Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 4)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

وإذ أذنب استغفر

(Dan semoga Allah menjadikan kamu termasuk) orang yang beristigfar apabila terjerumus dalam perbuatan dosa.

Pentingnya melakukan istigfar

Dalam doa yang agung ini, beliau memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada orang yang membaca risalahnya, supaya menjadi orang yang kembali kepada Allah, bertaubat kepada-Nya apabila terjatuh dalam maksiat dan dosa. Sebagaimana telah diketahui bahwa manusia seringkali terjerat oleh kemauan hawa nafsunya sehingga melakukan apa yang dilarang oleh Allah atau bahkan meninggalkan kewajiban yang diperintahkan dalam agama.

Untuk itulah seorang muslim diajarkan untuk selalu beristigfar. Dalam banyak kesempatan, kita diperintahkan untuk memohon ampunan. Di antaranya, ketika selesai mengerjakan salat, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk membaca istigfar 3 kali. Hal itu bukan berarti salat adalah perbuatan dosa. Tetapi, memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagus apapun amal yang dilakukan oleh hamba, maka Hak-Hak Allah terlalu Agung dan Maha Sempurna sehingga tidak bisa dihargai dengan ketaatan dan amal manusia yang penuh kekurangan.

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah مطالعة عيب النفس والعمل (muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal). Mencermati dan menyadari begitu banyak aib pada diri dan amal-amal yang kita kerjakan. Karena ibadah kepada Allah itu berporos pada dua pilar, cinta yang sepenuhnya dan perendahan diri yang seutuhnya kepada Allah. Sementara perendahan diri tidak bisa muncul, kecuali dengan menelaah aib pada diri dan amalan hamba. Demikian kandungan makna yang diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib.

Penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar yaitu kecintaan yang sepenuhnya dan perendahan diri yang sempurna. Munculnya kedua pokok/kaidah ini berangkat dari dua sikap prinsip yaitu    مشاهدة المنة (musyahadatul minnah), yaitu menyaksikan curahan nikmat-nikmat Allah dan مطالعة عيب النفس والعمل (muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal), yaitu selalu meneliti aib pada diri dan amal perbuatan. Dengan senantiasa menyaksikan dan menyadari setiap curahan nikmat yang Allah berikan kepada hamba, akan tumbuhlah kecintaan. Dan dengan selalu meneliti aib pada diri dan amalan, akan menumbuhkan perendahan diri yang sempurna kepada Rabbnya. (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 8 tahqiq Abdul Qadir dan Ibrahim Al-Arna’uth)

Dengan selalu menyaksikan dan menyadari betapa banyak curahan nikmat yang Allah berikan, akan menumbuhkan kecintaan, pujian, dan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan begitu banyak kebaikan. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal perbuatan, akan melahirkan sikap perendahan diri, merasa butuh, fakir, dan bertaubat di sepanjang waktu. Sehingga orang itu tidak memandang dirinya, kecuali berada dalam kondisi bangkrut. Pintu terdekat yang akan mengantarkan hamba menuju Allah adalah pintu gerbang perasaan bangkrut. Dia tidak melihat dirinya memiliki kedudukan, posisi, dan peran yang layak diandalkan/dibanggakan. Sehingga, dia pun akan mengabdi kepada Allah melalui pintu gerbang perasaan fakir yang seutuhnya dan kondisi jiwa yang merasa dilanda kebangkrutan. (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 7)

Apabila kita teliti kembali amal dan ibadah yang kita kerjakan, ada banyak sekali kekurangan dan cacatnya. Dari sanalah, kita mengetahui letak pentingnya muhasabah. Sebagaimana yang dinasihatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu“Hisablah diri-diri kalian sebelum kalian dihisab! Dan timbanglah amal-amal kalian sebelum kalian ditimbang (di akhirat)!”

Istigfar adalah memohon ampunan kepada Allah atas dosa yang dilakukan. Dosa itu sendiri meliputi dua kategori. Terjadi karena menerjang larangan atau karena tidak menunaikan kewajiban. Bisa jadi seorang tidak melakukan perkara yang diharamkan pada suatu waktu, tetapi pada saat itu dia tidak menunaikan kewajiban dan tugasnya dengan baik. Dan inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah taqshir/keteledoran dan cacat amalan.

Sikap seorang mukmin terhadap amalannya

Seorang mukmin, ketika melihat amalannya, maka dia berharap kepada Allah supaya amalnya diterima. Meskipun demikian, dia selalu ingat dan waspada akan dosa dan kekurangannya. Jangan sampai amalnya hancur dan sirna gara-gara dosa. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari dalam Sahihnya mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di bawah gunung. Dia takut gunung itu runtuh menimpa dirinya.”

Karena itulah, Hasan Al-Bashri rahimahullah menjelaskan bahwa seorang mukmin itu memadukan dalam dirinya antara perbuatan ihsan/kebaikan dan ketaatan dengan perasaan syafaqah/takut dan khawatir. Sebaliknya, orang kafir dan fajir memadukan dalam dirinya antara perbuatan jelek/dosa dengan merasa aman/baik-baik saja. Lihatlah sosok para sahabat -manusia terbaik setelah para nabi- yang dituturkan oleh Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah“Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan mereka semua khawatir apabila kemunafikan bersemayam di dalam diri mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengaku bahwa imannya seperti imannya Jibril dan Mika’il.”

Dari sini pula, kita mengetahui bahwa istigfar yang dimaksud bukan hanya ucapan lisan tanpa keyakinan dan kesadaran di dalam hati. Sebab, zikir yang paling utama adalah yang menggabungkan antara ucapan lisan dengan penghayatan di dalam hati terhadap apa yang dibaca. Oleh sebab itu, istigfar yang tidak disertai dengan perendahan diri dan ketundukan kepada Allah, bukanlah istigfar yang hakiki. Karena ketaatan yang Allah terima adalah ibadah yang berakar dari dalam hati. Allah berfirman,

یَوۡمَ لَا یَنفَعُ مَالࣱ وَلَا بَنُونَ

إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبࣲ سَلِیمࣲ

“Pada hari itu (kiamat) tiada berguna harta dan keturunan laki-laki kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy-Syu’ara’ : 88-89)

Sehingga sebagian salaf berkata, “Betapa banyak orang yang lisannya beristigfar tetapi dimurkai. Sedangkan, ada orang-orang yang lisannya diam tetapi senantiasa dirahmati.” Setiap muslim membutuhkan waktu-waktu khusus untuk menyendiri dengan Rabbnya. Mengingat dosa dan kesalahannya untuk bertaubat dan menangisi kedurhakaan yang selama ini dia lakukan. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam manusia terbaik di muka bumi saja beristigfar kepada Allah dalam sehari sampai 70 kali atau seratus kali bahkan lebih. Lalu, bagaimana lagi dengan kita?!

Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari no. 6307)

Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Umar. Beliau berkata, “Bahwa dirinya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,

أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه

‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis sebelum bangkit sebanyak 100 kali.” (lihat Fath Al-Bari oleh Ibnu Hajar, 11/115)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung. Dia takut apabila gunung itu jatuh/runtuh menimpa dirinya.” (lihat Fath Al-Bari, 11/118)

Demikianlah sifat seorang muslim. Bahwa dia senantiasa merasa takut dan merasa diawasi oleh Allah. Dia menganggap kecil amal salehnya dan dia mengkhawatirkan dampak perbuatan buruknya meskipun itu kecil. (lihat Fath Al-Bari, 11/119)

‘Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan, “Adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah keluar dari buang air (kamar kecil) maka beliau mengucapkan

غفراك

‘ghufroonak’

(Artinya ‘Kami mohon ampunan-Mu, ya Allah).” (HR. Abu Dawud dan lain-lain)

Makna doa ini adalah “Aku memohon ampunan-Mu kepada-Mu, ya Allah.” Yaitu, Engkau tutupi dosa-dosaku dan Engkau tidak menghukumku karena dosa-dosa itu. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, 1/242)

Hikmah dari bacaan ini adalah apabila seorang telah menunaikan hajatnya (dengan membuang kotoran secara fisik), hendaklah dia mengingat kotoran secara maknawi yang mengganggu kehidupannya yaitu dosa-dosa. Karena, sesungguhnya menanggung dosa lebih berat dan lebih membahayakan daripada menanggung kotoran yang berupa ‘air besar’ atau ‘air kecil’. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita mengingat dosa-dosa kita dan memohon ampunan Allah atasnya. (lihat keterangan Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Fathu Dzil Jalal wal Ikram, hlm. 306)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah. Karena sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari kepada-Nya seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah menjelaskan kandungan hadis ini, “Adapun kita (apabila dibandingkan dengan Nabi) maka sesungguhnya kita ini jauh lebih membutuhkan istigfar dan taubat.” (lihat Syarh Muslim [8/293]). Benarlah apa yang dikatakan oleh An-Nawawi, semoga Allah merahmati dan mengampuni kita dan beliau.

Dan apabila kita cermati keadaan kaum muslimin di zaman ini, maka akan kita dapati bahwa amalan ini (bertaubat 100 kali dalam sehari) termasuk salah satu amalan yang sudah banyak ditinggalkan manusia (sunnah mahjurah), kecuali pada sebagian manusia yang Allah berikan taufik kepada mereka dan betapa sedikitnya mereka itu. Semoga Allah berikan taufik kepada kami dan segenap pembaca untuk mengamalkannya.

Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Umar, beliau berkata, “Bahwa dirinya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,

أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه

‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis sebelum bangkit sebanyak 100 kali.” (lihat Fath Al-Bari, 11/115). Kepada Allah semata kita mohon pertolongan.

Semoga catatan yang singkat ini bermanfaat.

Barakallahu fiikum.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69223-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-4.html

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 2)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata,

“Semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika diberi cobaan/musibah, dan beristigfar apabila berbuat dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan.”

Penjelasan

Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas salah satu tanda kebahagiaan yaitu bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dilimpahkan kepada kita. Berikutnya kita akan membahas tanda kebahagiaan yang kedua, yaitu bersabar saat tertimpa musibah dan bencana.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, segala sesuatu yang terjadi di alam dunia ini telah tertulis dalam lauhul mahfuzh 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Sebagaimana telah diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Termasuk di dalamnya musibah yang kita alami. Tidaklah menimpa musibah melainkan dengan izin dari Allah.

Kewajiban kita sebagai seorang muslim adalah bersabar menghadapinya. Sabar yaitu menahan diri dari marah kepada ketetapan Allah, menahan anggota badan dari ekspresi ketidakpuasan seperti merobek-robek kerah baju atau menampar-nampar pipi, dan menahan lisan dari meratap. Sebagaimana digambarkan oleh para ulama salaf, bahwa sabar dalam iman seperti kepala di dalam badan. Apabila sabarnya hilang maka tidak ada lagi kehidupan pada badan.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah dalam Kitab Tauhid juga membuat bab khusus dengan judul “Termasuk keimanan kepada Allah adalah bersabar menghadapi takdir Allah“. Maksudnya adalah takdir yang terasa menyakitkan seperti musibah dan bencana. Iman kepada Allah mencakup iman kepada uluhiyahrububiyah, dan asma’ wa shifat-Nya. Iman kepada takdir merupakan bagian dari iman kepada rububiyah Allah.

Mengimani Allah sebagai Rabb mengandung makna keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Sementara takdir Allah merupakan salah satu perbuatan Allah dan kekuasaan Allah. Ketika Allah menakdirkan kita mendapat kebaikan dan nikmat maka yang diperintahkan kepada kita adalah mensyukuri nikmat itu dengan menggunakan nikmat dalam ketaatan. Ketika Allah menakdirkan kita mendapat musibah dan sesuatu yang tidak kita sukai maka yang diperintahkan kepada kita adalah bersabar menerimanya.

Cobaan menempa keimanan

Allah berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh  kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” (QS. Al-Hajj: 11).

Para ulama tafsir, diantaranya Qatadah dan Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud beribadah kepada Allah di tepian yaitu di atas keragu-raguan. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang munafik. Apabila urusan dunianya baik maka dia pun beribadah tetapi apabila urusan dunianya rusak maka dia pun berubah. Bahkan pada akhirnya dia pun kembali kepada kekafiran. Mujahid menafsirkan “berpaling ke belakang” maksudnya adalah menjadi murtad dan kafir (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/400-401).

Syekh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Sebagian manusia apabila terkena fitnah atau cobaan maka dia pun menyimpang dari agamanya, hal itu disebabkan dia sejak awal tidak berada di atas pondasi yang benar -dalam beragama, pent- …” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 10).

Beliau juga menjelaskan, “Fitnah-fitnah ini apabila datang, maka manusia menghadapinya dengan sikap yang berbeda-beda. Ada diantara mereka yang tetap tegar di atas agamanya walaupun dia harus mendapati kesulitan-kesulitan bersama itu, dan ada pula orang yang menyimpang; dan mereka yang semacam itu banyak…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 11).

Hasan al-Bashri Rahimahullah menjelaskan termasuk golongan orang yang beribadah kepada Allah di tepian itu adalah orang munafik yang beribadah kepada Allah dengan lisannya, tetapi tidak dilandasi dengan hatinya (lihat Tafsir al-Baghawi, hlm. 859-860).

Syekh as-Sa’di menafsirkan bahwa termasuk cakupan ayat ini adalah orang yang lemah imannya. Dimana imannya itu belum tertanam di dalam hatinya dengan kuat, dia belum bisa merasakan manisnya iman itu. Bisa jadi iman masuk ke dalam dirinya karena rasa takut -di bawah tekanan- atau karena agama sekedar menjadi adat kebiasaan sehingga membuat dirinya tidak bisa tahan apabila diterpa dengan berbagai macam cobaan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 534).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang paling aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah ketika dunia ini dibukakan untuk kalian sebagaimana ia telah dibukakan untuk orang-orang sebelum kalian. Maka kalian pun berlomba-lomba untuk meraupnya sebagaimana mereka berlomba-lomba untuk meraupnya. Maka dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia membinasakan mereka” (HR. Bukhari).

