Merasa Senang karena Orang Lain Tahu Amal Baik Kita, Apakah Termasuk Riya?

Bismillahirrahmanirrahim..

Anda sudah berusaha menyembunyikan amal shalih, namun Allah buka sehingga orang lain tahu. Lalu, hati Anda bahagia dengan kenyataan tersebut. Apakah seperti ini termasuk riya’?

Termasuk atau tidaknya, tergantung pada motivasi bahagianya. Jika bahagia karena kemampuan dirinya yang bisa melakukan amal-amal kebaikan yang diketahui orang-orang, maka ini berbahaya. Karena bisa terjatuh ke dalam dosa ujub yang berdampak pada gugurnya pahala. Jika bahagianya karena kuasa dan rahmat Allah yang telah menampakkan kebaikan dan menutupi aib-aibnya, maka ini bukan ujub dan bukan riya’. Bahkan ini adalah nikmat dari Allah ‘azza wa jalla dan membuahkan pahala karena ada unsur syukur di dalamnya. Di antara bentuk syukur adalah bahagia atas nikmat yang telah Allah berikan.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَعْمَلُ الْعَمَلَ فَيُطَّلَعُ عَلَيْهِ فَيُعْجِبُنِي

“Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah melakukan suatu amalan, lantas amalan tersebut diperlihatkan kepadaku hingga saya kagum.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَكَ أَجْرَانِ أَجْرُ السِّرِّ وَأَجْرُ الْعَلَانِيَةِ

“Kamu mendapatkan dua pahala, pahala amalan yang dilakukan saat tak seorang pun yang melihat dan ketika ditampakkan.” (HR. Ibnu Majah)

Di dalam hadis yang lain, riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu,

يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير ويحمده الناس عليه؟

“Ya Rasulullah, seorang telah melakukan amal baik, lalu orang-orang memujinya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk orang mukmin.”

Di dalam kitab Mukhtasar Minhaj Al-Qosidin (hal. 213 – 214), Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan,

أن السرور ينقسم إلى محمود ومذموم، فالمحمود: أن يكون قصده إخفاء الطاعة، والإخلاص لله، ولكن لما اطلع عليه الخلق، علم أن الله أطلعهم، وأظهر الجميل من أحواله، فيُسَرُّ بحسن صنع الله، ونظره له، ولطفه به، حيث كان يستر الطاعة والمعصية, فأظهر الله عليه الطاعة، وستر عليه المعصية، ولا لطف أعظم من ستر القبيح، وإظهار الجميل، فيكون فرحه بذلك، لا بحمد الناس وقيام المنزلة في قلوبهم، أو يستدل بإظهار الله الجميل، وستر القبيح في الدنيا، أنه كذلك يفعل به في الآخرة. فَأَمَّا إن كان فرحه باطلاع الناس عليه؛ لقيام منزلته عندهم حتى يمدحوه، ويعظموه، ويقضوا حوائجه، فهذا مكروه مذموم

“Bahagia karena amalan dilihat orang, hukumnya terbagi menjadi dua:

1. Terpuji

2. Tercela

Terpuji, jika tujuan awalnya menyembunyikan amal dan niatnya ikhlas. Akan tetapi, ketika kebaikannya itu dilihat orang lain, dia menyadari bahwa Allah yang telah menampakkan amal baiknya, Allah yang menampakkan keindahannya.

Dia pun bahagia atas kebaikan Allah, perhatian, dan kelembutan-Nya kepada dirinya. Dia berusaha menutupi amalan baik dan dosa, namun Allah tampakkan amalan baiknya dan Allah tutup dosa-dosanya. Tak ada kelembutan yang lebih berkesan dari kelembutan berupa ditutupi semua aib, kemudian ditampakkan keindahan.

Sehingga bahagianya karena itu, bukan karena pujian manusia atau kedudukan yang dia dapatkan di hati mereka.

Atau ia bahagia karena di saat Allah menampakkan kebaikannya di dunia dan Allah tutupi dosa-dosanya, itu isyarat bahwa Allah akan bersikap demikian pula di akhirat kelak.

Adapun jika bahagianya semata karena orang-orang tahu amal shalihnya, penghormatan orang-orang kepadanya sampai mereka menyanjung kebaikannya, memuliakan dan menuju kebutuhan-kebutuhannya, maka bahagia yang seperti ini dibenci Allah dan tercela.”

Wallahul Muwaffiq.

***

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/69238-merasa-senang-karena-orang-lain-tahu-amal-baik-kita-apakah-termasuk-riya.html

Covid-19: Azab atau Musibah?

Kehadiran virus Corona Covid-19 nyaris melumpuhkan aktivitas rutin umat manusia di kolom langit ini. Negara-negara adidaya yang memiliki kecanggian dunia kedokteran dan persenjataan super kuat sepertinya tidak berdaya menghadapi makhluk super mikro ini.

Mereka belum tuntas menyelesaikan satu jenis virus muncul lagi virus jenis baru. Akibatnya, anggara negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infra struktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tersedot oleh penanggulangan Covid-19 ini.

