti kejujuran kata iman.
Karena iman mencakup keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan dan amalan dengan anggota tubuh sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama ahlussunnah.

Sebagai contoh, orang yang meyakini kebenaran islam tapi belum mengucapkan perkataan keimanan, belum mengucapkan dua kalimat syahadat, maka belum sah keimanannya. Sehingga jika ada orang yang ingin memeluk agama islam, tidak boleh kita tunda dirinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat walaupun sebentar, karena kita tidak tahu kapan maut akan mendatanginya.

Jika dia mati sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat, bagaimana hukumnya?
Maka orang tersebut tetap dihukumi sebagai orang kafir di dunia, sedangkan di akhirat dikembalikan urusannya kepada Allah ﷻ.

Begitu pula amalan, juga merupakan syarat / rukun keimanan, seseorang yang beriman kepada Allah ﷻ tentu akan beribadah kepada Allah, mentaatiNya dan menjauhi laranganNya.

Kaum Muslimin yang semoga diberikan keberkahan.

Lalu rasulullah ﷺ bersabda:

ثُمَّ اسْتَقِمْ

Sabda beliau ini menunjukkan keutamaan istiqamah dalam islam. Apa yang dimaksud dengan istiqamah?
Istiqamah yaitu: selalu bersabar untuk berada di atas jalan agama yang qawim/lurus ini. Sebagaimana firman Allah ﷻ:

واعبد ربك حتى يأتيك اليقين

“dan sembahlah Rabbmu sampai kematian mendatangimu”

Kalau ini yang difirmankan Allah ﷻ kepada rasulullah ﷺ untuk selalu istiqamah dalam ketaatan dan beribadah kepada Allah ﷻ, lalu bagaimana dengan orang selain rasulullah ﷺ?.

Oleh karenanya kaum muslimin, jadilah orang yang beriman kepada Allah ﷻ dan pertahankan keimanan tersebut sampai datangnya kematian.


Khutbah Kedua

الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين على أمور الدنيا والدين، أشهد أن لا إلا الله إله الأولين والآخرين، وأشهد أن سيدنا ونبينا محمد عبده وورسوله المبعوث رحمة للعالمين.
صلوات ربي وسلامه عليه وعلى آله وصحبه أجمعين

Kaum muslimin yang semoga dimuliakan Allah ﷻ.
Istiqamah di atas jalan ketaatan merupakan kunci untuk medapatkan ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan mendapatkan surga Allah nanti di akhirat.
Allah ﷻ berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang – orang yang berkata : Rabb kami Adalah Allah, kemudian mereka istiqamah, para malaikat akan turun dan berkata kepada mereka: “janganlah kalian takut lagi bersedih, dan terimalah kabar gembira yang telah dijanjikan kepada kalian berupa surga”.

Oleh karenanya para ulama berkata:

أَعْظَمُ الكَرَامَةِ لُزُوْمُ الاِسْتِقَامَة

“Karamah teragung (yang Allah berikan kepada hamba) adalah berupa selalu istiqamah (dalam ketaatan)”.

أَيُّهَا المؤمِنُوْن صَلُّوْا عَلَى نَبِيِّكُمْ فَقَدْ أَمَرَكُمُ الله بِهِ فَقَالَ:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتْ

اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

BIMBINGAN ISLAM 

Inilah Dahsyatnya Bahaya Hasad

Hakikat Hasad

Hasad adalah sikap tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan pada orang lain. Sikap hasad tidak harus disertai harapan agar nikmat tersebut hilang dari orang lain. Maka cukuplah seorang dikatakan hasad apabila dia memiliki rasa tidak suka terhadap nikmat yang ada pada orang lain, baik dia punya harapan nikmat tersebut hilang ataupun tetap ada. Demikianlah makna hasad yang disimpulkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

الحسد كراهة الانسان ما انعم الله به على غيره

“Hasad adalah sikap tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain.” (Dinukil dari Kitaabul ‘Ilmi)

10 Bahaya Hasad

Setidaknya hasad memiliki 10 bahaya sebagai berikut:
Pertama, Membenci segala sesuatu yang telah Allah takdirkan. Orang yang tidak suka dengan nikmat Allah yang ada pada orang lain berarti dia membenci takdir Allah dan menentang takdir Allah.

