Permainan yang Dilarang Bagi Anak-anak

Dunia anak-anak identik dengan bermain. Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

فاقدروا قدر الجارية الحديثة السن الريصة على اللهو

Hargailah keinginan gadis kecil yang menyukai permainan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibunda ‘Aisyah, dia telah mengungkapkan kalimat yang singkat tetapi syarat dengan makna. Sesungguhnya anak-anak memiliki kesenangan sendiri, daya pikir, nalar dan perhatian sendiri. Anak-anak berbeda dengan orang dewasa, semua hal ini harus diperhitungkan sehingga mereka tidak selalu ditempatkan dalam kondisi yang serius dalam setiap kesempatan. Mereka tidak boleh dilarang bermain, bergurau dan bersenang-senang karena sudah menjadi hak dan bagian mereka dan sesungguhnya Allah telah menjadikan ukuran bagi segala sesuatu.

Akan tetapi yang seimbang adalah anak kecil tidak dibiarkan bermain selamanya pada setiap kesempatan, juga tidak diajak serius di setiap waktu. Ketika bermuamalah dengan anak kecil, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi mereka hak untuk bermain dan bercanda dengan porsi yang sesuai.

Anak-anak diperbolehkan bermain dengan sesuatu yang mubah, yang tidak mengandung dosa dan keharaman bagi mereka. Dianjurkan agar permainan itu bermanfaat bagi perkembangan badan, akal dan pikiran mereka.

Di antara permainan yang dilarang bagi anak-anak yaitu;

1. Bermain dengan senjata yang ia tidak bisa mempergunakannya atau dengan senjata yang dikhawatirkan dapat mencelakai orang lain

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يشير أحدكم على أخيه بالسلاح ، فإنه لا يدري لعل الشيطان ينزع في يده فيقع في حفرة من النار

Janganlah salah seorang di antara kalian menodongkan sebuah senjata kepada saudaranya, karena dia tidak tahu barangkali syaitan mencabut dari tangannya hingga dia mencelakai saudaranya, akibatnya dia tersungkur ke dalam lubang Neraka”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abi Musa, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا مر أحدكم في مسجدنا أو في سوقنا ومعه نبل فليمسك على نصالها أو قال: فليقبض بكفه أن يصيب أحدا من المسلمين منها بشيء

“’Jika salah seorang dari kalian melewati masjid atau pasar kami dengan membawa panah, maka peganglah mata panah tersebut’ atau beliau berkata, ‘Genggamlah dengan kedua tangannya agar tidak mengenai salah seorang dari kaum muslimin sedikitpun’”.

2. Bermain dengan alat-alat yang dapat mengagetkan anak-anak

Abu Dawud (no. 5004) meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila, dia berkata,

حدثنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم أنهم كانوا يسيرون مع النبي صلى الله عليه وسلم فنام رجل منهم فانطلق بعضهم إلى حبل معه، فأخذه ففزع فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا يحل لمسلم أن يروع مسلما

Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kepada kami bahwa mereka melakukan perjalanan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu salah seorang di antara mereka tidur dan yang lainnya mendatanginya dan menarik tali yang ada padanya sehingga dia merasa kaget, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak halal seorang muslim mengagetkan muslim yang lainnya’”.

3. Bermain dengan dadu, domino atau sejenisnya

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من لعب بالنردشير فكأنما صبغ يده في لحم خنزير ودمه

Siapa saja yang bermain dadu, maka seakan-akan dia telah mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi”. (HR. Muslim).

4. Permainan yang menjadi sarana perjudian dan lotre

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 90 dan 91,

يأيها الذين ءامنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلوةصلى فهل أنتم منتهون

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dengan minuman keras dan judi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu)”.

5. Tidak boleh menggantungkan lonceng di leher anak

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الجرس مزامير الشيطان

Sesungguhnya lonceng adalah serulingnya syaitan”. (HR. Muslim).

Beliau juga bersabda di dalam hadits yang lain, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

لا تصحب الملائكة رفقة فيها كلب ولا جرس

Para malaikat tidak akan menemani sebuah perkumpulan yang di dalamnya ada anjing dan lonceng”. (HR. Muslim).

6. Permainan yang dapat menyakiti wajah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya memukul wajah,

إذا قاتل أحدكم أخاه فليجتنب الوجه

Jika salah seorang di antara kalian berkelahi dengan saudaranya, maka jauhilah (dari memukul) wajah”. (HR. Muslim).

7. Bermain dengan alat musik

Al Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

Akan datang pada umatku kelak suatu kaum yang menghalalkan perzinaan, sutera, khamr dan alat musik”.

8. Memahat dan menggambar makhluk hidup yang bernyawa

Hal ini agar anak-anak tidak tumbuh di atasnya dan tidak menggandrunginya karena hadits yang melarang perbuatan ini sangat banyak, di antaranya yaitu hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

إنَّ أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ

Orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar” (HR. Bukhari no. 5950, Muslim no.2109).

Namun yang terlarang adalah menggambar dan memahat gambar makhluk bernyawa. Adapun memainkan gambar atau mainan makhluk bernyawa yang sudah ada, para ulama memberikan kelonggaran untuk hal ini bagi anak-anak. Mereka berdalil dengan hadits dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ، وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ، فَهَبَّتْ رِيحٌ، فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَتْ: بَنَاتِي. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهَا جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسَطَهُنَّ؟ قَالَتْ: فَرَسٌ. قَالَ: وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ؟ قَالَتْ: جَنَاحَانِ. فَقَالَ: فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ؟ قَالَتْ: أَمَا سَمِعْت أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى رَأَيْت نَوَاجِذَهُ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam baru tiba dari perang Tabuk atau Khaibar. Ketika itu kamar ‘Aisyah ditutup dengan sebuah tirai. Ketika ada angin yang bertiup, tirai itu tersingkap hingga maina-mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya: “Wahai ‘Aisyah, ini apa?”. ‘Aisyah menjawab, “Ini anak-anakku”. Lalu beliau juga melihat di antara mainan tersebut ada yang berbentuk kuda yang mempunyai dua sayap yang ditempelkan dari tambalan kain. Nabi lalu bertanya: “Lalu apa ini yang aku lihat di tengah-tengah?”. ‘Aisyah menjawab, “Ini kuda”. Nabi bertanya lagi: “Lalu apa yang ada di atas kuda tersebut?”. ‘Aisyah menjawab, “Ini dua sayapnya”. Nabi bertanya lagi: “Apakah kuda punya dua sayap?”. ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?”. ‘Aisyah lalu berkata, “Nabi lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya gerahamnya” (HR. Abu Daud no. 4932, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Takhrij Al Misykah [3/304], dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dalam hadits ini, Aisyah yang ketika itu masih anak-anak memiliki mainan yang berbentuk manusia dan hewan, namun Nabi Shallallahu’alaihi wasallam tidak melarangnya. Menunjukkan adanya kelonggaran untuk anak-anak dalam masalah gambar makhluk bernyawa. Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (12/112) disebutkan, “Mayoritas ulama dalam pelarangan gambar makhluk bernyawa mengecualikan gambar dan patung untuk mainan anak-anak wanita. Ini merupakan pendapat madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dan dinukil dari Al Qadhi ‘Iyadh bahwa pendapat yang membolehkan adalah pendapat jumhur ulama”.

Sebagai orangtua, kita perlu menjaga fitrah bermain pada anak dengan mengarahkannya pada permainan yang mubah dan menjaga serta menjauhkan mereka dari permainan yang Allah larang dan haramkan.

Wallahu a’lam.

Penulis: Penulis Atma Beauty Muslimawati

***

Referensi: Anakku! Sudah Tepatkah Pendidikannya? (Terjemah), Syaikh Musthafa Al-‘Adawi, cetakan Pustaka Ibnu Katsir, Bogor

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14240-permainan-yang-dilarang-bagi-anak-anak.html

Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq Berjalan Kaki untuk Ibadah Haji Sampai Usia Senja

Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq selalu berjalan kaki untuk ibadah haji. Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny mengatakan, Qasim bin Muhammad bin Abu hidup sampai usia 72 tahun.

“Dia bertambah kuat pada harituanya. Dia masih mampu berjalan kaki menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dan dalam perjalanan itulah dia wafat,” tulis Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny dalam bukunya 198 Kisah Haji Wali-Wali Allah.

Ketika dia merasa ajalnya telah dekat, dia berpesan kepada putranya, “Apabila aku mati, kafanilah aku dengan pakaian yang biasa kupakai untuk sholat. Gamisku, kainku, dan serbanku. Seperti itulah kafan kakekmu, Abu Bakar ash-Shidiq. Kemudian ratakanlah makamku dengan tanah dan segera kembalilah kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata: Ayahku dahulu begini dan begitu. Karena aku bukanlah apa-apa.” katanya.

Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny mengatakan, ayah handanya adalah Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq ra ibunya adalah putri Yazdajir, Raja Persia yang terakhir.

“Sedangkan bibinya adalah Aisyah ra., Ummul Mukminin,” katanya.

Di atas kepalanya telah bertengger mahkota ketakwaan dan keilmuan. Namanya Qasim bin Muhammad rah, salah seorang dari tujuh fukaha Madinah pada zamannya, paling tajam kecerdasan otaknya, dan paling bagus sifat waraknya.

Dia bertutur mengenai masa kecilnya: Setelah terbunuhnya ayah di Mesir, pamanku Abdurrahman datang untuk membawaku dan adik perempuanku ke Madinah. Setibanya di kota ini, bibiku Ummul Mukminin mengutus seseorang mengambil kami berdua untuk dibawa ke rumahnya dan dipelihara di bawah pengawasannya.

Ternyata belum pernah kujumpai seorang ibu dan ayah yang lebih baik dan lebih besar kasih sayangnya daripada beliau. Beliau menyuapi kami dengan tangannya, sedang beliau tidak makan bersama kami.

Bila tersisa makanan dari kami barulah beliau memakannya. Beliau mengasihi kami seperti seorang ibu yang masih menyusui bayinya. Beliau yang memandikan kami, menyisir rambut kami, memberi pakaian-pakaian yang putih bersih. 

Beliau senantiasa mendorong kami untuk berbuat baik dan melatih kami untuk itu dengan teladannya. Beliau melarang kami melakukan perbuatan jahat dan menyuruh kami meninggalkannya jauh-jauh. Beliau pula yang mengajar kami membaca kitabulah dan meriwayatkan hadits-hadits yang bisa kami pahami. 

Pada hari raya, bertambahlah kasih sayanv dan hadiah-hadiahnya untuk kami. Di setiap senja pada hari Arafah, beliau memotong rambutku, memandikanku dan adik perempuanku. Pagi harinya, kami diberi baju baru, kemudian aku disuruh ke masjid untuk sholat Id. 

Setelah selesai, aku dikumpulkan bersama adikku, kemudian kami makan daging korban. Pada suatu hari, beliau memakaikan baju berwarna putih untuk kami. Kemudian aku didudukkan di pangkuannya yang satu, sedangkan adikku di pangkuannya yang lain. 

Paman Abdurrahman datang atas undangannya. Lalu bibi Aisyah ra. mulai berbicara, memulai dengan pujian kepada Allah. Sungguh aku belum pernah mendengar sebelum dan sesudahnya seorang pun baik laki-laki maupun perempuan yang lebih fasih lisannya dan lebih bagus tutur katanya daripada beliau.

