Oleh: Dr. Adian Husaini
SITUS www.mediadakwah.id (27/7/2021), menyiarkan berita bahwa Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dan sejumlah tokoh Ormas Islam, melakukan kajian serius tentang Baha’i. Kajian itu dilakukan, karena banyaknya WA yang masuk ke pimpinan DDII, menyusul beredarnya video ucapan selamat Hari Raya Baha’i, “Naw Ruz 178 EB” yang disampaikan oleh Menteri Agama RI. Dalam video tersebut, Menteri Agama menyampaikan ucapan selamat Hari Raya Bahai, dengan menyatakan diri, sebagai wakil resmi pemerintah RI.
Apa dan bagaimana agama Baha’i? Ditulis oleh tirto.id, bahwa pendiri agama Baha’i adalah Mírzá Ḥusayn-`Alí Núrí yang bergelar Bahá’u’lláh (kemuliaan Tuhan, kemuliaan Alláh), lahir di Iran, pada 12 November 1817. Kemudian, ia mengaku sebagai Mahdi.
Banyak tentangan dari para pemuka agama Islam kala itu. Hidupnya berakhir di tangan regu tembak pada 1850. Ia dieksekusi di lapangan Tabriz di usia 30 tahun. Pengikut Baha’i di seluruh dunia diperkirakan sekitar 6 juta orang.
Di Indonesia sendiri, kabarnya ada ribuan penganut Baha’i. Agama Baha’i sudah lama ada di Indonesia. Laman Gatra.com memberitakan, bahwa sebelum tahun 1960, penganut agama Baha’i di Indonesia merupakan yang terbesar di Asia saat itu. Bahkan, ketika itu sempat diagendakan untuk diadakan Konferensi Regional Asia Agama Baha’i di Jakarta.
Hanya saja, Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan larangan organisasi Baha’i dengan Keppres Nomor 264 Tahun 1962. Keppres Presiden Soekarno ini kemudian dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Maka, pertanyaannya, apakah agama Baha’I sudah legal dan mempunyai kedudukan yang sama dengan agama-agama lainnya di Indonesia?
Dengan ucapan selamat Hari Raya agama Baha’ oleh Menteri Agama, maka muncullah pertanyaan yang banyak disampaikan oleh warga masyarakat: apakah betul agama Baha’i sudah diakui secara resmi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dan selanjutnya, dengan pidato Menteri Agama tersebut, apakah agama Baha’i juga akan diurus oleh Kementerian Agama, sebagaimana enam agama yang diakui secara resmi, sesuai UU No 1/PNPS/1965, yaitu agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu.
Lebih jauh lagi, apakah ke depan, Kemenag juga akan mengadakan sekolah-sekolah agama Bahai, dan menyediakan guru-guru agama Bahai, sebagaimana enam agama lainnya. Dengan alasan, bahwa semua pemeluk agama harus diberikan pelayanan yang sama. Apakah benar seperti itu?
Dikabarkan, bahwa DDII akan mengkaji masalah tersebut secara mendalam, demi menjaga keutuhan NKRI dan menjaga keharmonisan kehidupan umat beragama di Indonesia. Apalagi, di tengah musim Pandemi Covid-19, umat Islam dan masyarakat Indonesia sedang berkonsentrasi untuk menangani Pandemi. Apalagi, masalah agama adalah hal yang sangat sensitif di Indonesia.
Karena ini menyangkut soal eksistensi dan kedudukan agama Baha’i di Indonesia, maka dalam pertemuan pagi ini, DDII mengundang sejumlah tokoh Ormas Islam. Hadir dalam perteman pagi ini Ketua Majelis Fatwa DDII, Ketua Bidang Kajian DDII, Pusat Dokumentasi Tamadun, dan juga wakil dari beberapa Ormas Islam. Hadir juga pakar hukum Tata Negara dari UI dan Pakar HAM, serta pakar Aliran-aliran keagamaan di Indonesia.
Diskusi para tokoh dan pakar pagi ini berlangsung sangat menarik. Kedudukan Agama Bahai dikaji dari sudut UUD 1945, HAM, UU No 1/PNPS/1965, Administrasi Negara, juga dari fatwa-fatwa ulama dan lembaga internasional. Bahan-bahan otentik tentang agama Baha’i juga sudah terkumpul.
Untuk menindaklanjuti hal itu, DDII telah membentuk “Tim Peneliti Agama Baha’i”, yang dipimpin oleh Dr. Taufik Hidayat. Tim ditugaskan bekerja cepat, tetapi juga harus cermat dan berpegang kepada asas legal-konstitusional. InsyaAllah dalam waktu singkat, Tim Peneliti ini akan menyampaikan hasilnya kepada para pimpinan Ormas Islam, untuk ditindaklanjuti secara hukum atau aspek-aspek lain yang berkenaan.
Tim Peneliti Agama Baha’i diharapkan meneliti juga masalah tersebut, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang agama Baha’i dan eksistensinya di Indonesia. Tim diberi waktu dua hari untuk menghimpun dan mengkompilasi bahan-bahan kajian dan mempresentasikan kepada para pimpinan Ormas Islam.
***
Apa pun nanti hasil penelitian Tim yang dibentuk DDII, umat Islam patut tetap tenang dan fokus pada tugas dakwah. Dalam pandangan dan keyakinan kaum muslim, agama Baha’i jelas termasuk yang menyimpang dari ajaran Islam, sehingga membentuk agama baru. Dilihat dari riwayat terbentuknya, tampak jelas bahwa agama Baha’i tidak berbeda dengan “agama Salamullah” yang pernah dibentuk oleh Lia Aminuddin.
Sesuai UU No 1/PNPS/1965, Lia Aminudin kemudian dikenai hukuman penjara, karena terkena UU penodaan agama. Pada pasal 1 UU ini disebutkan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegitan agama itu, penafsiran dan kegiatan.”.
Sedangkan pasal 2-nya: “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.”.
Tentang agama Baha’i masih menjadi perdebatan di Indonesia, apakah agama ini termasuk kategori penodaan agama Islam, atau tidak. Tim peneliti DDII diharapkan akan mengungkap fakta secara objektif.
Tetapi, terlepas dari persoalan legal-konstitusional, umat Islam dituntut untuk tetap menjalankan aktivitas dakwah dan melakukan pendekatan kepada para pengikut agama Baha’i agar mereka menempuh jalan yang benar. Beriman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. Dakwah harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak, dengan hikmah dan nasehat-nasehat yang baik. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 27 Juli 2021).*
Penulis pengasuh PP Attaqwa College (ATCO), Depok, Jawa Barat, Ketua Umum DDII