Cara Mudah Belajar Bahasa Arab tanpa Butuh Biaya Mahal

Tahukah kamu? Bahasa arab merupakan Bahasa yang di gunakan oleh 22 negara anggota UNESCO dan menjadi salah satu Bahasa resmi organisasi tersebut. Hal inilah juga yang menjadikan Bahasa arab di tetapkan sebagai bahasa internasional oleh UNESCO.

Dari data tersebut dizaman sekarang atau di era milenial ini mempelajari Bahasa arab adalah suatu kebutuhan. Bahasa di zaman sekarang bukan lagi sebagai Bahasa kuno yang hanya dipelajari oleh anak pesantren dan sekolah sekolah yang berbasis islam untuk mempelajari kitab kitab yang bertuliskan dengan berbahasa arab contohnya seperti memahami kitab kuning. Oleh karena itu, banyak dari mereka yang mengeluarkan biaya mahal untuk menguasai Bahasa asing ini terutama untuk mereka yang ingin melanjutkan Pendidikannya di luar negri.

Sebenarnya banyak cara yang sederhana dan efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahsa arab. Berikut adalah 6 cara yang dapat meningkatkan berbahasa arab:

1. Membaca

Yang sama kita ketahui bahwa saat membaca mata akan mengenali kata sedangkan pikiran menghubungkan dengan maknanya. Maka dari itu cara pertama untuk mengasah kemampuan berbahasa arab kita adalah dengan membaca buku atau literatur yang berbahasa arab. Jika kita suka dengan mengikuti berita atau gosip seputar selebriti dikoran atau majalah, kita bisa membaca dari situs luar negri. Jika kita termasuk penggemar novel atau komik, kita bisa mencoba baca novel fiksi dan komik yang berbahasa arab. Dan kita bisa menemukan berbagai ebook yang bisa dibaca kapan saja dari internet, dengan harga murah maupun gratis dan tidak menghabiskan biaya yang besar seperti jika kita harus membeli buku berbahasa arab yang dicetak di atas kertas.

2. Mengamati.

Maksud dari mengamati disini adalah mengamati segala hal yang berhubungan dengan Bahasa arab yang ada disekitar kita. Misalnya seperti poster di jalanan atau menonton film yang pengisi suara nya dengan Bahasa arab dan dari menonton tadi kita bisa mencoba untuk mengamati dialognya tanpa terlalu sering melihat keterjemahannya. Dan kita juga bisa memperhatikan cara pengucapan, kosa kata, atau penggunaan frase tertentu dalam berbagai konteks yang diucapkan para aktor dan aktris dalam film. Jika kita termasuk orang yang suka menonton bola kita bisa mencoba untuk menonton di server arab.

3. Menulis

Setelah banyak membaca dan mengamati, pemahaman kita terhadap bahasa arab pasti akan bertambah dan meningkat. Tetapi ini masih menjadikan kita dalam pengguna Bahasa arab pasif. Untuk meningkatkan kemampuan Bahasa arab, kita bisa mencoba untuk menulis dalam Bahasa arab. Kita juga bisa melatih diri dengan menulis Kembali novel atau catatan kedalam Bahasa arab. Ini akan meningkatkan berbahasa arab dan akan menambah kosakata baru yang sebelumnya belum kita ketahui dan ini juga menjadikan kita lebih mudah mengevaluasi kesalahan tatabahasa yang kita miliki.

4. Praktik percakapan

Setelah mengikuti tiga cara tersebut kita belum sepenuhnya mahir dalam berbahasa arab tanpa ada praktik. Tatabahasa yang bagus tidak akan ada artinya jika kita tidak mempraktikannya dalam percakapan. Karena salahsatu tujuan pandai berbahasa arab adalah untuk berkomunikasi, maka kita harus belajar untuk mengkomunikasikan secara lisan dalam berbahasa arab. Kita juga bisa mempraktikan dengan teman kita atau keluarga terdekat kita dan kita harus berusaha agar percakapan yang kita sampaikan dimengerti oleh orang lain. Setelah terbiasa bercakap-cakap dalam bahasa arab, secara otomatis kita juga akan belajar untuk memperbaiki tata bahasa yang kita gunakan dalam berbicara.

5. Memanfaatkan internet dan media sosial.

Tahukah kamu? Dizaman sekarang gadget atau medsos tidak asing lagi bagi kita. Maka dari itu, ini adalah salah satu cara yang mudah untuk meningkatkan kemampuan berbahasa arab. Dengan memanfaatkan media sosial yang kita punya, kita dapat mencari teman yang berada diluar negri dan mencoba untuk memulai percakapan, dengan berinteraksi dengan mereka kita berkesempatan untuk mempunyai kosakata baru. Kita juga bisa setting media sosial dengan menggunakan Bahasa arab.

6. Buat catatan kecil

Setelah lima cara tersebut di lakukan kita juga bisa melakukan langkah terakhir untuk memaksimalkan bahasa arab yang kita miliki dengan cara membuat catatan kecil. Fungsi dari catatan kecil ini adalah jika kita menemukan kosakata baru yang tidak kita ketahui artinya. Tidak ada salahnya bukan, kalau membuat catatan kecil untuk membantu kita lebih mudah mengingat dan mempelajarinya lagi saat ada waktu. Ini bukan usaha yang sulit, atau kita tidak perlu membawa-bawa pensil dan buku ke mana-mana. Cukup catat di ponsel.

Jika kita ingin meningkatkan Bahasa arab dan tidak memakan banyak biaya kita bisa menggunakan enam cara tersebut.

KHAZANAH REPUBLIKA

Pembelajaran Bahasa Arab di Era Digital

Hai teman-teman tahukah kalian bahwa dunia Pendidikan kita mengalami kemajuan pesat pasca pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di bidang Pendidikan. Era globalisasi pendidikan saat ini lebih menekankan pada kreativitas dan hubungan-hubungan antara manusia yang bernilai ekonomi tinggi menjadi lebih menonjol daripada intelektualitas dalam bidang matematika dan sains.

Perlu teman-teman ketahui bahwa fakta ini juga menunjukkan bahwa pendidikan itu dinamis bukan statis, mengikuti perkembangan zaman, dan peranan pendidikan untuk memajukan bangsa Indonesia terbukti dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Oleh karena itu, maka di era kekinian ini para guru harus mengajar dengan memanfaatkan perangkat teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajarannya. Salah satu cara yang menarik perhatian siswa adalah dengan pemanfaatan media presentasi, di samping itu juga berlimpahnya sumber belajar seharusnya membuat tugas para guru semakin mudah dalam menyampaikan bahan ajarnya.

Jika kita mengutip dari hadits atau maqolah yang berbunyi “didiklah anakmu sesuai dengan zamannya”. Pernyataan ini mengandung makna dan mengisyaratkan bahwa kita hidup dalam ruang dan waktu yang senantiasa berubah dan akan selalu berubah menyesuaikan dengan tingkat pemikiran kita.

Demikian juga halnya menjadi pendidik, dituntut untuk bisa menyesuaikan dengan perkembangan globalisasi yang terjadi dalam setiap aspek kehidupan berlangsung dengan cepat terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berikut ini adalah 3 situs yang cocok digunakan dalam pembelajaran Bahasa arab untuk anak-anak:

1. http://www.alef-ba-ta.com/

Program-program dalam web ini di rancang untuk anak-anak usia 4-7 tahun, tanpa kemampuan membaca ataupun menulis. Tahap awal program ini dirancang untuk mengajarkan alfabet dalam berbagai bentuk dan metode, sedangankan untuk tahap selanjutnya dirancang untuk mengajarkan dasar-dasar membaca dan menulis, dengan kemampuan membentuk kalimat-kalimat pendek.