Beliau berkata kepada paman,“Wahai, saudaraku, aku melihat sepertinya engkau menjauh dariku sejak aku mengambil dan merawat kedua anak ini. Demi Allah, aku melakukannya bukan karena aku lancang kepadamu, bukan karena aku berburuk sangka kepadanya dan bukan pula lantaran aku tidak percaya bahwa engkau dapat menuhi hak keduanya. 

Hanya saja engkau memiliki istri lebih dari satu, sedangkan kedua anak kecil ini belum bisa mengurus dirinya sendiri Maka aku khawatir bila keduanya dalam keadaan yang tidak disukai dan tidak sedap dalam pandangan istri-istrimu. Sehingga aku merasa lebih berhak untuk memenuhi hak keduanya ketika itu. Namun, sekarang keduanya sudah beranjak remaja dan telah mampu mengurus dirinya sendiri, maka bawalah mereka dan aku serahkan tanggung jawabnya kepadamu.”

Begitulah, akhirnya pamanku memboyong kami ke rumahnya. Hanya saja, hari cucu Abu Bakar ash-Shiddiq ini masih terpaut dengan rumah bibinya, Aisyah ra. Rindu terhadap lantai rumah yang bercampur dengan kesejukan nubuat.  Dia berkembang dan kenyang dalam kasih sayang pemilik rumah itu..

IHRAM

Telaah Peran Pendidikan dalam Islam

Sebagai makhluk Allah Swt yang dianugerahi kecerdasan berpikir (dibuktikan bahwa setiap manusia memiliki otak yang berfungsi untuk berpikir), kita dituntut untuk senantiasa belajar tanpa henti demi mewujudkan keluhuran pekerti dan pengetahuan. Nah berikut penjelasan terkait peran pendidikan dalam Islam.

Manusia, sebagaimana masyhur dijelaskan ahli logika, dijelaskan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir (hayawanun nathiq), hal pembeda antara kita dengan hewan adalah kemampuan kita untuk menalar saat mengerjakan sesuatu. Belajar, melakoni proses pendidikan, merupakan salah satu bukti bahwa kita merupakan makhluk yang bernalar. 

Mengarungi proses pendidikan adalah hal yang asyik untuk dilakukan, selain tentunya ia merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Melatih kecakapan diri dengan belajar merupakan upaya kita membentuk karakter yang baik yang tertanam dalam diri, yang jelas itu merupakan indikator keberhasilan kita menjadi umat islam yang mulia, hal ini tidak lain karena Rasulullah Saw diutus ke muka bumi tidak lain adalah untuk mengajak manusia agar memiliki akhlak yang sempurna.

Rasulullah Saw bersabda,

عن أبى هريرةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قال: قال رسولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “إنَّمابُعِثتُ لأُتَمِّمَ مَكارِمَ الأخلاقِ”

Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu berkata : Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya aku di diutus ke muka bumi ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia” (Hadits riwayat al-Baihaqi dan al-Bazzar)

Dalam konteks ini, seorang guru bangsa Indonesia, Ki Hajar Dewantara (pendiri Taman Siswa dan pencipta slogan Tut Wuri Handayani), mengatakan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.

Setali tiga uang, dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disebutkan bahwa; “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan yang membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. (Inanna, Peran Pendidikan Dalam Membangun Karakter Bangsa yang Bermoral, Jurnal ekonomi dan Pendidikan, 2018, hal 29-30).

Islam Mengapresiasi Proses Pendidikan

Sebagai umat Islam kita diberikan banyak sekali anugerah, yang dalam hal ini adalah adanya apresiasi yang tinggi dari Allah Swt terkait mulianya derajat orang yang berpendidikan. Hal ini dibuktikan melalui melimpahnya ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi Saw yang berbicara seputar keutamaan menimba ilmu pengetahuan.

Hal ini bahkan diperkaya dengan melimpahnya upaya ulama dalam membuat bab tentang pentingnya belajar dalam karya-karya mereka, bahkan melimpahnya literasi yang dikarang oleh mereka sendiri merupakan perwujudan semangat mereka dalam mengamalkan nilai-nilai Islam tentang luhurnya upaya menimba pengetahuan!

Mengenai hal ini Allah Swt berfirman, 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١ 

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah : 11)

Imam al-Qutrhubi (w. 671 H) seorang mufassir kenamaan kelahiran Cordoba Spanyol menjelaskan dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an mengenai ayat di atas bahwa seorang mukmin dimuliakan pertama karena imannya dan kedua karena pengetahuan yang dimilikinya.

Menurutnya, orang berilmu (yang tak letih terjun dalam melakoni proses pendidikan) akan mendapatkan pahala saat di surga serta kemuliaan saat di dunia. Seorang beriman statusnya lebih baik dibanding orang yang tidak beriman sebagaimana orang berilmu lebih mulia dibanding yang tidak berilmu. 

Orang yang beriman dan berpengetahuan akan diangkat beberapa derajat dengan syarat ia mampu mengamalkan apa yang telah diperintahkan untuknya (diketahuinya dari proses pembelajaran). Itu merupakan peran pendidikan dalam Islam.

Dari sana maka tak heran jika kemudian Rasulullah Saw menegaskan dengan ungkapan bahwa menuntut ilmu hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim.

عَنْ أَنَسٍ, قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

Dari Anas bin Malik radiyallahu anhu berkata : Rasulullah Saw bersabda : “Menuntut ilmu hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim. (Hadis riwayat Ibnu Majah, al-Baihaqi dan al-Thabrani)

Menuntut ilmu atau belajar hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimat. Redaksi hadis yang hanya mencakup kata muslim saja tidak menafikan kewajiban belajar bagi muslimat, ulama menjelaskan bahwa jika suatu hal diwajibkan bagi seorang muslim maka itu juga berarti diwajibkan bagi muslimat, kecuali ada dalil yang mengkhususkan keduanya.

Dari sana maka disimpulkan bahwa setiap muslim, baik itu laki-laki atau perempuan, diwajibkan bagi mereka untuk memperkaya diri dengan menimba pengetahuan sebagai bekal hidupnya.

Selain itu, menempuh laku pembelajaran juga mampu mengantarkan pelakunya mendapatkan surga Allah Swt dan beroleh kebaikan-kebaikan yang sangat banyak. Secara khusus, Rasulullah Saw memotivasi umat Islam agar senantiasa meningkatkan semangat pembelajaran dalam hidup, hal ini diwujudkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ berikut ini 

عَنْ أَبي الدَّرْداءِ قَال: سمِعْتُ رَسُول اللَّهِ ﷺ يقولُ: منْ سَلَكَ طَريقًا يَبْتَغِي فِيهِ علْمًا سهَّل اللَّه لَه طَريقًا إِلَى الجنةِ, وَإنَّ الملائِكَةَ لَتَضَعُ أجْنِحَتَهَا لِطالب الْعِلْمِ رِضًا بِما يَصْنَعُ, وَإنَّ الْعالِم لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ منْ في السَّمَواتِ ومنْ فِي الأرْضِ حتَّى الحِيتانُ في الماءِ, وفَضْلُ الْعَالِم عَلَى الْعابِدِ كَفَضْلِ الْقَمر عَلى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ, وإنَّ الْعُلَماءَ وَرَثَةُ الأنْبِياءِ وإنَّ الأنْبِياءَ لَمْ يُورِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وإنَّما ورَّثُوا الْعِلْمَ, فَمنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحظٍّ وَافِرٍ. رواهُ أَبُو داود والترمذيُّ.

Dari Abu Darda : “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa melalui satu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Para Malaikat akan membentangkan sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu. Penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada di dalam air mendoakan ampunan kepada penuntut ilmu. 

Sesungguhnya, keutamaan seorang alim dibanding dengan seorang ahli ibadah adalah ibarat bulan purnama atas semua bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar mahupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bahagian yang sangat besar.”

Demikian penjelasan terkait telaah peran pendidikan dalam Islam. Wallahu A’lam Bisshowab.

BINCANG SYARIAH

Bacaan Saat Melihat Iringan Jenazah

Di tengah-tengah menjalani aktivitas sehari-hari terkadang  iringan jenazah tiba-tiba melintas di hadapan kita. Mau tidak mau mata kita pasti melihat iringan jenazah tersebut walau sedetik.

Nah, saat itu selain mendoakan dan memuji jenazah kita juga dianjurkan untuk membaca bacaan tertentu. Berikut ini bacaan-bacaan yang dianjurkan saat melihat atau berpapasan dengan iringan jenazah;

Pertama, bisa membaca tasbih berikut;

سُبْحَانَ الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Subhȃnal hayyil ladzȋ laa yamūt

Maha suci dzat yang maha hidup yang tidak akan mati.

Kedua, bisa juga membaca ini;

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ

Subhȃnal malikil quddūs

Maha suci dzat yang  maha menguasi dan yang maha suci dari segala kekurangan.

Ketiga, ini juga bisa dibaca ketika melihat iringan jenazah;

اللَّهُ أَكْبَرُ صَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ زِدْنَا إيمَانًا وَتَسْلِيمًا

Allahu akbar shadaqallȃhu wa rasūluhu allȃhumma zidnȃ ȋmȃnan wa taslȋman

Allah maha besar. Maha benar Alllah Swt dan Utusan-Nya. Ini (mati) adalah apa yang telah dijanjikan Allah dan Utusan-Nya kepada kami. Ya Allah tambahkanlah iman dan kepasrahan diri kami.

Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatu al-Muhtaj fii Syarhi al-Minhaj wa Hasyiyah al-Syarwani wa al-Ubbadi Juz 3 halaman 131 ;

قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ قَالَ الْبَنْدَنِيجِيُّ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ مَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ أَنْ يَدْعُوَ لَهَا وَيُثْنِيَ عَلَيْهَا إذَا كَانَتْ أَهْلًا لِذَلِكَ وَأَنْ يَقُولَ: سُبْحَانَ الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ أَوْ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ وَرُوِيَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ رَأَى جِنَازَةً فَقَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ صَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ زِدْنَا إيمَانًا وَتَسْلِيمًا كُتِبَ لَهُ عِشْرُونَ حَسَنَةً»

“Dalam kitab al-Majmu’ Imam Nawawi mengutip perkataan Imam al-Bandaji yang berpendapat bahwa; disunnahkan bagi orang yang melihat atau berpapasan dengan iringan jenazah mendoakan dan memuji jenazah tersebut dan membaca bacaan (sebagaimana yang telah disebutkan di atas).

Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a bahwasanya Rasulullah Saw bersabda;

Barangsiapa membaca “Allahu akbar shadaqallȃhu wa rasūluhu allȃhumma zidnȃ ȋmȃnan wa taslȋman” maka dia akan memperoleh dua puluh kebaikan

Demikianlah penjelasan terkait bacaan saat melihat atau berpapasan dengan iringan jenazah. Kita boleh memilih untuk membaca satu dari ketiga bacaan tersebut atau membaca ketiga-tiganya. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

BINCANG SYARIAH

Obyektifitas Ibnu Taimiyah terhadap Kitab Ihya Ulum ad-Din

Hal yang telah jamak diketahui adalah kitab Ihya Ulum ad-Din karya Syaikh Abu Hamid al-Ghazali memuat sejumlah perkara yang dikritisi ulama. Mereka mengkritik al-Ghazali karena mempelajari ilmu filsafat dan tasawuf, sehingga hal tersebut berpengaruh pada karya beliau.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah sendiri telah menguraikan pendapatnya terhadap kitab Ihya Ulum ad-Din secara terperinci. Alih-alih memvonis kitab Ihya Ulum ad-Din, penilaian Ibnu Taimiyah yang akan dikutip dalam artikel ini bertujuan untuk menguraikan metodologi beliau dalam mengkritisi sebuah kitab.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menuturkan,

و”الإحياء” فيه فوائد كثيرة؛ لكن فيه مواد مذمومة فإنه فيه مواد فاسدة من كلام الفلاسفة تتعلق بالتوحيد والنبوة والمعاد فإذا ذكر معارف الصوفية كان بمنزلة من أخذ عدوا للمسلمين ألبسه ثياب المسلمين. وقد أنكر أئمة الدين على ” أبي حامد ” هذا في كتبه. وقالوا: مرضه ” الشفاء ” يعني شفاء ابن سينا في الفلسفة. وفيه أحاديث وآثار ضعيفة؛ بل موضوعة كثيرة. وفيه أشياء من أغاليط الصوفية وترهاتهم. وفيه مع ذلك من كلام المشايخ الصوفية العارفين المستقيمين في أعمال القلوب الموافق للكتاب والسنة، ومن غير ذلك من العبادات والأدب ما هو موافق للكتاب والسنة ما هو أكثر مما يرد منه فلهذا اختلف فيه اجتهاد الناس وتنازعوا فيه».

