Mauidhoh dalam Al-Qur’an

Allah Swt menurunkan Al-Qur’an kedalam hati Baginda Nabi Saw dan menyematkan bermacam sifat mulia kepada kitab suci ini.

Salah satu sifat yang diberikan oleh Allah kepada Al-Qur’an adalah sebagai Mauidhoh (pelajaran).

Allah Swt berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ

“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” (QS.Yunus:57)

Allah Swt menciptakan manusia dan membimbing mereka menuju jalan kebenaran dan kebaikan. Para Nabi pun diutus untuk mengingatkan dan memberi petunjuk kepada sebaik-baik jalan. Al-Qur’an juga memiliki tugas sebagai kitab petunjuk dan pelajaran yang akan menyelamatkan manusia dari jurang kebodohan dan kesesatan.

ذَٰلِكُمۡ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ

“Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. (QS.Ath-Thalaq:2)

Siapa yang berbuat baik, maka kebaikannya untuk dirinya sendiri. Dan siapa yang berbuat buruk, maka keburukan itu pasti akan kembali kepada dirinya pula. Karena Allah telah menjanjikam beragam kemuliaan di dunia dan akhirat bagi orang-orang Sholeh dan adzab serta kerugian bagi orang-orang durjana.

Umat ini juga mendapat gelar umat terbaik ketika mereka saling mengingatkan dan saling menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Maka setiap manusia hendaknya menyadari perannya dalam kehidupan ini. Dan hendaknya ia memiliki alarm dalam jiwanya untuk menegur dirinya sendiri ketika berbuat kesalahan.

Karena sebenarnya alarm itu telah tertanam dalam diri kita, namun seringkali kita sendiri yang mengabaikannya. Maka dengarkan jiwamu yang selalu menegur ketika kau berbuat salah. Karena ketika engkau mendengarkan teguran dari hatimu, maka itu akan menambah dan menguatkan imanmu.

وَلَوۡ أَنَّهُمۡ فَعَلُواْ مَا يُوعَظُونَ بِهِۦ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ وَأَشَدَّ تَثۡبِيتٗا

“Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” (QS.An-Nisa’:66)

Semoga bermanfaat…

KHAZANA ALQURAN

Tafsir Surah al-Sajdah Ayat 26-27; Sebab Kehancuran Umat-Umat Terdahulu

Tidak henti-hentinya Allah Swt. memberikan nasihat dan pelajaran kepada makhluk-Nya. Berbagai hal yang disampaikan-Nya mengandung banyak hikmah dan petuah. Allah Swt. berfirman mengenai kehancuran umat-umat terdahulu:

أَوَلَمْ يَهْدِ لَهُمْ كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْقُرُونِ يَمْشُونَ فِي مَسَاكِنِهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ أَفَلَا يَسْمَعُونَ . أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَسُوقُ الْمَاءَ إِلَى الْأَرْضِ الْجُرُزِ فَنُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا تَأْكُلُ مِنْهُ أَنْعَامُهُمْ وَأَنْفُسُهُمْ أَفَلَا يُبْصِرُونَ

A wa lam yahdi lahum kam ahlaknā ming qablihim minal-qurụni yamsyụna fī masākinihim, inna fī żālika la`āyāt, a fa lā yasma’ụn. A wa lam yarau annā nasụqul-mā`a ilal-arḍil-juruzi fa nukhriju bihī zar’an ta`kulu min-hu an’āmuhum wa anfusuhum, a fa lā yubṣirụn (Baca: Tafsir Surah al-Sajdah Ayat 25; Allah Akan Memutuskan Perselisihan Hamba-Nya)

Artinya: “Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Tuhan). Maka apakah mereka tidak mendengarkan (memperhatikan)?. Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami mengahalau (awan yang mendung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman-tanaman yang daripadanya (dapat) makan binatang-binatang mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?” (Q.S.al-Sajdah: 26-27)

Imam al-Thabari dalam karyanya Tafsir al-Thabari mengartikan tidak menjadi petunjuk dengan makna tidak dijelaskan. Sebagaimana al-Thabari, Ibnu ‘Asyur dalam karyanya al-Tharir wa al-Tanwir memberikan arti yang hampir senada, yaitu tidak menjadi nasihat.

Kata mereka dalam kalimat bagi mereka diarahkan untuk para pendosa atau orang-orang yang telah disebutkan ayat-ayat Tuhan kepadanya, hal ini disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur. Pemahaman hampir senada disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam karyanya Tafsir Ibnu Kasir bahwa maksud mereka ialah para pendusta terhadap utusan-Nya.