2. http://www.madinaharabic.com/

Situs gratis pembelajaran Bahasa arab online ini mengguankan Bahasa pengantar dengan Bahasa inggris. Sehingga akan mudah untuk dipelajari oleh orang-orang non arab. Dalam situs ini juga terdapat pembelajaran maharah qiroah, muforad aplikatif, latihan-latihan, diskusi dan data-data yang bis akita download.

3. https://arabiyatuna.com/

Pemilik web ini menamai dengan Belajar Bahasa Arab Online ini. Web ini berisi data-data yang dikupulkan dari situs-situs lain, khususnya youtube. Ada banyak video yang telah dikumpulkan yang bis akita manfaatkan dalam pembelajaran Bahasa arab. Dalam web blog ini juga sudah diklasifikasikan kategori-kategori videonya sehingga mempermudah dalam pencarian. Jadi dengan melihat isi blog ini kita semacam melihat khulashoh youtube yang memuat khusus video untuk pembelajaran bahasa arab. Bahasa pengantarnya bahasa Indonesia, jadi lebih mudah

KHAZANAH REPUBLIKA

Fikih Ringkas Poligami

Ulama sepakat tidak ada khilafiyah bahwa ta’addud az-zaujah atau poligami adalah perkara yang disyariatkan dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman,

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

“Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Namun jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja” (QS. An Nisa: 3).

Ulama sepakat tentang bolehnya poligami. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan,

اتفق الجميعُ على أنَّ للحُرِّ أن يتزوَّجَ أربعًا

“Semua ulama sepakat bahwa lelaki merdeka boleh menikah dengan empat orang istri” (Al Istidzkar, 5/481).

Hukum poligami

Namun ulama khilaf tentang hukum asal dari poligami, sebagian ulama mengatakan hukum asalnya mustahab (dianjurkan) dan sebagian ulama mengatakan hukum asalnya mubah.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah mengatakan,

الأصل التعدد، والواحدة هي التي يحصل بها عند العجز

“Hukum asal yang dianjurkan adalah ta’addud. Adapun menikahi satu saja itu dilakukan ketika tidak mampu (ta’addud)” (Mauqi’ Ibnu Baz fatwa no. 4768).

Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat yang dianjurkan asalnya adalah menikahi satu saja, jika lebih dari satu hukumnya boleh. Dari Abul Hasan Al Imrani rahimahullah, beliau mengatakan,

قال الشافعي: وأحب له أن يقتصر على واحدة وإن أبيح له أكثر

“Imam Asy Syafi’i berkata, ‘Aku lebih menyukai seseorang mencukupkan dengan satu istri saja, walaupun jika lebih dari satu juga boleh’” (Al Bayan fi Madzhab Imam Asy Syafi’i, 11: 189).

Dalil pendapat kedua ini di antaranya adalah ayat,

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS. An Nisa: 129).

Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah menjelaskan,

فهذا دليل على أن الإنسان -غالبا- لا يستطيع العدل إلا بصعوبة

“Ayat ini dalil bahwa lelaki ini umumnya tidak mampu adil kecuali dengan upaya yang berat” (Syarah Akhsharil Mukhtasharat).

Dan hukum poligami bisa berubah menjadi wajib, makruh, atau haram tergantung bagaimana kondisi orang yang hendak melakukannya.

Syarat bolehnya poligami

Syekh Dr. Abdul Karim Zaidan Rahimahullah menyebutkan ada dua syarat sehingga seorang lelaki boleh melakukan poligami.

Pertama, mampu untuk berbuat adil

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

“Namun jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja” (QS. An Nisa: 3).

Syekh lalu menjelaskan, “Tidak dipersyaratkan adanya kepastian bahwa seseorang tidak akan bisa adil jika ia berpoligami, namun cukup ghalabatuz zhan (sangkaan kuat). Jika ada sangkaan kuat bahwa seorang lelaki tidak akan bisa adil terhadap istri-istrinya, maka diharamkan baginya untuk poligami.”

Kedua, mampu menafkahi semua istrinya

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ

“Hendaknya orang-orang yang tidak punya modal untuk menikah, mereka menahan diri mereka sampai Allah mampukan mereka dari karunia-Nya” (QS. An Nur: 33).

Syekh mengatakan, “Jika seorang laki-laki tidak mampu menyediakan biaya pernikahan, maka ia tidak boleh menikah, walaupun ini adalah pernikahan yang pertama. Maka lebih ditekankan lagi jika ini adalah pernikahan yang kedua (ketika ia sudah punya istri). Jika ia memang tidak mampu untuk menafkahi istri yang kedua bersamaan dengan menafkahi istri yang pertama.”

(diringkas dari Al Mufashal fi Ahkamil Mar’ah, 6: 287-289).

Maksimal empat istri

Dibolehkan seorang lelaki merdeka (bukan hamba sahaya) menikahi empat orang istri dalam satu waktu, tidak boleh lebih dari itu. Sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa ayat ke-3. Dan ulama ijma’/sepakat akan hal ini. Al Baghawi rahimahullah mengatakan,

اتفقت الأمَّةُ على أنَّ الحُرَّ يجوزُ له أن ينكِحَ أربعَ حرائرَ

“Ulama sepakat bahwa lelaki merdeka boleh menikah dengan empat wanita merdeka” (Syarhus Sunnah, 9: 61).

Dan ulama juga sepakat diharamkannya lelaki selain Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam untuk menikah lebih dari 4 istri. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

ليس للحُرِّ أن يجمَعَ بين أكثَرَ من أربعِ زَوجاتٍ، أجمع أهلُ العِلمِ على هذا، ولا نعلمُ أحدًا خالفَه منهم

“Lelaki merdeka tidak boleh menikahi lebih dari 4 istri dalam satu waktu. Ulama sepakat akan hal ini dan tidak kami ketahui adanya perselisihan dalam masalah ini” (Al Mughni, 7: 85).

Kewajiban adil secara umum

Lelaki yang melakukan poligami wajib adil dalam nafkah dan qasm (jatah menginap) dan semua hal yang masih dimampui untuk adil seperti dalam hal pemberian hadiah, hibah, sedekah, dan semisalnya. Sebagaimana hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن كانت له امرأتانِ فمالَ إلى إحداهما، جاء يومَ القيامةِ وشِقُّه مائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua istri, lalu ia lebih condong pada salah satunya, maka ia akan dibangkitkan di hari Kiamat dalam keadaan badannya miring sebelah” (HR. Abu Daud no. 2133, An Nasa’i no. 3942, disahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Kewajiban adil dalam jatah menginap

Wajib adil dan sama dalam pembagian jatah menginap. Jika suami menginap di istri pertama selama 3 hari, maka di istri kedua juga wajib 3 hari.

Dalam hadis dari Ummu Salamah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya,

إنَّه ليسَ بكِ علَى أَهْلِكِ هَوَانٌ، إنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ، وإنْ سَبَّعْتُ لَكِ، سَبَّعْتُ لِنِسَائِي

“Sesungguhnya Engkau di depan suamimu bukanlah kehinaan, jika Engkau mau aku akan memberimu (giliran) tujuh hari. Namun jika aku memberimu jatah tujuh hari, aku juga harus memberi tujuh hari kepada istri-istriku yang lain” (HR. Muslim no. 1460).