“Kitab Ihya Ulum ad-Din sangat bermanfaat, namun berisi sejumlah hal yang patut dikritisi karena memuat perkataan para filsuf yang mengemukakan pendapat mereka dalam masalah tauhid, kenabian, dan hari akhir. Apabila menguraikan perihal makrifat kaum sufi, seolah-olah uraian Abu Hamid al-Ghazali layaknya “mengambil musuh kaum muslimin lalu memakaikannya dengan baju kaum muslimin” (baca: bertentangan dengan ajaran Islam). Para imam telah mengingkari beliau dalam kitab mereka. Mereka menyatakan bahwa kondisi Abu Hamid yang demikian itu karena terpengaruh oleh kitab filsafat asy-Syifa karya Ibnu Sina. Di dalam kitab Ulum ad-Din juga terdapat hadits dan atsar yang lemah, bahkan banyak yang palsu. Demikian pula kitab itu berisi kekeliruan dan keanehan kaum sufi. Bersamaan hal itu, kitab beliau juga memuat perkataan para syaikh sufi yang arif dan lurus perihal aktivitas hati yang selaras dengan al-Quran dan al-Hadits. Demikian pula, kitab tersebut memuat keterangan perihal ibadah dan adab yang selaras dengan al-Quran dan al-Hadits; dimana kandungan positif kitab tersebut lebih banyak daripada kandungan yang negatif. Berdasarkan hal tersebut, penilaian ulama pun berbeda-beda terhadap kitab Ihya Ulum ad-Din ini, sehingga mereka saling berselisih pendapat.” [Majmu’ al-Fatawa 10/551]

Kesimpulan yang bisa diperoleh dari perkataan Ibnu Taimiyah di atas adalah sebagai berikut:

  • Ibnu Taimiyah menguraikan kekeliruan yang bertentangan dengan akidah yang shahihah dalam kitab tersebut. Hal ini sangat penting karena itu beliau menyampaikannya di awal penilaian
  • Ibnu Taimiyah menjelaskan sebab permasalahan yang mempengaruhi al-Ghazali, yaitu karena beliau terpengaruh oleh kitab-kitab filsafat seperti kitab asy-Syifa karya Ibnu Sina dan makrifat kaum sufi.
  • Ibnu Taimiyah mengisyaratkan permasalahan besar dalam keilmuan al-Ghazali, yaitu beliau menyamarkan kebenaran dengan kebatilan tanpa sadar. Oleh karena itu, dalam perkataannya di atas Ibnu Taimiyah menyatakan “seolah-olah uraian Abu Hamid al-Ghazali layaknya mengambil musuh kaum muslimin lalu memakaikannya dengan baju kaum muslimin”.
  • Kemudian Ibnu Taimiyah menyebutkan sejumlah keistimewaan kitab Ulum ad-Din, seperti uraian yang bagus perihal aktivitas hati, ibadah, dan adab yang selaras dengan al-Quran dan al-Hadits.
  • Kemudian Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kandungan positif yang dapat diterima dari kitab Ihya Ulum ad-Din lebih mendominasi daripada kandungan negatifnya.
  • Lalu Ibnu Taimiyah menutup perkataan beliau dengan menyatakan adanya perbedaan pendapat ulama dalam menilai kitab tersebut. Hal itu diakibatkan keberadaan kandungan positif dan kandungan negatif dalam kitab Ihya Ulum ad-Din.
  • Penilaian yang adil, tulus, dan obyektif, sangat nampak dari perkataan Ibnu Taimiyah di atas.

Uraian ini bukan bermaksud memvonis kitab Ihya Ulum ad-Din, namun bertujuan untuk mengetahui metodologi yang tepat dalam memberikan penilaian terhadap suatu kitab. Perbuatan Ibnu Taimiyah tersebut menjelaskan kepada kita bagaimana mengkritisi suatu kitab. Metodologi tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Sepatutnya memulai penilaian dengan memperingatkan penyimpangan akidah jika memang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian menguraikan berbagai kekeliruan yang terdapat dalam kitab sesuai topik jika memang layak untuk disampaikan.
  2. Kemudian menyampaikan sebab yang melatarbelakangi penyimpangan dan kekeliruan itu sehingga dapat dijauhi.
  3. Kemudian menyebutkan keistimewaan kitab tersebut, jika ada.
  4. Kemudian menjelaskan isi yang mendominasi kitab tersebut, apakah kandungan yang positif atau kandungan yang negatif.

Perlu diketahui bahwa artikel ini bukanlah bermaksud memotivasi atau mendemotivasi pembaca untuk mengonsumsi kitab Ihya Ulum ad-Din. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, artikel ini hanya berupaya memaparkan metodologi Ibnu Taimiyah dalam menilai suatu kitab. Terkait membaca kitab Ihya Ulum ad-Din, sejumlah alim ulama menyampaikan bahwa muatan yang terdapat dalam karya Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Rajab sudah mencukupi untuk dikonsumsi para pembaca ketimbang kitab Ihya Ulum ad-Din.

Wallahu ta’ala a’lam.

Sumber: https://t.me/alkhalil_1/2283

Sumber: https://muslim.or.id/72426-obyektifitas-ibnu-taimiyah-terhadap-kitab-ihya-ulum-ad-din.html

Ini Doa Bilal bin Rabah Sebelum Tidur

Sebelum tidur, seorang muslim dianjurkan untuk berdoa terlebih dahulu. Doa tersebut untuk keselamatannya saat tidur. Ditambah lagi, doa tersebur agar dilindungi dari keburukan. Nah berikut ini doa Bilal bin Rabah sebelum tidur. 

Terdapat di dalam kitab-kitab hadis, sudah banyak disebutkan mengenai doa-doa yang dianjurkan untuk dibaca sebelum tidur maupun sesudah bangun tidur. Umumnya, doa-doa ini merupakan doa-doa yang diucapkan dan diajarkan langsung oleh baginda Nabi Rasulullah, Muhammad shallahu alaihi wa sallam

Selain itu, terdapat beberapa doa yang dibaca secara khusus oleh para sahabat Rasulullah Saw. Di antara sebagian sahabat Rasulullah Saw yang memiliki doa sendiri sebelum tidur adalah sahabat Bilal bin Rabah. Sebelum beliau tidur, beliau membaca doa berikut; 

اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ حَسَنَاتِيْ وَتَجَاوَزْ عَنْ سَيِّئَاتِيْ وَاعْذَرْنِيْ بِعِلاَّتِيْ

Allohumma taqobbal hasanaatii wa tajawaz ‘an sayyi-aatii wa’dzarnii bi’illaatii.

Ya Allah, terimalah kebaikan-kebaikanku, ampunilah keburukan-keburukanku, dan maafkanlah kekurang-kekuranganku. 

Ini sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Imam Al-Thabrani dalam kitabnya, Al-Mu’jam Al-Kabir berikut;

عن هند امرأة بلال ، قالت : كان بلال إذا أخذ مضجعه قال: اللهم تجاوز عن سيئاتي واعذرني بعلاتي

Dari Hindun, istri sahabat Bilal, dia berkata; Ketika Bilal mulai berbaring di tempat tidurnya, dia mengucapkan doa; Allahumma tajaawaz ‘an sayyi-aatii wa’dzarnii bi’illaatii (Ya Allah, ampunilah keburukan-keburukanku dan maafkanlah kekurangan-kekuranganku).

Dalam kitab Tarikh Dimasyq, Ibnu Manzhur menyebutkan riwayat yang menjelaskan aktivitas dan doa yang dibaca oleh Bilal bin Rabbah menjelang tidur. Doa tersebut sebagai berikut;

قالت امرأة بلال: كان بلال إذا أخذ مضجعه قال: اللهم، تقبل حسناتي، وتجاوز عن سيئاتي، واعذرني بعلاتي

Istri sahabat Bilal berkata; Jika Bilal mulai berbaring di tempat tidurnya, dia mengucapkan; Allohumma taqobbal hasanaatii wa tajawaz ‘an sayyi-aatii wa’dzarnii bi’illaatii (Ya Allah, terimalah kebaikan-kebaikanku, ampunilah keburukan-keburukanku, dan maafkanlah kekurang-kekuranganku). 

Demikian penjelasan terkait doa Bilal bin Rabah sebelum tidur. Semoga doa tersebut bisa kita amalkan dan istiqomah dibaca sebelum tidur. Pun semoga kasih dan sayang Allah senantiasa mengalir pada kita semua.

BINCANG SYARIAH

Ini Amalan Shalawat dari Rasulullah Setelah Shalat Maghrib dan Subuh

Para ulama menganjurkan kita selepas shalawat Maghrib dan Subuh untuk membaca shalawat. Di antara shalawat setelah shalat magrib dan subuh yang bisa dibaca adalah shalwat yang dianjurkan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah.  

Menurut ulama, membaca shalawat kepada Nabi Saw secara umum dibagi dua, shalawat mutlak dan muqayyad. Shalawat mutlak ialah anjuran membaca shalawat dalam setiap kesempatan tanpa dibatasi waktu tertentu atau amal perbuatan tertentu. Shalawat jenis ini sangat dianjurkan untuk dibaca sebanyak mungkin, semakin banyak dibaca semakin banyak keutamaan yang akan didapatkan.

Sedangkan shalawat muqayyad ialah anjuran membaca shalawat dalam kesempatan tertentu, waktu tertentu atau saat melakukan amal perbuatan tertentu. Shalawat jenis ini sifatnya beragam, ada yang wajib. Misalnya membaca shalawat pada saat tasyahud akhir. Ada pula yang sunnah, misalnya membaca shalawat sesaat setelah mendengarkan adzan.

Di antara shalawat muqayyad adalah membaca shalawat setelah melaksanakan shalat Maghrib dan Subuh. Terdapat bacaan shalawat khusus setelah shalat Maghrib dan Subuh yang diajarkan Rasulullah Saw. Bacaan dimaksud adalah sebagai berikut;

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ

Innallaaha wa malaa-ikatahuu yusholluuna ‘alan nabii. Yaa ayyuhal ladziina aamanuu sholluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa. Allohumma sholli ‘alaihi.

