Jamaah Umroh Keluhkan Pelayanan Karantina di Arab Saudi

Jamaah umroh asal Indonesia mengeluhkan pelayanan di hotel-hotel karantina di Arab Saudi. Saat ini, karantina jamaah di bawah koordinasi otoritas penerbangan Arab Saudi, General Authority of Civil Aviation (GACA).

“Ada beberapa di airline terkait dengan hotel karantina, sering juga terjadi hotel karantina yang tidak sesuai dengan vocer yang diberi yang sudah dibeli satu paket dengan tiket,” kata Wakil Wakil Ketua Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umroh Haji (Ampuh) Tri Winarto, saat dihubungi Republika, Senin (24/1/2022).

Tri menceritakan, di antara masalah yang terjadi di tempat-tempat karatina di antaranya misalnya ada yang beli vocer karantina di hotel ke bintang lima atau bintang empat. Namun, ternyata jamaah ditempatkan di hotel bintang tiga dan lain sebagainya.

Beberapa masalah lain yang masih ditemui oleh para penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) adalah tidak sesuainya hotel karantina dengan yang dipesan. Persoalan ini menjadi paling banyak dikeluhkan.

“Kita temui di lapangan yang dikeluarkan oleh penyelenggara terkait dengan karantina ini memang kebanyakan karena hotel yang dia beli tidak tersedia sehingga dipindahkan oleh maskapai seenaknya,” katanya.

Masalah karantina ini juga berdampak terhadap pelayanan makan di hotel-hotel karantina. Jamaah banyak mengeluhkan pelayanan makan di hotel karantina tidak baik, waktu makan tidak tepat, dan menu makanan yang disediakan tidak layak.

“Ada beberapa travel yang mendapatkan perlakuan katering di hari pertama hari kedua yang sangat tidak layak,” katanya.

Tri memastikan, setelah para penyelenggara komplain di grup masing-masing, pihak terkait langsung merespons semua keluhan yang dirasakan jamaah terkait masalah pelayanan karantina. “Tetapi setelah ramai diributkan di grup PPIU yang ada di Indonesia akhirnya di hari ketiga sudah mulai ada perbaikan ada komunikasi sehingga bisa teratasi,” katanya.

Tri mengatakan karantina jamaah umroh Indonesia di Saudi ada di dua kota, yaitu Jeddah dan Madinah. Karantina masih mengacu kepada SOP yang diterbitkan oleh GACA, yaitu empat malam lima hari.

“Memang beberapa keberangkatan ada yang rumor mengatakan cukup dua malam tiga hari dengan satu kali PCR sudah lepas,” katanya.

Akan tetapi, maskapai Garuda masih tetap patuh terhadap apa yang disampaikan oleh GACA, yaitu empat malam lima hari. Sehingga jamaah yang menggunakan maskapai Garuda tidak masalah dengan karantina.

“Untuk Garuda sendiri sepertinya tidak ada masalah,” katanya.

IHRAM

Pekerjaan Terbaik Bagi Seorang Muslim, Seperti Apa?

Apakah pekerjaan yang terbaik bagi seorang Muslim? Menjawab pertanyaan ini, dosen senior di Institut Islam Toronto, Ontario, Kanada, Syekh Ahmad Kutty menjelaskan seorang muslim tidak harus memilih menjadi imam atau sarjana Islam untuk mendapatkan sumber hidup dan pekerjaan yang halal untuk menyenangkan Allah.

“Islam mengajarkan kita bahwa seseorang dapat memilih pekerjaan atau bidang yang bermanfaat dan berkontribusi pada masyarakat,”kata dia seperti dilansir aboutislam.net, Senin (24/1/2022).

Syekh Kutty menjelaskan, begitu niatnya adalah untuk melayani Allah dengan memberi manfaat bagi ciptaan-Nya dan tujuan serta sarananya benar, setiap Muslim dapat memilihnya. Itu semua tergantung pada area mana setiap Muslim dapat unggul dan berkontribusi pada masyarakat di mana ada kebutuhan yang lebih besar.

“Jadi, cari tahu apa bakat kita dan bagaimana kita bisa unggul di dalamnya. Jika kita dapat unggul dalam pengobatan dan berharap dapat melayani orang melaluinya, kita harus melakukannya,”ujar dia.

Seperti yang kita ketahui, dalam kedokteran itu sendiri, ada area di mana kita dapat memilih untuk berspesialisasi, jadi fokuslah pada hal itu untuk memberikan kontribusi unik kita. “Jika, sebaliknya, bakat kita adalah untuk hukum, maka lakukanlah. Tetapi pastikan untuk menggunakan profesi kita untuk membela hak-hak mereka yang tertindas,”ujar dia.