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,

أجمعوا أنَّ العدلَ في القِسمةِ بين الزَّوجاتِ واجِبٌ

“Ulama sepakat tentang wajibnya adil dalam pembagian jatah menginap antara para istri” (Maratibul Ijma, hal. 65).

Kewajiban adil dalam nafkah

Wajib memberikan nafkah dengan adil dan sama kepada seluruh istri. Dan nafkah di sini mencakup sandang (pakaian), papan (tempat tinggal) dan pangan (makanan). Dalilnya sebagaimana hadis Abu Hurairah di atas. Juga sebagaimana keumuman hadis dari Jabir Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ولهُنَّ عليكم رِزقُهنَّ وكِسوَتُهنَّ بالمعروفِ

“Mereka (para istri) punya hak atas kalian untuk diberi nafkah makanan dan pakaian secara ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).

Demikian juga praktik Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhu,

فَكانَ يُعْطِي أَزْوَاجَهُ كُلَّ سَنَةٍ مِئَةَ وَسْقٍ، ثَمَانِينَ وَسْقًا مِن تَمْرٍ، وَعِشْرِينَ وَسْقًا مِن شَعِيرٍ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi nafkah setiap istrinya berupa makanan sebanyak 100 wasaq untuk satu tahun, terdiri dari 80 wasaq kurma dan 20 wasaq gandum” (HR. Muslim no. 1551).

Tidak ada kewajiban adil dan sama dalam masalah cinta dan jima’

Karena adil dan sama dalam dua hal di atas tidaklah memungkinkan. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala,

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

“Kalian tidak akan bisa adil terhadap istri-istri kalian walaupun kalian berusaha” (QS. An Nisa: 129).

Sebagaimana juga hadis Aisyah Radhiallahu’anha, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقْسِمُ, فَيَعْدِلُ, وَيَقُولُ: اَللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ, فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ

“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam selalu membagi jatah menginap terhadap para istrinya dengan adil. Beliau bersabda,’Ya Allah, inilah pembagianku sesuai dengan yang aku mampui, maka janganlah Engkau mencela dengan apa yang Engkau kuasai namun tidak aku mampui’” (HR. Abu Daud no. 2134, disahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Zadul Ma’ad [1: 145], didhaifkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil [2024]).

Adapun perkara cinta adalah perkara hati yang sulit untuk dibagi dan dikendalikan, ia bersifat naluriah. Sehingga mewajibkan untuk wajib dalam cinta termasuk mewajibkan sesuatu yang tidak dimampui. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

فإذا وفَّى لكل واحدة منهن كسوتها ونفقتها والإيواء إليها: لم يضرَّه ما زاد على ذلك من ميل قلب

“Jika seorang suami sudah memenuhi hak semua istrinya berupa pakaian, nafkah dan penjagaan, maka tidak mengapa jika ia lebih punya kecondongan hati (cinta)” (Fathul Bari, 9: 391).

Namun ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan, disunahkan (mustahab) untuk membagi cinta dengan sama jika mampu.

Sedangkan masalah jima’, ulama telah sepakat tidak wajib sama. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

لا نعلَمُ خِلافًا بين أهلِ العِلمِ في أنَّه لا تجِبُ التَّسويةُ بين النِّساءِ في الجِماعِ

“Tidak kami ketahui adanya khilaf di antara ulama tentang tidak wajibnya sama rata dalam masalah jima’ dengan para istri” (Al Mughni, 7: 308).

Adanya kelonggaran jatah menginap ketika bulan madu

Ketika seorang suami menikah dengan istri kedua atau ketiga atau keempat, ada kelonggaran untuk bermalam dengan istri baru, di luar jatah menginap. Sebagaimana dalam hadis Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

مِنَ اَلسُّنَّةِ إِذَا تَزَوَّجَ اَلرَّجُلُ اَلْبِكْرَ عَلَى اَلثَّيِّبِ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا , ثُمَّ قَسَمَ , وَإِذَا تَزَوَّجَ اَلثَّيِّبَ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلَاثًا , ثُمَّ قَسَمَ

“Termasuk sunah Nabi, apabila seseorang menikah lagi dengan seorang gadis hendaknya ia menginap dengannya selama tujuh hari, kemudian baru setelah itu membagi jatah menginap. Dan apabila ia menikah lagi dengan seorang janda hendaknya ia menginap dengannya selama tiga hari, kemudian baru setelah itu membagi jatah menginap” (HR. Bukhari no. 5214, Muslim no. 1461).

Adanya kewajiban mengundi istri ketika hendak safar

Suami yang hendak mengajak istrinya safar dan tidak bisa membawa semua istrinya, maka ia wajib mengundi. Ini pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali. Berdasarkan hadis dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ ، فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bila ingin pergi safar, beliau mengundi antara istri-istrinya. Maka siapa yang undiannya keluar, beliau pergi bersamanya” (HR. Bukhari no. 2454, Muslim no. 2770).

Namun undian ini bisa diganti dengan musyawarah di antara para istri dengan keputusan yang diridai mereka semua. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

يجب أن يعدل بينهما في السفر؛ بالتراضي، أو بالقرعة

“Wajib untuk berbuat adil kepada para istri dalam masalah safar, dengan kesepakatan yang diridai mereka atau dengan undian” (Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 21: 238).

Wallahu a’lam, semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat.

***

Referensi: [1] Manhajus Salikin wa Taudhihul Fiqhi fid Din, karya Syekh As Sa’di. [2] Ad Dalil ‘ala Manhajis Salikin, karya Syekh Abdullah bin Za’al Al ‘Anazi. [3] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Durarus Saniyah, karya tim Durar As Saniyah di bawah bimbingan Syekh Abdul Qadir As Saqqaf. [4] Al Mufashal fi Ahkamil Mar’ah, karya Syekh Dr. Abdul Karim Zaidan. [5] Syarah Al Akhshar al-Mukhtasharat karya Syekh Abdullah bin Jibrin. [6] Fatawa Syekh Abdul Aziz bin Baz.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/70770-fikih-ringkas-poligami.html

Konsep Ta’aruf dalam Syari’at Islam

Konsep ta’aruf dalam syari’at Islam adalah upaya mengenal dan mengetahui latar belakang, kebiasaan calon suami atau istri dengan cara yang dibenarkan.

Sesuai Syari’at

Cara yang benar disini adalah tanpa berduaan, terutama bagi seorang wanita harus selalu didampingi mahramnya, dalilnya:

Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim)

Tujuan dari Ta’aruf

Tujuan dari ta’aruf adalah mengenal dan mengetahui sisi positif dan negatif dari kedua belah pihak untuk saling melengkapi, menutupi dan menyempurnakan. Sebagaimana firman Allah mengenai hubungan laki-laki dan wanita:

“Mereka adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka” (Q.S. Al-Baqarah: 187)

Konsep Ta’aruf dalam Syari’at Islam

Tidak Boleh Menyembunyikan Aib Fisik

Oleh karena itu dalam ta’aruf tidak boleh menyembunyikan aib fisik namun bukan berarti harus menampakkan aurat. Yang boleh ditunjukkan hanya yang biasa nampak atau yang bukan aurat dari kedua belah pihak yang sedang berta’aruf.

Misal, gigi yang tidak sempurna, atau cacat jari. Jika ada aib fisik dibagian aurat maka harus diberitahukan melalui perkataan seperti adanya kulit yang sopak dibagian punggung.

Untuk waktu pertemuan dalam rangka ta’aruf bisa berulang berkali-kali sambil diiringi dengan shalat istikharah hingga ada keyakinan dalam hati sampai hari pernikahan terlaksana.