Kedua, Hasad akan menghapus kebaikan-kebaikan seperti api yang membakar habis kayu. Umumnya orang yang hasad akan berbuat zalim kepada orang yang tidak dia sukai dengan menyebut kejelekan-kejelekannya, mengajak orang lain untuk membencinya, merendahkan kehormatannya, dan perbuatan jelek lainnya. Ini semua merupakan di antara dosa besar yang bisa menghapus amal kebaikan.

Ketiga, Orang yang hasad di dalam hatinya akan dipenuhi penyesalan dan api yang berkobar melahap hatinya sehingga menimbulkan kesengsaraan batin. Setiap dia melihat nikmat Allah pada orang lain maka dia akan semakin sedih dan sempit dadanya. Dia akan selalui mengawasi orang yang tidak dia sukai dan setiap kali bertambah nikmat yang ada pada orang tersebut maka bertambah pula kesedihannya dan semakin sempit dadanya.

Keempat, Orang yang hasad menyerupai sifat orang Yahudi. Barangsiapa yang memiliki sifat orang kafir maka dia menjadi bagian dari mereka dalam sifat tersebut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka. (HR. Abu Daud, hasan)

Kelima, Sebesar apapun hasad seseorang terhadap orang lain, maka tidak mungkin akan bisa menghilangkan nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan kepada orang tersebut. Jika kondisi tersebut tidak mungkin, mengapa masih ada hasad dalam hati?

Keenam, Hasad bertentangan dengan kesempurnaan iman, karena Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Salah seorang di antara kalian tidaklah akan beriman dengan sempurna hingga menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Konsekuensi dari hadits ini adalah semestinya engkau tidak suka apabila hilang nikmat Allah yang ada pada saudaramu. Jika engkau tidak merasa sedih dengan hilangnya nikmat Allah yang ada pada saudaramu, maka engkau belum menginginkan untuk saudaramu sebagiamana yang engkau inginkan untuk dirimu sendiri. Yang seperti ini bertentangan dengan kesempurnaan iman.

Ketujuh, Hasad menyebabkan seorang hamba meninggalkan berdoa kepada Allah. Engkau akan mendapatinya terus memikirkan nimat yang Allah karuniakan kepada orang lain. Pada akhirnya dia pun tidak meminta karunia kepada Allah, padahal Allah berfirman :

وَلاَ تَتَمَنَّوْاْ مَا فَضَّلَ اللّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُواْ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (QS. An Nisaa’:32)

Kedelapan, Hasad akan menyebabkan seseorang meremehkan nimat Allah yang ada pada dirinya sendiri. Orang yang hasad akan melihat bahwa dirinya tidak mendapat nikmat sedangkan orang yang dia benci mendapat nikmat yang lebih besar darinya. Maka ketika itu dia sedang merendahkan nikmat Allah yang ada pada dirinya dan tidak mensyukurinya.

Kesembilan, Hasad adalah akhlak tercela. Orang yang hasad akan menyelidiki nikmat Allah yang ada pada orang lain di lingkungan masyarakat sekitarnya. Dia akan berusaha menjauhkan antara orang yang dia benci dengan orang lain di sekitarnya dengan merendahkannya, meremehkan kebaikan yang dia lakukan, dan sebagainya.

Kesepuluh, Orang yang hasad pada umumnya akan menzalimi orang lain yang dia benci. Maka ketika itu orang yang dia benci akan mengambil kebaikan yang ada pada dirinya. Jika dia sudah tidak punya kebaikan, maka kejelekan orang yang dia benci akan diberikan kepadanya, kemudian dia pun dilemparkan masuk neraka.