Contoh lain, jika kitatertarik dengan teknik , atau mengajar, atau menulis atau ilmu sosial, maka kita tidak perlu menganggapnya kalah dengan yang di atas. Bidang apa pun di mana kita bisa unggul dan bermanfaat bagi masyarakat dapat dipilih.

Dalam sebuah hadits disebutkan,  “Selalu berusaha untuk memenuhi tujuan yang bermakna dan bermanfaat dan berusaha keras untuk mencapainya dengan bertawakal kepada Allah. Jika, setelah mengeluarkan yang terbaik dari usaha Anda, Anda menemukan diri Anda kewalahan dan tidak dapat melanjutkan, katakan itu adalah kehendak Allah’, (Dan kemudian tinggalkan dan pilih yang lain) Dan jangan pernah mengatakan pada diri sendiri: Saya berharap saya telah melakukan ini atau itu, untuk diri sendiri pembicaraan hanya akan membantu iblis bermain dengan pikiranmu.” ( Muslim )

Kesimpulannya, mengejar tujuan yang sesuai, mencapai keunggulan, dan mencari keridhaan Allah dengan mendapatkan sumber kehidupan yang halal dan melayani umat manusia. Dan jangan pernah lalai berdoa, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat dan lindungi kami dari siksa api neraka.

IHRAM

Kisah Ahli Maksiat Diampuni Allah Karena Bershalawat Kepada Rasulullah

Dalam kitab Al-Mawa’idz Al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Al-‘Ushfuri menyebutkan sebuah kisah bahwa di zaman Nabi Musa, terdapat seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil yang ahli maksiat. Semasa hidupnya, dia selalu melakukan kemaksiatan dan dan selalu menyakiti serta manzalimi orang-orang di sekitarnya.

Suatu ketika, laki-laki tersebut terkena penyakit dan meninggal dunia. Karena semasa hidupnya dia selalu menyakiti dan menzalimi orang lain, serta selalu berbuat maksiat, maka orang-orang di sekitarnya membiarkan jenazahnya dan menelantarkannya dengan dibuang di tempat sampah di dekat pasar.

Kemudian Allah memberi wahyu kepada Nabi Musa agar dia segera merawat dan mengurus jenazah laki-laki tersebut, dengan dimandikan, dishalati kemudian dikuburkan. Setelah menerima perintah wahyu tersebut, maka Nabi Musa langsung bergegas untuk mencari jenazah laki-laki yang sudah dibuang ke tempat sampah tersebut.

Nabi Musa pun menanyakan kepada kaumnya mengenai jenazah laki-laki yang sudah meninggal tersebut, sebagaimana yang telah diwahyukan Allah kepadanya. Namun ketika Nabi Musa menanyakan jenazah laki-laki tersebut kepada seseorang, ia langsung marah sambil mengatakan bahwa laki-laki tersebut adalah seseorang yang ahli maksiat yang setiap harinya selalu bermaksiat kepada Allah.

Mendengar hal itu, Nabi Musa heran dan berfikir bahwa mungkin orang yang ditanyakannya adalah salah. Sebab mana mungkin Allah menyuruhnya untuk mengurus jenazah laki-laki tersebut jika dia adalah orang yang ahli maksiat dan zalim.

Nabi Musa kemudian mencoba bertanya lagi kepada orang lain mengenai jenazah laki-laki tersebut, sebagaimana yang telah diwahyukan oleh Allah. Namun orang yang kedua juga menjawab dengan jawaban yang sama dan mengatakan bahwa laki-laki tersebut adalah seorang ahli maksiat dan senantiasa berbuat kezaliman dan menyakiti orang lain.

Nabi Musa benar-benar heran dan bertanya kepada Allah mengapa Dia memerintahkan dirinya untuk mengurusi jenazah seorang laki-laki yang oleh kaumnya dinilai sebagai ahli maksiat dan zalim.

Kemudian, Allah menjawab dengan berfirman kepada Nabi Musa; ‘Itu dikarenakan sebelum meninggal, dia telah membuka kitab Taurat dan dia menemukan nama Muhammad di dalamnya. Kemudian dia merangkul kitab Taurat itu, dan menciuminya serta dia bershalawat kepada Muhammad. Karena itu, aku pun mengampuninya.

Melalui kisah di atas, maka selayaknya kita senantiasa memperbanyak bershalawat kepada Rasulullah Saw. Jika seorang ahli maksiat dari umat Nabi Musa saja mendapatkan ampunan Allah sebab bershalawat kepada Rasulullah Saw, maka kita sebagai umat Nabi Muhammad, dengan bershalawat kepada beliau, tentunya lebih pantas lagi untuk mendapatkan ampunan-Nya.

