Fatwa Ulama: Membaca Āmīn Setelah Membaca Al-Fatihah di Luar Salat

Pertanyaan:

Kita sudah mengetahui ada bacaan yang dibaca setelah surat al-Fatihah, yaitu bacaan “āmīn”. Yang dibaca setelah bacaan “walādh-dhāllīn”. Apakah bacaan ini bagian dari ayat ataukah hanya sunnah saja untuk dibaca?

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:

قول (آمين) بعد الفاتحة ليست من آيات الفاتحة وإنما هي دعاء بمعنى: استجب يا ربنا، فهي سنة وليست واجبة، سنة بعد الفاتحة، يقولها القارئ في الصلاة وغيرها، يقول آمين إذا قرأ الفاتحة، يقولها الإمام، يقولها المأموم، يقولها المنفرد، في الصلاة وخارجها. آمين، هذه السنة، ليست واجبة ولكنها مستحبة، وهي دعاء وليست آية من الفاتحة ولا من غيرها، وإنما هي دعاء. نعم

“Perkataan “āmīn” setelah Al-Fatihah ini bukan termasuk ayat surat Al-Fatihah. Ia adalah doa yang maknanya, “Ya Allah kabulkanlah”. Hukumnya sunnah, tidak wajib. Disunnahkan membacanya setelah membaca Al-Fatihah di dalam salat ataupun di luar salat. Disunnahkan membaca “āmīn” ketika imam membacanya, maka makmum membacanya. Demikian juga orang yang salat sendirian. Di dalam salat maupun di luar salat, ucapkanlah “āmīn“. Hukumnya mustahab (dianjurkan), tidak wajib. Dan ucapan ini adalah doa, bukan bagian dari surat Al-Fatihah ataupun surat yang lain. Namun ia adalah doa. Demikian”

(Fatawa Nurun ‘alad Darbi li Samahatis Syaikh Ibni Baz, hal. 923)

Penerjemah: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/67689-fatwa-ulama-membaca-amin-setelah-membaca-al-fatihah-di-luar-shalat.html

Hukum Mengumumkan Kematian Seseorang

Ketika ada yang meninggal dari kaum Muslimin, terkadang kematiannya diumumkan kepada banyak orang. Ini disebut dengan an na’yu. Bagaimana hukum an na’yu dalam Islam?

Definisi an na’yu

An na’yu artinya mengumumkan kematian seseorang. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Atsir, beliau mengatakan,

نعى الميت إذا أذاع موته ، وأخبر به ، وإذا ندبه

Na’al mayyit artinya diumumkan kematiannya, dikabarkan kepada orang-orang dan memotivasi orang-orang untuk bertakziah” (An Nihayah fi Gharibil Hadits, 5/85).

Umumnya, an na’yu disertai dengan nida’ (panggilan dengan suara yang keras). Oleh karena itu At Tirmidzi mendefinisikan an na’yu,

والنعي عندهم أن ينادى في الناس أن فلاناً مات ليشهدوا جنازته

An na’yu menurut para ulama adalah mengumumkan dengan suara yang keras kepada orang-orang bahwa si fulan telah meninggal dan diajak untuk menghadiri pemakamannya” (Jami’ At Tirmidzi, hal. 239).

Hukum an na’yu

An na’yu ada yang tercela dan ada yang dibolehkan. Para ulama merinci antara an na’yu yang disertai nida‘ (panggilan dengan suara keras) dengan tanpa disertai nida’.

Pertama: an na’yu jika disertai nida’

Ulama empat mazhab sepakat bahwa an na’yu jika disertai nida’ hukumnya makruh dan merupakan perbuatan yang tercela, walaupun mereka berbeda dalam rinciannya. Di antara dalilnya adalah perkataan Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiallahu’ anhuma, beliau berkata,

إذا مِتُّ فلا تُؤذِنوا بي؛ إنِّي أخافُ أن يكون نَعْيًا؛ فإنِّي سَمِعْتُ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم يَنْهَى عن النَّعْيِ

“Jika aku meninggal maka janganlah kalian mengganggu aku (dengan mengumumkan kematianku), karena aku khawatir itu termasuk na’yu. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang an na’yu” (HR. At Tirmidzi no.986, Ibnu Majah no.1476, Ahmad no. 23502, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dan alasan terlarangnya an na’yu adalah karena menyerupai perbuatan orang-orang Jahiliyah terdahulu. Sedangkan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari kaum itu” (HR. Abu Daud 4033, Ahmad 5232, disahihkan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil 1269).

Bagaimana bentuk an na’yu yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah terdahulu? Yaitu an na’yu yang disertai nida’ (seruan dengan suara keras), tanwih (memuji-muji berlebihan) dan tafkhim (membesar-besarkan nama si mayit). Sebagaimana dijelaskan Ibnu Abidin, ulama Hanafiyah, beliau berkata,

وكره بعضهم أن ينادى عليه في الأزقة والأسواق لأنه يشبه نعي الجاهلية والأصح أنه لا يكره إذا لم يكن معه تنويه بذكره وتفخيم

“Sebagian ulama memakruhkan an na’yu, jika disertai dengan seruan yang keras di gang-gang dan di pasar-pasar. Karena ini menyerupai perbuatan kaum Jahiliyah. Namun yang lebih tepat, an na’yu tidak dimakruhkan jika tidak disertai tanwih (memuji-muji berlebihan) terhadap mayit dan tafkhim (membesar-besarkan nama si mayit)” (Hasyiah Ibnu Abidin, 2/239).