Syekh Abdul Karim al-Khudhair berkata, “Ujian dalam bentuk kesulitan/musibah bisa dilalui oleh banyak orang. Akan tetapi ujian dalam bentuk kelapangan, terbukanya dunia, dan kekayaan; betapa sedikit orang yang bisa melampauinya. Ini merupakan perkara yang bisa disaksikan oleh semuanya. Kenyataan yang terjadi pada umumnya kaum muslimin ketika dibukakan untuk mereka dunia ternyata mereka justru menyepelekan perintah-perintah Allah ‘Azza wa jalla dan berpaling dari jalan kebenaran. Dan mereka pun menukar nikmat yang Allah berikan dengan kekafiran yang mereka kerjakan…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan min Shahih al-Bukhari, hlm. 13).

Musibah adalah cobaan

Diantara bentuk cobaan itu adalah musibah yang menimpa kaum beriman. Allah berfirman,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ(٣)

“Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’ kemudian mereka tidak diberi ujian? Sungguh Kami telah memberikan ujian kepada orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang pendusta” (QS. al-’Ankabut: 2-3).

Musibah dan bencana ini adalah cobaan dari Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidaklah menimpakan cobaan atau musibah untuk mencelakakannya, hanya saja Allah memberikan musibah kepadanya untuk menguji kesabaran dan penghambaannya kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah berhak mendapatkan penghambaan dikala susah sebagaimana Dia juga berhak mendapatkan penghambaan di kala senang…” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 4 penerbit Maktabah Darul Bayan).

Ya, dengan adanya musibah dan diikuti dengan kesabaran akan membuahkan keutamaan dan pahala yang sangat besar dari Allah. Allah berfirman,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” (QS. Ali ‘Imran: 146).

Allah juga berfirman,

وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. al-Anfal: 46).

Allah berfirman,

مَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya” (QS. at-Taghabun: 11).

Alqomah -seorang ulama tabi’in– mengatakan, “Maksud ayat ini adalah berkenaan dengan seorang yang tertimpa musibah; dia mengetahui bahwa musibah itu datang dari sisi Allah, maka dia pun rida dan pasrah.” Diantara faidah ayat itu adalah bahwa sabar merupakan sebab datangnya hidayah ke dalam hati, selain itu diantara balasan bagi orang yang sabar adalah mendapatkan tambahan hidayah (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 278 karya Syekh Shalih al-Fauzan).

Karena itulah tidak heran apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah timpakan musibah kepadanya” (HR. Bukhari). Oleh sebab itulah dikisahkan bahwa sebagian para ulama terdahulu apabila dia melihat bahwa dirinya tidak pernah tertimpa musibah baik berupa tertimpa penyakit/sakit atau yang lainnya maka dia pun mencurigai dirinya sendiri (lihat at-Tam-hid li Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 379).

Dari Anas Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabilah Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya maka Allah segerakan untuknya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman itu akibat dosanya sampai Allah akan sempurnakan hukumannya nanti di hari kiamat” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dinyatakan sahih oleh al-Albani).

Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya adanya musibah-musibah adalah salah satu cara untuk menghapuskan dosa-dosa. Selain itu dengan adanya musibah akan membuat orang kembali dan bertaubat kepada Rabbnya. Bahkan dihapuskannya dosa-dosa itu merupakan salah satu bentuk nikmat yang paling agung, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (lihat Ibthal at-Tandid, hlm. 175).

Dengan demikian kesabaran adalah kebaikan yang sangat besar. Sebab dengan bersabar ketika tertimpa musibah akan mendatangkan pahala dan sekaligus menghapuskan dosa-dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang diberikan suatu anugerah yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran” (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama juga menjelaskan bahwa sabar dalam makna yang luas mencakup sabar dalam melaksanakan perintah dan sabar dalam menjauhi larangan. Selain itu ada juga sabar dalam menghadapi musibah (sebagaimana yang sedang kita bahas). Sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan adalah bagian dari syukur kepada Allah; sebab hakikat syukur adalah beramal saleh. Oleh sebab itu dikatakan oleh para ulama salaf bahwa iman mencakup dua bagian; sabar dan syukur.

Dari sini kita juga mengetahui bahwa sesungguhnya sebab kebahagiaan hamba itu ada pada iman dan amal saleh, sabar dan syukur, serta tunduk patuh kepada perintah dan larangan Allah. Allah berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ (١)  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ(٢)  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ(٣)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3).

Demikian pembahasan kita pada kesempatan ini, semoga Allah berikan kemudahan untuk bertemu lagi dalam seri yang akan datang masih bersama risalah al-Qawa’id al-Arba’ karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah.

Barakallahu fiikum.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69221-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-3.html

Amalan Agar Dimudahkan Rezeki dari Imam Nawawi Al Banteni

Setiap  manusia ingin kebutuhan finansial tercukupi. Setiap manusia juga mengiginkan diberikan kemapaman dalam ekonomi.  Untuk itu, segala usaha dilakukan agar mapan secara ekonomi dan mencukupi kebutuhan finansial. Bahkan ada yang rela kerja paruh waktu dan lembur hanya ingin mendapatkan gaji yang lebih.

Di samping itu, ada juga cara yang tak jamak dilakukan manusia untuk cepat kaya. Ada yang memakai jasa jin misalnya. Ada juga pergi kedukun, meminta harta lebih. Tak hanya itu, ada juga melakukan pesugihan di pohon kramat, hutan lebat, makam tua, dan gubugk tua. Semua ini agar memperoleh kekayaan dengan instan.

Pada sisi lain, ada juga yang mengambil jalan nekat. Misalnya menjadi penipu. Tak sedikit orang yang tega menipu saudaranya, hanya untuk memperoleh kekayaan. Pun ada yang tega hati, merampok harta orang lain demi kekayaan.

Semua orang ingin kaya pada hakikatnya, namun ada saja yang menghalangi. Terlebih dalam masa pandemi ini, banyak orang yang sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun sekadar untuk makan dan membayar sewa bulanan kontrakan. Pasalnya, kelesuan aktivitas ekonomi di beberapa sektor.

Agar tidak seperti itu—birahi ingin kaya, justru mengambil jalan yang salah—, ada beberapa amalan yang bisa rutin diamalkan orang yang ingin mudah rezeki. Pasalnya, ketika mencari rezeki, selain ikhtiyar lahiriah, sebaiknya juga dibarengi dengan ikhtiyar batin. Amalan bathin ini untuk mengetuk pintu langit, agar diberi rezeki dari Sang Yang Maha Kaya.

