Menag Gelar Pembicaraan dengan Saudi, Ini yang Dibahas

Menteri Urusan Islam Arab Saudi, Al-Sheikh Abdullatif bin Abdulaziz Al-Sheikh mengadakan pembicaraan resmi dengan Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas. Pembicaraan ini meninjau upaya Arab Saudi dalam melayani Islam dan umat Muslim dalam bingkai menyebarkan nilai-nilai moderasi dan perbaikan wacana keagamaan.

Kedua menteri itu, seperti dilansir dari Saudi Gazette, Ahad (21/11), juga membahas proses pencetakan Alquran oleh Kompleks Raja Fahd di Madinah. Juga soal upaya Saudi dalam menghadapi kelompok-kelompok yang mencoba memanfaatkan Islam untuk mencapai ideologi mereka.

Al-Sheikh mengatakan, kementeriannya menandatangani nota kesepahaman dengan beberapa lembaga dan kementerian Islam di berbagai negara untuk mentransfer pengalaman negaranya dalam melayani Islam. Hal itu juga untuk menyebarkan nilai-nilai dan ajaran toleransi yang sejalan dengan kebijakan Saudi serta pesan kepada umat Islam di seluruh dunia.

Sementara itu, Menteri Yaqut memuji upaya Arab Saudi untuk melayani Islam dan Muslim di dunia serta Muslim di Indonesia pada khususnya. Dia menekankan, Saudi mengambil langkah besar untuk menyebarkan pendekatan moderasi yang dibutuhkan umat Islam.

Yaqut juga menegaskan kembali keinginan negaranya untuk mengaktifkan perjanjian kerja sama dengan Saudi yang melayani Islam dan umat Muslim. Dia mengatakan, upaya yang dilakukan oleh Kerajaan untuk peziarah, dan pengunjung, dan pengalaman Kerajaan dalam menangani pandemi Corona itu berbeda dan mencerminkan kebijaksanaan dan ketajaman dari kepemimpinannya. 

Pembicaraan tersebut juga membahas soal pengaktifan nota kesepahama yang telah ditandatangani sebelumnya antara kedua belah pihak dalam urusan Islam. Ini dalam rangka menyebarkan metode moderasi dan melawan ekstremisme, dan bertukar keahlian dalam segala hal yang melayani Islam dan Muslim.

IHRAM

Niat yang Mulia

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat.

Dalam rukun ibadah, niat selalu menjadi urutan yang pertama. Saat berwudhu, menegakkan shalat, melaksanakan puasa, berzakat hingga pergi haji, selalu ada kata niat sebagai tonggak fondasi agar tujuan yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang digariskan. 

Niat menjadi faktor penting seseorang untuk mendapatkan apa yang hendak dituju. Dalam hal ibadah, niat menjadi garis demarkasi untuk membedakan apakah pelakunya mendapatkan pahala atau bahkan justru berdosa. Orang yang pergi berhaji dengan niat pamer tentu mendapat ganjaran berbeda dengan orang yang berhaji dengan niat untuk Allah. 

Tak sekadar itu, niat juga yang membedakan jenis ibadah seseorang meski ritualnya sama. Orang yang  puasa wajib pada Ramadhan, puasa sunnah, puasa qadha (bayar utang puasa) dan puasa nazar dibedakan berdasarkan niatnya. Begitupula shalat apakah dia hendak shalat fardhu dan shalat sunnah juga untuk membedakan zakat dengan sedekah. 

Bila ditilik dari bahasa, niat dikatakan sebagai menyengaja, menuju (al-qashd). Menurut istilah, niat adalah kemauan hati untuk mengerjakan sesuatu dan bertekad melaksanakannya tanpa ragu. Terkadang, niat juga diartikan sebagai al-azm atau keinginan.

Dalam bahasa syara’, niat adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang diikuti dengan perbuatan. Para ulama menjelaskan, niat adalah keinginan yang disertai dengan perbuatan yang akan dilaksanakan pada masa mendatang. 

Di dalam Alquran, niat terkait erat dengan keikhlasan. Beberapa ayat yang menjelaskan niat, yakni QS al-Baqarah ayat 139, QS al-A’raf ayat 29, QS Yunus ayat 22, QS al-Ankabut ayat 65, QS az-Zumar ayat 2, 11 dan 14, QS Luqman ayat 32, serta QS al-Bayyinah ayat 5. 

Tidak hanya itu, banyak hadis yang mengulas tentang niat. Salah satunya yang berasal dari Umar Ibnu Khattab yang termasuk dalam hadis Arba’in karya Imam Nawawi. Redaksi lengkapnya yakni, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ada beberapa kisah yang melatarbelakangi lahirnya hadis ini. Salah satunya berasal dari kisah Ibnu Mas’ud tentang adanya seseorang yang hendak melamar perempuan. Dia bernama Ummu Qais.