An Nawawi, ulama besar Syafi’iyah, mengatakan,

اِسْتِحْبَاب الإِعْلام بِالْمَيِّتِ لا عَلَى صُورَة نَعْي الْجَاهِلِيَّة , بَلْ مُجَرَّد إِعْلَام للصَّلَاة عَلَيْهِ وَتَشْيِيعه وَقَضَاء حَقّه فِي ذَلِكَ , وَاَلَّذِي جَاءَ مِنْ النَّهْي عَنْ النَّعْي لَيْسَ الْمُرَاد بِهِ هَذَا , وَإِنَّمَا الْمُرَاد نَعْي الْجَاهِلِيَّة الْمُشْتَمِل عَلَى ذِكْر الْمَفَاخِر وَغَيْرهَا

“Dianjurkan mengumumkan kematian jika bukan dengan cara kaum Jahiliyah. Namun sekedar mengumumkan agar bisa menghadiri salat jenazah, memberitahukan info kepada orang lain, dan untuk menunaikan hak mayit. An na’yu yang dilarang oleh Nabi bukanlah an na’yu dengan tujuan ini, namun an na’yu ala kaum Jahiliyah yang disertai dengan menyebutkan pujian-pujian berlebihan terhadap mayit dan menyebutkan perkara lainnya” (Syarah Shahih Muslim, 7/21).

Ringkasnya, sebagian ulama memakruhkan an na’yu secara mutlak jika disertai nida’. Dan sebagian ulama merinci, bahwa yang makruh adalah jika disertai tanwih (memuji-muji berlebihan) dan tafkhim (membesar-besarkan nama si mayit).

Yang rajih adalah pendapat kedua, bahwa boleh an na’yu disertai nida’ jika tidak disertai tanwih dan tafkhim. Syekh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya, “Bolehkan mengumumkan kematian seseorang di koran?” Beliau menjawab,

لا نعلم فيه شيئًا، من باب الخبر

“Kami memandang perbuatan tersebut tidak mengapa. Karena perbuatan demikian termasuk kebaikan” (Masail Al Imam Ibni Baz, no. 295, hal. 108).

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan,

الإعلان عن موت الميت : فإن كان لمصلحة مثل أن يكون الميت واسع المعاملة مع الناس بين أخذ وإعطاء ، وأعلن موته لعل أحداً يكون له حق عليه فيقضى أو نحو ذلك : فلا بأس

“Mengumumkan kematian seseorang yang sudah meninggal, jika dilakukan untuk suatu maslahat, semisal jika si mayit tersebut muamalahnya luas di tengah masyarakat, sering melakukan transaksi, lalu diumumkan kematiannya karena bisa jadi ada seseorang yang haknya belum ditunaikan oleh si mayit, sehingga dengan diumumkan, hak tersebut bisa ditunaikan. Atau maslahat yang semisalnya, ini hukumnya tidak mengapa” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 17/461).

Syekh Abdullah bin Jibrin mengatakan,

لا بأس بنشر الخبر عن وفاة بعض الأشخاص المشهورين بالخير والصلاح ، ليحصل الترحم عليهم والدعاء لهم من المسلمين ، ولكن لا يجوز مدحهم بما ليس فيهم ، فإنَّ ذلك كذب صريح

“Tidak mengapa menyebarkan berita kematian sebagian orang yang dikenal sebagai orang baik dan saleh. Agar ia didoakan rahmat oleh kaum Muslimin serta didoakan kebaikan. Akan tetapi tidak boleh memuji orang tersebut secara berlebihan dengan sifat-sifat yang tidak ada pada dirinya, karena ini merupakan bentuk dusta yang nyata” (Fatawa Islamiyah, 2/106).

Kedua: an na’yu jika tanpa disertai nida’

Adapun an na’yu tanpa disertai nida’, maka ulama empat mazhab sepakat akan bolehnya. Bahkan dinukil ijmak akan hal ini. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan an na’yu dengan model ini. Di antara dalilnya adalah hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم نعى النَّجاشيَّ في اليومِ الذي مات فيه؛ خَرَجَ إلى المُصلَّى، فصَفَّ بهم، وكَبَّرَ أربعًا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan na’yu terhadap wafatnya an Najasyi di hari ia wafat. Beliau lalu keluar menuju lapangan dan membariskan para sahabat dalam saf, kemudian bertakbir 4 kali” (HR. Bukhari no.1245, Muslim no.951).

Juga hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

أنَّ رجلًا أسودَ- أو امرأةً سوداءَ- كان يقمُّ  المسجِدَ فمات، فسألَ النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم عنه، فقالوا: مات، قال: أفلا كُنْتُم آذنْتُموني به، دُلُّوني على قبره- أو قال قبرِها- فأتى قبْرَها فصلَّى عليها

“Ada seorang lelaki (atau wanita) yang berkulit hitam yang biasa menyapu masjid. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya tentang orang tersebut. Orang-orang menjawab bahwa orang tersebut sudah meninggal. Nabi berkata, ‘mengapa kalian tidak mengabarkan kepadaku? Kabarkan kepadaku di mana kuburnya!’ Kemudian Nabi pun mendatangi kubur orang tersebut” (HR. Bukhari no.458, Muslim no.956).

Perkataan Nabi “mengapa kalian tidak mengabarkan kepadaku?” menunjukkan bolehnya dan tidak tercelanya mengabarkan kematian seseorang tanpa nida’.

Ibnu Hajar al Asqalani mengatakan,

النَّعْي لَيْسَ مَمْنُوعًا كُلّه , وَإِنَّمَا نُهِيَ عَمَّا كَانَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة يَصْنَعُونَهُ فَكَانُوا يُرْسِلُونَ مَنْ يُعْلِن بِخَبَرِ مَوْت الْمَيِّت عَلَى أَبْوَاب الدُّور وَالأَسْوَاق

An na’yu tidak terlarang semuanya. Yang dilarang adalah jika serupa dengan yang dilakukan kaum Jahiliyah. Mereka mengutus orang untuk mengumumkan dengan suara keras tentang kematian seseorang, ke rumah-rumah, gang-gang dan pasar-pasar” (Fathul Bari, 3/117).