Bacaan shalawat ini dianjurkan untuk dibaca sebanyak 100 kali. Ini sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Jala-ul Afham berikut;

من صلى علي مائة صلاة حين يصلي الصبح قبل أن يتكلم قضى الله له مائة حاجة عجل له منها ثلاثين حاجة وأخّر له سبعين ومن المغرب مثل ذلك قالوا وكيف الصلاة عليك يارسول الله؟ قال: ان الله وملائكته يصلون على النبي ياايها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما اللهم صل عليه حتى تعد مائة مرة 

Barangsiapa yang bershalawat padaku 100 kali ketika (setelah) melaksanakan shalat Subuh sebelum berbicara, maka Allah akan tunaikan 100 hajat, 30 diantaranya disegerakan, dan 70 sisanya diakhirkan. Dan melakukan demikian setelah shalat Maghrib. Para sahabat bertanya; Bagaimana bershalawat kepadamu wahai Rasulullah?

Beliau berkata; Innallaaha wa malaa-ikatahuu yusholluuna ‘alan nabii. Yaa ayyuhal ladziina aamanuu sholluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa. Allohumma sholli ‘alaihi, hingga hitungan 100 kali. 

Demikian bacaan amalan shalawat setelah shalat Maghrib dan Subuh. Semoga memberikan manfaat.

BINCANG SYARIAH

Perlukah Umroh pada Masa Pandemi?

Minat umroh di masa pandemi masih tinggi.

Meski di masa pandemi, minat masyarakat terhadap ibadah umroh (umroh sunnah di luar musim haji) masih tinggi. Meski pun, paket harga yang ditawarkan penyelenggara saat ini terbilang mahal.

Hal ini bisa dilihat dari pembukaan umroh di tanggal 8 Januari 2022 di mana animo masyarakat sudah luar biasa. Selain itu banyaknya jamaah yang berangkat dapat dilihat di tanggal 9, 10, 11 dan 12 Januari dan sampai hari ini juga bandara dipenuhi jamaah umroh.

Hingga akhir Januari 2022 saja, Kementerian Agama mencatat sudah ada 3.900 jamaah umroh asal Indonesia yang ke Arab Saudi. Di satu pihak, ini cukup membahagian karena tingkat kereligiusan umat Islam di Indonesia untuk umroh masih baik.

Namun, perlukah umroh di masa pandemi ini? Mengingat umroh itu sendiri saat ini masih menerapkan protokol kesehatan internasional. Mulai dari tes PCR, karantina, dan lainnya.

Artinya, virus covid-19 ini masih mengkhawatirkan. Apalagi, belakangan kita ketahui ada beberapa jamaah umroh yang pulang ke Tanah Air berstatus positif covid-19.

Soal perlu atau tidaknya umroh di masa pandemi, penulis terlebih dahulu ingin kembali bagaimana pelaksanaan umroh yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Khususnya, ketika awal tahun hijriyah di mana Nabi pindah dari Makkah ke Madinah.

Diketahui, Nabi tinggal selama 10 tahun di Madinah sampai akhir hayatnya. Artinya, pada masa itu, Rasulullah SAW memiliki kesempatan sekitar 10 kali untuk melaksanakan ibadah haji semasa hidupnya. Terkait kesempatan umroh, itu mungkin bisa saja dilakukan beliau ratusan atau bahkan ribuan kali sepanjang hayatnya.

Akan tetapi, Rasulullah SAW hanya melaksanakan ibadah haji selama satu kali. Umroh pun hanya dilakukan dua kali semasa hidupnya.

Maka, logikanya adalah, apabila haji atau umroh berkali-kali, apalagi setiap tahu itu bagus, tentunya sudah dicontohkan Rasulullah SAW. Namun, beliau tidak “serutin” itu melakukan kedua ibadah tersebut.

Itu yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Lalu, bagaimana ulama menghukumi pelaksanaan umroh berulang?  Dikutip dari buku ‘Tuntunan Manasik Haji dan Umrah 2020‘ yang diterbitkan oleh Kementerian Agama, disebutkan menutut Imam Malikdan Ibn Taimiyah, makruh umroh lebih satu kali dalam setahun.

Sementara, dalam sebuah artikel, pakar hadits Prof KH Ali Mustafa Yaqub (1952-2016) menyarankan, kaum Muslimin yang memang mampu berhaji atau umroh berkali-kali sebaiknya juga menengok kanan-kiri. Maksudnya, ibadah sosial hendaknya tidak diabaikan.

Akan lebih baik, memilih menyantuni anak yatim atau janda-janda. Bahkan, Islam sendiri mengajarkan bahwa menyantuni anak yatim dan janda, itu diibaratkan mati dalam keadaan syahid.

Opsi lainnya, membiayai pendidikan anak-anak Muslim. Sebab, mereka sesungguhnya sedang berjuang di jalan Allah.

Dari contoh Nabi dan pandangan ulama di atas, penulis berpendapat, umroh di masa pandemi sebaiknya tidak dilakukan bagi umat Islam yang sudah pernah menunaikan ibadah haji dan umroh. Karena, jika dia sudah menunaikan ibadah haji, hampir dipastikan dia pun pernah melaksanakan umroh sunnah (kecuali bagi jamaah yang uzur).

Karena, umroh sunnah ini bisa dilakukan  jamaah haji yang berada di Makkah lebih dari 30 hari. Untuk menunggu waktu puncak haji maupun menunggu kepulangan ke tanah air, waktu yang ada kerap dimanfaatkan jamaah haji untuk melaksanakan umroh sunnah.

Kemudian, bagi yang belum pernah haji tapi sudah pernah umroh di luar musim haji, ini juga sebaiknya juga tidak melakukan umroh di masa pandemi. Biarkan umat yang ini memprioritaskan ibadah di Tanah Air.

Lalu, bagaimana dengan umat Islam yang belum pernah haji maupun umroh? Nah, bagi yang ini, silakan untuk mendaftar umroh dan ikuti umroh di masa pandemi.

Biarkan orang ini menggunakan hak istithaah-nya untuk umroh. Karena, tentu kita tak boleh melarang orang ini melepaskan kerinduannya terhadap Baitullah yang belum pernah dilihatnya. Berikan orang ini kesempatan.

Namun, tetap 100 persen untuk mengikuti peraturan dan protokol kesehatan demi keselamatan bersama. Dan, asalkan dia lolos semua persyaratan untuk melaksanakan umroh di masa pandemi ini. Baik persyaratan di Tanah Air maupun di Arab Saudi.

Dan tentu saja, keberlangsungan umroh, yang dikhususkan bagi jamaah yang belum pernah umroh, untuk mengukukuhkan eksistensi travel-travel umroh atau PPIU (Panitia Penyelenggara ibadah Umroh). Karena, bagaimana PPIU ini juga berperan dalam pembinaan umat , khususnya untuk manasik ibadah haji dan umroh, dan juga menggerakkan roda perekonomian bangsa, khususnya di masa pandemi.

Dan, tentunya, kita semua berharap, agar pandemi ini segera berakhir. Agar, kehidupan ibadah kita termasuk haji dan umroh kembali normal seperti dulu kala.

Oleh : Muhammad Hafil, Jurnalis Republika.co.id

KHAZANAH REPUBLIKA

Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah

Berikut adalah ringkasan dari pembahasan Ibnul Qayyim dari kitab Miftah Daar As-Sa’aadah mengenai keutamaan orang berilmu.

Keterangan: nomor urut yang dalam kurung (# …) adalah nomor urut di kitab Miftah Daar As-Sa’adah karya Ibnul Qayyim.

Pertama (#11): Orang berilmu berbeda dengan orang tidak berilmu

Sebagaimana penduduk surga dan neraka itu tidaklah sama.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ

Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 20)

Kedua (#12): Orang tidak berilmu disifati a’maa (buta, tidak melihat)

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىٰ ۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra’du: 19)

Hanya ada ‘aalim (berilmu) atau a’maa (buta). Allah Ta’ala juga telah menyebutkan sifat orang yang bodoh dengan shummun, bukmun, umyun (tuli, bisu, dan buta). Lihat Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:219.

Ketiga (#13): Orang yang berilmu yang bisa memandang kebenaran

Allah Ta’ala berfirman,

وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba’: 6)

Keempat (#14): Orang berilmu jadi rujukan bertanya

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahludz dzikri dalam ayat ini adalah orang yang berilmu yang memahami wahyu yang diturunkan pada para nabi.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:220)

Kelima (#17): Al-Quran menjadi ayat yang jelas di sisi ahli ilmu

Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ

Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.” (QS. Al-‘Ankabut: 49)

Al-Quran itu di sisi orang berilmu: (1) ayat yang jelas; (2) tetap di hati orang beriman..

Keenam (#18): Allah memerintahkan pada Nabi Muhammad untuk meminta tambahan ilmu

Allah Ta’ala berfirman,

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”.” (QS. Thaha: 114)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Cukup dengan ayat ini yang menunjukkan keutamaan orang berilmu karena Allah benar-benar memerintahkan nabi-Nya Muhammad untuk meminta kepada-Nya tambahan ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:221)

Ketujuh (#19): Derajat orang berilmu itu bertambah

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Ayat lainnya,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfaal: 2-4)

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَٰئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَىٰ

Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia).” (QS. Thaha: 75)

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا , دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 95-96)

Di empat tempat disebutkan naiknya derajat untuk orang beriman. Orang beriman tentu berasal dari ilmu naafi (ilmu yang bermanfaat) dan amal saleh. (Lihat Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:221-222)

Kedelapan (#20): Imannya orang berilmu diakui

Allah Ta’ala berfirman,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا

وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا

Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. 

Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,

dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”.” (QS. Al-Isra’: 106-108)

Kesembilan (#21): Orang yang berilmu, merekalah ahlul khasyah, yang paling takut kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)

Dalam ayat lain disebutkan,

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahlul khasyah, yang paling takut kepada Allah adalah ulama, ahli ilmu. Balasan yang disebutkan dalam dua dalil diatas ditujukan kepada ahli ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:223).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَفَى بِخَشْيَةِ اللَّهِ عِلْمًا ، وَكَفَى بِالاغْتِرَارِ بِاللَّهِ جَهْلا

“Rasa takut kepada Allah Ta’ala sudah cukup dikatakan sebagai ilmu. Anggapan bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan seseorang, sudah cukup dikatakan sebagai kebodohan.” (HR. Ibnu Mubarak dalam Az-Zuhd, hlm. 15; Ahmad dalam Az-Zuhd, hlm. 158; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 9:211; Ad-Darimi, 1:106; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 2:95. Kalimat ini berasal dari Masruq. Dinukil dari Miftah Daar As-Sa’adah, 1:223).

Kesepuluh (#22): Hanya orang berilmu yang memahami permisalan dalam Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabut: 43)

Sebagian salaf jika melewati suatu yang berisi permisalan dalam Al-Qur’an lantas mereka tidak memahami, mereka menangis dan mengatakan, “lastu minal ‘aalimiin, aku bukanlah seorang yang berilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:223).

Kesebelas (#26): Siapa yang dianugerahi ilmu, ia berarti telah diberikan kebaikan yang banyak.

Allah Ta’ala berfirman,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah: 269)

Ibnu Qutaibah dan jumhur berpendapat bahwa al-hikmah adalah mencocoki kebenaran dan mengamalkan kebenaran tersebut. Hikmah itulah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Demikian disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:224.

Keduabelas (#27): Mendapatkan ilmu berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah dan diajarkan oleh Allah apa yang tidak kita ketahui adalah nikmat dan karunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)

Ketigabelas (#28): Nikmat ilmu itu wajib disyukuri.

Allah Ta’ala berfirman,

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 151-152)

Keempat belas (#29): Allah menyuruh malaikat sujud penghormatan kepada Adam, karena Adam diberikan karunia ilmu. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.” (QS. Al-Baqarah: 31-32)

Kelima belas (#31): Allah mencela orang bodoh dalam banyak tempat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَىٰ وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلًا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ

Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-An’am: 111)

Dalam ayat lain disebutkan,

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah tidak hanya menyifatkan orang tidak berilmu serupa dengan al-an’am (hewan ternak), bahkan mereka disebut tersesat, salah jalan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:227)

Keenam belas (#32): Ilmu itu hayatun (kehidupan) dan nurun (cahaya).