Waspada Hasad Sesama Penuntut Ilmu

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menasihati kita semua, “Hasad adalah akhlak yang jelek. Sangat disayangkan hasad paling banyak justru terjadi di antara para ulama dan penuntut ilmu. Hasad bisa terjadi di antara sesama para pedagang. Hasad juga terjadi pada setiap profesi yang lain antar sesamanya. Akan tetapi sangat disayangkan hasad yang terjadi di antara sesama ulama dan sesama penuntut ilmu lebih parah. Padahal sepatutnya dan sepantasanya para ahli ilmu adalah orang yang jauh dari sikap hasad dan mereka semestinya adalah orang yang paling dekat dengan sifat-sifat akhlak mulia.” (Kitaabul ‘Ilmi)

Beliau juga menasehatkan, “Engkau wahai saudaraku, jika engkau melihat Allah memberikan nikmat kepada orang lain maka janganlah engkau membenci nikmat tersebut. Ucapkanlah semisal doa ini,

اللهم زده من فضلك أعطني أفضل منه

“Ya Allah, tambahkanlah kepadanya karunia-Mu, dan anugerahkan untukku yang lebih baik dari itu.”

Hasad sama sekali tidak akan mengubah keadaan, bahkan pada sifat hasad terdapat berbagai kerusakan dan bahaya, di antaranya 10 hal di atas. Barangkali barangsiapa merenungkannya akan mendapati bahaya hasad yang lebih dari itu.

Allahul musta’ann.

Demikan sekilas tentang hasad dan berbagai dampak buruknya. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi bahan introspeksi bagi kita untuk menjauhi sifat jelek ini.

Penulis : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Sang Perusak yang Merasa Sebagai Sang Pembela

AL-QURAN seringkali menyindir jenis manusia yang mengira dirinya sebagai orang baik sementara aslinya adalah orang yang selalu saja melakukan hal sesat menyesatkan. Manusia jenis ini adalah manusia yang tertipu dengan dirinya sendiri.

Sesungguhnya, andai dirinya mau jujur membaca dan mendengarkan suara hatinya sendiri, dia tahu akan niat busuknya, niat jeleknya. Namun karakter kesyetanan dan kebinatangannya menutupi jalan ini sehingga dirinya tetap merasa sebagai yang benar.

Agar tak tertipu dengan diri kita sendiri, biasakanlah mendengarkan suara hati nurani sendiri dalam keheningan. Pikirkan dengan jernih dan tulus jujurlah. Rasulullah memerintahkan Wabishah untuk meminta fatwa pada dirinya sendiri, pada hatinya sendiri. Hati yang paling dalam itu sesungguhnya cinta damai, benar dan indah.

Bagaimana kalau perkataan kita dan perbuatan kita membuat orang lain dan sekeliling kita menjadi sedih, kecewa dan rusak? Saya bisa pastikan bahwa di situ ada yang salah. Mungkin saja salah niat, mungkin saja salah cara, mungkin saja salah waktu, mungkin juga salah tempat atau salah orang. Dibutuhkan peerenungan mendalam untuk menjadi bijak.

Seorang tamu yang masih kerabat mengunjungi saudarinya yang baru melahirkan. Dia bertanya kepada saudarinya itu: “Selamat melahirkan ya. Saya ikut senang. Dapat hadiah apa dari suamimu?” Saudarinya menjawab dengan menundukkan muka sambil berkata lirih bahwa tidak diberi hadiah apapun. Tamu itu bertanya lagi: “Masa sih tidak diberi hadiah apapun? Bukankah anak adalah bernilai? Bukankah melahirkan itu sebuah perjuangan?” Saudarinya semakin menunduk malu. Sang tamu berpamitan pulang, tak lama setelah itu.

Sang tamu tak merasa salah dengan kata-katanya. Memang benar bahwa melahirkan anak adalah anugerah, juga benar bahwa melahirkan adalah perjuangan. Tak ada yang salah, bukan? Kisah tak berhenti di sini. Sang suami datang, sang istri dingin dan mempertanyakan kepantasannya mendapatkan hadiah. Mereka bertengkar, kemudian sang suami menceraikannya. Siapakah yang paling bersalah?

