Doa Al-Qur’an: Doa Agar Terhindar dari Rasa Dengki

Manusia diciptakan oleh Allah berpotensi melakukan kebaikan dan keburukan. Seperti yang telah Allah firmankan dalam surat as-Syams ayat 8:

 وَنَفۡسٖ وَمَا سَوَّىٰهَا ٧

فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا ٨

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) (7) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (8)

Ibnu Katsir mengutip perkataan Ibnu Abbas dalam Tafsir al-Quran al-Adzim bahwa Allah telah menunjukkan hal baik dan buruk pada diri manusia yang telah diciptakan. Dan telah jelas Allah menampilkan keduanya sehingga manusia bisa berpotensi memilih salah satunya. Bahkan dalam hadis Shohih Muslim dari riwayat ‘Iyadh bin Himar al-Mujasyi’i:

عَنْ رَسُؤلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: يَقُوْلُ اللهُ إِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمْ الشَيَاطِيْنُ فَاجْتَلَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ

Artinya: dari Rasulullah Saw. Bersabda: Allah berfirman, “sesungguhnya aku menciptakan hamba-hambaku dalam keadaan lurus (berpegang pada tauhid) kemudian datanglah syetan untuk membelokkan mereka dari agama mereka.

Dalam hal ini salah satu perbuatan tercela dan termasuk maksiat adalah dengki, baik kepada muslim atau lainnya. Memiliki rasa dengki tidaklah dibenarkan dan memang terkadang tidak bisa dihindari dari hati manusia. Tapi kita bisa memohon pada Allah agar dijauhkan dari rasa dengki dengan cara berdoa yang diambil dari ayat Alquran berupa surat al-Hasyr ayat 10:

رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ ١٠

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”

Dalam tafsir Ibnu Katsir, doa ini mulanya dipanjatkan oleh orang-orang yang berhak mendapatkan harta rampasan perang karena termasuk golongan orang-orang fakir. Mereka lalu  mendoakan kebaikan untuk saudara-saudaranya dalam keadaan sembunyi dan terang-terangan. Tetapi doa ini juga bisa kita lafalkan demi melindungi hati agar terhindar dari rasa dengki kepada orang lain karena mendapatkan nikmat yang tidak kita dapatkan atau sebab lainnya. Patutlah kita senantiasa mensyukuri apa yang telah Allah karuniakan kepada kita semua sehingga kita juga terhindar dari rasa iri dan dengki.

BINCANG SYARIAH

Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 1).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Dua kesamaan antara cermin dengan mukmin [1]

Dalam hadis yang agung,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya.”

Terdapat bukti bahwa sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sifatnya Jawami’ul Kalim (kalimat singkat, namun padat makna).

Dalam hadis yang agung ini setidaknya mengandung dua faidah besar, yaitu:

Sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Hal itu karena sifat-sifat cermin adalah:

– memantulkan rupa dengan tampilan yang halus;

– menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya;

– jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”;

– menampakkan aibmu yang sulit kamu ketahui;

– menampakkan rupamu sendiri;

– hanya menampakkan bagian tubuh yang ada di hadapan cermin saja;

– menampakkan segala sesuatu yang berada di depannya.

Sikap seorang mukmin yang dinasihati oleh saudaranya yang seiman

Hal itu karena di antara sifat cermin adalah: memantulkan gambar sesuatu dengan jujur sesuai aslinya, sehingga hasil pantulannya dapat dipercaya.

Berikut ini penjelasannya, bitaufiqillah,

Sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Cermin itu ciri khasnya memantulkan gambar sesuatu sesuai dengan aslinya. Cermin tidak akan menyembunyikan kebaikan maupun aib fisik orang yang bercermin di depannya, bahkan cermin akan menampakkan gambar orang tersebut tanpa mengurangi atau melebihkannya, sesuai aslinya.

Demikian pula seorang mukmin yang baik, dia tidak mau menyembunyikan kebaikan maupun aib saudaranya, karena itu bisa membahayakannya di dunia dan akhirat.

Berikut ini lebih detail sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman dalam konteks sebagai cermin baginya.