Al Buhuti, ulama Hanabilah, mengatakan,

قالوا: لا بأسَ أن يُعْلِمَ به أقاربَه وإخوانَه من غير نداءٍ

“Para ulama Hanabilah berkata: tidak mengapa melakukan na’yu atas kematian kerabat dan saudara, tanpa melakukan nida’” (Kasyful Qana’, 2/85).

Bahkan dinukil ijmak akan bolehnya an na’yu jika tanpa nida’. Ibnu Rusyd Al Jadd mengatakan,

وأمَّا الإِذْنُ بها، والإعلامُ من غير نداءٍ، فذلك جائزٌ بإجماعٍ

“Adapun jika an na’yu sudah atas izin keluarga, dan diumumkan tanpa disertai nida’, maka hukumnya boleh berdasarkan ijmak” (Al Bayan wat Tahshil, 2/218).

Al Mawwaq juga mengatakan,

وأمَّا الأذانُ والإعلامُ مِن غير نداءٍ؛ فذلك جائزٌ بإجماع

“Adapun memanggil orang-orang dan mengumumkan kematian tanpa disertai nida’, ini hukumnya boleh berdasarkan ijmak ulama” (At Taj wal Iklil, 2/241).

Ringkasnya, an na’yu jika tanpa disertai nida’, maka hukumnya boleh tanpa khilaf ulama. Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Referensi: Mausu’ah Fiqhiyyah Duraris Saniyyah dengan beberapa tambahan.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/67687-hukum-mengumumkan-kematian-seseorang.html

Mengapa Dibacakan Surat Yasin Saat Sakaratul Maut?

Surat Yasin bagus dibaca untuk orang yang sakaratul maut atau sudah meninggal

Saat umat Islam mau meninggal dunia atau sedang mengalami sakartul maut, biasanya anggota keluarga akan mentalqin dengan kalimat syahadat. 

Namun, ada pula kelurga muslim yang berinisiatif untuk membaca surat Yasin. Lalu mengapa surat Yasin perlu dibaca saat sakaratulmaut? Dalam riwayat Nasa’i dan lainnya terdapat hadits,

من حديث معقل بن يسار المزني عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : اقرؤوا {يس} عند موتا كم

“Dari Ma’qil bin Yasar Al Muzani, dari Rasulullah Saw, bahwa beliau bersabda, “Bacakanlah Yasin oleh kalian pada orang-orang yang mati di antara kalian.”

Dalam buku yang sudah dialihbahasakan berjudul Rahasia ruh dan Kematian, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah menjelaskan, hadits ini mengandung kemungkinan pengertian bahwa yang beliau maksud yaitu perintah membaca surat Yasin bagi orang yang sedang mengalami sakaratul maut.

Dengan begitu, hadits-hadits ini serupa dengan sabda beliau yang berbunyi, “Talkinkanlah orang-orang yang mati di antara kalian dengan La ilaha illallah.”

Namun, menurut Ibnu Qayyim, ada pula kemungkinan pengertian bahwa yang dimaksud beliau yaitu membaca surat Yasin setelah dikuburkan. Walaupun pengertian yang pertama tampaknya lebih tepat disebabkan beberapa alasan berikut ini:

Pertama, hadits-hadits ini serupa dengan sabda Rasulullah SAW yang menganjurkan mentalqin orang-orang yang mati dengan kalimat la ilaha illallah. Kedua, adanya manfaat Surat Yasin bagi orang yang sedang mengalami sakaratul maut.

Sebab, menurut dia, di dalam surat Yasin ini terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid, akhirat, berita gembira berupa surga bagi ahli tauhid dan dorongan untuk menginginkan kematian seperti orang yang disebutkan dalam ayat berikut, 

قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ () بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ

“Dikatakan (kepadanya), ‘Masuklah ke surga!’  Ia berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS Yasin 26–27).

Menurut Ibnu Qayyim, ayat-ayat dalam surat Yasin itu membuat ruh menjadi gembira sehingga dia akan menyukai perjumpaan dengan Allah sebagaimana Allah juga menyukai perjumpaan dengannya. Apalagi surat Yasin merupakan surat yang disebut sebagai “jantung Alqur’an”, serta memiliki khasiat yang menakjubkan dalam bacaannya bagi orang yang sedang sekarat.  

KHAZANAH REPUBLIKA

5 Fakta Aisyah Istri Rasulullah SAW Menurut Ibnu Katsir

Ibnu Katsir membeberkan sejumlah fakta seputar Aisyah RA

Ummul Mu’minin Aisyah RA adalah salah satu wanita terbaik yang memiliki jasa besar dalam sejarah Islam.

Dia meninggal pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan setelah mewariskan keilmuannya kepada umat Islam. 

Dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Al-Hafiz Ibnu Katsir disebutkan bahwa Aisyah adalah istri Nabi yang paling dicintai dari keturunan sahabat yang juga paling dicintai, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ibunya adalah Umm Ruman binti Amir bin Awaimir Al Kinaniah.

Dalam Shahih Al Bukhari, dari hadits Abu Usman Al Nahdi atas riwayat Amr ibn Al Aas mengatakan, “Aku bertanya, Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling kamu cintai?

Beliau menjawab, “Aisyah.” Saya berkata, Siapa dari laki-laki? Beliau menjawab lagi, “Ayahnya.”