Kata berjalan ditunjukan untuk mereka orang-orang mendustai para utusan, namun Imam al-Qurthubi dalam karyanya Tafsir al-Qurthubi memberikan dua arahan makna pada kata tersebut sebagai berikut:

” يَمْشُونَ فِي مَساكِنِهِمْ” يحتمل الضمير في” يَمْشُونَ” أن يعود على الماشين في مساكن المهلكين—إلى أن قال — ويحتمل أن يعود على المهلكين فيكون حالا، والمعنى: أهلكناهم ماشين في مساكنهم.

Berjalan di tempat-tempat kediaman mereka”, pelaku yang berjalan pada kalimat tersebut ialah mereka yang berjalan (melewati) pada kediaman kaum yang telah dibinasakan. Dapat juga diarahkan (pelaku) ialah para kaum yang telah dibinasakan. Artinya, Kami telah membinasakan mereka (para kaum) yang berjalan di tempat kediaman mereka”.

Imam al-Suyuti dalam karyanya al-Dur al-Mnatsur fi al-Tafsiri bi al-Ma’tsur menampilkan beberapa riwayat para ulama dalam mengartikan bumi yang tandus pada ayat di atas sebagai berikut: Pertama, Ibnu Abas mengartikanya tanah yang jarang sekali terkena hujan dan untuk kebutuhan tanah tersebut harus menadatangkan aliran air dari tempat lain. Kedua, dalam riwayat lain Ibnu Abas mengartikanya sebagai tanah Yaman. Ketiga, al-Mujahid memahaminya sebagai tanah yang diam (tidak dapat menumbuhkan sesuatu). Keempat, tanah tersebut adalah daerah antara Yaman dan Syam. Lain halnya dengan mereka, Ibnu Katsir memahaminya dengan tanah yang tidak terdapat tumbuhan sebagaimana firman-Nya “Menjadi tanah rata lagi tandus” (Q.S.al-Kahfi: 8), artinya tanah yang kering tidak dapat menumbuhkan apapun.

Allah Swt. memberikan sebuah pelajaran, petuah serta nasihat kepada orang-orang kafir tanah Makkah dengan adanya kaum-kaum terdahulu seperti kaum ‘Ad dan Luth yang telah mendustakan para utusan-Nya serta berpaling dari para rasul. Mereka (kaum ‘Ad dan Luth) semua telah dibinasakan oleh-Nya sebab kekufurannya, sedangkan orang-orang kafir tanah Makkah telah berjelajah, berdagang dan lain sebagaianya melewati tempat-tempat petilasan kaum-kaum terdahulu yang telah hancur tak menyisahkan apapun. Binasa dan hilangnya kaum-kaum terdahulu beserta rumah dan harta mereka, merupakan petuah untuk orang-orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya. Imam al-Thabari dalam karyanya Tafsir al-Thabari menyampaikan:

سنتنا فيمن سلك سبيلهم من الكفر بآياتنا، فيتعظوا وينزجروا

“Sebagai sunah Kami, barang siapa mengikuti jejak mereka mengkufuri ayat-ayat Kami, maka ambilah nasihat (dari kisah mereka) dan berhenti (dari kekufuranya)”.

BINCANG SYARIAH

10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga

Nabi Saw memiliki banyak sahabat yang membantunya dalam berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Di antara banyak sahabat tersebut, terdapat sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga dan oleh para ulama disebut dengan al-‘asyrah al-mubasysyarina bil jannah, atau sepuluh orang yang diberi kegembiraan dengan surga.

Sepuluh sahabat dimaksud adalah: Sayyidina Abu Bakar Al-Shiddiq, Sayyidina Umar bin Khaththab Al-Faruq, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Al-Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid bin Amru, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abdurrahman bin Auf, dia berkata

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ

Rasulullah Saw bersabda; Abu Bakar di surga, Umar di surga, Usman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad di surga, Sa’id di surga, Abu Ubaidah bin Jarrah di surga.

Juga berdasarkan hadis riwayat Imam Abu Dawud dari Sa’id bin Zaid, dia berkata;

أشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي سَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ: عَشْرَةٌ فِي الْجَنَّةِ: النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ شِئْتُ لَسَمَّيْتُ الْعَاشِرَ قَالَ: فَقَالُوا: مَنْ هُوَ؟ فَسَكَتَ قَالَ: فَقَالُوا: مَنْ هُوَ؟ فَقَالَ: هُوَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ.

Saya bersaksi mendengar Rasulullah Saw pernah bersabda; Sepuluh orang pasti masuk surga: Nabi di surga, Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman surga, Ali di surga, Thalhah surga, Zubair bin Al-Awwam di surga, Sa’ad bin Malik di surga, dan Abdurrahman bin Auf di surga. Jika aku mau, aku sampaikan yang kesepuluh. Mereka berkata; Siapakah dia? Beliau diam. Mereka bertanya lagi; Siapakah dia? Beliau menjawab; Dia adalah Sa’id bin Zaid.