Pertama, memantulkan rupa dengan tampilan yang halus

Seorang mukmin yang baik keimanannya akan menyampaikan nasihat kepada saudaranya ketika melihat saudaranya terjatuh dalam kesalahan. Dia tidak tinggal diam dari kesalahan saudaranya, namun ia menasihatinya dengan lembut dan bijak, dan tidak kasar. Hal ini sebagaimana layaknya cermin yang memantulkan gambar sesuatu dengan halus, gambar tidak kasar, dan patah-patah.

Dalam menasihati saudaranya, dia pilih kalimat yang baik, kalimat yang paling mudah diterima di hati saudaranya. Selain itu, waktu, kondisi, dan tata cara menasihati pun dipilih yang paling sesuai dengan kondisi saudaranya.

Perlu diketahui bahwa dahulu sahabat Jarir Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana  juga sahabat yang lain, berbaiat (janji setia) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menasihati setiap muslim.

Jabir Radhiyallahu ‘anhu berkata,

بايعت رسول الله صلى الله عليه وسلم على إقام الصلاة وإيتاء الزكاة والنصح لكل مسلم

“Saya berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan salat, menunaikan zakat, dan menasihati setiap muslim” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya

Ketika Engkau bercermin, maka gambar dirimu tampak di cermin dan gambarmu akan hilang saat Engkau beralih dari depan cermin. Seolah-olah cermin itu menutupi penampilanmu yang kurang indah saat Engkau beralih dari cermin.

Demikian pula selayaknya seorang mukmin, dia menasihati saudaranya secara empat mata, saat saudaranya ada di hadapannya. Tatkala saudaranya tidak ada di hadapannya, dia berusaha menutupi aib-aib saudaranya tersebut dan tidak menyebut keburukannya di depan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Dia berusaha menjauhi ghibah yang dilarang oleh  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadis dari  Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أتدرون ما الغيبة ؟

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذكرك أخاك بما يكره

“Engkau menyebutkan sesuatu yang dibenci oleh saudaramu (saat dia tak hadir).”

Ada sahabat yang bertanya, “Bagaimana menurut Anda jika apa yang aku sebutkan tersebut memang ada pada diri saudaraku?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن كان فيه ما تقول، فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته

“Jika sesuatu yang Engkau sebutkan tersebut ada pada diri saudaramu, maka Engkau telah menggunjingnya. Namun jika sesuatu tersebut tidak ada pada diri saudaramu, maka Engkau telah berbohong tentangnya” (HR. Muslim).

Imam ahli hadis, Yahya bin Ma’in  Rahimahullah pernah berkata,

ما رأيتُ على رجلٍ خطأً إلا سترتُه، وأحببتُ أن أُزيِّنَ أمرَه، وما استقبلتُ رجلاً في وجهِه بأمرٍ يكرهُه، ولكنْ أُبيِّنُ له خطأهَ فيما بيني وبينَه، فإن قَبلَ ذلكَ وإلاَّ تركتُه

“Setiap kali aku tahu kesalahan seseorang, selalu aku tutupi, bahkan aku suka membicarakan kebaikannya. Aku tidak pernah mensikapi seseorang dengan sikap yang tidak menyenangkannya di hadapannya. Namun aku menjelaskan kesalahan dia kepadanya secara empat mata. Jika dia menerimanya (maka itulah yang diharapkan), namun jika tidak menerimanya, aku pun meninggalkannya.”

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Makanlah yang Halal dan Baik

Allah Swt Berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi.” (QS.Al-Baqarah:168)

Salah satu dari rahmat Allah adalah Dia menciptakan segala sesuatu di bumi ini dan menyediakannya untuk manusia.

وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ

“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya.” (QS.Al-Jatsiyah:13)

Dan Allah menjadikannya sesuatu yang halal didalamnya sehingga tidak dosa ketika memakannya.

Dan Allah menjadikannya begitu enak, nikmat dan lezat.

Dan semua yang dihalalkan jauh lebih banyak dari yang diharamkan. Seperti kisah Nabi Adam as yang ketika itu Allah menghalalkan semuanya di dalam surga kecuali satu pohon saja. Hal ini mengisyaratkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah lebih banyak yang dihalalkan daripada yang diharamkan.

وَقُلۡنَا يَٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zhalim!” (QS.Al-Baqarah35)

Namun yang mengherankan masih saja banyak manusia yang meninggalkan sesuatu yang halal dan baik, dan ia lebih memilih sesuatu yang haram dan kotor.