Harus Dirahasiakan

Ta’aruf bukan berarti harus jadi menikah dengan calon tersebut. Oleh karena itu proses ta’aruf sampai khitbah adalah proses yang harus dirahasiakan.

“Umumkanlah pernikahan dan rahasiakanlah khitbah” (HR. Ad-Dailami)

Tolonglah dirimu agar hajatmu tercapai dengan merahasiakan urusan. Karena di setiap nikmat pasti ada yang Hasad (mendengki).” (HR. Thabrani)

Nazhar

Nazhar atau melihat calon pasangan juga dibolehkan untuk memantapkan hati antara melanjutkan proses ta’aruf atau berhenti. Bagi wanita hanya boleh menampakkan bagian wajah dan telapak tangan yang bukan bagian dari aurat.

Atau juga bisa mengutus keluarga terdekat untuk lebih mengenal calon pasangan masing-masing. Misal dengan mengutus saudara perempuan dari pihak laki-laki untuk melihat bagian rambut wanita. [Ln]

CHANEL MUSLIM

Tafsir Surah al-Sajdah Ayat 28-30; Bertaubat Sebelum Ajal Mendekat

Seringkali ketika semua selesai, nampaklah sebuah kekurangan. Penyesalan datang belakangan. Sebelum terlambat, bertaubat sebelum ajal mendekat harus dilakukan. Allah Swt.berfirman:

وَيَقُولُونَ مَتَى هَذَا الْفَتْحُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ. قُلْ يَوْمَ الْفَتْحِ لَا يَنْفَعُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِيمَانُهُمْ وَلَا هُمْ يُنْظَرُونَ .فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَانْتَظِرْ إِنَّهُمْ مُنْتَظِرُونَ

Wa yaqụlụna matā hāżal-fat-ḥu ing kuntum ṣādiqīn. Qul yaumal-fat-ḥi lā yanfa’ullażīna kafarū īmānuhum wa lā hum yunẓarụn. Fa a’riḍ ‘an-hum wantaẓir innahum muntaẓirụn

Artinya: “Dan mereka bertanya “Kapankah hari kemenangan itu (datang) jika kamu memang orang-orang yang benar?”. Katakanlah: “Pada hari kemenangan itu tidak berguna bagi orang-orang kafir iman mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh”. Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tunggulah, sesungguhnya mereka (juga) menunggu” (Q.S.al-Sajdah: 28-30)

Maksud dari kata mereka pada kalimat mereka bertanya adalah orang-orang musyrik, sebagaimana telah disampaikan oleh Imam al-Thabari dalam karyanya Tafsir al-Thabari.

Abu Hayan al-Andalusi dalam karyanya al-Bahru al-Muhith menampilkan tiga pendapat ulama dalam mengartikan hari kemenangan: pertama, mayoritas ulama mengartikanya dengan makna hari penghukuman atau Hari Kiamat. Kedua, Mujahid dan al-Hasan memaknainya dengan arti terbukanya tanah Makkah dan ketiga, sebagian ulama mengartikanya dengan hari perang Badar. Penyampaian Abu Hayan senada dengan pemaparan dari Wabhah al-Zuhaili dalam karyanya al-Tafsir al-Munir:

قُلْ: يَوْمَ الْفَتْحِ بإنزال العذاب بهم يوم القيامة–وقيل: يوم بدر، أو يوم فتح مكة

“Katakanlah: Hari kemenangan dengan diturunkanya siksa adalah Hari Kiamat. Dan disampaikan (oleh ulama lain) adalah hari perang Badar atau hari terbukanya tanah Makkah”.

Imam al-Qurthubi dalam karyanya Tafsir al-Qurthubi mengartikan tidak (pula) mereka diberi tangguh dengan makna mereka akan dilalaikan. Pemaknaan serupa disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaili:

يمهلون لتوبة أو معذرة

“Taubat atau alasan mereka akan dilalaikan”.

Para sahabat nabi Saw. berkata: “Sesungguhnya kami memiliki hari, (pada hari tersebut) kami beristirahat dan menikmati berbagai kenikmatan”. Kemudian orang-orang musyrik berkata: “Kapankah hari kemenangan ini bila kalian benar” lalu turunlah ayat di atas. Demikian asbab nuzul ayat di atas yang telah disampaikan oleh Imam al-Thabari dalam karyanya Tafsir al-Thabari. Penyampaian ini senada dengan riwayat dari Qatadah yang disampaikan oleh Imam al-Suyuti dalam karyanya al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur:

أخرج ابن جرير ، وَابن أبي حاتم عن قتادة قال : قال الصحابة ان لنا يوم يوشك ان نستريح فيه ونتنعم فيه ، فقال المشركون {متى هذا الفتح إن كنتم صادقين} فنزلت

Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Qatadah, dia berkata: Para sahabat berkata”Pada suatau hari kami akan beristirahat dan hidup dalam kesenangan”. Kemudian orang-orang musyrik berkata “Kapan hari kemenangan, bila kalian orang-orang yang benar”. Kemudian diturunkanlah (ayat tersebut).

Dengan hati yang diselimuti keingkaran, pendustaan dan anggapan mustahil atas adanya siksan dan penderitaan dari-Nya yang akan mereka terima, orang-orang musyrik bertanya tentang hari kebangkitan dan dikumpulkanya para makhluk ( Hari Kiamat). Allah Swt. menjawab pertanyaan mereka dengan mencelanya: Katakanlah wahai sang utusan (Muhammad), sesungguhnya hari penghukuman dan keputusan adalah hari kiamat. Di hari tersebut, taubat  dan keimanan orang-orang kafir tidak akan bermanfaat untuk mereka. Dan mereka tidak akan dikembalikan kedunia untuk bertaubat dan beriman serta beramal saleh, sebab iman yang diterima ialah saat berada di dunia.

Bermula dari pendapat para ahli tafsir yang mengartikan hari kemenangan adalah hari terbukanya tanah Makkah atau hari perang Badar, mereka memahami tidak adanya kemanfaat taubat dan keimanan orang-orang kafir di hari tersebut di arahkan kepada mereka yang terbunuh. Sebagaimana disampaikan oleh Imam Muhammad bin Ahmad al-Syirbini dalam karyanya Tafsir al-Siraj al-Munir:

فإن قيل : فمن فسره بيوم الفتح أو بيوم بدر كيف يستقيم على تفسيره أن لا ينفعهم الإيمان وقد نفع الطلقاء يوم فتح مكة وناساً يوم بدر ، أجيب : بأن المراد أن المقتولين منهم لا ينفعهم إيمانهم في حال القتل كما لم ينفع فرعون إيمانه حال إدراك الغرق

Bila disampaikan: “Ulama yang menafsiri (hari kemenangan) dengan hari terbukanya tanah Makkah atau hari perang Badar, maka bagaimana akan selaras dengan (penjelasan) bahwa keimanan tidak akan bermanfaat untuk mereka (orang-orang kafir di hari tersebut) dan pada kenyataanya keimanan masih bermanfaat untuk mereka (yang bertaubat) pada hari tersebut”. Maka dijawab: “Sesungguhnya yang dikehendaki adalah keimanan tidak akan bermanfaat untuk mereka (orang-orang kafir) yang terbunuh di hari pembunuhan (perang Badar dan hari terbukanya tanah Makkah). Sebagaimana keimanan Fir’aun tidak bermanfaat untuknya disaat ia tenggelam”.