Adapun doa agar dimudahkan rezeki itu terdapat dalam kitab, Maraqil Ubudiyah  karya Syekh Muhammad Nawawi al-Jawiy Al Banteni.  Imam Nawawi Banten mengatakan melazimi membaca surah Asy Syams, al Lail, Al-Falaq, dan An Nas akan memudahkan rezeki. Lebih dari itu, rezekinya mengalir deras seperti air hujan yang jatuh dari langit. Simak penjelasan dalam Maraqil Ubudiyah  berikut ini;

والشمس وضحاها والليل إذا يغشى والمعوذتين} كما قاله القسطلانى فمن قرأ سورة والشمس رزقه الله الفهم  الذكى الفطنة فى جميع الأشياء ومن تلا سورة واليل حفظ من هتك الستر ومن تلا سورة الفلق وقى السوء ومن تلا سورة الناس عصم من البلايز واعيذ من الشيطان ومن دوام على قراءتها كان رزقه كالمطر

Artinya; (Surah Asy Syam, al Lail, dan Muawwizatain—an nas dan Al falaq), sebagaimana  dikatakan oleh Syekh Al Qasthalani,”barang siapa saja yang membaca surah as-syams, maka akan dianugerahkan Allah padanya kemudahan dalam kepandaian dan ketajaman berpikir pada sekalian perkara apapun.

Dan barang siapa saja yang membaca surah Al-lail maka ia akan dipelihara oleh Allah swt daripada terbuka segala aibnya. Barang siapa saja yang membaca surah al falaq, maka akan terpelihara dari keburukan,  dan barang siapa membaca an Nas, maka Allah akan melindunginya dari segala musibah dan syaitan.

Kemudian  barang siapa, senantiasa  melazimi membaca empat  surah (asy Syamsi , al lail, an nas dan al falaq) tersebut setiap hari, maka ia akan di berikan kemudahan rezeki oleh Allah. Rezeki tersebut seperti hujan turun dari langit.

Demikian amalan agar dimudahkan rezeki dari Imam Nawawi Al Banteni. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Adab Islam dalam Bertetangga

ISLAM sangat menekankan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan. Hal ini sering diingatkan oleh Nabi besar Muhammad ﷺ melalui hadis-hadisnya yang menyerukan untuk berbuat baik kepada tetangga tanpa membedakan agama, ras dan warna kulit.

Di antara firman Allah SWT yang menuntut agar terjadi pada tetangga dan menunjukkan adab bertetangga adalah:

وَاعْبُدُوا اللَّـهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Dan hendaklah kamu beribadah kepada Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apapun. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh, rekan sejawat, musafir yang terlantar dan juga hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS: An-Nisa’:36).

Para ulama menyatakan dalam ayat ini, Allah SWT mengikat ayat tuntutan untuk berbuat baik kepada tetangga dengan ayat tuntutan untuk beribadah kepada Allah SWT tanpa melakukan syirik kepada-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk berbuat baik kepada tetangga merupakan tuntutan yang besar seperti halnya tuntutan untuk beribadah kepada Allah SWT. Untuk itu, Allah SWT memberikan azab yang pedih bagi orang yang suka menyakiti tetangganya seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.

Di antara hadits yang menceritakan tentang pentingnya bersikap baik dan memiliki adab bertetangga adalah dari Abi Syuraih RA, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya.” [HR Muslim)

Dari Abdillah bin ‘Amr RA, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ، وَخَيْرُ الجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara sahabatnya. Sedangkan tetangga yang terbaik di sisi Allah adalah yang paling baik dengan tetangganya.” [HR: al-Tirmizi, Imam al-Tirmizi).

  • Dari Ibn Umar R.anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

 “Jibril sentiasa berwasiat kepadaku agar berlaku baik kepada tetangga sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan mewarisi hartaku.” [HR: Bukhari)]

Imam al-Nawawi menukilkan kata-kata daripada Qadhi ‘Iyadh bahwa makna hadis ini adalah siapapun yang beriltizam dengan syariat Islam maka wajib ke atasnya untuk memuliakan atau berlaku baik kepada tetangga dan tetamunya. Semua ini menunjukkan akan kepentingan hak bertetangga serta galakan memeliharanya. Ini karena, Allah SWT telah berpesan atau mewasiatkan agar berlaku baik kepada mereka melalui firman-Nya di dalam al-Quran dan juga hadis Nabi ﷺ . [Lihat: al-Minhaj ‘ala Syarh Sahih Muslim, 18/2]

Demikian itu adalah beberapa buah hadis yang membicarakan berkaitan adab bertetangga karena kedudukan tetangga itu amat tinggi di dalam agama. Berdasarkan masalah di atas, kami ingin menukilkan sebuah kisah yang berlaku di zaman Rasulullah ﷺ  apabila seorang lelaki datang kepadanya dan mengadu akan perihal tetangganya yang suka menyakitinya:

  • Dari Abu Hurairah RA berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو جَارَهُ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاصْبِرْ. فَأَتَاهُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاطْرَحْ مَتَاعَكَ فِي الطَّرِيقِ. فَطَرَحَ مَتَاعَهُ فِي الطَّرِيقِ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ فَيُخْبِرُهُمْ خَبَرَهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَلْعَنُونَهُ: فَعَلَ اللَّهُ بِهِ، وَفَعَلَ، وَفَعَلَ، فَجَاءَ إِلَيْهِ جَارُهُ فَقَالَ لَهُ: ارْجِعْ لَا تَرَى مِنِّي شَيْئًا تَكْرَهُهُ

Maksudnya: “Telah datang seorang lelaki kepada Nabi ﷺ  mengadu perihal tetangganya. Maka Nabi ﷺ  bersabda: “Pergilah serta bersabarlah.” Setelah itu, lelaki itu datang lagi kepada Rasulullah ﷺ  sebanyak dua atau tiga kali. Lalu Nabi ﷺ  bersabda: “Pergilah dan campakkanlah barang-barang di rumah kamu ke jalan.” Lelaki tersebut kemudiannya mencampakkan barang-barang rumahnya ke jalan hingga menyebabkan orang-orang bertanya kepadanya. Lalu lelaki tersebut menceritakan apa yang berlaku kepada dirinya yang menyebabkan manusia (yang mendengar cerita tersebut) melaknat tetangga tersebut dengan mengatakan: “Allah akan membalas perbuatannya (mendoakan keburukan), Allah akan balas dan Allah akan balas.” Selepas itu, lelaki tersebut didatangi oleh tetangga tersebut dan tetangga itu berkata: “Pulanglah kamu, kamu tidak akan melihat (mendapati) sesuatu yang kamu benci itu lagi.” [Riwayat Abu Daud (5153)][Sanadnya adalah baik menurut Syeikh Syu’aib al-Arna’outh]

Hadis ini menceritakan akan petunjuk Nabi ﷺ  kepada lelaki ini apabila sentiasa disakiti oleh tetangganya. Akan tetapi, berkemungkinan perbuatan atau cara tersebut biasa dilakukan oleh bangsa Arab pada zaman itu tetapi ia tidak lagi sesuai untuk dilakukan pada zaman ini.