KHAZANAH ALQURAN

Inilah Sifat Zuhud Rasulullah SAW yang Wajib Ditiru

KETIKA Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ingin membawa sahabatnya pada sikap zuhud, beliau telah memberikan panduan bagaimana orang-orang beriman menyikapi kehidupannya di dunia. Rasulullah bersabda: ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.” (HR Bukhari).

Selanjutnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mencontohkan langsung pada sahabat dan umatnya bagaimana hidup di dunia. Beliau adalah orang yang paling rajin bekerja dan beramal shalih, paling semangat dalam ibadah, paling gigih dalam berjihad. Tetapi pada saat yang sama beliau tidak mengambil hasil dari semua jerih payahnya di dunia berupa harta dan kenikmatan dunia.

Kehidupan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sangat sederhana dan bersahaja dan beliau lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan keridhoan Allah Azza Wa Jalla. Ibnu Mas’ud ra. melihat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata: ”Wahai Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bagaimana kalau aku ambilkan untukmu kasur?”

Maka Rasulullah menjawab: ”Untuk apa dunia itu? Hubunganku dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi).

Sedangkan para ulama lebih memperjelas lagi makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata: ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.”

Ibnu Khafif berkata: ”Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”

Ibnu Taimiyah ra berkata: ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.” []

ISLAM POS

Keutamaan Cinta Akhirat Dan Zuhud Dalam Kehidupan Dunia

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(( مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ

“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)[1].

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan cinta kepada akhirat dan zuhud dalam kehidupan dunia, serta celaan dan ancaman besar bagi orang yang terlalu berambisi mengejar harta benda duniawi[2].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

– Orang yang cinta kepada akhirat akan memperoleh rezki yang telah Allah tetapkan baginya di dunia tanpa bersusah payah, berbeda dengan orang yang terlalu berambisi mengejar dunia, dia akan memperolehnya dengan susah payah lahir dan batin[3]. Salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam musibah (penderitaan)[4].

– Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[5], “Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir. Hal ini dikarenakan orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) jika telah mendapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi maka nafsunya (tidak pernah puas dan) terus berambisi mengejar yang lebih daripada itu, sebagaimana dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang berisi) harta (emas) maka dia pasti (berambisi) mencari lembah harta yang ketiga[6].

– Kekayaan yang hakiki adalah kekakayaan dalam hati/jiwa. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (dalam) jiwa[7].

– Kebahagiaan hidup dan keberuntungan di dunia dan akhirat hanyalah bagi orang yang cinta kepada Allah dan hari akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya[8].

– Sifat yang mulia ini dimiliki dengan sempurna oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang menjadikan mereka lebih utama dan mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan generasi yang  datang setelah mereka. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah Ta’ala) daripada kalian”. Ada yang bertanya: Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman? Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat”[9].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthon, MA

Artikel www.muslim.or.id

Belajar Hidup Zuhud

Zuhud merupakan sebab kecintaan Allah kepada seorang hamba. Para ulama salaf merupakan teladan terdepan dalam hal zuhud. Salah satu pembeda terbesar yang melebihkan mereka di atas generasi sesudahnya adalah karena mereka lebih zuhud kepada dunia dan lebih berhasrat kepada akhirat.

Pengertian Zuhud

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zuhud yang disyari’atkan itu adalah; dengan meninggalkan perkara-perkara yang tidak mendatangkan manfaat kelak di negeri akhirat dan kepercayaan yang kuat tertanam di dalam hati mengenai balasan dan keutamaan yang ada di sisi Allah… Adapun secara lahiriyah, segala hal yang digunakan oleh seorang hamba untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, maka meninggalkan itu semua bukanlah termasuk zuhud yang disyari’atkan. Akan tetapi yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan sikap berlebihan dalam perkara-perkara yang menyibukkan diri sehingga melalaikan dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, baik itu berupa makanan, pakaian, harta, dan lain sebagainya…” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimyah karya Syaikh Shalih Ahmad asy-Syami, hal. 69-70)

Berikut ini, sebagian riwayat mengenai zuhud yang dibawakan oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullah (wafat 287 H) dalam kitabnya az-Zuhd. Semoga bermanfaat…

