Anak Jalanan; Tanggung Jawab Siapa?

Anak adalah titipan Tuhan. Ia menjadi asset sangat berharga baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah mengatakan doa anak shaleh pahalanya mengalir tidak terputus untuk orang tuanya di akhirat. Sedangkan di dunia, anak juga bisa menjadi kebanggaan orang tua dengan segala prestasi kerja yang memberikan manfaat untuk keluarga, negara dan bangsa.

Tetapi, tentu ada juga kewajiban yang harus diselesaikan oleh orang tua untuk mengayomi, mengasihi dan memenuhi segala kebutuhan anak. Terutama kebutuhan yang berkaitan dengan kemaslahatan kesehatan dan pendidikan. Seperti makan, biaya pendidikan dan lain-lain. Sebab, apabila anak ditelantarkan maka orang tua menanggung dosa yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.

Banyak kita lihat dan ini menjadi pemandangan akrab di tanah air. Yaitu, adanya sekelompok anak-anak yang mengalami nasib kurang beruntung. Mereka menjadi penghuni persimpangan lampu merah sambil meminta sedekah atau mengamen, di terminal-terminal, di bis kota, dan tempat-tempat keramaian yang lain.

Banyak faktor yang melatari, bisa karena orang tuanya tidak acuh dan juga karena orang tuanya telah meninggal. Lalu, terlepas dari semua faktor penyebabnya, sebenarnya siapa yang seharusnya bertanggungjawab untuk mengatasi problem anak-anak jalanan?

Pertama adalah kewajiban orang tua untuk mengasuh dan menafkahi  anak-anaknya, khususnya yang belum mencapai usia baligh. Titah Allah, “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan patut”. (al Baqarah; 233).

Rasulullah bersabda, “Seorang laki-laki adalah pemimpin yang bertanggungjawab atas keluarganya dan akan diminta pertanggungjawaban untuk itu. Sedangkan perempuan bertanggungjawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya serta akan diminta pertanggungjawabannya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, apabila anak-anak jalanan tersebut karena memang tidak dihiraukan oleh orangtuanya, atau karena orang tuanya telah meninggal dan ia tidak memiliki keluarga, maka yang bertanggungjawab adalah masyarakat.

Dalam kitab al Bahjah al Wardiyah (1/13), setelah penduduk atau khalayak ramai mengambil anak-anak tersebut, lalu diketahui masih ada orang tua atau keluarga yang masih sanggup merawatnya, anak tersebut harus diserahkan kepada orang tua atau keluarganya tersebut.

Imam Nawawi dalam al Minhaj (1/259) menambahkan, anak yang tidak memiliki orang tua atau tidak memiliki orang tua asuh, entah keluarga atau orang lain, maka masyarakat berkewajiban untuk memungut, mengasuh dan merawatnya dengan layak. Selanjutnya, yang paling berhak mengasuh mereka adalah orang yang adil, bertanggungjawab dan cakap.

Dalam Syarah al Bahjah al Wardiyah (4/13) ditulis, apabila masyarakat enggan atau tidak memiliki kemampuan untuk merawat, mereka tetap berkewajiban mengentas anak-anak terlantar dari jalanan kemudian diserahkan kepada pemerintah.

Bagaimana dengan anak-anak yang menjadi korban premanisme. Mereka dibajak oleh para preman untuk mengemis dan meminta-minta di jalanan dan hasilnya tentu saja sebagian besarnya harus disetor kepada preman tersebut?

Jawabannya ada dalam kitab Mughni al Muhtaj (2/418). Anak-anak yang menjadi budak premanisme menjadi kewajiban pemerintah untuk mengentas mereka dari kungkungan tangan-tangan kejam para preman yang memaksa mereka untuk bekerja, mengamen atau mengemis. Bila orang tuanya masih ada, atau ada kerabat yang bisa merawatnya, anak tersebut diserahkan kepada mereka. Jika tidak, dicarikan orang tua asuh yang dapat menjamin kemaslahatan hidup anak.

Kewajiban terhadap masyarakat ini merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar. Maka, apabila khalayak banyak diam dan anti pati terhadap nasib anak-anak jalanan, tentu dosa karena abai akan perintah agama. Pengabaian terhadap mereka akan menjadi penyebab munculnya berbagai masalah kemanusiaan. Dan, sangat mungkin mereka akan direkrut oleh kelompok radikal untuk dijadikan pelaku terorisme.

Supaya tidak kehilangan asset bangsa yang berharga, kita semua harus peka terhadap fenomena anak-anak jalanan. Sebab bangsa ini butuh terhadap mereka untuk melanjutkan estafet perjalanan dan pembangunan bangsa ke depan. Dan, supaya mereka tidak direkrut oleh kelompok radikal untuk menghancurkan agama dan bangsa dari dalam.