Tambahan pula, Imam Ibn Ruslan ketika mensyarahkan hadis ini menyatakan bahwa di dalam hadis ini menunjukkan kelebihan bersabar menghadapi tetangga walaupun perkara tersebut berulang-ulang kali terjadi, di samping berusaha untuk mencegahnya mengikut kemampuan yang ada. Hadis ini juga menunjukkan keharusan berdoa kepada orang yang menyakiti orang lain secara kuat (terang-terangan) sebagai pengajaran kepada orang tersebut serta meninggalkan perbuatan tersebut. [Lihat: Syarah Abi Daud, 440/19]

Seseorang yang disakiti oleh tetangganya sama ada dengan perbuatan atau ucapan perlulah bersabar terlebih dahulu.  Sabar merupakan sifat mulia dan sifat yang dikasihi oleh Allah SWT. Di samping itu juga, seseorang yang disakiti perlulah berusaha dan berikhtiar dengan sehabis-baik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi seperti menasihatinya dengan penuh hikmah, berbuat ihsan (baik) kepadanya walaupun dibalas dengan kejahatan, membantu mereka di dalam kesusahan, menggunakan saluran yang tepat dalam menegur dan lain-lain lagi.

Mudah-mudahan dengan cara sebegini akan melembut hatinya dan tidak lagi akan menyakiti orang tersebut. Selain itu, doa juga merupakan salah satu elemen yang penting dan tidak patut diabaikan karena hanya Allah SWT sahaja yang mampu membaca dan mengubah hati seseorang itu. Sekiranya, seseorang itu telah berusaha dan berikhtiar, memilih berpindah dari tempat tersebut merupakan langkah yang terakhir bagi seseorang yang mampu melakukan sedemikian.

Apa hukumnya menyakiti tetangga?

Di sana terdapat hadis yang menceritakan akan akibat dan balasan yang akan diterima bagi orang yang suka menyakiti tetangganya:

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Tidak akan masuk Surga, orang yang membuat tetangganya tidak merasa aman daripada gangguannya.” [Riwayat Muslim (73)]

Di dalam hadis yang lain pula, juga dari Abu Hurairah RA berkata:

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: هِيَ فِي النَّارِ

Telah berkata seorang lelaki kepada Rasulullah ﷺ : “Wahai Rasulullah ﷺ , sesungguhnya wanita ini terkenal dengan banyaknya solat, berpuasa dan bersedekah tetapi dia sentiasa menyakiti tetangganya dengan lidahnya.” Lalu Nabi ﷺ  bersabda: “Dia akan masuk ke dalam neraka.” [Riwayat Ahmad (9675)][Sanadnya adalah hasan berdasarkan penilaian daripada Syeikh Syu’aib al-Arna’outh]

Berdasarkan kedua hadis ini, orang yang suka menyakiti tetangganya sama ada dengan perbuatannya atau lisannya (ucapannya) maka orang seperti ini akan dicampakkan ke dalam api neraka di akhirat kelak walaupun dia merupakan seorang yang banyak melakukan ibadah. Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH

Rajin Shalat Dhuha Tak Kunjung Kaya? Mungkin ini Salah Satu Penyebabnya!

Shalat dhuha sering kali dikatakan sebagai solat meminta rezeki.  Namun karena persepsi ini, tak sedikit yang menyudahi istikomah solat dhuha karna rejeki tak kunjung datang. Sebenarnya, jika amalan sunnah dilakukan secara rutin dapat membuat jiwa menjadi tenang, segala urusan dipermudah, dan lapang dada menerima takdir Allah baik yang buruk atau tidak. Solat dhuha dikatakan pembawa rejeki dimulai dari beberapa sabda Nabi saw.:

Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang diantara kalian harus dikeluarkan shadaqohnya. Setiap tasbih adalah shodaqoh, setiap tahmid adalah shodaqoh, menyuruh berbuat baik dan mencegah kemungkaran juga shodaqoh. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat solat dhuha.”(HR. Muslim)

Wahai anak Adam, rukuklah untuk-Ku empat rokaat diawal siang, niscaya aku mencukupimu di akhir siang dan sore harinya.

Sedangkan kita tau bahwa sedekah dapat mendatangkan rezeki. Sebenarnya sah-sah saja apabila solat ingin meminta turunnya rezeki karena solat dhuha merupakan bentuk ikhtiar kita kepada Allah swt. Banyak yang terbukti dengan amalan solat dhuha ini, namun tak sedikit juga orang yang gagal. Penyebab orang yang rajin solat dhuha namun tidak kunjung mendatangkan rejeki karena ada beberapa sebab yang sepatutnya perlu dikoreksi dalam diri sendiri.

Pertama, niat yang keliru. Nabi saw bersabda:

Sesungguhnya amal-amal itu hanyalah itu hanyalah bergantung pada niatnya. Dan tiap-tiap orang itu bergantung apa yang diniatkannya. Maka barang siapa hijrahnya karena dunia, ia akan memperolehnya; atau karena perempuan, maka ia akan menikahinya. Maka sesungguhnya pahala hijrahnya tergantung pada tujuan hijrahnya.

Kedua, yakni hati yang kurang bersih. Nabi saw bersabda

“…Bahwa dalah diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, apabila ia rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.”

Ketiga, tidak menyempurnakan wudhu. Wudhu merupakan syarat sahnya solat, jika wudhunya tidak tepat makan solatnyapun tidak akan diterima.

Keempat, tidak khusyuk. Khusyuk merupakan salah satu sifat dalam solat yang sangat penting. Nabi saw bersabda:

Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyukan.”(HR.Tabrani)

Kelima, kurangnya usaha. Untuk memperoleh rejeki, solat tidaklah cukup untuk memancing datangnya rejeki melainkan harus diimbangi oleh usaha. Seorang tidak mungkin hanya mengandalkan doa sedangkan ia malas mencari sarana datangnya rezeki. Nabi saw saja selaku manusia yang dijamin kebutuhannya masih melakukan jual beli dan transaksi lainnya.

Keenam atau yang terakhir yakni banyak melakukan dosa. Dosa-dosa yang sering dilakukan dapat menjadi penghambat datangnya rezeki. Nabi saw bersabda:

Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya.”(HR. Ahmad)

Jika menginginkan rezeki dipermudah dan sudah meminta kepada Allah melalui jalur solat dhuha namun rezeki masih saja susah didapat, maka cobalah untuk intropeksi diri, barangkali terdapat sesuatu yang belum kita lakukan atau terdapat dosa yang tidak kita sadari.

ISLAM KAFFAH

Hukum Berziarah Pada Kuburan Non-Muslim

Banyak kita jumpai seorang muallaf ingin melakukan ziarah pada kuburan orang tua, saudara, atau nenek moyangnya yang mati dalam keadaan belum masuk Islam. Namun kadang dia ragu melakukan ziarah karena perbedaan agama yang dianut antara dirinya dan orang tua, saudara atau nenek moyangnya tersebut. Sebenarnya, bagaimana hukum berziarah pada kuburan non-Muslim dalam Islam?