BINCANG SYARIAH

Tiga Macam Orang Paling Awal Disiksa di Neraka

Dikisahkan bahwa kelak di akhirat ada tiga macam orang yang akan disiksa paling awal di neraka. Kisah ini terdapat pada bagian awal kitab Tanbihu al-Ghafilin karya al-Faqih Abu al-Laits al-Samarqandi yang didapatkan dari Amir al-Ashbahi. Siapakah tiga macam orang paling awal disiksa di neraka ? 

Alkisah, pada suatu hari Amir al-Ashbahi pergi berkunjung ke Madinah dan melihat sesosok laki-laki sedang berada di antara sekumpulan orang-orang. Maka bertanyalah ia kepada salah seorang di antara mereka, “siapakah dia?” orang itu menjawab, “dia adalah Abu Hurairah”.

Begitu orang-orang beranjak pergi, Amir al-Ashbahi mendekati Abu Hurairah seraya berkata, “Demi Allah, beritahukanlah kepadaku sebuah hadis yang engkau dengar langsung dari Rasulullah Saw”. “Duduklah, aku akan memberitahumu satu hadis yang disampaikan Rasulullah kepadaku, dimana pada saat itu hanya ada aku dan beliau” ujar Abu Hurairah.

Tiba-tiba Abu Hurairah menghela napas panjang lalu kemudian jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri. Setelah bangun dari pingsannya, ia mengusap wajahnya lalu berkata;

“Dengarkankah, hadis ini aku peroleh langsung dari Rasulullah”. Usai berkata demikian ia lalu pingsan kembali. Kejadian ini berulang sampai tiga kali hingga ketika tersadar dari pingsannya yang ketiga ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: 

“Sesungguhnya kelak pada hari kiamat Allah yang maha memberi berkah dan yang maha tinggi akan mengadili semua urusan makhluknya dan setiap dari mereka akan tunduk kepadanya. 

Orang pertama yang dipanggil adalah orang yang ahli membaca al-Quran, lalu Allah bertanya kepadanya, “Bukankah telah aku ajarkan kepadamu apa yang aku wahyukan kepada utusanku?” ia pun menjawab, “Saya telah mengamalkannya sepanjang siang dan malam” akan tetapi Allah Swt menyangkalnya, “Kamu telah berdusta”. 

Lantas malaikat pun berkata, “kau pendusta, sebab kau melakukannya agar mendapatkan pujian orang dan supaya dicap sebagai orang yang ahli dan mahir membaca al-quran (bukan semata-mata karena Allah) dan itu semua telah kamu dapatkan di dunia”.

Kemudian dipanggillah orang yang kedua, dia adalah seorang hartawan. Dia pun mendapatkan pertanyaan sebagaimana orang pertama, “Apakah yang telah kamu perbuat dengan harta yang telah aku berikan kepadamu?” dengan mantap orang itu menjawab; 

“Aku telah membelanjakannya untuk menyambung silaturrahim dan bersedekah dengannya” akan tetapi Allah menyangkalnya, “Kamu telah berdusta” lantas malaikat menambahkan, “Kau pendusta, karena kau membelajakan hartamu hanya agar mendapat pujian orang dan supaya dicap sebagai orang yang dermawan dan hal itu telah kamu dapatkan di dunia”

Lalu dipanggillah orang yang ketiga, dia adalah seorang yang berjihad atau berperang di jalan Allah. Lantas ditanyakan kepadanya, “kenapa kamu terbunuh?” ia pun menjawab;

 “Saya terbunuh karena berperang di Jalan-Mu” tetapi Allah menyangkalnya, “Kamu telah berdusta” dan malaikat berkata, “Kau pendusta, karena kau melakukannya hanya agar mendapat pujian orang dan supaya disebut sebagai pahlawan yang gagah berani dan rela mati demi agama sedangkan semua itu sudah kau dapatkan di dunia”.

“Setelah itu Rasulullah menepuk lututku” terang Abu Hurairah lalu bersabda; “Wahai Abu Hurairah, ketiga macam orang itulah yang paling awal disiksa di neraka”.

Demikian kisah tersebut, semoga kita bisa mengambil hikmah bahwa niat semata-mata karena Allah itu penting dalam amal ibadah. Sebab, betapapun banyak amal yang kita lakukan, semuanya menjadi tidak bernilai jika dihinggapi rasa riya’.  

Demikian penjelasan tiga macam orang  paling awal disiksa di neraka. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Benarkah Sedekah Harta Pasti akan Dibalas 10x Lipat di Dunia?

Sebagian orang memahami bahwa jika kita sedekah dengan suatu harta, maka pasti akan dibalas oleh Allah dengan diberikan 10x lipatnya dari harta tersebut. Misalnya jika sedekah uang 100 ribu, akan mendapatkan balasan 1 juta rupiah. Jika sedekah mobil seharga 100 juta, akan mendapatkan mobil seharga 1 milyar. Dan seterusnya.

