Nasib Ahli Tauhid di Akhirat (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Siapakah ahli tauhid itu?

Setiap muslim dan muslimah yang sah keislamannya adalah Ahli Tauhid (muwahhid). Karena setiap muslim dan muslimah pastilah memiliki dasar tauhid yang menjadi syarat sahnya keislamannya.

Hanya saja, kadar tauhid pada diri setiap muslim dan muslimah itu bertingkat-tingkat. Ada yang sempurna, ada pula yang tidak.

Dan setiap dosa itu mengotori tauhid seseorang bahkan bisa sampai meniadakannya sehingga dasar tauhidnya musnah dan pelakunya keluar dari Islam.

Semoga Allah melindungi kita dari segala bentuk dosa, kecil maupun besar, baik dosa yang mengeluarkan pelakunya dari Islam maupun yang tidak demikian.

Apakah tauhid itu?

Definisi Tauhid adalah

إفراد الله سبحانه بما يَخْتَصُ به من الربوبية، والألوهية و الأسماء و الصفات

“Mengesakan Allah Subhanahu dalam perkara yang merupakan kekhususan-Nya, yaitu perbuatan Allah (rububiyyah), hak Allah untuk diibadahi (uluhiyyah), dan nama dan sifat Allah (Al-Asma` was shifat).”

Maksud “mengesakan Allah” disini adalah meyakini keesaan Allah dalam kekhususan-Nya dan melaksanakan tuntutannya dalam ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin.

Nasib ahli tauhid di akhirat

Ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini. Di antaranya Dari ‘Itban bin Malik bin ‘Amr bin Al ‘Ajlan Al-Anshori, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang benar disembah selain Allah) yang dengannya ia mencari pahala melihat wajah Allah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Maksud  “mengharamkan neraka” adalah Allah mencegah seorang hamba yang mengucapkan laa ilaha illallah dari masuk kedalam neraka.

Sedangkan maksud dari “mengucapkan laa ilaha illallah” adalah ucapan laa ilaha illallah yang memenuhi syarat dan rukunnya, menghindari pembatal-pembatalnya serta melaksanakan tuntutannya.

Pembagian pencegahan dari masuk neraka

Pertama, pencegahan (dari masuk neraka) yang sempurna

Pencegahan sempurna (tahrim muthlaq) adalah seorang hamba tidak masuk neraka sama sekali.

Dan Ahli Tauhid yang mendapatkan pencegahan dari masuk neraka dengan sempurna ini sehingga langsung masuk surga, ada tiga golongan:

1) Ahli Tauhid meninggal tanpa bawa dosa, langsung masuk Surga tanpa hisab dan tanpa azab.

2) Ahli Tauhid meninggal masih membawa dosa, namun diampuni oleh Allah di akhirat, dan dihisab dengan hisab ringan.

3) Ahli Tauhid meninggal masih membawa dosa dan di akhirat tidak diampuni Allah, namun timbangan tauhid dan kebaikannya lebih berat dari timbangan dosa dosanya, dan dihisab dengan hisab ringan [2].

Catatan

– Maksud “Ahli Tauhid meninggal” adalah seorang muslim dan muslimah yang meninggal dalam keadaan sah keislamannya.

– Maksud “masih membawa dosa” adalah mati dalam keadaan masih terdapat dosa yang belum ditaubati, tidak terlebur dengan pelebur dosa, serta belum diampuni oleh Allah.

– Maksud “hisab ringan (hisab yasir)” adalah sebatas hisab menunjukkan dosa dan pengakuan pribadi (tidak diketahui dan tidak didengar makhluk lainnya), yaitu menunjukkan amalan dan dosa-dosa seorang hamba lalu diampuni oleh Allah sehingga ia mengakui dosa dan merasakan nikmat ampunan-Nya.

Kedua, Pencegahan (dari masuk neraka) yang tidak sempurna

Pencegahan dari masuk neraka yang tidak sempurna (muthlaq tahrim)  adalah seorang hamba dicegah (bebas) dari kekekalan di neraka, jadi seorang muslim atau muslimah yang sempat masuk neraka, namun tidak kekal di dalamnya.

Kelompok yang mendapatkan pencegahan tidak sempurna ini adalah:

Ahli Tauhid yang meninggal masih membawa dosa, dan di Akherat tidak diampuni dosanya oleh Allah bahkan timbangan dosa-dosanya lebih berat dari timbangan tauhid dan kebaikannya. Dan golongan ini nantinya akan dihisab dengan hisab introgatif, berat, dan rinci dengan tuntutan dan alasan (hisab munaqosyah) [3].