Melakukan ziarah pada kuburan non-Muslim diperbolehkan dalam Islam. Orang Muslim tidak dilarang melakukan ziarah pada kuburan non-Muslim, terutama jika masih ada hubungan keluarga, seperti orang tua, saudara, kerabat, atau masih nenek moyangnya. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Almajmu berikut;

ويجوز للمسلم اتباع جنازة قريبه الكافر وأما زيارة قبره (فالصواب) جوازها وبه قطع الا كثرون وقال صاحب الحاوى لا يجوز وهذا غلط لحديث ابي هريرة قال ” قال رسول الله صلي الله عليه وسلم استأذنت ربى أن أستغفر لامي فلم يأذن لي واستأذنته أن أزور قبرها فاذن لي

“Boleh mengantarkan jenazah kerabatnya yang non-Muslim. Adapun menziarahi kuburannya, maka yang benar adalah dibolehkan, dan ini yang diikuti oleh kebanyakan ulama. Pengarang kitab Al-Hawi mengatakan tidak boleh ziarah ke kuburan non-Muslim, namun ini adalah keliru. Hal ini karena ada hadis Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Saw. bersabda, ‘Saya minta izin kepada Allah untuk memohonkan ampun atas ibuku tapi Dia tidak mengizinkan. Dan saya minta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburannya, kemudian Dia mengizinkan.”

Bahkan jika bertujuan untuk mengambil pelajaran agar bisa mengingat kematian dan kehidupan akhirat, maka ziarah ke kuburan non-Muslim hukumnya sunah sebagaimana kesunahan ziarah ke kuburan orang Muslim. Hal ini sebagaimana telah diterangkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj berikut;

أما قبورالكفار فلا يندب زيارتها وتجوز على الأصح نعم إن كانت الزيارة بقصد الاعتبار وتذكر الموت فهي مندوبة مطلقا ويستوي فيها جميع القبور

“Adapun kuburan orang-orang non-Muslim, maka tidak disunahkan menziarahinya tetapi dibolehkan menurut pendapat yang paling sahih. Iya, namun jika ziarah ke kuburan non-Muslim untuk mengambil pelajaran dan mengingat kematian, maka disunahkan secara mutlak dan semua kuburan sama terkait kebolehan diziarahi.”

Meski hukumnya boleh menziarahi kuburan non-Muslim, namun pada saat berziarah tidak diperkenankan membacakan Alfatihah, surah Yasin, memintakan ampunan dan lainnya. Cukup mendatangi kuburannya saja tanpa perlu membaca Alfatihah dan lainnya.

BINCANG SYARIAH

Inilah Tiga Konsep Ukhuwah dalam Islam untuk Meredam Radikalisme

 Dalam tataran normatif, Islam dan agama lain selalu mengajarkan perdamaian, kerukunan, dan kasih sayang. Ini disebut dengan ukhuwah. Dengan demikian, sebenarnya misi utama semua agama adalah menciptakan ketentraman di dunia. Misi ini seharusnya dipandang sebagai tolok ukur seberapa benar manusia menjalankan agamanya. Bagaimanakah konsep ukhuwah dalam Islam?

Seringkali misi utama menjaga ketentraman ini justru terjebak di dalam penafsiran individu yang salah. Kita bisa melihat realita fanatisme telah mengubah wajah agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Sampai saat ini, agama belum mampu menyelesaikan konflik perpecahan, baik internal seperti konflik sunni-syi’ah (bahkan antar ormas) ataupun eksternal (konflik antar agama). Belum lagi konflik-konflik yang diciptakan oleh kaum radikal.

Itu sebabnya, para filosof memandang agama sebagai candu yang hanya akan membuat pemeluknya ketagihan, fanatik dan akhirnya merusak. Sehingga banyak filosof yang tidak menghendaki agama, karena mereka menganggap itu tidak perlu.

Dengan demikian, sudah semestinya agama harus segera dikebalikan pada esensinya yang mengedapankan sikap ramah tamah dan cinta semesta. Allah berfirman:

وَمَآ أَرْسَلْنَـكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَـلَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya’: 107)

Pahami juga prinsip toleransi antar agama pada ayat:

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama. (Qs Al Baqarah: 256)

Tugas utama agama (khususnya Islam) adalah menjaga nilai-nilai universal yang sudah disebutkan di atas. Ditambah lagi, junjungan kita Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utama diutusnya beliau adalah untuk menjaga dan menyempurnakan moralitas anak Adam. Dalam sebuah Hadis Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan akhlak.” (HR. Ahmad)

Dalam perkembangan selanjutnya, demi menjalankan misi perdamaian dan kerukunan, terdapat tiga konsep ukhuwah dalam Islam:

PertamaUkhuwah Islamiyah, dalam  istilah lain disebut juga ukhuwah bainal muslimin. Persaudaraan yang pertama ini sifatnya lokal, karena hanya menghendaki kerukunan antar umat Islam itu sendiri. Persaudaran antar ormas NU-Muhammadiyyah atau antar mazhab Sunni-Syiah. Selama masih Islam harus hidup rukun.

Bentuk ukhuwah semacam ini dijustifikasi oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah Hadis:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah juga menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (HR. Imam Bukhari Nomor 2262)

KeduaUkhuwah wathaniyyah. Yakni persaudaraan sebangsa dan setanah air. Persaudaran ini sifatnya lebih luas dari yang pertama sebab menghendaki persaudaraan antar agama. Meskipun berbeda agama, selama masih setanah air kita harus hidup damai dan gotong royong.

Persaudaraan ini diajarkan oleh nabi Muhammad SAW tatkala medirikan “Negara Madinah” yang notabene masyarakatnya beragama majmuk seperti Indonesia. Kita ambil contoh, suatu ketika Nabi mendengar ada penduduk Madinah yang beragama Yahudi meninggal, lalu Nabi segera mengumpulkan dana dari masyarakat, untuk diberikan kepada keluarga yang bersangkutan. (Dr. Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mizan, Halaman 29)

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW juga bersabda:

من آذى ذميا فأنا خصمه ، ومن كنت خصمه خصمته يوم القيامة

“Siapapun yang menyakiti seorang zimmi (non muslim yang tidak memerangi umat Islam), maka aku adalah musuhnya, dan aku akan memusuhinya di hari kiamat.” (Imam Suyuthi, al-Jami’ al-Shagir, Maktabah Syamilah, Juz 4, Halamn 46).

KetigaUkhuwah basyariyah. Persaudaraan ini bersifat universal, tidak memandang ras, suku, bangsa, atau agama tertentu. Selama masih sesama manusia, kita harus hidup berdampingan dan saling mencintai.

Rasulullah mengajarkan ukhuwah semacam ini di dalam sebuah hadis berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِجَدِّهِ يَزِيدَ بْنِ أَسَدٍ أَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda kepada kakeknya, Yazid bin Asad, “Cintalah manusia sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR. Imam Ahmad Nomor 1605)

Alhasil, seandainya esensi agama dan tali persaudaraan yang diajarkan oleh Islam kembali dipahami dan dipraktekkan secara benar, maka tidak akan ada lagi kelompok-kelompok radikal yang menciptakan konflik atas nama agama. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Surat Ar Rahman, Mengapa Disebut Pengantin Alquran?

