Wasiat Seputar Ghibah

Ghibah atau menggunjing orang lain, menyebarkan aib-aibnya dengan tujuan menjatuhkan kehormatan merupakan akhlak buruk yang harus dihindari. Tidak hanya di dunia nyata namun juga di media sosial pun banyak orang yang terjebak dalam ghibah. Di bawah ini ada pesan-pesan indah para salafus shaleh berkaitan dengan ghibah, agar kita terhindar dari penyakit berbahaya ini.

Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata: “Ghibah lebih berat daripada hutang karena hutang bisa dibayar sedangkan ghibah tidak bisa dibayar.” (Hilyatul Auliya 7/25).

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: ” Kebaikan-kebaikan (pahala) yang kau dapatkan dari musuh-musuhmu justru lebih banyak dibandingkan yang berasal dari temanmu. Hal ini karena sesungguhnya musuhmu suka menghidupimu sehingga dengan demikian berarti dia memberikan kebaikan-kebaikannya kepadamu sepanjang malam dan siang.” (Majmu’ Rasail, Ibnu Rajab, hlm 643)

Demikianlah kerugian orang yang gemar mengekspos keburukan orang lain dan beruntunglah dengan tambahan amal shaleh dan pahala ketika di ghibahi. Ada kalanya orang yang suka menghibah terlihat sukses di dunia, bahkan ghibah seolah-olah tak berpengaruh pada kehidupannya hingga ghibah telah menjadi kebiasaannya. Namun, sadarlah dosa ghibah akan menuai azab baik di dunia maupun di akhirat. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Jangan tertipu apabila engkau belum melihat pengaruh dosamu setelah kamu memperbuatnya, ada kalanya engkau akan mendapati pengaruh dosa tersebut setelah 40 tahun mendatang.” (Ad Da’ wa Dawaa‘, 130).

Para ulama dalam Ha’iah Kibaril Ulama menjelaskan: “Apapun alasannya, tidak dibenarkan menggunakan media sosial untuk menyebarkan sesuatu yang dapat merusak kehormatan orang lain (tanpa haknya). Siapa saja yang suka mencari-cari kesalahan saudaranya maka Allah akan membongkar aib dan keburukannya”. (Hai’ah Kibarul Ulama dalam situs resmi. https://twitter.com/ss-at/status/1821904598638422616).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman tidak masuk ke hatinya, jangan kalian menggunjing kaum muslimin dan jangan mencari aib-aib mereka. Karena barangsiapa mencari-cari aib mereka maka Allah akan mencari-cari aibnya dan barangsiapa aibnya dicari-cari oleh Allah maka Dia akan mempermalukannya (meski ia berada) di rumahnya.” (HR. Abu Dawud, 4880, Ahmad 4/420-421, 424).

Demikianlah sudah saatnya kita memenej lisan agar selalu dalam ketaatan dan berlindung kepada Allah Ta’ala dari ketergelinciran lidah yang bisa menuai dosa. Dan dengan selalu mengingat Allah Ta’ala niscaya kita akan selamat dari ghibah.

Kunci selamat dari ghibah

Agar selamat dari ghibah hendaknya seseorang banyak diam dan tidak bicara kecuali sudah ditimbang dan dipikirkan terlebih dahulu. Sumaith bin Ajlan radhiallahuanhu berkata: “Wahai anak Adam! Sesungguhnya selama Engkau diam maka engkau akan selamat. Apabila engkau berbicara maka berhati-hatilah, karena perkataan itu boleh jadi akan bermanfaat bagimu atau membahayakanmu.” (Jami’ul Ulum Wal Hikam, 135).

Demikian juga, tidak mudah penasaran dengan kehidupan orang lain tanpa tujuan yang benar, atau sekedar ingin menguak kelemahan orang lain apalagi menyebarkannya di dunia nyata dan dunia maya. Kalaupun kita tidak sengaja mengetahui keburukan saudara kita, selama dia orang shaleh hendaknya mencoba mencari udzur-udzur yang baik baginya. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Barangsiapa yang pura-pura tidak tahu aib orang, menahan bisanya untuk mencari cari tahu urusan orang lain yang orang itu tidak suka terlihat, maka agama dan kehormatannya akan selamat. Allah pun akan menjadikan hamba-hambaNya menutup aibnya karena balasan sesuai perbuatan.” (Al Fawakih As Syahiyyah, hlm 112)

Kita mohon kepada Allah Ta’ala dari ketergelinciran lisan dan dianugerahi hati bening yang jauh dari kebencian dengan sesama, lidah yang selalu dalam ketaatan dan jauh dari ghibah. Wallahu musta’an.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Majalah Al-Furqon tahun ke-18 edisi 200

2. Halah Kibarul Ulama dalam situs resmi https://twitter.com/ss-at/status/82904598638422016

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14300-wasiat-seputar-ghibah.html

Empat Prinsip Berpakaian dalam Islam

Meski tanpa mengenal prinsip berpakaian yang benar, sekitar 72.000 tahun lalu masyarakat Afrika mulai menggunakan pakaian untuk melindungi diri dari sengatan matahari, derasnya hujan, dingin atau panasnya cuaca. Walaupun manusia baru mengenal jahit menjahit sekitar 25.000 tahun yang lalu, sekitar 50.000 tahun sesudah manusia mengenal pakaian.

Abad 21 pakaian mengalami perkembangan fungsi menjadi keindahan dan bahkan terkadang pakaian adalah simbol strata sosial atau aliran-aliran tertentu. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana berpakaian dalam Islam? apakah Islam mengatur fashion atau gaya berpakaian?