Sungguh sang tamu itu termasuk “minal mufsidin’, pengrusak yang dibenci Allah. Jangan biasa merusak kedamaian hati orang lain dengan cara bersembunyi di balik tampilan benar secara kata. Jangan mengandalkan kepandaian berkilah. Tanyakan pada hati kita, niat sesungguhnya apa dan bagaimana cara yang tepat mrngutarakan dan melaksanakannya. Menjadi bijak itu ternyata sulit. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Akhir Cerita dari Orang-Orang yang Lalai

Dalam Surat Yunus ayat 7 hingga ayat 10, Allah Swt menyebutkan tempat terakhir bagi orang-orang yang lalai. Di sana di ceritakan bagaimana kelak mereka akan mendapatkan balasan dan adzab atas kelalaian mereka.

Mari kita simak ayat-ayat berikut ini :

إِنَّ ٱلَّذِينَ لَا يَرۡجُونَ لِقَآءَنَا

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami…”

(1). Di sana ada orang-orang yang sibuk dengan kehidupan dunianya. Mereka menganggap bahwa kehidupan ini adalah segala-galanya. Sehingga untuk mengingat kehidupan akhirat saja mereka enggan, apalagi memikirkannya.

Bagi mereka tidak ada istilah-istilah hari pembalasan, hari pertanggung jawaban dan sebagainya.

وَرَضُواْ بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا

“..dan merasa puas dengan kehidupan dunia..”

(2). Karena dunia adalah segalanya bagi mereka, maka tidak ada sesuatu yang mereka kejar kecuali kenikmatan-kenikmatam dunia. Bagaimana pun caranya !

وَٱطۡمَأَنُّواْ بِهَا

“..serta merasa tenteram dengan (kehidupan) itu..”

(3). Orang-orang semacam ini merasa akan hidup selamanya. Kematian yang terjadi setiap hari di depan matanya tidak pernah membuatnya berpikir bahwa hidup ini benar-benar singkat dan sementara.

Mereka tidak mau mempertimbangkan bagaimana bila akhirat itu benar-benar ada dan semua yang di katakan para Rasul itu benar adanya !

وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنۡ ءَايَٰتِنَا غَٰفِلُونَ

“..dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.” (QS.Yunus:7)

(4). Mereka sibuk dengan dunia, sehingga tak pernah memikirkan kehidupan setelahnya. Hidup mereka tak pernah lepas dari kelalaian padahal tanda-tanda Kebesaran Allah selalu tampak jelas di depan mata.

Maka sudah jelas, orang-orang semacam ini pasti akan menolak kebenaran dan lari dari jalan hidayah Allah Swt.

Lalu apa hasil yang akan mereka peroleh kelak ? Dan kemana mereka akan berpulang ?

أُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمُ ٱلنَّارُ بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ

“Mereka itu tempatnya di neraka, karena apa yang telah mereka lakukan.” (QS.Yunus:8)

Dari ayat-ayat ini, Allah ingin menjelaskan bahwa akhir cerita dari setiap manusia bergantung pada caranya dalam memandang kehidupan. Bila ia memandang kehidupan dunia adalah segalanya, maka tentu ia akan mengejar dunia dengan menghalalkan segala cara. Namun bila ia memandang dunia hanya sementara dan akhirat adalah rumah abadinya, maka tentu ia akan mengejar dunia sekedarnya saja dan fokus membangun akhiratnya.

Tapi kira-kira, bagaimana akhir cerita dari orang-orang beriman ?

Simak ayat-ayat selanjutnya pada esok hari, Insya Allah !

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Syirik adalah Kezaliman Terbesar

Saudaraku seiman yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, mari kita renungkan, apabila ada seseorang yang menzalimi ibu Anda, orang tersebut adalah orang yang baik akhlaknya di masyarakat,  muamalahnya bagus, tetapi dia hanya zalim kepada ibu anda saja. Bagaimana penilaian Anda terhadap orang tersebut? Tentu saja, Anda akan menilai orang tersebut buruk dan jelek, meskipun dia baik ke semua orang, kecuali kepada ibu Anda saja.