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65776-nasib-ahli-tauhid-di-akhirat-bag-1.html

Air Sumur Kiai Asep

Di Jawa Timur siapa yang tidak mengenalnya, terutama kalangan Nahdliyyin. Nama panggilannya Kiai Asep. Nama lengkapnya Prof. Dr. KH Asep Syaifuddin Chalim, MA. Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Surabaya dan Pacet, Mojokerto.

Soal pendidikan dengan gelar berderet dan menawan dari Kiai Asep itu didapatnya darimana, tidaklah penting untuk dibahas. Tapi ada yang lebih penting dari itu semua, yakni sikapnya yang royal pada yang beraroma amal jariah.

Pada puasa Ramadhan kali ini, ia keluarkan Rp 8 milyar untuk fuqara’. Banyak banget fulus kiai Asep ini, soal darimana sumber keuangannya pun tidak perlu dibahas. In Syaa Allah uang itu didapatnya dari berbisnis dengan Allah.

Memang itulah kiat Kiai Asep, seperti ia ibaratkan air sumur yang ditimba dan tidak akan habis-habis, akan nyumber terus. Justru jika air sumur itu didiamkan, tidak ditimba airnya, maka airnya akan beraroma kurang sedap.

Maka itu ia bersemangat membelanjakan hartanya itu untuk hal-hal yang dianjurkan, seperti air sumur yang terus ditimba airnya dan dipakai untuk kepentingan umat.

Tentu nilai Rp 8 milyar bukanlah nilai yang kecil, tapi tidak bagi Kiai Asep. Ia punya keasyikan tersendiri jika bisa berbagi. Itu seolah yang dikesankannya, dan kiat air sumur itu lalu jadi jalan hidupnya untuk terus berbagi.

Uang Rp 8 milyar itu, ia belikan beras 200 ton, dan katanya, itu nilainya sudah Rp 2 milyar. Lalu Rp 2 milyar lagi ia belanjakan untuk pengadaan sarung. Setiap orang diberinya beras 5 kg, sarung, dan amplop minimal Rp 100 ribu. Ada pula yang dapat Rp 1 juta, bahkan lebih.

Tentu tidak sedikit yang melihat laku Kiai Asep lalu nyinyir dengan mengatakan, beramal aja disiar-siarkan. Ya biar sajalah. Apa memang beramal itu mesti sirr atau rahasia, kan tidak juga. Yang sirr itu cuma puasa, karena yang tahu hanya diri sendiri dan Allah.

Karenanya, beramal dengan sirr atau terbuka, seperti pilihan Kiai Asep itu tidak ada larangan. Bisa jadi apa yang diikhtiarkan Kiai Asep, itu agar lakunya diikuti yang lain untuk gemar beramal, itu jika rezeki ingin bertambah.

“Itulah nikmatnya orang beriman”, katanya. Beramal itu memang uang jadi berkurang. Tapi beramal itu tidak matematik, bisa dikalkulasi dengan ilmu manusia. Ini ilmu Tuhan, siapa yang memberi akan diganti berlipat. Seperti air sumur yang ditimba yang tidak akan kering.

Tiap sore selama Ramadhan, berkumpul ratusan orang di Masjid Kampus Institut Pesantren KH Abdul Chalim, Pacet, Mojokerto, diajaknya istighosah sampai berbuka puasa bersama. Lalu berjamaah maghriban. Suasana itu dibangunnya sebulan penuh bersama para fuqara’.

Ikhlas Mengantar Hubungan pada Sesama

Panggilan sosial macam apa yang dibangunnya itu? Tentu ini hanya bisa mewujud pada satu kata: ikhlas. Watak ikhlas saat berhubungan dengan Allah, dengan ilmu “matematika” Allah, yang sulit dirasionalkan.

Pada saatnya, pada gilirannya ikhlas itu diwujudkan dalam hubungan antarsesama, guna membangun sebuah dunia sosial yang lebih baik. Dunia yang berbagi dari yang berpunya pada yang membutuhkan.

Memang semua tidak ada yang tahu niat seseorang berbagi itu ikhlas, atau sebaliknya untuk pamrih. Tapi apa urusan kita dengan menilai ikhlas-tidak ihlasnya seseorang. Sudah mau berbagi dan mencontohkan laku terpujinya, bukankah itu hal kebaikan.