Sedangkan, kebodohan adalah mawtun (kematian) dan zhulmatun (kegelapan). Kejelekan itu sebabnya karena tidak adanya kehidupan dan cahaya, sedangkan kebaikan itu sebabnya karena adanya cahaya dan kehidupan.

Baca juga: Ilmu Agama itu Bagai Cahaya Penerang

Ketujuh belas (#33): Anjing yang dilatih dan tidak dilatih saja berbeda hasil tangkapannya. Hal ini berarti sudah pasti berbeda antara orang yang berilmu dan tidak berilmu.

Allah menjadikan hasil buruan dari anjing yang tidak dilatih sebagai bangkai yang haram dimakan. Hal ini berbeda dengan hasil buruan dari anjing yang telah dilatih. Inilah yang menunjukkan keutamaan yang berilmu dibanding yang tidak berilmu. 

Baca juga: Permisalan antara Anjing yang Cerdas dan Tidak Cerdas

Kedelapan belas (#34): Nabi Musa saja disuruh bersafar untuk belajar pada seorang alim (Nabi Khidr).

Perhatikan ayat berikut.

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun“.” (QS. Al-Kahfi: 60)

قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

“Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan ayat di atas bahwa Musa itu datang bukan untuk memberikan ujian, tetapi ia benar-benar ingin belajar untuk ditambahkan ilmu. Inilah yang menunjukkan keutamaan ilmu. Karena nabi Allah Musa ‘alaihis sallam–sekaligus menjadi Kalimullah (yang berbicara langsung dengan Allah)–itu bersafar sampai mengalami keletihan dalam safarnya untuk mempelajari tiga masalah dari seorang alim. (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:234)

Kesembilan belas (#35): Tidak semua orang disuruh pergi berjihad, harus ada yang tinggal untuk tafaqquh fid diin (belajar agama).

Allah Ta’ala berfirman, 

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Dalil ini juga sebagai bukti masih boleh menerima berita dari khabar wahid (kabar satu orang, bukan kabar mutawatir).

Kedua puluh (#36): Manusia menjadi sempurna dengan mengenal kebenaran (berilmu), beramal, berdakwah, dan bersabar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).

Kata Ibnul Qayyim dalam Miftah Daar As-Sa’adah (1:236), “Manusia menjadi sempurna jika ia menyempurnakan dirinya sendiri dan orang lain. Penyempurnaan ini dengan memperbaiki ilmu dan amal. Perbaikan kekuatan ilmiah dengan beriman. Perbaikan kekuatan amaliyah dengan beramal saleh. Menyempurnakan yang lain dengan mengajarkan dan bersabar, lalu bersabar dalam berilmu dan beramal.” 

Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr, Ingin Menjadi Orang Sukses Memanfaatkan Waktu

Kedua puluh satu (#37): Berilmu setelah sebelumnya tidak tahu adalah suatu nikmat. Mendapat hidayah setelah sebelumnya berada dalam kesesatan juga adalah nikmat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)

Kedua puluh dua (#38): Wahyu yang pertama kali turun menunjukkan keutamaan berilmu dari sebelumnya tidak tahu.

Allah Ta’ala berfirman,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).

Kedua puluh tiga (#39): Hujjah ilmiah itu disebut SULTHON. Orang yang memiliki ilmu berarti memiliki bukti yang kuat.

Allah Ta’ala berfirman,

قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا ۗ سُبْحَانَهُ ۖ هُوَ الْغَنِيُّ ۖ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَٰذَا ۚ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempuyai anak”. Maha Suci Allah; Dialah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)

Kedua puluh empat (#40): Bodoh itu merupakan sifat penduduk neraka.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Mereka tidak mendapatkan ilmu karena tidak mendengar dan tidak memikirkan. Mendengar dan memikirkan adalah dua asal pokok dari mendapatkan ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:242)

Baca juga: Dua Cara Pokok untuk Sukses dalam Belajar, Mendengarkan dan Fokus

Kedua puluh lima (#41): Paham agama merupakan tanda baik.

Dalam hadits dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari, no. 71 dan Muslim, no. 1037)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa yang tidak diberi kepahaman pada agama, tidak diinginkan baginya kebaikan. Sebagaimana siapa saja yang ingin baik, ia akan mendalami agama. Siapa yang akhirnya dipahamkan pada agama, berarti ia diinginkan jadi baik. Fiqh fiid diin dalam hadits yang dimaksud adalah berilmu yang berlanjut dengan beramal. Karena jika seseorang hanya berilmu saja tanpa beramal, ia tidak disebut faqih dalam agama yang efeknya itu baik.” Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:243.

Kedua puluh enam (#42): Ilmu itu seperti hujan

Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ

Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari, no. 79 dan Muslim, no. 2282).

Baca juga: Permisalan Ilmu dengan Hujan

Ilmu diibaratkan seperti hujan (ghaits).

Dari situlah ada kehidupan, kemanfaatan, asupan gizi, obat, dan maslahat bagi hambah lainnya. Hati dimisalkan dengan tanah.

Manusia terbagi tiga:

  1. Ahlul hifzhi wal fahmi, bisa menghafal dan memahami.
  2. Ahlul hifzhi, hanya bisa menghafal.
  3. Alladziina laa nashiba lahum minhu, tidak bisa menghafal dan memahami.

Dua manusia yang pertama sama-sama berilmu dan mengajarkan ilmu. Manusia yang ketiga itu tidak berilmu dan tidak mengajarkan ilmu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kebutuhan orang pada ilmu agama seperti kebutuhan orang pada air hujan, bahkan ilmu itu lebih dibutuhkan. Karena jika tidak memiliki ilmu tersebut sama halnya dengan tanah yang tidak pernah mendapati air hujan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:245-246)

Kedua puluh tujuh (#43): Hidayah ilmu itu adalah hidayah yang paling besar.

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Ali,

فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406, dari Sahl bin Sa’ad)

Baca selengkapnya: Keutamaan Dakwah, Mendapatkan Unta Merah

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan berilmu dan mengajarkan ilmu, juga menunjukkan mulianya kedudukan ahli ilmu. Karena jika ada seseorang mendapatkan hidayah lewat perantaraan seorang alim, itu lebih berharga dari unta merah. Unta merah adalah harta terbaik dan paling mulia. Bagaimana penilaianmu terhadap orang yang setiap hari ada sekelompok orang dapat hidayah lewat dia.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:247)

Kedua puluh delapan (#44): Menjadi pelopor kebaikan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَن تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَن تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا.

Siapa yang mengajak yang lain kepada petunjuk, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga. Siapa yang mengajak yang lain kepada kesesatan, maka baginya dosa dari orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2674)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa yang menjadi penyebab yang lain mendapatkan hidayah, maka ia mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:248)

Kedua puluh delapan (#45): Tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang

  1. Orang berilmu yang mengajarkan ilmunya
  2. Orang yang punya harta yang digunakan sedekah

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu, ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari, no. 73 dan Muslim, no. 816)

Baca juga: Hanya Boleh Hasad pada Dua Orang

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seseorang hanya boleh hasad (dengan maksud ghibthoh: ingin semisal dia, tanpa menginginkan nikmat Allah pada yang lain itu hilang)–yaitu kepada orang yang berbuat baik dengan ilmu dan hartanya. Selain dua orang ini, kita tidaklah boleh hasad kepadanya (bersikap ghibthoh) yaitu tidak boleh ingin semisal dia karena selain keduanya tidaklah memberikan manfaat untuk orang lain.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:248)

Ketiga puluh (#46): Orang berilmu lebih utama dari ahli ibadah

Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada seseorang yang ‘aalim (orang berilmu) dan ada seseorang yang ‘aabid (ahli ibadah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوْتَ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الخَيْرَ

Keutamaan seorang ‘aalim (orang berilmu) dibanding seorang ‘aabid (ahli ibadah) adalah seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, “Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, serta penduduk langit dan bumi bahkan semut yang ada di dalam sarangnya sampai ikan paus, mereka akan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, no. 2685. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Karena sebab mengajarkan kebaikan didapatlah keselamatan dan kebahagiaan, serta baiknya hati. Allah pun akan membalas dari jenis amalnya dengan mendapatkan pujian dari Allah, juga doa dari malaikat dan penduduk bumi. Itulah yang menyebabkan pengajar kebaikan mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan keburuntungan. Keutamaan lainnya, pengajar kebaikan karena ia telah menyebarkan agama Allah, mengenalkan hukum, juga mengajarkan nama dan sifat Allah, maka sanjungan dari Allah dan doa penduduk langit menjadi bentuk pemuliaan kepadanya. Pujian kepada pengajar kebaikan tampak di tengah-tengah penduduk langit dan bumi.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:250)

Ketiga puluh satu (#47): Malaikat rida pada penuntut ilmu

Dari Katsir bin Qais, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus. Kemudian ada seorang pria yang datang lantas berkata,

“Wahai Abu Darda’, aku sungguh mendatangimu dari Kota Rasul–shallallahu ‘alaihi wa sallam–(Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana aku tahu bahwa engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga.

Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu.

Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air.

Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.

Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Baca juga: Semangat Menuntut Ilmu Dulu dan Sekarang

Ketiga puluh dua (#48): Seorang fakih lebih dikhawatirkan setan dibanding 1000 ahli ibadah.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَقِيْهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ.

“Seorang fakih lebih ditakuti oleh setan dibanding dengan seribu ahli ibadah.” (HR. Tirmidzi, no. 2681; Ibnu Majah, no. 222; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 11:78; Ibnu Hibban dalam Al-Majruhiin, 1:295; Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayan Al-‘Ilmi, 1:26; Al-Khathib dalam Al-Faqih Al-Mutafaqqih, 1:24; Ibnul Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyyah, no. 192. Hadits ini dhaif jiddan).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Makna hadits ini sahih.”

Ibnul Qayyim rahimahullah katakan, “Adapun ahli ibadah tujuan dia hanyalah berjuang untuk dirinya sendiri.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:266)

Ketiga puluh tiga (#49): Orang yang berilmu dan belajar termasuk orang yang selamat dari laknat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ ، مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا ، إِلاَّ ذِكْرَ اللهِ وَ مَا وَالاَهُ ، وَ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا

“Dunia itu terlaknat. Terlaknat semua yang ada di dalamnya. Yang selamat hanyalah: (1) orang yang berdzikir, (2) orang yang bersama dengan orang yang berdzikir, (3) seorang ‘aalim (berilmu), (4) orang yang mau belajar.” (HR. Tirmidzi, no. 2323; Ibnu Majah, no. 4112; Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 1580; hadits ini hasan menurut Imam Tirmidzi dan juga diriwayatkan yang semakna dari beberapa sahabat. Lihat catatan kaki Miftah Daar As-Sa’adah, 1:266).

Ketiga puluh empat (#50): Menuntut ilmu termasuk berjihad di jalan Allah.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Siapa yang keluar menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. Tirmidzi, no. 2647. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan pula bahwa hadits ini dha’if). 