BINCANG SYARIAH

Pentingnya Shalat

Shalat adalah rukun Islam yang paling utama setelah dua kalimat syahadat.  Shalat ini mencakup berbagai macam ibadah, seperti : dzikir kepada Allah, tilawah Kitabullah, berdiri menghadap Allah, rukuk, sujud, do’a, tasbih dan takbir.

Terdapat sejumlah hadits berkenaan dengan keutamaan dan hukumnya yang fardhu ‘ain. Dalam agama Islam, hukum wajibnya shalat lima waktu ini merupakan perkara yang telah diketahui secara luas, baik di kalangan ulama maupun di kalangan awam kaum muslimin (ma’luumun minad Diin bidh-dharuurah).  Barangsiapa yang mengingkarinya, ia telah murtad dari agama Islam. la dituntut untuk bertaubat. Jika tidak bertaubat, ia dihukum mati menurut ijma’ kaum muslimin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nisa : 103).

Terdapat sebagian fenomena yang patut disayangkan, yaitu adanya sebagian orang, ketika dalam proses pengobatan di rumah sakit dengan berbaring di atas tempat tidur dan tidak bisa turun darinya, atau tidak bisa mengganti pakaian yang terkena najis, atau dia tidak bisa menemukan tanah yang bisa dipakai untuk bertayamum, atau tidak bisa menemukan orang yang dapat menolongnya, maka ia mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya dan berkata,”Aku akan laksanakan shalat ini nanti, jika uzur telah tiada.”

Ini adalah kesalahan yang sangat besar, ia telah meninggalkan shalat karena ketidaktahuannya dan sikapnya yang tidak bertanya kepada orang yang mengetahui ilmunya.

Seharusnya orang yang keadaannya seperti itu, ia tetap melakukan shalat sesuai dengan keadaannya. Cukup baginya shalat dalam keadaan seperti itu, sekalipun ia harus melaksanakan shalat tanpa tayamum atau terpaksa harus mengenakan pakaian najis.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka,bertawakalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’’ [At-Taghabun: 16].

Bahkan, sekalipun shalat dengan tidak menghadap kiblat karena tidak mampu melakukannya, maka shalatnya tetap sah.

Ketahuilah, barangsiapa yang meninggalkan shalat karena menyepelekan atau malas, dan bukan  karena mengingkari kewajibannya, ia telah kafir menurut pendapat yang benar dari dua pendapat ulama. Pendapat itu adalah pendapat yang tepat karena adanya dalil-dalil, seperti hadits (artinya):

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

“Pemisah antara kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat’’.  [HR. Muslim]

Orang yang meninggalkan shalat selayaknya disebarluaskan berita tentang perbuatannya tersebut, agar kejelekannya diketahui masyarakat hingga dia jera dan melaksanakan shalat. Tidak patut kita mengucapkan salam kepadanya, tidak pula  memenuhi undanganya hingga ia bertaubat dan mendirikan shalat, karena shalat adalah tiang agama dan pembeda antara orang muslim dengan orang kafir. Sekalipun seorang hamba melakukan berbagai amalan, semua itu tidak akan bermanfaat baginya, selama ia masih meninggalkan shalat, begitulah secara ringkas penjelasan dari Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah.

Catatan:

Semua sikap itu tentunya diterapkan dengan tetap mempertimbangkan maslahat dan mudharat/bahaya yang ditimbulkannya di sebuah masyarakat, sehingga ketika diperkirakan dengan kuat bahwa akibat dari sikap tersebut justru menimbulkan bahaya dan kerusakan yang jauh lebih besar dari maslahatnya, seperti orang yang meninggalkan shalat tersebut tetap terus meninggalkan shalatnya, bahkan ditambah lagi dengan lari dari dakwah Islam serta menyulut api permusuhan, maka tuntutannya ketika itu adalah menggunakan pendekatan hikmah selain sikap itu, agar lunak hatinya sehingga ia dapat menerima kebenaran.

***

Referensi:

Ringkasan Fikih legkap jilid 1 dan 2, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan,Bekasi,2013,PT Darul Falah, dengan sedikit perubahan dan penambahan.

Penyusun: Dwi Rusiani

Murajaah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslimah.Or.Id

Yatim Piatu karena Orang Tuanya Sangat Sibuk, Tidak Peduli Anaknya

Selama ini kita mengetahui bahwa anak yatim-piatu adalah anak yang tidak memiliki ayah dan ibu lagi karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Akan tetapi, ada juga anak yang menjadi yatim-piatu karena orang tuanya benar-benar tidak memperhatikan anak-anak mereka. Orang tua tidak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan dalam sebuah syair disebutkan bahwa anak yatim bukanlah anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya. Akan tetapi, anak yatim adalah anak yang kedua orang tuanya sibuk dan tidak mengurusi anak-anaknnya.