[1] Menjaga Lisan dan Perbuatan

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diam -pandai menjaga lisan- niscaya dia akan selamat.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 15)

Dari Jabir radhiyallahu’anhu, dia menceritakan bahwa ada seorang lelaki menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah! Kaum muslimin seperti apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu seorang muslim yang bisa menjaga kaum muslimin yang lain dari gangguan lisan dan tangannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 21)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjaga apa yang ada diantara kedua jenggotnya dan apa yang ada diantara kedua kakinya niscaya dia akan masuk Surga.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan kata-kata yang baik atau diam.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 23)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Sesuatu yang paling layak untuk terus dibersihkan oleh seorang hamba adalah lisannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 27)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berpesan, “Jauhilah oleh kalian kebiasaan terlalu banyak berbicara.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 28)

Pada suatu ketika Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berwasiat kepada putranya Abdurrahman. Beliau berkata, “Wahai putraku, aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah. Kendalikanlah lisanmu. Tangisilah dosa-dosamu. Hendaknya rumahmu cukup terasa luas bagimu.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 30)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapan yang baik itu pun termasuk sedekah.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 30)

Dari Ibnu Abi Zakaria rahimahullah, beliau mengatakan, “Aku belajar untuk diam setahun lamanya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 39)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah dianggap berdosa jika seseorang senantiasa menceritakan segala sesuatu yang didengarnya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 45)

[2] Pandai Memilih Teman

Dari Muharib rahimahullah, beliau menuturkan, “Dahulu kami berteman dengan al-Qasim bin Abdurrahman, ternyata beliau mengungguli kami dengan tiga perkara; dengan banyak sholat, banyak diam, dan jiwa yang dermawan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 46)

Dari Malik bin Dinar rahimahullah, beliau mengatakan, “Setiap teman yang kamu tidak bisa memetik kebaikan darinya maka jauhilah dia.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 49)

[3] Memandang Dunia Sebagaimana Mestinya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia ini adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 69)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sudah menjadi ketetapan Allah tabaraka wa ta’ala bahwasanya tidaklah Allah mengangkat suatu perkara dunia melainkan Allah juga pasti akan merendahkannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 115)

Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah membukakan dunia kepada seseorang melainkan Allah pasti akan munculkan permusuhan dan kebencian di antara mereka hingga hari kiamat.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 138)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhati-hatilah kalian terhadap dunia. Berhati-hatilah kalian terhadap kaum perempuan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 139)

Dari ‘Amr bin ‘Anbasah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat, dunia akan didatangkan. Kemudian dipilih darinya apa-apa yang digunakan untuk taat kepada Allah dan ikhlas karena-Nya. Adapun apa-apa yang dipakai tidak untuk taat kepada Allah dan tidak ikhlas karena-Nya maka dilemparkan ke dalam Neraka Jahannam.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 142)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Arti Simple dari Kata Zuhud Menurut Imam Ali

Kali ini kita akan membahas tafsir Al-Qur’an dari lisan mulia Imam Ali bin Abi tholib.

Beliau pernah ditanya tentang makna dan arti Zuhud. Imam Ali menjawab :

Keseluruhan arti zuhud berada dalam dua kalimat dalam Al-Qur’an. Allah Swt berfirman :

لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَاكُمۡۗ

“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS.Al-Hadid:23)

Barangsiapa yang tidak menyesali apa yang telah berlalu dan tidak terlampau senang dengan apa yang ia dapatkan maka itulah orang yang zuhud.

Itulah arti simple dari kata Zuhud sesuai dengan tafsiran ayat yang disampaikan oleh Imam Ali bin Abi tholib.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Memahami Makna dan Tanda Zuhud Menurut Imam Al-Ghazali

Sebagian dari kita mungkin saja masih memiliki anggapan bahwa orang zuhud ialah orang yang meninggalkan harta dunianya. Kalau cara pandang begitu masih saja dipertahankan, mungkin kemudian hari bisa tercetus sebuah syarat bagi orang zuhud itu harus miskin. Kemudian, muncul anggapan bahwa semakin miskin seorang hamba, maka semakin zuhudlah dia. Sebenarnya bagaimana makna dan tanda zuhud sebenarnya?