Syahdan, Ummu Qais enggan untuk menikahi lelaki tersebut. Dia pun berhijrah hingga menikahi Ummu Qais. Ibnu Mas’ud pun mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan mendapatkannya).”

Kisah lainnya bersumber dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas Ra. Keluarga ini termasuk sahabat Rasulullah SAW. Satu waktu, Ma’an pernah berkata jika ayahnya yakni Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar yang diniatkan untuk sedekah.

Ayahnya meletakkan uang itu di sisi seseorang yang ada di masjid (agar sedekah tersebut diambil salah satu jamaah). Ma’an justru mengambil uang tadi. Yazid berkata kepada Ma’an, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan kepadamu.” 

Ma’an lalu mengadukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Lantas, beliau SAW bersabda, “Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR Bukhari).

Hadis ini mengandung hikmah yang amat besar karena menunjukkan betapa penting suatu keinginan dan ikhtiar ketimbang hasil. Selama niat itu dilandasi tujuan untuk mendapat ridha Allah SWT, maka akan diganjar pahala. Yang luar biasa adalah hal tersebut tak berlaku bagi niat untuk perilaku maksiat. Saat berniat buruk kemudian kita gagal melakukannya, justru dicatat sebagai satu kebaikan sempurna.

Dari Ibnu ‘Abbâs Ra dari Nabi SAW tentang hadis yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan tapi dia tidak (jadi) melakukannya, Allâh tetap menuliskannya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya.

Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk tapi dia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan.” (HR al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahiih mereka).

Meski demikian, Imam Al-Ghazali memberi catatan menarik dalam Ihya Ulumuddin. Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam Saripati Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghazali menjelaskan, kemaksiatan tidak akan berpindah dari tempatnya dengan sebab niat. Maksudnya, kemaksiatan tidak dapat berubah menjadi ketaatan hanya dengan niat.

Sebagai contoh, saat kita membangun masjid dengan harta haram. Hal tersebut dinilai sebagai sebuah kebodohan sehingga niatnya tidak mempengaruhinya untuk mengeluarkannya dari kemaksiatan.

OLEH A SYALABY ICHSAN

REPUBLIKA ID

Jamaah Tak Perlu Lagi Izin Kunjungi Masjid Nabawi

Berdasarkan Kementerian Haji dan Umrah Kerajaan, Pejabat di Arab Saudi telah mengumumkan bahwa izin dan janji tidak lagi diperlukan bagi pengunjung yang ingin shalat di Masjid Nabawi di Madinah.

Dilansir dari laman Alarabiya pada Ahad (21/11), pejabat mengatakan bahwa pengunjung yang ingin salat di Masjid Nabawi tidak perlu lagi mengajukan izin dan membuat janji melalui aplikasi ‘Eatmarna’. Akan tetapi masih akan diminta untuk menunjukkan aplikasi ‘Tawakkalna’ mereka yang membuktikan bahwa mereka telah menerima dua dosis vaksin Covid-19 atau menerima dosis pertama dan selesai 14 hari setelah menerima suntikan.

Pada bulan lalu, Masjidil Haram di Makkah beroperasi dengan kapasitas penuh, dengan jamaah shalat berdekatan untuk pertama kalinya semenjak pandemi virus corona dimulai. Hal ini terjadi setelah Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi menyetujui pelonggaran tindakan pencegahan Covid-19 yang ketat di negara itu, termasuk mengoperasikan Masjidil Haram dengan kapasitas penuh.

Awal pekan ini, Kerajaan mengumumkan bahwa jamaah luar negeri sekarang dapat mengajukan izin untuk umrah dan shalat di Masjidil Haram di Makkah. Kemudian juga untuk mengunjungi Masjid Nabawi di Madinah melalui aplikasi seluler yang disetujui.

Sementara itu, selama lonjakan kasus covid, Saudi telah melakukan sejumlah pembatasan. Termasuk izin ibadah umrah yang dilakukan melalui aplikasi ‘Eatmarna’. Aplikasi ini juga mengatur upaya tindak lanjut masing-masing kelompok jamaah selama ibadah umrah atau saat mengunjungi Madinah.

Sementara itu, pada Ramadhan tahun ini 150 ribu orang telah diizinkan untuk melakukan umrah atau sholat setiap hari di Masjidil Haram.

IHRAM

Nama-Nama Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bag. 1)

Nama-nama Nabi dan Rasul

Dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan sebagian dari nama-nama para Rasul yang Allah Ta’ala. Nama-nama yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut mencapai dua puluh lima nabi dan rasul. Di antara dalil yang menunjukkan nama nabi dan rasul adalah sebagai berikut.