Surat Ar Rahman sangat istimewa karena berbicara tentang rahmat Allah SWT

Surat Ar Rahman banyak digunakan sebagai mahar dalam pernikahan umat Islam.

Surat ke 55 ini diturunkan di kota Makkah, terdiri dari 78 ayat dan terdapat pengulangan ayat “maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?’ sebanyak 31 kali.

Nama surat ini bahkan juga dikenal  sebagai Arus Alquran atau pengantin Alquran, seperti yang dijelaskan Nabi dalam haditsnya. Dalam sebuah riwayat, Nabi bahkan bersabda:

لكلِّ شيءٍ عروسٌ، وعروسُ القرآنِ الرحمنِ  “Segala sesuatu memiliki pengantin, dan pengantinnya Alquran adalah Ar Rahman”. 

Namun alasan sebenarnya dijelaskan Syekh Ashraf Al Feel, ulama Al-Azhar tersebut mengatakan bahwa alasan penamaan Surat Ar Rahman dengan nama pengantin Alquran adalah karena keindahan dan kesempurnaannya.

Surat ini disebutnya menjelaskan bahwa penamaan surat setelah Ar Rahman adalah yang terbaik yang bisa disebut.

Ia menambahkan, keindahan Surat Ar Rahman berasal dari kenyataan bahwa firman Allah SWT ini berbicara tentang sifat-sifat Tuhan Yang Maha-Esa, dalam hal ini ia tidak dapat mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Masalah hanya dia diketahui oleh Tuhan saja, karena Dia adalah satu-satunya yang dapat mengasihani saat ini.

Dia menunjukkan, sifat Yang Mahapenyayang adalah sifat Allah semata. Karena Dia adalah satu-satunya yang memiliki rahmat kepada manusia di akhirat, rahmat yang lengkap dan lengkap.

Membaca Ar Rahman bahkan disebut Imam Ja’far Ash-shadiq sebagai: “Barangsiapa yang membaca surat Ar-Rahman, dan ketika membaca kalimat ‘Fabiayyi âlâi Rabbikumâ tukadzdzibân’, dia mengucapkan: Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan), jika saat membacanya itu pada malam hari kemudian ia mati, maka matinya seperti matinya orang yang syahid; jika membacanya di siang hari kemudian mati, maka matinya seperti matinya orang yang syahid.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Menegur Orang Haruskah dengan Sakiti Perasaannya?

Rasulullah SAW menegur dengan lemah lembut dan tak menyakiti

Ketika melihat seseorang melakukan kesalahan, atau hal yang tak wajar dalam pandangan kita, spontan kita ingin menegurnya. Apalagi kalau kesalahan itu menyangkut masalah agama.  

Tentu ini sesuatu yang positif. Karena memang substansi dari ajaran Islam adalah amar makruf dan nahi mungkar, mengajak pada yang baik, dan mencegah dari yang tidak baik. 

Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara kita menegur? Apakah dengan mempermalukan orang yang ditegur di depan orang ramai? Apakah dengan menyakiti perasaannya?

Apakah dengan bahasa yang bisa memancing emosinya? Apakah dengan cara yang tidak membuatnya menyadari kesalahan lalu berusaha memperbaikinya, malah ingin membela diri dan membalas orang yang menegur dengan cara yang lebih kasar?  

Dalam masyarakat Minangkabau, ada satu peribahasa yang tak jarang disalahpahami oleh sebagian orang yaitu “Syara’ batilanjang, Adaik basisampiang.” Peribahasa ini berarti bahwa syara’ atau agama mesti disampaikan secara terbuka, transparan dan apa adanya. 

Sementara adat disampaikan dengan bahasa-bahasa kiasan, tau jo nan ampek, tau ereang jo gendeang. Sesuatu yang aib dalam budaya Minang kalau seseorang tidak tahu kato mandaki, kato manurun, kata melereang, dan kato mandata. 

Hanya saja ada yang menjadikan peribahasa ini sebagai salah satu dalih untuk menegur orang lain dengan bahasa yang kasar dan kalimat yang tajam. Kalau ada yang mengingatkannya untuk menggunakan bahasa yang lebih lunak, ia akan berkata: “Syara’ batilanjang…”.

Akhirnya muncul kesan bahwa dakwah agama itu memang harus keras, tidak menenggang rasa, buka kulit tampak isi. Sehingga tak salah kalau ada yang kemudian menilai bahwa adat lebih sopan dari pada agama. Adat menenggang rasa, sementara agama tidak. Adat tahu jo nan ampek, sementara agama tidak. Tapi benarkah demikian adanya? 

Dalam banyak hadits disebutkan, ketika Rasulullah SAWmenegur kesalahan orang lain, beliau lebih sering menggunakan kalimat:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ …“Mengapa ada yang melakukan ini dan ini…”.

Misalnya ketika beliau tahu ada sahabat yang melihat ke atas ketika sholat, beliau menegur hal itu dengan keras dan bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلاَتِهِمْ “Mengapa ada yang mengangkat pandangan mereka ke langit di dalam sholat?”  

Saking kerasnya teguran Nabi Muhammad SAW, beliau melanjutkan dengan kalimat yang lebih tajam:

لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Mereka mesti berhenti dari hal itu, atau penglihatan mereka akan dicabut.” 

Ancaman kerasnya disampaikan tapi siapa pelakunya dirahasiakan. Pesan utamanya masuk tapi harga diri mereka yang ditegur tetap terjaga. 

Suatu ketika, Rasulullah SAW melihat ada bekas (maaf) dahak di masjid. Beliau tidak mencari tahu siapa pelakunya. Beliau langsung saja membersihkan bekas itu dengan tangannya yang mulia, lalu bersabda: 

مَا بَالُ أَحَدِكُمْ يَقُومُ مُسْتَقْبِلَ رَبِّهِ فَيَتَنَخَّعُ أَمَامَهُ، أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْتَقْبَلَ فَيُتَنَخَّعَ فِي وَجْهِهِ؟ فَإِذَا تَنَخَّعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ، تَحْتَ قَدَمِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَقُلْ هَكَذَا ، وَوَصَفَ الْقَاسِمُ فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْض 

“Mengapa ada di antaramu yang menghadap Rabb-nya lalu ia meludah ke arah depan? Apakah dia mau kalau ada orang yang meludah di depannya? Kalau di antaramu ada yang ingin meludah ketika shalat maka meludahlah ke arah kiri bawah. Kalau tidak bisa maka lakukan seperti ini.” 

Al Qasim, sang perawi hadits, menjelaskan dengan cara meludah di tepi baju lalu dilapkan kedua sisinya. 