Jika ada yang berbagi dengan memilih metode sirr, sebagaimana anjuran, “beri dengan tangan kanan, yang bahkan tangan kiri pun tidak mengetahui”, itu pun juga baik, tidak masalah. Silahkan saja. Itu sebuah pilihan baik.

Tapi memilih model Kiai Asep, yang sampai besaran nilai nominalnya diketahui, itu pun tidak masalah. Suka-sukanyalah, tidak ada yang dilanggar. Semuanya baik, jika itu menyangkut laku kebaikan.

Maka, para Sahabat Radhiyallahu Anhu yang diamanati rezeki berlebih pun, seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan lainnya, banyak amalan-amalannya yang diketahui umum, dan bahkan jadi ibrah buat umat yang datang belakangan.

Jika amalan para Sahabat Radhiyallahu Anhu itu tidak  publish, lalu darimana kita bisa mengetahui laku amalannya. Darimana kita bisa mendengar kisah Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu yang membeli sumur dan mewakafkan pada muslimin, Sumur Raumah.

Bisa jadi Kiai Asep mengambil ibrah dari kisah-kisah keteladanan para Sababat Radhiyallahu Anhu, yang kebetulan diberi amanah kecukupan rezeki oleh-Nya. Dan kita pun dituntut berprasangka baik atas laku kebaikannya.

Kiat “air sumur yang ditimba tidak habis-habis”, dari Kiai Asep ini, mengajarkan banyak hal tentang ilmu Allah yang tidak matematik dalam pandangan kaum rasionalistik. Ini ilmu tingkat tinggi, dengan basic ikhlas. Memang tidak semua bisa memasukinya… Wallahu a’lam. (*)

Kolumnis, tinggal di Surabaya

HIDAYATULLAH

Arab Saudi akan Selenggarakan Ibadah Haji dengan “Kondisi Khusus”

Arab Saudi pada Ahad (09/05/2021) mengumumkan bahwa ibadah Haji akan digelar pada tahun ini dengan “kondisi khusus”, mengikuti standar kesehatan dan keselamatan dikarenakan masih merebaknya pandemi.

Dilansir Saudi Gazette, Kementerian Haji dan Umrah dalam pernyataannya mengatakan Haji akan dilaksanakan tahun ini dengan menerapkan semua standar dan peraturan kesehatan, keamanan untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan para jamaah.

“Lembaga kesehatan di Arab Saudi akan terus menilai situasi dan mengambil semua langkah untuk menjaga kesehatan seluruh umat manusia,” tambahnya.

Kementerian mengatakan akan mengumumkan langkah-langkah spesifik dan rencana organisasi di kemudian hari.

Tahun lalu, ibadah Haji yang biasanya diikuti oleh lebih dari 2,5 juta Muslim yang melakukan perjalanan ke Makkah dibatasi untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, hanya membolehkan 1.000 jemaah Haji. Dengan penutupan perbatasan karena virus corona, hanya mereka yang berada di dalam Arab Saudi yang dapat melakukan ibadah wajib tahunan tersebut.

HIDAYATULLAH

Apa Perbedaan Muslim dan Mukmin?

Fatwa  Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Soal:

Apa perbedaan antara Muslim dan Mukmin?

Jawab:

Iman dan Islam dapat disebutkan secara bersamaan atau terpisah antara keduanya. Apabila disebutkan keduanya bersamaan, maka keduanya memiliki makna yang berbeda. Iman mengandung makna amalan-amalan batin, sementara Islam memiliki makna amalan-amalan yang bersifat lahiriahDalil akan  hal ini adalah hadis dari Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu ketika datang malaikat Jibril kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Jibril bertanya kepada beliau ﷺ, “Apa itu Islam?” Maka Nabi ﷺ menjawab:

أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وتقيم الصلاة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان، وتحج البيت الحرام

Artinya:

“(Islam adalah) engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan  mendirikan salat menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Tanah Haram”.(HR. Muslim no.8).

Lalu Jibril kembali bertanya tentang iman, dan Nabi ﷺ menjawab,

الإيمان: أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره

Artinya:

“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, Hari akhir, dan beriman kepada ketetapan Allah yang baik dan buruk” (HR. Muslim no.8).