Imam al-Qurthubi dalam karyanya Tafsir al-Qurthubi:

إن كان يوم الفتح يوم بدر أو فتح مكة ففي بدر قتلوا ويوم الفتح هربوا فلحقهم خالد بن الوليد فقتلهم

“Bila hari kemenangan adalah hari perang Badar atau terbukanya tanah Makkah, mereka (orang-orang kafir) terbunuh di perang Badar dan pada hari terbukanya tanah Makkah mereka berlari (menyelamatkan diri) lalu bertemu dengan Khalid bin Walid dan dia membunuh mereka”.

Kemudian Allah Swt. memerintahkan Muhammad untuk perpaling dari pendustaan yang dilakukan orang-orang kafir dan menegaskan akan adanya kemenangan untuknya terhadap mereka. Kaum musyrikin menunggu kekalahan, kematian dan terbunuhnya Muhammad Saw. sebagaimana difirmankan oleh-Nya: “Bahkan mereka mengatakan “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya” (Q.S.al-Thur: 30) dan pada akhirnya keburukan yang diharapkan menimpa Muhammad Saw. melanda mereka sendiri yaitu sebuah siksaan dari-Nya di dunia dan akhirat serta Tuhan memberikan pertolongan dan menjaga Muhammad Saw. dari mereka.

Dari pemaparan ayat di atas, Wahbah al-Zuhaili dalam karyanya al-Tafsir al-Munir menyampaikan:

Pertama, kebodohan orang-orang musyrik membuat mereka ingin bergegas menikmati siksaan-Nya di Hari Kiamat.

ويروى أن المؤمنين قالوا: سيحكم اللّه عز وجل بيننا يوم القيامة، فيثيب المحسن ويعاقب المسيء، فقال الكفار على سبيل الاستهزاء والسخرية: متى يوم الفتح، أي هذا الحكم؟

Diriwayatkan bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin berkata “Allah Swt. Akan memberikan hukum di antara kami pada Hari Kiamat, pelaku kebaikan akan mendapatkan pahala dan pelaku keburukan akan mendapatkan siksaan”. Kemudian orang-orang kafir bertanya sambil menghina dan mempertawakan “Kapan hukum ini terjadi?”.

Kedua,  hari keputusan dan penghukuman (Hari Kiamat) pasti akan terjadi tanpa adanya keraguan. Di hari tersebut, keimanan dan taubat tidaklah bermanfaat sebab keimanan yang diterima oleh-Nya ialah keyakinan dan keimanan semasa di dunia dan mereka tidak akan dikembalikan kedua kalinya ke dunia.

Ketiga, kesimpulan yang perlu diambil ialah berpaling dari para pendusta al-Qur’an dan Muhammad Saw. adalah wajib setelah berulangkali munculnya berbagai dalil-dalil. Tunggulah hari kemenangan dan pertolongan untuk Muhammad Saw. dan pengikutnya (para mukmin). Sesungguhnya Allah Swt. dzat yang menjaga dan sang-penolong.

انتظر عذابهم، إنهم منتظرون هلاكك؟! وهم هالكون لا محالة

“Tunggulah siksaan untuk mereka (orang-orang kafir), sungguh mereka menunggu kehancuranmu?!, merekalah yang pasti akan binasa”.

Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Ini 12 Tips Mengatur Keuangan bagi Keluarga Muslim

Ini 12 tips mengatur keuangan bagi keluarga muslim. Biasanya suami istri yang memiliki gaya hidup hemat, dalam mengelola pengeluaran berprinsip pemasukan uang harus dengan cara yang longgar selama halal, sedangkan pengeluaran harus dengan cara yang ketat dan sesuai kesepakatan.

Bersikap ketat di sini bukan berarti bersikap bakhil dan kikir namun agar bisa berhemat. Tetapi terkadang ada yang mudah tergoda sehingga melanggar prinsip tersebut, karena tidak bisa mengendalikan keinginan berbelanja.

Ustazah Aan Rohanah menyarankan agar keluarga dengan gaya hidup hemat bisa mengatur keuangan dengan ketat.

Ini 12 Tips Mengatur Keuangan bagi Keluarga Muslim

Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan keluarga muslim dalam mengelola keuangan secara ketat.

1. Pengeluaran tidak boleh lebih besar dari pemasukan.

2. Selalu mencatat daftar kebutuhan setiap bulan.

3. Berbelanja sesuai dengan catatan daftar kebutuhan.

4. Mengendalikan diri saat berbelanja sehingga belanja hanya yang diperlukan dan tidak boros.

5. Membatasi keinginan berbelanja untuk masa depannya di hari tua dan masa depan anak-anaknya.

6. Mengutamakan pola hidup yang sederhana.

7. Disiplin dalam menabung yang bernilai investasi.

8. Menganggap bahwa menabung itu sangat penting.

9. Saat berbelanja membawa uang hanya secukupnya.

10. Bersikap qana’ah (merasa cukup), bersyukur terhadap rezeki yang besar dan rezeki yang kecil serta bersabar disaat mendapatkan kesulitan rezeki.

11. Memilih barang yang dibeli yang ada diskonnya.

12. Membiasakan diri untuk tidak berutang.

13. Selalu menyisihkan uang untuk bersedekah agar rizkinya lapang dan berkah.

Diadaptasi dari tulisan Ustazah Dr. Aan Rohanah Lc. M.Ag di akun instagramnya @aanrohanah_16. Ustazah Aan Rohanah adalah perempuan yang Peduli Keluarga dan Pendidikan Anak dan sangat aktif menulis mengenai keluarga.

Ustazah Aan juga merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Quran. Selain itu, Ustazah Aan Rohanah juga aktif mengisi Kajian Online terutama berkaitan dengan Pendidikan Keluarga dan Anak.

Pada akhir tahun 2020, Ustazah Aan meluncurkan 4 seri buku Kiat Sukses Membangun Keluarga Sakinah dan Mendidik Anak Unggul. [jwt/ind]

CHANEL MUSLIM

Biografi Imam Qusyairi; Ulama Tasawuf yang Menolak Tasawuf

Salah satu tokoh tasawuf yang sangat populer (popular) dalam khazanah Islam adalah Imam Qusyairi. Dengan thariqah dan keilmuannya yang sangat luas, beliau mampu membawa ajaran-ajaran tasawuf laksana pengetahuan baru yang mampu memberikan motivasi kepada pembaca untuk lebih giat memperdalam salah satu ilmu Islam tersebut.

Nama lengkapnya adalah Imam Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik ibn Thalhah bin Muhammad, sedangkan Abul Qasim merupakan nama kun-yahnya. Selain itu, ada banyak gelar yang disandang oleh Iman Qusyairi, di antaranya, (1) An-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam pada abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw;

(2) Al-Qusyairi, nama Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah. Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal di pesisiran Hadramaut; (3) Al-Istiwa, orang-orang yang datang dari bangsa Arab yang memasuki daerah Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di wilayah pesisiran Naisabur, yang berhimpitan dengan batas wilayah Nasa; dan (4) Asy-Syafi’i sebuah penisbatan nama pada mazhab Syafi’iyah yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris ibn Syafi’i pada tahun 150-204 H/767-820 M.