Mereka berdalil dengan ayat,

مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Siapa yang melakukan suatu kebaikan, maka ia akan mendapatkan balasan 10 kali lipatnya.” (QS. Al-An’am: 160).

Kita katakan, ini (memastikan balasan 10x lipat dari harta semisal) adalah pemahaman yang keliru karena beberapa poin berikut:

Pertama:

Hendaknya amalan-amalan saleh yang kita lakukan, termasuk sedekah, kita niatkan semata-mata untuk mencari wajah Allah semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعْبُدُواْ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan, kecuali untuk menyembah kepada Allah semata dan mengikhlaskan semua amalan hanya untuk Allah.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Orang yang beribadah dengan niat murni untuk mencari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa. Dari Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إنَّما الأعْمالُ بالنِّيَّةِ، وإنَّما لِامْرِئٍ ما نَوَى، فمَن كانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللَّهِ ورَسولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إلى اللَّهِ ورَسولِهِ، ومَن هاجَرَ إلى دُنْيا يُصِيبُها أوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُها، فَهِجْرَتُهُ إلى ما هاجَرَ إلَيْهِ

“Sesungguhnya amalan itu hanyalah tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan ganjaran sesuai niatnya. Barangsiapa yang hijrah untuk Allah dan rasul-Nya, maka amalan hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya untuk apa yang ia niatkan tersebut.” (HR. Bukhari no. 6953)

Para ulama, da’i, ustaz, hendaknya mendakwahkan dan memotivasi umat untuk mengikhlaskan amalannya hanya untuk Allah semata, bukan untuk niatan-niatan lainnya. Inilah dakwahnya seluruh Nabi dan Rasul. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya aku menyembah Allah semata dengan memurnikan semua ibadah hanya kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar : 11).

Kedua:

Orang yang beribadah untuk mencari kenikmatan dunia diancam dengan keras oleh Allah dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahannam. Dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’: 18)

Rincian mengenai hal ini dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, bahwa ada 3 golongan dalam hal ini:

  1. Orang yang bersedekah karena mengharap pujian dari makhluk. Maka, ini adalah riya dan ia tidak mendapatkan pahala sama sekali, bahkan ia melakukan syirik ashghar.
  2. Orang yang bersedekah 100% karena mencari balasan dunia semata seperti mengharapkan kekayaan, ketenaran, kedudukan, dan lainnya. Maka, ini juga tidak mendapatkan pahala apa-apa dan tidak mendekatkan kepada Allah sedikit pun.
  3. Orang yang bersedekah karena mencari rida Allah sekaligus mencari balasan dunia. Maka ini dirinci lagi:
    1. Jika niat mencari balasan dunianya lebih dominan, maka ia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa, bahkan ia berdosa. Karena menjadikan ibadah sebagai perantara untuk cari dunia.
    2. Jika niat mencari rida Allah lebih dominan, ini hukumnya boleh, namun mengurangi kesempurnaan pahala dan mengurangi keikhlasan.
    3. Jika niat mencari rida Allah sama besar dengan niat mencari dunia, maka tidak ada pahala baginya.

(Diringkas dari Fatawa Arkanil Islam no. 21)

Ketiga:

Yang dimaksud oleh surah Al-An’am ayat 160 adalah pahalanya yang dilipat-gandakan. Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan salah satu tafsir dari ayat ini,

قيل: إن معنى ذلك غير الذي ذهبتَ إليه, وإنما معناه: من جاء بالحسنة فوافَى الله بها له مطيعًا, فإن له من الثواب ثواب عشر حسنات أمثالها

“Sebagian ulama mengatakan, ‘Sesungguhnya maknanya tidaklah sebagaimana yang anda pahami. Sesungguhnya maknanya adalah barangsiapa yang melakukan kebaikan dalam rangka berbuat ketaatan kepada Allah, maka ia akan mendapatkan tsawab (pahala) sebanyak pahala dari 10 kebaikan yang semisal.’” (Tafsir Ath-Thabari)

Jadi, bukan berarti benda yang disedekahkan itu akan dilipat-gandakan 10x lipat oleh Allah sebagai balasan. Namun, yang dilipat-gandakan adalah pahalanya.

Makna ini jelas sekali termaktub dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ

“Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, namun tidak jadi dilakukan, maka ditulis baginya 1 kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, dan jadi dilakukan, maka ditulis baginya 10x sampai 700x kebaikan. Siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, namun tidak jadi dilakukan, maka tidak ditulis keburukan tersebut. Dan jika dilakukan, ditulis 1 keburukan.” (HR. Muslim no. 130)

Jelas dalam hadis ini menggunakan kata كُتِبَتْ (ditulis), sehingga yang 10x sampai 700x lipat adalah pahalanya, bukan benda yang disedekahkan. Karena yang ditulis itu pahala.