Dalam Shahih Al Bukhari juga dari Abu Musa, dia berkata, “Rasulullah mengatakan, “Banyak pria yang sempurna, dan tidak ada wanita yang sempurna kecuali Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwaylid, Asiyah, istri firaun, dan keutamaan Aisyah atas wanita lain adalah seperti keutamaan bubur di atas makanan lainnya.” Berikut ini sejumlah fakta seputar Aisyah yang dikutip dari kitab Ibnu Katsir: 

• Julukan Ummu Abdullah

Rasulullah SAW menjulukinya dengan Ummu Abdullah yang diambil dari anak dari saudara perempuannya, Abdullah bin Al-Zubair. Nabi juga tidak menikahi perawan selain dia.

• Aisyah RA dalam Alquran

Ada juga ayat yang turun kepada Nabi Muhammad SAW dan menjelaskan tentang peristiwa fitnah kepada Aisyah. Dalam surat An Nuur ayat 11, Allah SWT membuka kebenaran terkait fitnah keji yang ditujukan kepada Ummul Mu’minin.

• Ahli surga

Aisyah RA juga menjadi salah seorang yang dijanjikan surga Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi SAW dari Imam Ahmad berkata, “Waki’ memberi tahu kami, atas riwayat Ismail, atas riwayat Musab bin Ishaq bin Talha, atas riwayat Aisyah, bahwa Nabi berkata, “Itu mudah. bagi saya untuk melihat putihnya telapak tangan Aisyah di surga.”

• Berpengetahuan luas

Keistimewaan lain dari Aisyah adalah bahwa dia adalah istri Nabi yang paling berpengetahuan dan bahkan adalah yang paling berpengetahuan dari semua wanita.

Al Zuhri berkata, “Jika ilmu Aisyah digabungkan dengan ilmu semua istrinya dan ilmu semua wanita, maka ilmu Aisyah akan lebih baik.”

Atha bin Abi Rabah berkata, “Aisyah adalah orang yang paling berilmu dan paling baik pendapat di antara orang-orang biasa.”

Urwah berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih ahli dalam fiqih, kedokteran, atau puisi selain Aisyah.”

Keilmuan Aisyah ditunjukkan dengan menjadi seorang yang meriwayatkan hadits lebih dari Abu Hurairah. 

Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Jika kami bingung dengan ilmu dari para sahabat Muhammad SAW, kami akan bertanya kepada Aisyah dan kami akan menemukan penjelasan darinya.”

• Wafatnya Aisyah

Aisyah meninggal di usia lima puluh delapan tahun. Menurut riwayat yang terkenal terjadi pada Ramadhan. Ada juga yang mengatakan pada  Syawal, dan yang paling terkenal adalah malam Selasa tanggal tujuh belas Ramadhan.

Aisyah meminta agar dimakamkan di Al Baqi’ pada malam hari. Adapun yang mensholatkannya adalah Abu Hurairah. Sementara orang yang mengurus pemakamannya, yaitu Abdullah, Urwah bin Al Zubair ibn Al Awwam, dari saudara perempuannya Asma binti Abi Bakr, Al Qasim, dan Abdullah, kedua keponakannya, Muhammad bin Abi Bakr, dan Abdullah bin Abdul Rahman bin Abi Bakr. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Dua Tahun Gagal Berangkat Haji Calhaj Masih Sabar

Pada usianya yang ke-70, Ahmad Mahmudi, warga Desa Langkap, Kecamatan Kertanegara, Purbalingga, Jawa Tengah masih gesit beraktivitas. Dia rajin menyiangi rerumputan di sekitar tanaman kapulaga, komoditas pokok kebunnya.

Dia juga mengawasi tetangganya yang mengambil nira, bahan dasar gula merah, dari pohon kelapa di kebunnya.

Mahmudi adalah salah satu calon jamaah haji yang gagal berangkat ke Arab Saudi tahun ini.Seharusnya, dia berangkat 2020 silam. Namun, karena pandemi Covid-19, calon jemaah haji dari Indonesia tidak diberangkatkan.

Dia dijanjikan berangkat pada musim haji 2021, tapi lagi-lagi gagal berangkat karena pandemi yang entah kapan berakhir.

“Saya mendaftar haji bersama istri pada 2011 silam. Waktu itu, saya menjual sebidang tanah, laku Rp100 juta,” ujar Mahmudi, pada Anadolu Agency, akhir pekan lalu.

“Tanah itu memang tabungan dari hasil saya bekerja sebagai penjual sembako dan roti keliling. Selain itu, saya juga sempat menderes (mengambil air nira) sebagai bahan pembuat gula merah,” lanjut dia.

Mahmudi menjelaskan, dirinya keliling berjualan roti dan sembako dalam jarak yang cukup jauh. Bahkan ia sempat berjualan hingga Jakarta, Sukabum, hingga Pulau Karimunjawa. Semua itu dilakukan untuk mencukupi biaya naik haji.

“Kami mendapat kursi haji untuk keberangkatan 2020. Tetapi, tahun 2014, sebelum kami naik haji, istri saya meninggal dunia, “kata dia.

Saat dijadwalkan berangkat pada 2020, dia dan para calon haji lain sudah selesai mengikuti manasik, baik di Purbalingga maupun di Asrama Haji Donohudan, Boyolali.“Berbagai persiapan telah saya lakukan, termasuk manasik haji yang dirampungkan sudah secara lengkap,” ujar dia.

Bahkan, Kementerian Agama Purbalingga telah membagikan pakaian yang digunakan untuk beribadah di Tanah Suci. Lalu dia menunjukkan mulai dari tas, pakaian ihram dan perlengkapan lain untuk membuktikan bahwa dirinya memang sudah siap berangkat.

