‘Dakwah Hendaknya Memberi Hikmah dan Pembelajaran yang Baik’

Dakwah harusnya dijaga keagungan dan keluhurannya sebagai tugas yang sangat mulia.

Dakwah pada hakikatnya adalah mengajak kepada kebaikan. Mengajak kepada kebaikan sendiri harusnya dengan cara yang baik, sehingga dakwah tidak sekedar menyampaikan, tetapi juga menanamkan nilai. Maka dakwah harusnya membawa rahmat kepada umatnya, bukan laknat atau bahkan menghardik yang berbeda pandangan.

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo, KH Mohammad Dian Nafi mengatakan bahwa dakwah harusnya dijaga keagungan dan keluhurannya sebagai tugas yang sangat mulia. Karena dakwah hendaknya selalu dilaksanakan oleh para ulama dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan berbagi argumentasi secara terpelajar.

“Karenanya keteladanan menjadi kebutuhan niscaya di dalam kegiatan dakwah. Keteladanan memudahkan orang-orang menangkap contoh berupa keseharian sang pelaku dakwah. Orang-orang yang tidak membaca Kitab Suci Alquran, hadis Nabi Muhammad SAW dan kitab-kitab agama Islam akan membaca teladan para juru dakwah itu,” ujar Dian Nafi di Sukoharjo, Rabu (2/12).

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah itu menuturkan yang dilihat dan dibaca oleh orang-orang adalah tutur kata, pola pikir, pola sikap, dan juga pilihan tindakannya sebagai pribadi dan tokoh masyarakat. Karena menurutnya para ulama atau juru dakwah ini juga hadir untuk mengisi kebutuhan masyarakat dalam lapis informasional, pergaulan, keilmuan dan keagamaan.

“Masyarakat sendiri mencermati, siapakah ulama yang menenteramkan dirinya untuk diikuti. Bahkan di banyak daerah ada keluarga ulama dari generasi ke generasi menjadi sandaran warga masyarakatnya juga dari generasi ke generasi mengikuti kultur sosial budaya masyarakat setempat,” ucap Dian.

Oleh sebab itu, menurutnya dari situlah masyarakat menaruh kepercayaan kepada para ulama. Karena dalam berbagai peran di berbagai lingkup kehidupan, para ulama selalu memberikan suluh penerang di saat masyarakat butuh pencerahan. Yang mana menurutnya hal itu menempatkan dakwah para ulama sebagai bagian yang penting di dalam nation and character building

“Itulah sebabnya, maka dakwah juga berarti memperkuat sikap proaktif di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sikap proaktif diteladankan oleh para ulama dengan cara hidup menjadi warga negara yang baik,” tutur lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret itu.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa sebetulnya ada nilai-nilai yang dikembangkan oleh para ulama adalah tafahum atau saling memahami, tarahum atau saling menyayangi, tasamuh atau ramah kepada perbedaan; tawazun atau keseimbangan dan keselarasan; dan ta’adul atau saling menegakkan ukuran objektif dan keadilan.

“Sejarah bangsa kita memberikan pelajaran yang sangat berharga. Tantangan-tantangan berat dapat kita atasi dengan baik selama kita menjaga persatuan nasional. Umat Islam dapat menjadi teladan yang baik dalam urgensi itu dengan dukungan para ulama yang juga memberi keteladanan,” ucapnya.

Selain itu, peraih gelar master Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu juga menegaskan bahwa para ulama harusnya meneladankan untuk mendahulukan hal-hal terpenting di dalam dakwahnya. Misalnya, hal-hal yang wajib sebagai Muslim, sebagai warga masyarakat dan warga negara akan didahulukan. Kemudian hal-hal yang sunah atau anjuran dan utama.

“Para ulama hendaknya tidak memperuncing segi-segi khilafiyah atau polemik karena perbedaan pendapat. Kalaupun jika harus diutarakan sampaikan secara seimbang. Karena hal-hal yang rinci seperti itu mungkin dipahami berbeda-beda oleh para ulama dalam aneka pendapat atau qaul yang dibahas di dalam pertemuan terbatas dan itupun menggunakan rujukan kitab-kitab yang jelas,” jelasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Menyentuh Mushaf Tanpa Berwudhu

Soal:

Apa hukum menyentuh mushaf tanpa berwudhu terlebih dahulu atau memindahkan posisi mushaf tanpa berwudhu? Dan apa hukum membacanya pada saat kondisi-kondisi tersebut?

Jawab:

Tidak boleh bagi seorang muslim menyentuh mushaf sedangkan dia sebelumnya tidak berwudhu menurut jumhur/mayoritas ulama’, imam-imam empat mahzab, dan  begitu pula yang difatwakan oleh para Sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat hadits yang shahih dari ‘Amr bin Hazm  radhiyallahu ‘anhu : bahwa nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan kepada penduduk kota yaman :

أن لا يمس القرآن إلا طاهر

“Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang sudah bersuci”(HR. Malik dalam Al Muwatha’ no. 419, Ad Darimi no.1266).