Tidak hanya itu, Imam Qusyairi juga memiliki banyak gelar kehormatan, antara lain, Al-Imam, Al-Ustadz, Asy-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina Syari’ati wa al-Haqiqah (perhimpunan antara nilai syariat dan hakikat). Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan yang tinggi dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Imam Qusyairi lahir di Astawa pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H/986 M. Ia mempunyai garis keturunan dari pihak Ibu berporos pada moyang atau marga Sulami, paman dari pihak ibu, Abu Aqil as-Sulami, termasuk para pembesar yang menguasai daerah Ustawa. Marga As-Sulami sendiri dapat ditarik dari salah satu bangsa, yaitu, as-Sulami yang menisbatkan pada Sulaim dan as-Sulami yang dinisbatkan pada bani Salamah.

Beliau meninggal di Naisabur, Ahad pagi tanggal 16 Rabi’ul Akhir tahun 465 H/1073 M, ketika berumur 87 tahun. Jenazah beliau disemayamkan di sisi makam gurunya, Syekh Abu Ali ad-Daqaq. Beliau menjadi yatim ketika masih kecil, kemudian diasuh oleh Abul Qasim al-Yamany, sahabat karib keluarga Qusyairi.

Pada masa itu, kondisi pemerintahan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Pada penguasa dan staf-stafnya berlomba-lomba memperberat tingkat pungutan pajak. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa Imam Qusyairi untuk bercita-cita meringankan beban dari masyarakat. Beliau berpikiran pergi ke Naisabur untuk belajar hitung yang berkaitan pajak. Naisabur pada saat itu berposisi sebagai Ibukota Khurasan yang sebelumnya merupakan pusat tempat para ulama dan pengarang serta para pujangga.

Sesampainya di Naisabur, Imam Qusyairi belajar berbagai ilmu pengetahuan pada seorang guru yang dikenal sebagai Imam yaitu Abu Ali Hasan bin Ali an-Naisabur dan lebih dikenal dengan Imam ad-Daqaq. Semenjak pertama kali mendengar fatwanya, Imam Qusyairi sudah mengaguminya. Sementara Syekh ad-Daqaq sendiri juga berfirasat bahwa pemuda ini seorang murid yang cerdas dan brilian. Karena itu, Syekh ad-Daqaq bermaksud mengajari dan menyibukkannya dengan berbagai bidang ilmu. Kenyataan ini membuat beliau mencabut cita-citanya semula, membuang pikiran yang berencana menguasai peran pemerintahan dan memilih thariqah sebagai garis perjuangan.

Selain Syekh Abu Ali Hasan bin Ali an-Naisaburi ad-Daqaq. Al-Qusyairi pun mempunyai beberapa guru, antara lain: (1) Abu Abdurrahman Muhammad bin Husin bin Muhammad as-Sulami an-Naisaburi (325 H/936 M – 412 H/1012 M), seorang sejarahwan, ulama sufi sekaligus pengarang beberapa kitab; (2) Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Furak al-Anshari al-Ashbahani, meninggal tahun 406 H/1015 M, beliau seorang Imam dan pakar dalam Ushul Fiqh; (3) Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al-Asfarayaini meninggal tahun 418 h/1027 M, seorang cendekiawan bidang Fiqh dan Ushul Fiqh yang besar di daerah Isfarayain. Imam Qusyairi belajar belajar Ushuluddin (pokok-pokok agama) kepadanya; dan (4) Abu Manshur Abdur Qahir bin Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Asfarayaini, meninggal tahun 429 H/1037 M, Imam Qusyairi belajar tentang fiqih-fiqih mazhab Syafi’iyah kepadanya.

Dalam pengajaran, beliau memakai sistem majelis imla’ (dikte) dan majelis tazkir (mengingat). Beliau mengadakan majelis imla’ bidang hadits di Baghdad pada tahun 432 H/1040 M, beberapa paradigma yang dibuatnya dilampiri sejumlah gubahan puisi religius. Kemudian menghentikan kegiatan ini dan pulang ke Naisabur tahun 455 H/1063 M, untuk merintis kegiatan semacamnya.

Beliau sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Subki adalah seorang ulama yang menguasai bidang ilmu, termasuk bahasa, sastra dan budaya. Karena itu beliau juga disebut seorang sastrawan sekaligus penulis. Ulama penyair ini banyak mengubah syair-syairnya secara improvisasi. Ali al-Bakhilzi banyak menyebut karya-karyanya dalam kitab Damiyatul al-Qashri.

Karya-karya Imam Qusyairi

Luasnya ilmu yang dimiliki oleh Iman Qusyairi tidak hanya dilihat dari fatwa dan nasihatnya yang disampaikan kepadanya masyarakat luas, akan tetapi juga dilihat dari banyaknya kitab-kitab yang telah beliau tulis. Sebagian riwayat mengatakan bahwa kitab tulisannya mencapai 29, di antaranya, Ahkamu asy-Syar’i, Adabus Shufiyah, Arba’un fi al-Hadits, Istifadah al-Mudharrat, Balaghah al-Maqashid fi at-Tasawuf, at-Tahbir fi at-Tazkir, Tartib as-Suluk fi Thariqi Allah, dan beberapa kitab-kitab lainnya.

Menolak Sufi pada Masanya

Imam Qusyairi tidak bisa diragukan lagi dalam luasnya Ilmu Tasawuf yang ada dalam dirinya, akan tetapi beliau merupakan salah satu ulama yang sangat menentang orang-orang tasawuf pada masa itu.

Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Imam Qusyairi berkaitan dengan tasawuf antara lain adalah, pertama, menolak terhadap para sufi Syatahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan yang mengesankan terjadinya persatuan antara sifat-sifat ketuhanan dengan sifat-sifat kemanusiaan.

Kedua, mengemukakan ketidaksetujuan terhadap para sufi pada masanya yang mempunyai kegemaran untuk mempergunakan pakaian-pakaian orang-orang miskin, tetapi perilakunya bertolak belakang dengan pakaian yang mereka kenakan.

Pendapat al-Qusyairi di atas, sejatinya memberikan gambaran kepada kita bahwa tasawuf pada masa itu dianggap telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah, maupun dari segi moral dan tingkah laku. Imam Qusyairi ingin mengembalikan arah tasawuf pada doktrin Ahlussunah wal Jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat hijriyah. Usaha yang dilakukannya merupakan pembuka jalan bagi Imam Al-Ghazali yang berafiliasi pada aliran yang sama yaitu al-Asy’ariyah.

Pendapat Imam Qusyairi tentang Hal dan Maqam

Sebagaimana tujuan yang telah disebutkan, Imam Qusyairi merupakan salah satu ulama yang hendak mengembalikan ruh tasawuf sebagaimana yang diajarkan oleh ulama-ulama tasawuf sebelumnya. Oleh karenanya, beliau memberikan beberapa komentar perihal salah satu hal pokok yang ada dalam ajaran tasawuf, yaitu hal dan maqam.

Imam Qusyairi berpendapat bahwa hal adalah sesuatu yang dirasakan manusia seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan lain-lain, merupakan suatu pemberian atau karunia, sedangkan maqam diperoleh dari hasil usaha.

Hal datang dari yang ada dengan sendirinya, sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus menerus. Pemilik maqam memungkinkan menduduki maqamnya secara konstan, sementara pemilik hal sering mengalami naik turun (berubah-ubah).

Beberapa maqam yang dikemukakan oleh al-Qusyairi yaitu,

  • Tobat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan maqam pertama bagi sufi pemula. Kata tobat menurut bahasa berarti “kembali”, maka tobat artinya kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji dalam syariat itu sendiri.
  • Wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang subhat.
  • Khalwah dan uzlah, khaliyah merupakan sifat ahli sufi, sedangkan uzlah merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang bersambung dengan Allah SWT. Imam Qusyairi juga menjelaskan bahwa ma’rifat menurut bahasa adalah ilmu. Maka setiap ilmu adalah ma’rifat dan setiap ma’rifat adalah ilmu. Setiap orang yang berma’rifat kepada Allah arif (orang bijak yang banyak pengetahuannya). Seorang orang arif adalah alim.