Apabila melihat sejarah, tak sedikit bisa dijumpai tokoh-tokoh muslim yang terkenal kezuhudannya, tetapi ia sangat kaya dan memiliki harta yang banyak. Sebut saja seperti Abdullah bin Mubarak yang rela menyedekahkan sebagian besar laba bisnisnya untuk kecukupan para ulama semasanya, serta selalu memberi bekal kepada orang yang menemuinya, dengan kata kunci “hendak haji”. Juga seperti Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Syekh Hasan asy-Syadzili, gurunya para sufi dan ahli tarekat, yang keduanya terkenal berkecukupan harta.

Dengan meninggalkan harta benda saja, sejatinya memang belum tentu dapat dijadikan barometer kezuhudan seorang hamba. Karena apabila zuhud hanya dimaknai dengan meninggalkan harta saja, itu tentu sangat ringan bagi mereka yang memang merasa bahagia atau merasa bangga akan label zuhud, sebagai bentuk pujian orang lain kepadanya. Oleh karenanya, dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan bahwa zuhud itu lebih mengarah pada definisi tidak bergantung pada harta dunia, bukan pada definisi meninggalkan harta secara penuh.

Misalnya, Nurul terkenal sebagai zahid (orang yang zuhud), lantaran ia selalu menyedikitkan makan untuk dirinya. Apa yang dilakukannya itu memang dengan sengaja dan ditampakkan di depan orang lain. Tetapi, secara diam-diam, ternyata Nurul lebih menikmati tatkala ia mendapat julukan sebagai orang yang zuhud, ketimbang disebut sebagai orang yang berkecukupan. Dalam kondisi demikian, masihkan Nurul disebut orang yang zuhud?

Tatkala meninggalkan harta benda atau tidak, belum tentu dapat dijadikan sebagai barometer akan kezuhudan seseorang, lantas apa sebenarnya tanda seseorang dapat disebut zuhud? Imam al-Ghazali menegaskan bahwa zuhud merupakan perilaku yang susah untuk diidentifikasi. Tetapi meski demikian, beliau mampu menyebutkan setidaknya tiga tanda zuhud.

Pertama, tidak merasa gembira dengan memiliki sesuatu yang wujud, baik harta, tahta, dan lain sebagainya. Serta tidak merasa larut dalam kesedihan tatkala kehilangan harta yang sebelumnya sempat dimiliki. Tetapi orang zuhud itu umumnya menanamkan yang sebaliknya, yaitu merasa sedih dengan memiliki harta banyak. Kemudian ketika kehilangan harta benda justru ia merasa gembira, karena tidak terbebani oleh dunia.

Tanda terebut beliau rumuskan berdasar pada Al-Qur’an surah Al-Hadid [57] ayat 23.

لِّكَیۡلَا تَأۡسَوۡا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُوا۟ بِمَاۤ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا یُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالࣲ فَخُورٍ

Agar kalian tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kalian, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. [Q.S. Al-Hadid (57): 23]

Kedua, tidak merasa resah tatkala dicaci, begitu juga tak merasa berbangga diri ketika dipuji. Seseorang yang benar-benar terdapat zuhud dalam dirinya, maka ia akan memalingkan dirinya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya terlena dan menjauhkannya dari sisi Allah Swt., termasuk di dalamnya ialah hinaan dan pujian. Tatkala ia tak terpengaruh lagi dengan hinaan dan pujian manusia, maka ia pun akan biasa saja ketika mendapat cacian maupun pujian. Dalam istilah yang kita kenal, “dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang.”

Ketiga, hatinya tenteram karena selalu dekat dengan Allah Swt., juga telah terpenuhi dengan manisnya buah ketaatan dan kecintaan kepada Allah Swt. Karena sebenarnya hati manusia itu akan selalu dipenuhi dengan manisnya cinta. Tetapi sayang sekali apabila yang bersemayam dalam hati ialah manisnya cinta kepada dunia, bukan manisnya cinta kepada Allah Swt.

Terkait hati manusia yang bisa merasakan cinta kepada Allah dan cinta kepada dunia, Imam al-Ghazali mengibaratkan keduanya layaknya air dan angin dalam suatu gelas. Yang mana ketika air dituangkan ke dalam gelas dan memenuhinya, maka udara akan keluar dari gelas itu. Tatkala air dalam gelas hanya sedikit, maka anginlah yang akan memenuhi gelas itu. Keduanya memang tak bisa berkumpul dalam ruang dan waktu yang sama.