Dalam satu rangkaian ayat, Allah Ta’ala mengumpulkan delapan belas nabi dan rasul. Allah Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاء إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ ؛ وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلاًّ هَدَيْنَا وَنُوحاً هَدَيْنَا مِن قَبْلُ وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ  ؛ وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِّنَ الصَّالِحِينَ ؛ وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطاً وَكُلاًّ فضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ

“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada (1) Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan (2) Ishak dan (3) Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada (4) Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu (5) Daud, (6) Sulaiman, (7) Ayyub, (8) Yusuf, (9) Musa, dan (10) Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (11) Zakaria, (12) Yahya, (13) ‘Isa, dan (14) Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang salih. Dan (15) Ismail, (16) Alyasa’, (17) Yunus, dan (18) Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (QS. Al-An’am: 83-86).

Di dalam surat An-Nisa’, Allah Ta’ala sebutkan tiga belas nabi. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu (1) (Muhammad) sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada (2) Nuh dan nabi-nabi setelahnya. Dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada (3) Ibrahim, (4) Isma’il, (5) Ishak, (6) Ya’qub dan (7) al-asbath (anak cucunya, yaitu Yusuf, pen.) (8) ‘Isa, (9) Ayyub, (10) Yunus, (11) Harun, dan (12) Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada (13) Daud.” (QS. An-Nisa’: 163).

Selebihnya, Allah Ta’ala sebutkan dalam surat yang terpisah,

وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!’” (QS. Al-Baqarah: 31).

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوداً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنتُمْ إِلاَّ مُفْتَرُونَ

“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Huud. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.’” (QS. Huud: 50).

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحاً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf: 73).

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْباً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf: 85).

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقاً نَّبِيّاً

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (QS. Maryam: 56).

وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِّنَ الصَّابِرِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Al-Anbiya’: 85).

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ

“Muhammad itu adalah utusan Allah” (QS. Al-Fath: 29).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, nama Nabi dan Rasul yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah: (1) Adam; (2) Nuh; (3) Ibrahim; (4) Isma’il; (5) Ishaq; (6) Ya’qub; (7) Dawud; (8) Sulaiman; (9) Ayyub; (10) Yusuf; (11) Musa; (12) Harun; (13) Zakariya; (14) Yahya; (15) Isa; (16) Ilyas; (17) Alyasa’; (18) Idris; (19) Yunus; (20) Luth; (21) Hud; (22) Shalih; (23) Syu’aib; (24) Dzulkifli; dan (25) Muhammad ‘Alihimus shalaatu was salaam.

Yang dimaksud dengan “al-asbath” (sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 163) adalah Nabi dari anak keturunan Ya’qub ‘alaihis salaam (lihat Tafsir Ath-Thabari, 3: 109).

Perlu dicatat bahwa para Nabi itu jumlahnya sangatlah banyak. Tidak terdapat dalil yang sahih yang menunjukkan jumlah yang pasti [1]. Oleh karena itu, wajib beriman kepada mereka seluruhnya tanpa membatasi jumlah mereka dengan angka atau bilangan tertentu.

Adapun jumlah 25 nama yang tadi disebutkan, itu adalah nama-nama yang Allah Ta’ala sebutkan atau ceritakan dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala memang menyebutkan nama sebagian mereka di dalam Al-Qur’an, namun tidak menceritakan sebagian besar dari mereka yang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Al-Mu’min: 78).

Saudara-saudara Yusuf bukanlah Nabi

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Tidaklah diketahui dari Bani Israil (adanya nabi) sebelum Musa kecuali Yusuf. Di antara yang menguatkan  hal tersebut adalah ketika Allah Ta’ala menyebutkan para nabi dari keturunan Ibrahim, Allah Ta’ala mengatakan,

وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ

‘Dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun’ (QS. Al-An’am: 84).

Maka disebutkanlah Yusuf dan yang bersamanya, dan tidak disebutkan al-asbath. Seandainya saudara-saudara Yusuf adalah Nabi sebagaimana kenabian Yusuf, tentu akan ikut disebutkan bersamanya” (Jaami’ul Masaail, 3: 298).

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan kenabian saudara-saudara Yusuf” (Tafsir Ibnu Katsir, 4: 327).

Tambahan dari dalil As-Sunnah

Terdapat tambahan dari yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu Yusya’ bin Nun. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ، فَقَالَ لِقَوْمِهِ: لاَ يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا؟ وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا، وَلاَ أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا، وَلاَ أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلاَدَهَا، فَغَزَا فَدَنَا مِنَ القَرْيَةِ صَلاَةَ العَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لِلشَّمْسِ: إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا، فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَجَمَعَ الغَنَائِمَ، فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا، فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ: إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا، فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنَ الذَّهَبِ، فَوَضَعُوهَا، فَجَاءَتِ النَّارُ، فَأَكَلَتْهَا ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا، وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا

“Ada seorang Nabi di antara para nabi yang berperang lalu berkata kepada kaumnya, ‘Janganlah mengikuti aku seseorang yang baru saja menikahi wanita sedangkan dia hendak menyetubuhinya karena dia belum lagi menyetubuhinya (sejak malam pertama); dan jangan pula seseorang yang membangun rumah-rumah sedang dia belum memasang atap-atapnya; dan jangan pula seseorang yang membeli seekor kambing atau seekor unta yang bunting sedang dia menanti-nanti hewan itu beranak.’