Selain itu, jumhur ulama mufassirin menafsirkan surat Al-An’am ayat 160 bahwa makna al-hasanah adalah kalimat laa ilaaha illallah. Sehingga orang yang mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah dan menjalankan konsekuensinya akan diganjar 10x lipat berupa keimanan.

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan,

والتقدير : فله عشر حسنات أمثالها ، أي له من الجزاء عشرة أضعاف مما يجب له . ويجوز أن يكون له مثل  ويضاعف المثل فيصير عشرة . والحسنة هنا : الإيمان

“Maknanya adalah ia mendapatkan 10 hasanah yang semisalnya. Maksudnya, ia mendapatkan ganjaran 10x lipat dari apa yang berhak ia dapatkan, atau mungkin ia mendapatkan yang semisalnya, namun yang semisalnya ini dilipat-gandakan 10x. Dan al-hasanah di sini maksudnya adalah iman.” (Tafsir Al-Qurthubi).

Tafsiran ini semakin menguatkan bahwa yang dilipat-gandakan bukanlah barangnya.

Keempat:

Andaikan seseorang bersedekah niatnya yang dominan adalah untuk mencari wajah Allah, namun juga ia berharap diberikan dunia atas sebab sedekahnya tersebut, maka ini telah kita bahas bahwa hukumnya boleh, namun mengurangi pahalanya.

Namun, pengabulan permintaan tersebut tidak mesti berupa diberikan 10x barang yang semisal atau senilai. Karena pengabulan permintaan itu ada 3 kemungkinan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »

“Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah yang tidak mengandung dosa dan memutus silaturahmi, melainkan Allah akan beri padanya salah satu dari tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan sesuai dengan doanya, [2] Allah akan menyimpan pengabulannya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan dirinya dari kejelekan yang semisal (dengan permintaannya).” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian.” (HR. Ahmad no. 11133, disahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.1633)

Sehingga, kita tidak berhak memastikan bahwa pengabulan permintaan kita kepada Allah akan dibalas sesuai keinginan sebanyak 10x lipat. Terkadang Allah akan balas di dunia, terkadang tidak. Bukankah ada dua kemungkinan lainnya?? Allah yang lebih tahu mana pengabulan yang terbaik untuk seorang hamba yang meminta kepada Allah.

Kelima:

Kami tidak mengetahui kalam ulama yang mengatakan bahwa siapa sedekah suatu benda akan mendapatkan 10x lipat benda tersebut atau yang senilainya.

Kami juga tidak mengetahui ada di antara salafus shalih yang mengamalkan demikian, bahwa ada salafus shalih yang jika menginginkan sesuatu dari dunia, maka ia akan sedekah 1/10 nya untuk mendapatkan sesuatu tersebut.

Nasihat berharga Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah,

لا تتكلم في مسألة ليس لك فيها إمام

“Janganlah engkau menyampaikan suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki pendahulu dari para ulama sebelumnya.”

Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/71917-sedekah-harta-akan-dibalas-10x-lipat-di-dunia.html

Pagi Hari, Waktu yang Didoakan Nabi Muhammad

Nabi Muhammad mendoakan umatnya di pagi hari.

Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi’i Jember, Ustadz Abdullah Zaen Lc.,MA mengatakan, pagi hari merupakan waktu yang paling indah dalam sepanjang hari. Sebab itu adalah waktu istimewa yang diberkahi Allah ta’ala. Untuk itu para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menghargai waktu tersebut.

Abu Wa’il bercerita, “Suatu pagi kami berkunjung ke rumah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sesudah Shubuh. Setelah mengucapkan salam, kami dipersilahkan masuk. Namun kami berhenti sejenak di depan pintu. Hingga pembantunya keluar sembari berkata, “Silakan masuk”. Kami pun masuk. Ternyata saat itu Ibnu Mas’ud sedang duduk berzikir. 

Beliau bertanya, “Mengapa kalian tadi tidak segera masuk? Padahal sudah kuizinkan masuk”. Kami menjawab, “Kami pikir barangkali ada sebagian anggota keluargamu sedang tidur”. Beliau berkata, “Apakah kalian pikir keluargaku pemalas?” Kemudian beliau melanjutkan dzikirnya hingga matahari terbit. Selesai berdzikir beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan pada kita kesempatan hidup di hari ini dan tidak membinasakan kita akibat dosa-dosa kita”. HR. Muslim.

“Kisah ini menunjukkan betapa para salaf sangat menghargai waktu pagi dan bersemangat guna mengoptimalkannya dalam kebaikan. Sehingga dampaknya sepanjang hari mereka dipenuhi produktifitas,” kata ustaz lulusan S2 jurusan Aqidah, Universitas Islam Madinah ini dalam keterangan tertulisnya kepada Republika

Ustadz mengungkapkan, Pagi hari laksana masa muda yang penuh dengan vitalitas, dan sore hari ibarat masa tua. Barangsiapa yang terbiasa melakukan suatu aktivitas pada masa mudanya, niscaya ia akan terbiasa mengerjakannya hingga masa tuanya. Demikianlah, aktifitas seseorang pada pagi hari akan mempengaruhi semangat kerja sepanjang harinya. 