ISLAM KAFFAH

Sang Titipan

“Ya Rasulallah”, demikian Ummu Sulaim bergegas menemui Sang Nabi ketika beliau tiba di Madinah dalam hijrah, “Semua lelaki dan perempuan penduduk Yatsrib telah menghaturkan hadiah kepadamu. Namun aku sungguh tak memiliki apa-apa untuk dipersembahkan. Maka inilah putraku Anas ibn Malik. Bahagiakanlah kami dengan menjadikannya sebagai pelayanmu.”

Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menerima wakaf Ummu Sulaim itu dengan berbahagia. Beliau jadikan Anas sebagai sebaik-baik khadam, dan beliau perlakukan Anas dengan sebaik-baik keadaban. “Sepuluh tahun aku berada di rumah Rasulullah”, ujar Anas kelak, “Dan tak pernah sama sekali beliau menegurku dengan kata-kata, ‘Mengapa kau berbuat ini?’ atau ‘Mengapa tak kaukerjakan itu?’”.

Sejatinya, Anas bukan hanya menjadi pelayan, namun juga seakan dialah putra kesayangan dan murid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang paling dekat. “Kami melihat Anas ibn Malik seakan-akan dia adalah bayang-bayang Rasulullah yang mengikuti beliau ke manapun pergi”, demikian kesaksian beberapa sahabat. “Tak ada yang shalatnya lebih mirip Rasulullah”, begitu kata Abu Hurairah, “Daripada putra Ummu Sulaim.”

Demikianlah. Selama sepuluh tahun, detak-detik kehidupan Anas ibn Malik berdenyut dan berdentam bersama derasnya wahyu dan luhurnya nubuwwah.Detak dan detiknya adalah lapis-lapis keberkahan.

Betapa berbahagianya dia menerima doa Rasulullah, “Ya Allah panjangkanlah umurnya, perbanyaklah anak dan hartanya, serta berkahilah baginya di dalam kesemua itu.” Maka Anas hidup hingga usia seratus tahun atau lebih, sentausa di tengah keluarga besarnya, sejahtera dengan kecukupan yang penuh berkah.

Dan Anas tahu, di rumah Rasulullah itu dia menghirup udara yang amat berharga, berada di antara debu-debu yang sangat bernilai, dan mengeja detak-detik yang penuh dengan lapis-lapis keberkahan. Maka dia mengerahkan segenap indranya untuk mengambil ayat-ayat ilmu, titis-titis rizqi, dan gerak-gerak ‘amal dari Sang Nabi, mendekapnya bagai permata di dalam jiwa, menuangkannya sebagai daya bagi raga.

Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan air bekas mandi Rasulullah, lalu mencampurkannya ke dalam air mandinya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan keringat Rasulullah, dan mencampurkannya ke dalam minyak wangi yang dibalurkan ke sekujur badannya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan rambut yang jatuh, gigi yang tanggal, dan benda-benda peninggalan Rasulullah dari sandal hingga surbannya, untuk kelak dia wasiatkan diikutsertakan dalam penguburan dirinya.

Tapi yang paling berkah dari itu semua adalah, bahwa dari Anas ibn Malik kelak, ummat ini berhutang 2286 hadits yang dia riwayatkan. Betapa berharga matanya yang menyaksikan, telinganya yang menyimak, dan akalnya yang memahami sepanjang  detak-detik kebersamaannya dengan Rasulullah. Kini, tiap kali hadits-hadits itu ditulis, dihafal, diajarkan, dan diamalkan oleh ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas ibn Malik berhak atas pahala yang tak henti mengalir hingga hari kiamat.

Sang titipin, menjelma menjadi mata air ilmu dan samudra keberkahan.*

Oleh: Salim A. Fillah  

Twitter @Salimafillah
{dalam Inspirasi, Rajutan Makna}

HIDAYATULLAH

Mungkinkah Ulama Menjadi Teroris? Inilah Kriteria Ulama yang Sebenarnya

Sebelum pertanyaan ini dijawab, lebih dulu harus tahu definisi ulama. Ulama secara etimologi merupakan bentuk jamak (plural) dari isim fa’il ‘aalim dari akar akata ‘ilmu yang berarti pengetahuan. ‘Aalim artinya orang yang berpengetahuan. Dengan demikian, ulama salah orang-orang yang memiliki pengetahuan. Dari makna bahasa ini maka semua orang yang pintar dalam disiplin ilmu apa saja disebut ulama. Namun, menurut istilah ulama kemudian lebih spesifik pada mereka yang pintar ilmu agama beserta pengamalannya.