Perbedaan antara keduanya maka Islam adalah amalan-amalan lahiriah baik perkataan lisan atau amalan badan. Sementara iman adalah amalan-amalan batin yaitu penetapan, pengenalan dan iman dalam hati. Allah ﷻ berfirman,

۞ قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَٰلِكُمْ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya:

Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman”. Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk (islam)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujurat: 14).

Allah ﷻ menjelaskan dalam ayat ini bahwa iman berada di dalam hati dan memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan islam. Sesungguhnya islam bisa terdapat pada diri orang-orang munafik dan orang-orang yang  beriman. Maka kita katakan, iman memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan islam.

Adapun jika iman dan Islam disebutkan secara terpisah, maka keduanya memiliki makna yang sama. Seperti ketika ada seseorang berkata, “Saya seorang mukmin”, atau ada yang berkata, “Saya seorang muslim”, maka ini tidak dibedakan.

Akan tetapi, ketika seseorang berkata, “Saya seorang mukmin”, maka wajib niat mengatakan perkataan tersebut adalah dalam rangka menyebutkan nikmat Allah Azza wa Jalla. Atau sekedar memberikan informasi. Tanpa memiliki niat untuk memuji atau mensucikan diri sendiri, bangga akan dirinya, sombong, atau niat-niat tercela lainnya. Karena hal-hal semacam ini merupakan perkara yang diharamkan.

Wallahu a’lam

Sumber: https://al-maktaba.org/book/2300/26

Penulis: Dimas Setiaji

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65774-apa-perbedaan-muslim-dan-mukmin.html

Takwa Sosial Sebagai Tujuan Utama Puasa

Berikut penjelasan konsep takwa sosial sebagai tujuan utama puasa.

Syahdan, Umat Islam di pelbagai dunia, kini tengah menjalani ibadah puasa. Puasa adalah kewajiban yang diperintahkan Allah bagi setiap muslim. Dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan tujuan seseorang berpuasa adalah agar menjadi orang yang bertakwa.

Hal itu sejalan dengan firman Allah dalam Q.S al-Baqarah ayat 183. Allah berfirman;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya; Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Tak dapat dipungkiri, jamak orang memahami adalah sebagai “Menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan Allah”. Konsep takwa ini terkesan vertikal. Takwa dalam tatanan ini terkesan satu arah. Takwa yang diajukan terkesan “melangit”. Allah sebagai titik utama utama.

Padahal bila kita tilik al-Qur’an, akan diperoleh makna takwa lebih jauh. Takwa tak sekadar konsep antara manusia dengan Tuhan. Lebih dari itu, takwa memiliki dimensi horizontal. Penulis menyebutnya konsep takwa sosial. Takwa dalam pengertian ini adalah konsep takwa yang lebih membumi. Pendek kata; terjadi pergeseran takwa yang awalnya theosentris menuju antroposentris.

Adapun konsep takwa sosial itu dapat kita temukan dalam Q.S Ali Imran ayat 133-134. Dalam ayat ini terdapat empat konsep tentang Takwa. Menariknya, konsep takwa ini bersifat sosial. Takwa yang lebih membumi. Allah berfirman;

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan mema’afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.

Konsep takwa sosial pertama adalah bersedekah dalam keadaan lapang atau sempit. Penting digaris bawahi, sejak kemunculan Islam pertama kali, dimensi sosialnya sangatlah dominan. Pun tujuan dari Islam sejatinya sebagai rahmat dan kasih terhadap makhluk di bumi ini. Lebih dari itu, Islam ingin memanusiakan manusia. Menganggakat harkat martabat manusia.

Konsep sedekah ini merupakan salah satu dimensi sosial Islam. Pun ini sering dicontohkan Nabi Muhammad. Beliau adalah orang yang dermawan. Rajin menolong manusia. Dan menginfakkan pelbagai hartanya demi kalangan yang membutuhkan.

Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al Misbah,mengatakan bahwa golongan pertama yang menjadi ciri orang yang bertakwa adalah mereka orang-orang yang membelanjakan dan menginfakkan hartanya, baik dalam keadaan cukup, kurang, mampu maupun tidak mampu, demi mendapatkan perkenan Allah.

Kedua, konsep takwa sosial adalah orang yang mampu menahan amarah. Emosi yang berlebihan makan akan membuat seseorang binasa. Marah yang tak terkontrol akan menyulut perkelahian dan permusuhan.

