Month: July 2021
Empat Macam Manusia, yang Manakah Kita?
PARA ulama berkata, manusia itu terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Orang yang tenggelam dalam kenikmatan dunia dan tak pernah mengingat maut, karena maut dapat menyebabkan orang meninggalkan kesenangan dan kelezatan. Kalaupun mengingat maut, ia hanya mengingatnya dengan terpaksa.
2. Orang yang kembali kepada Allah Ta’ala hanya dalam tahap permulaan. Ia takut kepada Allah ketika mengingat mati, dan ia juga tetap dalam tobat. Ia takut mati bukan karena meninggalkan dunia dan kelezatannya, tetapi karena belum sempurna tobatnya. Ia tidak ingin mati terlebih dahulu agar dapat memperbaiki amalannya.
Maka, orang semacam ini kebenciannya terhadap mati dapat dimaafkan. Ia tidak termasuk di dalam golongan manusia sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Barangsiapa benci berjumpa dengan Allah, maka Allah benci berjumpa dengannya.”
Sebenarnya, orang ini tidak benci berjumpa dengan Allah, tetapi ia takut terhadap hal yang harus dihadapi sesudahnya. Orang ini seperti gadis yang bersiap-siap untuk menjumpai kekasihnya, agar kekasihnya itu senang kepadanya. Orang ini hanya sibuk dengan apa yang mesti dipersiapkan, bukan sibuk dengan yang lain. Kalau tidak, maka keadannya sama dengan orang yang pertama, yakni tenggelam dalam kesenangan dunia.
3. Seorang arif yang telah sempurna tobatnya. Orang ini menyukai mati, bahkan menginginkan kematian, karena bagi seorang kekasih tidak ada waktu yang lebih indah selain berjumpa dengan orang yang dikasihinya. Dan kematian baginya merupakan saat perjumpaan yang dirindukannya. Orang yang sedang dimabuk rindu tentu tidak akan pernah melupakan waktu kencannya.
Mereka itu ingin segera mati, karena disitu akan terbukti mana yang setia dan mana yang durhaka, serta apa yang akan didapatkannya. Dalam suatu riwayat disebutkan, ketika maut datang hendak menjemput Hudzaifah, ia berkata, “Kekasih datang pada saat kemiskinan, tidak akan beruntung orang yang menyesal. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dari fitnah.”
4. Orang yang berada pada tingkatan yang tertinggi. Orang ini dalam keadaan rela, yakni segala seuatu yang dimilikinya dipersembahkan untuk Allah saja. Ia tidak mempunyai keinginan untuk mati ataupun hidup. Inilah puncak kerinduan, maqam rida dan pasrah.
Setiap saat orang ini selalu mengingat mati. Bahkan, bagi orang yang sibuk dalam keduniaan hendaknya mengingat mati, karena dengan mengingat mati akan menyebabkan seseorang mampu meninggalkan kelezatan dunia dan menjauhinya. [40 Hari Menuju Kematian]
Akhir Tragis Orang-Orang Zalim yang Diabadikan Alquran
Setiap kezaliman pasti akan berakhir dengan kehancuran. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ “Wala tahsabannallaha ghaafilan ‘an maa ya’maluzh zhalimuun (Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat orang-orang zalim).” (QS Ibrahim 42).
Silakan orang-orang zalim itu melakukan segala cara untuk membentengi kezalimannya, Allah pastikan itu akan musnah.
Sebab, semua kezaliman tidak hanya melanggar syariatullah, tetapi juga sunnatullah. Apa pun kekuatan itu, jika melanggar ketentuan-Nya pasti akan hancur.
Masih kurang apa kekuatan firaun pada masa itu? Ternyata berakhir dengan cara yang sangat mengenaskan. Allah menenggelamkannya di Laut Merah. Kaum Aad dan Tsamud juga dihancurkan dengan hukuman yang pedih.
Kaum Tsamud dihancurkan dengan thaagiah (suara yang sangat keras), sedangkan kaum Aad dihancurkan dengan badai angin yang sangat dingin dan kencang selama tujuh malam delapan hari
فَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا بِالطَّاغِيَةِ وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَىٰ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ فَهَلْ تَرَىٰ لَهُمْ مِنْ بَاقِيَةٍ
“Adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa. Adapun kaum Aad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.
Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka kamu tidak melihat seorangpun yang tinggal di antara mereka. (QS Al Haqqah 5-8). Itu pelajaran supaya tidak ada lagi setelah itu orang-orang yang berbuat zalim.
Dalam surat Al Fajr: 6-14, setelah menyebutkan kaum-kaum terdahulu yang diazab, Allah SWT menggambarkan urutan mengapa azab itu menimpa mereka.
Pertama, karena melakukan penyimpangan thagha. Dari penyimpangan ini muncullah yang kedua, banyaknya kerusakan, seperti zina, korupsi, pembunuhan, dan sebagainya. Lalu terjadilah yang ketiga, yaitu turunnya azab Allah SWT: فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ “Fashabba alaihim rabbuka sautha azaab”.
Di sini Allah SAW memastikan bahwa sekecil apa pun perbuatan zalim itu tetap dalam pantauan-Nya:
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ “Inna rabbaka labil mirshaad”. Artinya, orang-orang beriman yang berada dalam kebenaran optimislah selalu akan datangnya sebuah kemenangan, teruslah bersabar dalam ketaatan, lakukan ikhtiar semaksimal kemampuan.
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ “Wal aaqibatu lilmuttaqiin” (kemenangan kelak pasti akan berpihak kepada siapa yang benar) (QS Al Araf 128).
Ayat ini sejatinya bagian dari nasihat Nabi Musa kepada kaumnya agar tetap bersama Allah dan bersabar pada saat dikejar-kejar firaun dan setelah itu mereka menyaksikan langsung bagaimana Allah memenangkan mereka dan menenggelamkan firaun dengan sehina-hinanya.
*Penggalan naskah hikmah karya Amir Faishol Fath, terbit di Harian Republika
Uzur Syar’i yang Menganjurkan Shalat di Rumah Saja
Dimasa pandemi covid 19 ini, Pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pengetatan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada tanggal 3 sampai 20 Juli 2021. Pada zona PPKM tersebut, pemerintah menghimbau masyarakat untuk melakukan segala aktifitas dirumah termasuk juga dalam hal ibadah. Pada dasarnya, ibadah lebih utama dilaksanakan di masjid atau mushalla secara berjamah, tetapi karena adanya uzur tertentu ibadah lebih dianjurkan di rumah. Lantas, apa saja uzur-uzur syari yang menganjurkan shalat di rumah?
Imam syafii mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan jamaah baik itu di masjid atau di mushola terkecuali karena adanya uzur. Hal ini sebagaimana keterangan beliau dalam kitab Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 107, berikut :
Artinya :“Adapun shalat berjamaah, aku tidaklah memberikan keringanan untuk meninggalkannya kecuali jika ada uzur.”
Anggaplah kita memilih pendapat sebagian ulama yang mengatakan sunnah muakkad sebagai pendapat paling ringan dalam hukum shalat berjamaah di masjid atau di mushalla. Dalam hal ini, bukan berarti kita bisa shalat di rumah begitu saja dengan mudah tanpa ada uzur. Berikut kami jelaskan uzur-uzur syari yang membolehkan untuk shalat di rumah :
Pertama, hujan lebat. Hujan bisa menjadi uzur atau alasan untuk tidak melaksanakan shalat di masjid bila memberatkan seseorang untuk keluar rumah. Sehingga, tidak termasuk uzur bila hanya gerimis-gerimis kecil, atau hujan lebat tapi ada kemudahan akses untuk sampai ke masjid. Hal ini sebagaimana dalam keterangan Syekh Khathib al-Syarbini dalam kitab Mugni al-Muhtaj, juz 1, hal. 473,
ويشترط حصول مشقة بالخروج مع المطر كما صرح به الرافعي في الكلام على المرض فلا يعذر بالخفيف ولا بالشديد إذا كان يمشي في كن
Artinya :“Dan disyaratkan adanya kesulitan keluar rumah saat hujan seperti yang ditegaskan Imam al-Rafi’i dalam pembahasan sakit, maka tidak bisa dijadikan alasan hujan yang ringan dan lebat bila ia bisa berteduh di bawah atap”
Kedua, tanah berlumpur. Kondisi tanah berlumpur dapat dijadikan uzur kerika mengakibatkan kotornya pakaian dan kaki. Sebagaimana keterangan Syekh Kamaluddin ad-Damiri, dalam kitab Al-Najm al-Wahhaj, juz 2, hal. 339,
)وكذا وحل شديد على الصحيح) فهو عذر وحده ليلا ونهارا، لحديث ابن عباس المتقدم، ولأنه أشق من المطر. والثاني: لا؛ لإمكان الاحتراز عنه بالنعال ونحوها. والمراد بـ (الوحل الشديد): الذي لا يؤمن معه التلويث وإن لم يكن متفاحشا.
Artinya : “Demikian pula tanah belumpur menurut pendapat yang shahih, termasuk uzur di malam dan siang hari. Hal ini karena hadis riwayat Ibnu Abbas yang terdahulu, dan karena tanah berlumpur lebih menyulitkan dari hujan. Menurut pendapat kedua, bukan uzur, karena bisa dihindari dengan memakai sandal dan semisalnya. Maksud dari tanah berlumpur adalah kondisi becek yang dapat mengotori meski tidak sampai pada taraf yang sangat parah”.
Ketiga, angin kencang atau kondisi sangat dingin. Pada kondisi ini seseorang boleh melaksanakan ibadah dirumah saja apabila sampai pada taraf memberatkan yang dapat menghilangkan kekhusyukan atau kesempurnan khusyuk di dalam shalat. Sebagaimana keterangan Syekh al-Qalyubi, dalam kitab Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Kanz al-Raghibin, juz 1, hal. 260,
قوله: (ولا رخصة في تركها إلا بعذر) وهو ما يذهب الخشوع أو كماله، والتعليل بغيره للزومه له.
Artinya : “Tidak ada keringanan dalam meninggalkan jamaah (dan Jumat) kecuali karena uzur, yaitu perkara yang menghilangkan khusyuk atau kesempurnaannya. Boleh juga membuat alasan dengan penjelasan selain pengertian ini, karena keduanya saling terkait”
Keempat, sakit atau adanya wabah. Kedua kondisi ini dapat menjadi uzur yang memperbolehkan meninggalkan Jumat dan jamaah bagi seseorang yang sedang sakit atau khawatir tertular penyakit untuk diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana keterangan Syekh al-Mardawi, dalam kitab Al-Inshaf, juz 4, hal. 464,
ويعذر في ترك الجمعة والجماعة، المريض. بلا نزاع، ويعذر أيضا في تركهما لخوف حدوث المرض
Artinya : “Orang sakit dimaafkan (boleh) meninggalkan shalat Jumat dan jamaah—tak ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Dan dimaafkan pula dalam meninggalkan Jumat dan jamaah karena khawatir terkena sakit”
Imam An-Nawawi menyebutkan empat kategori uzur yang telah disebutkan di atas secara singkat dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz 5, halaman 8,
ومن الاعذار المطر والوحل والخوف والبرد ونحوها
Artinya: “Termasuk dalam kondisi uzur adalah ketika hujan, tanah berlumpur, situasi mencekam (pandemi covid 19), cuaca dingin, dan uzur lainnya”
Demikian. Wallahu a’lam.
Optimisme dan Solidaritas Nabi Menghadapi Penyakit Menular
Belakangan ini, isu wabah atau penyakit menular kembali menghebohkan umat manusia di dunia. Wabah ini dikenal dengan sebutan Corona atau Covid-19 dan dinyatakan bersumber dari China. Para ahli medis menginstruksikan untuk selalu berhati-hati dan mewaspadai wabah ini. Sebab wabah ini sangat mudah tertular pada orang lain, sekalipun sebatas hanya bersentuhan tangan.
Di samping kenyataan hari ini, sebenarnya wabah menular juga pernah menghebohkan umat manusia jauh sebelumnya. Tepatnya pada masa Rasulullah saw. Peristiwa tersebut termaktub dalam Shahih al-Bukhari sebagai berikut.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا بَالُ إِبِلِي تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظِّبَاءُ فَيَأْتِي الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيَدْخُلُ بَيْنَهَا فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ. رواه البخاري
Riwayat dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada penyakit yang menular, dan tidak ada shafar (menjadikan bulan shafar sebagai bulan haram atau keramat) dan tidak pula ada haamah (keyakinan Jahiliyah tentang Reinkarnasi atau ruh seseorang yang sudah meninggal, kemudian berpindah pada hewan).” Lalu ada seorang Arab Badui (pedalaman) berkata; “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan untaku (unta yang sehat) yang ada di pasir, seolah-olah mereka bagaikan gerombolan kijang. Lalu, datang seekor unta yang berpenyakit kudis, kemudian unta itu bercampur baur dengan unta-unta yang sehat, kemudian ia menularinya?” Maka Nabi saw. bersabda: “ Jika penularan itu ada, lalu siapakah yang menulari unta yang pertama tadi?.” (HR. al-Bukhari)
Sekilas dari hadis ini, Rasulullah saw. terlihat tidak mengakui adanya wabah atau penyakit menular. Hal ini berdasarkan pada ungkapan beliau Laa ‘Adwa (tidak ada penyakit menular). Lantas, benarkah penyakit menular itu tidak ada?
Jika kita melihat latar belakang hadis ini, sebenarnya peristiwa ini terjadi di Madinah yang saat itu sedang terkena wabah penyakit kusta, di mana penduduk Madinah saat itu merasa khawatir akan tertular wabah tersebut, hingga mereka menjauhi orang-orang yang terjangkit kusta. Bahkan, mereka sampai ke taraf pengabaian terhadap penderitaan mereka.
Yang biasanya mereka makan bersama atau memberi makan seseorang, namun karena ia terkena penyakit kusta, akhirnya mereka acuh terhadap para pengidap kusta. Melihat kondisi yang demikian, Nabi merasa khawatir terhadap solidaritas antar sesama muslim.
Wabah yang sedang menimpa mereka, bukannya dijadikan ajang untuk saling tolong-menolong, malah justru membuat para penderita semakin menderita. Oleh karena itu, tak mengherankan jika Nabi saw. mengambil suatu tindakan yang berisiko, sebagai langkah awal untuk membantu sesama, sebagaimana yang dituturkan oleh Jabir Ibn ‘Abd Allah:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَكَلَ مَعَ مَجْذُوْمٍ وَقَالَ: كُلْ، ثِقَةً بِاللهِ وَتَوَكُلًا عَلَيْهِ
Bahwa Nabi saw. pernah makan bersama orang yang berpenyakit kusta dan beliau bersabda kepadanya: “Makanlah, kemudian yakinlah pada Allah dan bertawakkallah.”
Dari sini, jelaslah bahwa pernyataan Nabi di atas yang tidak mengakui adanya penyakit menular, bukan semata-mata tidak ada penyakit yang menular. Namun, disebabkan karena kondisi orang-orang saat itu yang sudah tidak lagi peduli dengan para penderita penyakit menular.
Di lain sisi, banyak dari golongan sahabat yang juga menyaksikan bahwa Nabi saw. meyakini adanya penyakit menular, sebagaimana hadis-hadis berikut.
سَمِعْتُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ يُحَدِّثُ سَعْدًا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا رواه البخاري
Riwayat dari Usamah Ibn Zaid, ia bercerita kepada Sa’d dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Apabila kalian mendengar wabah lepra di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut.” (HR. al-Bukhari)
عن أبي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ رواه البخاري
Riwayat dari Abu Hurairah dari Nabi saw. beliau bersabda: “Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat.” (HR. al-Bukhari)
عن عمرو بن الثريد الثقفي عن أبيه قال: كان في وفد ثقيف رجل مجذوم، فأرسل إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنا قد بايعناك، فارجع. رواه مسلم
Riwayat dari ‘Amr Ibn al-Tsarid al-Tsaqafi dari ayahnya, ia berkata: Dalam delegasi Tsaqif (yang akan diba’iat oleh Rasulullah saw.) terdapat seorang laki-laki yang berpenyakit kusta. Maka Rasulullah saw. mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima ba’iat anda. Karena itu, anda boleh pulang. (HR. Muslim)
Berdasarkan keterangan di atas, pesan yang bisa kita ambil adalah, jika negeri kita atau dunia sedang dilanda wabah atau penyakit menular, maka tetaplah waspada dan berhati-hati, agar kita tidak ikut terjangkit wabah tersebut. Namun, jangan sampai kewaspadaan kita terhadap orang-orang yang terkena wabah, menjadikan kita acuh dan tak peduli, tetap berikan dukungan, baik dari segi materi maupun non-materi dan doakan yang terbaik bagi mereka. Wallahu A’lam.
Jangan Mudah Melaknat Sesama Muslim
NAMANYA ‘Abdullah. Ia berjuluk Keledai (Himar). Ia suka membuat Rasulullah ﷺ tertawa. Nabi ﷺ telah berulang kali mencambuknya karena ia mabuk. Suatu hari ia ditangkap lagi dan Nabi ﷺ memerintahkan agar dia dicambuk. Maka salah seseorang berkata, “Ya Allah laknatlah dia, betapa sering ia menjalani hukuman cambuk ini.”
Rasulullah ﷺ pun berkata:
لَا تَلْعَنُوهُ فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Janganlah kalian melaknat dia, demi Allah, setahuku dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari).
Kalian dengar perkataan Nabi ﷺ? Jangan melaknat. Padahal laki-laki itu sudah sangat jelas kesalahannya. Ia kecanduan khamr, sedangkan meminum khamr termasuk dosa besar. Tetapi ‘Abdullah, nama laki-laki itu, masih menunjukkan kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya. Maka atas ia tidak boleh dilaknat. Khamr memang terlaknat, baik bagi peminum, pembuat maupun penjualnya. Tetapi laknat itu tidak ditujukan langsung kepada orang per orang.
Perhatikan pula perkataan beliau ﷺ tentang ‘Abdullah. Didahului dengan sumpah, wallahi (demi Allah), beliau ﷺ kemudian menyatakan, “Setahuku dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” Alangkah santun beliau. Dan alangkah berbeda sebagian orang di masa sekarang yang mengaku mengikuti sunnah beliau ﷺ dengan mudah menetapkan keburukan atas diri seseorang, sekelompok orang bahkan suatu kaum serta memastikan tuduhan ke atas mereka dan melaknatnya.
Sama-sama bernama ‘Abdullah, sangat berbeda dengan ‘Abdullah Al-Qasimi. Ia memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam agama ini, hafal Al-Qur’an semenjak kecil, menguasai tafsir dan sejarah serta berbagai cabang keilmuan lainnya. Ia banyak menghasilkan karya, tetapi ada yang luput dari perhatiannya, yakni suka menyanjung diri dengan menulis syair tentang dirinya. Ia juga sangat tajam perkataannya terhadap orang-orang berziarah kubur dengan menyatakan mereka melakukan kesyirikan. Sangat baik mengingatkan maupun memperingatkan manusia agar tidak jatuh pada perbuatan syirik, termasuk yang dimungkinkan terjadi dalam ziarah kubur. Tetapi menempatkannya secara adil dan seimbang juga sangat penting.
‘Abdullah Al-Qasimi kelak mati dalam keadaan murtad. Ia mati sebagai atheis. Bukan sekedar kafir. Ia mati di Mesir tanggal 9 Januari 1996 dengan gelar The Godfather of Arab Atheism alias tokoh atheis paling berpengaruh di dunia Arab.
Alangkah mengerikan akhir hidupnya, mengingatkan kita kepada sebuah hadis yang juga berkenaan dengan laknat. Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَعَنَ شَيْئًا صَعِدَتِ اللَّعْنَةُ إِلَى السَّمَاءِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ دُونَهَا، ثُمَّ تَهْبِطُ إِلَى الْأَرْضِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُهَا دُونَهَا، ثُمَّ تَأْخُذُ يَمِينًا وَشِمَالًا، فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا رَجَعَتْ إِلَى الَّذِي لُعِنَ، فَإِنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا وَإِلَّا رَجَعَتْ إِلَى قَائِلِهَا
“Jika seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu akan naik ke langit, dan tertutuplah pintu-pintu langit di bawahnya. Kemudian laknat itu akan turun lagi ke bumi, namun pintu-pintu bumi telah tetutup. Laknat itu kemudian bergerak ke kanan dan ke kiri. Jika tidak mendapatkan tempat berlabuh, ia akan menghampiri orang yang dilaknat, jika orang itu memang layak dilaknat. Namun jika tidak, maka laknat itu akan kembali kepada orang yang melaknat.” (HR: Abu Dawud).
Melaknat sesuatu saja sudah besar keburukannya. Apalagi melaknat sesama muslim yang mereka bukan peminum khamr. Bersebab melaknat, seseorang dapat terkena laknat yang ia ucapkan sendiri apabila sesuatu yang bahkan “hanyalah” angin atau hewan tunggangan tidak layak mendapat laknat. Apalagi melaknat muslimin yang beribu-ribu jumlahnya dan mereka sedang mengalami penindasan luar biasa, melaknat dan menetapkan tuduhan kepada mereka sangatlah besar keburukannya.
Karena itulah, kita perlu berlindung dari mereka yang bermudah-mudah melaknat, bermudah-mudah menuduh. Keduanya, yakni melaknat dan menuduh, ibarat dua sisi mata uang. Ringan di lisan maupun ujung jempol saat share, tetapi setiap laknat maupun tuduhan akan kembali kepada dirinya sendiri apabila yang dilaknat maupun dituduh tidak layak mendapatkan laknat maupun tuduhan.
Pertanyaannya, bagaimanakah kalian dapat memastikan kerusakan iman pada sangat banyak orang tanpa pernah duduk bersama, mengetahui kehidupannya secara langsung dari tiap-tiap yang terkena tuduhan dan laknat? Padahal Usamah bin Zaid saja saat tetap mengayunkan pedangnya ketika musuh tiba bersyahadat. Rasulullah ﷺ menegurnya dengan keras sebab ia merupakan kesalahan fatal, tetapi itu tidak menjadikan Usamah bin Zaid terhapus jalannya meraih kemuliaan. Bahkan Usamah bin Zaid yang kelak ditunjuk oleh Rasulullah ﷺ menjadi panglima perang di saat beliau ﷺ mendekati wafatnya.
Rasulullah ﷺ itu ma’shum. Beliau terjaga dari berbuat dosa. Selain beliau, tidak ada yang ma’shum. Tetapi mengapa manusia yang berkemungkinan memiliki dosa sangat banyak bertindak seolah-olah lebih ma’shum daripada Rasulullah ﷺ? Padahal, sekali lagi, tidak ada yang ma’shum selain para nabi. Artinya, sesudah Rasulullah ﷺ tidak ada lagi orang yang ma’shum.
Saudara kita di Gaza dan bagian lain di sekitar Baitul Maqdis sedang diinjak-injak kehormatannya dan dizalimi kehidupannya dengan kejahatan yang sangat besar. Begitu pula para murabithunnya. Jika kalian tidak sanggup menolong mereka, berat pula mendo’akan mereka, maka selamatkanlah diri kalian dari mencela, melaknat dan menuduh mereka. Kecuali jika kalian ingin menempatkan diri ke dalam golongan orang-orang yang menyelisihi dan menghinakan para penolong kebenaran. Dan itu berarti, benarlah sabda Nabi ﷺ tentang para penolong kebenaran di Baitul Maqdis dan sisi Baitul Maqdis. Sungguh, seperti disebut dalam hadis, itu tidak akan menggoyahkan mereka sedikit pun.*
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Misteri di Balik Kata Sedekah yang Jarang Diketahui
Sebagaimana yang kita tahu, amalan-amalan dalam syariat islam terbagi menjadi dua, ibadah yang berdimensi spiritual (amalan yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhan secara langsung seperti shalat, zikir dan puasa dll), ada pula yang berdimensi sosial (amalan yang mengatur hubungan hamba kepada hamba lainnya seperti jual-beli dll). Namun, selain dua klasifikasi di atas masih ada satu klasifikasi ibadah yang lain, yaitu ibadah mengandung nilai spiritual sekaligus amalan sosial. Salah satu amalan yang mengandung nilai ibadah spiritual sekaligus ibadah sosial adalah menyedekahkan harta. Ternyata di balik kata sedekah itu mengandung hikmah, apa itu?
Sebelum membahas pertanyaan tersebut, penulis ingin menyampaikan bahwa bersedekah salah satu amalan yang berdimensi sosial sekaligus spiritual. Banyak dalil-dalil yang memerintahkan untuk bersedekah, baik dalil Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi Muhammad. Salah satu hadis Nabi Muhammad yang memberi motivasi kepada seseorang untuk bersedekah adalah hadis yang diriwayatan oleh Imam Bukhori dalam kitab Sahih Al-Bukhori [hal:11/8 maktabah];
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Takutlah kepada api Neraka meski dengan (bersedekah) potongan kurma. Jika tidak menemukan maka dengan kalimat yang baik.” [H.R. Bukhari]
Dari satu hadis di atas dan hadis-hadis yang lain menujukan betapa pentingnya ibadah sedekah untuk menghindarkan si empunya dari hal-hal buruk, baik di dunia maupun di akhirat. tidak hanya materi yang dapat dijadikan sedekah kalimat yang baik, senyuman dapat dijadikan sebagai objek sedekah.
Para ulama mencoba mengurai hikmah yang terkandung di balik rangkaian kata sedekah. Sebagaimana yang kita tahu, dalam bahasa Arab kata sedekah terangkai dari empat huruf, yaitu Shad, dal, qaf, dan ha atau ta marbuthoh. Dari masing-masing empat huruf ini memiliki makna filosofis tersendiri yang mengagumkan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syeh Abu Bakar Syatho Al-Dimyathi dalam kitab Hasyiah I’anah Al-Thalibin [235/2].
Pertama, Shad, ia bermakna bahwa sedekah dapat menolong seseorang yang mengamalkan dari hal-hal yang buruk, sesuatu yang tidak disukai baik di dunia mauun di akhirat. oleh karena itu, seseorang yang beramal sedekah akan senantiasa tentram hidupnya.
kedua, dal, ia mrngandung makna bahwa bersedekah akan menjadi penunjuk jalan menuju surga suatu hari nanti bagi orang yang mengamalkan, disaat para makhluk yang lainnya kebingungan mencari jalan menuju surga.
Ketiga, qaf, huruf ini menyimpan makna Taqarrab. Artinya, sedekah akan senantiasa mendekatkan seseorang yang mengamalkan kepada Allah saw.
Keempat, huruf ha’. Huruf ha’ mengandung hikmah hidayah. Artinya, seseorang akan diberi petunjuk oleh Allh saw. menuju amal-amal yang baik, dimudahkan untuk selalu mengamalkan amal-amal yang salih agar ia dapat memperoleh ke-ridhaan Allah saw yang lebih besar lagi.
Walhasil, Jika dari segi rangkaiannya saja sedekah sudah mengandung banyak hikmah apa lagi dari aspek harta yang telah disedekahkan, bahkan Allah saw. telah berjanji akan mengganti orang yang mengeluarkan sedekah dengan yang lebih baik dan berlipat ganda.
Seharusnya kita senantiasa mengamalkan ibadah sedekah ini agar kehidupannya tentram baik kaitannya dengan Tuhan ataupun sosialnya, meskipun yang disedakahkan hanya sedikit sebagaimana sabda Nabi Muhammad di atas.
Bahkan kata-kata yang baik dapat dijadikan sedekah semisal nasihat-nasihat ataupun tips-tips untuk seseorang melakukan kebaikan sekiranya tidak memiliki materi untuk disedekahkan. Disamping sedekah akan menambah keharmonisan dan menghilangkan kesenjangan sosial antara tetangganya. Wallahu A’lam Bisshawab.
Tujuh Jebakan Maut Iblis Laknattullah
Ibn Qayyim Al Jauziyyah adalah ulama besar. Beliau banyak menelurkan karya berharga bagi dunia Islam. Warisan ilmunya patut dipelajari oleh generasi masa kini.
Di antaranya, Ibnu Qayyim mendedah tujuh strategi Iblis dalam menjebak manusia. Setiap jebakan dilakukan bertahap, disesuaikan dengan jenis manusia yang dihadapinya.
Untuk manusia yang selangkah lagi menjadi kawannya, iblis bakal memggunakan strategi kasar dan tegas, katanya. Sedangkan jurus pamungkas digunakan bagi orang-orang berkadar iman tinggi. Suatu jurus lembut nan halus, namun mematikan lawan.
Berikut tujuh strategi Iblis versi Ibnu Qayyim:
Jebakan pertama. Iblis menawarkan kekufuran, mengajak orang untuk menolak keberadaan Tuhan, risalah para Rasul dan kebenaran kitab suci. Iblis bakal menggaungkan anggapan kalau agama adalah candu, dan hanya berupa sekumpulan aturan yang merusak kehidupan bebas manusia. Iblis menggambarkan, orang-orang tanpa agama mencapai kemajuan, sedangkan orang-orang beragama terbelakang.
Jebakan kedua. Jika tawaran kekufuran gagal, jebakan kedua berupa sajian bidah, yakni segala sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah. Iblis bakal menukar sunnah menjadi bidah dan sebaliknya.
Ajaran nabi menyebutkan jika terjadi silang pendapat soal sunnah, Muslim perlu mengedepankan rasa saling menghormati perbedaan. Bidahnya adalah memaksakan kehendak dan mengkafirkan orang berbeda sefaham. Manusia disibukkan dengan keinginan memaksakan keinginan dan menjauhkan diri dari saling menghormati.
Jebakan ketiga.Tawaran dosa-dosa besar. Iblis menawarkan perzinahan sebagai pergaulan masa kini, korupsi dengan dalih kepedulian untuk membantu orang-orang lemah.Zina dikenalkan secara perlahan. Mula-mula yang bukan muhrim disuguhi kenyamanan berduaan di tempat sepi. Kemudian sentuhan-sentuhan kecil dan seterusnya hingga berakhir penyesalan.
Jebakan keempat. Tawaran dosa-dosa kecil. Ketika dosa besar bisa dihindari, maka dosa kecillah yang ditawarkan.Umumnya manusia menganggap dosa adalah hal manusiawi, sesekali tak masalah. Toh Allah Maha Pengampun. Padahal, dalam hadis, dosa besar terjadi karena menganggap remeh dosa-dosa kecil.
Jebakan kelima. Menyibukkan manusia dengan hal-hal mubah dan melupakan hal yang wajib. Ini seperti ibu rumah tangga yang sibuk di luar dan melupakan kewajibannya di rumah. Kesibukannya diluar dipandang lebih penting dari pada mengurus keluarga.
Jebakan keenam. Tawaran sibuk dengan ibadah utama namun melupakan ibadah yang lebih utama. Inilah jebakan halus Iblis dalam menjerumuskan manusia.Manusia sibuk berzikir namun melupakan tetangga yang kelaparan. Manusia melupakan perbedaan kecil dalam ibadah, sedangkan persatuan dalam kehidupan sosial terlupakan.
Jebakan terakhir dan terhalus adalah jebakan khusus orang-orang bertakwa. Inilah jebakan tercanggih Iblis, sehingga Iblis mengerahkan semua bala tentaranya dari golongan jin dan manusia untuk menggoda orang yang bertakwa.
Orang saleh itu akan difitnah dan dicaci maki. Ajarannya dianggap dusta, pribadinya dianggap pembohong, layaknya para nabi kala berdakwah kepada umatnya.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan! Dan siapa yang menuruti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan kesalahan. Dan kalau tiada kemurahan Allah dan kasih sayang-Nya kepadamu, maka untuk selamanya tiada seorang pun diantara kamu yang bersih, tetapi Allah mensucikan orang-orang yang disukainya; dan Allah itu Maha Mendengar dan Mengetahui.” (QS An Nur: 21).[ ]
Sumber Islamindonesia
Jamaah dari 120 Negara Ikut Pelaksanaan Haji 2021
Jamaah haji dari 120 negara akan ikut menunaikan haji tahun ini. Hal ini disampaikan langsung oleh Komite Pusat Haji Arab Saudi. Komite ini mengatakan total jamaah tahun ini adalah 60 ribu orang. Mereka merupakan Muslim yang berasal dari 120 negara dan saat ini tinggal di Kerajaan Arab Saudi.
Dilansir di AhlulBayt News Agency, Rabu (7/7), puluhan ribu orang ini dipilih dari 558.000 muslim yang sebelumnya telah mengajukan permohonan haji. Komite juga mencatat persiapan penyelenggaraan haji terus dilakukan.
3.000 bus disebut akan disiapkan untuk mengangkut peziarah. Setiap busnya hanya akan diisi 20 penumpang pada satu waktu, karena aturan keselamatan dan keamanan dalam menghadapi Covid-19.
Kementerian Haji dan Umrah Saudi sendiri mengatakan pihaknya siap untuk musim haji tahun ini, Senin (5/7) lalu. Wakil Menteri Haji dan Umrah, Abdulfattah Mashat, menekankan percepatan pengerjaan untuk menyiapkan tempat suci di Kerajaan dalam beberapa hari mendatang.
Tak hanya itu, ia juga meminta semua sektor terkait agar menyelesaikan persyaratan, agar dapat menerima peziarah tepat waktu.
“Kementerian Haji dan Umrah telah lama menyusun rencana strategis dan operasional terkait kegiatan haji bekerjasama dengan lebih dari 30 entitas, dari berbagai sektor swasta, pemerintah dan keamanan,” kata dia.
Dalam sebuah wawancara yang disiarkan di //Radio Riyadh//, Mashat mengatakan tempat tinggal peziarah di tempat-tempat suci sudah siap. Kesiapan yang sama juga terlihat di titik-titik berkumpul di sekitar Makkah.
Ia menekankan otoritas terkait telah menyiapkan rencana terpadu untuk membuat musim tahun ini aman dan terjamin. Tenda jamaah di Arafah, serta fasilitas di Mina dan daerah lain, di mana jamaah akan tinggal di Muzdalifah semuanya telah diperiksa.
“Lingkungan tahun ini akan berbeda dengan musim haji sebelumnya. Ini akan menjadi lingkungan yang sehat, memastikan jarak sosial antara para peziarah selama perjalanan. Kamp-kamp besar memungkinkan pergerakan udara terus menerus, sehingga menghilangkan risiko apa pun,” kata Mashat.
Dia menunjukkan Pemerintah Saudi telah menciptakan jaringan transportasi terintegrasi, yang menghubungkan semua situs yang relevan di seluruh wilayah.
Tahun ini Arab Saudi memutuskan untuk membatasi haji bagi warga negara dan penduduk di dalam Kerajaan. Keputusan ini diambil dengan alasan kekhawatiran atas pandemi Covid-19.
Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid?
Kedustaan yang paling besar di tahun 1442 ini adalah yang mengatakan orang-orang yang komitmen mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita ke masjid. Syubhat ini disebarkan oleh sebagian orang yang memusuhi dakwah sunnah.
Allahul musta’an, andaikan orang yang berkata demikian punya akhlak sedikit saja, tidak akan nekat membuat kedustaan seperti itu. Karena jujur itu akhlak paling mendasar. Dan perkataan ini jelas halusinasi tingkat tinggi.
Tidak pernah kami mendengar satu patah kata pun dari para ulama sunah, ustadz sunah, atau para penuntut ilmu syar’i yang komitmen pada sunnah Nabi, bahwa mereka melarang para wanita ke masjid.
Bahkan saya yakin para ulama dan ustaz sunah sudah hafal di luar kepala hadis Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam,
لا تَمْنَعُوا إِماءَ اللهِ مساجِدَ اللهِ
“Jangan kalian larang para wanita hamba Allah untuk pergi ke masjid Allah” (HR. Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442).
Dan banyak sekali masjid-masjid yang dikelola para ikhwah pengikut sunnah yang mengakomodir tempat untuk akhwat, bahkan menyediakan fasilitas lengkap, juga menyediakan kajian-kajian ilmiah untuk akhwat di masjid tersebut.
Jadi jelas ini kedustaan yang keji.
Namun, yang ada pada realitas adalah salah satu dari dua kemungkinan berikut:
Pertama, Sebagian pondok pesantren yang masjidnya tidak ada tempat untuk wanita
Hal ini memang benar ada pada sebagian pondok pesantren. Tentunya karena banyak faktor dan banyak kemungkinan, misalnya:
– Santrinya semua laki-laki, atau
– Santri putri salat di asrama agar tidak ikhtilath (bercampur-baur) dengan santri putra, atau
– Santri putri ada masjid tersendiri, atau
– Kapasitas masjid terbatas, jamaah masjid jumlahnya banyak dan mayoritas laki-laki, atau
– Kapasitas masjid terbatas, sedangkan tidak banyak wanita di lingkungan sekitar yang ingin ke masjid
dan kemungkinan-kemungkinan dan penyebab lainnya. Dan semua kemungkinan ini sah dan wajar saja, terutama bagi orang yang sudah paham bahwa wanita memang tidak diwajibkan ke masjid.
Kedua, sebagian suami yang melarang istrinya ke masjid, atau ayah yang melarang anak wanitanya ke masjid
Hal ini memang ada dan boleh-boleh saja jika ada maslahat atau untuk mencegah mudarat.
Karena hadis yang melarang untuk mencegah wanita ke masjid, disyaratkan jika mereka sudah diizinkan oleh suaminya atau walinya. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
“Jangan kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid, jika mereka telah minta izin kepada kalian” (HR. Muslim no. 442).
Jika suaminya atau ayahnya tidak izinkan, maka boleh dilarang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri melarang wanita ke masjid jika menimbulkan mudarat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
أيُّما امرأةٍ أصابت بَخورًا، فلا تشهَدْ معنا العِشاءَ الآخرةَ
“Wanita manapun yang terkena bakhur (semacam tumbuhan untuk wewangian) maka jangan mendatangi salat Isya bersama kami di masjid” (HR. Muslim no. 444).
Maka boleh saja melarang istri atau anak perempuan ke masjid jika ada mudarat, seperti:
– rawan timbul fitnah (godaan) terhadap lawan jenisnya
– tersingkap auratnya atau tidak menutup aurat ketika perjalanan menuju masjid atau pulang dari masjid
– berpotensi ikhtilath (campur baur dengan lawan jenis)
– adanya potensi bahaya bagi wanita
dan mudarat lainnya.
Selain itu, berangkatnya wanita ke masjid hukumnya boleh, tidak wajib sebagaimana laki-laki. Di sisi lain, wanita wajib taat kepada suaminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan salat lima waktu, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluan, dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan” (HR. Ibnu Hibban no. 4163. Disahihkan oleh Al Albani dalam Shahih at-Targhib no.2411).
Oleh karena itu, dalam perkara yang tidak wajib, dan terkait dengan hak-hak suami, maka istri wajib taat kepada suami walaupun istri punya pandangan yang berbeda. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
وله منعها من الخروج إلى حج التطوع والإحرام به بغير خلاف ، قال ابن المنذر : أجمع كل من نحفظ قوله من أهل العلم على أن للرجل منع زوجته من الخروج إلى حج التطوع .
ولأنه تطوع يفوِّت حق زوجها ، فكان لزوجها منعها منه
“Suami boleh melarang istrinya untuk berangkat haji tathawwu‘ (sunnah) dan ihram, ini tanpa ada khilaf di antara ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: para ulama yang kami ingat pendapatnya telah sepakat bahwa suami boleh melarang istrinya berangkat haji tathawwu’ karena ini adalah amalan tathawwu’ (sunnah) yang bisa melalaikan hak suami. Maka, boleh bagi suami untuk melarang istrinya untuk melakukannya” (Al-Mughni, 3: 572).
Bahkan sudah jelas bahwa shalat wanita di rumahnya itu lebih utama. Dalam hadits Ummu Humaid Radhiallahu ’anha, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي
“Wahai Rasulullah, saya ingin salat bersama Anda.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aku sudah tahu bahwa Engkau ingin salat bersamaku, namun salatmu di kamar tempatmu itu tidur lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Salatmu di kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Salatmu di ruang tengah rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salatmu di masjidku ini” (HR. Ibnu Hibban no. 2217, Ibnu Khuzaimah no. 1689, disahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Khuzaimah).
‘Ala kulli haal, suami boleh saja melarang istrinya ke masjid dan ayah boleh saja melarang anak wanitanya ke masjid jika ada maslahat atau mencegah mudarat. Dan larangan ini hanya kepada istrinya atau anaknya, tidak boleh melarang wanita lain yang bukan istri atau anaknya. Sehingga andaikan ini yang terjadi, tidak benar jika disamaratakan bahwa semua orang yang komitmen mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang para wanita ke masjid.
Semoga Allah memberi taufik.
Penyusun: Yulian Purnama
Sumber: https://muslim.or.id/67162-pengikut-sunnah-nabi-melarang-wanita-ke-masjid.html