Imam Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddinnya menjelaskan, ulama adalah orang-orang yang tekun mengerjakan ibadah, Zuhud, menguasai ilmu akhirat, mengerti kemaslahatan umat (ilmu dunia), dan mempergunakan ilmunya untuk mengabdi kepada Allah.

Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Ajibah, ulama adalah orang-orang yang pada dirinya melekat tiga karakter sekaligus. Yakni, ‘alim atau menguasai ilmu agama, ‘abid atau ahli ibadah dan ‘arif yang berarti meneladani akhlak Rasulullah, seperti zuhud (tidak memiliki ketergantungan kepada agama), wara’ (menjaga kehormatannya), hilm (toleran dan lapang hati) dan mahabbah (cinta kepada Allah dan kepada semua yang dicintai-Nya).

Dengan demikian, yang disebut ulama adalah mereka yang memahami ilmu keagamaan sampai ke dasarnya yang paling dalam, bukan mereka yang riuh dipermukaan. Orang-orang seperti ini yang disebut “Al Ulama Waratsatul Anbiya”.

Mungkinkah ulama menjadi teroris?

Karena ulama adalah orang-orang yang berpengetahuan mendalam terhadap ilmu agama, maka seluruh tindakannya didasarkan kepada al Qur’an dan hadis dengan pembacaan yang syamil dan komprehensif.

Dalam konteks keragaman; agama, suku, etnis dan golongan, ulama pasti mendasarkan pada dua sumber hukum pokok dalam Islam yakni al Qur’an dan hadis.

Titah-Nya, “Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa semua manusia hingga mereka menjadi orang-orang beriman semua?”. (QS. Yunus: 99).

“Dan tidaklah kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta”. (QS. al Anbiya: 197).

Kalau begitu, umat Islam tidak perlu berdakwah? Tidak demikian. Justru tidak ada yang mampu menyamai ketulusan dan semangat dakwah Nabi. Amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh Nabi tidak ada yang dapat membandingi, tetapi beliau tidak menggunakan cara-cara yang mungkar. Rasulullah selalu mendahulukan akhlak mulia dalam setiap dakwahnya. Bukan dengan kekerasan dan intimidasi. Justru karena itu, beliau sukses memikat manusia untuk memeluk agama Islam.

Ulama pewaris Nabi juga begitu. Setiap langkah dakwahnya selalu meniru Nabi. Mengedepankan keramahan, toleransi dan kearifan. Latar belakang penguasaan ilmu agama yang baik menjadi modal bagaimana cara berdakwah yang memang dituntunkan oleh Baginda Nabi. Tidak mencaci, serta ramah. Beda dengan penganut paham radikalisme yang selalu menuding pihak lain dalam posisi bersalah. Mereka melakukan justifikasi kebenaran yang dipahami sebagai kebenaran absolut. Padahal, mereka tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang baik.

Sampai disini telah jelas, ulama sejati tidak mungkin melakukan tindakan terorisme. Kemapanan ilmu agama yang dimiliki menjernihkan pemahaman mereka tentang ajaran Islam yang sangat membenci radikalisme dan terorisme karena memang bukan ajaran Islam. Maka, kalau baru-baru ini ada anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang ditangkap karena kasus terorisme, sejatinya ia adalah oknum yang disusupkan oleh kalangan kaum radikal ke tubuh MUI supaya tujuan jahat mereka lebih mudah untuk direalisasikan.

ISLAM KAFFAH

Soal Umroh, Menag: Insya Allah Ada Kabar Baik

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas memberi kabar baru dari Arab Saudi. Menag mengatakan, pembicaraan dengan otoritas haji dan umrah Arab Saudi mengalami kemajuan yang menggembirakan.

Hal ini disampaikan Menag usai bertemu dengan Menteri Haji dan Umroh Arab Saudi, HE Taufig F Alrabiah di Makkah pada Senin (22/11).

“Alhamdulillah, hari ini saya bertemu dengan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi di Makah. Menteri Taufig mengatakan bahwa Indonesia adalah prioritas dalam masalah haji dan umrah,” kata Menag melalui pesan tertulis kepada Republika, Senin (22/11) malam.

Menag berharap jamaah Indonesia bisa segera melepas kerinduannya untuk menunaikan ibadah umrah. Menurut Menag, hasil pertemuannya dengan Menteri Haji Arab Saudi cukup progresif dan efektif.

Ia menjelaskan, hal itu tidak terlepas dari diskusi awal (Senior Official Meeting) yang dilakukan Wakil Menteri Haji Arab Saudi dengan tim Kementerian Agama (Kemenag) yang dikomandoi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Staf Khusus Menteri Agama, dan tim Konsul Haji Jeddah.