Apa, siapa, dan untuk apa sebenarnya makhluk Covid-19 ini? Apakah Covid-19 azab atau musibah? Pertanyaan ini tidak cukup dijawab oleh hanya satu disiplin ilmu. Apalagi jika ditambahkan pertanyaan bagaimana dan dengan cara apa, serta siapa yang paling bertanggung jawab untuk mengatasi berbagai dampak Covid-19 ini? 

Dalam perspektif Al-Qur’an dikenal dua istilah, yaitu azab dan musibah. Azab  ialah siksaan yang ditimpakan kepada para pendosa dan pendurhaka yang melampaui batas dan biasanya ditimpakan kepada kaum kafir dan tidak ditimpakan kepada hamba Tuhan yang beriman, seperti seperti banjir besar yang menenggelamkan umat nabi Nuh, pandemi yang  membinasakan umat Nabi Saleh,  gempa dahsyat yang menelan umat Nabi Luth, serangan burung Ababil yang membawa virus membinasakan pasukan Abrahah. Kesemua bencana tersebut hanya menimpa orang-orang kafir yang durhaka dan tidak menimpa orang-orang yang beriman, sungguhpun orang-orang beriman itu berada di tengah-tengah mereka.

Sedangkan musibah ialah ujian yang ditimpakan kepada hamba Tuhan, baik yang beriman atau kafir, orang saleh maupun para pendosa, seperti dinyatakan dalam ayat: Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah mengampuni sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.S. al-Syura/42: 30). Demikian pula dalam ayat: (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Q.S. al-Mulk/67:2).

Bagi umat Islam, khususnya kita dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, meyakini virus Corona Covid-19 bukan azab melainkan musibah, dengan dasar dalil ‘aqli dan naqli. Dalil ‘aqli-nya yang terinveksi virus ini bukan hanya orang-orang kafir dan atau pendosa tetapi juga orang-orang beriman dan shaleh.

Siapapun yang lengah dan tidak mengindahkan protokol kesehatan berpotensi terinveksi. Dalil naqli-nya antara lain hadis Nabi yang menyatakan tiga doa yang diajukan Nabi Muhammad Saw untuk umatnya, pertama, agar umatnya tidak ditima azab seperti yang pernah ditimpakan pada umat-umat terdahulu; kedua, agar agama Islam terus berkembang hingga akhir zaman; dan ketiga,  agar umatnya tidak berkonflik satu sama lain. Allah Swt mengabulkan doa-doa tersebut kecuali yang terakhir (HR. Muslim & Turmudzi). Dari kenyataan tersebut maka dapat ditegaskan bahwa pandemi Covid-19 adalah musibah, bukan azab. 

Fungsi azab dan musibah berbeda. Azab sebuah siksaan yang lebih tegas untuk menyiksa orang-orang kafir dan melampaui batas. Azab itu merupakan siksaan prolog di dunia dan akan berlanjut di akhirat. Sedangkan fungsi musibah, sebagaimana disebutkan dalam hadis ialah sebagai pembelajaran dan pencucian dosa masa lampau.

Azab selalu berkonotasi negatif sedangkan musibah tidak selamanya berkonotasi negatif. Bahkan musibah bisa bermakna “surat cinta” (Devine invitation) Tuhan untuk hamba-Nya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis: 

“Tidaklah seorang muslim ditimpakan kelelahan, penyakit kronis, nerveous, kesedihan mendalam, marabahaya, kesusahan hingga stres yang mencemaskannya melainkan semuanya itu berfungsi sebagai pengampunan dosa”. (HR. al-Bukhari, al-Turmudzi dan Ahmad).

Dalam hadis lain juga ditegaskan: “Jika Allah berkehendak positif terhadap hamba-Nya, maka Dia akan mendahulukan siksaan terhadapnya di dunia. Dan jika Allah berkehendak negatif kepada hamba-Nya maka siksaan akibat dosa-dosanya ditunda sampai ke hari akhirat”. (HR. Turmudzi dari Anas)

Tentu kita berharap semoga musibah pandemi Covid-19 yang menimpa umat manusia saat ini mempunyai banyak hikmah yang penting untuk dijadikan sebagai proses pembelajaran (lesson learning) untuk menatap dan menjalani masa depan. Yang paling  penting semoga Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa sesegera mungkin mengangkat virus ini dan membantu kita semua untuk menyelesaikan berbagai dampak  yang ditimbulkannya di dalam masyarakat. 

Sudah tidak bijaksana lagi kita menuding seseorang, instansi, masyarakat, atau negara tertentu terhadap merebaknya virus mematikan ini. Yang diperlukan saat ini ialah kebersamaan dan  kebesaran jiwa untuk menerima kenyataan bahwa semua pihak mempunyai andil terhadap munculnya bencana masif ini.

Prof KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa Bebas dari Utang, Dibaca Selepas Shalat Jumat

Anda sedang dililit utang? Utang Anda ada di mana-mana; bank, teman, kantor, pinjol, kantor lelang, dan rentenir. Saban hari Anda dikejar penagih hutang. Atau setiap bulan Anda dihantui oleh utang-utang yang menumpuk.