Referensi, Imam Qusyairi, Risalah al-Qusyairiah, [Bairut, Dârul Fikr, cetakan kedua: 1999], halaman 15-18.

BINCANG SYARIAH

Pendapat Syekh Albani Soal Jamaah Haji yang Mencukur Jenggot

Syekh Nashiruddin Al-Albani dalam bukunya yang berjudul “Haji Nabi Muhammad SAW” mengatakan, “Mencukur jenggot bentuk kemaksiatan ini termasuk yang paling sering dilakukan oleh kaum muslimin di masa sekarang,” katanya.

Syekh Nashiruddin Al-Albani mengatakan, semua ini sebagai akibat dari penjajahan orang-orang kafir terhadap negeri-negeri Islam, yang menularkan kebiasaan maksiat itu kepada kaum Muslimin. Sementara kaum muslimin suka meniru budaya tersebut.

Padahal Rasulullah secara tegas telah melarang meniru orang-orang musyrik: 

“Lakukanlah yang bertolak belakang dengan yang dilakukan orang-orang musyrik. Cukur kumis dan biarkan jenggot menjadi panjang. “(Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain disebutkan. ” Lakukanlah yang bertolak belakang dengan yang dilakukan Ahlulkitab.”

Syekh Nashiruddin Al-Albani mengatakan, budaya buruk ini mengandung beberapa pelanggaran:

Pertama melanggar perintah Rasulullah yang secara tegas memerintahkan kita membiarkan jenggot menjadi panjang.

Kedua, meniru orang-orang kafir. Ketiga mengubah ciptaan Allah yang berarti menaati ucapan setan.

Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surah an-nisa ayat 119. 

“…dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah…” 

Keempat, meniru kaum wanita padahal Rasulullah SAW telah melaknat lelaki yang melakukan perbuatan itu. 

Syekh Nashiruddin Al-Albani menyarankan agar membaca detail tentang larangan ini yang hanya disebutkan secara global di dalam buku kami “Adabu’- Ziffaf fi s ‘Sunnati muthothoharah halaman 126-131.

Di antara realistis yang dapat disaksikan oleh setiap orang yang memiliki tekad mempertahankan agamanya adalah bahwa mayoritas jamaah haji masih terlihat panjang-panjang jenggotnya saat berihram. Namun saat bertahallul mencukur jenggot. 

Mereka tidak menggunduli kepala seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW tetapi justru mencukur jenggot. Padahal Rasulullah memerintahkan kita membiarkannya panjang, sungguh perbuatan yang mencelakakannya.

IHRAM

8 Penyebab Datangnya Rezeki

SEBAGAI muslim kita meyakini bahwa rezeki adalah hak mutlak Allah yang diberikan kepada umat manusia. Bahkan di dalam Alquran banyak sekali Allah menyebutkan mengenai rezeki ini. Allah berfirman:

تُولِجُ ٱلَّيْلَ فِى ٱلنَّهَارِ وَتُولِجُ ٱلنَّهَارَ فِى ٱلَّيْلِ ۖ وَتُخْرِجُ ٱلْحَىَّ مِنَ ٱلْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ ٱلْمَيِّتَ مِنَ ٱلْحَىِّ ۖ وَتَرْزُقُ مَن تَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS Ali Imran 27)

Tapi tentu saja tidak semua rezeki tersebut bisa kita dapatkan dengan mudah bahkan harus ada usaha untuk mendatangkannya.

Berikut delapan penyebab datangnya rezeki menurut Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron Hafidzahullah:

1. Beriman dan bertaqwa

Orang yang senantiasa beriman kepada Allah dengan menjalankan perintah Nya yang wajib atau Sunnah dan meninggalkan larangan-Nya yang haram maupun makruh akan mendapatkan rezeki  yang cukup. Sebagaimana janji Allah:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al Araf 96)

2. Bertawakkal kepada Allah

Bertawakkal kepada Allah dengan berusaha yang halal adalah kunci datangnya rezeki. Umar Bin Khattab Radhiallahu berkata,” Saya mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (Shahih HR Ibnu Majah 4157, Ahmad 23, lihat Takhrij Hadist Musykilati Faqri hal.24)

3. Berdoa Kepada Allah

Orang yang beriman tidak boleh mengandalkan usahanya secara lahiriah. Hendaknya selalu mengawali usahanya dengan memohon kepada Allah agar diberi rezeki yang halal. Karena manusia tugasnya mencari sedangkan Allah lah Sang Maha Pemberi.

4. Mensyukuri Nikmat Allah

Apabila seseorang mendapatkan rezeki yang halal, jangan sekali-kali mengatakan,” ini karena saya yang berbuat atau si Fulan.” Hendaknya ia meyakini dan mengatakan,” Allah yang memberi rezeki.” Kemudian hendaknya mensyukuri dengan meningkatkan ibadah. Insya Allah dengan prinsip ini, Allah senantiasa memberikan kemudahan dan tambahan rezeki.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim ayat 7).

5. Hijrah dari Kemaksiatan

Orang yang hijrah dari kemaksiatan akan memperoleh rezeki dari Allah sebagaimana disebutkan Allah dalam QS Al Anfal ayat 74:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَهَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلَّذِينَ ءَاوَوا۟ وَّنَصَرُوٓا۟ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.

6. Senantiasa Menjalankan Sholat

Orang yang senantiasa menjalankan sholat sesuai syarat dan rukunnya akan mendapatkan rezeki sebagaimana disebutkan dalam QS Al Anfal ayat 3-4:

ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَّهُمْ دَرَجَٰتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.

7. Meningkatkan iman dan amal shalih

فَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Maka orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia. (QS Al Hajj 50)

8. Membantu mencarikan pangan rakyat yang miskin

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam dalam memimpin umat, selalu mendahulukan kebutuhan umatnya daripada diri sendiri dan keluarganya. Terutama perhatian beliau kepada fakir, miskin, janda dan anak yatim.

Abu Darda’ berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

ابغو ني ضعفاء كم فإنما تر ز قو ن و تنصرو ن ب ضعفا ءكم

Bantulah aku membantu kaum dhuafa (orang-orang miskin) di kalangan kalian, karena tidaklah engkau mendapatkan rezeki dan kemenangan melainkan karena kamu tolong mereka ” (HR Tirmidzi 4/206, Imam Syaukani berkata: Hadist yang serupa diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dengan sanad Shahih, lihat Nailul Authar 8/103).

Disalin ulang dari tulisan Ustaz Aunur Rofiq Ghufron di dalam Majalah Al Furqon halaman 9-11 Edisi ke 3 Tahun V Syawal 1426H/Nopember 2005 dengan judul “Gelisah karena BBM Naik”. []

CHANEL MUSLIM

Untukmu yang Sedang Malas Beribadah

Kadangkala tubuh ini terasa berat untuk bangun dari nyenyaknya lelap atau asyiknya aktivitas. Berat untuk menyambut seruan muazin, mendatangi masjid, dan melaksanakan salat.

Tubuh dan anggota badan adalah anugerah Allah. Itu pun terkadang enggan untuk sedikit menahan lapar dan dahaga di Senin dan Kamis untuk melakukan puasa sunah.

Tangan pun sering terasa berat untuk memberi dan berbagi, meskipun hanya secuil dari limpahan nikmat Allah dari harta benda yang kita punya.