Menag mengatakan, diskusi kedua pihak akan terus dilakukan secara intensif. Kemenag akan menyusun skenario dan timeline pemberangkatan jamaah umrah. Penerapan protokol kesehatan atau prokes akan menjadi aspek paling penting dalam pengaturan penyelenggaraan umrah. Rumusan itu selanjutnya disampaikan kepada Kementerian Haji Arab Saudi untuk dipelajari.

“Menteri haji tadi mengapresiasi progress pembahasan awal yang sudah dilakukan Wakil Menteri Haji dengan tim Kemenag. Kita berharap semoga persiapan lanjutan baik di Arab Saudi dan Tanah Air bisa segera selesai sehingga penyelenggaraan umroh bisa segera dibuka,” ujarnya.

Selain membahas penyelenggaraan umroh, pertemuan dua menteri ini juga mendiskusikan upaya peningkatan kerja sama bilateral dalam bidang haji dan umroh.

“Kami memiliki visi yang sama dalam meningkatkan kerja sama seperti di bidang manasik haji atau penyuluhan secara terpadu,” ujar Menag.

Ikut hadir dalam pertemuan tersebut, Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto, Sekjen Kemenag Nizar Ali, Dirjen PHU Kemenag Hilman Latif, Konjen RI Jeddah Eko Hartono, Konsul Haji dan Kuasa Usaha ad interim KBRI Riyadh Arief Hidayat.

IHRAM

Kenalilah Siapa Dia : Tips Memilih Teman Akrab

Wahai saudariku ….

Dalam melewati lorong waktu hidupmu, menyusuri jalan yang penuh liku dan tipu daya, tak sedikit pula duri tajam dan bukit terjal yang siap meluluhlantakkan semangat mencari kebenaran ilahi. Tentunya ini tidak mudah engkau lalui sendiri; engkau butuh seorang teman. Bersamanya engkau bisa saling membantu, bahu-membahu menuju akhir perjalanan hidupmu. Namun tidak berhenti sampai di sini. Mengapa?

Teman itu layaknya cermin, jika engkau ingin mengetahui dirimu, lihatlah dengan siapa engkau berteman. Rasul shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

المؤمن مر آه (اخيه)المؤمن

Seorang mukmin merupakan cerminan saudaranya yang mukmin.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 239; Abu Dawud, no.4918 [Ash-Shahihah, no. 926])

Memilih teman bukanlah perkara remeh, Islam memerintahkan kita untuk memilih siapa yang menjadi teman kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

المرء على دين خليله فلينظر احدكم من يخالل

Seseorang itu berada pada agama teman karibnya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapakah yang dia jadikan teman karibnya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad)

Ketahuilah bahwa tidak semua orang layak dijadikan teman karib. Karena itu, orang yang dijadikan teman karib harus memiliki sifat-sifat yang memang menunjang persahabatan:

1. Berakidah lurus dan bermanhaj ahlus sunnah wal jama’ah

Ini menjadi syarat mutlak memilih teman karib. Kita semua tahu kisah kematian Abu Thalib, paman Rasulullah ‘alaihish shalatu was salam. Dalam keadaan terbaring menghadapi kematiannya, ada tiga orang yang menyertainya, mereka adalah Rasulullah ‘alaihish shalatu was salam, Abu Jahl, dan Abdullah bin Abi Umayyah. Dua orang terakhir itu adalah tokoh kafir Quraisy.

Rasulullah mengatakan, “Paman, katakan ‘laa ilaha illa llah‘! Satu kalimat yang akan aku jadikan bahan pembelaan bagimu di hadapan Allah.”

Sedangkan dua tokoh kafir itu menimpali, “Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib?”

Tanpa henti Rasul ‘alahi shalatu wa salam menawarkan kalimat itu, namun dua tokoh kafir pun terus mempengaruhi. Sampai akhirnya Abu Thalib enggan mengucap laa ilaha illallah dan tetap memilih agama Abdul Muthalib. Ia pun mati dalam kekufuran. (Lihat hadits riwayat Al-Bukhari, no.1360; Muslim, no.131; An-Nasai, no. 2034)

Cobalah lihat buruknya pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya! Padahal Abu Thalib sudah membenarkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hatinya.

2. Orang yang berakal

Karena akal/kepandaian merupakan modal yang utama. Tidak ada kebaikan bergaul dekat dengan orang bodoh, karena bisa saja dia hendak memberikan manfaat kepadamu tapi justru memberi madharat. Yang dimaksud “orang berakal” dalam konteks ini adalah orang yang mengetahui segala urusan sesuatu sesuai dengan proporsinya. Manfaat bisa diambil dari dirinya atau dari pemahaman yang diberikannya.