Lebih parah lagi, saudara, teman, dan tetangga sudah tak percaya pada Anda? Sebab utang yang dulu tak juga dibayar. Semua orang seperti menjauh dari Anda. Akibat utang yang tak kunjung lunas dan kian menumpuk.

Bila keadaan ini dibiarkan begitu saja, akan sangat berbahaya. Depresi bisa akan menimpa seseorang yang dalam hutang banyak. Lebih gawat lagi, bisa jadi mengakhiri hidup. Atau kemungkinan pertengkaran dalam rumah tangga, akibat suami atau istri dikejar utang.

Selain berusaha mencari kerja dan menyisihkan penghasilan, seorang yang dililit utang juga dianjurkan untuk memperbanyak doa agar bebas dari utang. Sebagai seorang muslim, seyogianya kita meminta dan mengharap belas kasih dari Tuhan. Bagaimana tidak? Ketika kita tak berdaya, Allah akan selalu menyapa dan membuka kasih pada hamba-Nya.

Salah satu amalan agar bebas dari hutan terdapat dalam kitab berjudul An Nawadir,  karya Syeikh Qolyubi. Dalam kitab ini, Syekh Qolyubi menjelaskan doa bebas dari utang tersebut dibaca selepas melaksanakan shalat Jumat. Di samping itu, doa ini juga bisa diamalkan selepas melaksanakan shalat fardu.

Simak penjelasan Syekh Qolyubi dalam kitab An Nawadir  berikut;

فائدة } من قال بعد صلاة الجمعة : ياغني يامبدئ يامعيد يارحيم ياودود أغنني بحلالك عن حرامك واكفني بفضلك عمن سواك قضى الله دينه وأغناه الله عن خلقه. قال بعض العلماء : فإن واظب على ذلك بعد كل فريضة فلا تأتيه الجمعة الأخرى إلا وقد أغناه الله تعالى

Artinya; Faedah; Barang siapa saja yang mengamalkan doa ini selepas melaksanakan shalat Jumat, maka Allah akan membebaskan hutangnya dan juga dilapangkan rezekinya.

Dan sebagian ulama mengatakan; apabila doa tersebut sering dibaca atau melaziminya selepas mengerjakan shalat wajib, maka dipastikan sepanjang hari sampai Jum’at yang akan datang, Allah akan memberikan kemudahan rezki bagi yang mengamalkannya.

Adapun doa bebas dari utang tersebut, adalah sebagai berikut ini :

يَاغَنِيُ يَاحَمِيْدُ يَامُبْدِئُ يَامُعِيْدُ يَارَحِيْمُ يَاوَدُوْدُ أَغْنِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاكْفِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Ya Ghaniyu Ya Hamid Yamu’idu Ya Rahim Ya Wadud A’nini bi halalika ‘an Haramika wakfini bi fadhlika

Artinya; Ya Allah, wahai Dzat yang Maha Kaya, Wahai yang Maha Mulia , Wahai zat yang menciptakan sesuatu dari awal dan Dzat yang mengembalikannya, ya Allah yang Maha Pengasih lagi dan Maha Penyayang berikanlah aku kekayaan dari rezeki yang halal sehingga aku terhindar dari rezeki yang haram,

Dan aku pinta cukupkanlah pada aku untuk melakukan ketaatan-Mu sehingga aku menjauhi hal-hal yang Engkau haramkan, dan jadikanlah kami hanya mengharap karunia-Mu sehingga aku terhindar dari mengharap karunia dari selain Engkau.

Demikian penjelasan doa Bebas dari utang yang biasa dibaca selepas Shalat Jumat. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Rahasia Sholat dan Zakat Disandingkan 82 Kali dalam Alquran

Sholat dan zakat mempunyai korelasi yang sangat kuat

Zakat merupakan pondasi sosial yang paling menonjol dalam rukun-rukun Islam. Zakat merupakan bagian dari ibadah dan hak harta, tugas sosial, dan kewajiban sosial yang bernuansa ibadah.

Jamal Muhammad Az Zaki dalam buku Sehat dengan Ibadah menjelaskan bahwa secara bahasa, makna zakat sendiri berasal dari kata az-zakah yang berarti an-numuw dan az-ziyadah (tumbuh dan bertambah). 

Dimaksudkan pula sebagai pujian dan kebaikan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat An Najm ayat 32: 

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ “Falaa tuzakkuu anfusakum.” Atinya: “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.” 

Jika dikatakan ‘zaka al-qadhi as-syuhud’ apabila hakim menjelaskan peningkatan kebaikan-kebaikan mereka.  Pengertian ini tercermin dalam firman Allah SWT: 

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Khudz min amwaalihim shadaqatan tuthahirruhum wa tuzakkihim biha.” 

Yang artinya, “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.” 

Zakat menurut syariat adalah sebagian harta yang ditentukan dan wajib dibayarkan orang yang memiliki nisab (batas minimal kewajiban mengeluarkan zakat) dengan niat untuk didistribusikan pada golongan-golongan tertentu. 

Para ahli fiqih menyebutnya dengan kata kerja al-ita, maksudnya adalah menunaikan kewajiban pada harta. Dinisbatkan pula pada sebagian harta dalam jumlah tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada kaum fakir yang berhak mendapatkannya.