Dalam Islam fungsi utama pakaian adalah menutup aurat sebagaimana tercantum dalam surah al-A’raf [7]: 26,

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا

Artinya:

Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.

Di samping itu terdapat juga dalam ayat lain yang menerangkan bahwa pakaian merupakan perhiasan, sebagaimana firman Allah dalam surah al-A’raf ayat 31, “pakailah perhiasan kalian ketika ingin ke masjid’.

Perhiasan dalam hal ini adalah pakaian yang bagus, suci dan bersih. Namun demikian Islam tidak menentukan bagaimana model pakaian yang boleh dipakai. Islam hanya menentukan prinsip-prinsip umum pakaian yang boleh digunakan.

Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub bahwa ada empat (4) T prinsip berpakaian, yaitu, pertama, tutup aurat; kedua, tidak ketat; ketiga, tidak transparan; dan keempat, tidak menyerupai lawan jenis.

Tutup Aurat

Menutup aurat merupakan prinsip pertama yang menjadi dasar agar pakaian tersebut dapat dikatakan sesuai dengan hukum Islam. Sebagaimana telah mafhum bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar sampai lutut dan aurat perempuan adalah seluruh badan kecuali dua telapak tangan dan wajah.

Syariat untuk menutup aurat telah ada sejak zaman nabi Adam dan Hawa ketika mereka berdua mendakati pohon yang dilarang oleh Allah swt untuk mendekatinya. Hal ini terdapat dalam surah al-A’raf [7]: 22,

فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ

Artinya:

(Yakni serta-merta dan dengan cepat) tatkala keduanya telah merasakan buah pohon itu, tampaklah bagi keduanya, aurat masing-masing dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga secara berlapis-lapir.

Tidak Transparan

Pakaian yang tembus pandang, yang memperlihatkan bentuk tubuh yang harusnya ditutup secara samar-samar bukan merupakan pakaian yang Islami. Sebab, secara tidak langsung pakaian yang transparan berarti tidak menutup aurat.

Memilih warna dan bahan pakaian menentukan pakaian tersebut transparan atau tidak khususnya dalam keadaan keringatan atau kehujanan. Sehingga ketika membeli pakaian sangat dianjurkan untuk memilih bahan yang baik agar tidak transparan.

Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitabnya Shohih Muslim/2128 sebagai berikut,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا»

Artinya:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah: ”Dua (jenis manusia) dari ahli neraka yang aku belum melihatnya sekarang yaitu; kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berjalan berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, dan sungguh wangi surga itu telah tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.

Tidak Ketat

Maraknya pakaian yang banyak digunakan sekarang ini, seperti baju kaos, celana jeans atau bentuk pakaian lainnya, memperlihatkan lekuk tubuh pemakaianya baik laki-laki maupun pakaian perempuan. Bahkan trend hijabers yang sekarang berkembang sering kali mengabaikan hal ini.

Tidak Menyerupai Lawan Jenis

Dalam sebuah Hadis yang terdapat dalam Shohih Bukhari/159, sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Artinya:

Diriwayatkan Ibn ‘Abbas Ra., berkata: “Rasulullah saw melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.

Hadis di atas tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Secara umum hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi saw melarang umatnya untuk menyerupai lawan jenisnya, termasuk dalam dalam hal berpakaian.

Di samping itu etika berpakaian yang perlu diperhatikan adalah kesederhanaan. Karena kesederhanaan dalam segala hal termasuk dalam berpakaian adalah bagian dari iman. Dalam sebuah Hadis Rasulullah saw., sebagaimana terdapat dalam Sunan Ibn Majah/1379 sebagai berikut:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْبَذَاذَةُ مِنَ الْإِيمَانِ

Artinya:

Rasulullah saw., bersabda kesederhanaan adalah bagian dari iman.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam berpakaian jangan sampai menimbulkan fitnah. Apapun model pakaian yang digunakan tidak terbatas hanya pada model tertentu tapi sangat terbuka untuk perkembangan mode selama memenuhi empat prinsip di atas.

BINCANG SYARIAH

Siapakah yang Termasuk “Berpakaian yang Telanjang”?

Dalam syariat, ada seseorang yang yang secara lahir menggunakan pakaian namun sesungguhnya sebaliknya yaitu bertelanjang. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “berpakaian yang telanjang” kasiyatin ‘ariyatin sebagaimana tersebut dalam salah satu hadits Nabi Muhammad Swt.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda;

 قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا»

“ada dua kelompok penghuni neraka yang tidak aku lihat. Pertama, kelompok yang membawa cemeti mirip buntut sapi, dengan cemeti itu mereka mencambuk manusia. Kedua, perempuan-perempuan yang berpekaian tapi telanjang, genit dan tidak patuh.

Kepala mereka mirip dengan punuk unta buhkti yang miring. Mereka tidak masuk surga dan tidak menemukan aromanya padahal aroma surga terjangkau dari jarak sekian dan sekian.” [HR. Muslim]

Hadits di atas ini penting untuk diperhatikan terutama bagi kaum perempuan yang menjadi sasaran langsung. Namun, tidak menutup kemungkinan laki-laki juga menjadi sasaran dari hadits tersebut. 

Tak bisa dipungkiri, dalam syariat yang dikenal dengan kamil dan syamil (purna dan lengkap), salah satunya mengatur persoalan pakaian baik untuk laki-laki maupun perempuan. Di dalam syariat Islam setiap muslim dan muslimah wajib mengenakan pakaian yang menutupi aurat, sopan dan adaptif dengan lingkungan. 