3. Baik akhlaknya

Ini merupakan keharusan sebab berapa banyak orang berakal yang dirinya lebih banyak dikuasai amarah dan nafsu, lalu dia tunduk padanya sehingga tidak ada manfaat bergaul dengannya.

4. Bukan orang fasik

Orang fasik tidak pernah merasa takut kepada Allah. Orang yang tak takut kepada Allah tentu sulit dipercaya. Selain itu, sewaktu-waktu orang lain tidak aman dari tipu dayanya.

5. Bukan ahli bid’ah

Persahabatan dengannya harus dihindari karena bid’ah yang dilakukannya.

6. Taat beribadah dan menjauhi perbuatan maksiat

واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم با الغداة والعشي يريدون وجحه

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di waktu pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoannya.” (QS. Al-Kahfi : 28)

7. Banyak ilmu atau dapat berbagi ilmu dengannya

Berteman dekat dengan orang yang punya dan mengamalkan ilmu agama akan memberi pengaruh positif yang besar pada diri seseorang.

8. Tidak rakus dunia

Itulah sebagian sifat-sifat teman karib yang harus engkau perhatikan. Jangan sampai dirimu salah memilih sehingga engkau menyesal di dunia atau pun di akhirat.

الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Teman -teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf : 67)

Rujukan:


*) Catatan dari penulis: Pengambilan hadits dari buku dan sumber lainnya, bukan dari kitab aslinya.

***

Artikel Muslimah.Or.Id

Penulis: Ike Purnama Dewi Yuli (Ummu Hanif Al-Fatih)
Murojaah: Ustadz Abu Hatim Sigit

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/4865-kenalilah-siapa-dia-tips-memilih-teman-akrab.html

Sosok Pedagang yang Bertauhid

Bagi pedagang yang bertauhid kata amanah merupakan sifat mulia yang idealnya diwujudkan setiap pedagang muslim. Kunci utamanya agar bisnisnya menuai keberkahan adalah meyakini sepenuh hati bahwa Allah Ta’ala yang menurunkan rezeki dan mengaturnya sedemikian sempurna. Ini bukti tauhid rububiyah yang harus diimani setiap mukmin. Selain itu dalam berniaga dia juga harus berdoa dan bertawakal kepada Allah Ta’ala, menempuh jalan jalan yang halal agar perniagaannya dicintai Allah Ta’ala.

Dari hadits Jabir radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَسْتَبْطِئُوْاالرِّزْقَ, فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ العَبْدُ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ رِزْقٍ هُوَ لَهُ, فَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ, أَخْذِ الحَلاَلِ وَ تَرْكِ الحَرَامِ

“Janganlah menganggap rezeki kalian lambat turun, sesungguhnya tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezekinya. Carilah rezeki dengan cara yang baik (dengan) mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang haram.” (HR. Ibnu Hibban [3239, 3241], Al Hakim [II/4], Al Baihaqi [III/156-157]).

Pedagang yang bertauhid percaya bahwa rezeki tak akan salah alamat. Semua telah ditentukan Allah Ta’ala dan seorang mukmin harus berprasangka baik. Ia juga percaya bahwa ketika ia dizalimi oleh sesama pedagang, bahwa yang menentukan rezeki hanya Allah Ta’ala semata.

Syukurilah rezeki yang telah diberikan Allah dan tidak sepantasnya membanding-bandingkan dengan jatah orang lain, bertaqwalah secara total pada Allah Ta’ala.

Dari sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ, ورُزِقَ كَفَافًا, وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya” (HR. Muslim no. 1654).

Tatkala qadarullah keuntungan Anda suatu ketika sedikit atau bahkan merugi, janganlah mengeluh mencari kambing hitam menyalahkan orang lain. Ber-husnuzhan-lah, mungkin ini momen indah agar Anda intropeksi diri dan mulai berbenah diri. Barangkali ada sesuatu yang salah dan perlu dievaluasi dalam muamalah jual beli Anda.

Syuraih meriwayatkan bahwa Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pada saat menjadi khalifah melakukan pemeriksaan di kota Kufah sambil membawa tongkat, ia berkata, “Wahai para pedagang, beli dan juallah dengan cara yang benar niscaya kalian akan selamat. Jangan tolak keuntungan yang sedikit, jika kalian tolak, kuatir kalian tidak mendapat keuntungan yang besar” (Al Muttaqi Kanzul Ummal, jilid X, hal. 282).