Lebih dari itu, marah akan menimbulkan dendam kusumat. Bila dendam yang mendominasi, tak jarang berakibat fatal, seperti urusan dengan pihak berwajib, terluka dan dirawat di rumah sakit. Pun terkadang, marah yang berlebihan akan menimbulkan korban jiwa. Jamak kita dapati, marah berujung pembunuhan.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud;

اِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَالشَّيْطَانُ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَاِنَّمَا يَطْفَاُ بِالْمَاءِ النَّارُ. فَاِذَا غَضَبَ اَحَدُكُمْ فَالْيَتَوَضَاءْ

“Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan diciptakan dari api sementara api akan padam ketika terkena air. Maka jika diantara kalian ada yang marah maka berwudu’lah.

Maka orang yang mampu menahan amarah dalam hatinya, maka kelak di akhirat Allah akan memuliakannya. Pasalnya, sikap marah yang tak terkontrol akan berujung binasa. Nabi bersabda;

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ

Artinya; barangsiapa menahan amarah sedang ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan semua manusia hingga Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jelita yang ia kehendaki. (HR. Abu Dawud)

Ciri ketiga , takwa sosial adalah memaafkan keselahan manusia. Saling memaafkan merupakan perintah Tuhan. Islam mengajarkan manusia untuk saling  memaafkan. Terlebih menjelang Idul Fitri ini. Sejatinya  Idul Fitri seba­gai medium untuk saling bermaaf-maafan, ajang menjalin silaturahmi, dan menjalin cinta dan kasih sayang pada sesama manusia.

Simaklah nasihat Imam Syafi’I berikut terkait indahnya memaafkan dan menjauh sikap bermusuhan. Imam Syafi’i berkata dalam syairnya;

لَمَّا عَفَوْتُ وَلَمْ أَحْقِدْ عَلىَ أَحَدٍ * أَرِحْتُ نَفْسِي مِنْ هـمِّ العَـدَاوَات

Artinya: Tatkala  aku mema’afkan saya, aku tidak iri pada siapa pun* saya tenangkan jiwa ini dari keinginan bermusuhan.

Dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid III, Imam Ghazali mengatakan bahwa manusia memiliki karakter al-bahimiyah (binatang buas) dalam dirinya. Bila  sifat bahimiyah ini telah menguasai dirinya, maka manusia itu akan  menjadi tamak, rakus,  doyan mencuri, makan, pendendam, dan suka perbuatan maksiat, dan gemar melakukan perbuatan zina. Itulah sifat hewani manusia.

Lantas bagaimana membersihkan sikap bahimiyah dalam diri manusia? Salah satu caranya adalah dengan mengerjakan pelbagai kembali kepada sifat lahiriyah manusia, yaitu suci dan tak ternodai.  Salah satu cara kembali pada sikap lahiriyah manusia adalah suka memaafkan manusia. Dengan memaafkan hati manusia akan tentram.

Demikianlah penjelasan terkait takwa sosial sebagai tujuan utama puasa. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Sabar dan Shalat, Obat Hadapi Masalah

SATU ciri utama dunia yang tidak akan pernah hilang ialah masalah. Selesai satu masalah, datang lagi masalah berikutnya. Inilah hidup.

Siapapun yang namanya masih hidup di bumi ini pasti akan menghadapi masalah, karena masalah ada di mana-mana, mulai dari kolong jembatan sampai istana kekuasaan. Dari anak-anak hingga kakek-nenek, semua berhadapan dengan masalah. Prinsipnya setiap jiwa memiliki masalah.

Allah Ta’ala sebagai Pencipta Alam Semesta sudah mengetahui dan karena itu juga telah mempersiapkan metode terbaik dalam menghadapi setiap masalah, yakni dengan sabar dan shalat.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153).

Syeikh Aid Al-Qarni dalam buku fenomenalnya La Tahzan menuturkan bahwa jika Rasulullah diimpa sebuah ketakutan, maka beliau akan segera melakukan shalat. Suatu waktu beliau berkata kepada Bilal, “Ketenanganku ada pada shalat.”

Lebih lanjut Aid Al-Qarni menjelaskan, “Jika hati terasa menyesak, masalah yang dihadapi terasa sangat rumit dan tiup muslihat sangat banyak, maka bersegeralah datang ke tempat shalat, dan shalatlah.”