Lebih lanjut, dalam kajian hadits ini akan memfokuskan pada kata nisa’un kasiyatun ‘ariyatun (perempuan berpakaian namun telanjang). Menurut K.H Afifuddin Muhajir, dalam Kriteria Pakaian Islami: 7-9, bahwa kata di atas memiliki dua makna yang inheren satu sama lain. 

Pertama, bermakna orang yang lahirnya berpakaian, namun batinnya telanjang. Dengan demikian, setiap orang yang fasik yang suka berbuat dosa juga menjadi sasaran dari hadits ini meskipun mereka menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian. Karena yang dimaksud dengan telanjang adalah telanjang dari taqwa sebagai pakaian batin.

Kedua, bermakna orang-orang yang mengenakan pakaian dan menutupi sebagian auratnya. Sementara bagian yang lain dibiarkan terbuka. Atau karena terlalu tipis, ketat dan transparan.

Kenapa kedua makna di atas bersifat inheren? Karena pada umumnya, orang yang menggunakan pakaian seperti di atas merupakan orang yang fasik dan pendosa. Sebaliknya, orang yang pendosa dan fasik biasanya tidak peduli terhadap pakaian yang digunakan. 

Sudah barang tentu, tidak semua orang berlaku sama dengan di atas, sebagaimana ditegaskan bahwa hal itu bersifat ghalib. Karena pada tataran faktanya, terkadang ada orang yang sangat peduli terhadap pakaian yang digunakan namun justru melakukan perbuatan yang curang dan fasik.  

Sedangkan Muhammad Fawaid Abdul Baqi dalam Syarah Shahih Muslim [2192/4] menjelaskan bahwa “berpakaian yang telanjang” memiliki empat kemungkinan pengertian, dimana pengertian-pengertian tersebut pada dasarnya sudah terakomodir dalam penjelasan K.H. Afifuddin.

Pertama, berpakaian dengan geliamangan nikmat Tuhan yang telah diberikan namun telanjang untuk bersyukur. Kedua, berpakaian dengan sempurna namun telanjang (tidak) melakukan perbuatan yang terpuji, tidak mementingkan amalan akhiratnya dan tidak perhatian kepada ketaatan. 

Ketiga, berpakaian sebagian tubuhnya sementara bagian yang lain sengaja dibuka untuk menampilkan kecantikan dan kemulusan badannya. Keempat, menggunakan pakaian yang transparan sehingga auratnya masih terlihat.

Demikian penjelasan terkait sosok manusia yang termasuk “berpakaian yang telanjang”. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Maraknya Fenomena Pinjol, Ditzawa Dorong LAZ Bantu Korban

Orang yang mempunyai utang atau ghorimin berhak menerima bantuan zakat

Maraknya fenomena masyarakat yang terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal dengan bunga yang sangat tinggi turut menjadi sorotan dari Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama. Kasubdit Edukasi, Inovasi, dan Kerja Sama Zakat Wakaf Wida Sukmawati mengajak pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk turun tangan dalam membantu masyarakat yang terjerat utang pinjol.

“Karena sesungguhnya orang yang mempunyai utang (ghorimin) merupakan salah satu golongan (asnaf) yang berhak untuk menerima bantuan dari zakat,” terang Wida, Rabu (26/1/2022).

Namun dalam memberikan bantuan kepada korban, LAZ harus melakukan verifikasi terlebih dahulu terkait alasan korban sehingga dapat terjerat utang pinjol tersebut. “Jika memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, bisa dibantu. Namun jika hanya untuk kegiatan konsumtif, ya tidak termasuk dalam golongan gharimin tadi,” terang Wida.

Oleh sebab itu, Wida mengajak umat Islam agar menyalurkan zakatnya melalui sejumlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah terjamin kredibilitasnya agar penyalurannya lebih merata kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat. “Dengan menyalurkan melalui BAZNAS dan LAZ yang sudah kredibel, maka zakat tersebut menjadi lebih terjamin, baik dalam penghimpunan maupun pendistribusian,” jelasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tiga Hal yang Perlu Dilakukan Ketika Jamaah Umroh Positif Omicron

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus memantau kasus positif omicron terhadap jamaah umroh. Berdasarkan pemantauan Kemenkes kasus positif terhadap jamaah umroh menurun.

“Meskipun menunjukkan penurunan tetapi peningkatan kasus omicron masih menjadi perhatian pemerintah,” kata Kepala Pusat Kesehatan Haji Budi Sylvana saat dihubungi Republika, kemarin.

Budi mengatakan, menurut hasil tes PCR pada jamaah umroh yang tiba di tanah air masih ditemukan kasus positif. Pada rombongan kedua terdapat 87 kasus dan pada rombongan ketiga 10 kasus.

Budi memastikan, perlu antisipasi terhadap penularan omicron yang mungkin terbawa masuk oleh jamaah umroh. Menurutnya, ada tiga cara yang perlu dilakukan terhadap jamaah yang positif omicron.

Pertama, jamaah umroh wajib karantina selama tujuha hari setelah kembali ke tanah air. Kedua dilakukan PCR tes saat tiba di tanah air (entry test) dan hari ke enam karantina.

“Jika ditemukan kasus positif maka dilakukan isolasi di RSDC,” katanya.

Selain itu kata Budi, langkah tindaklanjut untuk mengurangi kasus positif antara lain dengan mengedukasi prokes kepada penyelenggara perjalan ibadah umroh (PPIU) dan jamaah umroh. 

“Melakukan evaluasi dan koordinasi secara berkala tehadap pelaksanaan umroh,” katanya.