“Jika ia memulai dengan semangat, maka akan menyelesaikan harinya dengan penuh kesemangatan. Sebaliknya jika mengawalinya dengan kemalasan, maka itulah yang akan dominan di sepanjang harinya. Barangsiapa mampu mengendalikan awal harinya; niscaya seluruh harinya akan terkendali dengan baik, seizin Allah,” kata Ustadz Abdullah. 

Maka jangan heran bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan umatnya, 

“اللهُمَّ بَارِكْ ‌لِأُمَّتِي ‌فِي ‌بُكُورِهَا”

“Ya Allah berkahilah untuk ummatku di waktu paginya”. HR. Ahmad dari Shakhr al-Ghamidiy radhiyallahu ‘anhu dan dinilai hasan oleh Tirmidziy.

“Tidak pantas bagi kita untuk menyia-nyiakan keberkahan waktu tersebut dengan tidur atau bermain gadget atau hal-hal tak bermanfaat lainnya. Apapun aktivitas kita, belajar, mengajar, berdagang, bertani, mengantor atau mengurusi rumah tangga, jika semua itu diawali dengan meraih keberkahan pagi hari, niscaya seluruh aktivitas tersebut akan sukses, insyaAllah,” ucap Ustadz Abdullah. 

Dinukil dalam kitab Zad al-Ma’ad, bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mendapati salah satu anaknya tidur di pagi hari. Maka beliaupun segera membangunkannya seraya berkata, “Bangun! Tidak pantas engkau tidur di saat rizki sedang dibagi-bagikan oleh Allah”.

KHAZANAH REPUBLIKA

Rasulullah Berdoa untuk Umatnya di Pagi Hari

Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi’i Jember, Ustadz Abdullah Zaen Lc.,MA mengatakan, pagi hari laksana masa muda yang penuh dengan vitalitas, dan sore hari ibarat masa tua. Barangsiapa yang terbiasa melakukan suatu aktivitas pada masa mudanya, niscaya ia akan terbiasa mengerjakannya hingga masa tuanya.

Demikianlah, aktifitas seseorang pada pagi hari akan mempengaruhi semangat kerja sepanjang harinya.  “Jika ia memulai dengan semangat, maka akan menyelesaikan harinya dengan penuh kesemangatan. Sebaliknya jika mengawalinya dengan kemalasan, maka itulah yang akan dominan di sepanjang harinya. Barangsiapa mampu mengendalikan awal harinya; niscaya seluruh harinya akan terkendali dengan baik, seizin Allah,” kata Ustadz Abdullah. 

Maka jangan heran bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan umatnya, 

“اللهُمَّ بَارِكْ ‌لِأُمَّتِي ‌فِي ‌بُكُورِهَا”

“Ya Allah berkahilah untuk ummatku di waktu paginya”. HR. Ahmad dari Shakhr al-Ghamidiy radhiyallahu ‘anhu dan dinilai hasan oleh Tirmidziy.

Abu Wa’il bercerita, “Suatu pagi kami berkunjung ke rumah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sesudah Shubuh. Setelah mengucapkan salam, kami dipersilahkan masuk. Namun kami berhenti sejenak di depan pintu. Hingga pembantunya keluar sembari berkata, “Silakan masuk”. Kami pun masuk. Ternyata saat itu Ibnu Mas’ud sedang duduk berzikir. 

Beliau bertanya, “Mengapa kalian tadi tidak segera masuk? Padahal sudah kuizinkan masuk”. Kami menjawab, “Kami pikir barangkali ada sebagian anggota keluargamu sedang tidur”. Beliau berkata, “Apakah kalian pikir keluargaku pemalas?” Kemudian beliau melanjutkan dzikirnya hingga matahari terbit. Selesai berdzikir beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan pada kita kesempatan hidup di hari ini dan tidak membinasakan kita akibat dosa-dosa kita”. HR. Muslim.

“Kisah ini menunjukkan betapa para salaf sangat menghargai waktu pagi dan bersemangat guna mengoptimalkannya dalam kebaikan. Sehingga dampaknya sepanjang hari mereka dipenuhi produktifitas,” kata ustaz lulusan S2 jurusan Aqidah, Universitas Islam Madinah ini dalam keterangan tertulisnya kepada Republika. 