KH Abdullah Said, pendiri Pesantren Hidayatullah di Kalimantan Timur pernah berkata bahwa shalat adalah media terbaik seorang Muslim mengadukan segala masalahnya kepada Allah Ta’ala.

Kita banyak menemukan riwayat yang menuturkan bahwa Nabi di kala shalat sungguh sangat thuma’ninah dan bisa dikatakan cukup panjang, utamanya kala beliau shalat sendiri di malam hari. Bahkan Ummul Mukminin, Siti ‘Aisyah radhiallahu anha pernah menuturkan, kaki Rasulullah sampai bengkak karena lamanya shalat beliau.

Semua itu tidak lain karena beliau sedang mengadu, memohon, dan berharap kepada Allah agar segala rusan yang berkaitan dengan umat Islam diberikan jalan, diberikan kemudahan, diberikan keberkahan, sehingga umat Islam bisa menjadi umat terbaik yang mampu menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.

Kala kita memohon kepada Allah melalui shalat, tentu sangat tidak elok jika dilakukan dengan tergesa-gesa. Harus tenang dan sabar dalam menjalankannya.

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha [20]: 132).

Jadi, shalat sebenarnya bukan semata ritual, ia sumber menyedot dan menyadap kekuatan Ilahiyah untuk setiap jiwa mampu menghadapi masalah dengan tenang, cerdas dan solutif. Sebab dalam shalat ada masa dimana Allah sangat dekat pada seorang hamba, yakni di kala sujud.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda:عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ رواه مسلم

“Sedekat-dekat seorang hamba kepada Tuhannya yaitu ketika ia sujud, maka perbanyaklah berdo’a di dalam sujud.” (HR. Muslim).

Dengan demikian mari kita jadikan shalat sebagai media penting dalam hidup kita untuk benar-benar dekat kepada Allah Ta’ala untuk menemukan solusi dari setiap masalah yang kita hadapi. Bukan sekedar ritual dan kurang begitu antusias dalam menjalankannya.

Sabar

Beriringan dengan kala kta shalat, dalam menghadapi masalah kita juga harus bersabar. Menurut Aid Al-Qarni sabar adalah kemampuan jiwa untuk senantiasa berlapang dada, berkemauan keras, serta memiliki ketabahan yang besar dalam menghadapi masalah kehidupan.

Bahkan tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi dengan sabar. Dengan bersabar, masalah apa pun, insya Allah akan tersolusikan.
Seberapa pun besar permasalahan yang kita hadapi, tetaplah bersabar. Karena kemenangan itu sesungguhnya akan datang bersama dengan kesabaran. Jalan keluar datang bersama kesulitan. Dan, dalam setiap kesulitan itu ada kemudahan. Karena janji Allah adalah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155).

Dengan demikian, usah sedih, apalagi putus asa. Biarlah masalah mewarnai hidup kita, apa pun dan sebesar apa pun. Semua itu pasti akan sirna seiring kita memohon solusi kepada Allah dengan sabar dan shalat. Karena jika Allah sudah berjanji, mustahil Allah tidak menepatinya, yakinlah!*

HIDAYATULLAH

Doa Nabi Ibrahim untuk Cepat Pergi Haji

Alquran surat Al-Baqarah ayat 128 mengabadikan doa Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail. Doa ini bagus dipanjatkan bagi setiap orang yang beriman yang ingin cepat dipanggil Allah sebagai tamunya (bisa berangkat haji).

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Rabbana waj’alna muslimaini laka wamin dzurriyyatina ummatan muslimatan laka wa arina manasikana watub ‘alaina innaka antat-tauwwabur rahim”

Artinya. “Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang taat kepada-Mu, begitu pula anak keturunan kami. Jadikanlah mereka ummat Islam, ajarkanlah cara-cara beribadah haji kepada kami, ampunilah dosa-dosa kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang kepada semua makhluq-Mu.”

Ustaz Rafiq Jauhary Lc mengatakan, doa itu juga baik digunakan umat Islam yang ingin segera berangkat ke baitullah. Karena dalam doa itu ada kalimat “ajarkanlah cara-cara beribadah haji kepada kami”

“Doa ini juga boleh dibacakan untuk para jamaah dan calon jamaah haji,” katanya melalui tausiyah darinya, Kamis (15/4).