Zakat dikenal juga dengan nama sedekah untuk membuktikan ketulusan hamba dalam beribadah dan taat kepada Allah SWT. Di samping itu, zakat yang merupakan rukun Islam ketiga ini dikenal telah diwajibkan dalam Islam pada tahun kedua Hijriyah. Alquran bersamaan dengan sholat dalam 82 tempat, realita ini membuktikan korelasi di antara keduanya.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran Surat An Nur ayat 56, Allah berfirman: 

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ “Wa aqimusshalaata wa atuu az-zakaata wa athi’uu ar-rasula la’allakum turhamun.” 

Yang artinya: “Dan laksanakan lah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad) agar kamu diberi rahmat.” Dalam surat Al Hajj ayat 41, Allah juga berfirman: 

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“Alladzina inna makkannahum fil-ardhi aqaamuu as-shalaata wa atuu az-zakaata wa amaruu bil-ma’rufi wa nahaw anil-munkari wallahi aqibatul-umuri.” 

Yang artinya: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shlat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.”

Sebab itu, zakat merupakan kewajiban pada harta yang harus ditunaikan dan menjadi hak para penerimanya tanpa ada perbedaan di antara orang yang mengeluarkannya. Zakat diwajibkan bagi Muslim yang merdeka.

Dimensi sosial

Dimensi-dimensi sosial dari zakat pun sangat luas. Dapat menyasar kepada ranah sosial kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi. 

Dimensi-dimensi ekonomi misalnya, zakat berpotensi menjaga masyarakat dari keburukan. Sebab keburukan dapat memungkinkan orang untuk membuka pintu-pintu pencaharian yang keliru.

Di sisi lain, orang yang berzakat juga berhak menuai pembelanjaan hartanya di jalan Allah dengan menitiskan rasa cinta pada diri orang-orang dan senang berinteraksi dengannya. 

Dengan begitu maka bisnis dan proyek-proyeknya semakin berkembang dan membesar sehingga harta kekayaannya pun semakin melimpah. Hal ini sebagaimana janji Allah dalam Alquran surat Saba ayat 39: 

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Wa maa anfaqtum min syai’in fahuwa yukhlifuhu wa huwa khairurraziqin.” 

Yang artinya: “Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.”    

KHAZANAH REPUBLIKA

Hidup Mulia dengan Sikap Qana’ah

Arti kata qana’ah sangat luas. Percaya bahwa memang ada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, bersabar dalam menerima rezeki jika rezeki tidak berkenan pada diri sendiri, dan mensyukuri nikmat yang diberikan kepada kita, karena bagaimanapun nikmat itu akan sirna.

SERING orang salah paham dalam beragama. Mereka melemparkan tuduhan pada agama, bahwa agama membuat hati mati, otak tidak berpikir. Agama membuat orang malas, karena selalu mengajak umatnya untuk menjauhi dunia, dan menerima saja segala takdir.

Tuduhan semacam itu muncul karena kesalahpahaman masyarakat itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa yang disebut qana’ah adalah menerima saja apa yang ada, sehingga mereka tidak mencoba lagi.

Mereka menyebut taqwa orang orang hanya tenggelam di mihrab dan mimbar masjid. Mereka mengatakan orang-orang shaleh yang memegang sorban besar, tetapi tidak memperhatikan urusan dunia, dan penderitaan orang lain.

Agama Islam memerintahkan umatnya untuk qana’ah. Itulah sebabnya di zaman para sahabat banyak orang kaya,  memiliki kekayaan miliaran,  memiliki banyak unta, berdagang ke luar negeri, tetapi mereka qana’ah.

Arti kata qana’ah sangat luas. Percaya bahwa memang ada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, bersabar dalam menerima rezeki jika rezeki tidak berkenan pada diri sendiri, dan mensyukuri nikmat yang diberikan kepada kita, karena bagaimanapun nikmat itu akan sirna.

Dalam kasus seperti itu diperintahkan untuk terus bekerja mencari rizki, kewajibannya belum berakhir. Kami bekerja bukan karena kami meminta tambahan yang sudah kami miliki dan tidak merasa cukup dengan apa yang ada, tetapi kami bekerja, karena orang yang hidup harus terus bekerja.

Demikianlah apa yang dimaksud dengan qana’ah. Jelas kesalahpahaman orang yang mengatakan qana’ah ini melemahkan hati, malas pikiran, mengajak bergandengan tangan.

Namun qana’ah merupakan modal terkuat untuk menghadapi subsistensi, sehingga menimbulkan kesungguhan hidup yang benar-benar (energi) mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu dan ragu, kuatkan pikiran, kuatkan hati, percaya kepada Tuhan, berharap pertolongan-Nya, dan jangan putus asa.

Barang siapa yang telah memperoleh rezeki, dan telah dapat dimakan pada waktu pagi dan sore hari, hendaklah ia menenangkan hatinya, jangan merasa ragu dan kesepian. Anda tidak dilarang bekerja untuk mencari nafkah, Anda tidak disuruh bermalas-malasan karena harta sudah ada, karena itu bukan qana’ah, yaitu kemalasan.