Di saat yang lain ada seorang wanita datang pada Rasulullah SAW bertanya tentang haid. Rasulullah sudah menjelaskan dengan bahasa-bahasa kiasan. Tapi tampaknya wanita itu belum juga paham. 

Rasul pun malu untuk menjelaskannya dengan bahasa yang lebih vulgar. Akhirnya datanglah Aisyah. Dia lalu menarik tangan wanita itu ke belakang dan menjelaskan padanya secara lebih detail. Saking pemalunya Baginda, Abu Sa’id Al Khudri mengatakan: 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا، فَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ

“Nabi SAW itu lebih pemalu dari gadis di sudut kamarnya. Apabila beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya kami dapat menangkap itu dari mimik wajahnya.” Ketidaksukaan Nabi tampak pada wajahnya, bukan pada kata-katanya.   

Ada seorang laki-laki yang dijuluki dengan Himar (keledai). Nama aslinya Abdullah. Dia sudah sekian kali dicambuk oleh Nabi karena minum khamar. Tapi dia adalah seorang yang humoris. Tak jarang dia membuat Nabi tertawa. 

Suatu ketika dia kembali dibawa ke hadapan Nabi karena telah meminum khamar. Di antara yang hadir menyaksikan itu ada seseorang yang tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya pada Abdullah alias Himar. Orang ini berkata:

اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ “Ya Allah, kutuklah dia. Begitu sering dia dibawa kesini untuk dicambuk.” Mendengar itu Rasulullah SAW bersabda:

لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ “Jangan kutuk dia. Demi Allah, yang aku tahu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” 

اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا وحبيبنا ومولانا وشفيعنا وقرة أعيننا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا

Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Menceritakan Amal Saleh

Bismillahirrahmanirrahim.Jika dilihat dari ditampakkan dan tidaknya, amal ibadah itu ada dua macam:

Pertama, ibadah yang harus ditampakkan. Seperti salat jamaah, azan, salat id, dan salat Jumat.

Kedua, ibadah yang tidak ada keharusan ditampakkan. Seperti salat malam, salat dhuha, sedekah, dan kebanyakan ibadah sunnah.Untuk ibadah yang harus ditampakkan, maka tidak boleh disembunyikan, meskipun dengan alasan menjaga keikhlasan. Tampakkan ibadah tersebut dan tetaplah berusaha menjaga keikhlasan. Ibadah tersebut harus ditampakkan karena itu sebagai syiar agama. Di samping itu, ibadah jenis ini bisa menjadi sarana keteladanan bagi orang lain.Pembahasan kita di bawah ini berkaitan dengan ibadah yang tidak ada keharusan ditampakkan. Artinya, tidak ada perintah syariat untuk menampakkannya.

Menampakkan amal tergantung pada kejernihan niat

Boleh dan tidaknya menampakkan amalan itu tergantung pada kejernihan niat berupa ikhlas dan terbebas dari nodanya, yaitu riya‘. Antara menampakkan dan menyembunyikan amal saleh, kalau tidak ikhlas, keduanya sama-sama tercela. Namun, asalkan bisa menata hati agar tetap ikhlas dan terbebas dari riya‘, maka keduanya sama-sama terpuji.

Menyembunyikan amalan lebih dekat kepada ikhlas, ini terpuji

Menampakkan atau menceritakan amalan, di sini ada nilai keteladanan dan menceritakan nikmat Allah, ini juga suatu hal yang terpuji.Di dalam Al-Qur’an, Allah ‘Azza Wajalla memuji kedua model amal di atas,إِن تُبۡدُواْ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۖ وَإِن تُخۡفُوهَا وَتُؤۡتُوهَا ٱلۡفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمۡۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha teliti atas apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271)Menampakkan atau menceritakan amalan, asal ikhlas tetap terjaga, bisa mendapatkan dua tambahan pahala:Pertama, pahala memberikan teladan yang baik.Dijelaskan di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pahalanya yang luar biasa,

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ .ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa saja yang mencontohkan suatu sunnah yang baik di dalam Islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan siapa saja yang mencontohkan suatu sunnah yang jelek, maka dia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)

Kedua, pahala mengamalkan perintah Allah agar menceritakan nikmat-Nya.Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ

“Dan tentang nikmat Tuhanmu, ceritakanlah!” (QS. Adh-Dhuhaa: 11)Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Al-Qurtubi rahimahullah menukilkan riwayat kisah teladan seorang ulama bernama Abu Firos Abdullah bin Gholib dalam mengamalkan ayat di atas. Di saat pagi hari tiba, Abu Firos bercerita kepada rekannya,

لَقَدْ رَزَقَنِي اللَّهُ الْبَارِحَةَ كَذَا، قَرَأْتُ كَذَا، وَصَلَّيْتُ كَذَا، وَذَكَرْتُ اللَّهَ كَذَا، وَفَعَلْتُ كَذَا.

“Semalam Allah telah memberiku rizki ibadah ini, aku membaca ayat ini, aku salat itu, aku berzikir ini kepada Allah, dan beramal saleh itu.”

فَقُلْنَا لَهُ: يَا أَبَا فِرَاسٍ، إِنَّ مِثْلَكَ لَا يَقُولُ هَذَا!

“Wahai Abu Firos,  orang seperti Anda tidak pantas bercerita seperti itu.” Tanggap rekannya mendengar cerita seperti itu.Abu Firos menjawab,

قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ وَتَقُولُونَ أَنْتُمْ: لَا تُحَدِّثْ بِنِعْمَةِ اللَّهِ!

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Tentang nikmat Tuhanmu, ceritakanlah!’ Sementara kalian mengatakan, ‘Jangan ceritakan nikmat Allah?!’ (Jami’ Al-Bayan, Tafsir Al-Qurtubi)Terutama menampakkan amalan bila dilakukan oleh tokoh agama, guru, ustaz, kyai, ulama, atau orang yang memiliki banyak pengikut, maka sangat dianjurkan. Karena bisa menjadi sarana dakwah dan menginspirasi banyak orang. Namun ingat, harus tetap menjaga ikhlas dan waspada dari riya‘ serta ujub.

Mana yang lebih utama?

Selama ikhlas terjaga dan bukan untuk tujuan memberi keteladanan, maka menyembunyikan amalan itu lebih utama. Namun, jika tujuannya untuk mengajarkan atau memberikan keteladanan, maka menampakkan lebih utama. Karena dapat menjadi sarana mendapat pahala jariyah seperti keterangan dalam hadis yang kami kutip di atas.

Jadi, keduanya memiliki potensi menjadi lebih utama. Tergantung motif dan maslahat. Sebaiknya seorang mukmin memiliki amalan yang dia sembunyikan, yang mengetahui hanyalah dia dan Allah,  dan amalan yang ditampakkan dengan tetap menjaga niat, di saat ada maslahat untuk memberikan pengajaran atau inspirasi. Dengan demikian, dia dapat meraup dua jenis pahala keutamaan di atas.Wallahu a’lam bis showab

Penulis: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/69191-hukum-menceritakan-amal-shalih.html