Hati pun terasa berat untuk memantapkan niat mendorong diri menyisihkan sedikit demi sedikit rezeki supaya dapat berqurban di hari ‘Id Adha atau agar bisa menabung untuk umroh dan haji pada suatu saat kelak.

Padahal, semua itu adalah ibadah-ibadah yang mengandung banyak pahala dan keutamaan. Semua itu juga adalah amal-amal saleh yang menjadi jalan di antara wasilah-wasilah menuju surga yang Allah janjikan. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di banyak kesempatan juga menyampaikan banyak fadilah-fadilah dari amalan-amalan saleh baik wajib maupun sunah, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Lima salat yang telah Allah Ta’ala wajibkan kepada para hamba-Nya. Siapa saja yang mendirikannya dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun darinya karena meremehkan haknya, maka dia memiliki perjanjian dengan Allah Ta’ala bahwa Ia akan memasukkannya ke dalam surga. Sedangkan siapa saja yang tidak mendirikannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah Ta’ala. Jika Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya. Dan jika Allah menghendaki, Allah akan memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Iman dan Beratnya Ibadah

Semua kita tentu mengaku beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita meyakini segala isi kandungan Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih Rasulullah berdasarkan pemahaman salafus shalih adalah benar. Tak ada keraguan.

Lantas, apakah gerangan yang menjadikan semua perintah Allah itu terasa berat?

Jawabannya adalah iman. Ya, sebagaimana sebuah ungkapan salafus shalih yang kita kenal yaitu,

أن الإيمان يزيد وينقص: يزيد بالطاعة، وينقص بالمعصية

“Bahwasanya iman itu dapat bertambah dan berkurang. Bertambah karena ketaatan, dan berkurang karena kemaksiatan.”

Jika ditelisik lebih jauh, pengetahuan tentang hakikat penciptaan jin dan manusia (yaitu untuk menyembah Allah Ta’ala) telah banyak diketahui oleh manusia sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Namun, tetap saja hakikat itu terlupakan atau sengaja dilupakan. Sehingga, alasan “Imanku sedang turun” sering dijadikan tameng setiap kali dirundung kemalasan dalam melaksanakan ibadah.

Sayangnya, kemalasan itu bahkan selalu menghinggapi diri yang kemudian dapat ditunggangi setan untuk selalu beralibi “yanqus” karena enggan melaksanakan ibadah.

Oleh karenanya, sudah semestinya kita menyadari betapa pentingnya menjaga keimanan kita agar tetap “yazdad“. Penting pula bagi kita untuk menjaga semangat dalam melaksanakan ibadah dalam rangka menggapai rida Allah untuk mendapatkan surganya.

Iman Terjaga, Ibadah Mudah Terlaksana

Ada 3 (tiga) hal yang kiranya dengannya kita dapat menjaga iman agar senantiasa mudah untuk melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan sunah. Agar dapat menjadikan rangkaian ibadah tersebut sebagai momen yang dinanti-nantikan. Serta, agar memiliki semangat yang tinggi menanti momen itu tiba.

Pertama, mengetahui keutamaan suatu amal

Sebagaimana kita bekerja yang menginginkan upah atau pun bersekolah dengan mengharap ilmu dan pendidikan, begitu pula seharusnya dalam beribadah. Kita mengharapkan rida Allah Ta’ala dan surga-Nya. Kita pun berusaha untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka.

Mengerjakan amalan-amalan saleh karena Allah menyebut orang yang beramal saleh sebagai sebaik-baik makhluk. Allah menjanjikan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh dengan surga yang nikmatnya tiada tara. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلاَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada tuhan-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 7-8)

Lebih rinci, kita pun dapat membekali diri dengan ilmu tentang keutaman apa saja yang kita dapatkan dari suatu amalan ibadah yang kita lakukan. Salat wajib, salat duha, salat tahajud, salat rawatib, dan berbagai jenis ibadah salat berikut dengan fadilah (keutamaan) yang akan kita peroleh jika melaksanakannya dengan penuh keikhlasan dan sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Begitu pula dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa, zakat, haji, qurban, zikir, dan berbagai ibadah wajib dan sunah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kedua, menjauhi maksiat

Mengutip ungkapan salafus salih yang telah dipaparkan di atas bahwa iman itu juga dapat berkurang karena perbuatan maksiat. Artinya, rasa malas yang menghantui jiwa untuk melaksanakan amalan-amalan saleh itu tidak lain adalah disebabkan karena kemaksiatan yang kita lakukan. Wal’iyadzu billah.

Dalam Kitab Lathaiful Ma’arif, bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu,

ما نستطيع قيام الليل؟

“Mengapa kami tidak mampu melakukan salat malam?”

Beliau pun menjawab,

أقعدتكم ذنوبكم

“Dosa-dosa kalian telah menghalangi kalian.”  (Lathaiful Ma’arif, hal. 46)

Begitu pula dalam Kitab Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata,

حِرْمَانُ الطَّاعَةِ ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى ، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ ، ثُمَّ رَابِعَةٌ ، وَهَلُمَّ جَرًّا ، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ

“Di antara pengaruh buruk maksiat adalah menghilangkan amal ketaatan. Maka, seandainya tidak ada hukuman atas dosa, kecuali menghalangi seseorang untuk melakukan amal ketaatan dan memutus jalan untuk melakukan amal ketaatan yang kedua, kemudian putusnya amalan yang kedua adalah dosa yang memutuskan amalan yang ketiga, kemudian keempat dan seterusnya, maka karena dosa terputuslah banyak amal ketaatan.”

،كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا ، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

“Padalah setiap amal ketaatan tersebut lebih baik daripada dunia dan isinya. Maka, pelaku maksiat itu seperti orang yang makan suatu makanan buruk yang menyebabkan ia terkena penyakit berkepanjangan. Sehingga, ia tidak bisa makan berbagai makanan yang lebih baik daripada makanan yang telah menyebabkan ia sakit tersebut. Wallaahul Musta’an.”  (Al-Jawabul Kafi, hal. 44)

Ketiga, berteman dengan orang-orang saleh

Setelah membekali diri dengan ilmu terutama yang berkaitan dengan keutaman-keutaman amal saleh dan menyadari sumber utama beratnya melakukan ibadah, kiranya belum cukup jika keseharian kita masih intens bergaul dengan mereka yang cenderung mengesampingkan ibadah kepada Allah Ta’ala.

Oleh karenanya, berteman dengan orang-orang saleh menjadi hal yang tidak kalah penting agar jiwa kita selalu bersemangat dalam melaksanakan ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian memperhatikan siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi no. 927)

Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya. Kalau pun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu. Kalau pun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628)

Ketika menyadari bahwa diri kita selalu dirongrong oleh rasa malas yang ditunggangi oleh setan agar merasa malas saat akan melakukan suatu ibadah, maka menjadi penting bagi kita untuk menggali lebih dalam hal-hal yang dapat membentengi diri dari kemalasan tersebut. Mengetahui keutamaan amal, menjauhi maksiat, dan berteman dengan orang saleh adalah tameng bagi kita atas godaan setan dalam rasa malas tersebut.

Kita senantiasa berdoa kepada Allah agar dianugerahi hidayah dan inayah dalam setiap langkah kita menuju rida-Nya. Jangan pernah berhenti memohon kepada-Nya agar iman kita bertambah dengan ketaatan-ketaatan pada-Nya.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/70768-untukmu-yang-sedang-malas-beribadah.html