Bekerjalah, karena manusia diutus ke dunia untuk bekerja, tetapi yakinlah, yakinlah bahwa dalam pekerjaan itu ada yang kalah dan yang menang. Jadi Anda bekerja karena Anda melihat bahwa kekayaan yang Anda miliki tidak cukup, tetapi Anda bekerja karena yang hidup tidak bisa menganggur.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah ﷺ bersabda

, قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya.”(HR: Muslim).

Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat qana’ah. Karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit.

Qana’ah bukanlah berarti  hilang semangat untuk berkerja lebih keras demi menambah rezeki. Malah, ia bertujuan senantiasa bersyukur dengan rezeki yang dikurniakan Allah.

Kaya Hati

Karena sikap qana’ah tidak berarti fatalis, menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun semua itu bukan untuk menumpuk-numpuk kekayaan, mencintai dunia dan takut mati, lupa infak dan sedekah.

Dari Abu Hurairah Rasulullah ﷺ bersabda

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR: Bukhari no. 6446)

Sikap qana’ah didefinisikan sebagai sikap merasa cukup, ridha atau puas atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT  qana’ah ialah kepuasan hati dengan rezeki yang ditentukan Allah.

Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin menyampaikan hadits dalam Shahih Muslim dan yang lainnya, dari Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

قَدْ أفْلَحَ مَنْ أسْلَمَ وَرُزِقُ كَفَا فًا، وَ قَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (HR: Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baghawy).

Karenanya qana’ah itu mengandung lima perkara: Ikhlas menerima apa yang ada, selalu memohon kepada untuk mendapat tambahan rizki yang cukup, dan terus berusaha,  sabar dan menerima menerima ketentuan Allah, tawakal kepada Allah dan tidak tertarik pada tipu daya dunia.* Oase Iman

HIDAYATULLAH

Manfaat Surat Al Jumuah untuk Dapatkan Kekayaan, Ini Caranya

Surat Al Jumuah juga mempunyai banyak manfaat untuk umat Islam

Salah satu keutamaan mengalamkan atau membaca surat Al Jumuah adalah untuk mendapatkan kekayaan. 

Caranya adalah dengan membaca surat Al Jumuah satu kali kemudian membaca doa berikut ini 70 kali, yaitu:

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan barang yang halal hingga aku tidak butuh kepada yang haram dan cukupkanlah aku dengan keutamaan-Mu hingga aku tidak butuh kepada selain-Mu.” (HR Turmudzi).

Dalam buku “Rahasia Keutamaan Surat Al-Qur’an” karya Muhammad Zaairul Haq dijelaskan bahwa jika amalan di atas dilakukan akan segera mendapatkan kekayaan yang luas dan berkah. 

Dalam kitab Khazinat Al-Asrar disebutkan sebuah riwayat yang mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang membaca doa:

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ 

pada hari Jumat sebanyak 70 kali, maka dia tidak akan mendapati Jumat berikutnya, kecuali Allah membuatnya kaya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Dalam kitab Khazinat Al-Asrar, menurut Zaairul Haq, juga disebutkan bahwa doa di atas baik sekali diamalkan pada Jumat atau setiap selesai melaksanakan sholat sebanyak 70 kali. 

Disebutkan bahwa barang siapa yang melakukan amalan seperti itu, maka Allah akan menyelesaikan utangnya walaupun utang tersebut setinggi gunung Uhud.

Selain itu, keutamaan lainnya mengamalkan surat Al Jumuah adalah bisa menghilangkan rasa waswas yang ditimbulkan kejahatan setan. 

Caranya dengan istiqomah membaca surat Al Jumuah setiap hari. Ini dijelaskan  Imam Syafii dalam kitab ad-Durr an-Nazhim fi Khawash al-Qur’an al-‘Azhim

KHAZANAH REPUBLIKA

3 Jenis Nazar yang tidak Boleh Diucapkan Muslim

Tidak semua nazar diperbolehkan dalam syariat

Nazar berarti mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Nazar telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum masa Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat Ali Imran ayat 35: 

إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Mahamendengar, Mahamengetahui.” 

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Maka makan, minum, dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS Maryam 26)   

Namun ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan seseorang ketika bernazar, di antaranya adalah larangan-larangan dalam bernazar yaitu sebagai berikut.:  

Pertama, dilarang bernazar untuk menolak takdir.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَنْهَانَا عَنْ النَّذْرِ وَيَقُولُ إِنَّهُ لَا يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الشَّحِيحِ

Abdullah bin Umar RA, dia berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW melarang kami bernadzar, beliau bersabda: “Sesungguhnya (nazar) tidak dapat menolak sesuatu, hanya saja ia untuk mengeluarkan sesuatu dari orang yang pelit (tidak mau beramal).” (HR Muslim)

Kedua, dilarang bernazar untuk mengubah takdir. Karena nazar tidak akan mempercepat terkabulnya keinginan atau memperlambat datangnya sesuatu. 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ النَّذْرُ لَا يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلَا يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ

Dari Ibnu Umar RA, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Nazar itu tidak dapat mempercepat datangnya sesuatu dan tidak pula melambatkannya, akan tetapi ia untuk mengeluarkan sesuatu dari orang bakhil.” (HR Muslim).