“Tetapi, karena belum jadi berangkat, pakaian dan tasnya saya simpan. Sudah setahun lebih di lemari. Tidak pernah saya pakai,” kata dia.

Sambil menunggu pemberangkatan, Ahmad Mahmudi melanjutkan aktivitas mengurus kebun dan jual beli gula merah.“Pekerjaan saya sehari-hari seperti ini, jualan gula kecil-kecilan dan mengurus kebun,” ujar dia.

Dia berharap, pandemi Covid-19 segera dapat selesai, sehingga dia dapat pergi berangkat haji.“Tidak apa-apa, karena memang masih terjadi pandemi,” kata dia. Mahmudi pun sadar bila pembatalan keberangkatan jemaah haji dari Indonesia semata-mata demi kesehatan.

Berdasarkan keterangan dari Kemenag Purbalingga, ada 600 lebih calon haji yang batal berangkat tahun ini.

Kepala Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Kantor Kemenag Purbalingga Khamimah mengatakan bahwa jamaah haji di Purbalingga cukup memahami gagalnya pemberangkatan.”Ibadah haji merupakan panggilan dari Allah. Mungkin para calon jamaah haji sudah sangat menginginkan, tetapi Allah yang menentukan,” jelas dia.

Tertutup untuk jamaah dari luar

Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas mengatakan bahwa pembatalan pemberangkatan ini murni karena faktor kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah haji yang terancam pandemi .

Saat mengumumkan pembatalan pemberangkatan haji pada Kamis (3/6) lalu, Menteri Yaqut juga menyebut bahwa Kerajaan Arab Saudi belum mengundang pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani nota kesepahaman persiapan penyelenggaraan ibadah haji.

Selain itu Arab Saudi juga belum membuka akses layanan penyelenggaraan ibadah haji, padahal pemerintah memerlukan waktu untuk melakukan persiapan pelayanan bagi para jemaah.

Pada akhirnya, Kerajaan Arab Saudi mengumumkan bahwa mereka tidak akan menerima jemaah haji dari luar. Ibadah Haji 2021 hanya terbatas untuk domestik, baik itu warga negara Arab Saudi dan para ekspatriat yang berada di negara itu.

Jumlah jamaah juga dibatasi hingga 60.000 jemaah, dengan usia 18 hingga 60 tahun.

Sementara itu soal dana haji, pemerintah menyatakan Jemaah yang gagal berangkat bisa mengambil kembali biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) yang sudah disetor ke pemerintah.

Jamaah juga bisa membiarkan uang tersebut disimpan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk perhitungkan nanti jika ada pemberangkatan.

Jemaah yang batal berangkat tahun ini akan menjadi jemaah haji pada 1443 Hijriah atau 2022 Masehi, ujar Menteri Yaqut.

Mati juga tidak apa, yang penting berangkat

Kekecewaan tampak jelas saat Muhammad Ihsan (37) seorang petani di Desa Lingom, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, menceritakan kegagalannya berangkat haji tahun ini.

Ikhsan juga sudah dua kali gagal, jika ditambah dengan masa tunggunya, maka total 13 tahun dia menunggu untuk berangkat ke Tanah Suci. Rencananya dia pergi bersama ibunya yang kini sudah berusia 76 tahun.

Rata-rata umur calon jemaah haji di kecamatannya memang sudah berusia lanjut. Faktor usia ini juga yang membuatnya resah, karena belakangan dia melihat ibunya semakin lemah dan sering sakit-sakitan.

“Setelah dua tahun ditunda, sudah dua orang calon jemaah haji meninggal dunia. Tadinya 10 orang, kami tinggal berdelapan sekarang,” kata Ihsan saat ditemui Anadolu Agency, pekan lalu.

Pada 2020 saat pemberangkatan haji pertama kali ditunda, ibunya sudah pasrah. Ibunya berpikir, tidak ada kesempatan lagi pergi menunaikan ibadah haji karena umurnya yang kian menua.

“Ibu saya sudah pasrah. Dia bilang mungkin mama nggak ada rezeki lagi bisa ke tanah suci,” ujar dia.

Ibunya kembali mulai bersemangat, saat mengetahui bahwa tahun ini dapat berangkat haji. Dia mengikuti pemeriksaan medis hingga manasik haji meski harus dibantu kursi roda.

Tapi kekecewaan kembali menghampiri saat mereka mengetahui ibadah haji tahun ini kembali dibatalkan.

“Impiannya tahun ini, tapi gagal juga. Padahal kami vaksin kami sudah, belanja perlengkapan untuk haji pun sudah,” ujar dia.

Erlinawati (47) asal Desa Ajun, Kecamatan Peukan Bada, Banda Aceh juga mengungkapkan kisah yang sama.Rencana tahun ini dia bersama suami, ibu kandung dan ibu mertuanya mendapat jatah untuk berangkat haji, tapi sayangnya gagal.

Sementara ibu dan mertuanya sudah lanjut usia, sehingga semakin menipiskan harapan mereka berangkat ke tanah suci, bahkan jika tahun depan sudah dibuka kembali.

Erlina kecewa saat pemerintah membatalkan keberangkatan haji tahun ini, tapi dia berusaha mengambil hikmah, bahwa sesuatu bisa terlaksana atas izin Allah.

“Jadi saya tanya sama orang tua, pandemi Covid-19 ini bisa membuat kita kalau kita mati di Makkah Terus mereka bilang, biar saja mati di sana malah lebih bagus,” ungkap dia.

Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Aceh Arijal, mengatakan, 4.187 jamaah haji asal Aceh yang batal berangkat tahun ini sudah melunasi setoran haji.