IHRAM

Bagaimanakah Petunjuk Islam tentang Mimpi? (Bag. 1)

Bismillah wasshsholatu wassalamu ‘ala rasulillah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari…” (QS. Ar-Rum: 23)

Tidak ada satu pun manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan, yang sudah dewasa maupun yang masih anak-anak, kecuali pasti pernah mengalami mimpi di saat tidur. Begitu banyak dalil-dalil sahih yang menjelaskan hakikat mimpi ini, namun tetap saja mimpi masih menjadi salah pintu masuk terjadinya khurafat dan perilaku-perilaku yang menyimpang dari ajaran Islam.

Banyak kita jumpai orang yang mengambil keputusan dan menentukan hubungannya dengan orang lain berdasarkan mimpi yang ia alami. Banyak juga yang menjadi optimis ataupun pesimis akan suatu hal yang ia alami hanya karena ia melihat mimpi yang menenangkannya ataupun mimpi yang mengganggunya. Di sisi lain, banyak sekali manusia yang mengaku-ngaku ahli di dalam menafsirkan mimpi, padahal ia sama sekali tidak berkecimpung di bidang tersebut, memanfaatkan obsesi dan rasa ingin tahu manusia hanya demi mengumpulkan pundi-pundi harta dan memperkaya diri.

Lalu bagaimana agama Islam ini memandang mimpi?

Pengertian Mimpi dan Macam-Macamnya

Mimpi dianggap dan didefinisikan sebagai serangkaian fantasi yang mungkin menimpa seseorang selama tidurnya, dan mimpi itu berbeda dalam urutan dan logikanya dengan kehidupan nyata. Terdapat banyak teori dan penjelasan mengapa mimpi ini bisa terjadi serta banyak usaha untuk mengartikan dan menerka maknanya. Mimpi juga dianggap sebagai sarana untuk mewujudkan dan memenuhi apa yang sedang diinginkan jiwa serta motifnya.

Di dalam agama Islam, mimpi terbagi menjadi tiga macam. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

الرؤيا ثلاث حديث النفس وتخويف الشيطان وبشرى من الله

“Mimpi itu ada tiga macam: bisikan hati, rasa takut dari setan, dan kabar gembira dari Allah.” (HR. Bukhari)

Pertama: Mimpi yang baik (ru’ya shalihah hasanah), yaitu jika seseorang bermimpi hal yang ia sukai. Mimpi ini datangnya dari Allah Ta’ala dan itu suatu nikmat. Karena jika ia bermimpi seperti itu, ia menjadi semangat dan bergembira. Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لم يبق من النبوة إلا المبشرات قالوا وما المبشرات قال الرؤيا الصالحة

“Tidak tersisa dari kenabian, kecuali kabar-kabar gembira.” Para sahabat bertanya, “Apakah hal yang menggembirakan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mimpi yang baik.” (HR. Bukhari)

Kedua: Mimpi buruk (ru’ya makruhah), mimpi ini datang dari setan. Dan ini sering kali menggelisahkan dan mengganggu. Salah satu terapi dari mimpi seperti ini adalah membaca ta’awudz, yaitu meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari godaan setan. Jika kita mengalaminya, maka yang harus kita lakukan adalah bersabar. Karena ingatlah bahwa setan itu musuh manusia dan berusaha menyakiti serta membuat sedih, bahkan di dalam tidur kita. Coba kita renungkan dengan baik ayat berikut,

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu bersedih, sedang pembicaraan itu tidaklah memberi mudharat sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.” (QS. Al-Mujadalah: 10)

Ketiga: Mimpi biasa yang tidak ada maksud apa pun. Biasanya itu cuma bisikan jiwa atau suatu pikiran yang akhirnya terbawa dalam mimpi.

Bagaimana Menyikapi Mimpi yang Baik dan Mimpi yang Buruk?

Jika ada seseorang yang mendapatkan mimpi yang baik, mimpi yang disukainya, mimpi yang mengandung kebahagiaan, apa yang harus ia lakukan?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا رأى أحدكم رؤيا يحبها، فإنما هي من الله، فليحمد الله عليها وليحدث بها

“Jika seseorang di antara kalian bermimpi dengan sesuatu yang menggembirakannya, ketahuilah bahwa itu merupakan karunia dari Allah, hendaklah ia memuji Allah, lalu ia boleh menceritakan mimpi tersebut.” (HR. Bukhari)

Rasulullah juga bersabda di dalam riwayat lain, “Jika ia melihat mimpi yang baik, maka ia memberikan kabar gembira dan janganlah kalian ceritakan, kecuali pada orang yang juga ikut menyukai mimpi tersebut.” (HR. Muslim)

Dari kedua hadis tersebut ada beberapa adab yang bisa kita amalkan saat mendapatkan mimpi yang baik:

Pertama, memuji Allah Ta’ala.

Kedua, memohon kepada Allah Ta’ala agar yang dia impikan terwujud di kehidupan nyata.

Ketiga, menceritakan hal tersebut kepada orang-orang yang ia cintai, sebagai bentuk berbagi kebahagiaan.

Keempat, tidak menceritakan mimpinya tersebut untuk orang yang berpotensi hasad dan dengki ataupun orang yang bodoh akan hal itu.