Begitu juga dengan hati manusia. Apabila manisnya cinta kepada Allah telah memenuhi hati orang yang zuhud, maka rasa cinta kepada dunia itu pun akan menjauh. Tetapi jika kecintaan kepada Allah hanya sedikit, maka rasa cinta kepada dunia pun akan masuk bebas dan memenuhi ruang hati. Selanjutnya, sang pemilik gelas diperkenankan untuk menentukan, gelasnya akan diisi air atau angin.

BINCANG SYARIAH

Hikmah Pagi: Pelajaran tentang Zuhud dan Wara’

Ibnu Taimiyah (W. 728 H) mengatakan, “zuhud adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat kelak di akhirat. Sementara wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang dapat membahayakan nasib seseorang di akhirat kelak.”

Ibrahim bin Adham (W. 781 H) berkata, “zuhud itu ada tiga macam: 
(1). zuhud fard ialah meninggalkan hal – hal yang haram, (2). zuhud fadl ialah meninggalkan hal – hal yang halal (walaupun itu halal untuknya karena kehati-hatian ia meninggalkannya) dan (3). zuhud As-salamah meninggalkan hal – hal yang syubhat (tidak jelas kehalalan atau keharamannya).”

Umar bin Abdul Aziz (W. 101 H), kalau beliau bergadang untuk keperluan umum maka beliau akan menghidupkan lampu yang dari fasilitas negara. Akan tetapi kalau untuk kepentingan pribadi atau keluarga beliau tidak mau menggunakan fasilitas Negara beliau mengambil dari uang pribadi beliau.

Ketika suatu malam lampu agak redup, beliau berdiri untuk memperbaikinya, lalu ada yang bertanya, “wahai Amirul Mukminin, Cukuplah kami saja yang membenarkanya!” Umar menjawab “Saya adalah Umar ketika berdiri, dan Saya juga Umar ketika duduk.” (Lihat: Sirah dan Manaqib Umar Ibn Abdul ‘Aziz, Hal. 43).

Saudara perempuan Bisyr Al-Haafi (W. 227 H), bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241), “apabila kami melihat di atas rumah kami, lalu ada penjaga malam membawa lampu kemudian lampu itu sinarnya menerangi kami, bolehkah kami memintal benang di bawah cahaya lampu itu?” Imam Ahmad bertanya, “Siapa kamu? semoga Allah memaafkanmu?” Jawab perempuan itu, “saya adalah saudaranya Bisyr Al-Haafi.” Mendengar itu Imam Ahmad sontak menangis dan berkata, “di rumahmu ada orang yang sangat wara’, maka jangan memintal benang di bawah sinar lampu itu.” (Lihat: Thabaqat as-Shufiyyah, Hal. 46)

Bisyr Al-Haafi seorang tokoh besar yang terkenal dari Baghdad banyak kisah inspiratif dari beliau, di mana beliau dulu merupakan pemuda berandal yang kemudian bertaubat kepada Allah. Kemudian menjadi orang yang sangat alim yang dikenal di saentero Baghdad. Insya Allah nanti kami akan tulis kisahnya.

Semoga Allah senantiasa menjaga dan menaungi kita semuanya dengan ridho-Nya. Aamien Allahumma Aamien.

BINCANG SYARIAH

Nikmat Anggota Tubuh

Dari sesuatu paling kecil hingga sesuatu yang terbesar dalam hidup ini semuanya adalah nikmat dari Allah Swt.

وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ

“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah.” (QS.An-Nahl:53)

Dalam ayat lain Allah Swt berfirman :

وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS.An-Nahl:18)

Nah, termasuk dalam nikmat-nikmat yang agung dalam kehidupan kita adalah nikmat anggota tubuh yang diberikan oleh Allah Swt. Nikmat ini sangat luar biasa namun banyak orang melupakannya dan tidak mensyukurinya.

Padahal semua kenikmatan ini kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Swt, sebagaimana banyak disebutkan dalam banyak ayat dan riwayat.