Selain itu, Arijal mengatakan, untuk daftar tunggu jamaah haji asal Aceh mencapai 127.000 orang. Jadi jika masyarakat yang hendak mendaftar haji tahun ini, itu harus menunggu hingga 30 tahun untuk bisa berangkat.

Erlina dan Ihsan hanya segelintir para calon jemaah haji asal Aceh yang gagal berangkat. Meski gagal berangkat tahun ini, tak ada niatan bagi mereka menarik kembali setoran hajinya.

Meski begitu, mereka mewakili 4.187 calon jemaah haji yang gagal berangkat tahun ini, berharap tahun depan tak ada lagi pembatalan .

Memang pandemi belum selesai, mereka tetap ingin menunaikan rukun Islam ke lima itu.

IHRAM

Hukum Menangis di Kuburan Jenazah Covid-19, Bolehkah?

Menurut data, hingga kini korban meninggal akibat Covid-19 mencapai 84.766 orang.  Saban, kematian; seorang istri kehilangan suami tercinta. Suami menderita ditinggal ibu dari anak-anaknya. Pun anak-anak kehilangan orang tua mereka. Begitu pula, orang tua terpisah dari buah hati terkasih. Seorang kekasih, terpaksa kehilangan orang yang dikasihi dengan sepenuh hati. Kehilangan ini direngut oleh ganasnya Covid-19.

Tak bisa dipungkiri, saban kematian selalu meninggalkan duka dan air mata. Seorang yang ditinggal mati oleh orang terkasihnya, niscaya akan meneteskan air mata. Menangis akibat kehilangan. Tersungkur dalam kesedihan sebab kematian. Ia yang wafat; pergi tak akan  kembali selamanya. Lukanya kian menganga, sebab kematian itu datang begitu mendadak.

Terkadang ratap dan tangis itu bukan saja di rumah duka. Bahkan sampai ke kuburan tempat orang yang meninggal akibat Covid-19. Lewat video yang berseliweran, terlihat keluarga menagis di kubaran kerabat mereka yang telah meninggal. Anak meneteskan air mata di kuburan ayahnya. Nah dalam Islam, bagaimana  hukum menangis di kuburan jenazah korban Covid-19?

Menurut Dar Ifta Misrhiriyah, hukum menangis di kuburan hukumnya boleh. Lembaga Fatwa Mesir itu mengatakan seorang yang berziarah ke kuburan kerabat, orang tua, anak, suami, atau keluarganya boleh menangis di kuburan tersebut. Berikut fatwa Dar Ifta Mishriyyah;

البكاء عند زيارة القبر جائز

Artinya; Menangis ketika melaksanakan ziarah kubur hukumnya boleh.

Pada sebuah hadis yang bersumber dari sahabat, Abi Hurairoh, kemudian diriwayatkan  oleh  Imam muslim bahwa Nabi suatu waktu ziarah ke kuburan ibundanya. Saat ziarah tersebut Nabi menangis— meneteskan air mata—, sahabat yang besertanya pun ikut haru dan menangis.

Nabi bersabda;

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

Artinya; Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata:

Dari Abi Hurairah Semoga Allah meridhainya, ia berkata; Nabi Muhammad  Shallahu alaihu wa sallam, menziarahi kuburan ibunya, maka saat itu Nabi menangis, dan sahabat yang disekeliling Nabi pun ikut pula menangis.

Nabi Muhammad lalu bersabda: Aku meminta izin kepada Tuhan ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah kuburlah kalian, sesungguhnya itu dapat mengingatkan engkau akan kematian. (HR. Imam Muslim).

Terkait menangis di kuburan—penting menjadi catatan—, menurut ulama Dar Ifta Mesir tak boleh berlebihan. Terlebih mengucapkan kata-kata yang menyalahi syariat. Dan juga tidak diperbolehkan mengucapkan ucapan yang tak ridha terhadap takdir Allah.

فمجرد البكاء عند زيارة القبور جائزٌ ولا حرج فيه، ولكن لا يجوز التلفظ بالألفاظ التي تخالف الشرع الشريف مما فيه إظهار للجزع أو الاعتراض على القدر

Artinya: Maka hanya  saja menangis ketika berziarah ke kuburan diperbolehkan, dan tidak ada yang salah dengan itu, tetapi tidak diperbolehkan mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan syariat yang mulia; seperti mengatakan perkatan yang menyatakan keluh-kesah atau tak terima (protes)/ keberatan terhadap takdir Allah.

Demikian penjelasan hukum menangis di kuburan jenazah korban Covid-19. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Orang Tidak Percaya Covid-19, Buya Yahya; Membahayakan Diri Sendiri dan Orang Lain

Pandemi Covid-19 di Indonesia hingga kini belum juga usai. Korban terjangkit virus ini sudah mencapai 3,17 juta orang. Di samping itu, korban tewas akibat Covid-19 mencapai 83.279 orang. Meski demikian, masih ada sebagian masyarakat yang tidak percaya Covid-19. Mereka yang datang dari latar belakang sosial yang berbeda; tokoh agama, guru, politikus, dan ahli kesehatan.

Terkait mereka yang denial tehadap Covid-19, Ustadz Yahya Zainul Ma’arif—yang lebih akrab disapa Buya Yahya—, memberikan nasihat. Menurut pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Cirebon ini mengakan Covid-19 tidak ada sangat berbahaya. Pasalnya, mereka yang menafikan Covid-19, akan mengabaikan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah dan ahli kesehatan.