Adapun jika seseorang bermimpi dengan sesuatu yang ia benci, maka nabi juga sudah memberikan beberapa arahan untuk menghadapinya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وإذا رأى ما يكره فليتعوذ بالله من شرها، ومن شر الشيطان، وليتفل ثلاثا، ولا يحدث بها أحدا، فإنها لن تضره

“Jika kalian mimpi sesuatu yang tidak kalian suka, maka memohonlah perlindungan pada Allah atas keburukan mimpi tersebut dan dari keburukan setan, meludahlah tiga kali, dan jangan kalian ceritakan pada siapa pun, maka mimpi buruk itu tidak akan membahayakan pada kalian.” (HR. Bukhari)

Di dalam hadis lain disebutkan,

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الرُّؤْيَا يَكْرَهُهَا، فَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلَاثًا وَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ثَلَاثًا، وَلْيَتَحَوَّلْ عَنْ جَنْبِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ

“Ketika kalian melihat mimpi yang tidak kalian suka, maka meludahlah dari arah kiri kalian tiga kali dan memohonlah perlindungan kepada Allah dari setan tiga kali, dan hendaklah kalian berpindah dari posisi tidur yang semula ia lakukan.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam riwayat lain,

فَمَنْ رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلاَ يَقُصَّهُ عَلَى أَحَدٍ وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ

“Barang siapa yang bermimpi sesuatu yang tidak disukai, maka jangan ceritakan pada siapa pun. Berdiri, lalu salatlah!” (HR. Bukhari).

Merangkum dari 3 hadis di atas, terdapat enam anjuran yang sunah jika dilakukan ketika sehabis mengalami mimpi buruk.

Pertama, meminta perlindungan pada Allah Ta’ala atas keburukan mimpi yang dialami.

Kedua, meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari setan dengan melafalkan ta’awudz, A‘ûdzu Billâhi minasy-syaithânir-rajîm (Aku berlindung kepada Allah Ta’ala dari setan yang terkutuk).

Ketiga, meludah sebanyak tiga kali pada arah ke kiri untuk mengusir dan melecehkan mereka.

Keempat, tidak menceritakan hal tersebut kepada seorang pun, sehingga orang tersebut terburu-buru berusaha mengartikan mimpi tersebut dengan sesuatu yang dibenci oleh si pemimpi.

Kelima, melaksanakan salat ketika terbangun dari tidurnya, karena sejatinya salat mengusir setan.

Keenam, berpindah posisi. Jika sebelumnya ia menghadap kiri, maka ia bersegera mengganti arah dengan menghadap kanan.

Adapun jika ia terbangun dan ketakutan karena mimpinya, maka hendaklah ia membaca do’a,

أعوذُ بِكَلماتِ اللَّهِ التَّامَّةِ ، من غَضبِهِ  وعقَابِهِ وشرِّ عبادِهِ ، ومن هَمزاتِ الشَّياطينِ وأن يحضُرونِ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemarahan-Nya, siksaan-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, godaan setan, serta kehadiran mereka (setan) ke hadapanku).” (HR. Abu Dawud)

Jika seorang hamba sudah melakukan hal itu, maka insya Allah mimpi tersebut tidak akan membahayakannya sama sekali. Wabillahi At-taufiik.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/71942-bagaimanakah-petunjuk-islam-tentang-mimpi-bag-1.html

Memanfaatkan Waktu

Memanfaatkan waktu luang adalah ciri khas para salafusshalih.

Manusia adalah sasaran beragam ujian. Ada  ujian yang cukup terasa dan mudah dideteksi, semisal musibah dan kesulitan. Namun, ada juga yang sangat samar unsur ujiannya.

Walhasil, terkadang kita gagal dalam menghadapinya. Salah satu ujian yang sangat samar itu adalah waktu luang. Beratnya ujian waktu luang telah diperingatkan oleh Nabi SAW.

Dalam hadis, Beliau bersabda yang artinya, “Ada dua kenikmatan yang banyak diantara manusia lalai di dalamnya, nikmat sehat dan waktu luang.” (HR Bukhari). Nasihat berharga ini adalah ajakan untuk mewaspadai waktu luang sekaligus motivasi untuk memanfaatkannya.

Dalam hadis lain, Nabi SAW berpesan yang artinya, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, hidupmu sebelum datang matimu.” (Riwayat al-Hakim dan disahihkan oleh Albani).

Memanfaatkan waktu luang adalah ciri khas para salafusshalih. Mereka sangat disiplin dan juga ketat dalam menyalurkan waktunya. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Aku mendapati suatu kaum yang mereka lebih pelit terhadap waktunya daripada dirham yang dimilikinya.” (Aina nahnu min akhlaqissalaf, DR Ahmad Farid, hal. 129).

Para sahabat bahkan sangat terusik jika melihat seorang tidak memanfaatkan waktu yang dimiliknya. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar marah kepada seseorang yang memiliki waktu kosong tapi tidak memanfaatkan dalam urusan dunia ataupun akhirat.” (Abu Nuaim, Hailyatul Auliya’ 1/130).

Spirit memanfaatkan waktu inilah yang merupakan rahasia dibalik karya para ulama yang sangat menakjubkan. Berjilid-jilid buku mereka hasilkan dalam keterbatasn pena dan kertas. Mereka dikenang dalam kebaikan, meski telah wafat ratusan tahun silam. Aliran doa tak pernah henti untuk mereka.

Fakta di atas membuktikan, memanfaatkan waktu luang menjadikan seseorang produktif dalam kebaikan. Keterbatasan dalam berbagai hal bukan penghalang untuk mengukir prestasi. Hanya saja memanfaatkan waktu luang bukanlah perkara mudah. Tantangan terberat bersumber dari diri sendiri yaitu hawa nafsu.

Hawa nafsu yang didukung oleh setan sangat gigih dalam mengajak kita untuk santai atau menunda suatu kebaikan. Apalagi, dengan beragam hiburan yang tersedia melalui kecanggihan tehnologi. Tak jarang porsinya berlebihan atau menjurus pada hiburan yang diharamkan.