Berbicara tentang nikmat anggota tubuh, Al-Qur’an telah menjelaskannya secara rinci dan memberi peringatan pula bahwa semua nikmat itu pasti ada pertanggung jawabannya.

إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولٗا

“Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS.Al-Isra’:36)

Seperti ketika berbicara tentang lisan.

وَإِنَّ عَلَيۡكُمۡ لَحَٰفِظِينَ – كِرَامٗا كَٰتِبِينَ – یَعۡلَمُونَ مَا تَفۡعَلُونَ

Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (amal perbuatanmu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al-Infithar:10-12)

مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS.Qaf:18)

وَلَا تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلۡسِنَتُكُمُ ٱلۡكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰلٞ وَهَٰذَا حَرَامٞ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ”Ini halal dan ini haram,” (QS.An-Nahl:116)

Seperti ketika berbicara tentang mata.

قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya,” (QS.An-Nur:30)

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya.” (QS.An-Nur:31)

Dan ketika berbicara tentang telinga.

وَإِذَا سَمِعُواْ ٱللَّغۡوَ أَعۡرَضُواْ عَنۡهُ وَقَالُواْ لَنَآ أَعۡمَٰلُنَا وَلَكُمۡ أَعۡمَٰلُكُمۡ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡ لَا نَبۡتَغِي ٱلۡجَٰهِلِينَ

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, semoga selamatlah kamu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh.” (QS.Al-Qashash:55)

Uniknya, manusia berusaha untuk selalu terhindar dari penyakit fisik. Sedikit saja ada rasa sakit yang dirasakan, ia segera
pergi ke dokter untuk mengobatinya. Tapi sayang mereka tidak pernah peduli dengan penyakit batin yang menjangkiti anggota tubuhnya. Padahal, penyakit maknawi yang menjangkiti anggota tubuh kita lebih berbahaya dari penyakit fisik.

Sebenarnya kita harus punya perhatian lebih terhadap penyakit maknawi dalam tubuh kita. Karena anggota tubuh ini bila tidak dikontrol bisa menjadi penyebab kehancuran seseorang.

Karena itu, orang yang menjaga kesehatan fisik tapi tidak pernah peduli dengan kemaksiatan yang selalu dilakukan oleh anggota tubuhnya maka itu adalah tanda bahwa hatinya telah terjangkiti oleh penyakit yang berbahaya.

Kita dapat melihat bahwa anggota tubuh dapat menjadi sebab kehancuran seseorang dalam ayat-ayat berikut ini :

ٱلۡيَوۡمَ نَخۡتِمُ عَلَىٰٓ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَتُكَلِّمُنَآ أَيۡدِيهِمۡ وَتَشۡهَدُ أَرۡجُلُهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS.Ya-Sin:65)

وَيَوۡمَ يُحۡشَرُ أَعۡدَآءُ ٱللَّهِ إِلَى ٱلنَّارِ فَهُمۡ يُوزَعُونَ – حَتَّىٰٓ إِذَا مَا جَآءُوهَا شَهِدَ عَلَيۡهِمۡ سَمۡعُهُمۡ وَأَبۡصَٰرُهُمۡ وَجُلُودُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ – وَقَالُواْ لِجُلُودِهِمۡ لِمَ شَهِدتُّمۡ عَلَيۡنَاۖ قَالُوٓاْ أَنطَقَنَا ٱللَّهُ ٱلَّذِيٓ أَنطَقَ كُلَّ شَيۡءٖۚ وَهُوَ خَلَقَكُمۡ أَوَّلَ مَرَّةٖ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ – وَمَا كُنتُمۡ تَسۡتَتِرُونَ أَن يَشۡهَدَ عَلَيۡكُمۡ سَمۡعُكُمۡ وَلَآ أَبۡصَٰرُكُمۡ وَلَا جُلُودُكُمۡ وَلَٰكِن ظَنَنتُمۡ أَنَّ ٱللَّهَ لَا يَعۡلَمُ كَثِيرٗا مِّمَّا تَعۡمَلُونَ

Dan (ingatlah) pada hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke neraka lalu mereka dipisah-pisahkan.
Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap apa yang telah mereka lakukan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” (Kulit) mereka men-jawab, “Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” Dan kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan.” (QS.Fushilat:19)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN