Otoritas Saudi Tingkatkan Pemeriksaan Tenda Jamaah Haji

Pejabat Kementerian Haji dan Umrah melakukan pemeriksaan terhadap tenda-tenda yang disediakan untuk jamaah haji, Senin (19/7).

Hal ini merupakan bagian dari inspeksi harian yang dilakukan untuk meninjau penyediaan layanan, mendapatkan umpan balik dari jamaah, serta mengatasi masalah apa pun yang disampaikan. 

Dilansir di Arab News, Selasa (20/7), pemeriksaan ini dipimpin oleh Penjabat Menteri Haji dan Umrah, Issam bin Saad bin Saeed. Hadir pula CEO Komisi Kerajaan untuk Kota Makkah dan Situs Suci, Abdulrahman Addas, serta perwakilan komisi dan organisasi terkait lainnya. 

“Tur inspeksi ini dimulai dari kedatangan jamaah haji pertama ke Mina dan akan dilakukan sampai akhir perjalanan haji,” kata kementerian. 

Mereka menyebut inspeksi ini telah membantu memberikan jalan keluar atas beberapa masalah atau komentar yang ada. Mereka juga berupaya mengidentifikasi entitas yang bertanggung jawab atas masalah yang diangkat, serta mempercayakan badan yang kompeten untuk segera mengatasinya. 

Prosedur ini disebut dilakukan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan peziarah, sekaligus mencatat tingkat kepuasan tertinggi di antara mereka. 

“Upaya ini termasuk dalam lingkup usaha yang dilakukan oleh kementerian dan pejabat komisi guna menindaklanjuti sistem penyedia layanan dan kesiapan tempat-tempat suci dan infrastrukturnya,” lanjutnya. 

Inspeksi yang ada disebut membantu menjamin implementasi yang tepat dari tindakan pencegahan, serta menjaga standar penyediaan layanan di seluruh tahapan perjalanan haji.    

https://www.arabnews.com/node/1897076/saudi-arabia

IHRAM

Kurban Berbagi Kebahagiaan

Pekurban telah memberikan kebahagiaan dan kegembiraan kepada orang lain melalui daging kurban yang diberikan.

Wabah Covid-19 telah memukul sisi-sisi kehidupan kita. Banyak usaha gulung tikar, para pekerja dirumahkan, dan sulit sekali mencari lapangan pekerjaan dalam situasi seperti saat ini.

Banyak orang yang bersedih, merana, dan kehidupan ekonomi keluarga begitu berat. Dalam situasi ini, kita kembali kedatangan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban. Hari orang beriman dianjurkan untuk berkurban, menyembelih sapi, kambing, atau domba, kemudian dibagi-bagikan ke lingkungan sekitar.

Di antara hikmah penting Idul Adha adalah memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Idul Adha tidak sekadar upaya pendekatan diri kepada Allah atau meneladan sunah Nabi Ibrahim terhadap putranya, Nabi Ismail, yang kemudian dikukuhkan menjadi syariat Islam oleh Rasulullah.

Jadi, pahala orang yang berkurban bukan karena semata-mata mengikuti perintah Allah, tapi juga karena pelakunya telah memberikan kebahagiaan dan kegembiraan kepada orang lain melalui daging kurban yang diberikan.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah setelah amal wajib adalah memberikan kebahagiaan kepada sesama Muslim.” (HR ath-Thabrani). Beliau menegaskan bahwa memberikan kebahagiaan kepada orang lain, apalagi orang itu adalah saudaranya sesama Muslim, termasuk amal yang paling Allah cintai.

Pertama, hal tersebut merupakan perwujudan rasa cinta kepada saudaranya sesama Muslim. Kecintaan inilah yang oleh Rasulullah sebut sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan lezatnya iman.

“Tiga hal yang jika dilakukan oleh seseorang, niscaya ia akan mendapatkan lezatnya iman; pertama, mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari cintanya kepada selain keduanya. Kedua, mencintai saudaranya karena Allah. Ketiga, benci kembali kepada kekufuran setelah Allah mengentaskannya dari sana sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR al-Bukhari).

Kedua, bentuk kepedulian dan empati sosial. Kepedulian inilah yang oleh Allah sebut sebagai sikap saling menolong di antara sesama dalam hal kebaikan. Allah berfirman, “Dan, tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan; jangan kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS al-Ma’idah [5]: 2).

Idul Adha dengan demikian mencakup dua ibadah sekaligus: ibadah mahdhah, pengabdian dan pendekatan diri kepada Allah, dan ibadah sosial atau ghair mahdhah, yaitu kepedulian sosial. Peduli kepada sesama manusia dan peduli kepada sesama saudara Muslim.

Kepedulian yang membangkitkan kesadaran untuk mencintai sesama dan memberikan kebahagiaan. Melalui pemberian daging kurban, di situ ada momen kebersamaan dan persaudaraan yang dijalin dan tak putus, meski jarak sosial pada masa pandemi ini agak direnggangkan.

Jarak sosial memang harus direnggangkan di situasi wabah saat ini. Namun, ikatan sosial dan persaudaraan di antara sesama tidak boleh terputus. Dengan protokol kesehatan, kita bisa menjalani Idul Adha dengan gembira, berbagi kebahagiaan dengan sesama. Kita berdoa kepada Allah, semoga pada Idul Adha berikutnya, situasi kembali normal dan wabah berakhir.

Wallahu a’lam.

OLEH NUR FARIDAH 

REPUBLIKA ID

Mengobati Kegalauan (Bag. 3)

Mengingat Kematian

Setiap manusia akan mati. Seluruh hiruk pikuk kehidupan dunianya akan berujung. Segala kesenangan yang mengisi hari-harinya. Canda bersama keluarga, dekapan hangat sang Bunda, pasangan yang sangat dicinta, buah hati yang manis tertawa, melimpahnya harta, dan keseganan orang lain karena jabatannya.

Begitu pula dengan berbagai kepiluan yang menghiasi hari-hari semasa di dunia. Ujian berupa sempitnya harta,  kerja keras membanting tulang menguras tenaga, getirnya tuduhan orang atasnya, caci makian  manusia, iri dengki rasa tak suka, dan berbagai kesedihan yang melanda. Seluruh kesedihan, kecemasan, dan kegalauan dunia itu akan fana, terhenti dengan kematian yang akan bersambung dengan kehidupan di fase selanjutnya. Bisa dia menjadi orang yang bahagia, namun bisa juga lebih menderita dari kehidupan di dunianya.

أكثروا ذكرَ هاذمِ اللَّذاتِ : الموتِ ؛ فإنَّه لَم يذْكُرْه أحدٌ في ضيقٍ مِن العَيشِ إلَّا وسَّعَه علَيهِ ، و لا ذَكرَه في سَعةٍ إلَّا ضيَّقَها عليهِ

“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena kematian itu, jika diingat oleh orang yang sedang dalam kesusahan hidup, maka akan bisa melapangkannya. Dan jika diingat oleh orang yang sedang lapang, maka akan bisa menyempitkannya” (HR. Al-Bazzar, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Syekh Al-Albani menghasankannya sebagaimana di dalam Shahih Al-Jami’ no. 1211)

Orang yang senantiasa mengingat kematian akan merasa lebih lapang hatinya saat ada ujian yang menerpa. Dia sadari bahwa kesedihan, kecemasan dan kegalauan dunia itu tidak akan kekal abadi selama dia bertakwa kepada Allah ta’ala. Semua ujian dunia tersebut akan terputus saat kematian datang. Kehidupan setelah kematianlah kehidupan yang sesungguhnya.

Sebaliknya, orang yang senantiasa mengingat kematian tidak akan bergembira berlebihan saat dia diberi nikmat kesenangan oleh Allah ta’ala karena dia ingat bahwa seluruh kesenangan itu akan terputus saat kematian tiba. Bahkan kesenangan itu akan berganti kesedihan berlipat saat ia gunakan untuk kemaksiatan. Orang yang senantiasa mengingat kematian akan merasa qana’ah, memanfaatkan waktunya sebaik mungkin untuk mengumpulkan bekal,  dan dia tak mau mati-matian mengejar sesuatu yang tidak bisa dibawa mati.

Berdoa kepada Allah ta’ala

Doa adalah terapi yang sangat bermanfaat, baik untuk pencegahan maupun pengobatan. Hendaknya seorang muslim senantiasa berdoa kepada Allah ta’ala, mengadu, merendah, dan minta dijauhkan dari kegalauan hidup kepada-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sebagai pelayan beliau telah mengabarkan keadaan dirinya saat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

كنتُ أخدُمُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ إذا نزلَ فكُنتُ أسمعُهُ كثيرًا يقولُ اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بِكَ منَ الهمِّ والحزنِ والعَجزِ والكَسلِ والبُخلِ وضَلَعِ الدَّينِ وغلبةِ الرِّجالِ

“Dulu aku melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jika beliau singgah di suatu tempat, aku sangat sering mendengar beliau berdoa,

اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بِكَ منَ الهمِّ والحزنِ والعَجزِ والكَسلِ والبُخلِ والْجُبْنِ وضَلَعِ الدَّينِ وغلبةِ الرِّجالِ

‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari al-hamm (galau dengan sesuatu yang belum terjadi), al-hazn (sedih dengan sesuatu yang sudah terjadi), ketidakberdayaan, kemalasan, pelit, ketakutan, hutang yang tak bisa terbayarkan, dan ditindas oleh orang.’.”

(HR. Bukhari no.2893)

Doa ini bermanfaat untuk mencegah kegalauan sebelum terjadinya, dan kaidah dalam pengobatan adalah “pencegahan itu lebih mudah dari pada mengobati”.

Di antara hal yang paling bermanfaat adalah perhatian dengan perkara-perkara di masa depan, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rajin berdoa dengan doa,

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ .

“Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi penjaga urusanku, dan perbaikilah duniaku yang menjadi tempat kehidupanku, dan perbaikilah akhiratku yang menjadi tempat kembaliku, dan jadikanlah kehidupan ini menjadi tambahan setiap kebaikan dan jadikanlah kematian menjadi tempat istirahat dari setiap keburukan” (HR. Muslim no. 2720)

Jika kegalauan meliputi seseorang, maka ingatlah bahwa pintu doa terbuka lebar. Allah ta’ala yang Maha Mulia membuka pintu-Nya dan memberi orang yang meminta kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), ‘Aku itu dekat’. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186).

Di antara doa yang agung dalam pengobatan kegalauan adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, doa yang beliau memotivasi kita untuk mempelajari dan menghafalkannya.

مَا  أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ

إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَعَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ

قَالَ:بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا

“Tidaklah seorang hamba tertimpa suatu kegalauan dan kesedihan kemudian dia berdoa,

‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, telah lewat bagiku hukum-Mu, keadilan takdir-Mu bagiku. Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu sendiri,  atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelapang kesedihanku, dan penghilang kegalauanku.’

Kecuali Allah Azza Wa Jalla akan mengangkat kegalauannya dan Allah akan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan.

Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami mempelajari rangkaian kalimat (doa) tersebut?’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, Tentu. Hendaklahmuslim yang mendengar (doa dalam hadis ini) untuk mempelajarinya.’. (HR. Ahmad  dalam Al-Musnad 1/391 dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 198)

Hadis ini mengandung pengakuan seorang hamba bahwa dia adalah milik Allah ta’ala sehingga dia pasti membutuhkan-Nya. Dalam doa ini, seorang muslim juga mengikrarkan ketundukan terhadap hukum Allah ta’ala, rida dengan takdir-Nya, dan tawassul dengan nama-nama Allah, setelah itu baru dia meminta apa yang diinginkannya.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengucapkan kalimat-kalimat ini saat menderita hatinya,

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ

“Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, Yang Maha Agung, Yang Maha Santun. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Rabb Arsy Yang Agung. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Rabb Langit, Bumi dan Arsy Yang Mulia” (HR. Bukhari no. 6346)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya jika ada sesuatu yang menyusahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berdoa،

يَا حَيُّ يَا قَيُوم بِرَحْمَتِكَ أَستَغِيْث

Wahai Zat yang Maha Hidup, wahai Zat yang Berdiri Sendiri, dengan kasih sayang-Mu aku meminta pertolongan. (HR. Tirmidzi no. 3524, dihasankan dalam Shahih al Jami’ 4653)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan doa lainnya, sebagaimana ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada Asma’ binti ‘Umais radhiyallahu ‘anha,

أَلاَ أُعَلِّمُكِ كَلِمَاتٍ تَقُولِينَهُنَّ عِنْدَ الْكَرْبِ أَوْ فِى الْكَرْبِ اللَّهُ اللَّهُ رَبِّى لاَ أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Maukah engkau (Asma’ binti ‘Umais) aku ajarkan sebuah kalimat yang bisa engkau ucapkan ketika susah?

اللَّهُ اللَّهُ رَبِّى لاَ أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

‘Allah, Allah adalah Rabbku, yang aku tidak akan menyekutukan Nya dengan sesuatu apapun’.”

(HR. Abu Dawud, kitab ash-Sholat, Bab di dalam Istigfar, di dalam Shahih Al Jami’ 2620)

Di antara doa yang bermafaat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah doa yang disebutkan dalam sebuah hadis,

دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ : اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Doa ketika susah hati adalah

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

‘Ya Allah, Rahmat-Mu lah yang aku harapkan, janganlah Engkau sandarkan diriku kepada diriku sendiri sekejap mata pun. Perbaikilah perkaraku seluruhnya, tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau’.”

(HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Adab no 5090. dinilai hasan di dalam Shahih al-Jami’ 3388 dan di dalam Sahih Sunan Abi Dawud no. 4246).

Jika seorang hamba berdoa dengan doa-doa ini dengan tulus, jujur, dengan hadirnya hatinya, dan bersungguh-sungguh melakukan sebab-sebab terkabulnya doa, maka Allah ta’ala akan mengabulkan doanya. Dengan begitu kegalauannya akan pergi, berganti dengan kegembiraan.

[Bersambung]

***

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67494-mengobati-kegalauan-bag-3.html

Perintah untuk Ikhlas Beribadah

Dari Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia peroleh atau perempuan yang ingin dinikahinya hijrahnya kepada apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini adalah hadis pertama yang dibawakan oleh Imam Bukhari Rahimahullah di dalam kitabnya Sahih Bukhari. Hadis ini termasuk kelompok hadis yang disebut oleh para ulama sebagai hadis-hadis yang menjadi poros ajaran agama. Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan yang lainnya menganggap hadis ini sebagai salah satu hadis pokok agama Islam (lihat keterangan Syekh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili Hafizhahullah dalam transkrip Syarh al-Arba’in, 1/5-6)

Hadis ini menunjukkan bahwa niat adalah syarat diterimanya amalan. Apabila suatu amalan tidak disertai dengan niat maka ia tidak akan diterima. Hadis ini juga menjadi dalil bahwa ikhlas adalah syarat diterimanya seluruh amalan. Niat dalam artian ikhlas inilah yang dibahas di dalam kitab-kitab akidah. Adapun niat yang dibahas dalam kitab-kitab fikih adalah niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lain atau untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah atau kebiasaan (lihat transkrip Syarh al-Arba’in, 1/6-8).

Hadis ini juga memberikan pelajaran bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah harus disertai niat untuk mencari pahala di akhirat. Apabila misalnya ada orang yang melakukan salat tanpa menyimpan niat mencari pahala di akhirat maka orang itu tidak akan mendapatkan pahala di akhirat atas perbuatannya itu (lihat keterangan Syekh Sa’ad asy-Syatsri Hafizhahullah dalam Syarh Umdatul Ahkam, 1/14)

Hadis ini merupakan fondasi agama. Ia mengandung realisasi syahadat laa ilaha illallah. Yaitu wajibnya memurnikan amal ibadah untuk Allah. Hadis ini berisi setengah dalil agama, sedangkan setengahnya lagi ada di dalam hadis, “Barang siapa yang mengada-adakan di dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk ajarannya maka ia tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam hadis ini terkandung makna syahadat Muhammad Rasulullah. Oleh sebab itu amal yang diterima adalah yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam (lihat keterangan Syekh Abdul Aziz ar-Rajihi Hafizhahullah dalam Minhatul Malik, 1/26)

Hadis ini juga menunjukkan bahwa amalan yang dilakukan orang musyrik tidak diterima oleh Allah disebabkan mereka membersekutukan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman,

لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu” (QS. az-Zumar : 65).

Allah juga berfirman,

وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Seandainya mereka berbuat syirik pastilah akan terhapus semua amal yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Al-An’am: 88).

Demikian pula orang yang murtad maka semua amalnya akan terhapus (lihat at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 73-74).

Semua bentuk ibadah baik lahir maupun batin harus memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mutaba’ah/sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga setiap amalan yang tidak ikhlas untuk mencari wajah Allah maka itu adalah batil. Demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam maka tertolak. Amalan yang memenuhi kedua syarat inilah yang diterima di sisi Allah (lihat ad-Durrah al-Fakhirah fit Ta’liq ‘ala Manzhumah as-Sair ila Allah wad Daril Akhirah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 15).

***

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/67463-perintah-untuk-ikhlas-beribadah.html

Gaya Hidup Glamor, Faktor Kehancuran Rumah Tangga Baca

Diantara penyebab keretakan rumah tangga adalah istri yang terlalu banyak menuntut nafkah kepada suaminya seperti pakaian yang berlebihan, rumah yang super nyaman dengan fasilitas mewah, uang belanja yang tinggi, dan lain sebagainya di luar batas kemampuan suami.

Gaya hidup dan perilaku konsumtif ini dipicu iklan penggoda iman yang marak di dunia maya maupun pergaulannya dengan teman-temannya yang strata sosialnya lebih tinggi. Dan faktor lemah iman dan kurangnya rasa bersyukur atas segala pemberian suami menyebabkan wanita atau para istri senantiasa kurang menghargai jerih payah suami. Kiranya hadits mulia ini bisa membuat para wanita lebih menyadari betapa sikap qana’ah sangat dibutuhkan agar kehidupan pernikahan langgeng dunia dan akhirat kemudian beliau bersabda:

إنَّ أوَّلَ ما هلك بنو إسرائيلَ أنَّ امرأةَ الفقيرِ كانت تُكلِّفُه من الثِّيابِ أو الصِّيَغِ أو قال : من الصِّيغةِ ما تُكلِّفُ امرأةُ الغنيِّ ، فذكر امرأةً من بني إسرائيلَ كانت قصيرةً ، واتَّخذت رِجلَيْن من خشبٍ ، وخاتمًا له غلقٌ وطبقٌ، وحشته مِسكًا ، وخرجت بين امرأتَيْن طويليتَيْن أو جسيمتَيْن ، فبعثوا إنسانًا يتبعُهم ، فعرف الطويليتَيْن ولم يعرِفْ صاحبةَ الرِّجلَيْن من الخشبِ

Sesungguhnya awal penyebab kehancuran Bani Isra’il adalah tatkala ada seorang wanita fakir membebani dirinya dalam hal pakaian atau mode sebagaimana wanita kaya”. Beliau sallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan, “Seorang wanita Bani Israil yang berpostur pendek dan ia membuat dua buah kaki dari kayu (agar terlihat tinggi) dan cincin yang mempunyai tutupan yang gantungi minyak wangi misk. Ia keluar berjalan di antara dua wanita yang tinggi. Maka mereka (bani Isra’il) mengutus seseorang untuk membuntuti tiga wanita itu, sehingga mereka mengenali dua orang wanita yang tinggi namun tidak tahu siapa wanita pemilik kaki kayu tersebut.” (HR. Muslim no. 2252).

Berkata Syaikh Sulaiman al-Asyqar, “Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada kita bahwa awal kerusakan yang berakhir dengan kehancuran, di mana orang-orang kaya menghabiskan harta yang banyak untuk mengikuti tren, baik mode, perhiasan maupun pakaian. Di antaranya juga adalah boros dalam membelanjakan nafkah yang diberikan suami sehingga wanita fakir berlagak seperti orang kaya, di mana mereka menuntut suaminya untuk membelikan pakaian maupun perhiasan seperti orang-orang kaya. Kita memahami bagaimana bencana yang ditimbulkan dalam masyarakat karena hal ini. Suami yang fakir akhirnya banting tulang siang malam untuk meloloskan permintaan istrinya. Terkadang ia tak mampu memberikannya, sehingga ia menjual rumah atau tanahnya yang itu merupakan sumber penghasilannya, dan terkadang menyeretnya untuk berhutang, meminta-minta, terlilit riba, sehingga hutangnya menggunung dan tidak bisa dilunasi, dan kenyataan pahit lainnya yang kita lihat di masyarakat sekarang” (Shahih Qashash an-nabawiy hal. 363-365).

Saatnya para istri shalihah lebih bersyukur dengan pemberian suami dan melihat kepada saudaranya sesama Muslimah yang hidup serba sulit dengan nafkah yang sangat terbatas. Rezeki sudah dibagi dan tak tertukar dengan orang lain karenanya tak pantas kita iri hati dan ingin seperti mereka, terlebih lagi menempuh beragam cara agar gaya hidup kita terlihat glamor dan mengikuti tren masa kini.

Bersikaplah realistis dan bersahaja, merasa cukup dengan karunia Allah ta’ala niscaya hati akan diliputi kebahagiaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ

Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup)” (HR. An-Nasai no. 249, al-Baihaqi [VII/294], dan al-Hakim [II/190] dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 289).

Wanita tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia pasti butuh kepada suaminya.
Pesona kehidupan rumah tangga para sahabiyah dan generasi setelahnya yang menawan dalam iman dan amal shahih cukuplah sebagai teladan dalam sikap qana’ah. Gemerlap kemilau dunia tak membuat mereka tergoda dan pudar sifat qana’ah-nya.

Berkata Sa’ad Ibnu Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Umar, anak beliau: “Apabila engkau mencari kekayaan maka carilah dengan qana’ah karena jika engkau tidak qana’ah maka harta apapun tidak akan membuatmu cukup” (‘Uyun al-Akhbar 3/187).

Wallahu a’lam.
***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi:
1. Panduan Keluarga Sakinah, Ust Yazid bin Abdul Qodir Jawas. Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2011
2. Majalah Al-Furqon, tahun ke-18 edisi 2010.

Artikel Muslimah.or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13924-gaya-hidup-glamor-faktor-kehancuran-rumah-tangga.html

Keutamaan Shalat Malam di Bulan Dzulhijjah

Dalam kitab Al-Ghunyah, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani menyebutkan dua hadis yang beliau jadikan pijakan mengenai keutamaan melaksanakan shalat malam di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Dua hadis dimaksud adalah sebagai berikut;

Pertama, hadis yang bersumber dari Sayidah Aisyah, dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda;

من أحيا ليلة من ليالي عشر ذي الحجة، فكأنما عبد الله عبادة من حج واعتمر طول سنته ومن صام فيها يومًا فكأنما عبد الله تعالى سائر سنته

Barang siapa menghidupkan satu malam dari malam-malam sepuluh Dzulhijjah, maka dia seakan beridah kepada Allah seperti ibadahnya orang yang berhaji dan umrah sepanjang hidupnya. Barang siapa berpuasa sehari di sepuluh Dzulhijjah, maka dia seakan beribadah kepada Allah sepanjang tahun.

Kedua, hadis yang bersumber dari Sayidina Ali, dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda;

إذا دخل عشر ذي الحجة، فجدوا في الطاعة، فإنها أيام فضلها الله تعالى وجعل حرمة ليلها كحرمة نهارها، فمن صلى في ليلة من ليالي العشر في الثلث الأخير أربع ركعات يقرأ في كل ركعة بالحمد مرة، والمعوذتين، ويكرر سورة الإخلاص ثلاثًا، ويقرأ آية الكرسي، ويكرر ذلك في كل ركعة

فإذا فرغ من صلاته رفع يديه وقال: سبحان ذي العزة والجبروت، سبحان ذي القدرة والملكوت، سبحان الله الحي الذي لا يموت، لا إله إلا هو يحيى ويميت، وهو حي لا يموت، سبحان الله رب العباد والبلاد، والحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا على كل حال، الله أكبر كبيرًا، ربنا جل جلاله وقدرته بكل مكان -قال الشيخ: يعني علمه بكل مكان -ثم يدعو بما شاء، فإن له من الأجر بإزاء من حج إلى بيت الله الحرام وزار قبر النبي -صلى الله عليه وسلم -وجاهد في سبيل الله، ولم يسأل الله شيئًا إلا أعطاه إياه، وإن صلاها في كل ليلة من ليالي العشر، أحله الله تعالى الفردوس الأعلى، ومحا عنه كل سيئة

Jika datang sepuluh hari pertama Dzulhijjah, maka hendaklah kalian semua bersungguh-sungguh untuk beribadah kepada Allah. Karena sepuluh hari pertama tersebut adalah hari yang diutamakan oleh Allah, dan Allah menjadikan kemuliaan siang harinya sama dengan kemuliaan malam harinya.

Barang siapa shalat pada salah satu malam dari sepuluh malam pertama Dzulhijjah tersebut di sepertiga malam terakhir sebanyak empat rakaat yang mana pada setiap rakaat membaca Al-Fatihah sekali, Al-Falaq dan Al-Nas dan surah Al-Ikhlas tiga kali, ayat Kursi sekali, dan itu diulang-ulang dalam setiap rakaat.

Setelah selesai shalat, lalu mengangkat kedua tangan sambil berdoa; Subhaana dzil ‘izzati wal jabaruut, subhaana dzil qudroti wal malakuut, subhaanallaahil hayyil ladzii laa yamuut, laa ilaaha illaa huwa yuhyii wa yumiit, wa huwa hayyun laa yamuut, subhaanallaahi robbil ‘ibaadi wal bilaad, walhamdu lillaahi hamdan katsiiron thoyyiban mubaarokan ‘alaa kulli haalin. Alloohu akbar kabiiron, robbanaa jalla jalaaluhuu wa qudrotuhuu bikulli makaan.

Maka dia akan diberikan pahala sebagaimana orang berhaji, berziarah ke makam Nabi Saw, dan berjihad di jalan Allah. Dan tidaklah orang tersebut memohon kepada Allah sesuatu kecuali akan dikabulkan oleh Allah, dan jika shalat tersebut dikerjakan penuh selama  sepuluh malam berturut-turut, maka ia dijamin mendapat tempat di surga firdaus dan Allah akan melebur seluruh dosa-dosanya.

BINCANG SYARIAH

Ini Kalimat Taubat Nabi Adam di Bulan Dzulhijjah

Menurut para ulama, di antara keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah pada hari-hari itu pertaubatan Nabi Adam diterima Allah. Ini sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab Al-Ghunyah, dari Abdullah bin Abbas, dia berkata;

في عشر ذي الحجة قبل الله توبة ادم وتاب عليه بعرفة لانه اعترف بذنبه

Di sepuluh Dzulhijjah Allah menerima taubat Nabi Adam. Dia menerimat taubatnya di Arafah karena dia mengakui dosanya.

Adapun kalimat taubat yang dibaca oleh Nabi Adam pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah kalimat berikut;

لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ رَبِّ عَمِلْتُ سُوءًا وَظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي أَنْتَ خَيْرُ الْغَافِرِينَ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ رَبِّ عَمِلْتُ سُوءًا وَظَلَمْتُ نَفْسِي فَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ رَبِّ عَمِلْتُ سُوءًا وَظَلَمْتُ نَفْسِي ، فَتُبْ عَلَيَّ ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيم

La ilaha illa anta subhanaka wa bihamdika rabbi ‘amiltu su-an wa dzalamtu nafsi faghfirli anta khoirul ghofirin la ilaha illa anta subhanaka wa bihamdika robbi ‘amiltu su-an wa dzolamtu nafsi farhamni innaka arhamur rohimin la ilaha illa anta subhanaka wa bihamdika robbi ‘amiltu su-an wa dzolamtu nafsi fatub ‘alayya innaka antat tawwabur rohim.

Tiada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau dan segala puji untuk-Mu. Tuhanku, aku telah melakukan dosa dan menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku karena Engkau sebaik-sebaik pemberi ampunan. Tiada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau dan segala puji untuk-Mu. Tuhanku, aku telah melakukan dosa dan menzalimi diriku sendiri, maka kasihanilah aku, sesungguhnya Engkau sebaik-baik pengasih. Tiada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau dan segala puji untuk-Mu. Tuhanku, aku telah melakukan dosa dan menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku, sesungguhnya Engkau sebaik-baik penerima taubat dan Maha Penyayang.”

BINCANG SYARIAH

Kisah Uwais al Qarni: Masihkah Engkau Berharap?

Ia tertunduk menangis. Air matanya tiada henti. Bathinnya terus dipenuhi kegelisahan. Gelisah atas nasibnya. Di mana harapan tercurah kepada Rabbnya. Ungkapannya tak pernah berhenti. Ia selalu menanyakan hakekat dirinya. Masih adakah maghfirah? Masih adakah kasih sayang? Masih adakah tempat yang layak bagi dirinya di akhirat nanti? Masih adakah kemuliaan yang akan menyertainya nanti?

Uwais al-Qarni adalah tokoh para ahli ibadah. Ia adalah pemimpin para ahli zuhud. Hidupnya hanya disibukkan dengan ibadah. Perhatiannya hanya tercurah kepada Khaliqnya. Uwais beruntung dapat bertemu dengan al-Faruq, Umar Ibn Khaththab. Bahkan, suatu ketika Umar meminta agar didoakan oleh Uwais. “Apakah orang sepertiku berhak memohonkan ampunan orang semisal dirimu, wahai Amirul Mu’minin?”, ucap Uwais. “Sekarang, mohonkanlah ampunan untukku”, sambut Umar.

Di tengah terik padang pasir yang terasa, Uwais pergi ke Kufah. “Engkau hendak ke mana?”, tanya Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu. “Aku hendak ke Kufah”, jawab Uwais. “Tidakkah aku terlebih dahulu menulis surat kepada gubernur Kufah tentang dirimu”, sela Umar. “Aku lebih senang berada di tengah-tengah rakyat jelata”, tegas Uwais.

Lelaki shaleh itu menempuh perjalanan panjang ke Kufah. Di tengah panasnya gurun pasir. Tanpa ditemani siapapun. Kecuali seekor unta. Perjalanan panjang. Menambah kuat hatinya. Menepiskan semua kecintaan kepada dunia. Di tengah-tengah padang pasir, yang sangat luas, dan terpaan angin yang keras, menyebabkan ia menjadi orang sangat bertawakal. Sampailah di Kufah. Sebuah kota yang sejuk dengan lebatnya tanaman kurma. Di sepanjang mata memandang, di sela-selanya hanya melihat pemandangan pohon kurma, yang lebat. Sungguh indah.

Hari demi hari yang indah. Ia menjalani kehidupan bersama-sama dengan rakyat di sekitarnya. Ia mengajar dan mendidik orang di sekitar Kufah. Nasihat-nasihatnya mendapatkan perhatian. Ucapannya lembut, penuh kejujuran dan keikhlasan. Di tengah majelisnya itu ada seorang yang bernama Asir bin Jabir. Ia sangat tersentuh dengan ucapan Uwais, sehingga ia sangat mencintainya. Dan, Asir selalu hadhir setiap majelis yang dihadiri oleh Uwais rahimahullah.

Suatu ketika Uwais tak nampak. Orang-orang yang ada di majelis itu menjadi bertanya-tanya. Asir ikut gelisah. Di mana Uwais hari itu tak hadhir. Lalu, ia menanyakan kepada orang-orang yang ada di majelis itu. “Tahukah anda laki-laki yang suka ceramah?, tanya Asir. Kemudian, yang ditanya menjawab: “Ya. Aku tahu. Dia adalah Uwais al-Qarni”, jawab orang itu. “Engkau tahu rumahnya?”, tanya Asir. “Ya”, jawab orang itu. “Kalau begitu aku antarkan ke rumah Uwais”, tambah Asir kepada mereka. Maka, Asir disertai orang-orang yang ada di majelis itu, bergegas menuju rumah Uwais.

Di saat mereka datang. Uwais menyambut mereka. Lelaki shaleh itu keluar dari rumahnya dan menyambut para tamu. “Wahai saudaraku! Mengapa engkau tidak datang ke majelis kita?”, tanya Asir dan orang-orang itu. “Aku tidak ada baju”, jawab Uwais. “Kalau begitu, ambillah pakaian ini!”, ujar Asir. “Jangan! Nanti mereka mencemoohku”, jawab Uwais. Memang, orang yang tidak tahu, suka menghina dan mencelanya. Namun, Uwais keluar dengan pakaian itu.


Orang-orang yang melihat Uwais memakai pakaian itu, berkata: “Siapakah orang yang bisa kamu tipu itu!”. Mendengar ucapan itu, Uwais mendatangi Asir seraya berkata: “Benar kan kataku!”, ujar Uwais. Menyaksikan peristiwa itu, Asir marah kepada orang-orang itu. Di tenggah kemarahan itu Asir berkata: “Apakah yang kalian inginkan dari pria ini. Kalian telah menghinanya! Seorang laki-laki yang kadang punya pakaian, dan kadang tidak punya pakaian”, cetus Asir. Begitulah orang yang dihina itu, tak lain, adalah Uwais, yang ahli zuhud, dan pemimpin para ahli ibadah, bahkan Umar radhillahu ‘anhu meminta didoakannya.

Kala sendirian, Uwais al-Qarni rahimahullah terus beribadah kepada Allah Ta’ala. Sehingga, memperlihatkan suatu keajaiban. Ibadahnya sangat kuat dan khusyu’, tunduk dan ikhlas. Manakala sore datang menjelang malam, Uwais bin Amir al–Qarni berkata: “Ini adalah malam ruku’ku”. Ia pun lalu ruku’ sampai subuh. Pada malam yang lain, ia berkata: “Ini adalah malam untuk sujudku”. Ia pun lalu sujud sampai subuh. Bila petang datang Uwais rahimahullah menyedekahkan makanan, pakaian, dan berkata: “Ya Allah. Barangsiapa yang mati karena kelaparan, janganlah Engkau menyiksaku karenanya. Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak memiliki pakaian, janganlah Engkau menghukum aku karenanya”, ungkap Uwais.

Kemurahan Uwais bukanlah karena ia kaya atau banyak memiliki harta, melainkan kemurahan orang yang miskin. Sungguh, suatu kemurahan yang indah. Kemuruhan yang tinggi, dari seorang ahli zuhud, yaitu Uwais al-Qarni. Dan, kezuhudan itu bertingkat-tingkat. Al-Qamah bin Martsad, berkata: “Kezuhudan itu berakhir sampai delapan (orang). Di antaranya adalah Uwais al-Qarni”, ujar Al-Qamah.

Uwais telah menthalak dunia dengan thalak yang tidak dapat ruju kembali.Uwais rahimahullah adalah seorang imam dalam zuhud, imam dalam wara’, imam dalam ibadah, imam dalam hikmah, dan imam dalam delapan ketaqwaan. Ia mencapai derajad yang luhur dengan ilmu dan amalnya.

Kezuhudannya dan kewara’an sang imam ini sampai membuatnya tidak pernah segan mengambil makanan dari tempat sampah, lalu ia membersihkannya, sebagian dimakan atau disedekahkannya. Apabila, ia mendatangi tempat sampah, lalu anjing menggonggong, ia berkata: “Makanlah yang ada didekatmu dan aku akan menyantap yang ada didepanku! Jika aku berhasil melintasi jembatan ‘shirat’ (di hari kiamat), berarti aku lebih baik darimu. Sebaliknya, manakala aku gagal melaluinya, engkau lebih baik dari diriku”, gumam Uwais.

Uwais sebagai hamba tetap gelisah. Menangis. Tertunduk dihadapan Rabbnya. Takut tidak mendapat tempat yang layak. Takut tidak mendapat manghfirah-Nya. Takut tidak dapat menemui Rabbnya dengan amal shaleh dan dihinakan-Nya. Padahal, Uwais seorang ahli ibadah, imam para orang-orang yang zuhud dan wara’.

Bagaimana orang-orang yang hidupnya penuh dengan gelimang dosa. Tapi, tak pernah merasa berdosa. Bahkan terus menumpuk-numpuk perbuatan dosa, yang tak terhitung. Bagaimana mereka ketika dihadapan Rabbnya kelak?

Wallahu ‘alam.

ERA MUSLIM

Tata Cara Sholat Taubat Dengan Benar

Apakah saudara merasakan bahwa saudara telah melakukan perbuatan yang kurang baik?

Apakah saudara diganggu oleh rasa bersalah pada Allah SWT?

Apakah saudara merasa bahwa kesalahan yang saudara lakukan tidak akan diampuni?

Apakah saudara menyesali perbuatan dan berkomitmen tidak akan mengulangi kesalahan tersebut?

Salah satu cara untuk menggugurkan dosa yang telah kita lakukan menurut anjuran dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW adalah dengan melaksanakan sholat taubat. Taubat adalah kembali kepada Allah, kembali pada syariat-Nya, mengakui segala bentuk kesalahannya dan menyesalinya, serta berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Sedangkan sholat taubat merupakan cara untuk meraih ampunan atas dosa atau kesalahan yang telah kita perbuat dan salah satu amal yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah SWT.

Sholat taubat nasuha adalah tobat yang  diniatkan dengan semurni-murninya serta berkomitmen penuh untuk tidak akan mengulangi kesalahan tersebut. Hal ini untuk menunjukkan ketulusan dan kesungguhan kita dalam  memohon ampunan dari Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Sebagai mana difirmankan  dalam surat At-Tahrim ayat 8, yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”

Sholat taubat juga disebut dengan sholat istighfar atau sholat minta ampun. Ketika sudah menjalankan sholat taubat yang benar, maka seorang Muslim seharusnya tidak akan lagi mengulangi kembali maksiat atau dosa yang lalu. Allah SWT sangat menyukai umat Muslim yang benar-benar bertaubat (taubatan nasuha) dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Seperti yang difirmankan dalam Al-Baqarah 2:22 yang berbunyi  “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Dari ayat-ayat ini bisa disimpulkan bahwa sebaik-baiknya manusia di hadapan Allah bukan mereka yang tidak pernah berbuat salah, tapi bila mana orang tersebut berbuat kesalahan langsung bertaubat kepada-Nya. Seperti yang kita ketahui bahwa manusia pasti pernah melakukan kesalahan, hal itu merupakan manusiawi bagi mereka yang mengakai kesalahannya dan meminta maaf atas kelasahan tersebut serta mereka yang berusaha untuk tidak akan mengulangi kesalahan tersebut. Bukan bagi mereka yang mengulangi kesalahan yang sama secara terus menerus tanpa berusaha untuk menghindari atau memperbaiki kesalahan tersebut.

Alangkah baiknya bila bertaubat tidak ditunda tunda. Dianjurkan bagi kita untuk langsung bertaubat Ketika kita merasa bahwa telah melakukan kesalahan dan memohon ampun kepada Allah SWT atas apa yang telah dilakukan. Menurut anjuran para Ulama bahwa melaksanakan sholat taubat nasuha pada malam hari. Sholat taubat nasuha sebaiknya dikerjakan secara sendirian. . Sholat taubat merupakan sholat nafilah yang tidak disyariatkan untuk dikerjakan secara berjamaah.

Tata cara sholat taubat nasuha sama seperti sholat sunnah lainnya. Sholat taubat nasuha dilakukan dua rakaat dengan sekali salam. Namun ada waktu pelaksanaan sholat taubat yang haram untuk dikerjakan seperti:

1. Sejak terbit fajar  hingga terbitnya matahari.

2. Ketika matahari terbit sampai matahari naik sepenggalah.

3. Ketika matahari tepat berada ditengah-tengah sampai terlihat condong.

4. Sejak selepas sholat Ashar sampai menjelang matahari tenggelam.

5. Ketika matahari tenggelam sampai matahari benar-benar sempurna tenggelam.

Sementara itu, sebagian ulama berpendapat bahwa waktu pelaksanaan sholat taubat yang utama adalah di sepertiga malam dilanjutkan dengan sholat tahajjud dan berdoa di sepertiga malam.

Niat mengerjakan Sholat Taubat Nasuha

Niat sholat taubat nasuha  menghadirkan keinginan untuk taubat kuat atas berbagai kesalahan terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan berwudhu dan melaksanakan sholat 2 rakaat. Namun untuk menegaskan kembali, bisa di lafazkan dengan lafaz yang telah diajarkan oleh para ulama, dengan membaca niat seperti:

Ushalli Sunnatat Taubata Rak’ataini Lillahi Ta’ala

Artinya: Saya niat shalat sunnah taubat dua rakaat karena Allah.

Panduan tata cara sholat taubat yang benar sebagai berikut :

1. bersuci atau wudhu

2. Mengucapkan niat sholat taubat nasuha.

3. Melakukan Takbiratul ihram.

4. Membaca doa iftitah (Allahu akbar kabiiro…).

5. Melanjutkan membaca surat Al-Fatihah.

6. Membaca surat surat pilihan.

7. Rukuk.

8. I’tidal.

9. Sujud.

10. Duduk diantara dua sujud (duduk iftiros)

11. Sujud kedua.

12. Bangun melanjutkan rakaat yang kedua mengikuti urutan diatas sampai yang ke 10.

13. Tasyahud akhir.

14. Salam.

15. Beristighfar dan berdoa memohon ampunan.

Setelah melaksanakan sholat taubat nasuha, dianjurkan memperbanyak baca istighfar yang dimaksudkan untuk memohon ampunan Allah SWT.  Istighfar yang utama yaitu Sayyidul istighfar, Bacaan istighfar setelah sholat taubat nasuha ialah

 astaghfirullahal ladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuumu wa atuubu ilaihi

Artinya: Aku meminta pengampunan kepada Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya.

Dilanjutkan  membaca doa sholat taubat atau sayyidul istighfar seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW berikut ini:

Allahumma Anta Robbii Laa Ilaaha Illaa Anta, Kholaqtanii Wa Ana ‘Abduka Wa Ana ‘Ala ‘Ahdika Wa Wa’dika Mastatho’tu. A’udzu Bika Min Syarri Maa Shona’tu, Abuu-U Laka Bini’matika ‘Alayya, Wa Abuu-U Bi Dzanbii, Faghfirlii Fainnahuua Laa Yaghfirudz Dzunuuba Illa Anta.

Artinya:

“Ya Allah, Engkaulah Tuhan kami, tiada Tuhan melainkan Engkau yang telah menciptakan aku, dan akulah hamba-Mu. Dan aku pun dalam ketentuan serta janji-Mu yg sedapat mungkin aku lakukan. Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yg telah aku lakukan, aku mengakui nikmat-Mu yang Engkau limpahkan kepadaku, dan aku mengakui dosaku, karena itu berilah ampunan kepadaku, sebab tiada yg dapat memberi ampunan kecuali Engkau sendiri. Aku memohon perlindungan Engkau dari segala kejahatan yg telah aku lakukan.”

GONTOR

Lebih Baik Kurban Patungan Sapi Atau Satu Kambing Sendiri?

Menjelang kurban, terkadang Muslim bingung memilih antara patungan sapi atau satu kambing untuk sendiri sebagai hewan kurban. Pengasuh Pesantren Manbaul Hikmah Kaliwungu Kendal Jawa Tengah, Gus Rifqil Muslim Suyuthi, mengatakan satu ekor kambing untuk satu orang lebih afdhal dibandingkan satu ekor sapi untuk tujuh orang.

“Ternyata satu ekor kambing untuk satu orang lebih afdhal dibandingkan satu ekor sapi, satu ekor unta, atau satu ekor kerbau untuk tujuh orang,” kata Gus Rifqil dalam video berjudul Lebih Utama Kurban Satu Sapi Atau Satu Kambing Sendiri di kanal Youtube NU Online.

Pendapat tersebut seperti yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Haitami. Dia mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Minhajul Qaim, “Yang paling afdhal adalah unta, sapi, domba, atau kambing ini untuk satu orang satu ekor. Sementara level di bawahnya adalah satu ekor unta untuk tujuh orang dan satu ekor sapi untuk tujuh orang.”

“Berdasarkan itu, maka levelnya paling afdhal adalah yang pertama, satu ekor hewan kurban untuk satu orang baru diikuti yang kedua untuk tujuh orang,” ujar dia.

Gus Rifqil menuturkan pendapat ini diperkuat oleh Sheikh Mahfuzh al-Tarmasi dalam Hasyiyah Al-Turmusi yang menyebut satu ekor kambing untuk satu orang lebih afdhal dibandingkan hewan apa pun, berarti dalam hal ini termasuk sapi, unta, dan kerbau secara kolektif.

“Jadi, ketika memang menghendaki pribadi, satu orang lebih afdhal dengan satu kambing atau bisa bersama teman atau keluarga satu ekor sapi untuk tujuh orang,” tambahnya.

IHRAM