Maka Nabi tersebut berperang dan ketika sudah hampir mendekati suatu kampung, datanglah waktu salat Asar atau sekitar waktu itu. lalu Nabi itu berkata kepada matahari, ‘Kamu adalah hamba yang diperintah begitu juga aku hamba yang diperintah. Ya Allah tahanlah matahari ini untuk kami.’ Maka matahari itu tertahan (berhenti beredar) hingga Allah memberikan kemenangan kepada Nabi tersebut. Kemudian Nabi tersebut mengumpulkan ghanimah, lalu tak lama kemudian datanglah api untuk memakan (menghanguskannya), namun api itu tidak dapat memakannya.

Nabi tersebut berkata, ‘Sungguh di antara kalian ada yang berkhiyanat (mencuri ghanimah). Untuk itu, hendaklah dari setiap suku ada seorang yang berbaiat kepadaku.’ Maka ada tangan seorang laki-laki yang melekat (berjabatan tangan) dengan tangan Nabi tersebut. Lalu Nabi tersebut berkata, ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah, maka hendaklah suku kamu berbaiat kepadaku.’ Maka tangan dua atau tiga orang laki-laki suku itu berjabatan tangan dengan tangan Nabi tersebut, lalu Nabi tersebut berkata, ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah.’

Mereka datang dengan membawa emas sebesar kepala sapi lalu meletakkannya. Kemudian datanglah api lalu menghanguskannya. Kemudian Allah menghalalkan ghanimah untuk kita karena Allah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita sehingga Dia menghalalkannya untuk kita” (HR. Bukhari no. 3124).

Nama Nabi tersebut adalah Yusya’ bin Nun. Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ لَمْ تُحْبَسْ عَلَى بَشَرٍ إِلَّا لِيُوشَعَ لَيَالِيَ سَارَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ

“Sesungguhnya matahari tidaklah ditahan untuk seorang manusia, kecuali untuk Yusya’ [ada saat dia berjalan pada malam hari menuju Baitul Maqdis]” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 14: 65, no. 8315. Dinilai sahih oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 6: 221) [2].

Di seri berikutnya, akan kami bahas apakah Khidir itu seorang Nabi ataukah bukan? Semoga Allah Ta’ala mudahkan.

[Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 10 Rabiul akhir 1443/15 November 2021

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70311-nama-nabi-dan-rasul-dalam-alquran-assunnah-bag-1.html

Tetap Istiqomah Bersama Islam

PERGAULAN adalah sebuah keniscayaan, itulah fitrah sebagai insan yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala kelengkapannya. Pergaulan selalu harus dimaknai adanya interaksi, dari mulai hal yang paling sederhana semisal senyum, saling sapa, sampai bentuk-bentuk komunikasi lainnya dalam persahabatan, keluarga, usaha, sejawat serta berbangsa dan bernegara.

Ini tentang cara pandang. Sesuatu jika sejak awal dipandang sebagai masalah dan mengandung kerumitan, maka apa yang kemudian ditemukan dan dijalani selalu bermuara pada kumpulan soal tak berjawab dan benang kusut.

Maka, mulailah segala sesuatu dengan pikiran jernih dan harapan yang penuh kebaikan. Tak semua yang kita temui akan sesuai harapan, tetapi banyak kemungkinan dan hal-hal baik di luar sana.

Bukankah ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam Alaihi Salam, DIA pula Yang Maha Mengetahui tentang kebutuhannya pada sosok yang memungkinkan dia maksimal menggunakan fungsi indrawinya.

Sebagai Khalifah di muka bumi, hendaklah ia mengenal tentang segala potensi yang melekat pada dirinya, menggunakan sesuai dengan amanah yang diembannya. Pada akhirnya tak lain akan membuktikan bahwa dia tak merendahkan dirinya, yaitu karena mampu menunaikan kewajiban sesuai tugas dan kewenangan.

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْۗ اِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِۖ وَاِنَّهٗ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di Bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman, dan sungguh Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS: Al An-Aam, ayat 165)

Maka sesuatu yang semestinya tak terbantahkan adalah, bahwa kehidupan manusia dengan segala pernak-perniknya hanya akan mampu menciptakan keseimbangan, harmoni dan keadilan jika bersandarkan pada syariat-NYA.

Apa yang sering kita saksikan dan kita tengarai sebagai ketimpangan dalam pergaulan sehari-hari justru terjadi karena ulah manusia. Ia merasa jumawa dengan menganggap dirinya serba tau dan serba bisa semata dengan mengandalkan akal pikiran serta hawa nafsunya.

Bagaimana mungkin mereka bisa merasa dan meyakini demikian, padahal pada apa-apa yang ada pada dirinya pun mereka tak mampu mengendalikan sepenuhnya, mampukah ia mengatur detak jantungnya, atau bulu alis mata dan rambut hidungnya agar tumbuh terus?