Tantangan inilah yang mutlak ditaklukkan. Caranya, dengan menyelisihi keinginan hawa nafsu dan ajakannya dan bermunajat kepada Allah. Di awal pasti ada kesulitan. Namun, dengan berpadunya ikhtiar dan munajat, yang kesulitan akan berganti dengan kemudahan.

Semoga Allah memudahkan kita dalam memanfaatkan waktu luang.

OLEH AHMAD RIFAI

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Salam Pertama Menoleh Ke Kiri, Shalat Batal?

Dalam keadaan tertentu, terkadang kita lupa menoleh ke sebelah kanan pada saat kita salam pertama dalam shalat. Nah dalam fikih Islam bagaimana hukum salam pertama menoleh ke kiri?

Menurut para ulama, shalat dimulai sejak takbiratul ihram sampai salam. Artinya, rukun pertama dari rangkaian rukun shalat adalah takbiratul ihram, sementara rukun terakhir adalah salam, yaitu ucapan ‘assalamu’alaikum warahmatullah’.

Sementara menoleh ke kanan pada salam pertama, dan menoleh ke kiri pada salam kedua, hukumnya adalah sunnah. 

Oleh karena itu, jika seseorang tidak menoleh ke kanan pada salam pertama dan tidak menoleh ke kiri pada salam kedua, maka hukum shalatnya adalah sah. Begitu juga sah jika pada salam pertama menoleh ke kiri, baik karena lupa atau sengaja, hanya saja jika disengaja hukumnya adalah makruh.

Penjelasan hukum salam pertama menoleh ke kiri ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ sebagai berikut;

ولو سلم التسليمتين عن يمينه أو عن يساره أو تلقاء وجهه أجزأه وكان تاركا للسنة

Jika ada orang yang mengucapkan salam dua kali ke kanan atau ke kiri, atau menghadap ke arah depan (tidak menoleh), shalatnya sah, sekalipun dia meninggalkan sunnah.

Dalam kitab Nihayatuz Zain Syaikh Nawawi mengatakan hukum salam pertama menoleh ke kiri, sebagai berikut;

وَلَو سلم الأولى عَن يسَاره وَالثَّانيِة عَن يَمِينه أَو جَعلهمَا مَعًا عَن يَمِينه أَو عَن يسَاره جَازَ مَعَ الْكَرَاهَة وَلَو أَرَادَ الِاقْتِصَار على وَاحِدَة أَتَى بهَا قبل وَجهه فَلَو الْتفت فِيهَا يَمِينا أَو يسارا كَانَ خلاف الْمَطْلُوب

Jika seseorang pada salam pertama menoleh ke kiri, dan salam kedua menoleh ke kanan, atau salam pertama dan kedua sama-sama menoleh ke kanan, atau salam pertama dan kedua sama-sama menoleh ke kiri, maka hukumnya boleh tapi makruh.

Jika seseorang hendak mencukupkan hanya satu salam saja, maka hendaknya dia menghadap ke arah depan (tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri). Jika dia menoleh ke kanan atau ke kiri, maka hal itu menyalahi hal yang dianjurkan. 

Dengan demikian, melalui penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa menoleh ke kiri pada salam pertama, baik lupa atau sengaja, hukumnya adalah boleh, tidak membatalkan shalat. Hanya saja, jika hal itu disengaja, maka dinilai makruh. 

BINCANG SYARIAH

Hukum Melihat Wajah Jenazah Setelah Dikafani, Apakah Boleh?

Di antara perkara yang ditanyakan oleh sebagian masyarakat adalah mengenai hukum membuka dan melihat wajah jenazah setelah dikafani. Pasalnya, banyak di antara keluarga jenazah yang terkadang membuka kain kafan di bagian wajah jenazah untuk sekedar melihat wajah jenazah tersebut sebelum diberangkatkan ke kuburan. Sebenarnya, bagaimana hukum melihat wajah jenazah setelah dikafani, apakah boleh?

Membuka dan melihat wajah jenazah setelah dikafani hukumnya adalah boleh. Tidak masalah membuka kain kafan di bagian wajah jenazah, baik hanya untuk sekedar melihat, maupun untuk mencium kening jenazah. Oleh karena itu, bagi keluarga jenazah, saudaranya, atau sahabat-sahabatnya dibolehkan bagi mereka untuk membuka kain kafan di bagian wajah jenazah, baik untuk tujuan melihat dan lainnya.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Mardawi dalam kitab Al-Inshaf berikut;

ولا بأس بتقبيل الميت والنظر إليه ولو بعد تكفينه نص عليه

Tidak masalah mencium mayit dan melihatnya meskipun setelah mayit itu kafani. 

Juga sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Bahuti Al-Hanafi dalam kitab Kasysyaf Al-Qina’ berikut;

ولا بأس بتقبيله والنظر اليه ولو بعد تكفينه

Tidak masalah mencium mayit dan melihatnya meskipun setelah mayit itu kafani. 

Di antara dalil yang dijadikan dasar kebolehan melihat wajah jenazah, maupun menciumnya, setelah jenazah tersebut dikafani adalah hadis hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Sayyidah Aisyah, dia berkisah;

أَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ فَتَيَمَّمَ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ مُسَجًّى بِبُرْدِ حِبَرَةٍ فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ، ثُمَّ أَكَبَّ عَلَيْهِ، فَقَبَّلَهُ ثُمَّ بَكَى، فَقَالَ: بِأَبِي أَنْتَ يَا نَبِيَّ اللهِ، لَا يَجْمَعُ اللهُ عَلَيْكَ مَوْتَتَيْنِ

Abu Bakar datang lalu dia mentayamumkan Nabi Saw yang ditutup dengan kain yang halus. Kemudian dia membuka wajah beliau lalu mendekap beliau, mencium beliau dan menangis. Kemudian beliau berkata; ‘Ayahku tebusanmu wahai Nabi Allah, Allah tidak akan mengumpulkan dua kematian padamu.