Dalam sebuah syair Arab,

لَيْسَ الْيَتِيْمَ مَنِ انْتَهَى أَبَوَاهُ

مِنْ هَمِّ الْحَيَاةِ وَخَلَّفَاهُ ذَلِيلْاً

إِنّٓ الْيٓتِيْمٓ هُوٓ الَّذِي تَلْقٓى لٓهُ

أُمًّا تَخَلَّتْ أَوْ أَباً مَشْغُوْلاً

“Bukanlah anak yatim yang kedua orang tuanya telah tiada;

(Telah tiada) dari kehidupan dunia, lalu meninggalkan anak tersebut dalam keadaan hina;

Akan tetapi, anak yatim adalah anak yang kau dapati;

Ibunya tidak mempedulikannya atau ayahnya sibuk tidak mau mengurusnya” (Sya’ir Ahmad Syauqi).

Hendaknya orang tua tidak lalai mendidik dan memberikan perhatian kepada anak-anak mereka. Di zaman ini, kewajiban ini cukup banyak dilalaikan oleh orang tua. Karena di zaman ini, godaan sosial media, internet, dan gadget dapat melalaikan pendidikan orang tua terhadap anaknya. Misalnya, para ayah sibuk bermain gim, sedangkan para ibu sibuk nonton drama Korea, dan sibuk swafoto, serta belanja online. Semoga kita para orang tua dijauhkan dari hal semacam ini.

Anak adalah kewajiban dan amanah bagi orang tua. Orang tua, terutama ayah, memiliki tugas penting agar menjaga anak mereka dari api neraka; yaitu, dengan mengajarkan kebaikan, mendidik, dan memberikan perhatian kepada anak-anaknya.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻴﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭًﺍ

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Taahrim: 6).

Muqatil Rahimahullah menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah agar mendidik keluarga. Beliau Rahimahullah berkata,

ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣُﻘَﺎﺗِﻞٌ : ﺃَﻥْ ﻳُﺆَﺩِّﺏَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢُ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻭَﺃَﻫْﻠَﻪُ، ﻓَﻴَﺄْﻣُﺮَﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﺎﻫُﻢْ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺸَّﺮِّ

“Seorang muslim mendidik dirinya dan keluarganya, memerintahkan mereka kebaikan dan melarang dari keburukan” (Mafaatihul Ghaib Tafsir Ar-Raziy, 30: 527).

Jangan sampai anak kita menjadi seperti anak yatim, bahkan lebih parah dari anak yatim yang sesungguhnya. Hal ini karena mereka tidak mendapat perhatian dan pendidikan. Akibatnya, anak-anak menjadi rusak dan nakal. Kerusakan anak-anak disebabkan oleh kelalaian orang tuanya, yaitu tidak mengajarkan agama dan tidak memperhatikan dengan siapa anak-anak mereka bergaul. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah menjelaskan,

ﺍﻛﺜﺮ ﺍﻷﻭﻻﺩ ﺇﻧﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﺴﺎﺩﻫﻢ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻵﺑﺎﺀ، ﻭﺇﻫﻤﺎﻟﻬﻢ، ﻭ ﺗﺮﻙ ﺗﻌﻠﻴﻤﻬﻢ ﻓﺮﺍﺋﺾ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺳﻨﻨﻪ، ﻓﻀﺎﻋﻮﻫﻢ ﺻﻐﺎﺭﺍ

“Kebanyakan kerusakan anak disebabkan karena orangtua mereka. Mereka menelantarkannya dan tidak mengajarkan anak ilmu dasar-dasar wajib agama dan sunnah-sunnahnya. Mereka menyia-nyiakan anak-anak di masa kecil mereka” (Tuhfatul Maulud, hal. 387).

Jangan sampai kita menyesal kelak. Ketika anak-anak sudah dewasa, mereka tidak pernah merasakan kasih sayang dan memiliki kenangan indah dengan orang tuanya ketika kecil. Ketika-anak-anak sudah dewasa dan orang tua sudah mulai pikun serta tua renta, maka anak-anak tidak mau berbakti kepada orang tua mereka di masa tua.

Perhatikanlah syair berikut ini,

ﻳﺎﺃﺑﺖ، ﺇﻧﻚ ﻋﻘﻘﺘﻨﻲ ﺻﻐﻴﺮﺍ، ﻓﻌﻘﻘﺘﻚ ﻛﺒﻴﺮﺍ، ﻭﺃﺿﻌﺘﻨﻲ ﻭﻟﺪﺍ ﻓﺄﺿﻌﺘﻚ ﺷﻴﺨﺎ

“Wahai ayahku, sungguh engkau mendurhakaiku di waktu kecil. Maka aku pun mendurhakaimu di kala aku besar. Engkau menelantarkanku di waktu kecil, maka aku telantarkan Engkau di kala tua nanti” (Tuhfatul Maulud, hal. 387).

Semoga kita bisa menjadi orang tua saleh yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala untuk mendidik anak-anak kita agar sukses di dunia dan di akhirat. Aamiin.

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIMorid

Hukum Minta Bantuan Kepada Jin

Semaraknya dunia perdukunan, dan larisnya penjaja kesyirikan telah menghipnotis manusia yang lemah imannya untuk mengikuti kesesatannya. Ingin usaha sukses, terbebas dari penyakit, mencari kesaktian dengan bantuan jin, dan berbagai perilaku menyimpang yang esensinya meminta bantuan jin atau melalui para dukun agar keinginannya terkabul. Banyak umat terkecoh ketika sang paranormal, ustadz, atau kyai mengklaim semua jimat, amalan dzikir dan praktek pengobatanya berasal dari Al Qur’an dan As-Sunnah. Ini tipu daya setan yang hendak menjerumuskan dalam kesyirikan.

Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu’anhu berkata: “Di dalam lautan ada setan-setan yang di penjara dan ditali oleh Nabi Sulaiman, hampir-hampir akan keluar dan akan membacakan Al Qur’an kepada umat manusia” (HR. Muslim dalam mukadimah Shahih-nya, no.7. Dan lihat juga kitab Al-Bida’ Wan Nahyu ‘annha, karya Ibnu Wadhdhah, hal.65).

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Setan-setan itu membacakan suatu yang bukan dari Al Qur’an. Namun mereka katakan berasal dari Al-Qur’an untuk mengecoh orang-orang awam, maka janganlah terkecoh oleh mereka” (Al Minhaj Syarah Shahih Muslim, I/40).

Bangsa jin juga hamba Allah yang juga terkena perintah dan larangan-Nya. Meminta bantuan kepada jin adalah fitnah besar karena orang akan bersandar atau tergantung kepada jin dan menghilangkan tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla. Dan realitanya para penyembah jin atau paranormal, dukun dan orang yang bergantung pada ‘kehebatan’ atau keluarbiasaan kyai tertentu seringkali terjerumus melakukan amalan syirik dan bid’ah yang tidak ada tuntunanya dari Al-Qur’an dan As Sunnah. Seperti dzikir-dzikir aneh, puasa 40 hari, puasa mutih, memindahkan penyakit kepada hewan, memberi rajah yang dimasukkan ke air lalu diminum, memberi jimat, transfer energi, dan lain-lain yang semua itu tidak terlepas dari campur tangan setan.

Dan Nabi shallallahu’alahi wa sallam pernah terkena sihir namun beliau tidak minta bantuan jin muslim untuk mengetahui letak sihirnya. Begitu pun para sahabat pun tak pernah minta tolong pada jin.

Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh hafizhahullah berkata: “Meminta bantuan kepada jin muslim adalah sarana yang menjerumuskan pada perbuatan syirik, dan tidak boleh berobat kepada salah seorang yang meminta bantuan kepada jin muslim. Jika pertolongan jin itu tidak melalui permintaan, maka segeralah meminta perlindungan kepada Allah dari kejahatan jin, karena hal ini dapat membahayakan dan menjadi sarana agar manusia membenarkan berita mereka, lalu bersandar kepada mereka sepenuhnya. Serta dapat pula sebagai umpan agar manusia meminta bantuan kepada mereka. Kita berlindung kepada Allah dari makarnya yang menipu” (At-Tamhid li Syarhi Kitab At-Tauhid hal.616).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hukum meminta bantuan kepada jin muslim dalam rangka pengobatan. Beliau menjawab: “Tidak sepantasnya bagi seorang yang sakit meminta bantuan kepada jin, baik dalam rangka pengobatan, maupun selainnya. Hendaknya ia bertanya kepada dokter ahli sesuai dengan penyakit yang dideritanya. sedangkan meminta bantuan kepada jin adalah haram, karena hal ini bisa sebagai perantara menuju ibadah kepadanya dan berarti mempercayai mereka. Karena di kalangan jin ada yang kafir dan ada pula muslim, ada juga muslim tapi ahli bid’ah. Dan karena kita tidak bisa mengetahui keadaan mereka, maka tidak sepantasnya kita bersandar kepada mereka. Mestinya kita bertanya kepada ulama dan dokter dari kalangan manusia untuk mengetahui penyakit yang kita derita. Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang musyrik sebagaimana firman-Nya :

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al-Jin: 6).

Seorang mukmin harus meyakini bahwa Allah lah yang Maha Mengetahui perkara gaib. Dan Dia lah yang dimintai pertolongan dari setiap kesulitan. Ini pokok aqidah yang harus diimani. Meminta bantuan jin, biasanya meminta timbal balik yang bertentangan dengan syariat. Khadam atau jin yang bekerjasama dengan paranormal dan dukun, saling berkolaborasi menyesatkan manusia. Allah ta’ala berfirman:

وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (QS. An Nisa’: 60).

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Membongkar Tipu Daya Dukun Sakti Berkedok Wali, Zainal Abidin binSyamsudin, Lc. Pustaka Imam Bonjol, Jakarta, 2014.
2. Berteman Dengan Jin (terjemah) Walid Kamal Syukur, Wafa’ press, Klaten 2008

Artikel Muslimah.or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/12782-hukum-minta-bantuan-kepada-jin.html

Siapakah Sahabat Setan itu?

 وَمَن يَعۡشُ عَن ذِكۡرِ ٱلرَّحۡمَٰنِ نُقَيِّضۡ لَهُۥ شَيۡطَٰنٗا فَهُوَ لَهُۥ قَرِين

Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya.
(QS.Az-Zukhruf:36)

Allah Swt memberikan indera kepada kita agar digunakan untuk merenungkan keagungan penciptaan-Nya.

Allah Swt memberikan fitrah dalam diri kita agar kita cenderung untuk melakukan kebaikan dan berbagi kasih sayang serta rahmat.

Allah Swt memberikan akal agar kita mampu membedakan dan menyingkap berbagai hakikat dalam kehidupan.

Sayangnya, banyak sekali manusia yang mata hatinya buram dan fitrah sucinya terpendam. Hingga akhirnya ia hidup dibawah perintah hawa nafsunya, tidak mampu menahan diri untuk berbuat dzalim dan merampas hak sesama.

Dan Allah telah menjanjikan bagi manusia yang menjual dirinya untuk setan bahwa mereka akan selalu ditemani oleh setan sepanjang hidupnya. Akal dan pikirannya akan terus disertai dan dipengaruhi oleh setan setiap waktu. Dan semakin hari ia akan semakin terjerumus dalam kegelapan demi kegelapan hingga ia akam merugi di dunia dan akhirat.

Dalam kehidupan ini kita hanya memiliki dua pilihan, tidak ada pilihan ketiganya.

1. Apakah kita memilih bersama Allan dengan mengikuti jalan-Nya yang akan membawa kita menuju kesuksesan.

2. Atau kita lalai dan berpaling dari Allah sehingga kita keluar dari batas-Nya dan menjadi teman setan yang akan membawa kita pada penyesalan dan kerugian. Seperti yang diaebut dalam ayat berikutnya :

حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَنَا قَالَ يَٰلَيۡتَ بَيۡنِي وَبَيۡنَكَ بُعۡدَ ٱلۡمَشۡرِقَيۡنِ فَبِئۡسَ ٱلۡقَرِينُ

Sehingga apabila orang–orang yang berpaling itu datang kepada Kami (pada hari Kiamat) dia berkata, “Wahai! Sekiranya (jarak) antara aku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat! Memang (setan itu) teman yang paling jahat (bagi manusia).” (QS.Az-Zukhruf:38)

Silahkan memilih !

khazanahalquran

Nabi Muhammad Ibaratkan Koruptor Seperti Mayat

Koruptor oleh Nabi Muhammad diibaratkan seperti mayat.

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang sangat dibenci oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan, Rasulullah mengibaratkan koruptor seperti halnya mayat. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang bersumber dari Abdullah bin Mughirah bin Abdi Burdah al-Kinani.

عن عبد الله المغيرة بن أبي بردة الكناني انه بلغه أن رسول الله صل الله عليه وسلم أتى الناس فى قبا ئلهم يدعولهم وانه ترك قبيلة من القبائل قال وان القبيلة وجدوافي بردعة رجل منهم عقد جزع غلولا فأتاهم رسول الله صل الله عليه وسلم فكبر عليهم كما يكبر على الميت (رواه مالك)

‘An ‘abdillahibnil mughiratibni ai burdatal kinaniyyi annahu balahahu anna rasulallahi shallallahu ‘alaihi wasallama atan nasa fi qaba’ilihim yad’u lahum wa annahu taraka qabilatanminal qabaili qala, wainnal qabilata wajadu fi barda’ati rajulin minhum iqdajaz’in ghululan fa atahum rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallama fakabbara ‘alaihim kama yukabbiru ‘alal mayyiti (rawahumaliku).

Artinya:

Bersumber dari Abdullah bin Mughirah bin Abdi Burdah al-Kinani. Ia menyampaikan bahwa Rasulullah Saw mendatangi orang-orang pada kabilah mereka. Rasul mendoakan mereka. Ketika tinggal satu kabilah yang tersisa, beliau berkata,

“Sesungguhnya kabilah ini terdapat ini terdapat ikatan batu akik (marjan) di pelana milik seseorang dari mereka yang merupakan hasil korupsi.” Kemudian Rasulullah Saw mendatangi kabilah ini dan bertakbir atas mereka sebagai mana takbir atas mayit. (HR. Malik).

Dikutip dari buku “Agar Anda Terhindar dari Jerat Korupsi”, Syarwani menjelaskan, dari hadits tersebut dapat diketahui betapa mengejutkannya perlakukan nabi pada seorang koruptor. Koruptor tidak dianggap nabi sebagai orang hidup, tapi disamakan dengan mayat.

Menurut  Syarwani, perlakuan nabi ini semakin menunjukkan kebencian beliau terhadap tindakan korupsi. Karena itu, umat Islam tidak memiliki jalan lain selain menjauhi serta memberantas korupsi, sesuai kemampuan yang dimiliki.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bener Gitu, Kalau HAM itu Bertentangan dengan Islam?

Pernahkah kamu mendengar ucapan dari sebagian saudara-saudara muslim kita juga, yang menyatakan kalau Hak Asasi Manusia/HAM itu bertentangan dengan Islam? Jika pernah, kamu mungkin pernah mendengar sejumlah alasan-alasan ketika mereka ditanya kenapa kok HAM bertentangan dalam Islam?

Ada yang mengatakan kalau HAM itu produk barat, sehingga kalau kita seorang muslim, maka tidak boleh menerimanya sama sekali. Ada lagi yang mengatakan kalau HAM itu nilai-nilainya bertentangan dengan ajaran Islam, karena dengan diterimanya HAM, berarti membuka jalan untuk menerima liberalisme. Dengan menerima liberalisme, berarti menerima juga sejumlah konsekuensi misalnya orang bisa berbuat apa saja yang mereka mau, termasuk menjadi atau membenarkan LGBT dengan dalih Hak Asasi Manusia.


Padahal, kalau mereka pernah membaca lebih jauh sebenarnya deklarasi HAM ini juga sudah diterima juga di negara-negara Islam atau negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti Indonesia. Meski tidak bisa dinafikan kalau HAM memang dideklarasikan di Barat, yaitu di Sidang Umum PBB pada tahun 1948 (Lihat Disini isi Deklarasi HAM Universal (DUHAM)) Namun, negara-negara yang tergabung di Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya juga membuat Deklarasi Hak Asasi Manusia dalam Islam di Kairo pada tahun 1990, yang kini disebut dengan Cairo Declaration on Human Rights in Islam. Secara substantif, isinya sebenarnya sama, diantaranya menjunjung tinggi hak hidup dan hak merdeka setiap manusia.


Lebih lanjut, kalau direfleksikan kepada kisah kehidupan Nabi Muhammad Saw., apa yang diperjuangkan di dalam Hak Asasi Manusia itu juga diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw. di dalam ajaran Islam. Ada banyak ajaran-ajaran di dalam Islam, baik yang bersumber dari Al-Quran maupun hadis Nabi Saw., secara sistematis mengangkat martabat manusia diantaranya dengan menghapuskan perbudakan. Bahkan salah satu fakta menarik, setelah Nabi Saw., di masa kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin jumlah budak terus berkurang karena merdeka dan di masa Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, seluruh budak sudah merdeka.


Penasaran bukan kok bisa seperti itu? Bener gitu ajaran-ajaran Islam secara sistematis menghapus perbudakan manusia yang sudah begitu membudaya di seantero dunia saat itu? Langsung saja tonton video berikut ini untuk mendapatkan penjelasannya ! selamat menonton !

BINCANG SYARIAH


Islam dan Peradaban: Mengenang Kembali Kejayaan Islam yang Terbuka dan Toleran

Dalam catatan sejarah bahwa agama Islam pernah mengalami masa kejayaan. Pada saat itu, peradaban Islam begitu mapan. Demikian pula dengan orang-orang muslim, mereka telah banyak menorehkan tinta emas dengan melukiskan kesuksesan dalam membangun dan mengembangkan peradaban yang amat berharga tidak hanya bagi kaum muslimin saja, tetapi juga signifikansinya juga dirasakan oleh seluruh dunia.

Dalam catatan TGS. Prof. Dr. K. H. Saidurrahman dan Dr. Azhari Akmal yang mengutip catatan Raghib Sirjani menyampaikan bahwa kontribusi umat Islam seperti diabadikan dalam sejarah begitu banyak. Seperti adanya bukti beberapa karya tulis ilmiah beserta beberapa temuan menarik lainnya: semisal ilmu kedokteran, arsitektur, matematika dan ilmu-ilmu lainnya.