Ego-ego seperti inilah yang pada gilirannya akan menumbuhkan pribadi yang gagal memahami sesama karena tak mampu bahkan untuk memahami dirinya sendiri.
Pergaulan bagi pribadi-pribadi hipokrit seperti ini cuma dipandang satu arah. Yang terpenting menghadirkan dirinya, dan karenanya pengakuan dan penghargaan pun dimaknai sangat sumir, yaitu ketaatan dan kepatuhan total, tanpa kesempatan untuk berdialog atau bahkan sekedar bertanya.

Dapatkah dibayangkan jika dari pribadi-pribadi demikian terlahir seorang pemimpin? Bukan pemimpin yang sadar betul tentang hakekat kehalifahan, bahwa dia mengelola alam semesta seperti yang dikehendaki pemilik alam semesta ini.

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS: An-Nisaa, ayat 58).

Jangan jadikan mereka sahabat, apalagi pemimpin

Pemimpin itu bukan mengatur manusia dan menata alam demi kepentingan dirinya. Namun seharusnya dari pikiran dan tangannya terlahir hukum dan aturan yang bukan saja tidak bersandar pada aturan-NYA, bahkan harus berusaha menggiring manusia semakin taat pada agama.

Anehnya yang banyak terjadi saat ini, hukum yang seharusnya menciptakan kepastian, malah memihak kepentingan penguasa dan segelintir orang saja.

Pergaulan antar sesama bukan lagi agar semakin mengangkat harkat kemanusiaan sebagai mahluk yang dilengkapi dengan akalnya, tetapi justru memanjakan dan menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai ukuran kepuasan serta kenikmatan. Akal dipaksakan untuk mencerna apapun dan menolak apapun yang tak masuk akalnya, padahal pada batas tertentu cuma Iman yang mampu menyelesaikan.

Lalu tata pergaulan apakah yang membedakan kita sebagai manusia dengan hewan? Bukankah akal yang menolak dikendalikan Wahyu hanya akan menempatkan kita sederajat dengan hewan? Bahkan lebih sesat dari hewan?

Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan;

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

“Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS: Al-A’raaf, ayat 179).

Maka sebagai seorang Muslim yang telah dikaruniai rahmat yang amat luar biasa yaitu hidayah Islam, tempatkanlah syariat sebagai sumber hukum tertinggi. Dan janganlah kita menukar dan menggadaikannya demi apapun.

Islamlah yang menjadikan kita manusia dan memanusiakan manusia. Ini penting, karena saat ini banyak bertebaran manusia yang bahkan secara lahir selayaknya tak pantas disebut sebagai Muslim, tapi dia begitu membenci syariat, dalam ucapan dan perbuatan.

Mereka para pengusung konsep liberal amat berharap suatu saat kita menjadi ragu pada kebenaran Dienul Islam, padahal mereka tidak memegang apapun kecuali kumpulan prasangka. Karenanya, tinggalkan dan janganlah pernah bergaul dengan mereka, karena mereka seburuk-buruknya manusia, sebab mereka menjadikan agama sebagai permainan.*/ Hamid Abud Attamimi

HIDAYATULLAH

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang hak dan yang batil, atau lebih jauh antara surga dan neraka. Halal-haram akan selalu dihadapi oleh kaum muslimin detik-demi-detik dalam rentang kehidupannya. Sehingga menandakan bepata pentingnya kita mengetahui secara rinci batas antara apa yang halal dan apa yang haram. Lantas, bagaimana caranya untuk membedakan hewan (hayawan) yang halal dan yang haram dimakan?.

Di dalam teks teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Hadits) telah memberikan panduan yang purna soal halal-haram. Utamanya soal makanan. “Makanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu”.QS. al-baqarah.57.  Syaiklh Abu Bakar al-Jazair menafsirkan makanan yang baik dengan makanan yang halal. Aysar al-Tafasir, 1/28. Lalu bagaimana dengan konsep halal pada hewan. Mengingat al-Qur’an masih “mujmal” (belum begitu detail) menggambarkan halal-haram pada hewan. Disinilah rupa rupanya al-Hadits memainkan perannya sebagai sarana untuk memperjelas kemujmalan al-Qur’an.

Untuk mengetahui apakah hewan halal ataukah haram, dapat dilihat dari ciri ciri fisiknya.

  1. Semua hewan buas yang bergigi taring dan semua burung yang berkuku tajam/kuat, adalah “haram” dimakan. Ciri ciri ini telah digambarkan dengan begitu jelasnya oleh Rasulullah.