Atau suatu ketika pembeli berutang karena terpaksa, maka niatkanlah ikhlas karena Allah Ta’ala, Anda telah menolong saudara sesama muslim. Bersikaplah santun dan mudahkanlah urusannya niscaya Allah Ta’ala akan memudahkan urusan Anda di dunia dan di akhirat. Jangan bersedih, ketika Anda berbuat kebaikan. Demikian pula saat diajak bermaksiat seperti membuat nota palsu, menyuap, atau memanipulasi produk, dan bentuk kezaliman lainnya, maka tolaklah dengan penuh keyakinan, pedagang bertauhid pantang menerobos dosa.

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS Al Anfal: 27).

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “Seluruh pekerjaan yang diamanahkan Allah kepada setiap hambaNya yaitu perkara fardhu, maka Allah berfirman: ‘janganlah kalian khianati, yakni jangan kalian mencuranginya’” (Tafsir Ibnu Abi Hatim, 5/1684).

Semoga dengan menjadi pedagang bertauhid niscaya Allah mengangkat derajat kita di dunia dan akhirat dan dikumpulkan bersama para nabi dan hamba yang shalih lainnya. Pebisnis yang tidak menggadaikan aqidahnya demi keuntungan dunia. Namun menggenggam tauhid meski harus mengorbankan kenikmatan dunia.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Mencari Kunci Rizki yang Hilang, Zainal Abidin Syamsudin, pustaka Imam Abu Hanifah, Jakarta, 2008

2. Harta Haram Muamalat Kontemporer, Dr. Erwandi Tarmizi, MA, BMI publishing, Bogor, 2016

3. Majalah As Sunnah, Edisi 02/IX/1426 H

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14186-sosok-pedagang-yang-bertauhid.html

Kunci Hidup Tenang: Menerima Ketetapan dari Allah

Seseorang yang bertawakal kepada Allah tidak akan putus asa.

Saat sebuah harapan atau rencana tidak berjalan sesuai keinginan, tidak sedikit orang yang jatuh dalam keputusasaan atau juga keterpurukan. Banyak juga yang menyalahkan Allah SWT atas hasil yang tidak sesuai keinginan ini. 

Kondisi ini sebenarnya banyak dijelaskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dalam Alquran. Sebuah perumpamaan dibuat di salah satu ayat:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216). 

Dilansir dari About Islam, yang menjadi penekanan dalam ayat ini adalah, “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Ayat yang menyiratkan untuk bertawakal atau mempercayai ketetapan Allah SWT. 

Seseorang yang telah bertawakal kepada Allah, tidak akan sampai terucap kata-kata putus asa seperti, “Kenapa ini terjadi padaku?,” atau “Jika ini terjadi..” Kalimat “Allah Maha Mengetahui” mengajarkan manusia untuk berserah diri dan menerima semua ketetapan Allah karena Dia yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. 

Ketika menerima dengan lapang qadar Allah, ada dua hal yang seseorang dapatkan. Pertama, orang itu akan mendapat ketenangan hati (sakinah) dalam hidup. Kedua, Allah akan senang dengan kita dan membantu kita bersama atas hasil yang didapat. 

Menantang Qadar

Jika sesuatu tidak terjadi persis seperti yang  dibayangkan, orang-orang yang menantang atau menolak takdir akan menjadi sangat frustrasi, tertekan, marah, dan mungkin melampiaskannya pada orang lain. Hal ini terjadi karena kurangnya sakinah dan tidak menerima situasi yang dialami.

KHAZANAH REPUBLIKA

Jika Kebutaan Telah Menjangkiti Hati

Mereka yang memang di hatinya telah mengendap penyakit sehingga selalu memandang bias pada siapapun yang di luar kelompoknya,  inilah kebutaan yang lebih parah

TIDAK  semua buta atau kebutaan akan membawa petaka atau kesengsaraan, sebab tak sedikit kita menyaksikan, betapa seorang yang buta ternyata mampu menjadi Penghafal Al-Qur’an, juga di bidang yang lain. Kekurangan indra penglihatan tidak menjadikan mereka kehilangan semangat, bahkan, subhanallah, mereka tidak menganggap itu sebagai sebuah kekurangan.

Beberapa tahun lalu, kita menyaksikan sebuah video yang viral, Muadz (11 tahun), seorang remaja buta sejak lahir dari Mesir yang menjadi penghafal Al-Qur’an. Ketika ditanya oleh Syaikh Fahd Al-Kandari tentang bagaimana perasaannya, dia menjawab: “Dalam shalat, aku tidak meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatanku, bukannya aku tak yakin pada Allah, bukan. Namun aku menginginkan yang lebih indah dari sekedar penglihatan.”