Ustaz Rafiq yang juga pemilik travel haji dan umrah Taqwa Tours mengatakan ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari doa Nabi Ibrahim bersama dengan putranya, Nabi Ismail. Setidaknya ada tiga permohonan penting yang disampaikan dalam doa beliau berdua. Pertama, memohon agar menjadikan mereka dan anak turunnya tetap istiqamah dalam keislaman. Inilah doa yang selalu dipanjatkan oleh hampir setiap Nabi.

“Karena di antara amanah terberat bagi seorang kepala keluarga adalah menjaga anggota keluarganya agar tidak terjerumus dalam siksa neraka; tentu caranya dengan mengamalkan Islam secara kaffah,” katanya.

Kedua, memohon kepada Allah agar diberi ilmu dalam menjalankan ibadah. Ilmu menjadi hal yang penting karena tanpanya perjuangan untuk menjalankan ibadah seberat apapun sangat beresiko membuatnya tertolak, sia-sia. Ketiga taubat. Sangat mungkin seorang yang telah berilmu pun memiliki peluang berbuat kesalahan.

Ustaz Rafiq mengatakan, Nabi Ibrahim mengajak putranya dan mengajarkan bagaimana beribadah dan berdoa. Nabi Ibrahim juga menjelaskan apa visi besar yang diusung dalam keluarga.

“Hal ini sangat penting mengingat visi haruslah disampaikan dalam keluarga dan diperjuangkan bersama,” katanya.

IHRAM

Momentum Milenial Tingkatkan Ekonomi Syariah

Pakar Marketing yang juga Managing Partner Inventure, Yuswohady menyebut adanya momentum milenial megashift yakni pergerakan khas milenial yang mengubah segala aspek kehidupan. Momentum ini dinilai harus dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi syariah di Indonesia.

“Keberadaan milenial setidaknya mengubah lima hal penting yang bisa dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan,” katanya dalam Webinar Millennial Muslim Megashifts, The Birth of Gen-Sy (Generasi Syariah), Jumat (24/4).

Lima hal tersebut dirangkum dalam 5S yakni Spiritual, Safety, Screen, Self-Expression, and Social. Yuswohady mengatakan megashift milenial ini diperkuat dan semakin diperjelas oleh adanya pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak tahun lalu.

Dari sisi spiritual, milenial menganggap pandemi sebagai bentuk cobaan dari Tuhan sehingga membuat mereka cenderung lebih mendekat pada agama. Kematian yang terus terkabarkan membuat milenial lebih gemar melakukan aktivitas keagamaan, salah satunya adalah berdonasi atau menunaikan ZISWAF.

Yuswohady mengatakan momentum ini harus dimanfaatkan oleh para pelaku usaha, tidak hanya untuk aspek bisnis tapi juga menyokong tren. Karena milenial yang mengubah perilakunya membutuhkan dukungan di segala aspek perubahan tersebut.

“Pandemi ini menjadi pengingat yang sangat besar, sehingga milenial semakin berubah ke arah spiritual,” katanya.

Yuswohady mengatakan kini segala aspek halal juga semakin populer. Covid-19 membuat milenial bergerak mencari sumber yang baik dan sehat. Terlebih, gaya hidup halal kini meluas ke sisi pariwisata, hingga produk finansial.

SVP Marketing Communication Bank Syariah Indonesia, Ivan Ally perubahan perilaku ini yang coba ditangkap oleh BSI. Segmen pasar milenial memang harus mendapat perhatian penuh sehingga BSI melahirkan gerakan Gen-Sy atau Generasi Syariah.

“Kami ingin jadi brand yang paling dekat dengan milenial, makanya dibuat movement Gen-Sy,” katanya pada kesempatan yang sama.

Ivan mengatakan, BSI memandang bahwa milenial adalah motor penggerak dalam ekonomi syariah. Perilaku nasabah milenial dalam mengakses produk perbankan syariah cukup signifikan yang berarti ada kebutuhan mereka yang terpenuhi.

Contohnya, BSI memiliki produk tabungan dan gadai emas di Mobile Bankingnya BSI Mobile. Hanya dalam beberapa bulan setelah diluncurkan, jumlah akunnya sudah mencapai 25 ribu dan sebanyak 63 persen diantaranya adalah milenial.

“Ini artinya milenial Muslim sudah melek keuangan, dan terliterasi,” katanya.

Jumlah Muslim milenial sendiri di Indonesia mencapai sekitar 70 juta orang. Pasar potensial tersebut akan sangat signifikan jika sudah terliterasi keuangan syariah dengan baik.