Abu Ad-Darda’ berkata, “Siapa yang menganggap bahwa berjihad dengan ilmu bukanlah jihad, maka ia akal dan logikanya telah salah.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:269-270)

Baca juga: Jihad dengan Ilmu vs Jihad dengan Senjata

Ketiga puluh lima (#51): Menuntut ilmu adalah jalan mudah menuju surga.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Baca juga: Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga 

Ketiga puluh enam (#52): Penuntut ilmu mendapatkan doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَضَّرَ اللهُ اِمْرَءًا سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يَبْلُغَهُ غَيْرُهُ ، فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ ، وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

“Semoga Allah mencerahkan wajah kepada orang yang mendengar sabdaku, kemudian dia menghafalkannya dan menyampaikannya pada yang lain. Betapa banyak orang yang menyampaikan hadits, namun dia tidak memahaminya. Terkadang pula orang yang menyampaikan hadits menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya.” (HR.  Abu Daud, Ibnu Majah dan Ath Thobroni. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Nadhrah itu kecerahan di wajah, kebahagiaan itu di hati. Nikmat dan baiknya hati akan tampak pada wajah. … Nadhrah ini adalah cerah di wajah bagi yang mendengar sunnah Rasul, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Itulah akhirnya berpengaruh pada hati dan batinnya. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:273.

Baca juga: Permisalan Ilmu dengan Hujan

Ketiga puluh tujuh (#53): Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan ilmu walau satu ayat.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلِّغُوْا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوْا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. Berkisahlah tentang Bani Israil dan tidak apa-apa. Barangsiapa berdusta atas namaku, maka bersiaplah mendapatkan kursinya dari api neraka.” (HR. Bukhari, no. 3461)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ منكمُ الغائِبَ

Hendaklah yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Potongan dari hadits khutbah haji wada’, HR. Bukhari, no. 67 dan Muslim, no. 1679)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan ilmu dari beliau karena hal itu akan menghasilkan huda (petunjuk). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan pahala dari yang mengambil ilmu dari beliau dan mendapatkan pahala pula dari orang yang menerima penyampaian ilmu tersebut.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:276)

Ketiga puluh delapan (#54): Orang yang berilmu syari lebih didahulukan menjadi imam.

Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يؤم القوم اقرؤهم لكتاب الله فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة فإن كانوا في السنة سواء فاقدمهم إسلاما او سنا

Hendaklah yang menjadi imam adalah yang paling paham kitabullah. Jika dalam hal pemahaman kitabullah sama, maka didahulukan yang lebih paham sunnah. Jika dalam hal pemahaman sunnah sama, maka didahulukan yang masuk Islam lebih dahulu atau yang lebih tua.” (HR. Muslim, no. 673)

Yang dipilih menjadi imam

Dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i (1:413-418), Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily membahas beberapa syarat seseorang menjadi imam:

  1. Shalat imam harus sah dengan memenuhi rukun dan syarat sah shalat.
  2. Makmum tidak mengetahui batalnya shalat imam atau tidak meyakini batalnya. Misalnya, jika seseorang meyakini bahwa shalat imam itu batal karena berwudhu dengan suatu yang najis, ia berarti tidak boleh bermakmum dengannya.
  3. Imam tidak sedang bermakmum dengan yang lain.
  4. Imam bukanlah orang yang disuruh i’adah shalat (mengulangi shalat). Misalnya, mengikuti imam yang mukim yang bertayamum karena tidak adanya air. Ini adalah uzur yang jarang. Shalat yang dilakukan dengan tayamum hanyalah untuk menghormati waktu (ihtiroman lil waqti), lalu shalatnya nanti diulangi.
  5. Imam tidak boleh seorang ummi, sedangkan makmum adalah qari’. Yang dimaksud dengan ummi adalah tidak benar dalam membaca surah Al-Fatihah, yaitu tidak mampu mengeluarkan huruf dari makhrajnya atau tidak mampu mengucapkan tasydid dalam surah Al-Fatihah.
  6. Imam tidak boleh wanita dan makmumnya laki-laki. Yang dibolehkan adalah jika imamnya wanita untuk mengimami jamaah wanita, di mana imam wanita tadi berdiri di tengah jamaah wanita. Imam laki-laki yang bersendirian boleh juga mengimami banyak wanita atau bersama jamaah laki-laki, posisi jamaah wanita berada di belakang jamaah laki-laki. Ada kisah bahwa Umar pernah mengimami jamaah wanita dalam shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Catatan: Seorang wanita dimakruhkan berdiri di samping laki-laki dalam shalat. Jika itu terjadi, shalat laki-laki dan perempuan itu tidak batal. Begitu pula, seorang laki-laki dimakruhkan shalat dengan wanita non mahram. Makruh di sini adalah makruh tahrim. Namun, shalat keduanya tetap sah. Adapun, kalau seorang laki-laki mengimami istri atau wanita yang masih mahram dengannya, tetap sah, tidak makruh.
  7. Imam adalah seorang muslim dan dalam keadaan thahir (suci).

Ketiga puluh sembilan (#55): Sebaik-baik manusia adalah yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an

Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya (kepada orang lain).” (HR. Bukhari, no. 4739)

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an mencakup:

  1. mempelajari dan mengajarkan huruf-hurufnya
  2. mempelajari dan mengajarkan maknanya

Yang kedua ini malah yang lebih utama karena makna itulah yang dimaksud tujuan mempelajari Al-Qur’an. Sedangkan, lafaz hanyalah wasilah (perantara). (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:277)

Baca juga: Dakwah dan Mengajarkan Ilmu Termasuk Amalan Mutaaddi

Keempat puluh (#56): Menuntut ilmu itu sampai mati, menuntut ilmu itu tak pandang usia.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَنْ يَشْبَعَ الْمُؤْمِنُ مِنْ خَيْرٍ يَسْمَعُهُ حَتَّى يَكُونَ مُنْتَهَاهُ الْجَنَّةُ

Seorang mukmin tidak semestinya merasa puas dengan kebaikan yang ia dengarkan hingga kehidupannya berujung masuk ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi, no. 2687; Ibnu Hibban, no. 903; Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil, 3:981; Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 1176. Sanad hadits ini ada Darroj bin Abu As-Samh, ia adalah perawi yang dhaif). 

Dalam hadits ini disebutkan bahwa orang yang tak pernah merasa puas dalam hal ilmu merupakan tanda keimanan dan sifat orang beriman. Oleh karena itu, para ulama ketika ditanya, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” Jawab mereka,  “Ilal mamaat, sampai mati.”

‘Abdullah bin Mubarak ditanya, “Sampai kapan engkau mendengar hadits?” Jawab beliau, “Ilal mamaat, sampai mati.”

Imam Ahmad ditanya, “Sampai kapan engkau menulis hadits dari seseorang?” Jawab beliau, “Ilal maut, sampai mati.”

Imam Ahmad rahimahullah juga pernah berkata, “Aku benar-benar akan terus menuntut ilmu hingga aku masuk kubur.”

‘Abdullah bin Bisyr Ath-Thaqoni berkata, “Aku berharap ketika maut datang, tinta masih di sisiku. Semoga pena dan tintaku tidak lepas dariku.”

Sebagian ulama ditanya pula, “Sampai kapan seseorang pantas untuk belajar?” Jawaban mereka adalah, “Sampai mereka pantas untuk hidup.”

Al-Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang yang usianya 80 tahun, “Apakah saya masih pantas belajar?” Imam Al-Hasan Al-Bashri menjawab, “Selama ia layak hidup, maka ia layak juga untuk belajar.”

Perkataan-perkataan di atas dinukil dari Miftah Daar As-Sa’adah, 1:278-279.

Keempat puluh satu (#58): Menuntut ilmu akan selamat dari sifat munafik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَصْلَتَانِ لاَ تَجْتَمِعَانِ فِي مُنَافِقٍ حُسْنُ سَمْتٍ وَلاَ فِقْهٌ فِي الدِّيْنِ

Ada dua sifat yang tidak mungkin terkumpul pada diri seorang munafik: (1) perangai yang bagus (tenang dan berwibawa), (2) fakih dalam agama.” (HR. Tirmidzi, no. 2684. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Hadits ini menunjukkan bahwa tanda iman adalah: (1) perangai yang bagus dan (2) paham agama. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:281.

Keempat puluh dua (#63): Allah membanggakan orang yang berada di majelis ilmu di hadapan para malaikat

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,

خَرَجَ مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى حَلْقَةٍ فِي المسْجِدِ، فَقَالَ: مَا أَجْلَسَكُمْ؟ قَالُوا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ. قَالَ: آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ؟ قَالُوْا: مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ، قَالَ: أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُم تُهْمَةً لَكُمْ وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِي مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثاً مِنِّي: إِنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ:”مَا أَجْلَسَكُمْ؟ “قَالُوْا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ، وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَاهَدَانَا لِلإِسْلامِ، وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا. قَالَ:”آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ؟ قَالُوْا: وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ. قَالَ:”أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ، وَلِكنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيْلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّه يُبَاهِي بِكُمُ المَلاَئِكَةَ

“Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu keluar mendatangi sekumpulan orang di masjid, lalu ia berkata, ‘Apakah yang menyebabkan kalian duduk di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kami duduk untuk berdzikir (mengingat) Allah.’ Mu’awiyah berkata, ‘Apakah—demi Allah—tidak ada yang menyebabkan kalian duduk ini melainkan karena berdzikir (mengingat) Allah saja?’ Mereka menjawab, ‘Ya, tidak ada yang menyebabkan kami semua duduk ini, kecuali untuk itu.’

Mu’awiyah lalu berkata, ‘Sebenarnya aku bukan ingin meminta sumpah dari kalian karena adanya kecurigaan terhadap kalian. Dan tidak ada seorang pun, dengan kedudukanku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling sedikit haditsnya daripada aku sendiri. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu ketika keluar mendatangi sekumpulan orang dari kalangan sahabat-sahabatnya, lalu beliau bersabda, ‘Apakah yang menyebabkan kalian duduk ini?’ Para sahabat menjawab, ‘Kami duduk untuk berdzikir (mengingat) Allah dan memuji-Nya karena Dia telah menunjukkan kami semua kepada Islam dan mengaruniakan kenikmatan Islam itu kepada kami.’ Beliau bersabda, ‘Apakah—demi Allah—tidak ada yang menyebabkan kalian duduk ini melainkan karena itu? Sesungguhnya aku bukan ingin meminta sumpah dari kalian karena adanya kecurigaan terhadap kalian semua, tetapi Jibril datang kepadaku dan memberitahukan sesungguhnya Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat.’” (HR. Muslim, no. 2701)

Hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu secara mutlak, terutama lagi bagi orang-orang yang rasikh (mendalam) dalam ilmu. Merekalah yang mengenal Allah, sifat-Nya, perbuatan-Nya, agama, dan rasul-Nya. (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:288)

Baca juga: Malaikat Bangga pada Orang yang Berada dalam Majelis Ilmu

Keempat puluh tiga (#65): Manusia terbedakan dengan ilmu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu terbedakan dengan makhluk lainnya adalah dengan ilmu dan bayan. Jika bukan karena ilmu pembedanya, tentu hewan akan lebih utama karena lebih banyak makan, lebih kuat, lebih banyak keturunan, dan umurnya lebih panjang. Yang membedakan manusia dan lainnya adalah dengan ilmu dan bayan. Kalau tidak memiliki ilmu, manusia akan sama dengan hewan. Itu baru sebagian sifat hewan, mereka tidak semulia manusia, bahkan pada hewan itu ada kerusakan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:290)

Ayat yang mendukung maksud Ibnul Qayyim adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَأَسْمَعَهُمْ ۖ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun. Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS. Al-Anfaal: 22-23)

Dalam ayat lain disebutkan,

وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 141)

As-sam’u atau mendengar yang dimaksudkan adalah:

  1. mendengarkan suara.
  2. memahami makna.
  3. qabul dan ijabah, menerima dan menjawab

(Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:290-291)

Keempat puluh empat (#67): Kita bisa beriman dengan benar dengan adanya ilmu.