Nah, demikianlah orang yang melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala, melakukan berbagai macam pelanggaran tauhid serta tidak menunaikan hak Allah Ta’ala di muka bumi, bahkan tidak beriman kepada Allah Ta’ala alias kafir. Meskipun dia baik ke semua orang, tetapi dia telah melakukan hal buruk kepada Allah Ta’ala karena telah melakukan kezaliman terbesar, yaitu kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman bahwa dosa syirik adalah dosa dan kezaliman terbesar,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (QS. Luqman: 13)

Maksud dari kezaliman yang besar adalah kezaliman yang paling zalim, yaitu syirik. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

أي : هو أعظم الظلم

“Yaitu (syirik adalah) kezaliman yang paling besar.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Dalam berbagai nash (dalil tegas) disebutkan dosa kesyirikan adalah dosa dan kezaliman yang terbesar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)

Meskipun mereka (orang kafir) adalah orang yang baik akhlaknya dan bagus muamalahnya, akan tetapi Allah Ta’ala menyebutkan mereka adalah seburuk-buruk makhluk.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6)

Walau mereka seburuk-buruk makhluk, tentu kita tidak boleh menzalimi mereka, tetap bergaul dan bermuamalah yang baik selama mereka tidak mengganggu kita dan memerangi Islam.

Mungkin muncul pertanyaan, “Mengapa ada orang kafir yang baik akhlaknya dan sering melakukan kegiatan sosial membantu sesama, lalu mati dalam keadaan kafir dan tidak beriman, lalu Allah memasukkan dia ke dalam neraka? Sepertinya tidak adil.”

Jawabannya:

Ini bahkan keadilan, karena dia telah zalim dan melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Dia baik kepada manusia tetapi tidak baik terhadap penciptanya yang telah memberikan kehidupan, rezeki, dan segalanya kepadanya. Demikian juga bisa kita buat permisalan, apabila ada orang yang tidak daftar sekolah, dia ikut semua pelajaran dengan baik, apakah dia dapat ijazah? Tentu tidak, demikian juga orang kafir yang tidak beriman.

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Wakaf: Amalan Para Sahabat radhiyallahu’anhum (Bag. 2)

Baca artikel sebelumnya di Wakaf: Amalan Para Sahabat radhiyallahu’anhum (Bag. 1)

Bismillah,

walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du

Dalil wakaf dari As-Sunnah [1]

Seluruh dalil yang menunjukkan keutamaan dan dorongan bersedekah, maka otomatis berkonsekuensi menunjukkan keutamaan wakaf [2]. Hal ini karena wakaf termasuk bentuk sedekah yang paling bisa diharapkan pahala besarnya dan termasuk paling bermanfaat.

Banyak hadis yang mendorong untuk berwakaf, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة: إلا من صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له

“Jika seorang mati, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, yaitu: dari sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Di antara ulama ada orang yang mentafsirkan “shadaqah jariyah” itu khusus wakaf, di antaranya adalah An-Nawawi rahimahullah. Hal ini karena shadaqah jariyah termasuk amalan yang tidak terputus pahalanya, dan tidak mungkin sebuah sedekah terus mengalir pahalanya kecuali dengan mewakafkan sesuatu yang tahan lama dengan cara mengeluarkan dari kepemilikan waqif, tidak boleh dimilikinya. Karena harta wakaf adalah milik Allah semata, guna diambil manfaatnya oleh kaum muslimin dalam jangka panjang.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadis di atas,

وكذلك الصدقة الجارية وهي الوقف

“Dan demikian pula shadaqah jariyah, yaitu wakaf.” [3]

Imam An-Nawawi rahimahullah dalam menjelaskan hadis di atas juga berkata,

وفيه دليل لصحة أصل الوقف وعظيم ثوابه

“Dalam hadis di atas terdapat dalil sahnya amalan wakaf dan juga pahalanya yang besar.”