“Tidak pantas bagi kita untuk menyia-nyiakan keberkahan waktu tersebut dengan tidur atau bermain gadget atau hal-hal tak bermanfaat lainnya. Apapun aktivitas kita, belajar, mengajar, berdagang, bertani, mengantor atau mengurusi rumah tangga, jika semua itu diawali dengan meraih keberkahan pagi hari, niscaya seluruh aktivitas tersebut akan sukses, insyaAllah,” ucap Ustadz Abdullah. 

Dinukil dalam kitab Zad al-Ma’ad, bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mendapati salah satu anaknya tidur di pagi hari. Maka beliaupun segera membangunkannya seraya berkata, “Bangun! Tidak pantas engkau tidur di saat rizki sedang dibagi-bagikan oleh Allah”.

IHRAM

Manusia Berasal dari Kera?

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:

Seperti yang telah diketahui, bahwa sebagian manusia menduga bahwa mereka berasal dari hewan, karena mereka setuju dengan teori orang barat (baca: teori evolusi). Bagaimana pendapat Anda dalam hal tersebut?

Jawaban:

نظرية دارون تقول الإنسان أصله قرد وأن ابن آدم حيوان ينطق وكلنا حيوان، فالله خلق لابن آدم حياة وجعل له عقلاً ونطقاً

“Teori Darwin berbunyi bahwa manusia berasal dari kera. Teori tersebut mengklaim bahwa anak keturunan Adam adalah hewan yang bisa berbicara, dan setiap manusia adalah hewan. Padahal, Allah Ta’ala telah menciptakan anak keturunan Adam kehidupan dan menjadikan mereka memiliki akal dan dapat berbicara.”

ولكن هذه النظرية الخبيثة باطلة بإجماع أهل العلم، فالقردة أمة من الأمم والكلاب أمة من الأمم والخنازير أمة من الأمم والقطط أمة من الأمم وهكذا الأسود والنمور والفهود وغيرها، أما الإنسان فهو حيوان مستقل ناطق عاقل خلقه الله من ماء مهين، وأبونا آدم عليه الصلاة والسلام خلقه الله من طين

“Teori yang buruk ini adalah sebuah kesalahan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu. Kera adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup [1]. Demikian juga anjing adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup. Babi adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup. Kucing adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup. Seperti itu pula dari singa, harimau, citah, dan lain-lain. Adapun manusia, maka ia adalah jenis makhluk hidup tersendiri. Ia dapat berbicara, berakal, dan diciptakan Allah Ta’ala dari air yang hina. Bapak kita adalah Adam ‘Alaihi Ash-Sholatu Wassalaam. Allah Ta’ala menciptakan beliau dari tanah.”

فهو حيوان مستقل وأمة من الأمم قائمة وهم بنو آدم، والجن أيضاً أمة قائمة خلقوا من مارج من نار، وكل نوع من الحيوان أمة قائمة حتى النمل أمة.

“Maka, manusia adalah jenis makhluk hidup yang tersendiri. Salah satu jenis dari sekian banyak jenis makhluk hidup yang ada. Mereka adalah Bani Adam (anak keturunan Adam). Golongan jin juga demikian. Mereka diciptakan dari nyala api. Setiap jenis dari makhluk hidup tersebut adalah sebuah umat tersendiri. Bahkan semut adalah satu umat tersendiri. [2]

***

Penulis: Muhammad Fadhli

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki: [1] Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُم

“Tidaklah setiap makhluk yang berjalan di muka bumi, demikian juga burung-burung yang terbang dengan dua sayapnya, kecuali mereka semua adalah umat-umat seperti kalian” (QS. Al An’am: 38). [2] Dikutip dari As’ilatul Hujjaj tahun 1407 H Kaset no.1, Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu Ta’ala (http://iswy.co/e1048p).

Sumber: https://muslim.or.id/71915-manusia-berasal-dari-kera.html

Wazi’ Perilaku Manusia dalam Islam

K.H. Afifuddin Muhajir menyebutkan salah satu keunggulan undang-undang syariat dibandingkan dengan undang-undang positif adalah memiliki pengendali Agama (wazi’ qurani) dan kekuasaan (wazi’ sulthani) sekaligus.

Sementara undang-undang positif hanya memiliki pengendali kekuasaan (wazi’ sulthani). Syekh Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya Maqhasidus Syariah Islamiyah [367-370] mengatakan bahwa syariat islam di dalam menerapkan undang-undang pensyariatannya memberikan suatu otoritas legalitas formal untuk mengendalikan tindak-tanduk manusia dalam mensukseskan penerapan syariat Islam.

Pengendali atau dalam istilah lain adalah wazi’ (yang mengawal/mendekti/mengendalikan prilaku manusia) dalam islam diklasifikasi tiga bagian. Pertama wazi’ jibilly. Kedua, wazi’ qurani. Ketiga wazi’ sulthani.