Berdasarkan hadis ini, maka para ulama berpendapat bahwa membuka kain kafan jenazah di bagian wajahnya, baik untuk sekedar melihat wajah jenazah tersebut maupun untuk mencium keningnya, hukumnya adalah boleh. Bahkan hal itu pernah dilakukan oleh Sayidina Abu Bakar pada jenazah Nabi Saw.

BINCANG SYARIAH

Fikih Nikah (Bag. 4)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Fikih Nikah (Bag. 3).

Pengertian walimah dan hikmah diadakannya

Walimah (وليمة) dalam bahasa Arab artinya “perjamuan/ perkumpulan” untuk makan. Biasanya, jamuan dalam pesta pernikahan lebih dikenal dengan istilah walimah al-‘urs(jamuan pernikahan).

Sebagian ulama fikih berpendapat bahwa istilah “walimah” itu digunakan untuk acara makan-makan karena perkara yang menggembirakan, baik itu kegembiraan karena kelahiran anak, khitan, atau pun hal lainnya. Namun apabila disebutkan kata-kata “walimah” saja tanpa ada embel-embel (tambahan keterangan) lain, maka yang dimaksud adalah walimah pernikahan.

Tujuan diadakannya walimah adalah sebagai upaya mengumumkan pernikahan. Hal ini diperintahkan oleh nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau,

أَعلِنوا النِّكاحَ

“Umumkanlah pernikahan!” (HR. Ahmad).

Dalam kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maraam, Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani Rahimahullah menyebutkan bahwa makna acara walimah adalah mengumumkan pernikahan yang menghalalkan hubungan suami istri dan berpindahnya status kepemilikan. Sementara mazhab Ahmad menyatakan bahwa acara walimah merupakan jamuan makan yang diadakan untuk merayakan pernikahan pasangan pengantin.

Selain itu, walimah juga bertujuan untuk memohon doa dari para tamu undangan agar pernikahan tersebut mendapat keberkahan, dan menjadi keluarga yang dibangun di atas keimanan dan kebaikan. Sebagai satu rangkaian yang menyertai ibadah berupa akad nikah, walimah juga dapat dianggap sebagai wasilah (sarana) untuk mensyiarkan hukum-hukum Allah Ta’ala.

Sahkah menikah tanpa mengadakan walimah?

Apakah sah pernikahan seorang pria dan wanita yang tidak mengadakan walimah karena tidak memiliki harta? Apakah berdosa menikah tanpa mengadakan walimah?

Sebelumnya menjawabnya, kita perlu mengetahui hukum mengadakan walimah.

Al-Mawardi Rahimahullah, salah satu ulama besar syafi’iyyah dalam kitabnya Al-Hawii Al-Kabiir menyebutkan bahwa ulama Syafi’i berbeda pendapat mengenai hal ini ke dalam dua pendapat:

Pendapat pertama, walimah pernikahan hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan hadis tentang kisah pernikahan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu dengan seorang wanita Anshar.

فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَلَيْهِ أَثَرُ صُفْرَةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَمَنْ قَالَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ كَمْ سُقْتَ قَالَ زِنَةَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ نَوَاةً مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Abdurrahman bin Auf datang dengan mengenakan pakaian yang bagus dan penuh aroma wewangian. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Apakah Engkau sudah menikah?’ Dia menjawab, ‘Ya, sudah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, ‘Dengan siapa?’ Dia menjawab, ‘Dengan seorang wanita Anshar.’ Beliau bertanya lagi, ‘Dengan mahar apa Engkau melakukan akad nikah?’ Dia menjawab, ‘Dengan perhiasan setara sebiji emas, atau sebiji emas.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Adakanlah walimah (resepsi) walau hanya dengan seekor kambing’” (HR. Bukhari).

Hadis ini menunjukkan wajibnya mengadakan walimah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menikahkan seseorang kecuali akan mengadakan walimah untuknya. Beliau tidak melihat apakah orang tersebut sedang dalam kondisi susah ataupun lapang. Bahkan dalam salah satu riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merayakan pernikahan Shafiyyah hanya dengan memasak gandum dan kurma.

Pendapat lain yang menguatkan pendapat wajibnya mengadakan walimah dilihat dari sisi wajibnya menghadiri walimah. Kita telah mengetahui bahwa hukum menjawab undangan untuk menghadiri walimah itu wajib. Hal tersebut menunjukkan akan wajibnya mengadakan walimah. Sebagaimana pula menerima peringatan itu hukumnya wajib, maka memberi peringatan hukumnya juga wajib.

Pendapat kedua, walimah pernikahan hukumnya sunah. Insyaallah pendapat ini yang lebih sahih dan rajih (lebih kuat). Dalilnya berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,

ليس في المال حق سوى الزكاة

“Tidak ada hak wajib pada harta kecuali mengeluarkan zakat” (HR. Ibnu Majah).

Hadis yang dipakai pada pendapat pertama pun tidak menyebutkan kadar yang harus dikeluarkan untuk walimah. Tidak sebagaimana zakat dan kafarat (denda), yang mana keduanya memiliki takaran dan jumlah yang harus dipenuhi. Apabila walimah ini hukumnya wajib, maka tentu juga akan disebutkan penggantinya apabila kita tidak mampu melakukannya. Sebagaimana orang yang dibebani kafarat, apabila tidak mampu membayarnya, maka diganti dengan puasa. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa ketiadaan kadar dan takaran, dan ketiadaan penggantinya menunjukkan tidak berlakunya hukum wajib dari mengadakan walimah.