IHRAM

Ramadhan akan Berakhir

Nabi Muhammad SAW mengingatkan kita di hari-hari Ramadhan akan berakhir.

Tahun ke tahun, dunia akan berputar sampai pada apa yang semestinya datang. Dalam peribahasa Arab kerap disebutkan fakullu maa hua aatin-aatun.

Ramadhan hadir setelah Sya’ban, dan senantiasa doa yang diajarkan adalah permohonan keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban serta mohon disampaikan pada Ramadhan. Ramadhan pasti berlalu, demikian pula halnya momentum lain. 

Nabi Muhammad SAW mengingatkan kita di hari-hari terakhir Ramadhan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahuanhu,: “Ketika datang akhir malam bulan Ramadhan, langit dan bumi, serta para malaikat menangis karena merupakan musibah bagi umat Nabi Muhammad SAW. Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, musibah apakah itu? Rasulullah menjawab: lenyaplah bulan Ramadhan karena sesungguhnya doa-doa di bulan Ramadhan dikabulkan, dan sedekah diterima, kebaikan dilipat gandakan, dan adzab ditolak.”

Makhluk-makhluk lain begitu sangat sedih ditinggalkan Ramadhan, sebagaimana digambarkan Nabi Muhammad. Hal tersebut menunjukkan keutamaan Ramadhan yang sudah menjadi taken for granted. Di akhir Ramadhan juga terdapat malam yang lebih baik dari seribu malam, Lailatul Qadar.

Beberapa tahun terakhir, muncul fenomena menarik di lingkungan Muslim kita, ditambah dengan derasnya arus teknologi. Begitu masif upaya saling mengingatkan antarsesama Muslim untuk memaksimalkan ibadah di bulan Ramadhan.

Bukan saja orang tua yang memang “telah masanya” untuk dekat dengan masjid, akan tetapi anak-anak muda dengan style-nya masing-masing berburu iktifaf di malam-malam ganjil Ramadhan, ditambah dengan kajian-kajian yang up to date. Maka, di malam-malam ganjil kita menyaksikan undangan untuk menghadiri berbagai upaya menggapai momentum istimewa di bulan Ramadhan. 

Identitas kelompok menunjukkan jati dirinya, seolah-olah ingin mengaktualisasikan “kami-lah yang mungkin dekat dengan Ramadhan dan mungkin mendapatkan Lailatul Qadar”.

Saling berebut pengaruh dan menunjukkan identitasnya, itu potret lain yang penulis lihat. Pada beberapa kesempatan Islam juga mengajarkan untuk menunjukkan identitas Muslim kita, misalnya dalam Surah Ali ‘Imran ayat 64. 

Identitas Muslim harus muncul pada saat yang tepat. Miris jika selalu menghidupkan identitas diri di hadapan sesama Muslim. Memberikan identitas Muslim kepada non-Muslim, telah banyak dilakukan dan berdampak sangat positif dalam mensyiarkan Islam.

Sebagai contoh, para pemain sepak bola Muslim di liga Inggris. Identitas Muslim mereka menginspirasi dan mendorong pemahaman Islam yang lebih komprehensif serta mendorong rasa ingin tahu. Bahkan tahun 2020 populasi menembus 3 juta orang. 

Sejatinya Ramadhan pasti berlalu, bagaimana kita mengisinya menjadi sangat penting. Dan tentu harus dengan ilmu untuk mendapatkan keutamaan Ramadhan.

Wallahu a’lam.

OLEH DINDIN JAMALUDDIN

REPUBLIKA.id

Fatwa Ramadhan: Zakat Fitri Pembantu Rumah Tangga Siapa Yang Tanggung?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin

Soal:

Apakah pembantu rumah tangga wajib bayar zakat fitri?

Jawab:

Pembantu rumah tangga wajib membayar zakat fitri karena ia juga seorang muslim. Akan tetapi, apakah ia yang menanggung zakatnya sendiri? Atau kewajiban majikan? Hukum asalnya zakatnya ia yang tanggung sendiri akan tetapi jika majikan ingin menanggung zakat fitrinya maka tidak mengapa.

Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail 18/263, Asy Syamilah

Penerjemah: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/17755-fatwa-ramadhan-zakat-fitri-pembantu-rumah-tangga-siapa-yang-tanggung.html