Hadits ini jayyid, memiliki jalur-jalur sanad yang saling menguatkan satu sama lain. Oleh karenanya, hadits ini menunjukkan tidak boleh bagi seorang Muslim menyentuh mushaf Al Qur’an kecuali sudah bersuci. Baik bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar. Demikian pula sama hukumnya ketika ada orang yang hendak memindahkan posisi mushaf dari satu tempat ke tempat lain, apabila dia tidak dalam keadaan suci, maka tetap tidak diperbolehkan. Beda halnya apabila dia menyentuh atau memindahkan mushaf dengan menggunakan sebuah perantara seperti memakai pembungkus, sarung tangan, atau yang semisalnya, maka hukumnya boleh. Namu jika dia menyentuh secara langsung dan dalam keadaan tidak suci, maka yang paling tepat hukumnya tidak diperbolehkan menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

Adapun ketika membaca Al-Qur’an, maka tidak mengapa dia membaca dengan menggunakan hafalan Al-Qur’annya walaupun dalam kondisi berhadats. Atau boleh juga dia membacanya dalam keadaan ada orang lain yang memegangkan Al-Qur’an untuknya dan membukakan halaman mushaf untuknya. Akan tetapi ketika dalam kondisi junub, maka tidak diperbolehkan baginya membaca Al-Qur’an karena terdapat larangan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada sesuatu yang menghalanginya dari membaca Al-Qur’an kecuali dalam kondisi junub. Dalam hadits yang diriwayatkan imam Ahmad dengan sanad yang jayyid, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia mengatakan :

أن النبي ﷺ خرج من الغائط وقرأ شيئًا من القرآن، وقال هذا لمن ليس بجنب أما الجنب فلا ولا آية

“Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari buang hajat, lalu beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam membaca sesuatu ayat dari Al-Qur’an, dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan perbuatan ini boleh bagi yang tidak sedang junub/hadats besar. Adapun jika dalam kondisi junub, maka tidak boleh ia membacanya walupun hanya satu ayat” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no.830).

Maksudnya adalah orang yang dalam kondisi junub tidak boleh membaca Al-Qur’an baik dari mushaf maupun dari hafalannya sampai ia mandi junub untuk menghilangkan hadats besarnya. Adapun bagi orang yang berhadats kecil dan tidak sedang junub, maka boleh baginya membaca Al-Qur’an melalui hafalannya dan tidak boleh menyentuh mushaf.

Dan ada masalah lain yang terkait dengan hal ini, yaitu tentang wanita haid dan nifas. Apakah boleh bagi mereka membaca Al-Qur’an atau tidak?T erdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang tidak membolehkannya, karena hukumnya disamakan dengan orang yang sedang junub. Lalu ada ulama yang berpendapat boleh membacanya asalkan dengan menggunakan hafalan atau tidak menyentuh mushaf secara langsung. Alasan ulama yang membolehkan adalah karena panjangnya masa haid dan nifas. Dan keduanya tidak seperti junub yang singkat waktunya sehingga mampu untuk langsung mandi, lalu kembali membaca Al-Qur’an. Adapun perempuan yang haid dan nifas tidak mungkin bagi mereka untuk mandi kecuali jika sudah benar-benar bersih dari haid dan nifas. Maka tidak cocok menyamakannya dengan kondisi orang yang sedang junub.

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwa tidak ada yang penghalang bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Qur’an dari hafalan mereka. Ini pendapat paling tepat, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan pelaragan tersebut. Terdapat hadits dalam shahihain dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia mengatakan kepada ‘Aisyah yang pada saat itu dalam kondisi haid ketika melaksanakan ibadah haji :

افعلي ما يفعل الحاج غير ألا تطوفي بالبيت حتى تطهري

“Lakukan apa yang dilakukan orang yang berhaji, hanya saja jangan melaksanakan thawaf di Baitullah sebelum suci” (HR. Bukhari no.294, 1540, Muslim no.2114, 2115).

Ibadah haji adalah ibadah yang di dalamnya dibacakan Al-Qur’an dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikannya, maka ini menunjukkan atas bolehnya membaca Al-Qur’an untuk ‘Aisyah yang pada saat itu sedang haid dan dengan kalimat yang serupa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakannya  kepada ‘Asma’ binti ‘Umais yang pada saat itu baru melahirkan anak bayi yang diberi nama Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ‘Asma’ berada di miqat dalam kondisi haji wada’, maka ini menunjukkan bahwa wanita haid dan nifas boleh membaca Al-Qur’an akan tetapi tanpa langsung menyentuh mushaf.

Adapun hadits riwayat Ibnu ‘Umar dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئًا من القرآن

“Janganlah wanita haid dan orang yang dalam kondisi junub membaca sesuatu dari ayat-ayat Al-Qur’an” (HR. At Tirmidzi no.121, Ibnu Majah no.588).

Ini adalah hadits yang dha’if (lemah). Dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Isma’il bin ‘Ayyas, ia meriwayatkan dari Musa bin ‘Uqbah. Para ulama hadits mendhaifkan riwayat Isma’il yang bersumber dari penduduk Hijaz. Mereka mengatakan: “riwayat ‘Ismail ini jayyid jika bersumber dari penduduk Syam, akan tetapi dhaif jika bersumber dari penduduk Hijaz. Dan riwayat hadits ini berasal dari penduduk hijaz sehingga menjadi dhaif”.

Sumber: Fatawa Islamiyyah juz 4 halaman 23, Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah (24/336), dinukil dari web binbaz.org.sa

Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo

Artikel: Muslim.or.id

Hari Disabilitas Internasional Sebagai Momentum Meneledani Nabi

Di awal bulan desember ini kita dihadapkan dengan peringatan penting yakni hari disabilitas internasional yang jatuh pada tanggal 3 desember 2020.

Bagi umat Nabi Muhammad Saw., seharusnya peringatan tersebut tidak dilewatkan begitu saja tanpa pemaknaan yang mendalam. Apalagi seharusnya hari tersebut dijadikan momentum untuk meneladani Nabi dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas.

Interaksi Nabi dengan penyandang disabilitas tersebut dapat dilihat dari hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik sebagai berikut :

أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – اِسْتَخْلَفَ اِبْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ يَؤُمُّ اَلنَّاسَ وَهُوَ أَعْمَى رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد

“Dari sahabat Anas bin Malik Ra. sesungguhnya Rasulullah Saw. meminta Ibnu Umi Maktum menjadi imam shalat menggantikan beliau, sementara Ibnu Umi Maktum, seorang yang tunanetra.” (HR. Ahmad, Abu Daud)

Pelajaran penting yang bisa diambil dari hadis tersebut adalah persamaan hak antara penyandang difabel mupun nondifabel. Pada hadis tersebut Nabi memerintah sahabat ibnu umi maktum untuk menggatikan jadi imam shalat. Padahal Ibnu umi maktum merupakan penyandang difabel (tunanetra)

Menyikapi hadis tersebut ulama besar seperti imam al-Gazhali dan ِAbu Ishaq al-Maruzi memberi advokasi terhadap kaum difabel. Dalam kitab Nail al-Authar mereka menegaskan bahwa tunanetra lebih utama menjadi imam shalat daripada orang yang bisa melihat.

Mereka berpandangan tunanetra memiliki potensi khusyuk yang lebih besar  karena tidak disibukkan dengan perkara-perkara yang bisa memalingkan dari sholat.

Pada kesempatan lain Nabi juga mengajarkan umatnya untuk tidak merendahkan mereka yang terlahir dalam keadaan tidak sempurna.

Suatu hari, sahabat Abdullah bin Mas’ud, yang memiliki kemapuan intelektual dalam menafsirkan Al-Qur’an, memanjat sebuah pohon. Seketika angin terhembus sehingga kaki Abdullah terlihat.

Betis Abdullah sangat kecil, hingga hal itu dijadikan bahan cemoohan oleh beberapa orang yang melihatnya. Namun Nabi menegur mereka dengan berkata  “Apa yang membuat kalian tertawa? Ketahuilah bahwa di hari pembalasan kedua kaki Ibnu Mas’ud akan lebih berat di timbangan daripada Gunung Uhud.”

Selain perlakuan tanpa diskriminasi, Nabi juga memberikan berbagai kemudahan bagi penyandang disabilitas. Nabi menawarkan solusi bagi mereka yang tidak mampu menunaikan shalat sambil berdiri untuk melaksanakannya dengan duduk, dan seandainya masih tidak mampu, Nabi memperbolehkan mereka untuk shalat sambil berbaring.

Apa yang telah dicontohkan oleh Baginda Nabi seharusnya menjadi teladan untuk kita semua. Semoga momentum hari disabilitas internasional ini menjadi motifasi bagi kita untuk lebih meneladani nabi terutama dalam berinteraksi dengan kaum difabel. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Hikmah Disyariatkannya Azan dalam Islam

Seperti kita ketahui bersama bahwasanya salah satu ajaran dalam Islam adalah azan, dimana biasanya dikumandangkan sebagai penanda masuknya waktu salat. Lantas, apa hikmah disyariatkannya azan dalam Islam?

Sekurang-kurangnya terdapat tiga hikmah disyariatkannya azan dalam Islam yang disampaikan oleh Syaikh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmat at-Tasyri’ wa Falsafatuhu (h. 103-104):

Pertama, setiap hari manusia pada biasanya disibukkan dengan melakukan aktifitasnya masing-masing seperti bekerja, bermain, sekolah dan lain sebagainya. Sehingga hal ini terkadang sering membuat mereka kehilangan (telat) untuk shalat jamaah dimana di dalamnya terdapat banyak keutamaan-keutamaan. Tidak cukup itu, yang lebih parah lagi manusia terkadang lupa untuk mengerjakan kewajiban shalatnya dikarenakan sibuk dengan beragam kegiatannya. Nah, dalam hal ini azan hadir dalam rangka sebagai pengingat bagi mereka yang lalai dan lupa terhadap kewajibannya shalat lima waktu.

Kedua, shalat merupakan nikmat kedekatan seorang hamba dengan Penciptanya. Azan hadir dengan dengan seruan kebaikannya. Sehingga, orang muslim tidak kehilangan nikmat yang besar yakni berdekatan dengan tuhannya saat shalat.

Ketiga, dalam rangka menampakkan keagungan agama Islam yang suci terhadap orang yang non-muslim. Kita ketahui bahwa sebelum sahabat Umar bin Khattab ra. masuk islam, umat muslim melakukan shalat dengan rasa khawatir dan takut (diganggu oleh kaum musyrik), namun setelah beliau masuk Islam barulah shalat disyiarkan dengan tujuan memotivasi orang-orang musyrik pada waktu itu supaya tertarik dengan agama Islam yang suci ini.

Sebagian ulama mengatakan bahwasanya adanya azan dalam Islam dalam rangka menampakkan syariat-syariat Islam, kalimat tauhid, memberitahu masuknya waktu shalat dan tempat shalat, mengajak untuk shalat berjamaah dimana di dalamnya terdapat kebaikan yang besar.

Jika direnungkan lebih dalam, kita dapat mengetahui bahwa dalam lafal-lafal azan terdapat akidah keimanan yang meliputi sifat-sifat menyucikan dan mengagungkan Allah SWT. serta menetapkan keesaan-Nya.

Demikianlah hikmah disyariatkannya azan yang disampaikan oleh Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Doa Agar Selamat dari Gangguan Orang-Orang Dzalim

Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengajarkan kepada kita doa agar selamat dari gangguan orang-orang dzalim.

Seperti doa Nabi Musa as yang memohon perlindungan kepada Allah dari kebengisan Fir’aun :

قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dia berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zhalim itu.” (QS.Al-Qashash:21)

Maka Allah Swt menyelamatkan Nabi Musa as sebagaimana Allah menyelamatkan para utusan dan wali-waliNya.

ثُمَّ نُنَجِّي رُسُلَنَا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْۚ كَذَٰلِكَ حَقًّا عَلَيۡنَا نُنجِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

“Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beri-man, demikianlah menjadi kewajiban Kami menyelamatkan orang yang beriman.” (QS.Yunus:103)

Dan karena keselamatan dari orang-orang dzalim adalah nikmat yang besar maka ketika Nabi Musa as selamat dari Fir’aun dan sampai ke Negeri Madyan, seorang yang sholeh berkata kepadanya :

لَا تَخَفۡۖ نَجَوۡتَ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.” (QS.Al-Qashash:25)

2. Begitupula Nabi Nuh as ketika menaiki kapal, Allah memerintahkan agar beliau memuji dan bersyukur kepada Allah atas selamatnya beliau dari orang-orang dzalim.

فَإِذَا ٱسۡتَوَيۡتَ أَنتَ وَمَن مَّعَكَ عَلَى ٱلۡفُلۡكِ فَقُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي نَجَّىٰنَا مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan apabila engkau dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas kapal, maka ucapkanlah, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zhalim.” (QS.Al-Mu’minun:28)

3. Al-Qur’an juga menceritakan kepda kita kisah seorang wanita mukmin yaitu istri Fir’aun ketika ia berdoa :

وَنَجِّنِي مِن فِرۡعَوۡنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim,” (QS.At-Tahrim:11)

Dia memohon agar diselamatkan dari kekejaman Fir’aun dan semua perbuatan buruk yang telah Allah haramkan bagi hamba-Nya.

Dan salah satu doa dari Nabi Muhammad Saw adalah :

وَانصُرنِي عَلَى مَن ظَلَمَنِي وَأَرِنِي مِنهُ ثَأرِي

“Dan tolonglah aku dari mereka yang mendzalimiku. Dan bimbinglah aku dalam menuntut balas.”

Keselamatan dari orang-orang dzalim dan kekejaman mereka adalah anugerah Allah yang sangat besar kepada hamba-Nya. Kita harus selalu bersyukur ketika kita hidup dengan rasa aman dan tidak dibayangi gangguan orang-orang dzalim. Ini adalah anugerah yang sangat besar nilainya !

Dan jangan lupa untuk terus berdoa agar Allah menyelamatkan kita dari kebusukan orang-orang yang dzalim dan agar mereka tak punya kuasa atas diri kita.

Tapi bukan berarti tugas kita hanya berdoa saja. Kita harus menjalani sebab-sebab dan syarat-syarat lainnya untuk menghadapi orang-orang yang dzalim. Namun senjata yang tak kalah penting adalah doa ! Dan ini yang sering kita lupakan.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Setan Ingin Menguasai Jiwamu

Allah Swt Berfirman :

ٱسۡتَحۡوَذَ عَلَيۡهِمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَأَنسَىٰهُمۡ ذِكۡرَ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱلشَّيۡطَٰنِ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ

“Setan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa golongan setan itulah golongan yang rugi.” (QS.Al-Mujadilah:19)

Ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik yang menjual dirinya kepada setan. Mereka menampilkan diri sebagai orang yang beriman dihadapan Rasul Saw namun dibelakang mereka bersekongkol dengan kaum yahudi untuk menyerang Islam.

ٱسۡتَحۡوَذَ عَلَيۡهِمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ

“Setan telah menguasai mereka..”

Setan telah menguasai seluruh kehidupan mereka. Pikiran mereka telah dikuasai agar tidak condong pada kebenaran. Jiwa mereka telah dikuasai agar tidak mengikuti jalan yang lurus dan hidup mereka dikuasai untuk selalu melakukan kerusakan.

فَأَنسَاهُمۡ ذِكۡرَ ٱللَّهِۚ

“Lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah.”

Mereka tenggelam dalam kebatilan secara total. Mulai dari ucapan, sikap hingga perbuatan. Mereka menganggap kebatilan itu adalah kebenaran sehingga mereka terus mengikutinya.

أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ

“Mereka itulah golongan setan.”

Kenapa disebut golongan setan ?

Karena mereka selalu mengikuti langkah setan, mendukung gerakannya, mengikuti seruannya. Diajak setan menuju neraka, mereka menyahuti namun ketika diajak oleh Allah menuju surga, mereka pun menolak dengan congkaknya.

أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱلشَّيۡطَٰنِ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ

“Ketahuilah, bahwa golongan setan itulah golongan yang rugi.”

Diri dan keluarga mereka semua sungguh merugi kelak di Hari Kiamat. Mereka kehilangan nikmat surga dan lebih memilih siksaan neraka.

Maka tentu kita harus mengambil pelajaran dari sifat orang-orang munafik ini, antara lain :

1. Jangan pernah mengikui kesesatan dan bisikan setan yang selalu ingin menguasai diri kita.

2. Berusahalah untuk selalu sadar karena kelalaian adalah pintu bagi setan untuk menguasai diri kita.

3. Selalu memohon pertolongan kepada Allah dengan banyak berdzikir dan beribadah.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

3 Golongan Manusia Paling Buruk Kedudukannya di Hari Kiamat

Terdapat 3 golongan yang paling buruk kedudukannya saat kiamat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, umat manusia dianjurkan untuk berbuat baik kepada manusia lainnya dan menjauhi segala perbuatan yang dibenci Allah SWT. 

Dengan demikian, kita tidak termasuk golongan manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah. Dalam hadits, Rasulullah SAW telah mengkategorikan beberapa golongan manusia yang paling buruk kedudukannya di hari kiamat kelak. 

Di antaranya, manusia yang ditakuti karena kekejiannya, suami yang mengumbar urusan ranjang, dan golongan manusia yang menggadai akhiratnya untuk dunia. 

Pertama, yaitu golongan manusia yang ditakuti karena kekejiannya. Sebagimana diterangkan dalam hadits: 

عن عائشة رضي الله عنها قالت، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، يا عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ وَدَعَهُ أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ

Dari Aisyah RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hai Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang dihindari oleh manusia karena takut kejelekannya.” (HR Muslim, hadits no 4693) 

Islam sangat mencela seseorang yang berbuat keburukan terhadap orang lain. Bahkan, dalam hadits tersebut Nabi SAW mengkategorikan orang yang dihindari orang lain karena kekejiannya sebagai manusia yang paling buruk. 

Artinya, orang yang tidak peduli terhadap orang lain, bersikap negatif dan berperangai buruk terhadap orang lain merupakan manusia terburuk di muka bumi, meskipun ia adalah ahli shalat dan suka beribadah mahdhah.

Kedua, suami yang mengumbar urusan ranjang. Mengumbar urusan ranjang bersama pasangannya termasuk golongan manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah. Karena, bersenggama atau hubungan suami istri merupakan salah satu ibadah rohani yang tak boleh diceritakan kepada orang lain.  

Dari Abu Sa’id RA, dia berkata bahwa Nabi SAW bersabda: 

عن أبي سعيد رضي الله عنه قال أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ‏أن النبي صلى اللّه عليه وآله وسلم قال ان من شر الناس عند اللّه منزلة يوم القيامة يفضي إلى المرأة وتفضي إليه ثم ينشر سرها‏ .

“Sesungguhnya di antara orang yang terburuk kedudukannya disisi Allah pada hari kiamat kelak adalah seorang laki-laki yang mengetahui rahasia istrinya atau seorang istri yang mengetahui rahasia suaminya kemudian menceritakan rasa itu kepada orang lain.” (HR Muslim dan Ahmad).

Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitabnya Fiqih Wanita menukilkan riwayat hadits tersebut. Dia menyimpulkan bahwa sesungguhnya dilarang membicarakan secara panjang lebar mengenai apa yang terjadi pada saat melakukan hubungan badan dengan istri kepada orang lain.  

Cerita itu dikecualikan kepada ahli medis yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh suami atau istri. “Akan tetapi, diperbolehkan membicarakannya bersama dokter jika berkenaan dengan penyakit yang ada pada istri maupun suami,” katanya. 

Ketiga, golongan manusia yang menggadai akhiratnya untuk dunia. Kedudukan manusia yang menggadai akhiratnya untuk kepentingan dunia juga sangat buruk di hadapan Allah kelak di akhirat.   

عن أبي أمامة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من شر الناس منزلة عند الله يوم القيامة عبد أذهب آخرته بدنيا غيره

Dari Abu Umamah, sesungguh Rasulullah Saw bersabda: “Di antara orang yang paling buruk kedudukannya pada Hari Kiamat adalah seseorang hamba yang menghancurkan akhiratnya demi merebut dunia milik orang lain.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Akhlak Rasulullah Kepada Pembantunya

Rasulullah Saw adalah seorang utusan Allah ta’ala yang mempunyai misi utama  dalam penyebaran Islam berupa menyempurnakan Akhlak manusia. Sebagaimana yang diakui sendiri oleh Rasulllah saw dalam sabdanya  :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الاَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (H.R Bukhari)

Sebagai seorang yang menjadi Uswatun Hasanah bagi umatnya, Rasulullah selalu menunjukkan akhlak yang paling baik kepada seluruh manusia. Baik kepada manusia yang mempunyai kedudukan tinggi ataupun kepada manusia biasa bahkan kepada seorang pembantu/pelayan beliau sendiri pun beliau selalu menampilkan akhlak yang paling baik.

Ini diakui sendiri oleh salah seorang pelayan beliau sendiri, Anas bin Malik. Sebagaimana pengakuan Annas bin Malik; “Rasulullah saw adalah orang yang paling baik Akhlaknya.”  Kebaikan Akhlak Rasulullah saw tersebut dirasakan sendiri oleh Anas bin Malik selama beliau mengabdi menjadi pelayan bagi Rasulullah saw. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim dan Sunan Abi Daud.

Didalam dua hadis tersebut dimuat salah satu pengalaman Anas bin Malik yang mendapatkan perlakukan baik dari Rasulullah saw, yaitu ketika ia mengelak untuk melaksanakan suatu  perintah dari Rasulullah. Padahal beliau adalah seorang pembantu Rasulullah yang memang tugasnya adalah melayani seiap keperluan Rasulullah saw.

Kisah tersebut adalah, seperti perkataan Anas bin Malik “Suatu hari beliau (Rasulullah) menyuruhku untuk melakukan suatu keperluan. Aku (Anas) merespon perintah Rasulullah dengan jawababan ”Demi Allah aku tidak akan pergi” padahal dalam hatiku, aku ingin melaksanakan perintah Rasulullah itu. Anas bin Malik melanjutkan perkataannya “Kemudian aku pergi hingga aku melewati anak-anak yang sedang bermain dipasar.””

Tak lama kemudian, tiba-tiba Rasulullah datang dari belakang dan memegang bajuku sambil tertawa. Kemudian beliau berkata “Wahai Anas… pergilah sebagaimana yang aku pesankan tadi.” Aku menjawab “Baik ya Rasulallah, aku akan pergi.”

Anas berkata “Demi Allah, aku telah melayani beliau selama 7 sampai 9 tahun,  namun aku tidak pernah mendapati beliau mengomentari perbuatanku, seperti “Mengapa kamu melakukan begini dan begini?”. Begitupun ketika aku tidak melakukan sesuatu, beliau juga tidak pernah berkomentar  “Kenapa kamu tidak melalukan begini dan begini.

Begitulah sang Rasul yang selalu menampilkan akhlah terbaiknya sekalipun terhadap pelayan beliau sendiri. Semoga kita sebagai manusia yang telah rela menjadi Ummat dari Rasulullah dapat memeladini akhlak yang telah diajarkan oleh Rasulullah tersebut. Allhumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad.

BINCANG SYARIAH

Jangan Suka Memprovokasi Sesama Muslim

Di antara perbuatan tercela yang merusak persaudaraan, merusak persatuan, mengganggu stabilitas dan merupakan perbuatan setan, adalah tahrisy atau provokasi sesama Muslim.

Definisi tahrisy

Al Baghawi mengatakan:

التحريش : إيقاع الخصومة والخشونة بينهم

“Tahrisy adalah memicu adanya saling bertengkar dan saling berbuat kasar antara sesama Muslim” (Syarhus Sunnah, 13/104).

Ibnu Atsir mengatakan:

التحريش : الإغراء بين الناس بعضهم ببعض

“Tahrisy adalah memancing pertengkaran antara orang-orang satu sama lain” (Jami’ Al Ushul, 2/754).

Tahrisy adalah perbuatan setan

Provokasi antara sesama Muslim atau tahrisy adalah perbuatan setan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ قد أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ في جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ في التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ

Sesungguhnya setan telah putus asa membuat orang-orang yang shalat menyembahnya di Jazirah Arab. Namun setan masih bisa melakukan tahrisy di antara mereka” (HR. Muslim no. 2812).

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ على الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ منه مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فيقول: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فيقول: ما صَنَعْتَ شيئا، قال ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فيقول: ما تَرَكْتُهُ حتى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ، قال: فَيُدْنِيهِ منه، وَيَقُولُ: نِعْمَ أنت فَيلتَزمُهُ

Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air. Kemudian ia mengutus para tentaranya. Tentara iblis yang paling bawah adalah yang paling besar fitnah (kerusakan) nya. Salah satu tentara iblis berkata: saya telah melakukan ini dan itu. Maka iblis mengatakan: kamu belum melakukan apa-apa. Kemudian tentara iblis yang lain datang dan berkata: Aku tidak meninggalkan seseorang kecuali setelah ia berpisah dengan istrinya. Maka tentara iblis ini pun didekatkan kepada iblis. Lalu iblis berkata: kamulah yang terbaik, teruslah lakukan itu” (HR. Muslim no. 2813).

Dalam hadits ini juga setan melakukan tahrisy sehingga suami dan istri saling berpisah.

Tahrisy termasuk namimah

Al Imam Ibnu Katsir mengatakan:

النميمة على قسمين: تارة تكون على وجه التحريش بين الناس وتفريق قلوب المؤمنين فهذا حرام متفق عليه

“Namimah ada dua macam: terkadang berupa tahrisy (provokasi) antara orang-orang dan mencerai-beraikan hati kaum Mu’minin. Maka ini hukumnya haram secara sepakat ulama” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371, Asy Syamilah).

Apa itu namimah? Adz Dzahabi mengatakan:

والنمام هو الذي ينقل الحديث بين الناس وبين اثنين بما يؤذي أحدهما أو يوحش قلبه على صاحبه أو صديقه بأن يقول له قال عنك فلان كذا وكذا

Nammam (pelaku namimah) adalah orang yang menukil perkataan dari satu orang ke orang lain atau antara dua orang untuk menimbulkan gangguan pada salah satunya, atau memprovokasi salah satu dari mereka terhadap yang lain atau terhadap temannya. Yaitu dengan mengatakan: ‘si Fulan mengatakan tentang kamu demikian dan demikian’” (Al Kabair, 217).