Syekh bin Baz Rahimahullah pernah ditanya mengenai masalah ini. Beliau menjawab dengan jawaban yang sangat hikmah yang patut untuk kita simak. Beliau Rahimahullah berkata,

“Hukum walimah adalah sunah muakkadah (sunah yang sangat ditekankan), walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing. Sebagaimana hadis nabi kepada Abdurrahman Bin Auf, ‘Langsungkan lah walimah walau hanya dengan seekor kambing.’ Walimah ini tidak mempengaruhi sahnya akad nikah. Nikah akan tetap sah walaupun tidak melangsungkan walimah, jika pernikahan tersebut sudah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya.

Akan tetapi, melangsungkan walimah sesuai kemampuan merupakan sunah nabi yang selayaknya kita lakukan. Pendapat yang mengatakan hukum walimah adalah wajib merupakan pendapat yang kuat, karena Rasulullah memerintahkan hal tersebut. Walau bentuknya hanya dengan sesuatu yang ringan sesuai kemampuan kita. Tidak melangsungkan walimah berarti kita berlawanan dengan sunah. Akan tetapi, hal tersebut tidak mempengaruhi sahnya pernikahan kita dan tidak membatalkannya. Hal yang menjadi tolak ukur sah atau tidaknya pernikahan kita adalah memenuhi semua syarat dan rukunnya.”

Dari sini bisa kita ketahui, bahwa melangsungkan walimah hukumnya adalah sunah muakkadah. Sehingga akad tetap sah walaupun tidak melakukan walimah. Namun, yang harus diperhatikan bahwa walimah merupakan salah satu sunah nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah selayaknya kita tiru. Tentu saja sesuai kemampuan kita. Bahkan nabi pun sudah mencontohkan walimah yang sederhana ketika menikahi Shafiyyah, yaitu hanya dengan kurma dan gandum. Wallahu a’lam.

Hukum menghadiri walimah dan syarat-syaratnya

Lalu apa hukum menghadiri undangan walimah? Jumhur ulama berpendapat bahwa mendatangi undangan walimah hukumnya adalah wajib. Sehingga orang yang tidak menghadirinya berdosa. Hal ini berdasarkan hadis yang datang dari sahabat Albarra’ bin Aazib Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ: «أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الْجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ، أَوِ الْمُقْسِمِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ”

“Rasulullah memerintahkan kami melakukan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara juga. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang yang bersin, menunaikan sumpah, menolong orang yang terzalimi, memenuhi undangan, dan menebarkan salam” (HR. Muslim).

An-Nawawi Rahimahullah dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim memberikan penjelasan,

“Memenuhi undangan maksudnya adalah undangan untuk menghadiri walimah dan yang semisalnya, dimana undangan tersebut adalah undangan makan, dan hukum menjawabnya adalah wajib menurut kesepakatan para ulama. Adapun yang menjadi perselisihan adalah hukum menghadiri undangan selain undangan makan.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda di dalam hadis yang lain,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا وَمَنْ لَمْ يُجِبْ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah yang dilarang dimakan oleh orang yang mendatanginya (fakir miskin), namun orang yang enggan memakannya (orang kaya) justru diundang menghadirinya. Dan siapa yang tidak memenuhi undangan, berarti telah bermaksiat kepada Rasulullah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, untuk menghadiri sebuah undangan, syariat kita telah memberikan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka hukum menghadirinya tidak lagi wajib. Bahkan, bisa berubah menjadi haram. Syekh Utsaimin Rahimahullah meringkas syarat-syarat tersebut sebagai berikut:

Pertama, tidak ada kemungkaran di dalamnya. Jika kita mengetahui adanya kemungkaran dan berkemampuan untuk mengingatkan, maka wajib hukumnya untuk kita hadiri. Alasannya karena kita dapat menggabungkan antara mengingkari kemungkaran dan menjawab undangan sekaligus. Adapun jika kita tidak dapat mengingkarinya, maka haram hukumnya menghadiri walimah tersebut.

Kedua, pengundangnya bukanlah orang yang wajib dijauhi atau dianjurkan untuk dijauhi. Baik dijauhi disebabkan karena kefasikannya yang terang-terangan atau dijauhi karena statusnya sebagai tokoh ahli bidah. Bisa jadi memboikotnya dengan tidak menghadiri undangannya menjadi salah satu sebab taubatnya.

Ketiga, pengundangnya adalah muslim.

Keempat, makanan yang disajikan dalam undangan tersebut termasuk makanan yang halal dimakan.

Kelima, memenuhi undangan tersebut tidak boleh mengakibatkan kewajiban lain atau sesuatu yang lebih wajib menjadi tidak terlaksana. Sehingga menghadiri undangan hukumnya haram jika kewajiban lain menjadi terbengkalai.

Keenam, undangan tersebut tidak menyebabkan orang yang diundang mendapatkan madarat. Seperti harus melakukan safar meninggalkan keluarganya, sedangkan keluarganya sedang membutuhkan keberadaannya di waktu yang sama.

Ketujuh, wajib jika undangannya bersifat khusus (pribadi dengan menyebut nama orangnya atau menunjuknya secara langsung), bukan undangan yang bersifat terbuka untuk umum.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris

Sumber: https://muslim.or.id/71940-fikih-nikah-bag-4.html