“Orang yang mengatakan Corona tidak ada, membahayakan dirinya sendiri dan membahayakan orang lain,“ kata Buya Yahya. Pasalnya, orang yang tak mempercayai Covid-19— meski memiliki ketahanan tubuh yang sangat baik—, tetapi tidak tertutup kemungkinan ia akan menularkan virus tersebut pada orang lain. Sebagai seorang muslim, seyogianya menghargai diri sendiri, dan juga menghargai orang lain.

Pada sisi lain, Buya Yahya juga menyayangkan orang yang takut berlebihan pada Covid-19. Ia menilai takut berlebihan ini juga secara Psikologi akan mengganggu dan  mempengaruhi kesehatan. Sebab takut berlebihan akan mengakibatkan fisik yang sehat akan menjadi tidak.

Takut yang berlebihan juga akan mengakibatkan tindakan yang fatal. Di Indonesia, sudah beberapa kali terjadi. Misalnya, Susu Beruang yang habis diborong masyarakat di super market. Sebab ada isu susu tersebut mampu menangkal Covid-19. Dan juga ada yang menimbun masker. Memborong belanjaan di pasar, sehingga terjadi kelangkaan.  Pendek kata, takut yang berlebihan, hanya akan memperburuk keadaan.

Selanjutnya, Buya Yahya juga mengingatkan selama Covid-19 masih ada, terlebih pada masa PPKM ini seyogianya masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Pasalnya, ahlu dzikri  (ulama) dari pandemi Covid-19 ini adalah para dokter dan ahli kesehatan. Terlebih ketika dalam majelis dan perkumpulan, termasuk dalam Masjid. Seyogianya masyarakat mematuhi protokol kesehatan.

Buya Yahya juga mengingatkan masyarakat untuk senantiasa mematuhi protokol kesehatan. Mematuhi Prokes termasuk ikhtiar seorang hamba terhadap Tuhannya. Sedangkan orang yang mengabaikan protokol dan mengatakan cukup tawakal saja, tergolong orang yang sombong pada Allah.

Buya Yahya menerangkan, tawakkal itu dilaksanakan setelah manusia berusaha. “Kalau orang tak mematuhi protokol kesehatan, itu namanya bukan tawakkal, tapi sombong pada Allah, karena sudah dikasih pada para ahl zikri para ulama—dalam pandemi ini; para dokter”, tegas Buya Yahya.

Buya Yahya menganologikan itu sama dengan orang yang tak percaya api itu panas. Padahal orang banyak sudah mengatakan api itu panas. “Saya bertawakkal pada Allah, kalau api ini tidak panas kata Allah, pasti tidak panas,” itu katanya. Itu sikap manusia sombong. Manusia ini termasuk dalam golongan sombong pada sunnatullah.

Demikian pesan Buya Yahya pada masyarakat muslim Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid-19. Nasihat itu disampaikan melalui akun Youtube Al-Bahjah TV. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Membaca Alquran Tanpa Wudhu?

Anggota Komisi Fatwa Darul Iftaa Mesir Syekh Dr Muhammad Abdul Sami menyampaikan penjelasan soal membaca Alquran tanpa wudhu. Sebelumnya dia mendapat pertanyaan apa hukumnya membaca Alquran jika tidak dalam kondisi wudhu?

Syekh Abdul Sami menjelaskan bahwa tidak boleh menyentuh mushaf Alquran tanpa wudhu, sebagaimana dilansir dari laman Masrawy. Lantas bagaimana jika kebetulan seseorang sedang dalam perjalanan atau dalam kondisi tertentu yang membuatnya sulit untuk wudhu?

Syekh Abdul Sami menyampaikan, jika ada dalam keadaan tersebut, lalu ingin membaca Alquran, maka boleh membaca Alquran tanpa wudhu. Namun dengan catatan, membaca Alqurannya dilakukan melalui media selain mushaf, seperti gawai, laptop, atau lainnya.

Sedangkan, Syekh Abdul Sami menambahkan, bagi para siswa atau pelajar yang ingin menghafal atau membaca Alquran sepanjang hari dan sulit untuk berwudhu sepanjang hari, para ulama madzhab Maliki membolehkan kepada mereka untuk membaca Alquran tanpa wudhu sehingga tidak perlu melakukan wudhu sepanjang hari.

Untuk diketahui, berwudhu adalah salah satu adab dalam membaca Alquran dengan mushaf. Ini didasarkan pada pendapat Abu Ya’la Kurnaedi dalam bukunya berjudul ‘Tajwid Lengkap Asy-Syafi’i’.

“Hukumnya mustahab (disukai) bagi qari Alquran untuk berwudhu sebelum memulai qiraah (membaca) dengan mushaf (bukan dengan hafalan). Bahkan, ada yang berpendapat wudhu wajib atasnya,” demikian penjelasan Abu Ya’la.

Dalam membaca Alquran pun sebaiknya dilakukan dengan cara duduk, berpakaian yang baik, menghadap kiblat, dan berada di tempat terhormat yang layak dengan keagungan Kitab-Nya.

Selain itu, seorang Muslim membaca Alquran dengan tunduk, khusyu, perlahan, diiringi tadabur dan tafakur pada ayat-ayatnya. Sedangkan hati dan inderanya tertuju pada apa yang dibaca, dan tidak memotongnya dengan perkataan manusia.

Ustadz Isnan Anshory dalam ‘Wudhu Rasulullah SAW Menurut Empat Madzhab’, memaparkan, para ulama sepakat bahwa berwudhu sebelum belajar ilmu-ilmu agama, seperti kitab tafsir, hadits, aqidah, fiqih dan lainnya, hukumnya sunnah. Namun jika di dalamnya lebih dominan terdapat ayat Alquran, maka hukumnya menjadi wajib menurut jumhur ulama.