Ketiga, dilarang bernazar untuk maksiat kepada Allah SWT.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ كَانَتْ ثَقِيفُ حُلَفَاءَ لِبَنِى عُقَيْلٍ فَأَسَرَتْ ثَقِيفُ رَجُلَيْنِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَسَرَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ بَنِي عُقَيْلٍ وَأَصَابُوا مَعَهُ الْعَضْبَاءَ فَأَتَى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْوَثَاقِ قَالَ يَا مُحَمَّدُ فَأَتَاهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ فَقَالَ بِمَ أَخَذْتَنِي وَبِمَ أَخَذْتَ سَابِقَةَ الْحَاجِّ فَقَالَ إِعْظَامًا لِذَلِكَ أَخَذْتُكَ بِجَرِيرَةِ حُلَفَائِكَ ثَقِيفَ ثُمَّ انْصَرَفَ عَنْهُ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا مُحَمَّدُ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَقِيقًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنِّي مُسْلِمٌ قَالَ لَوْ قُلْتَهَا وَأَنْتَ تَمْلِكُ أَمْرَكَ أَفْلَحْتَ كُلَّ الْفَلَاحِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا مُحَمَّدُ فَأَتَاهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنِّي جَائِعٌ فَأَطْعِمْنِي وَظَمْآنُ فَأَسْقِنِي قَالَ هَذِهِ حَاجَتُكَ فَفُدِيَ بِالرَّجُلَيْنِ قَالَ وَأُسِرَتْ امْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ وَأُصِيبَتْ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتْ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَيْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ الْوَثَاقِ فَأَتَتْ الْإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنْ الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ قَالَ وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتْ الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ الْعَبْدُ وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ حُجْرٍ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ

Dari ‘Imran bin Hushain dia berkata, bahwa Tsaqif adalah pelayan Bani ‘Uqail, lalu bani Tsaqif menawan dua sahabat Nabi SAW, sementara sahabat Rasulullah menawan seseorang dari Bani ‘Uqail bersama dengan seekor untanya. 

Rasulullah SAW kemudian mendatanginya sementara ia dalam keadaan terikat, laki-laki tawanan itu berkata, “Wahai Muhammad!” Beliau menimpalinya, “Ada apa denganmu?” laki-laki itu berkata, “Apa alasanmu menawanku, dan apa alasanmu menawan unta pacuanku yang larinya cepat?” beliau menjawab: “Itu aku lakukan sebagai pembalasan karena dosa sekutumu, Tsaqif!” Kemudian beliau beranjak pergi. 

Laki-laki itu kembali menyeru beliau seraya mengatakan, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad! 

Rasulullah adalah sosok yang pengasih lagi santun lalu beliau kembali menemuinya dan bersabda, “Apa keperluanmu?” laki-laki itu menjawab, “Sekarang saya Muslim.” 

Beliau bersabda, “Sekiranya yang kamu katakan benar, sedangkan kamu dapat mengendalikan urusanmu, sungguh kamu akan mendapatkan segala keberuntungan.”  

Kemudian beliau beranjak pergi, namun laki-laki itu menyerunya sambil berkata, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad.” Beliau lalu menemuinya sambil bersabda, “Apa keperluanmu?” Laki-laki itu berkata, “Aku lapar maka berilah makan kepadaku, dan aku juga haus maka berilah aku minum!” Beliau bersabda, “Ini kebutuhanmu.” 

Dikemudian hari, laki-laki itu ditebus dengan dua orang (sahabat Nabi).” Imran berkata, “Lalu seorang wanita Anshar tertawan (musuh) bersama dengan unta beliau yang biasa disebut dengan Adlba`, wanita Anshar tersebut dalam keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok) tengah beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di depan persinggahan-persinggahan mereka.

Kemudian wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga dia temui ‘adlba’.  

Jadilah dia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu dia menghardiknya hingga berlari kencang. Orang-orang yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.  

Wanita itu sempat bernazar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan sembelih unta ‘adlba’ itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat unta tersebut, lalu mereka berkata, “Ini adalah adlba’, unta Rasulullah!” 

Wanita itu berkata (dengan redaksi), “Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta tersebut akan disembelihnya.” Lalu orang-orang menemui Rasulullah SAW dan memberitahukan kepada beliau tentang nazarnya.

Maka Rasulullah berkomentar, “Subhanallah, alangkah jahatnya pembalasan dia kepadanya, ia bernazar kepada Allah apabila Allah menyelamatkannya, maka dia akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban melaksanakan nazar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak dimiliki seorang hamba.” Dalam riwayat Ibnu Hujr, disebutkan, “Tidak ada nazar dalam bermaksiat kepada Allah.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Bernazar Tapi Tidak Dijalankan, Apa Hukumnya?

Apa hukumnya bila tidak menjalankan sesuatu yang telah dinazarkan?Pertanyaan ini banyak diajukan setiap Muslim.