“Semoga ini menjadi keselamatan bagiku pada hari pembalasan (kiamat), sehingga Allah meringankan perhitungan (hisab) pada hari tersebut. Nanti saat berdiri di hadapanNya, takut dan gemetar, Allah menanyakan tentang nikmat penglihatan dan Dia akan bertanya “apa yang telah engkau lakukan pada Al-Qur’an ini?” Aku hanya berdoa semoga Allah meringankan perhitungan-Nya untukku pada hari kiamat kelak.” Jawaban remaja ini membuat Syaikh menangis tersedu-sedu.

Pendahuluan dan cerita di atas hanya sebuah pengantar agar kita mampu dengan kebersihan hati mengakui bahwa ketiadaan kekurangan penglihatan bukanlah sebab dan alasan untuk sebagai Insan yang memiliki akal dan nurani mengingkari dan menolak Kebenaran. Hati yang tulus dan jujur akan membimbing kita untuk tak akan pernah berbohong dan memutarbalikkan fakta, sekalipun kita tak mampu melihat.

Tak pernah ada dalam sejarah manusia selama berabad-abad ini, ada seseorang yang cuma karena kehilangan indra penglihatannya menjadikan dia berperilaku di luar batas kemanusiaan.  Namun, sejak beratus tahun lalu kita membaca sejarah, betapa banyak manusia yang  demi memuaskan hawa nafsunya bertindak diluar batas kemanusiaan, baik secara perorangan maupun kelompok.

Kebutaan Membawa Petaka

Di zaman super teknologi kini, di mana semua tak bisa luput dari catatan dan pemantauan, atau ada rekam  dan jejak digital, tak mampu mengubah mereka yang memang di hatinya telah mengendap penyakit sehingga selalu memandang bias pada siapapun yang di luar kelompoknya.  Inilah kebutaan yang lebih parah, karena secara indrawi mereka sempurna, tetapi hati dan akal mereka telah tertutup oleh kebencian akut.

Dalam masalah apapun, tak terkecuali dalam persoalan kebangsaan, mereka dalam kelompok buta hati ini tak akan pernah mampu -untuk tak disebut sebagai tak mau- memberikan solusi, apalagi jika solusi itu tak memberikan keuntungan secara finansial atau mengangkat nama mereka.

وَمَنْ كَانَ فِيْ هٰذِهٖٓ اَعْمٰى فَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ اَعْمٰى وَاَضَلُّ سَبِيْلًا

“Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).” (QS: Al-Israa, ayat 72).

Sebenarnya tak mampu memberikan solusi bukan sebuah aib. Tapi mereka, alih-alih memberikan solusi, biasanya tidak suka jika ada seseorang di luar kelompoknya mampu menawarkan solusi.  Kalau mereka sekedar mementahkan solusi orang lain, itu masih fair, yang dilakukan mereka adalah memfitnah, membuat citra jelek, membully, membuat opini sesat dan pembunuhan karakter.

Banyak kita temui di media social kedengkian-kedengkian dibungkus ceramah, kajian, dll. Memfitnah orang, kembaga sekolah, pondok pesantren, lembaga amal, ritual keagamaan –bahkan gelombong tuntutan pembubaran ormas Islam sekelas MUI– sudah menjadi sarapan keseharian mereka.

Tentu mereka yang diliputi kebutaan tidak sendirian dalam hal ini.  Dengan nada seperti suara koor, serempak, senada dan berbarengan, terlihat ada koordinasi, ada pembinaan secara masif.

Tidak pernah dalam sejarah republik ini ada sekelompok orang berani menuntut pembubaran MUI.  Tuntutan pembubaran MUI seperti ini hanya ada ketika zaman kejayaan PKI berkuasa.

Jika merujuk pada jenis dan hierarki sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka kedudukan Fatwa MUI bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Para Pembantu Presiden sering diutus untuk menanyakan sesuatu, bahkan Mentri Agama (Menag) tak akan pernah berani memutuskan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Qurban terkecuali setelah duduk bersama dengan MUI dan Perwakilan Ormas Islam.

Mencaci ulama dan Kiai serta intitusi MUI itu boleh jadi hanya  sebuah tujuan antara, karena tujuan akhir mereka adalah menghabisi Islam (Baca: agama). Apa yang kita khawatirkan amat sangat mungkin menjadi kenyataan di suatu hari nanti.

Siapapun bisa saja diam,  tetapi semua punya konsekwensi. Maka kami memilih bicara, karena diam  hanya akan membuat kebenaran terkubur dan sebaliknya yang hidup adalah kebathilan.