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سبع يجري للعبد أجرهنّ وهو في قبره بعد موته: من عَلّم علماً، أو أجرى نهراً، أو حفر بئراً، أو غرس نخلاً، أو بنى مسجداً، أو ورّث مصحفاً، أو ترك ولداً يستغفر له بعد موته

“Tujuh kebaikan seorang muslim yang pahalanya akan terus mengalir meskipun ia telah berada di kuburnya setelah ia meninggal dunia, yaitu seseorang yang mengajarkan ilmu (syar’i), menyalurkan air sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf Al-Quran dan meninggalkan anak yang memohonkan ampun untuknya ketika ia sudah meninggal.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’)

Hadis pokok sebagai dasar definisi wakaf adalah hadits berikut ini.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ ؟ قَالَ : ” إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا “. قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ، وَفِي الْقُرْبَى، وَفِي الرِّقَابِ ، وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ، وَالضَّيْفِ، لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ، وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

“Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Umar bin Al-Khaththab mendapatkan harta rampasan perang berupa sebidang lahan tanaman di daerah Khaibar. Dia pun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta arahan beliau tentang harta tersebut. Umar berkata,

‘Wahai Rasulullah, saya mendapatkan sebidang lahan tanaman (dari harta rampasan) di Khaibar, saya tidak pernah sekalipun mendapatkan harta sebagus lahan tanaman ini sebelumnya. Lalu apa yang anda perintahkan kepadaku terhadap lahan tersebut?’

Beliau bersabda, ‘Jika Engkau mau, Engkau tahan lahan tersebut (dari dimiliki [4]) dan Engkau sedekahkan (hasil tanaman)-nya’.

Ibnu Umar berkata, ‘Lalu Umar pun mewakafkannya, yang mana tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan olehnya.’

(Namun) Umar mewakafkannya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, jihad fi sabilillah, musafir (yang kehabisan bekal), dan untuk menjamu tamu.

Tidak berdosa bagi pengurus wakaf tanah tersebut untuk memakan dari (hasil tanaman)-nya dengan cara yang baik [5], dan memberi makan teman/tamunya tanpa berlebihan [6].” (HR. Al-Bukhari, Kitab Asy-Syuruth, Bab Asy-Syuruth fi Al-Waqf (2737))

Penjelasan:

Hadis ini merupakan dalil pokok tentang hakikat amalan wakaf, karena di dalamnya terdapat penjelasan tentang definisi wakaf.

Dalam hadis ini, terdapat kisah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu yang mendapatkan harta rampasan perang berupa sebidang lahan tanaman di daerah Khaibar, sebuah daerah 160 kilometer utara dari Kota Madinah, dan daerah Khaibar adalah daerah pertanian.

Lahan tanaman milik Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu tersebut adalah harta termahal yang pernah dia miliki dan sebelumnya dia tidak pernah memiliki harta semahal lahan tersebut.

Di sisi lain, para sahabat radhiyallahu’anhum berlomba-lomba untuk mengumpulkan amalan yang bisa menjadi tabungan mereka di akhirat, apalagi amalan yang sifatnya mengalir pahalanya, meskipun setelah pelakunya meninggal dunia.

Demikian gemarnya para sahabat berwakaf, sehingga dahulu mayoritas sahabat yang memiliki kemampuan harta, tidaklah mau menyia-nyiakan kesempatan untuk berwakaf.

Singkat kisah, Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta arahan, dengan harapan besar Umar mendapatkan kebaikan yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92)

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada Umar bentuk sedekah yang tergolong amalan terbaik, yaitu wakaf, dengan cara menahan lahan tersebut dari dimiliki, karena barang wakaf itu kepemilikannya kembali kepada Allah Ta’ala semata. Sehingga lahan tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, tidak boleh diwariskan, diharapkan dengan ditahan, lahan tersebut akan tetap terjaga terus, disisi lain Umar menyedekahkan hasil tanamannya untuk dimanfaatkan oleh kaum muslimin.

Umar pun mengikuti arahan Utusan Allah yang paling mulia ini dengan mewakafkannya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, membantu mujahidin dalam berjihad fi sabilillah, musafir yang kehabisan bekal, dan untuk keperluan menjamu tamu, karena menjamu tamu termasuk bagian dari keimanan kepada Allah Ta’ala.

Dikarenakan wakaf itu membutuhkan orang yang mampu mengurus dan menjaganya, maka perlunya keringanan baginya demi lancarnya kepengurusan lahan tersebut, yaitu dalam bentuk pengurus tersebut dibolehkan memakan hasil tanaman lahan itu dengan baik sesuai dengan adat masyarakat setempat, dan dibolehkan juga memberi makan teman/tamunya tanpa berlebihan, seperlunya dan tidak mengambilnya untuk dimiliki dan tidak pula untuk disimpan (ditimbun) [7].