Anggota Fatwa Dar Al Ifta Mesir, Syekh Mahmud Syalaby, menjelaskan jika seseorang telah bernazar tetapi dia tidak sanggup memenuhi janjinya, maka yang bersangkutan harus menebus dosa tersebut.

Penebusannya yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin masing-masing senilai 10 pound Mesir (1 pound Mesir sekitar Rp 900). Setelah dosa ini ditebus, maka tidak ada nazar.

Anggota Fatwa Dar Al Ifta yang lain, Syekh Uwaidah Utsman juga menyampaikan hal senada. Jika seorang Muslim yang telah bernazar lalu tidak mampu menjalankan nazar tersebut, maka ia harus menebusnya karena telah melanggar nazar tersebut.

Syekh Utsman mengatakan, Rasulullah SAW telah bersabda, “Melanggar nazar adalah (sama saja dengan) melanggar sumpah.” Cara menebusnya adalah dengan memberi makan 10 orang miskin. Allah SWT berfirman:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS Al Maidah ayat 89)

Syekh Utsman juga mengingatkan, seorang Muslim yang telah bersumpah sesuatu kepada Allah SWT harus memenuhi sumpah itu. Sumpah maupun nazar ini wajib dipenuhi. “Memenuhi nazar adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang berjanji untuk melakukan sesuatu demi Allah SWT selama dia mampu,” tutur Syekh Utsman.

Selain itu Allah SWT pun memuji orang-orang yang memenuhi nazarnya dalam ketaatan kepada-Nya. Allah berfirman, “Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS Al-Insan ayat 7)

IHRAM

Isyarat Al-Quran tentang Makhluk dan Kehidupan di Luar Bumi

Pada pertengahan 2019 silam, dunia dikejutkan oleh temuan yang menyebutkan bahwa para astronom telah menemukan air di Planet luar tata surya. Temuan yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Astronomy ini membuat planet bernama K2-18b yang berada di zona layak huni Goldilocks tersebut menjadi kandidat terkuat dalam upaya pencarian kehidupan alien (Kompas, 14/9/2019).

Sepanjang sejarah penelitian yang dilaksanakan oleh para astronom dunia,  planet tersebut diklaim berpotensi dapat dihuni oleh manusia karena temperaturnya tepat dan ada sumber air. Temuan ini, sekali lagi, semakin membuka harapan akan adanya makhluk dan kehidupan di luar bumi. Temuan ini merupakan temuan yang paling spektakuler di abad saat ini.

Jauh sebelum para astronom meneliti dan berusaha keras menemukan kehidupan di luar planet bumi, Alquran lebih dulu sudah memberikan isyarat tentang adanya kehidupan di luar bumi. Berkaitan dengan petunjuk tersebut, para ulama berusaha memahami petunjuk Alquran tentang sains tersebut. Salah satunya adalah Thanthawi Jauhari (1870-1940 M).

Beliau mempunyai karya tafsir yang bercorak ilmiah, yaitu Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir ini mengupas ayat-ayat Alquran dengan pendekatan saintifik. Misalnya, ketika menafsirkan QS. AN-Nur ayat 43 tentang siklus hujan.  Ia menjelaskan bahwa proses turunnya hujan diawali dengan Allah menggerakkan awan hingga terbentuk gumpalan tebal disebabkan dorongan angin sebagaimana disinggung dalam QS. Al-Furqan: 48 dan Al-Hijr: 22 ( Lihat Thanthawi Jauhari, al-Jawahir, juz 6, hlm. 209).

Meskipun Tafsir Jawahir belum secara spesifik mengupas tentang petunjuk Alquran mengenai kehidupan di luar planet tata surya, namun keberadaan tafsir tersebut mendorong umat Islam dalam memahami, mendalami, dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan modern ( Abdul Majid, Ittijahat al tafsir fi ‘Asr al-Rahim, Beirut: Darul Bayariq, 1982, hlm. 149).

Pada gilirannya, bermunculan ulama yang berkhidmat mengkaji Alquran dengan menggunakan pendekatan sains modern, diantaranya ada Fakhrudin ar-Razi, Muhammad Abdul, Nasr Hamid Abu Zayd, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan betapa Alquran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan juga tidak ketinggalan zaman. Bahkan terkait sisi keilmiahan Alquran, ada orientalis terkenal, yakni Muraice Bucaille menulis buku “Bibel, Quran and Sains Modern (1976).

Isyarat Alquran tentang Kehidupan di Luar Angkasa

Kajian Mahdi Ghulsani menyebutkan bahwa di dalam Alquran, kata ‘ilm’ dan kata-kata turunannya digunakan lebih dari 780 kali ( Ghulsani, Filsafat Sains Menurut Alquran, 2001). Hal ini menegaskan betapa ilmu dalam Islam memiliki posisi yang stragis dan utama.