Konsistensi umat Islam untuk terus berkiprah dalam memberikan yang terbaik terhadap kebangkitan Islam itu sendiri harusnya terus dikembangkan agar kejayaan peradaban Islam yang pernah dimilikinya tersebut terus dikontekstualisasikan dalam kehidupan kekinian.

Namun demikian, kejaayaan peradaban Islam kini hanya menyisakan cerita. Agama Islam yang seharusnya sebagai agama yang memuat berbagai informasi penting, di samping itu juga ajaran-ajaran ideal tentang keyakinan dan moral dalam Islam seakan-akan dirubah fungsinya sebagai agama politik atau agama dibuat kepentingan politik tertentu. Ini yang mengakibatkan kemunduran agama Islam itu sendiri.

Menurut Gus Dur, penyebab dari kemunduran peradaban Islam itu adalah salah satunya dapat dipicu oleh watak (umum) pemahaman umat yang terlalu “mengidealkan” bentuk masyarakat Islam itu sendiri, sehingga susah untuk bisa berpijak dari kenyataan.

Berbeda halnya dengan orang Islam dulu yang memiliki cara serta fokus kajian yang berbeda dalam memandang Islam sesuai dengan kecenderungan masing-masing, kaum muslimin saat ini lebih sibuk dengan formalisme agama dari pada memikirkan bagaimana cara membenahi dan memperbaiki kembali kesalahan-kesalahan di internal kaum muslimin. Perubahan orientasi ini tentunya menjadi sebuah fenomena Islam kontemporer dan kecenderungan Islam masa kini.


Sementara kecenderungan melakukan pemaknaan teks agama yang otoriter tersebut adalah bagian dari sikap kesewenang-wenangan dalam memperlakukan teks-teks yang berwenang. Akibatnya pemaknaan Islam menjadi sempit. Sikap otoritarianisme ini dalam pandangan Khaled M. Abou El Fadl (2003) tidak bisa ditafsirkan lain sebagai salah satu bentuk pemerkosaan terhadap kesucian teks absolut. Sebagai konsekwensinya, manusia tidak lagi mampu menjaga amanah yang dititipkan Tuhan Yang Maha Pengasih agar melabuhkan nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan. Lantaran kecenderungan formalisme tersebut agama terpisah dari nilai-nilai Ketuhanan.

Kehidupan manusia pada abad pertengahan (sekitar abad ke 15) masih terlihat baik. Yang mana, manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil dan erat, yang didasarkan pada prinsip hidup bersama tanpa adanya perbedaan status sosial atau kelompok. Itu menunjukkan peradaban manusia masih aman-aman saja. Dalam artian bahwa ilmu abad pertengahan masih mencerminkan kemajuan.

Keilmuan di abad pertengahan tersebut digunakan atas dasar penalaran dan keimanan dan tujuan utamanya adalah memahami makna dan signifikansi segala sesuatu, dan bukan untuk tujuan peramalan dan pengendalian. Karena itu, Para ilmuwan abad pertengahan yang mencari-cari tujuan dasar yang mendasari berbagai fenomena, menganggap pertanyaan yang berhubungan dengan Tuhan, roh, manusia, dan etika sebagai pertanyaan-pertanyaan yang memiliki signifikansi tertinggi.

Akan tetapi manusia mulai menghadapi kemunduran akibat cara berfikir yang keliru karena mereka tidak lagi mampu menyeimbangkan nilai positif dan negatif baik dalam konteks populasi maupun konsumsi. Cara berfikir keliru ini dimulai sejak abad ke-16 dan ke-17 di mana terjadi revolusi ilmiah yang ditandai dengan pola pikir yang sangat menekankan rasionalitas semata tanpa memadukan antara yang disebut dengan rasionalitas, empiris, dan spiritualitas secara integratif. (TGS. Prof. Dr. K. H. Saidurrahman dan Dr. Azhari Akmal, 2019: 126-129).


Akibatnya kehidupan umat manusia menghadapi suatu tantangan yang dinamakan dengan krisis global. Hal itu dikarenakan adanya sebuah anggapan bahwa manusia adalah pusat segala sesuatu. Manusia dapat menentukan nasibnya sendiri, bukan Tuhan. Manusia bahkan dianggap sebagai penentu kebenaran.

Padahal dalam konsepsi Islam manusia adalah khalifah Allah di atas bumi-Nya, yang sangat dimuliakan oleh Allah bahkan oleh seluruh malaikat-Nya. Itu sebabnya, peradaban Barat cenderung otoriter dan tak manusiawi. Berbeda halnya dengan peradaban Islam yang begitu humanis dan memanusiakan manusia. Karena itu, seperti telah dijelaskan dalam (QS. Ali Imran [3]: 19, 85) bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang benar, karena itulah ia sebaik-baiknya agama dan peradabannya.

BINCANG SYARIAH