Jangan sampai Allah menutup mata, hati dan telinga kita dan dimasukkan dalam golongan mereka yang telah dikunci Allah dan tidak diberi hidayat. Na’udzubillah.

خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.” (QS: Al-Baqarah, ayat 7).*/Hamid Abud Attamimi

HIDAYATULLAH

Jumlah Minimal Jemaah Salat Jumat

Pada asalnya, salat berjemaah dianggap sah jika minimal dilaksanakan oleh dua orang. Karena secara bahasa, al-jama’ah sendiri dari kata al-ijtima’ yang artinya adalah sekumpulan orang. Dan dalam bahasa Arab, dua orang yang berkumpul sudah bisa disebut al-ijtima’.

Ini juga sebagaimana hadis dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ada seorang yang memasuki masjid untuk salat,

ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ

“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang salat ini?” Maka seorang lelaki pun berdiri untuk salat bersamanya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dua orang ini adalah jemaah.” (HR. Ahmad no. 22189, disahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Demikian juga dalam hadis Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,

أَتَى رَجُلَانِ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ، فَقَالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إذَا أنْتُما خَرَجْتُمَا، فأذِّنَا، ثُمَّ أقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُما أكْبَرُكُمَا

“Dua orang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka hendak melakukan safar. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika kalian kalian dalam perjalanan (dan akan mendirikan salat) maka azanlah dan ikamahlah, dan hendaknya yang lebih tua dari kalian yang menjadi imam.” (HR. Bukhari no. 630, Muslim no. 674).

Baca Juga:  Sunnah Menghadapkan Wajah ke Arah Khatib Shalat Jumat

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa dua orang saja sudah mencukupi untuk tercapainya salat berjemaah.

Namun, ulama berbeda pendapat tentang jumlah peserta salat jumat sehingga bisa sah disebut sebagai salat jumat.

Daud Azh-Zhahiri dan Asy-Syaukani rahimahumullah menguatkan bahwa batasan minimal jemaah salat jumat adalah 2 orang (1 imam dan 1 makmum) sebagaimana salat fardu.

Syekh Ibnu Badran Ad-Dimasyqi rahimahullah menjelaskan, “Terdapat beberapa riwayat dari Imam Ahmad tentang jumlah jemaah dalam salat jumat yang sah. Terdapat riwayat bahwa beliau mensyaratkan 7 orang (1 imam dan 6 makmum), dalam riwayat lain 5 orang (1 imam dan 4 makmum), dalam riwayat lain 4 orang (1 imam dan 3 makmum), dalam riwayat lain 3 orang jika di qoryah (kampung), namun tidak mencukupi jika di amshar (kota). Riwayat-riwayat ini disebutkan dalam kitab Al-Furu‘. Menurutku, angka-angka di atas, tidak didasari oleh dalil yang sahih, sehingga yang kuat adalah salat jumat paling minimal 3 orang (1 imam dan 2 makmum).” (Hasyiyah Al-Akhshar libni Badran, 127).

Pendapat ini juga di-rajih-kan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yaitu bahwa minimal salat jumat dan juga salat id adalah 3 orang, dengan 1 orang imam dan 2 orang makmum. Alasan beliau, karena kata “jama’ah” dalam bahasa Arab ini artinya “sekelompok orang” yang minimal jumlahnya 2 orang. Dan tercapai jama’ah jika makmumnya minimal ada 2 orang.

Namun, 3 orang tersebut haruslah orang-orang yang terkena kewajiban salat jumat. Yaitu, orang yang balig, berakal, dan mustauthin (orang yang bertempat tinggal).

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan,

واختلف العلماء في العدد المشترط لهما، وأصح الأقوال أن أقل عدد تقام به الجمعة والعيد ثلاثة فأكثر، أما اشتراط الأربعين فليس له دليل صحيح يعتمد عليه

Ulama khilaf (berbeda pendapat) mengenai jumlah yang dipersyaratkan (dalam jemaah salat id). Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwa jumlah minimal peserta salat jumat dan salat id adalah 3 orang atau lebih. Adapun mempersyaratkan 40 orang, maka ini tidak ada landasan dalilnya yang sahih.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 halaman 12).

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga mengatakan,

أقربُ الأقوال إلى الصواب: أنها تنعقد بثلاثة، وتجِب عليهم

Pendapat yang paling mendekati kebenaran, bahwa jumlah minimalnya adalah tiga orang, dan tiga orang ini harus orang yang sudah terkena kewajiban salat jumat.” (Asy-Syarhul Mumthi’, 5/41).

Wallahu a’lam.

 ***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/70353-jumlah-minimal-jamaah-shalat-jumat.html