Wazi’ jibillyi/ fitrah manusia

merupakan pengendali secara fitrah manusia atau karakter kemanusiaan. Pertama-tama, syariat berpegangan terhadap pengendali fitrah kemanusiaan untuk mengawal tindak-tanduk manusia.

Oleh karena itu, syariat hanya memberikan warning kepada manusia untuk melakukan sesuatu karena mengandung kemaslahatan yang secara hati nurani digandrungi atau disenangi.

Sebaliknya, syariat cukup memberikan peringatan untuk menghindar dari hal-hal yang negatif secara fitrah. Dengan demikian, syariat tidak perlu mewajibkan sesuatu untuk dilaksanakan maupun dihindari karena mencukupkan dengan wazi jibilly ini. dengan kaidah

الوازع الجِبِلّي يغني عن ايجاب الشرع

“Pengendali fitah kemanusian mencukupkan diri dari mewajubkannya syari’at”

Contoh dalam hal ini semisal makan, berpakaian, ingin melakukan hubungan seksual dan lain sebgainya. Oleh karena itu, syariat tidak sampai mewajibkan pernikahan karena secara fitrah manusia pasti ingin melakukannya. Hanya saja, syariat mengatur dan melembagakan hubungan seksual dalam pernikahan agar tetap sesuai dengan undang-undang syariat.

Wazi’ sulthani atau pengendali kekuasaan

Pada dasarnya dilegitimasi oleh syariat untuk mengawal prilaku individual maupun anggota msyarakat agar tetap sesuai dengan tuntunan syariat. Pada biasanya, peran pengendali ini ketika pengendali secara rohani dan qurani sudah melemah dan hal yang mendorong untuk melanggar aturan syariat mulai menguat.

Syekh Ibnu Asyur menegaskan;

فمتى ضعف الوازع الديني، في زمن أو قوم أو في أحوال يُظَنُّ أن الدافع إلى مخالفة الشرع في مثلها أقوى على أكثر النفوس من الوازع الديني، هنالك يُصار إلى الوازع السلطاني، فيناطُ التنفيذُ بالوازع السلطاني.

“Ketika suatu waktu dan pada kaum tertentu pengendali Agama sudah melemah, atau situasi dan kondisi sosial yang menyalahi aturan syariat tidak dapat dibendung maka disanalah peran pengendali kekuasaan. Dengan demikian, pelaksanaan undang-undang syariat dikatkan dengan pengendali kekuasaan”

Hal yang senada dikatakan oleh Khulafa Al-Rayidin Sayyidina Utsman;

: “يزع الله بالسلطان ما لا يزع بالقرآن”

“Allah memberikan tali pengendali dengan kekuasaan di dalam hal yang tidak dikendalikan dengan Al-Quran”

Wazi’ Al-Qur’ani/agama

Pada dasarnya, seluruh ketentuan-ketentuan syariat secara garis besar pelaksanaannya dikaitkan dengan pengendali agama yaitu keimanan yang benar yang melahirkan rasa pesimis dan optimis kepada Tuhan seacara proporsional.

Dua pengendali di atas, yaitu pengendali Nurani dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dengan pengendali Agama. Sebab tiga pengendali ini secara berkelindan satu sama lain untu mengawal prilaku sosial maupun individual dalam penerapan syariat islam.

Hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Syeh Ibnu Asyur;

واعلم أن الوازع الديني ملحوظٌ في جميع أحوال الاعتماد على نوعي الوازع. فإن الوازع السلطاني تنفيذ للوازع الديني، والوازع الجبلي تمهيد للوازع الديني

“ketahuilah, bahwa pengendali Agma dijega dalam segala kondisi yang ditopang dengan kedua pengendali lainnya. Karena pengendali kekuasaan menerapkan tugas pengendali Agama sedangkan pengendali rohani sebagai pengenal untuk pengendali Agama”

Wazi’ ijtima’iyah

Itulah tiga pengendali atau tiga hal yang mendikte tindak-tanduk manusia yang diberikan oleh Allah kepada seluruh manusia agar mengendalikan dirinya di dalam penerapan syariat Islam.

Namun, menurut Dr. K.H. Imam Nakhe’i, ada satu pengendali lagi yaitu wazi’ ijtima’iyah kendali sosial karena banyak seorang individu ingin melakukan sesuatu namun tidak bisa karena memandang terhadap sosialnya.

Misalnya perzinahan seseorang tidak melakukan perzinahan bukan karena Negara maupun keagamaan melainkan justru karena sosial sebab sosialnya orang yang berzina dipandang buruk.

Demikian, orang berbaju dengan menggunakan kerudung bukan krena agama maupun negara namun karena sosialnya memandang buruk orang yang tidak menggunakan kerudung sehingga sang individu tetap menggunakan kerudung dengan pertimbangan sosialnya. Wallhu A’lam.

BINCANG SYARIAH