IHRAM

Bolehkah Menahan Buang Angin Saat Sholat?

M Quraish Shihab merupakah salah seorang ulama ahli tafsir Indonesia yang menempuh pendidikannya di al Azhar Mesir Kairo. Selama hidupnya, ulama berusia 77 tahun ini menjawab berbagai persoalan keagamaan di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam hal ibadah sholat.

Salah satu pertanyaan yang dijawab M Quraish adalah tentang hukum menahan kentut di saat sedang mengerjakan sholat. Apakah sah shalat dalam keadaan seperti itu?

M Quraish menjelaskan bahwa syarat sahnya sholat adalah terpeliharanya wudhu. Sedangkan salah satu yang membatalkan wudhu adalah keluar angin atau kentut. Jika orang yang sedang sholat tersebut menahannya, maka sholatnya tidak sah.

“Jika yang bersangkutan menahan sehingga angin tidak keluar, maka wudhunya tetap sah. Dengan demikkian, upaya menahan itu sendiri tidak membatalkan sholat,” kata M Quraish dalam bukunya yang berjudul M. Quraish Shihab Menjawab (2014, Lentara Hati).

Dia pun kemudian mengutip beberapa dalil yang mendukung pendapatnya tersebut. Menurut dia, Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda, “Tidak (perlu mengulangi) wudhu kecuali karena ada suara (buang angin) atau mendengar bunyi angin.”

Imam Muslim, Abu Dawud, dan at-Tarmidzi juga meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian merasakan ada angin (ketika dia ada) dalam masjid, maka janganlah dia keluar (untuk berwudhu), kecuali bila dia mendengar suara atau menemukan angin.”

Memang, kata M Quraish, sholat seseorang yang menahan angin atau air kecil dan besar dinilai makruh oleh ulama, karena keadaan demikian pasti mengganggu konsentrasi dan kekhusyukannya. Akan tetapi, menurut dia, hal ini tidak sampai membatalkan sholatnya.

IHRAM

Menaati Pemerintah pada Masa Wabah, Apa Salahnya!?

Harus diakui bahwa sampai detik ini, masih banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang sama sekali tidak mau sungguh-sungguh menaati pemerintah, khususnya kaitannya dengan kebijakan untuk memberantas wabah Covid-19. Hal ini bisa dilihat dari pendapat yang mencuat di berbagai kesempatan, termasuk yang ramai di media sosial.

Banyak penceramah yang tidak percaya Covid-19 itu, ada juga yang dengan garang menyebutkan bahwa Covid-19 tak perlu ditakuti sampai menuduh kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 sebagai upaya untuk membendung dakwah Islam lantaran di beberapa wilayah, masjid ditutup.

Akibat dari sikap dan pandangan itu, banyak warga yang nekat tetap menggelar shalat berjamaah tanpa menerapkan prokes ketat. Di luar ritual keagamaan, kita juga menyaksikan betapa banyaknya masyarakat yang abai terhadap himabaun pemerintah untuk tetap di rumah, tidak berkerumun, memakai masker dan lain sejenisnya.

Artinya, banyak masyarakat yang abai terhadap aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Mereka lebih mengedepankan kesenangan pribadi. Padahal, sikapnya itu sejatinya membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Dalam situasi seperti ini, seharusnya tokoh agama mengkampanyekan kebijakan pemerintah dalam rangka menjaga keselamatan jiwa bersama, bukan malah memprovokasi dan mencela pemerintah.

Sebut saja aturan PPKM Darurat, sebagai kebijakan teranyar dari pemerintah dalam menyikapi lonjakan gelombang Covid-19 kedua ini, apakah di dalamnya ada perintah untuk bermaksiat? Tentu saja tidak ada. Yang ada justru, pemerintah sedang menjalankan tugas dan kewajibannya, yakni menjaga jiwa rakyatnya.

Dalil Wajib Menaati Pemerintah untuk Kemashlahatan

Berbicara tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, harus dimaknai secara luas pula. Misalnya, bersungguh-sungguh menaati pemerintah pada masa wabah. Yang demikian ini bukan berarti sikap dan pilihan yang buruk. Justru menaati pemerintah dalam hal ma’ruf (yang baik) termasuk ibadah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa: 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ulama otoritatif seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/345) menyebutkan bahwa ayat di atas mencakup setiap pihak yang menjadi ulil amri, baik pemerintah maupun ulama. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap anknya, Nabi Ismail. Beliau lebih mengedepankan perintah Allah ketimbang egonya sendiri.

Begitu juga dalam konteks wabah yang masih membuncah seperti saat ini, menaati pemerintah dalam perkara ma’ruf merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam. Untuk itu, ketika seorang Muslim menaati pemerintah, niatkan dengan penuh ikhlas dan sungguh-sungguh sebagai ibadah.

Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak taat kepada pemerintah termasuk perbuatan maksiat. Rasulullah bersabda:

Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah. Barang siapa memaksiatiku, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Barang siapa menaati pemimpin, sungguh dia telah menaatiku. Dan barang siapa bermaksiat (tidak taat) kepada pemimpin, sungguh dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835).

Ulama kenamaan dan reputasinya tak diragukan lagi seperti Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan bahwa hadis tersebut merupakan salah satu dalil wajibnya menaati pemimpin atau pemerintah (penguasa), dengan syarat/catatan dalam perkara yang bukan maksiat. Ibnu Hajar juga menjelaskan lebih lanjut bahwa diantara hikmahnya adalah terjaganya persatuan kaum muslimin. Dan jika dikontekstualisasikan, maka hikmahnya adalah untuk menjaga jiwa umat.

ISLAM KAFFAH