Iman itu memiliki dua rukun:

  1. Mengenal wahyu yang rasul bawa dan mengilmuinya.
  2. Membenarkan (tashdiq) dengan berkata dan beramal. Membenarkan tanpa mengilmui dan mengenal itu suatu hal yang mustahil.

Kedudukan ilmu pada iman adalah seperti ruh pada jasad. Iman tidaklah benar hingga benar ilmu dan pengenalan. Ilmu adalah puncak yang tertinggi yang seharusnya dicapai. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:295.

Makin bertambah ilmu, harusnya iman makin bertambah.

Keempat puluh lima (#68): Seluruh sifat kebaikan sempurna diperoleh karena bergabungnya tiga hal, yaitu ilmu, irodah (keinginan), dan qudroh (kemampuan). Irodah dan qudroh sangat bergantung kepada ilmu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seluruh sifat kebaikan sempurna kembali kepada ilmu, qudroh (kemampuan), dan irodah (keinginan). Irodah (keinginan) adalah cabang dari ilmu. Tujuan itu tercapai jika ada irodah (keinginan). Namun, irodah (keinginan) itu sangat bergantung  kepada ilmu secara dzat dan hakikatnya. Qudroh (kemampuan) tidaklah memberi pengaruh melainkan dengan perantaraan irodah (keinginan). Ilmu sendiri tidak bergantung kepada irodah maupun qudroh. Irodah dan qudroh yang sangat bergantung kepada ilmu. Itulah yang menunjukkan keutamaan dan kedudukan ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:295)

Keempat puluh enam (#70): Orang yang berilmu akan menjadi pemimpin dalam agama.

Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah: 24)

Di tempat lain disebutkan,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74). Imam dalam ayat ini maksudnya yang diikuti setelah kami.

Allah mengabarkan bahwa sabar dan yakin akan membuahkan kepemimpinan dalam agama. Kepemimpinan inilah derajat tertinggi dari para shiddiqin (orang yang jujur).

Yakin itu adalah kesempurnaan dan puncak ilmu. Semakin sempurna keilmuan, maka semakin tercapai kepemimpinan dalam agama. Kepemimpinan ini diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:296.

Keempat puluh tujuh (#71): Kebutuhan pada ilmu termasuk kebutuhan primer (dhoruri).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kebutuhan seseorang kepada ilmu termasuk kebutuhan primer (dhoruri). Kebutuhan ini melebihi kebutuhan badan pada makanan. Karena kebutuhan seseorang kepada makan hanya sekali atau dua kali dalam sehari. Sedangkan kebutuhan seseorang kepada ilmu itu sebanyak helaan nafasnya. Setiap jiwa itu membutuhkan iman atau hikmah. Jika iman atau hikmah itu lepas dari jiwa, ia akan binasa dan hancur. Iman dan hikmah itu bisa diperoleh hanya dengan jalan ilmu. Kesimpulannya, kebutuhan seseorang kepada ilmu lebih dari kebutuhan seseorang pada makan dan minum.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:296)

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

ِالنَّاسُ أَحْوَجُ إِلَى العِلْمِ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ لِأَنَّ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي اليَوْم مَرَّةً اَوْ مَرَّتَيْنِ وَالعِلْمَ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ كُلَّ وَقْت

“Manusia sangat membutuhkan ilmu daripada kebutuhan pada makan dan minum. Karena kebutuhan makan dan minum dalam sehari hanya sekali atau dua kali. Sedangkan kebutuhkan kepada ilmu itu setiap waktu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:297)

Keempat puluh delapan (#72): Orang yang berilmu bisa jadi sedikit beramal, tetapi mendapatkan pahala yang besar.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ِإِنَّ صَاحِبَ العِلْمِ أَقَلُّ تَعْبًا وَعَمَلا ًوَأَكْثَرُ أَجْرًا

“Sesungguhnya orang yang berilmu itu lebih sedikit capek dan amalnya. Namun, pahala orang yang berilmu itu lebih banyak.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:297)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengisyaratkan pada keadaan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ia adalah orang yang terbaik dari umat Muhammad. Padahal ada sahabat nabi yang amalan, haji, puasa, shalat, dan bacaan Al-Qur’annya lebih banyak daripada Abu Bakar. Abu Bakar bin ‘Iyyasy berkata,

ِمَا سَبَقَكُمْ أَبُوْ بَكْرٍ بِكَثْرَةِ صَوْمٍ وَلاَ صَلاَةٍ وَلَكِنْ بِشَيْءٍ وَقَرَ فِي قَلْبِه

“Abu Bakar bukanlah mengungguli kalian dengan banyaknya puasa dan shalat, tetapi ia mengungguli kalian dengan iman yang tertanam dalam hatinya.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:297-298)

Keempat puluh sembilan (#73): Ilmu itu imam bagi amal.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ِإِنَّ العِلْمَ إِمَامُ العَمَلِ وَقَائِدٌ لَهُ وَالعَمَلُ تَابِعٌ لَهُ وَمُؤْتِمٌّ بِهِ فَكُلُّ عَمَلٍ لاَ يَكُوْنُ خَلْفَ العِلْمِ مُقْتَدِيًا بِهِ فَهُوَ غَيْرُ نَافِعٍ لِصَاحِبِهِ بَلْ مَضَرَّةٌ عَلَيْهِ كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا ِيُفْسِدُ أَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ وَألاَعْمَالُ إِنَّمَا تَتَفَاوَتٌ فِي القَبُوْلِ وَالرَّدِّ بِحَسَبِ مُوَافَقَتِهَا لِلْعِلْم وَمُخَالَفَتِهَا لَهُ فَالعَمَلُ المُوَافِقُ لِلْعِلْمِ هُوَ المَقْبُوْلُ وَالمُخَالِفُ لَهُ هُوَ المَرْدُوْد

“Sesungguhnya ilmu itu imam dan pemimpin dari amal. Sedangkan amalan itu pengikut dan menjadikan amal sebagai imam. Setiap amal yang tidak berada di belakang ilmu, tidak mau mengikuti ilmu, maka amal itu tidak bermanfaat untuk pelakunya. Bahkan amalan tanpa didasari ilmu hanyalah mendatangkan mudarat. Sebagaimana sebagian salaf pernah berkata, ‘Siapa saja yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, amal tersebut lebih membawa kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. Amal yang diterima itu tergantung pada kesesuaiannya dengan ilmu yang benar ataukah menyelisihi ilmu tersebut. Amal yang sesuai dengan ilmu yang benar itulah yang diterima. Sedangkan amal yang menyelisi ilmu yang benar, itulah amalan yang tertolak. ” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:298)

Kelima puluh (#74): Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada petunjuk jalan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ِالعَامِلُ بِلاَ عِلْمٍ كَالسَّائِرِ بِلاَ دَلِيْلٍ وَمَعْلُوْمٌ أنَّ عَطَبَ مِثْلِ هَذَا أَقْرَبُ مِنْ سَلاَمَتِهِ وَإِنْ قُدِّرَ سَلاَمَتُهُ اِتِّفَاقًا نَادِرًا فَهُوَ غَيْرُ مَحْمُوْدٍ بَلْ مَذْمُوْمٌ عِنْدَ العُقَلاَءِ

“Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang berjalan tanpa penuntun akan mendapatkan kesulitan dan sulit untuk selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan.”

Guru dari Ibnul Qayyim yaitu Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ِمَنْ فَارَقَ الدَّلِيْلَ ضَلَّ السَّبِيْل وَلاَ دَلِيْلَ إِلاَّ بِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُوْلُ

“Siapa yang terpisah dari penuntun jalannya, maka tentu ia akan tersesat. Tidak ada penuntun yang terbaik bagi kita selain dengan mengikuti ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

ِالعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ كَالسَّالِكِ عَلَى غَيْرِ طَرِيْقٍ وَالعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ مَا يُفْسِدُ اَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ فَاطْلُبُوْا العِلْمَ طَلَبًا لاَ تَضُرُّوْا بِالعِبَادَةِ وَاطْلُبُوْا العِبَادَةَ طَلَبًا لاَ تَضُرُّوْا بِالعِلْمِ فَإِنَّ قَومًا طَلَبُوْا العِبَادَةَ وَتَرَكُوْا العِلْمَ

“Orang yang beramal tanpa ilmu seperti orang yang berjalan bukan pada jalan yang sebenarnya. Orang yang beramal tanpa ilmu hanya membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan kebaikan. Tuntutlah ilmu dengan sungguh-sungguh, namun jangan sampai meninggalkan ibadah. Gemarlah pula beribadah, namun jangan sampai meninggalkan ilmu. Karena ada segolongan orang yang rajin ibadah, namun meninggalkan belajar.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:299-300).

Kelima puluh satu (#75): Hidayah adalah pada ilmu yang haq (ilmu yang benar).

Dalam hadits sahih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat lail (shalat malam) membaca doa iftitah berikut,

ِاللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اِهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“ALLOHUMMA ROBBA JIBROO-IILA WA MII-KA-IILA WA ISROOFIILA, FAATHIROS SAMAAWAATI WAL ARDHI ‘ALIIMAL GHOIBI WASY SYAHAADAH ANTA TAHKUMU BAYNA ‘IBAADIKA FIIMAA KAANUU FIIHI YAKHTALIFUUN, IHDINII LIMAKHTULIFA FIIHI MINAL HAQQI BI-IDZNIK, INNAKA TAHDI MAN TASYAA-U ILAA SHIROOTIM MUSTAQIIM

(artinya: Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum untuk memutuskan apa yang mereka pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dari-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki).” (HR. Muslim, no. 770; Abu Daud, no. 767; At-Tirmidzi, no. 3420; An-Nasai, 3:212; Ibnu Majah, no. 1357, sanad hadits ini sahih).

Baca juga: Macam-Macam Doa Iftitah 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah ilmu pada kebenaran. Hal itu lebih dari segalanya. Orang yang mengamalkan kebenaran adalah orang yang mendapatkan petunjuk dan itulah orang yang mendapatkan nikmat terbesar dari Allah. Oleh karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita meminta hidayah shirothol mustaqim setiap siang dan malam pada shalat lima waktu (pada saat membaca surah Al-Fatihah). Karena setiap hamba sangat butuh pada kebenaran yang Allah ridai pada gerakan lahir dan batin.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:300-301)

Dalam doa iftitah ini disebutkan bahwa Allah itu Rabbnya Jibril, Mikail, dan Israfil. Tiga malaikat ini dijadikan oleh Allah menjadi sebab kehidupan hamba. Jibril itu penyampai wahyu kepada para nabi, di mana wahyu adalah sebab kehidupan dunia dan akhirat. Mikail ditugaskan mengurus hujan yang menjadi sebab kehidupan segala sesuatu. Israfil bertugas meniupkan sangkakala, di mana Allah menghidupkan yang mati dengan tiupannya, akhirnya manusia berbangkit dan berdiri di hadapan Allah Rabb semesta alam. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:302-303.