Sabda Nabi:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِى مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: rasulullah melarang (mengkomsumsi) hewan buas yang bertaring, dan semua jenis burung yang berkuku tajam. HR. Muslim, 510

Muhammad Ibn Umar Ibn Husain al-Raziy mengatakan bahwa “larangan rasulullah dalam hadits di atas bisa diarahkan kepada hukum haram. Al-Mahshul Li al-Raziy, 2/470

Hadits dia atas sekaligus menjadi dalil bagi fatwa Jumhur Ulama’ (al-Syafiiy, Abu Hanifah, Ahmad dan Daud al-Dhahiri) yang mengatakan haram hukumnyamengkonsumsi hewan yang bertaring dan berkuku tajam. Kecuali Imam Malik yang hanya menghukumi makruh tidak sampai kepada hukum haram. Syarah al-Nawawi ‘Ala Muslim, 13/82

  1. Semua hewan yang dianggap baik oleh orang arab maka halal dimakan kecuali hewan yang telah diharamkan oleh syari’at. Al-Majmu’, 9/26
  2. Hewan-hewan yang buruk maka haram hukumnya. Allah berfirman

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ

“dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka” QS. Al-A’raf. 157.

Syaikh Taqiyuddin al-Husainiy mencontohkan seperti ular, kala jengking, kera, kutu dan semacamnya. Kifayah al-Akhyar, 1/523

  1. Hewan air jika dia keluar dari air tidak bisa hidup kecuali seperti hidupnya hewan yang disembelih maka hukumnya halal dan tidak butuh untuk disembelih, walaupun hewan air tersebut tidak bebentuk seperti ikan, kecuali buaya, kalau buaya haram hukumnya. Kifayah al-Akhyar :1/687

Makanan yang dihalalkan oleh agama tentu memiliki guna yang bermanfaat positif bagi kelangsungan hidup jiwa ataupun karakter  manusia. Dan sebaliknya, makanan yang diharamkan memiliki efek berbahaya bagi kelangsungan hidup jiwa ataupun karakter .

ISLAM KAFFAH

45 Ribu Muslim Palestina Sholat Jumat di Masjidil Aqsa

Ribuan warga Palestina dari 1948 Menduduki Palestina, al-Quds (Yerusalem) dan Tepi Barat. Mereka melakukan shalat Jumat di Masjidil Aqsa di Al Quds yang diduduki.

Dilansir di AhlulBayt News Agency (ABNA), Sabtu (20/11), Departemen Wakaf Islam di Al Quds mengatakan sekitar 45 ribu Muslim menghadiri sholat Jumat. 

Pelaksanaan ibadah di situs suci Islam dilakukan di tengah langkah-langkah keamanan Israel yang ketat, baik di gerbang Aqsa dan di Kota Tua, yang mengarah ke situs suci. 

Mereka juga menggarisbawahi petugas polisi Israel melakukan pemeriksaan identitas atau ID semua orang yang ingin memasuki Kompleks Aqsa. 

Sebelumnya, diberitakan pemukim Yahudi, termasuk mahasiswa institut Ibrani, bersama pengawalan polisi melakukan upacara keagamaan di Masjid Al Aqsa. Mereka masuk secara berkelompok melalui Gerbang Maghariba, di saat seluruh Muslim dilarang memasuki Baitul Maqdis.  

Masjid Aqsa dilaporkan mengalami penodaan setiap hari oleh pemukim Yahudi dan pasukan polisi di pagi dan sore hari, kecuali pada Jumat dan Sabtu. 

Mereka secara rutin melakukan ritual keagamaan mereka di Al Quds, yang menurut kepercayaan Yahudi merupakan Bait Suci yang dibangun Nabi Sulaiman. 

Selain waktu tur pagi warga Yahudi, biasanya dimulai pukul 10.30 pagi, polisi Israel akan menutup Gerbang al-Maghariba. Gerbang akan dibuka kembali pada sore hari untuk ibadah malam para pemukim Yahudi.  

Selama kehadiran pemukim di dalam Kompleks Masjid, hanya jamaah Muslim yang dikenakan pembatasan atau bahkan dilarang masuk ke masjid. 

Umat Muslim diwajibkan meninggalkan kartu identitas mereka di pintu masuk dan hanya dapat mengambilnya kembali ketika meninggalkan masjid.

Sumber: abna24 

IHRAM

Tiga yang Dibenci

Sesungguhnya Allah meridhai kalian dalam tiga perkara dan benci kepada kalian dalam tiga perkara.

Allah SWT menyuruh manusia agar mereka beriman dan bertakwa kepada-Nya. Umumnya, para ulama mendefinisikan takwa sebagai berikut.

Menjaga diri dari perbuatan maksiat, meninggalkan dosa syirik, perbuatan keji, dan dosa-dosa besar. Dalam pengertian lain, takwa ialah melaksanakan segala perintah Allah serta menjauhi segala larangan-Nya.

Berkaitan dengan itu, ada sejumlah perkara yang disukai oleh Allah. Dan, ada pula hal-hal yang dibenci-Nya.

Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah meridhai kalian dalam tiga perkara dan benci kepada kalian dalam tiga perkara. Allah meridhai kalian jika kalian (pertama) beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. (Kedua) jika kalian berpegang teguh kepada agama-Nya dan tidak berpecah belah. (Ketiga) jika kalian saling menasihati kepada orang yang diserahkan kepadanya urusanmu.”

Kabar Angin

Masih dalam redaksi hadis yang sama, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci bila kalian qiila wa qaala, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim dan Ahmad).

Qiila wa qaala dalam sabda Nabi SAW itu secara harfiah ialah “katanya-katanya”. Maksudnya, informasi yang belum jelas sumber dan atau kebenarannya.

Suatu berita hendaknya diperjelas sebelum disebarluaskan. Bila tidak demikian, ia hanya menjadi kabar angin atau desas-desus. Dan, seperti disampaikan hadis tersebut, Allah membenci sikap yang percaya pada informasi yang tidak tentu sumbernya.

Dalam Alquran surah an-Nur ayat 11, Allah berfirman, yang artinya, “Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”

Banyak Tanya

Bila ada yang tidak atau belum dimengerti, maka seseorang dianjurkan bertanya. Namun, apabila pertanyaan yang sama diajukan berulang-ulang kali, itu dapat menjurus pada kesia-siaan atau bahkan konflik.

Contohnya, para Bani Israil yang banyak tanya tentang perkara sapi betina. Kisah ini diabadikan dalam Alquran surah al-Baqarah.

Waktu itu, Nabi Musa AS sudah menyampaikan kepada mereka tentang perintah Allah, yakni hendaknya seekor lembu betina disembelih. Dengan begitu, Allah akan menunjukkan kepada orang-orang ini kebenaran perihal kasus terbunuhnya seorang dari mereka.

Bukannya langsung melaksanakan apa-apa yang diperintahkan, Bani Israil ini justru banyak tanya tentang sifat sapi yang hendak disembelih itu. Pada akhirnya, jawaban yang mereka peroleh justru kian mempersulit diri sendiri. Padahal, sebelumnya Allah menghendaki kemudahan bagi mereka, tetapi mereka sendiri yang memperumit keadaan.

Harta Nirfaedah

Hal ketiga yang dibenci Allah Ta’ala ialah menyia-nyiakan harta. Idha’atul maali dapat dimaknai sebagai membelanjakan harta yang dimiliki secara boros serta tidak pada jalan yang diridhai-Nya. Apalagi, bila harta tersebut diperoleh dengan cara-cara yang haram atau syubhat.

Dalam surah al-A’raf ayat 31, Dia berfirman, yang artinya, “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Sikap boros juga disamakan dengan perilaku setan. Ini ditegaskan dalam Alquran surah al-Isra ayat 27, yang berarti, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” Semoga kita semua terhindar dari ketiga sifat yang dibenci Allah Azza wa Jalla ini.

OLEH HASANUL RIZQA

REPUBLIKA ID

Transformasi Pengelolaan Keuangan Haji Indonesia

Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji menjelaskan bahwa keuangan haji adalah semua hak dan kewajiban Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang terkait penyelenggaraan ibadah haji serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, baik yang bersumber dari jemaah haji maupun sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Jumlah dana haji Indonesia yang dikelola setiap tahun meningkat. BPKH mencatat per akhir Mei dana haji yang dikelola mencapai 150 triliun rupiah. Hal tersebut merupakan imbas dari animo masyarakat yang sangat tinggi untuk melaksanakan ibadah haji. Meskipun biaya haji tiap tahun meningkat, bahkan pada tahun 2021 kenaikan sebesar 9,1 juta rupiah tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk berhaji.

Tingginya animo masyarakat untuk berhaji berdampak pada waiting list yang semakin panjang, seperti Provinsi Aceh yang harus menunggu 32 tahun untuk pemberangkatan (haji.kemenag.go.id). Keinginan untuk berhaji bukan hanya milik orang kaya saja, masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah kebawah rela menabung hingga puluhan tahun agar dapat melaksanakan ibadah haji. Untuk melayani hasrat masyarakat berhaji, pemerintah dari tahun ke tahun telah membuat, memperbaiki, mengatur regulasi hingga mekanisme pengelolaan keuangan haji. Lantas bagaimana pengelolaan keuangan haji Indonesia selama ini?

Sebelum BPKH Lahir

Menilik ke kebelakang, pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sudah dilaksanakan jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak ada catatan pasti kapan pelaksanaan haji untuk pertama kalinya (M. Arief Mufraini, 2021). Penyelenggaraan haji oleh pemerintah melalui proses panjang dengan mengikuti dan menyesuaikan perkembangan negara.

Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat yang akan berhaji menggunakan kapal hingga berbulan-bulan agar sampai ke Kota Makkah. Pada zaman Belanda, masyarakat yang akan berhaji dapat menaiki Kapal Kongsi Tiga milik Belanda, meskipun pelayanan maskapai tidak memuaskan seperti terjadi penipuan dan pemerasan (Zainal 2012: 86). Baru tahun 1950 dengan dibentuknya Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (PPHI) yang di ketua oleh KHM Sudjak seluruh rangkaian penyelenggaraan ibadah haji menjadi tanggung jawab pemerintah melalui Kementerian Agama. Masyarakat yang akan berhaji pun dapat memilih moda transportasi yang akan digunakan baik pesawat terbang maupun kapal laut. Kedudukan PPHI dikuatkan dengan dikeluarkannya surat Kementerian Agama Nomor 3170 tanggal 6 Februari 1950 yang ditanda tangani oleh Menteri Agama RIS K.H Wahid Hasyim disusul dengan surat edaran Menteri Agama di Yogyakarta Nomor A.III/I/648 tanggal 9 Februari 1950.

Pada Tahun 1964 pemerintah membubarkan PPHI dan menyerahkan kewenangan haji kepada Dirjen Urusan Haji (DUHA). Pada tahun itu juga biaya haji naik dua kali lipat karena tidak ada lagi subsidi dari pemerintah. Biaya haji menggunakan kapal laut ditetapkan sebesar Rp400.000 sedangan pesawat terbang sebesar Rp1.400.000 (Zainal, 2012: 86).

Tahun 1966 sejak Orde Baru berkuasa, sistem penyelenggaraan haji dibenahi. Mulai dari struktur tata organisasi, pengalihan penyelenggaraan haji sampai penetapan besaran biaya haji. Melalui Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun 1967 Menteri Agama berwenangan terhadap penyelenggaraan haji dan menentukan besarnya biaya haji, meskipun di tahun 1968 biaya haji kembali ditetapkan oleh DUHA dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1968. Pada tahun ini banyak calon jemaah haji swasta gagal berangkat karena biro perjalanan haji swasta memiliki keterbatasan moda transportasi laut. Bercermin dari permasalahan tersebut pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji diproses dan diurus oleh pemerintah.

Seiring berjalannya waktu, penyelenggaraan ibadah haji terus berkembang. Pada tahun 1999 pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 yang berisi tentang pembagian pelaksanaan haji menjadi haji regular dan haji khusus serta membentuk Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang diketuai oleh Menteri. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 dinyatakan Menteri Agama sebagai koordinator yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan haji dibantu oleh Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah (DPHU).

Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan keuangan haji pemerintah menggunakan strategi kebijakan investasi Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk melalui MoU antara Departemen Keuangan dengan Departemen Agama yang ditanda tangani pada 22 April 2009 (Kementerian Agama, 2021:188). Pada 17 Oktober 2014, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Undang-undang tersebut memisahkan aspek penyelenggaraan ibadah haji dibawah DPHU Kementerian Agama, dimana aspek pengelolaan keuangan menjadi domain BPKH.

Lahirnya BPKH

Terbentuknya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, meningkatkan rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH, serta meningkatkan manfaat bagi umat Islam. BPKH dibentuk pada bulan Juni 2017 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74/P Tahun 2017 dalam rangka mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisen, transparan, akuntabel dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sumber:

bpkh.go.id

haji.kemenag.go.id

Doa Sesudah Sholat Dhuha

Sesudah melaksanakan sholat sunnah, dianjurkan bagi umat Islam untuk bermunajat. Tujuannya adalah untuk menambah keimanan, ketakwaan, dan juga memohon agar segala harapan dapat diijabah oleh Yang Maha Kuasa.

Dalam kitab Irsyad At-Thalabah karya kumpulan santri Pondok Pesantren Daarul Rahman disebutkan bacaan doa sesudah sholat dhuha di pagi hari. Berikut doanya:

“اَللّٰهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَاَللّٰهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقِى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ”

Allahumma inna ddhuha-a dhuha-uka walbaha-a baha-uka, wal jamaala jamaaluka wal quwwata quwwatuka wal qudrata qudratuka wal ishmata ishmatuka, allahumma in kaana rizqiy fi as-samaa-i fa-anzilhu wa in kaana fil ardhi fa akhrijhu wa in kaana mu’siran fayassirhu wa in kaana haraaman fathahirhu wa kn kaana baidan faqarribhu bihaqqi dhuhaaika wa bahaaika wa jamaalika wa quwwatika wa qudratika aatinii maa ataita bihi ibadaka as-shaalihin,”

Yang artinya, “Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu. Ya Allah, apabila rezekiku ada di langit maka turunkanlah, apabila dia ada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila dia sulit bagiku maka mudahkanlah, apabila dia haram sucikanlah, apabila jauh maka dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, keagungan-Mu, keindahan-Mu, dan kekuatan-Mu. Berikanlah kepdaku apa yang Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih,”.

Sholat dhuha juga dikenal oleh mayoritas umat Muslim sebagai sholat yang identik dengan permohonan rezeki. Namun tetap saja di dalam hati dan niat, setiap apapun ibadah yang dilakukan harus diniatkan dengan dalam hanya untuk Allah SWT.

IHRAM