Contohnya, si A berkomunikasi dengan B via whatsapp, lalu B menyebutkan sesuatu yang kurang bagus tentang C. A lalu screenshot chat dari B tersebut kemudian di kirim kepada C, ini namimah!! Allahul musta’an.

Dan namimah ini merupakan dosa besar. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تُطِع كل حلاف مهين هماز مشاء بنميم

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,yang banyak mencela, yang kian ke mari menebar namimah” (QS. Al Qalam: 10-11).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ

Tidak masuk surga pelaku namimah” (HR. Muslim no. 105).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah mendengar rintihan orang yang disiksa dalam kuburnya, beliau bersabda:

فقال يعذبان وما يعذبان في كبير وإنه لكبير كان أحدهما لا يستتر من البول وكان الآخر يمشي بالنميمة

Dua orang ini sedang diadzab dalam kubur. Dan mereka tidak diadzab karena sesuatu yang mereka anggap besar, namun besar (di sisi Allah). Yang pertama di adzab karena tidak menutupi auratnya ketika buang air kecil, yang kedua diadzab karena melakukan namimah” (HR. Bukhari no. 216, Muslim no. 292).

Beliau juga bersabda:

إنَّ شرارَ عبادِ اللهِ من هذه الأُمَّةِ المشَّاؤونَ بالنميمةِ ، المُفرِّقون بين الأحبَّةِ الباغونَ للبُرآءِ العنتَ

Seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang suka melakukan namima. Ia memisahkan orang-orang yang saling mencintai, pengkhianat terhadap orang-orang yang baik” (HR. Ahmad, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2849).

Ahlul hikmah mengatakan:

النَّمَّامُ شُؤْمٌ لَا تَنْزِلُ الرَّحمة على قوم هو فيهم

“Tukang namimah (adu domba) adalah racun yang membuat suatu kaum tidak mendapat rahmat Allah selama masih ada mereka”.

Maka hendaknya jauhkan diri kita dari tahrisy dan juga namimah, karena ini perbuatan yang sangat busuk dan tercela.

Dekatkan bukan jauhkan

Maka ketika dua pihak dari kaum Muslimin sedang bertikai, maka wajib mengusahakan perdamaian antara keduanya bukan malah memprovokasi. Allah Ta’ala berfirman:

وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

“Dan damaikanlah orang yang berselisih di antara kalian” (QS. Al Anfal: 1).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ألا أُخبِرُكم بأفضلَ من درجةِ الصيامِ والصلاةِ والصدقةِ ؟ قالوا : بلى . قال : صلاحُ ذاتِ البَيْنِ ، فإنَّ فسادَ ذاتِ البَيْنِ هي الحالقةُ

Maukah kalian aku kabarkan amalan yang menyamai derajat puasa, shalat dan sedekah? Para sahabat menjawab: tentu wahai Rasulullah. Beliau bersabda: mendamaikan orang-orang yang berseteru. Karena orang semakin merusak keadaan orang-orang yang berseteru, dialah pembuat kebinasaan” (HR. At Tirmidzi no. 2509, ia berkata: “shahih”).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

وظيفة المسلم مع إخوانه، أن يكون هيِّنًا ليِّنًا بالقول وبالفعل؛ لأنَّ هذا مما يُوجب المودَّة والأُلْفَة بين الناس، وهذه الأُلْفَة والمودَّة أمرٌ مطلوبٌ للشَّرع، ولهذا نهى النَّبيُّ عليه الصلاة والسلام عن كل ما يُوجب العداوة والبغضاء

“Tugas setiap muslim terhadap saudaranya adalah hendaknya ia berlapang-lapang dan berlemah lembut dalam perkataan dan perbuatan. Karena inilah yang menimbulkan kecintaan dan keterikatan hati di antara manusia. Dan kecintaan serta keterikatan hati ini adalah perkara yang dituntut dalam syariat. Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang semua hal yang bisa menimbulkan permusuhan dan saling membenci” (Syarah Riyadis Shalihin, 2/544).

Maka ketika ada saudara seiman yang berselisih, damaikan bukan provokasi, dekatkan bukan jauhkan. Semoga Allah memberi taufik.

***

Diringkas dari forum ahlalhdeeth.com tulisan Abu Abdillah Hamzah An Naili dengan beberapa tambahan

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Apakah Doa Bisa Mengubah Takdir?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya doa dan takdir bisa saling mengubah. Doa bisa menolak sebagian takdir atau bencana, sebagaimana berbuat baik kepada orang tua akan memberkahi (menambah kebaikan) umur seorang hamba. Kami memohon penjelasan bagaimana kaidah dalam masalah ini?

Jawaban:

Terdapat dalam hadis Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,

إن العبد ليحرم الرزق بالذنب يصيبه، وإن القضاء لا يرده إلا الدعاء، وإن الدعاء مع القضاء يعتلجان إلى يوم القيامة، وإن البر يزيد في العمر

“Sesungguhnya seorang hamba terhalangi dari rizkinya karena dosa yang dilakukannya. Sesungguhnya takdir itu tidaklah berubah kecuali dengan doa. Sesungguhnya doa dan takdir saling berusaha untuk mendahului, hingga hari kiamat. Dan sesungguhnya perbuatan baik (kepada orang tua) itu memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 22438, Ibnu Majah no. 22438, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad)

Maka, perbuatan berdoa itu adalah bagian dari takdir, dan takdir itu pasti terjadi. Atas kehendak Allah-lah terjadi dan tercegahnya segala sesuatu. Dia juga yang menakdirkan dan mencegah segala sesuatu baik dengan sebab doa, sedekah, atau amal salih. Dan Dia menjadikan perkara-perkara ini sebagai sebab-sebab dari semua itu (rizki, panjang umur, dll), yang tidak lepas dari ketetapan-Nya.