[Bersambung]

***

Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel: Muslim.or.id

Cukup Allah Sebagai Pembelaku!

Di akhir Surat at-Taubah, Allah Swt Berfirman :

فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقُلۡ حَسۡبِيَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ

Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.” (QS.At-Taubah:129)

Secara umum, ayat ini di tujukan untuk Baginda Nabi Muhammad Saw.

Yakni فَإِن تَوَلَّوۡاْ (jika mereka berpaling), artinya apabila mereka menolak dan menentang risalah yang kau bawa wahai Muhammad. Yang sebenarnya akan membawa mereka menuju kebaikan dunia dan akhirat, maka ucapkan : حَسۡبِيَ ٱللَّهُ (Cukuplah Allah bagiku). Cukuplah Allah sebagai tempat ku bersandar, tempat ku mencari pertolongan dan yang akan mencukupi segalanya dalam hidupku. Dan tiada selain-Nya yang mampu untuk mencukupiku !

وَإِن تَوَلَّوۡاْ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَوۡلَىٰكُمۡۚ نِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ

“Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS.Al-Anfal:40)

Pada ayat di atas, Rasulullah Saw diperintahkan untuk benar-benar mengucapkan kalimat : حَسۡبِيَ ٱللَّهُ dengan lisan, bukan sekedar diperintah untuk bertawakal sebagaimana dalam ayat :

فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۖ إِنَّكَ عَلَى ٱلۡحَقِّ ٱلۡمُبِينِ

“Maka bertawakallah kepada Allah, sungguh engkau (Muhammad) berada di atas kebenaran yang nyata.” (QS.An-Naml:79)

Dan bukan hanya sebagai pemberitahuan saja, seperti dalam ayat :

فَإِنَّ حَسۡبَكَ ٱللَّهُۚ

“Maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu.” (QS.Al-Anfal:62)

Ayat di atas ingin mengajarkan kepada Rasulullah Saw dan kaum mukminin agar apabila ada orang-orang yang berpaling dari petunjuk Al-Qur’an, menentang syariat dan menolak kebenaran, maka JANGAN BERSEDIH !

Ucapkan حَسبِيَ اللَّه !

Cukuplah Allah sebagai pelingdungku, pembelaku dan penolongku. Kuasa-Nya tak terbatas oleh segala sesuatu.

Tiada penentang-Nya yang bisa lari dari siksa-Nya. Dan tiada pula pembela-Nya yang tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal.

Maka sebanyak apapun orang yang berpaling dari-Nya tidak akan pernah mengurangi kekuatan dan kuasa-Nya. Jangan pernah bersedih karena kehilangan pembela, karena pembela sejatimu adalah Allah Swt !

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Rahasia Shalat Dhuha

ALLAH SWT dalam beberapa ayat bersumpah dengan waktu Dhuha. Dalam pembukaan surat As-Syams, Allah berfirman, “Demi matahari dan demi waktu Dhuha.” Bahkan, ada surat khusus di Alquran dengan nama Addhuha.

Pada pembukaannya, Allah berfirman, “Demi waktu Dhuha.” Imam Arrazi menerangkan bahwa Allah SWT setiap bersumpah dengan sesuatu, itu menunjukkan hal yang agung dan besar manfaatnya. Bila Allah bersumpah dengan waktu Dhuha, berarti waktu Dhuha adalah waktu yang sangat penting. Benar, waktu Dhuha adalah waktu yang sangat penting. Di antara doa Rasulullah SAW: Allahumma baarik ummatii fii bukuurihaa. Artinya, “Ya Allah berilah keberkahan kepada umatku di waktu pagi.”

Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang aktif dan bangun di waktu pagi (waktu Subuh dan Dhuha) untuk beribadah kepada Allah dan mencari nafkah yang halal, ia akan mendapatkan keberkahan. Sebaliknya, mereka yang terlena dalam mimpi-mimpi dan tidak sempat shalat Subuh pada waktunya, ia tidak kebagian keberkahan itu.