Kajian tentang makhluk di luar angkasa lazim disebut dengan ilmu astronomi. Dalam sejarah Islam, astronomi dikembangkan untuk kepentingan praktis maupun teoritas serta spiritualis. Di antara ayat dalam Alquran tang menginspirasi ilmuan muslim, khususnya di bidang astronomi adalah: QS. Yunus [10]: 5, QS. An-Nahl [16]: 12-16, QS. Al-Hajj [22]: 65, QS. Yasin [36]: 38-40 dan al-Rahman [55]: 33. (lihat Muqawin, Jaringan Keilmuan Asronomi Dalam Islam pada Era Klasik pada Jurnal Kaunia, vol. III, no. 1, April 2007, glm. 69-70).

Berkaitan dengan kehidupan makhluk di luar tata surya (angkasa) yang menghebohkan dunia beberapa waktu lalu, sesungguhnya Alquran lebih dulu mengkonfirmasi akan fenomena tersebut, salah satunya, sebagaimana termaktub dalam QS. Asy-Syuara ayat 29.

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦ خَلۡقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِن دَآبَّةٖۚ وَهُوَ عَلَىٰ جَمۡعِهِمۡ إِذَا يَشَآءُ قَدِيرٞ

Artinya: “Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.”

Fakhrudin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan ayat di atas merupakan salah satu keagungan Allah, yakni menciptakan makhluk yang serupa dengan penghuni bumi ( Fakhrudin Ar-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 9, hlm. 261).

Al-Qur’an telah menyatakan bahwa Allah meluaskan langit dengan berekspansinya galaksi-galaksi tersebut,”Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (atau kekuatan) Kami dan sesungguhnya Kamilah yang meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyat: 48). Ini menunjukkan adanya korelasi antara konsepsi al-Qur’an dengan teori Expandingnya Edwin Hubble, di mana benda-benda alam semesta ini terus berkembang meluas sehingga galaksi-galaksi saling menjauh dari yang satu dengan yang lain. Semua itu adalah menurut perintah Allah Yang menciptakannya, dan terus demikian sampai pada waktu yang telah ditentukan. (Ahmad Baiquni, Islam dan Pengetahuan Modern, 1983, hlm. 21).

Jika selama ini para ilmuan menyebutkan bahwa dalam sistem tata surya, terdapat 9 palnet. Namun lain halnya dengan ilmuan Islam Nazwar Syamsu. Berangkat dari QS. Yusuf: 4, ia  menyimpulkan bahwa bahwa planet dalam tata surya ini semula ada 11 buah, yang satu sudah hancur, sehingga kini tinggal ada 10 planet yang permanen. Planet yang kesepuluh itu disebut planet “Muntaha” yaitu planet yang terjauh dalam tata surya ini, dan kesanalah Nabi Muhammad pernah bermi’raj :“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di Sidratil Muntaha (QS. An-Najm: 13-14). Lihat Nazwar Syamsu, Alquran dan Tanya Jawab Ilmiah, hlm. 32).

Dengan demikian, temuan planet baru yang memungkinkan dihuni oleh manusia sesungguhnya merupakan isyarat dari Alquran. Langit yang luasnya tidak terjangkau oleh perhitungan akal manusia itu, menurut Alquran, bukanlah ruang yang kosong. Artinya, di luar angkasa terdapat benda-benda dan makhluk Allah. Semua itu merupakan bagian dari kebesaran Allah SWT yang harus kita imani.

ISLAM KAFFAH

Ini Pengalaman Jamaah yang Umroh Saat Pandemi

Arab Saudi telah membuka kembali penyelenggaraan umroh sejak Agustus 2021. Meski begitu, belum semua negara bisa memberangkatkan termasuk Indonesia.

Saat ini Saudi baru memberikan izin bagi jemaah dari 10 negara, yaitu Irak, Nigeria, Sudan, Jordan, Senegal, Bangladesh, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Uni Emirat Arab. Kedatangan jemaah kali pertama di Saudi pada 14 Agustus lalu. Sampai saat ini, tercatat sudah 12 ribu jemaah yang berumroh.

Lalu bagaimana penyelenggaraan umroh di masa pandemi seperti sekarang ini?

Konsul Haji KJRI Jeddah, Endang Jumali membagi pengalamannya. Menurutnya penyelenggaraan umroh saat pandemi berlangsung dengan penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Endang menceritakan, jamaah yang sudah mendapatkan dua kali vaksin dengan vaksin yang digunakan Arab Saudi, atau dua kali vaksin selain vaksin yang digunakan Saudi lalu ditambah dengan booster, mereka tidak menjalani karantina setibanya di Jeddah atau Madinah. Mereka bisa langsung menjalankan ibadah.

“Selama di Makkah dan Madinah, jemaah mendapat kesempatan sekali menjalankan umroh dan sekali sholat di Raudah. Adapun untuk sholat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi bisa dilakukan setiap waktu,” tutur Endang dalam rapat virtual tentang persiapan penyelenggaraan ibadah umrah dengan Tim Kemenag, Kemenkes, Kominfo, dan PT Telkom, belum lama ini.

Endang mengatakan, bagi jemaah yang baru mendapatkan satu kali vaksin, maka dia harus menjalani isolasi mandiri terlebih dahulu selama empat hari. Arab Saudi selama ini menggunakan empat jenis vaksin, yaitu: Pfizer, AstraZeneca, Jhonson&Jhonson, serta Moderna.

IHRAM