Suatu takdir bisa saja diperbaiki dengan takdir lain. Takdir dan doa saling mendahului satu sama lain. Contohnya, ketika Anda menggembala kambing atau unta, terkadang Engkau mendapati mereka di ladang yang sangat baik. Ini terjadi karena takdir Allah. Terkadang Engkau mendapati mereka berada di ladang yang cukup baik dan terkadang Engkau dapati mereka di ladang yang buruk dan tandus. Ini juga karena takdir Allah. Bahkan terkadang yang buruk adalah perlakuanmu kepada mereka. Namun yang menjadi kewajiban bagimu adalah berusaha memastikan bahwa hewan ternak tersebut dalam keadaan baik serta menjauhkannya dari keburukan. Namun, semua ini terjadi atas takdir Allah.

Hal tersebut serupa dengan apa yang dikatakan ‘Umar radiyallahu ‘anhu kepada orang-orang terkait turunnya tha’un (wabah menular) di Syam yang merupakan wilayah kaum Muslimin. ‘Umar memerintahkan agar manusia masuk ke rumahnya masing-masing dan melarang orang-orang masuk ke Syam (karena sedang terjadi tha’un). Sebagian orang berkata, “Bukankah ini bentuk lari dari takdir Allah?” ‘Umar radiyallahu ‘anhu pun berkata,

نفر من قدر الله إلى قدر الله

“Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah (yang lain).”

Maksudnya, kita tetap di Syam adalah atas takdir Allah dan kita kembali (ke tempat asal) juga atas takdir Allah. Semuanya adalah takdir Allah. Maka, kita (hakikatnya) berlari dari takdir Allah yang satu, menuju takdir Allah yang lain.

Sebagaimana Engkau berlari dari keburukan dengan bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla. Engkau berlari dari penyakit dengan melakukan pengobatan menggunakan jarum, biji-bijian, atau obat yang lainnya, semuanya adalah bentuk lari dari takdir Allah yang satu, menuju takdir Allah yang lain. Kemudian ‘Umar membuat permisalan kepada manusia, dia berkata,

أرأيتم لو كان إنسان عنده إبل أو غنم فأراعها في روضة مخصبة أليس بقدر الله؟ وهو بهذا مشكور- فإن راعها أو ذهب بها إلى أرض مجدبة مقحطة أو أرض خالية من الماء والعشب لكان مسيئا -وهو بقدر الله

“Tidakkah kalian melihat ketika seseorang menggembala unta atau kambing ke sebuah ladang yang subur, bukankah itu terjadi atas takdir Allah? Dan hal ini wajib untuk disyukuri. Jika dia menggembala atau membawanya ke ladang yang tandus dan gersang, atau ladang yang tidak tersedia air dan rerumputan, maka hal ini akan merugikannya. Dan ini juga terjadi atas takdir Allah.”

Kesimpulan, sesungguhnya ketika manusia mengikuti sesuatu yang benar, itu adalah takdir Allah. Dan ketika dia mengikuti sesuatu yang salah, itu juga merupakan takdir Allah. Seluruhnya terjadi karena takdir Allah. Kita berlari dari takdir Allah yang satu, menuju takdir Allah yang lain. Kalaupun manusia bermaksiat, maka maksiatnya terjadi dan dia tidak bisa berdalil untuk lepas dari hukuman yang telah Allah syariatkan. Hal itu (maksiat dan hukuman) juga merupakan takdir Allah. Maka, tegaknya hukuman adalah karena takdir Allah. Maksiat apa pun yang terjadi juga merupakan takdir Allah. Seseorang memperoleh yang halal adalah takdir, memperoleh yang haram adalah takdir. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk memperoleh yang halal dan dilarang untuk memperoleh yang haram, dan semuanya terjadi karena takdir Allah.

Tidak mungkin seseorang keluar dari takdir Allah. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk berusaha memperbaikinya. Dia diperintahkan untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Allah menjadikan baginya (manusia) akal pikiran, Allah ciptakan baginya kemampuan memilih untuk membedakan antara yang satu dan yang lainnya. Oleh karena itu, manusia hendaknya menyalahkan dirinya jika dia tunduk kepada keburukan dan kemaksiatan, seperti mabuk-mabukan, zina, dan selainnya.

Hendaknya, dia (manusia) bersyukur ketika dia condong untuk berbuat taat, berpegang teguh pada ketaatan, istiqamah dalam ketaatan, karena dia memiliki akal, kehendak, kemampuan memilih, serta kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang mudharat, yang benar dan yang salah. Demikianlah syariat dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Allah jalla wa‘ala tetapkan takdir bagi hamba-Nya dan memberi akal kepada para hamba-Nya yang dapat mereka gunakan untuk membedakan yang benar dengan yang salah, membedakan petunjuk dan bimbingan Allah dengan kesesatan, dan membedakan petunjuk Allah dengan selainnya.

Sumber: Mauqi’ Ibn Baz, https://bit.ly/2IH2S4U

Penerjemah: Rafi Pohan

Artikel: Muslim.or.id