Baca juga: Empat Tingkatan Hidayah

Kelima puluh dua (#76): Hati dan ruh bisa hidup hanya dengan ilmu.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ٍوَأَمَّا فَقْدُ العِلْمِ فَفِيْهِ فَقْدُ حَيَاةِ القَلْبِ وَالرُّوْحِ فَلاَ غِنَاءً لِلْعَبْدِ عَنْهُ طَرْفَةَ عَيْن

“Adapun luput dari ilmu akan membuat hilangnya kehidupan hati dan ruh. Setiap hamba pasti akan membutuhkan ilmu, tak bisa ia lepas darinya walau sekejap mata.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:305)

Kelima puluh tiga (#77): Ilmu yang paling utama adalah ilmu mengenal Allah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ٍأَنَّ شَرْفَ العِلْمِ تَابِعٌ لِشَرْفِ مَعْلُوْمِه

“Keagungan suatu ilmu dilihat dari keagungan yang dipelajari.”

Lalu beliau rahimahullah melanjutkan, “Tidak diragukan lagi bahwa ilmu tentang Allah kemudian tentang nama dan sifat-Nya serta perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling mulia dan utama. Ilmu ini dibandingkan dengan ilmu lainnya sama saja dengan membandingkan Allah dengan lainnya. Bahkan ilmu tentang Allah ilmu yang paling mulia dan ilmu dasar dari segalanya.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:306)

Kelima puluh empat (#78): Ilmu adalah pintu pembuka untuk mendapatkan kelezatan dan kenikmatan dalam mencintai, mengingat, dan berusaha mencapai rida Allah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ِإِنَّهُ لاَ شَيْءَ أَطْيَبُ لِلْعَبْدِ وَلاَ أَلَذُّ وَلاَ أَهْنَأُ وَلاَ أَنْعَمُ لِقَلْبِهِ وَعَيْشِهِ مِنْ مَحَبَّةِ فَاطِرِهِ وَبَارِيْهِ وَدَوَام ذِكْرِهِ وَالسَّعْيِ فِي مَرْضَاتِه

ِوَهَذَا هُوَ الكَمَالُ الَّذِي لاَكَمَالَ لِلْعَبْدِ بِدُوْنِه

ِوَلاَسَبِيْلَ إِلَى الدُّخُوْلِ إِلَى ذَلِكَ إِلاَّ مِنْ بَابِ العِلْمِ فَإِنَّ مَحَبَّةَ الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنِ الشُّعُوْرِ بِه ْوَأَعْرَفُ الخَلْقِ بِاللهِ أَشَدُّهُمْ حُبًّا لَهُ فَكُلُّ مَنْ عَرَفَ اللهَ أَحَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ الدُّنْيَا وَأَهْلَهَا زَهِدَ فِيْهِم ِفَالعِلْمُ يَفْتَحُ هَذَا البَابَ العَظِيْمَ الَّذِي هُوَ سِرُّ الخَلْقِ وَالأَمْر

“Tidak ada sesuatu yang lebih baik, lebih lezat, lebih enak, lebih nikmat yang dirasakan seorang hamba untuk hati dan kehidupannya dibanding dengan mencintai Sang Khaliq dan Penciptanya, terus menerus mengingat-Nya, dan berusaha menggapai rida-Nya. Inilah bentuk kesempurnaan yang tidak ada yang sempurna bagi hamba kecuali dengan mencintai, mengingat, dan menggapai rida-Nya. Semua bentuk kesempurnaan tadi hanya bisa diraih lewat pintu ilmu. Mencintai sesuatu adalah cabang dari mudah merasainya. Makhluk yang paling mengenal Allah itulah yang paling cinta kepada Allah. Siapa saja yang mengenal Allah, pasti Allah mencintainya. Sedangkan siapa yang mengenal dunia dan pemilik kenikmatan dunia, ia akan meninggalkannya. Ilmu itulah yang membuka pintu yang mulia ini yang merupakan inti dari penciptaan dan perintah.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:308)

Kelima puluh lima (#79): Ilmu adalah jalan terdekat untuk mendapatkan puncak kesenangan.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kelezatan pada sesuatu yang dicintai semakin lemah dan kuat tergantung pada kuat dan lemahnya kecintaan. Ketika kecintaan itu kuat, maka semakin mendapatkan kenikmatan. Oleh karena itu, lezatnya dahaga dirasakan ketika meminum air dingin dilihat dari semakin sulit saat mencari air. Begitu pula orang yang dalam keadaan lapar merasakannya. Orang yang senang pada sesuatu, ia akan merasakan kenikmatan saat ia begitu mencintainya. Cinta itulah yang mengikuti ilmu, yaitu mengilmui yang dicintai, mengenal kecantikannya secara lahir dan batin. Kenikmatan melihat Allah setelah berjumpa dengan-Nya tentu tergantung pada kuatnya kecintaan dan keinginan. Demikian pula dalam hal mengenal Allah dan sifat-Nya yang sempurna. Oleh karena itu dapat dikatakan:

ِالعِلْمُ هُوَ أَقْرَبُ الطُّرُقِ إِلَى أَعْظَمِ اللَّذَّات

Ilmu adalah jalan terdekat untuk mendapatkan puncak kesenangan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:308-309)

Kelima puluh enam (#81): Keutamaan ilmu itu diketahui dari mengetahui lawannya.

Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan bait syair:

ِفَالضِدُّ يُظْهَرُ حُسْنُهُ الضِد 

ِوَبِضِدِّهَا تَتَبَيَّنُ الأَشْيَاء

“Lawan itu menampakkan kebaikan lawannya, dengan mengenal lawan akan jelas segala sesuatu.”

Tidak diragukan lagi bahwa kebodohan itu biang kerusakan segala sesuatu. Setiap kerusakan yang didapati oleh manusia di dunia dan akhirat adalah dampak jelek dari kebodohan. (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:310)

Ilmu itu diketahui baiknya dari mengenal dampak jelek kebodohan.

Kelima puluh tujuh (#82): Manusia yang lebih mengunggulkan akal dari syahwat akan lebih mulia dari malaikat, beda dengan sebaliknya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah menciptakan malaikat dalam keadan berakal, tanpa syahwat. Allah menciptakan hewan dalam keadaan memiliki syahwat, tetapi tidak berakal. Manusia dikaruniai akal dan syahwat sekaligus. Jika manusia lebih mengunggulkan akal dibanding syahwatnya, maka ia lebih baik dari malaikat. Namun, jika manusia mengunggulkan syahwat dibanding akal, maka ia lebih jelek dari hewan. Manusia pun bertingkat-tingkat.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:347)

Kelima puluh delapan (#83): Kemuliaan manusia itu dilihat dari berfungsinya tempat masuknya ilmu yaitu hati, pendengaran, dan penglihatan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Keyakinan itu ada tiga tingkatan: (1) as-sam’u (pendengaran), (2) al-‘ainu (penglihatan, mata), (3) hati.” Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:352.

Kenikmatan ahli surga didapati dengan: (1) melihat Allah, dan (2) mendengarkan kalamullah.” Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:352.

Kelima puluh sembilan (#84): Kebahagiaan manusia adalah dengan baiknya pendengaran, penglihatan, dan hati.

Allah Ta’ala berfirman,

ِإِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kebahagiaan manusia adalah dengan baiknya tiga hal (yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati). Kesengsaraan manusia adalah karena rusaknya tiga hal tersebut.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:354)

Keenam puluh (#85): Raih kebahagiaan dengan ilmu.

Kebahagiaan itu ada tiga macam:

Pertama, sa’adah kharijiyyah, yaitu kebahagian dari luar, di mana kebahagiaan itu dengan harta, kedudukan, dan yang mengikutinya.

Kedua, sa’adah fii jismihi wa badanihi, yaitu kebahagiaan pada jasad dan badannya, terlihat secara lahiriyah itu bagus, seperti nikmat sehat.

Ketiga, sa’adah haqiqiyyah, yaitu kebahagiaan yang ada dalam hati, yaitu berupa ilmu yang bermanfaat, di mana ini adalah buah dari ilmu. Kebahagiaan inilah yang akan menemani pada tiga alam yaitu dunia, barzakh, dan darul qarar (negeri akhirat). Kebahagiaan ilmu diperoleh dengan:

  • berusaha meraihnya,
  • jujur (benar) dalam mencari,
  • benarnya niat.

Sebagaimana disebutkan oleh Yahya bin Abi Katsir,

ِلاَ يُنَالُ العِلْمُ بِرَاحَةِ الجِسْم

“Ilmu itu tidak diraih dengan badan yang bersantai-santai.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:358)

Referensi:

Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. Mulai dari 1:217

Mulai diringkas, 18 Muharram 1443 H, 27 Agustus 2021

Diedit pada 8 Jumadal Akhirah 1443 H, 12 Januari 2022

@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/29364-lebih-dari-100-keutamaan-orang-berilmu-dari-kitab-miftah-daar-as-saadah.html

Hukum Berbagi Makanan Setelah Shalat Jumat

Saat ini kita sering menjumpai sebagian masjid yang menyediakan makanan untuk para jamaah untuk dimakan bersama setelah melaksanakan shalat Jumat. Makanan ini ada yang murni disediakan oleh pengurus masjid, namun ada juga yang disediakan oleh para jemaah yang ingin berbagi makanan agar dimakan bersama setelah shalat Jumat. Sebenarnya, bagaimana hukum berbagi makanan setelah shalat Jumat ini?

Berbagi makanan setelah shalat Jumat, baik dibagikan di masjid untuk dimakan bersama maupun dibagikan di jalan, di rumah dan lainnya, termasuk perbuatan baik yang bernilai sedekah. Secara umum, bersedekah di hari Jumat sangat dianjurkan sekali. Bersedekah di hari Jumat pahalanya lebih utama dibanding bersedekah di hari selain hari Jumat.

Terdapat beberapa hadis yang menganjurkan untuk bersedekah di hari Jumat, baik dengan berbagi makanan setelah shalat Jumat, dan lainnya. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan Imam Abdurrazzaq berikut;

وَلَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ وَلَمْ تَغْرُبْ مِنْ يَوْمٍ أَعْظَمُ مِنْ يَوْمِ اْلُجُمُعَةِ وَالصَّدَقَةُ فِيْهِ أَعْظَمُ مِنْ سَائِرِ اْلاَيَّامِ.

Dan tidak ada matahari yang terbit dan terbenam pada suatu hari yang lebih utama dibanding hari Jumat. Bersedekan pada hari Jumat lebih besar pahalanya daripada semua hari lainnya.

Dalam kitab Al-Umm, Imam Al-Syafi’i menyebutkan salah satu riwayat mengenai keutamaan bersedekah di hari Jumat. Beliau berkata;

بَلَغَنَا عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَكْثِرُوا الصَّلَاةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَإِنِّي أُبَلَّغُ وَأَسْمَعُ قَالَ وَيُضَعَّفُ فِيهِ الصَّدَقَةُ 

Telah sampai kepadaku dari Abdillah bin Abi Aufa bahwa Rasulullah bersabda; Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku di hari Jumat sesungguhnya shalawat itu tersampaikan dan aku dengar. Nabi bersabda; Dan di hari Jumat pahala bersedekah dilipatgandakan.

Dalam Islam, hari Jumat merupakan hari paling baik dibanding hari-hari lainnya. Bahkan disebut sebagai sayyidul ayyam, pemimpin hari-hari lainnya. Pada hari itu, Allah membuka pintu ampunan, doa dikabulkan dan amal biak dijanjikan pahala yang sangat besar.

Karena itu, Nabi Saw menganjurkan kepada umatnya untuk memperbanyak ibadah, zikir, shalawat, amal shaleh dan sedekah di hari Jumat, baik dengan berbagi makanan setelah shalat Jumat, dan lainnya. 

Demikian penjelasan terkait hukum berbagi makanan setelah shalat Jumat. Semoga kita termasuk orang-orang yang rajin bersedekah.

BINCANG SYARIAH