Abu Dzar meriwayatkan sebuah hadits. Rasulullah SAW bersabda, “Bagi tiap-tiap ruas anggota tubuh kalian hendaklah dikeluarkan sedekah baginya setiap pagi. Satu kali membaca tasbih (subhanallah) adalah sedekah, satu kali membaca tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah, satu kali membaca takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, dan mencegah kemunkaran adalah sedekah. Dan, semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha,” (HR Muslim).

Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat Dhuha empat rakaat. Dalam riwayat Ummu Hani, “Kadang Rasulullah SAW melaksanakan shalat Dhuha sampai delapan rakaat,” (HR Muslim). Imam Attirmidzi dan Imam Atthabrani meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa bila seseorang melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu ia berdiam di tempat shalatnya sampai tiba waktu Dhuha, kemudian ia melaksanakan shalat Dhuha, ia akan mendapatkan pahala seperti naik haji dan umrah diterima. Para ulama hadis merekomendasikan hadis ini kedudukannya hasan.

Jelaslah bahwa shalat Dhuha sangat penting bagi orang beriman. Penting bukan karena seperti yang banyak dipersepsikan bahwa shalat Dhuha ada hubungannya dengan mencari rezeki, melainkan ia penting karena sumpah Allah SWT dalam Al-Quran. Maka, sungguh bahagia orang-orang beriman yang memulai waktu paginya dengan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu dilanjutkan dengan shalat Dhuha. []

ISLAM POS



Ini Manfaat Shalat Dhuha untuk Kesehatan

SHALAT dhuha dikerjakan ketika matahari mulai terbit. Umumnya orang-orang mengerjakan shalat ini sebelum menjalankan aktivitas yang padat. Sehingga shalat ini bisa dibilang sebagai persiapan awal seseorang melakukan kegiatan yang penuh tantangan.

Selain bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan rohani seseorang, ternyata shalat duha ini juga bermanfaat untuk kesehatan. Pasalnya, dalam sholat dhuha terdapat beberapa gerakan yang bisa dimanfaatkan sebagai salah satu kegiatan dalam berolahraga. Maka, manfaat shalat dhuha terlihat jelas sekali bagi kesehatan.

Dr. Ebrahim Kazim—seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy—menyatakan, “Repeated and regular movements of the body during prayers improve muscle tone and power, tendon strength, joint flexibility and the cardio-vascular reserve.” Gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.

Bedanya dengan olah raga biasa adalah memiliki pahala yang luar biasa jika dikerjakan. Seperti yang diriwayatkan Buraidah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Dalam tubuh manusia terdapat 360 persendian, dan ia wajib bersedekah untuk tiap persendiannya.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang sanggup, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ludah dalam masjid yang dipendamnya atau sesuatu yang disingkirkannya dari jalan. Jika ia tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupinya.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Shalat Dhuha tidak hanya berguna untuk mempersiapkan diri menghadapi hari dengan rangkaian gerakan teraturnya, tapi juga menangkal stress yang mungkin timbul dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan keterangan dr. Ebrahim Kazim tentang shalat, yaitu, “Simultaneously, tension is relieved in the mind due to the spiritual component, assisted by the secretion of enkephalins, endorphins, dynorphins, and others.”

Ada ketegangan yang lenyap karena tubuh secara fisiologis mengelurakan zat-zat seperti enkefalin dan endorphin. Zat ini sejenis morfin,termasuk opiate. Efek keduanya juga tidak berbeda dengan opiate lainnya. Bedanya, zat ini alami, diproduksi sendiri oleh tubuh, sehingga lebih bermanfaat dan terkontrol.

Jika barang-barang terlarang macam morfin bisa memberi rasa senang, yang kemudian mengakibatkan ketagihan disertai segala efek negatifnya. Namun, endorphin dan enkefalin ini tidak. Ia memberi rasa bahagia, lega, tenang, rileks, secara alami. Menjadikan seseorang tampak ebih optimis, hangat, menyenangkan, serta seolah menebarkan aura ini kepada lingkungan di sekelilingnya. []

Sumber: SatuMedia

ISLAM POS